Anda di halaman 1dari 26

1

HIRSCHPRUNG’S DESEASE

Edi Saputra S

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
TAHUN 2017
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hirschsprung’s Disease atau dikenal dengan megakolon aganglionik
kongenital merupakan salah satu kelainan akibat obstruksi usus yang biasanya
terjadi pada neonatus akibat kegagalan relaksasi saat proses peristaltik.1 Penyakit
ini pertama kali diperkenalkan oleh Harald Hirschsprung pada tahun 1887 yang
timbul akibat kegagalan sel ganglion bermigrasi ke pleksus meinterikus
(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) pada kolon serta disebabkan oleh
hipertrofi berkas saraf di dinding usus mulai dari sfingter ani meluas hingga ke
arah proksimal dengan panjang yang bervariasi.2
Insiden penyakit Hirschsprung diperkirakan sekitar 1 : 5000 kelahiran dan
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan
4 : 1. Pasien dengan Down Syndrome dan yang mempunyai riwayat keluarga yang
mengalami penyakit Hirschsprung memiliki risiko besar untuk terjadinya penyakit
Hirschsprung. (2) Berdasarkan survei yang dilakukan oleh California Birth Defects
Monitoring Program pada tahun 1983-1997 mengemukakan bahwa angka
kejadian penyakit Hirschsprung di seluruh dunia berkisar 1,5 : 10.000 pada orang
kulit putih, 2,1 : 10.000 pada orang Afrika-Amerika, 1 : 10.000 kelahiran di
Hispanic dan 2,8 : 10.000 kelahiran di Asia.3
Penyakit ini merupakan penyebab tersering terjadinya gangguan pasase usus
pada bayi atau anak. Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada neonatus cukup
bulan dan jarang ditemukan pada anak prematur atau bersamaan dengan gejala
lain. Trias yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah terlambatnya pasase
pengeluaran mekonium pada bayi baru lahir (lebih dari 24 jam), perut kembung
dan muntah berwarna hijau.4
Neonatus cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan dari 37 minggu
sampai dengan 42 minggu (259-293 hari). Neonatus dengan masa kehamilan
kurang dari 37 minggu adalah neonatus kurang bulan, dan neonatus dengan masa
kehamilan lebih dari 42 minggu adalah neonatus lebih bulan. Dapat digunakan
dengan pemeriksaan New Ballard Score untuk mengetahui apakah neonatus
termasuk kurang bulan, cukup bulan, atau lebih bulan. Penilaian NBS menurut
3

Dubowitz ini adalah dengan menggunakan hasil penilaian maturitas neurologis


ditambah dengan maturitas fisik. Kemudian gabungan kedua nilai ini dicari masa
gestasinya dengan menggunakan grafik regresi linier. Hubungan antara usia
kehamilan dengan berat bayi lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan
intrauterin. Berat neonatus lahir apakah sesuai atau tidak dengan usia kehamilan
dapat dinilai dengan menggunakan grafik Lubchenco Grafik ini menunjukkan
standar baku berat badan neonatus sesuai dengan masa gestasinya.5

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : By. Mardiana
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 22 hari
Alamat : Lampineng Baitussalam, Aceh Besar
Agama : Islam
No CM : 1-08-36-90
4

Tanggal Masuk RS : 16 Mei 2016


Tanggal Pemeriksaan : 29 Mei 2016

2.2. Anamnesis

Keluhan Utama
Perut kembung

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar oleh ibunya ke IGD RSUDZA dengan keluhan perut
kembung sejak pasien berumur 7 hari. Keluhan kembung kemudian berkurang
setelah pasien BAB. BAB dikeluhkan sedikit-sedikit. Riwayat munth 2 kali,
berwarna kuning dan putih. Riwayat terlambat keluar meconium tidak ada, BAB
berlendir dan berdarah tidak ada. Nafsu makan baik.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga orang tua pasien yang memiliki keluhan seperti pasien.

Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien hanya diberikan asupan ASI eksklusif.

