Anda di halaman 1dari 50

RESPONSI KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE STAGE V ON HEMODIALISIS

Pembimbing :
dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD

Oleh :

Dinda Paramaningtyas S (1702612229)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP
SANGLAH
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, laporan responsi yang berjudul “Chronic Kidney Disease Stage
V on Hemodialisis” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Responsi ini
disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD – KHOM selaku ketua KSM/Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD , Denpasar.
2. dr. I Made Susila Susila Utama, Sp.PD- KPTI selaku koordinator pendidikan
di KSM/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
3. dr. I. G. N. Agung Tresna Erawan, M.Biomed, Sp.PD, selaku pembimbing
laporan responsi di RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, 23 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... ..4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 6
2.1 Definisi .......................................................................................................... 6
2.2 Klasifikasi .................................................................................................... 6
2.3 Epidemiologi ................................................................................................. 8
2.4 Faktor Risiko ................................................................................................. 9
2.5 Patofisiologi ................................................................................................ 12
2.6 Manifestasi Klinis ....................................................................................... 13
2.7 Diagnosis ..................................................................................................... 14
2.8 Penatalaksanaan ......................................................................................... 16
2.9 Prognosis ..................................................................................................... 25
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 34
I. Identitas Pasien .............................................................................................. 34
II. Anamnesis .................................................................................................... 34
III. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................... 36
IV. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 38
V. Diagnosis ..................................................................................................... 43
VI. Penatalaksanaan.......................................................................................... 44
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 46
BAB V SIMPULAN ............................................................................................. 49
Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK)


merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama
(kronis) yaitu lebih dari 3 bulan. Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko
yang kemudian mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan
biasanya berakhir dengan gagal ginjal.1 Definisi CKD berdasarkan The Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation
(NKF) adalah kerusakan ginjal secara struktural atau fungsional yang berlangsung
dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa
kerusakan struktur ginjal.2
Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor risiko dengan
patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Penderita CKD
memiliki risiko tinggi untuk mengalami penyakit komplikasi, salah satunya adalah
penyakit kardiovaskular yang seringkali menyebabkan kematian. Insiden dan
prevalensi CKD didapatkan semakin meningkat saat ini dan menjadi masalah
kesehatan global.1
Angka peningkatan kasus dialisis di negara barat meningkat 6-8% per tahun
menunjukkan CKD telah menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan.
Peningkatan yang progresif di Amerika Serikat adalah meningkatnya penderita CKD
yang membutuhkan terapi pengganti ginjal dalam dua dekade terakhir.1 Jumlah
penderita CKD di Indonesia sendiri pun makin meningkat. Data IRR pada tahun 2014
mencatat penderita baru CKD sebanyak 17.193 dan khususnya untuk daerah Bali
sebanyak 1.258 pasien.3
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari,
yang mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron
sehingga mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Ginjal memiliki kemampuan
untuk mempertahankan LFG ketika menghadapi cidera sehingga meskipun kerusakan

4
nefron terjadi secara progresif, LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi
nefron sehat yang tersisa sebagai kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma
seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya
setelah LFG total menurun hingga 50%, yaitu ketika ginjal sudah tidak mampu
mengkompensasi lagi.1
Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal pada CKD menurun dan menyebakan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium I
- III umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul
pada stadium IV - V. Manifestasi klinis CKD dapat sesuai dengan penyakit yang
mendasari, adanya sindrom uremia, maupun gejala dari komplikasi yang
ditimbulkan.1
Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan jauh
lebih baik dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat penurunan
fungsi. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga
dan lingkungan karena melibatkan modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien
dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun CKD merupakan
penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.1
Deteksi CKD pada pasien dengan risiko tinggi sangat penting karena CKD stadium 1-
3 umumnya asimtomatis sehingga dapat memberikan intervensi sebelum penderita
mengalami gagal ginjal atau mencapai stadium yang lebih lanjut dan terjadi
komplikasi akibat CKD.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang
ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap
penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi
ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua
kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,
baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio > 30 mg/g; total
protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit
atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau
riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60
ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan
struktural ginjal.2

2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat
penyakit dan berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit
didasarkan pada LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-
Gault sebagai berikut:

6
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus
Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di
atas 80 tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil,
pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush
syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap
(amputasi).1
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2
Tabel 1. Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG
Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73 m2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
III Penurunan LFG sedang 30 – 59
IV Penurunan LFG berat 15 – 29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:2


Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vaskular
(renal artery disease, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronis, batu, obstruksi, keracunan
obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin /takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy

7
Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau
tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau
patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2
Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal
Contoh Penyakit Sistemik Contoh Penyakit Ginjal
yang Mempengaruhi Primer (tidak disertai
Ginjal penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit autoimun Glomerulonefritis
sistemik, infeksi sistemik, diffuse, focal, crescentic
obat, neoplasia (termasuk proliferative,
amyloidosis) gromerulonekrosis focal
dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit Infeksi sistemik, autoimun, Infeksi saluran kemih,
tubulointerstitial sarcoidosis, obat, urat, toksin batu, obstruksi
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh Aterosklerosis, hipertensi, Associated renal limited
darah iskemia, emboli kolesterol, vasculitis, fibromuscular
vaskulitis sistemik, dysplasia
mikroangiopati trombotik,
sklerosis sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik ginjal, Displasia renal, penyakit
congenital Alport syndrome, Fabry kistik medulla,
disease podositopati

2.1.2 Epidemiologi
Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai
pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-
13% dari populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7
juta pasien yang menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di
Australi mengalami Chronic Kidney Disease.4 Di negara-negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per
tahun.1

8
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang
lebih rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes
2013 prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur
35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang
dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebayak 12,5%
populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.4

2.1.3 Faktor Risiko


Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada
tabel 4. Walaupun menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014,
hipertensi muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab
lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.3

Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia


Tahun 2000 dan Tahun 2014
Penyebab Insiden Tahun 2000 Insiden Tahun 2014
Glomerulonefritis 46,39% 10%
Diabetes mellitus 18,65% 27%
Obstruksi dan infeksi 12,85% 14%
Hipertensi 8,46% 37%
Sebab lain 13,65% 11%

2.1.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi
progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik.
Kondisi ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas
glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya
penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun
uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera
ditangani, maka glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD,
penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit kardiovaskular.5

9
2.1.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita
seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin
yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada.
Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar
glukosa dalam darah.6
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada
aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh
pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam
darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan
terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan
albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin,
dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi.6
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf
membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk
memberi tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf
pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat
merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung
kemih yang tinggi akan dapat merusak ginjal.7

Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :


1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai
dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses
penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus
tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat
berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan
diabetes mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya
muncul diawali dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang

10
terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien
tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan
muncul. Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan
diobati dengan exogenous insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan
diet makanan yang sudah direncanakan.1,8
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang
dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari
resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi
glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani
dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada
sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga
neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan
arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan
komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf
autonomik maupun perifer.8
2.1.4.3 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi
primer/esensial dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi
primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder
apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal.
Penyakit ginjal hipertensif merupakan salah satu penyebab CKD.6

Faktor resiko dari CKD juga dapat dibagi berdasarkan1,6:


a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi
sistemik, infeksi saluran kencing, batu kandung kencing, obstruksi
saluran kencing bawah, keganasan, riwayat keluarga CKD, penurunan
massa ginjal, paparan banyak obat, serta berat lahir rendah.

11
b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan
kimia dan kondisi lingkungan dan rendahnya pendidikan.

2.1.4 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau
kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti
membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan
komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh mekanisme
progresif yang berlangsung dalam jangka panjang.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit
dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1

12
Gambar 1. Patogenesis CKD1

2.1.5 Manifestasi Klinis


Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30
mL/menit/1,73 m2 seringkali asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala.
Pasien belum mengalami gejala gangguan keseimbangan air ataupun
elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin dan sistem metabolik. Gejala
seringkali mulai muncul pada pasien dengan CKD derajat IV hingga V
dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada
tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering
disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering
memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2,5
Manifestasi klinis berupa sindroma berkemih pada pasien dengan
CKD derajat V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun
dengan jenis yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang
dialami ginjal pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan

13
tidak jarang bermanifestasi menjadi edema paru dan hipertensi karena volume
cairan meningkat.2,5
Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada
CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang
bermanifestasi menjadi gejala-gejala anemia yaitu lemas, penurunan
kemampuan dalam berkegiatan, penurunan fungsi imun, dan penurunan
kualitas hidup. Insiden anemia pada CKD meningkat seiring dengan
menurunnya LFG.11 Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit
kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari
penyakit gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh
sistem kardiovaskular.2,5
Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD,
terutama pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat,
diuraikan sebagai berikut:7
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade
jantung, yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian
- Neuropati perifer
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
- Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk
perdarahan.

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat
jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu,

14
biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya
dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan
merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab
yang didapat dari evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan ginjal.5

2.1.7.1 Gambaran Klinis


Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida).
2.1.7.2 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

15
2.1.7.3 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.1.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya


dapat dilihat pada tabel berikut.1
Tabel 5. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1

16
Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

2.1.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30%
dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2
2.1.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD.
Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.1,2
2.1.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1
1. Restriksi Protein.
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel
berikut:1

17
LFG mL/menit Asupan Protein g/kh/hari Fosfat
g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 ≤ 10 g
g asam amino esensial atau asam
keton
<60 (Sindrom 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g ≤9g
Nefrotik) proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD

Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan


diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada
penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8
gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi)
dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein
pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang
disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan

18
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi,
jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan.1,5
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan
keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena
pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien
HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses
inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit
komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak
adekuat, overhidrasi interdialitik.7
2. Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat
terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko
terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama
penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui
berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat
mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1
3. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,
hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.1
1. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk
DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.8

19
2. Hipertensi
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian
dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.1,2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin
reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat
proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau
terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium
channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.1,2
3. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin.1
4. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan
darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum
tulang, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap
status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis. Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan secara
hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.1,2
5. Hiperfosfatenemia

20
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara
umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena
fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti
susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah
terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan
pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium
mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis
obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid,
dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium
mimetic agent.1,2
6. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui
insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan
masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan
edema. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung kalium
dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1,2
7. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia
dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah

21
mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah
hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi: 1
 Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta
sayuran rendah kalium;
 Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.

Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu: 1,2


 Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
 Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
 Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram
glukosa
 Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
8. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.
Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis
berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.

2.1.8.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


1. Anemia

Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan


produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga
ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah
merahyang pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi
sumsum tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas
aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan
malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status
besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal
sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah

22
adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati
dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:1

Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO

Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO


ataupun yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi
preparat besi intravena. 1
2. Osteodistrofi Renal
Osteofdistrofi adala istilah yang menggambarkan secara umum semua
kelainan tulang akibat gangguan metabolisme Kalsium karena terjadinya
penurunan fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia
diatasi dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat
fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian
bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada
pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. 1,6
Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian kalsitriol
pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk garam
fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan dinding pembuluh darah
(kalsifikasi metastatik).1,6
Selain itu pemberian kalsitriol juga dapat mengakibatkan penekanan
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6

2.1.8.5 Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal

23
Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15
ml/mnt. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika
klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.
2.1.8.6 Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Diseas

Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium,


yaitu stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan
fungsi ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa
disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif
yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan
sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase
gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien dengan CKD.5,10
Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang
kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk
mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui
monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim
kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi
yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)
betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi
optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan
elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.5,10
Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:5,10
1. Pengaturan asupan protein.
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

24
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Besi: 10-18mg/hari
10. Magnesium: 200-300 mg/hari
11. Asam folat pasien HD: 5mg
12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

2.1.9 Prognosis

Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk


mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir dari
penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur, penyebab dasar,
dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder dan individu dari pasien itu
sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk
memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal dan mencegah terjadinya
komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian.6,7
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika
disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat menjadi
30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab
CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang
sudah terjadi.2
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.

