Anda di halaman 1dari 24

Lab.

Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok REFERAT


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DISFAGIA
HALAMAN JUDUL

Disusun Oleh :
Silvanus Giovanny B. A 2010017016

Pembimbing :
dr. Eva Susanti, Sp.T.H.T-K.L

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Disfagia”.
Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok Universitas Mulawarman RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih kepada dr. Eva
Susanti, Sp.T.H.T-K.L selaku dosen pembimbing referat yang telah memberikan
bimbingan dan saran dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan referat ini. Akhir
kata, semoga referat ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, 10 Juni 2021


Penulis,

Silvanus Giovanny B. A
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Tujuan.......................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
2.1 Anatomi Faring dan Esofagus................................................................2
2.1.1 Faring....................................................................................................2
2.1.2 Esofagus................................................................................................4
2.2 Fisiologi Menelan.....................................................................................5
2.2.1 Fase oral................................................................................................5
2.2.2 Fase Faringal........................................................................................6
2.2.2 Fase Esofagal........................................................................................6
2.3 Disfagia.....................................................................................................8
2.2.1 Definisi..................................................................................................8
2.2.2 Klasifikasi.............................................................................................8
2.2.3 Diagnosis.............................................................................................12
2.2.4 Tatalaksana........................................................................................15
BAB III..................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan.............................................................................................17
3.2 Saran...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Disfagia berasal dari kata Yunani yang berarti gangguan makan. Disfagia
biasanya mengacu pada kesulitan untuk makan sebagai akibat dari gangguan
dalam proses menelan. Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan
seseorang karena risiko pneumonia aspirasi, malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat
badan, dan obstruksi jalan napas. Sejumlah etiologi telah dikaitkan dengan
disfagia pada populasi dengan kondisi neurologis dan nonneurologis (Nam-Jong,
2020).
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi proses
menelan pada fase oral, faring, atau esofagus. Anamnesis secara menyeluruh dan
pemeriksaan fisik dengan teliti sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan
disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan leher, mulut, orofaring,
dan laring. Pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan (Soepardi, 2012).
Pemeriksaan endoskopi pada proses menelan mungkin diperlukan.
Gangguan menelan mulut dan faring biasanya memerlukan rehabilitasi, termasuk
modifikasi diet dan pelatihan teknik dan manuver menelan. Pembedahan jarang
diindikasikan untuk pasien dengan gangguan menelan. Pada pasien dengan
gangguan berat, makanan sulit melewati rongga mulut dan faring secara
keseluruhan dan pemberian nutrisi enteral mungkin diperlukan. Pilihan meliputi
gastrostomy endoskopi perkutan dan kateterisasi intermiten oroesophageal
(Shaheen, 2002).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan mengenai definisi hingga tatalaksana dari penyakit dengan
gejala Disfagia sehingga dapat dilakukan diagnosis dan penatalaksaan yang tepat,
terutama yang dapat dilakukan oleh dokter umum sebagai pelayanan kesehatan
tingkat pertama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring dan Esofagus


2.1.1 Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut
dengan kerongkongan, panjangnya sekitar 12 cm. Letaknya setinggi
vertebra servikalis IV ke bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Faring di
bentuk oleh jaringan yang kuat dan jaringan otot melingkar, kantung
fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas
dan sempit di bagian bawah (Tjoson, 2013). Di dalam faring terdapat
tonsil yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit
untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, menyaring dan mematikan
bakteri / mikroorganisme yang masuk melalui jalan pencernaan dan
pernafasan. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus
pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. Faring berlanjut ke
esofagus untuk pencernaan makanan (William F, 2001).

Gambar 2.1. Anatomi Faring (Thompson, 2018).