2.3. Vital sign (16 Mei 2016)


Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, bayi menangis
Sucking reflex : (+)
Grasping reflex : (+)
Heart rate : 140 kali/menit
Respiratory rate : 48 kali/menit
Temperatur : 36,70C
Berat badan : 2,5 kg
5

2.4. Pemeriksaan Fisik


Kepala

 Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), pupil


isokor 3mm/3mm, sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Dalam batas normal
 Hidung : Dalam batas normal
 Mulut : Sianosis (-)
 Leher : Dalam batas normal
 Thorax : Simetris, vesikuler, rhonchi (-/-), wheezing (-/-)
RR: 48 kali/menit
BJ I > BJ II, bising jantung (-), HR: 140 kali/menit
 Abdomen : Inspeksi : Cembung, darm countur (+), darm steifung
(-)
Auskultasi : Bising usus (+) 3 kali/menit
Palpasi : Distensi (+), nyeri (-), kesan massa (-)
Perkusi : Timpani
 Ekstremitas : Superior : pucat (-/-), edema (-/-)
Inferior : pucat (-/-), edema (-/-)
 Anogenital : Genitalia : labia mayora dan minora dalam batas
normal
Anus : anus (+)
Rectal toucher : sfinkter ani ketat,
ampula recti ketat,
feses (+),
menyemprot (+),
darah (-), lender (-)

2.5. Pemeriksaan Penunjang

2.5.1. Pemeriksaan Laboratorium (16 Mei 2016)


Jenis pemeriksaan Hasil Satuan
6

Hematologi
- Hemoglobin 13,0 g/dl
- Hematokrit
37 %
- Eritrosit
- Leukosit 4,0 106/mm3
- Trombosit
11,7 103/mm3
455 103/mm3
Hitung jenis
- Eosinofil 5 %
- Basofil
0 %
- Netrofil segmen
- Netrofil batang 32 %
- Limfosit
1 %
- Monosit
53 %
9 %

Elektrolit
- Natrium 140 mmol/L
- Kalium
5,2 mmol/L
- Klorida
103 mmol/L

Diabetes
- Gula darah sewaktu 79 mg/dl

Ginjal Hipertensi
- Ureum 61 mg/dl
- Kreatinin
1,24 mg/dl

Faal Hemostasis
Waktu Perdarahan 2 menit
Waktu Pembekuan 7 menit

2.5.2. Radiologi
a. Foto BNO (15 Mei 2016)
7

Kesimpulan: Kesuraman di distal e.c. peritonitis lokal, seggest Hirschsprung


Disease

b. Foto Barium Enema

Kesimpulan : foto barium enema tak tampak kelainan

2.6. Diagnosis
Hirschsprung’s Disease
8

2.7. Penatalaksanaan
- IVFD 4:1  33 cc/hari
- Inj. Cefotaxime 150 mg/12 jam
- Inj. Metamizole 35 mg/8 jam
- Washout 2x/hari

2.8. Planning
- Biopsi (Patologi Anatomi)
- Rencana operasi

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Penyakit Hirschsprung


Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon
kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus neonatal
(bayi berumur 0-28 hari).6 Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit dari usus
besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik.
Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan oleh sel-sel
saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan penyakit
Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang berfungsi mengontrol
kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa adanya sel-sel
ganglion (aganglionosis) otot-otot di bagian usus besar tidak dapat melakukan
gerak peristaltik (gerak mendorong keluar feses).7

3.2. Embriologi Kolon


Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi
dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima.
9

Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua
belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya
sel-sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam
migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf
yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.8
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang
membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah
menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestine, dimulai
dari membran dasar dan berakhir di lapisan muscular.8
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga
buah pita yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri
sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan
biasa disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak
intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium.8
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan
embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang
lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian
besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada
kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.9

3.3. Anatomi dan Fisiologi Kolon


Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar
lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin
dekat dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi
sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks
yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum
ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar
ke dalam usus halus. Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden,
dan sigmoid.
10

Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas
berturut-turut disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S.
Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan
rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang
dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir
dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani
eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9
inci).10
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan
proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air
dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa
feses yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon
mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang
dikeluarkan adalah 200 gram dan 80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri
dari residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan
mineral yang tidak terabsorpsi.10, 11

3.4. Epidemiologi
3.4.1 Distribusi dan Frekuensi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada
neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens
penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata
mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Sementara untuk distribusi ras
setara untuk bayi berkulit putih dan Amerika keturunan Afrika.
Penelitian yang dilakukan Iqbal dkk. (2010) di Rumah Sakit Sheikh Zayed,
Pakistan menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih tinggi pada anak
laki-laki (70,59% ; 12 dari 17 orang) daripada anak perempuan (29,41% ; 5 dari
17 orang). Penelitian tersebut juga menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung
11