25
Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori Albuminuria

2.1 HEMODIALIS
2.2.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi
seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal
ginjal.4,6 Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal
disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.
Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen dan racun lain
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.2 Pada
penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.
Hemodialisis bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak
mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi terapi hemodialisa ini

26
bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat filtrasi dan ekskresi
serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.1, 3

2.2.2 Tujuan Hemodialisis


Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan, yaitu menggantikan
fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam
tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain),
menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas
hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.4
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang
melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi
elektrokimia. Tujuan utama hemodialisis adalah untuk mengembalikan
suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari
ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat terlarut
seperti urea dari darah ke dialisat dan dengan memindahkan zat terlarut lain
seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat terlarut dan
berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul kecil seperti
urea akan cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang kompleks
serta molekul besar seperti fosfat, β2 mikroglobulin, dan albumin, dan zat
terlarut yang terikat protein lebih lambat berdifusi. Di samping difusi, zat
terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan
proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan
osmotik, melalui sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi. Saat ultrafiltrasi
berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut, tujuan utama
dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh total.
Terdapat sesi-sesi tiap dialisis, sehingga status fisiologis pasien harus
diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk
masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen
peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan

27
jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan.
Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala yang dikenal sebagai
sindrom uremia, walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun
organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada
kasus uremia.3
2.2.3 Indikasi Hemodialis
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu hemodialisis
emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut
tindakan dialisis dilakukan pada kegawatan ginjal dengan keadaan klinis
uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria
(produksi urine <50 ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan
EKG, biasanya K >6,5 mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12
meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati
uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115
mmol/I), hipertermia, keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa
melewati membran dialisis.
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang
mempunyai GFR <15 ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt,
tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea
dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi
yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan, 5) komplikasi metabolik
yang refrakter. 7,9
2.2.4 Prinsip Kerja Hemodialisis

Pada CKD, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam


suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang
terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang

28
dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen
dialisat. Komparlemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi
larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang
terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah
dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses
dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi (Gambar
1).

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut
yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi
lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah.
Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan
konsentrasi di kedua komparlemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di
komparlemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di komparlemen cairan
dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan
darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2).

29
Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi
kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua komparlemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya,
selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi
komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini
cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem
komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat
sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang
terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam
darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus
dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan diaLisat perlu
dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat
membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati
membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat
menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan
klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat
berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga
agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat.
Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar
natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik
selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih

30
tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan
kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus
dan pasien akan cenderung untuk minun lebih banyak.
Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini
akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan
darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis
berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin,
heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang
paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus
diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di mana risiko perdarahan
sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin.
Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap
hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain ada juga dialisis
yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien
hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam
gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untk terjadinya
kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1 sampai 1,2
kg/BB/hari yang terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan
kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan.
karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak
dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi
40-l20 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan
tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong
pasien untuk minum.
Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka
morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur
dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan (Kt/V). URR dihitung
dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar
ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali

31
seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80V. Cara lain
menghitung adekuasi dengan menghitun Kt/V Terdapat rumus Dougirdas
untuk menghitung Kt/V dengan memasukkan nilai ureum pra dan
pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali
seminggu Kt/V dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8.
2.2.5 Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal
tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi
yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah
gangguan hemodinamik.
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil. 1,3,5

32
2. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy,
neurophaty, disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan
perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease.10

33
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : NMS
Umur : 73 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Denpasar
Agama : Hindu
Bangsa/Suku : Indonesia/Bali
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 15 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 20 November 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bengkak di kedua tungkai
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan rujukan dari RSAD Udayana, Denpasar ke UGD RSUP
Sanglah (15 November 2019) dengan keluhan bengkak pada kedua tungkai. Pasien
mengeluh bengkak dirasakan sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit (10
November 2019). Bengkak awalnya dirasakan muncul terlebih dahulu pada tungkai
kiri dan disusul dengan bengkak pada tungkai kanan, bengkak dirasakan semakin hari
semakin bertambah besar dan semakin mengkilat, tungkai dikatakan tidak terasa nyeri
dan tidak terasa panas. Pasien juga mengeluhkan terdapat nyeri pada kedua lutut sejak
kurang lebih 2 minggu yang lalu, keluhan nyeri ini dikatakan mengakibatkan pasien
sulit untuk berjalan. Lutut terasa nyeri juga dirasakan terasa agak kaku, nyeri pada