2.1.1.1 Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip
kubus, terletak di belakang rongga hidung, diatas tepi palatum
molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang
berhubungan dengan rongga hidung serta telinga tengah melalui
koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar
tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh
darah (Tjoson, 2013).
Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi
posterior atau disebut juga dengankoana. Dinding depan ini
merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan
kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum
nasi. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit
menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis
oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang
menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua.
Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan
atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat
meluas sampai ke muara tuba eustachius.
Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas
muskulus konstriktor
superior terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang
disebut bursa faring. Kantong ini sering membentuk kista dan
meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2
tahun adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia,
pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada usia 3-5 tahun dan sering
menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba
eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan
mengalami involusi setelah masa pubertas, akan tetapi jaringan
limfoid masih tetap ada.
Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas
palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian
bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus
faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang
terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia
faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding
lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan
tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius,
sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada
supero-posterior dari tuba. (Tjoson, 2013).
2.1.1.2 Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum
mole dan superior tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk
oleh inlet orofaringeal dan pangkal lidah, dan perbatasan posterior
dibentuk oleh otot-otot konstriktor superior dan media dan mukosa
faring. Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui
saluran masuk orofaringeal, yang menerima bolus makanan. Inlet
orofaringeal terbuat dari lipatan palatoglossal lateral, tepat di
anterior tonsil palatina. Lipatan itu sendiri terbuat dari otot
palatoglossus, yang berasal dari palatum mole itu sendiri dan
mukosa diatasnya Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah,
atau pangkal lidah, meneruskan perbatasan anterior orofaring.
Valekula, yang merupakan ruang antara pangkal lidah dan
epiglotis, membentuk perbatasan inferior dari orofaring. Ini
biasanya setara dengan tulang hyoid (Tjoson, 2013).
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang
tonsil palatina di fosa anterior yang dipisahkan oleh lipatan
palatoglossal dan posterior oleh lipatan palatopharyngeal. Tonsil
adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam respon imun
lokal untuk patogen oral (William F, 2001).
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring
adalah otot konstriktor faring superior dan menengah dan membran
mukosa diatasnya yang saling tumpang tindih. Saraf
glossopharingeus dan otot faring stylopharyngeus memasuki faring
pada perbatasan antara konstriktor superior dan tengah (William F,
2001).
2.1.1.3 Hipofaring
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat
tulang hyoid dan sfingter esofagus atas (Upper Esofagus
Sphincter/UES), dan otot krikofaringeus di bagian inferior.
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet
laring, yang meliputi epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic dan
tulang rawan arytenoid. Permukaan posterior dari kartilago
arytenoid dan pelat posterior kartilago krikoid merupakan
perbatasan anteroinferior dari hipofaring. Lateral kartilago
arytenoid, hipofaring terdiri dari kedua sinus Piriformis, yang
dibatasi oleh tulang rawan lateral tiroid.
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah
dan inferior dan selaput lendir diatasnya. Di bawahnya, sejajar
dengan kartilago krikoid, otot cricopharyngeus membentuk UES.
Otot ini kontraksi tonik selama istirahat dan relaksasi saat menelan
untuk memungkinkan bolus makanan masuk ke esofagus (Tjoson,
2013)

2.1.2 Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring
dengan lambung. Esofagus berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi
oleh jaringan merah muda yang lembab disebut mukosa. Esofagus
berjalan di belakang trakea dan jantung, dan di depan tulang belakang.
Tepat sebelum memasuki lambung, esofagus melewati diafragma
(Viswanatha, 2015).
Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus
di bagian atas esofagus. Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar
(involunter), digunakan ketika bernapas, makan, bersendawa, dan muntah.
Sfingter esofagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES)
adalah sekumpulan otot pada akhir bawah dari esofagus, yang mana
berbatasan langsung dengan gaster. Ketika LES ditutup, dapat mencegah
asam dan isi gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES tidak berada
di bawah kontrol volunteer (Hoffman, 2020)

Gambar 2.2 Anatomi Esofagus (Hoffman, 2020)