lebih banyak ditemukan pada umur < 2 tahun (58,83% ; 10 dari 17 orang)
dibandingkan dengan umur > 2 tahun (41,17% ; 7 dari 10 orang).12
Berdasarkan penelitian Hidayat dalam kurun waktu 3 tahun (2005-2008) di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo terhadap 28 kasus penyakit Hirschsprung
menunjukkan proporsi jenis kelamin laki-laki adalah 42,85% (12 dari 28 kasus)
dan pada perempuan adalah 57,15% (16 dari 28 kasus).13
Menurut penelitian Kartono yang menangani penyakit Hirschsprung di RS
Cipto Mangunkusumo memperlihatkan proporsi penyakit Hirschprung lebih
banyak ditemukan pada pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71% (52 dari
175 orang) sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85% (40 dari 175
orang). Kartono juga mencatat penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 131
orang (74,85%) berjenis kelamin lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44
orang (25,15%).8
Hasil penelitian Sari di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2005-2009
tercatat ada 50 orang anak yang menderita penyakit Hirschsprung dan dijadikan
sampel penelitian. Dari 50 orang sampel tersebut, distribusi tertinggi pada
kelompok usia 0-2 tahun yaitu sebanyak 40 orang (80%). Ada 36 orang (72%)
berjenis kelamin laki-laki dan 14 orang (28%) berjenis kelamin perempuan yang
tercatat menderita penyakit Hirschsprung.14

3.4.2 Determinan Penyakit Hirschsprung

3.4.2.1. Faktor Bayi


Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan
terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah
satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).6

Riwayat Sindrom Down


Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang
paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah
Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan
12

penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah,
cacat jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.

3.4.2.2 Faktor Ibu


Umur
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan
Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mendekati masa menopause.

Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat
dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal).
Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau
incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat
dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.15

3.5 Etiologi
Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran gastrointestinal bagian
atas dan selanjutnya mengikuti serabut-serabut vagal yang telah ada ke kaudal.
Penyakit Hirschsprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti di suatu tempat
dan tidak mencapai rektum. Sel-sel neuroblas tersebut gagal bermigrasi ke dalam
dinding usus dan berkembang ke arah kraniokaudal di dalam dinding usus.16
Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab terjadinya penyakit
Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia
endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung. Gen lain yang berhubungan
dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari
faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan gen endothelin -3.17

3.6 Patofisiologi
13

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer


dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus
submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau
lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi
usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain itu,
kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala
klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses),
cairan, dan gas.18
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang
aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus
fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan
pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.
Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal
pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia
kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi
sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan
enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab
kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung.19

3.7 Gambaran Klinis


Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus,
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang ketika mekonium dapat dikeluarkan segera.8
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat
disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna hijau
disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan
gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans
14

neonatal, atau peritonitis intrauterine. Enterokolitis merupakan ancaman


komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung yang dapat
menyerang pada usia berapa saja namun yang paling tinggi saat usia dua-empat
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia satu minggu. Gejalanya berupa
diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai demam.18, 20

3.8 Penatalaksanaan
Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat
dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi
untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau
pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika
dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan
mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh.21
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
ganglionik dengan bagian bawah rektum.
Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson’s
sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal Endorectal
PullThrough, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur
Laparoskopic Pull-Through, prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.8
Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah
tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam
keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi
dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung.
Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan
resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum
secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus.21
15

3.9 Komplikasi 8
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan
atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter.
Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan
yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi
dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen
aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.
Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus
letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding
usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik
mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi
kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya
ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat
berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi. Proses kerusakan
dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian enterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang
dipergunakan Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel
sebesar 15,4% dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen
ada sebanyak 29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2
orang , muntah sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.
16

3.10 Prognosis
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.14, 22

3.11 Pencegahan
3.11.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer pada penderita HIrschsprung dapat dilakukan dengan
cara:
a. Health Promotion
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh
genetik yang tidak terlepas dari pola konsumsi serta asupan gizi dari ibu hamil
sehingga ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan disarankan
berhatihati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan alcohol yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap health promotion
ini, sebagai pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah perlunya
perhatian terhadap pola konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal kehamilan.
Menghindari mengkonsumsi makanan yang bersifat karsinogenik, mengikuti
penyuluhan mengenai konsumsi gizi seimbang serta olah raga dan istirahat yang
cukup.
b. Spesific Protection
Pada tahap ini pencegahan dilakukan walaupun belum dapat diketahui
adanya kelainan maupun tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit
Hirschsprung. Pencegahan lebig mengarah pada perlindungan terhadap ancaman
agent penyakitnya misalnya melakukan akses pelayanan Antenatal Care (ANC)
terutama pada skrining ibu hamil beresiko tinggi, imunisasi ibu hamil, pemberian
17

tablet tambah darah dan pemeriksaan rutin sebagai upaya deteksi dini obstetric
dengan komplikasi.