34
lutut lebih dirasakan saat beraktivitas. Demam dikatakan tidak ada, sesak dan batuk
tidak dirasakan oleh pasien.
Selain itu pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum masuk
Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Keluhan lemas dikatakan
mengakibatkan pasien enggan untuk beraktivitas. BAK dikatakan ± 4 – 5 hari dalam
sehari, dengan jumlah ± ¼ hingga ½ gelas per hari. Pasien mengatakan mampu
minum sehari sebanyak 2 botol akua sedang. BAB dikatakan normal dan adanya
BAB berwarna hitam disangkal oleh pasien. Keluhan nyeri perut, mual, muntah,
disangkal oleh pasien.

Ketika dilakukan pemeriksaan, pasien mengeluhkan masih adanya bengkak


pada kedua tungkai dan nyeri pada kedua lutut yang mengakibatkan pasien enggan
untuk beraktivitas. Pasien juga mengatakan merasa lemas dan tidak bertenaga. Lemas
dikatakan terus menerus, tidak membaik walaupun telah beristirahat. Keluhan sesak
disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 10 tahun yang lalu.
Pasien dikatakan minum obat amlodipin 1x1 dalam sehari namun tidak teratur.
Riwayat penyakit ginjal disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal memiliki riwayat
alergi terhadap makanan maupun obat – obatan tertentu.

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien memiliki riwayat penyakit jantung dan hipertensi sejumlah 2


orang. Dikatakan dari keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit
seperti keganasan pada ginjal, diabetes mellitus, serta penyakit paru.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan PNS. Sebelum sakit, pasien mengatakan
aktivitasnya dalam keseharian ialah diam di rumah, memasak, dan merawat cucu.
Namun semenjak sakit, pasien mengatakan mengalami penurunan aktivitas dan

35
enggan untuk memasak. Sehari-hari pasien mengatakan makan 3-4 kali per hari,
namun semenjak sakit nafsu makan menurun dan pasien juga mengaku lebih nyaman
untuk beristirahat dibandingkan beraktivitas. Riwayat merokok dan minum –
minuman beralkohol, dan konsumsi obat-obatan terlarang disangkal pasien. Pasien
tinggal satu rumah bersama anak dan menantunya, serta cucunya. Suami pasien
dikatakan telah lama meninggal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda-tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran/GCS : Compos Mentis/E4V5M6
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Laju Pernafasan : 20 x/menit
Suhu Aksila : 36.2 oC
Skor Nyeri : 1/10
Berat Badan : 74,8 kg
Tinggi Badan : 155 cm
BMI : 31,13 kg/m2
Status Gizi : Obesitas kelas I
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+) isokor 3mm/3mm
Leher : JVP PR ±0 pembesaran KGB (-)
THT
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)
Lidah : Oral plaque (-), atropi papil (-)

36
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Thoraks : Simetris statis dan dinamis
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi :
Batas kanan jantung : parasternal line dekstra
Batas kiri jantung : midclavicular line V sinistra
Batas bawah jantung : setinggi ICS IV
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N N , pergerakan simetris
N N
N N
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -


+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), scar (-), meteorismus (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak tidak teraba, nyeri
tekan pada suprapubic (-)
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas : Hangat + + Edema - - CRT < 2 detik
+ + + +

37
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
3.4.1 Darah Lengkap
Parameter Hasil Satuan Rentang Normal
(15/11) (17/11) (21/11)
WBC 9,76 10,19 12,00 10µ/µL 4,1-11
Ne 7,27 7,93 (77,88%) 9,76 10µ/µL 2,5-7,5 (47-
(74,52%) (81,34%) (%) 80%)
Ly 1,56 1,21 (11,91%) 1,34 10µ/µL 1-4 (13-
(16,01%) (11,18%) (%) 40%)
Mo 0,46 0,49 (4,83%) 0,64 (5,34%) 10µ/µL 0,1- 1,2 (2-11%)
(4,72%) (%)
Eo 0,41 0,44 (4,29) 0,17 (1,39%) 10µ/µL 0-0,5 (0,0-
(4,22%) (%) 5,0%)
Ba 0,05 0,11 (1,11) 0,09 (0,75%) 10µ/µL 0- 0,1 (0-2%)
(4,22%) (%)
RBC 2,49 2,29 3,56 106/μL 4- 5,2
HGB 6,78 6,64 9,98 g/dL 12-16
HCT 21,81 20,19 30,39 % 36-46
MCV 87,46 88,21 85.29 fL 80-100
MCH 27,17 29,01 28,00 Pg 26-34
MCHC 31,07 32,89 32,84 g/dL 31- 36
RDW 12,60 12,95 12,75 % 11,6-
14,8
PLT 354,20 353,40 333,50 103/μL 150-
440