2.2 Fisiologi Menelan


Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal seperti berikut, (1) pembetukan
bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter
mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat
masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi, (4) mencegah
masuknya makanan dan minuman keadalam nasofaring dan laring, (5) kerjasama
yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong bolus makanan kearah
lambung, (6) usaha untuk membersihkan kembali esofagus. Proses menelan
merupakan proses dari beberapa organ yang berkesinambungan. (Soepardi, 2012)
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan
fase esofagal.
2.2.1 Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini
bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah
akibat kontraksi otot intrinsic lidah. Kontraksi muskulus levator veli
palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas,
palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring
(Passavant’s ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior
karena lidah terangkat keatas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan
nasofaring sebagai akibat kontraksi m. levator veli palatini. Selanjutnya
terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium
tertutup, diikuti oleh kontraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan
tidak akan berbalik ke rongga mulut (Soepardi, 2012).
2.2.2 Fase Faringal
Fase faringal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu
perpindahan bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring
bergerak ke atas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid
dan m.palatofaring. aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga
sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika
vokalis tertutup karena kontraksi m.ariepilotika dan m.aritenoid obligus.
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian aliran udara ke laring
karena reflex yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan
tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya, bolus makanan
akan meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis
sudah dalam keadaan lurus (Soepardi, 2012)
2.2.2 Fase Esofagal
Fase esofagal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus
ke lambung. Dalam keadaan istirahan introitus esofagus selalu tertutup.
Dengan adanya rangsangan bolus makanan pada akhir faringal, maka
terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan
bolus makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat,
maka sfingter akan berkonstraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus
esofagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke
faring.
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi
oleh kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringal.
Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan
peristaltic esofagus. Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian
bawah selalu tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan
di dalam lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.
Pada fase akhir esofagal sfingter ini akan terbuka secara reflex ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan
ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan
menutup kembali (Soepardi, 2012).
Gambar 2.3 Fisiologi Menelan (Soepardi, 2012)

Gambar 2. Anatomi Esofagus


2.3 Disfagia
2.2.1 Definisi
Disfagia merupakan keterlambatan abnormal pergerakan bolus makanan
dari orofaring ke lambung (Odufalu, 2018) Keluhan disfagia (kesulitan
menelan) akan timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan
dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung
(Soepardi, 2012)
2.2.2 Klasifikasi
2.2.2.1 Beradasarkan penyebab
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas disfagia
mekanik, disfagia motorik, disfagia oleh gangguan emosi.
Disfagia mekanik umumnya disebabkan oleh sumbatan
lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing. Penyebab lain
adalah akibat peradangan mukosa esofagus, striktur lumen
esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar,
misalnya oleh pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar
getah bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongsi
aorta. Letak arteri subklavia dekstra yang abnormal dapat
menyebabkan disfagia yang disebut disfagia lusoria. Disfagia
mekanik timbul bila terjadi penyempinan lumen esofagus. Pada
keadaan normal lumen esofagus orang dewasa dapat meregang
sampai 4 cm. keluhan disfagia mulai timbul bila dilatasi ini tidak
mencapai diameter 2,5 cm (Soepardi, 2012).
Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular
yang berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di
batang otak, kelainan saraf otak n.V, n,.VII, n.IX, n.X dan n.XII,
kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan persitaltik
esofagus dapat menyebabkan disfagia. Kelainan otot polos
esofagus yang dipersarafi oleh komponen parasimpatik n. vagus
dan neuron nonkolinergik pasca ganglion (post ganglionic
noncholinergic) di dalam ganglion mienterik akan menyebabkan
gangguan kontraksi dinding esofagus dan relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah, sehingga dapat timbul keluhan disfagia.
Penyebab utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme
difus esofagus, kelumpuhan otot faring dan scleroderma esophagus
(Soepardi, 2012).
Disfagia yang disebabkan gangguan emosi dapat timbul
pada tekanan jiwa yang berat, kelainan ini dikenal sebagai globus
histerikus (Soepardi, 2012)