38
3.4.2 Kimia Darah, Analisa Gas Darah, dan Elektrolit
Parameter Hasil Satuan Rentang Normal
(15/11) (20/11) (22/02)
SGOT 20,3 - 20,1 U/L 11-27
SGPT 19,10 - 15,10 U/L 11-34
Albumin 3,20 - 3,30 g/dl 3,40-4,80
Glukosa sewaktu 89 - 86 mg/dL 70- 140
BUN 90,40 54,70 39,30 mg/dL 8- 23
Kreatinin 6,39 4,24 4,11 mg/dL 0,7-1,2
Asam urat 8,7 - - mg/dL 2-7
Kalium 4,51 4,49 3,84 mmol/L 3,5- 5,1
Natrium 140 139 134 mmol/L 136- 145
pH 7,27 - - 7,35-7,45
pCO2 23,3 - - mmHg 35,99-45,00
PO2 96,7 - - mmol/L 24,00-30,00
HC03 10,5 - - mmol/L 22,00–26,00
Becf -16,3 - - Mmol/L -2 – 2
S02c 96,7 - - % 95%-100%
e-LFG 9,57 9,93 > = 90

3.4.3 Status Besi


Parameter Hasil Satuan Rentang
(17/11) Normal
Serum Iron 40,46 U/L 50-170
TIBC 164,00 U/L 261-478
Ferritin 244,80 g/dl 13-150

39
3.4.4 Foto Thorax AP Lateral

Foto Thorax AP:


Soft tissue tak tampak kelainan
Tulang-tulang: tampak osteofit pada CV thoracalis
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Cor: besar dan bentuk kesan normal, CTR 52% kalsifikasi aortic knob (+)
Pulmo: tidak tampak kelainan. Tidak tampak pneumotoraks
Tampak terpasang catheter double lumen dengan tip terproyeksi setinggi CV
Th 7
Kesan:
Aortosclerosis
Pulmo tak tampak kelainan, tak tampak pneumotoraks
Spondylosis thoracalis

40
Terpasang catheter double lumen dengan tip terproyeksi setinggi CV Th 7

Foto USG Abdomen Atas Bawah


Klinis: CKD st V

Hepar: ukuran tidak membesar, permukaan licin, sudut tajam, tepi rata, sistem
vaskuler dan bilier tampak normal, echoparenchym normal
GB: ukuran normal, dindin tidak menebal, tak tampak batu/sludge
Lien: ukuran normal, echoparencym normal
Pankreas: ukuran normal, echoparencym normal
Ginjal kanan: ukuran mengecil, echocortex meningkat, batas sinus cortex tak
jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu/massa, tampak
kista (+)
Ginjal kiri: ukuran mengecil, echocortex meningkat, batas sinus cortex tak
jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu/massa, tampak
kista (+)
Buli: terisi urine cukup, dinding buli tak tampak menebal, tak tampak
batu/massa

41
Uterus: sulit dievaluasi, tertutup gas usus
Adnexa kanan kiri: tidak tampak kista/nodul/massa
Kesan:
Nefritis kronik dengan kista multiple bilateral
Organ hepar, gb, lien, pankreas, buli saat ini tak tampak kelainan

Foto Genu Dextra Sinistra AP/ Lateral :

Genu Dextra :
Varus malalignment
Tampak osteophyte pada condylus medialis dan lateralis os femur dan tibia
dextra, dan pada os patella dextra aspek superoposterior
Tampak penyempitan celah sendi femorotibial medial dan lateral
dextra(dominan medial), disertai sclerotik pada plateu tibia medial dan lateral
dextra
Tampak fusi dari os patella dextra dengan distal os femur dextra