2.2.2.2 Beradasarkan lokasi gangguan


Disfagia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi
terjadinya gangguan proses menelan yang terbagi menjadi disfagia
orofaringeal dan disfagia esophagus (Djojoningrat, 2014)
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan
bahan dari orofaring ke dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan
oleh fungsi abnormal dari proksimal ke kerongkongan. Pasien
mengeluh kesulitan memulai menelan, regurgitasi nasal, dan
aspirasi trakea diikuti oleh batuk (Hirano, 2012)
Disfagia orofaringeal (Oropharyngeal dysphagia/OPD)
terjadi ketika mekanisme orofaringeal dalam proses menelan yang,
dalam keadaan normal menjamin perjalanan lengkap bolus dari
mulut ke kerongkongan dan secara bersamaan melindungi jalan
napas, menjadi terganggu. Aspirasi pneumonia, malnutrisi, dan
kualitas hidup berkurang dapat terjadi akibat OPD. Walaupun
terdapat banyak penyebab OPD, kecelakaan serebrovaskular
merupakan penyebab kasus terbanyak, dan pneumonia aspirasi
merupakan penyebab umum kematian pada pasien ini. Kondisi
neurologis lain seperti penyakit Parkinson bertanggung jawab atas
sejumlah kasus OPD, dengan gangguan miopati dan lesi struktural
yang menjadi sebagian besar penyebab lainnya. Meskipun terdapat
banyak penyebab OPD, hasil akhir patofisiologis jatuh ke salah
satu dari dua kategori yang saling terkait: 1) kelainan transfer
bolus, dan 2) kelainan perlindungan jalan napas. Kelainan transfer
bolus dapat dikelompokkan lagi ke dalam yang disebabkan oleh: 1)
Kegagalan pompa orofaringeal, 2) gangguan koordinasi oral/faring,
dan 3) obstruksi aliran keluar faring (Hirano, 2012; Soepardi,
2012)
Gejala disfagia orofaringeal adalah ketidakmampuan untuk
menjaga bolus dalam rongga mulut, kesulitan mengumpulkan
bolus di belakang lidah, ragu-ragu atau ketidakmampuan untuk
memulai menelan, makanan menempel di tenggorokan, regurgitasi
nasal, ketidakmampuan untuk mendorong bolus makanan ke dalam
faring, kesulitan menelan makanan padat, sering menelan
berulang-ulang, sering membersihkan tenggorokan, suara
berkumur (gargly voice) setelah makan, suara serak, suara bindeng
(nasal speech) dan disartria, batuk saat menelan: sebelum, selama,
atau setelah menelan, menghindari makan bersama orang lain,
berat badan menurun dan pneumonia berulang (Hirano, 2012).
Etiologi disfagia fase orofaringeal antara lain : penyakit
pada sistem saraf pusat seperti stroke, trauma kepala, serebral palsi,
penyakit Parkinson, multiple sclerosis, dan penyakit neuromuscular
seperti poliomyelitis, dermatomyositis, myasthenia gravis,
muskular distrofi, myotonic muscular dystrophy (MMD), Limb
girdle syndrome, Duchenne muscular dystrophy. Penyakit motor
neuron juga dapat menyebabkan disfagia adalah amyotrophic
lateral sclerosis, congenital spinal muscular atrophy, dan
postpolio syndrome. Hal yang sama juga terjadi pada pasien
dengan tumor kepala leher dan keganasan yang telah menjalani
operasi, radiasi, maupun kemoterapi. Komplikasi radioterapi pada
keganasan nasofaring dapat mempengaruhi fungsi menelan seperti
terjadinya xerostomia, trismus, karies dentis, neuropati motorik dan
sensorik, fibrosis leher, pembentukan striktur dan nekrosis jaringan
(Djojoningrat, 2014; Soepardi, 2012).
Disfagia esofagus adalah kesulitan transportasi makanan ke
kerongkongan. Hal ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik
atau obstruksi mekanis. Disfagia esofagus mengacu pada sensasi
makanan menempel di pangkal tenggorokan atau dada. Integrasi
fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuromuskular
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik
dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus serta
persarafan intrinsic otot-otot esofagus bekerja dengan baik,
sehingga aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pusat
menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen
orofaring, otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas.
Oleh karna otot lurik esofagus dan sfingter esofagus bagian atas
juga mendapat persarafan dari inti motor N. Vagus, maka aktivitas
peristaltik esofagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi
sfingter esofagus bagian bawah terjadi akibat perenggangan
langsung dinding esofagus (Hirano, 2012)
Penyebab umum dari disfagia esophageal meliputi aklasia
yang merupakan ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk
relaksasi dan peristaltic esofagus berkurang sehingga bagian
proksimal dari tempat penyempitan akan melebar, proses penuaan
yang berkaitan dengan kecenderungan esofagus kehilangan
kekuatan otot dan koordinasi yang diperlukan dalam proses
menelan, striktur esofagus atau penyempitan pada esofagus yang
seringkali diakibatkan pembetukan jaringan parut yang disebabkan
penyakit gastroesphageal reflux, adanya tumor pada esofagus
ataupun disekitar esofagus dapat menyebabkan penekanan
sehingga menimbulkan disfagia, benda asing seperti potongan
makanan yang terlalu besar ataupun gigi palsu pada orang dewasa
dan mainan pada anak-anak juga dapat menimbulkan disfagia,
esophagitis eosinofilik yang berkaitan dengan akumulasi sel
eosinophil pada esofagus akibat respon inflamasi dari alergen,
scleroderma dapat menyebabkan kekakuan dan pengerasan
jaringan esofagus sehingga melemahkan sfingter esofagus bagian
bawah (Soepardi, 2012).
2.2.3 Diagnosis
2.2.3.1 Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang
cermat untuk menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang
menyembabkan timbulnya disfagia. Jenis makanan yang
menyebabkan disfagia dapat memberikan informasi kelainan yang
terjadi. Pada disfagia mekanik mula-mula kesulitan menelan hanya
terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus makanan
tersebut kadang-kadang perlu didorong dengan air dan pada
sumbatan yang lebih lanjut, cairan pun akan sulit ditelan. Bila
sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan, maka
harus dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus.
Sebaliknya pada disfagia motorik, yaitu pasien akalasia dan
spasme difus esofagus, keluan sulit menelan makanan padat dan
cairan terjadi dalam waktu yang bersamaan (Soepardi, 2012).
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas untuk diagnostik. Disfagia yang hilang
dalam beberapa hari dapat disebabkan oleh peradangan. Disfagia
yang terjadi dalam beberapa bulan dengan penurunan berat badan
yang cepat dicurigai adanya keganasan di esofagus. Bila disfagia
ini berlangsung bertahun-tahun untuk makanan padat perlu
dipikirkan adanya kelainan yang bersifat jinak atau di esofagus
bagian distal (lower esophageal muscular ring) (Soepardi, 2012).
Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan
kelainan esofagus bagian torakal, tetapi bila sumbatan terasa di
leher, maka kelainannya dapat di faring atau esofagus bagian
servikal (Djojoningrat, 2014)
Gejala lain yang menyertai disfagia, seperti masuknya
cairan ke dalam hidung waktu minum menandakan adanya
kelumpuhan otot-otot faring (Djojoningrat, 2014)
2.2.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan
meraba adanya massa tumor atau pembesaran kelenjar limfe yang
dapat menekan esofagus. Daerah rongga mulut perlu diteliti,
apakah ada tanda-tanda peradangan orofaring dan tonsil selain
adanya massa tumor yang dapat mengganggu proses menelan
(Soepardi, 2012). Selain itu diteliti adanya kelumpuhan otot lidah
dan arkus faring yang disebabkan oleh gangguan pusat menelan
maupun pada saraf otak n. V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII.
pembesaran jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri
dan pembesaran kelenjar limfe mediastinum juga dapat
menyebabkan keluhan disfagia (Philpott, 2017).
2.2.3.3 Pemeriksaan Penunjang
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan radiologi, esofagoskopi, dan
pemeriksaan manometric dapat dilakukan untuk menegakkan
penyebab keluhan disfagia (Mandelson, 2017).
Pemeriksaan penunjang foto polos esofagus dan yang
memakai zat kontras, dapat membantu menegakkan diagnosis
kelainan esofagus. Pemeriksaan ini tidak invasif. Dengan
pemeriksaan fluoroskopi, dapat dilihat kelenturan dinding esofagus,
adanya gangguan peristaltic, penekanan lumen esofagus dari luar,
isi lumen esofagus dan kadang-kadang kelainan mukosa esofagus.
Pemeriksaan kontras ganda dapat memperlihatkan karsinoma
stadium dini. Untuk memperlihatkan adanya gangguan motilitas
esofagus dibuat cine-film atau video tapenya. Tomogram dan CT
scan dapat mngevaluasi bentuk esofagus dan jaringan di sekitarnya.
MRI dapat membantu melihat kelainan di otak yang menyebabkan
disfagia motorik (Mandelson, 2017).
Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat
langsung isi lumen esofagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan
alat esofagoskop yang kaku (rigid esophagoscope) dan
esofagoskop yang lentur (flexible fiberoptic esophagoscope).
Karena pemeriksaan ini bersifat invasif maka perlu persiapan yang
baik. Dapat dilakukan anestesi lokal atau umum (Mandelson,
2017).
Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi
motorik esofagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen
esofagus dan tekanan sfingter esofagus dapat dinilai gerakan
peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif (Soepardi, 2012).
Pada disfagia fase orofaringeal terdapat pemeriksaan
khusus yang dapat dilakukan seperti Videoflouroskopi Swalow
Assessment (VFSS) dan Flexible Endoscopy Evaluation of
Swallowing (FEES).
Videoflouroskopi Swallow Assessment (VFSS) juga dikenal
sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah pemeriksaan yang
sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan
pada rongga mulut, faring, laring, dan esofagus bagian atas.
Pemeriksaan dilakukan menggunakan bolus kecil dengan berbagai
konsistensi yang dicampur dengan barium (Soepardi, 2012).
Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing (FEES)
merupakan pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan
menggunakan nasofaringoskop serat optic lentur. Pasien diberikan
berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai
padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses menelan
(Soepardi, 2012).
2.2.3.4 Diagnosis Banding