42
Tampak pula deposisi kalsium pada articular cartilage genu dextra
Densitas tulang menurun
Tak tampak erosi /destruksi tulang
Tak tampak jelas soft tissue swelling
Genu Sinistra :
Varus malalignment
Tampak osteophyte pada condylus medialis dan lateralis os femur dan tibia
sinistra, dan pada os patella sinistra aspek superoposterior
Tampak penyempitan celah sendi femorotibial medial dan lateral sinistra
(dominan medial), disertai sclerotik pada plateu tibia medial sinistra dan
subchondral condylus medialis os femur sinistra
Tampak pula deposisi kalsium pada articular cartilage genu sinistra
Densitas tulang menurun
Tak tampak erosi /destruksi tulang
Tak tampak jelas soft tissue swelling
Kesan:
OA genu grade III bilateral (sesuai Kellgren-Lawrence grading system)
dengan CPPD.
Bony ankylosing femoropatellar dextra.
Osteopenia.

3.5. Diagnosis Kerja


1. Chronic Kidney Disease (CKD) stage V ec Nefrosklerosis
- Anemia sedang normokromik normositer
- Hiperurisemia
1. Hipertensi Stadium I
2. Osteoarthritis Genu Bilateral fc III

43
3.6. Penatalaksanaan

- IVFD NaCl 0.9% 8 tpm


- Diet CKD 35 kkal/kgBB/hari + 0.8 g protein/kgBB/hari
- Allopurinol 100mg tiap 24 jam
- Paracetamol 500-750mg tiap 8 jam PO
- Pro hemodialisa
- Transfusi PRC 2 kolf on HD
- Captropril 12,5 mg tiap 8 jam
- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

3.7. Planning

- Darah Lengkap post transfusi


- Echo full study

3.8. Monitoring

Keluhan dan Tanda-tanda vital


Keseimbangan cairan

3.9. Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad Bonam


Ad Functionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam

3.10. KIE
 Memberikan informasi tentang penyakit dan kondisi pasien pada pasien dan
keluarganya secara lengkap.
 Memberikan edukasi tentang obat yang diminum kepada pasien dan keluarga
pasien serta terapi hemodialisis yang harus dilakukan secara rutin.

44
 Mengedukasi keluarga pasien untuk menjaga higienitas pasien dan lingkungan
rumah serta menjaga asupan nutrisi yang bergizi baik dan seimbang dan sesuai
dengan diet pada penyakit ginjal.

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien NMS, perempuan, usia 73 tahun datang dengan keluhan bengkak pada
kedua tungkai sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak awalnya dirasakan
muncul terlebih dahulu pada tungkai kiri dan disusul bengkak pada tungkai kanan,
bengkak dirasakan semakin hari semakin bertambah besar, tungkai dikatakan tidak
terasa nyeri dan tidak terasa panas.
Selain itu, pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak 3 hari sebelum
masuk Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Lemas dirasakan
sangat berat sehingga pasien memutuskan lebih banyak diam di rumah dan tidak
bekerja. Keluhan lemas awalnya terasa ringan dan hanya memberat saat melakukan
aktivitas. Keluhan tersebut awalnya membaik dengan istirahat, namun dalam 1
minggu terakhir keluhan tersebut menetap.
Dari anamnesis, keluhan baru dirasakan pertama kalinya oleh pasien. Pasien
menyangkal memiliki riwayat penyakit ginjal, serta diabetes melitus. Pada anamnesis
tersebut juga didapatkan pasien telah memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol
yang telah berlangsung sejak 10 tahun yang lalu yang menjadi salah satu faktor risiko
untuk terjadinya gagal ginjal. Pada pemeriksaan mata, didapatkan konjungtiva pasien
tampak pucat sehingga membuktikan tanda tanda anemis positif dimana ini
merupakan salah satu gejala uremia pada kerusakan fungsi ginjal. Pada pasien,
didapatkan pitting edema positif pada kedua tungkai. Dilakukan penekanan ringan
pada punggung kaki dan pada daerah tersebut didapatkan cekungan yang menetap.
Gambaran laboratorium CKD meliputi1:
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya;
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault

46
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin
(anemia), hiponatremia, hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
dan asidosis metabolik
4. Kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria dan
eritrosituria.
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia
sedang normokromik normositer (hemoglobin 9,23 g/dl, MCV 87,60 fL, MCH
28,84 pg). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar BUN
(54,70 mg/dl), peningkatan kreatinin (4,24 mg/dl) dan penurunan rumus kockroft
gault didapatkan LFG (10,89 ml/menit/1,73 m2).
Pada pemeriksaan analisis gas darah ditemukan adanya asidosis metabolik (pH 7,30,
pCO2 24,0 mmHg, pO2 127,90 mmHg, HCO3 -11,60 mmol/L, BEecf -14,9 mmol/L).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,
maka pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V on HD et causa Nefrosklerosis
karena secara klinis dijumpai 2 tanda klasik CKD yaitu anemia dan hipertensi,
ditambah penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG <15 ml/menit/1,73m2.
Penyebab Nefrosklerosis dipilih karena penderita memiliki riwayat penyakit
hipertensi tidak terkontrol sejak 10 tahun lalu.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan
stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2010). Selain itu
diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid
tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi
farmakologis),
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia, osteodistrofi renal,
pembatasan cairan dan elektrolit) dan

47
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat
laju filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens
kreatinin kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl)
dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi
pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal
yang lain adalah trasnplantasi ginjal.
Pada pasien ini diindikasikan untuk inisial HD untuk memperbaiki kondisi
klinis. Pasien juga diberikan diet CKD 1733 kkal/hari dengan 40 gram protein,
diberikan anti hipertensi golongan Ace inhibitor dan Beta Blocker (Captopril 12,5 mg
tiap 8 jam, bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam), diberikan allopurinol untuk nyeri lututnya
100mg tiap 24 jam. Pada pasien ini juga disarankan untuk rutin melakukan
hemodialisis reguler 2 kali dalam seminggu, kemudian pemeriksaan monitoring dan
evaluasi dari kadar hemoglobin selanjutnya ditentukan status anemia dan diberikan
asupan eritropoietin jika perlu, tujuannya mencegah perburukan klinis akibat hipoksia
karena kadar Hb menurun.

48
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit gagal ginjal kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis


dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang
bersifat ireversibel dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional
yang ditandai dengan penurunan LFG abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit
atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau
riwayat transplantasi ginjal.
Pada kasus ini pasien perempuan, 73 tahun berdasarkan anamnesis ditemukan
adanya bengkak pada kedua tangkai, lemas dan ada riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konjungtiva pucat yang
merupakan salah satu gejala uremia pada kerusakan fungsi ginjal. Ditemukan juga
pitting edema pada kedua tangkai yang menandakan retensi natrium dan air pada
kerusakan fungsi ginjal. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan penunjang pasien
mengalami anemia sedang normokromik normositer dengan Hb 9,23 mg/dL, MCV
87,60 fl dan MCH 28,84 pg serta terjadi penurunan LFG <15 yang menunjukkan
adanya PGK stadium 5.
Pasien didiagnosis penyakit ginjal kronis stadium V on HD ec Nefrosklerosis
dengan anemia sedang normokromik normositer, hiperurisemia, Hipertensi stadium 1
dan Osteoarthritis Genu Bilateral fc III. Pasien diterapi dengan diet CKD 1733
kkal/hari dengan 40 gram protein, dilakukan hemodialisis, diberikan anti hipertensi
golongan Ace inhibitor dan Beta Blocker (Captopril 12,5 mg tiap 8 jam, bisoprolol
1,25 mg tiap 24 jam), diberikan allopurinol untuk nyeri lututnya 100mg tiap 24 jam.

49
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1035-1040.
2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international
Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation
and management of CKD. 2013;3(1).
3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal Registry. 2014.
Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
4. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your
kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI); 2010.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870-
876.
6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and
Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014.
hal 1-63.
7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5. New
York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org
8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in
Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical Diabetes.2016
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010
10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik. Surabaya:
Gizi Indonesia; 2004.
11. PERNEFRI, 2011. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik.
Jakarta; PB PERNEFRI.

50

Anda mungkin juga menyukai