Gambar 2.4 Diagnosis Banding Disfagia (Wolf, 2009)

2.2.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan disfagia tergantung pada masing-masing
diagnosis penyakit penyebab keluhan disfagia tersebut, karena disfagia
hanya suatu gejala yang dikeluhkan dari sala satu manifestasi klinis dari
suatu penyakit (underlying disease). Pada gangguan menelan akibat
adanya massa, striktur, akalasia dll biasanya dilakukan terapi operatif.
Namun pada gangguan menelan akibat peradangan dapat diberikan
penatalaksanaan medikamentosa, seperti obat analgesic antipiretik dan anti
inflamasi (Mandelson, 2017).
Merujuk pada lokasi terjadinya disfagia, terdapat penatalaksanan
yang dapat di lakukan, penatalaksanaan pada disfagia orofaringeal yang
disebabkan kondisi sistem saraf umumnya sulit dilakukan, karena masalah
ini biasanya tidak dapat diperbaiki menggunakan obat ataupun tindakan
operatif (National Health Service UK, 2021).
Terdapat 3 cara utama untuk pengelolaan disfagia orofaring agar
tidak berkembang menjadi lebih buruk. (1) terapi menelan, dengan
melakukan speech and language therapist (SLT). (2) perubahan pola
makan, pada disfagia orofaring dapat diberikan makanan yang lembut dan
tambahan cairan agar nutrisi yang dibutuhan pasien tetap terpenuhi. (3)
Tabung makanan dapat digunakan untuk memberikan nutrisi saat pasien
memulihkan kemampuannya untuk menelan. Tabung makanan juga dapat
memudahkan pemberian obat-obatan oral ataupun kebutuhan pasien
lainnya. Terdapat 2 tipe dari tabung makanan yaitu, nasogastric tube dan
percutaneous endoscopic gastrotomy (PEG) tube (National Health Service
UK, 2021).
Penatalaksanaan untuk disfagia esofageal dilakukan berdasarkan
penyebab yang mendasarinya. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam
penatalaksanaan disfagia esofageal antara lain: (1) medikamentosa,
misalnya, proton pump inhibitor’s (PPIs) yang digunakan untuk mengatasi
gangguan pencernaan dan dapat meringankan gejala penyempitan atau
jaringan parut pada esofagus. (2) Botox kadang-kadang digunakan untuk
mengobati akalasia, karena memiliki efek melemaskan otot-otot yang
menegang. (3) tindakan operatif diperlukan dalam beberapa kondisi yang
dimana penggunaan medikamentosa tidak dapat membantu. Tindakan
operatif yang dapat dilakukan antara lain endoscopic dilatation dan
penggunaan stent (National Health Service UK, 2021).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan yang disadarinya dalam
mengalirkan makanan padat atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita
mengeluh sulit menelan atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Gangguan
pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari fase menelan yang
dipengaruhinya ataupun faktor lain yang mengakibatkan kesulitan untuk menelan
makanan. Gejala dan tanda yang menyertai disfagia menjadi penting agar dapat
membantu penegakkan diagnosis penyebab dari adanya keluhan gangguan
menelan ini. Penanganan disfagia bergantung pada penyebab yang mendasarinya.
Adapun tindakan yang dapat dilakukan adalah perubahan pola makan,
penggunaan tabung makanan, pemberian obat-obatan, hingga tindakan operatif.
3.2 Saran
Sebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter layanan primer yang
akan menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki pengetahuan, dan
keterampilan melakukan pemeriksaan guna membantu menegakkan diagnosis dari
penyakit dengan keluhan disfagia dan memberikan penanganan yang optimal bagi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Djojoningrat, D. (2014). Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam (VI, pp. 1732–1733). Jakarta: Interna Publishing.
Hirano, I. (2012). Dysphagia. In Harrison’s Principles of Internal Medicine (18th
ed.). New York: The McGraw-Hill Medical Companies.
Hoffman, M. (2020). Picture of the Esophagus. Retrieved June 7, 2021, from
WebMD website: https://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-
the-esophagus
Mandelson, M. (2017). Esophageal emergencies, gastroesophageal reflux disease,
and swallowed foreign bodies. In Tintinalli’s Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide (7th ed.). New York: The McGraw-Hill Medical
Companies.
Nam-Jong, P. (2020). Dysphagia. Retrieved June 7, 2021, from Medscape
website: http://emedicine.medscape.com/article/324096-overview#showall
National Health Service UK. (2021). Dysphagia (swallowing problems).
Retrieved June 8, 2021, from National Health Service website:
https://www.nhs.uk/conditions/swallowing-problems-dysphagia/treatment/
Odufalu, F. (2018). Dysphagia. Missouri Medicine, 115(3), 206–210.
Philpott, H. (2017). Dysphagia: Thinking Outside the Box. World Journal of
Gastroenterology, 23, 6942–6951.
Shaheen, N. (2002). Endoscopic Evaluation and Treatment of Swallowing
Disorders. Gastroenterology, 122(2), 585.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0016-5085(02)80331-6
Soepardi, E. (2012). Disfagia. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher (7th ed., pp. 244–252). Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Thompson, L. (2018). Carcinomas of the Nasopharynx and Oropharynx
Histopathology Reporting Guide.
Tjoson, T. (2013). Throat Anatomy. Retrieved June 7, 2021, from Medscape
website: https://emedicine.medscape.com/article/1899345-overview#showall
Viswanatha. (2015). Esophagus Anatomy. Retrieved June 7, 2021, from
Medscape website: https://emedicine.medscape.com/article/1948973-
overview
William F, G. (2001). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (20th ed.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wolf, D. C. (2009). Dhysphagia. In Clinical Methods: The History, Physical, and
Laboratory Examinations (3rd ed., pp. 430–433). Boston: Butterworths.

Anda mungkin juga menyukai