3.11.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder ditujukan guna mengetahui adanya penyakit
Hisrchsprung dan menegakkan diagnosis sedini mungkin. Keterlambatan
diagnosis dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan penyebab
kematian seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pada tahun 1946
Ehrenpreis menekankan bahwa diagnosa penyakit Hirschsprung dapat ditegakkan
pada masa neonatal. Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis
penyakit Hirschsprung. Dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan
fisik yang teliti, pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi
biopsi isap rektum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus
dapat ditegakkan.8, 18
a. Anamnesis 8
Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan anamnesis
adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang pada
umumnya keluar > 24 jam, muntah berwarna hijau, adanya obstipasi masa
neonatus. Jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut
kembung, dan pertumbuhan terhambat. Selain itu perlu diketahui adanya riwayat
keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-
laki terdahulu meninggal sebelum usia dua minggu dengan riwayat tidak dapat
defekasi.
b. Pemeriksaan Fisik 8
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi.
Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut anak sudah
kembali normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses,
kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus bagian bawah dan akan
terjadi pembusukan.
c. Pemeriksaan Radiologi 8, 18
18

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit


Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan
enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi
penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa penyakit
Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu
adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses ke arah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai
dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.
d. Pemeriksaan Patologi Anatomi 8
Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan melalui
prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada pleksus
myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Di samping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi
pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada
serabut saraf parasimpatik. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu
dua, tiga, dan lima sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap
meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap
rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.
19

BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien perempuan usia 22 hari datang diantar oleh ibunya ke IGD


RSUDZA dengan keluhan perut kembung sejak pasien berumur 7 hari. Kembung
kemudian berkurang setelah pasien BAB. BAB dikeluhkan hanya sedikit-sedikit
dan berwarna hitam. Riwayat terlambat keluar meconium (-). BAB berlendir dan
berdarah (-), muntah (-). Pasien lahir normal ditolong oleh bidan, cukup bulan.
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada
neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens
penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata
mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Sementara untuk distribusi ras
setara untuk bayi berkulit putih dan Amerika keturunan Afrika.18
Penelitian yang dilakukan Iqbal dkk. (2010) di Rumah Sakit Sheikh Zayed,
Pakistan menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung lebih tinggi pada anak
laki-laki (70,59% ; 12 dari 17 orang) daripada anak perempuan (29,41% ; 5 dari
17 orang). Penelitian tersebut juga menunjukkan proporsi penyakit Hirschsprung
20

lebih banyak ditemukan pada umur < 2 tahun (58,83% ; 10 dari 17 orang)
dibandingkan dengan umur > 2 tahun (41,17% ; 7 dari 10 orang).12
Berdasarkan penelitian Hidayat dalam kurun waktu 3 tahun (2005-2008) di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo terhadap 28 kasus penyakit Hirschsprung
menunjukkan proporsi jenis kelamin laki-laki adalah 42,85% (12 dari 28 kasus)
dan pada perempuan adalah 57,15% (16 dari 28 kasus).13
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling rentan
terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan salah
satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).6
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang
paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah
Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan
penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah,
cacat jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus,
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang ketika mekonium dapat dikeluarkan segera.8
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat
disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Muntah yang berwarna hijau
disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain dengan
gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans
neonatal, atau peritonitis intrauterine. Enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung yang dapat
menyerang pada usia berapa saja namun yang paling tinggi saat usia dua-empat
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia satu minggu. Gejalanya berupa
diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai demam.18, 20
21

Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan anamnesis


adalah adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang pada
umumnya keluar > 24 jam, muntah berwarna hijau, adanya obstipasi masa
neonatus. Jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut
kembung, dan pertumbuhan terhambat. Selain itu perlu diketahui adanya riwayat
keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-
laki terdahulu meninggal sebelum usia dua minggu dengan riwayat tidak dapat
defekasi. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalam usia
24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus penyakit Hirschsprung
mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan,
sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. (22)
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan adanya distensi abdomen,
darm countur, dan peningkatan peristaltik usus pada pemeriksaan fisik
abdomen. Sementara itu pada pemeriksaan fisik rekctal toucher didapatkan
feses yang menyemprot.
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus dan dapat
disebabkan oleh kelainan lain seperti atresia ileum. Distensi abdomen pada
penyakit hirschsprung dikarenakan seharusnya usus normal menerima persarafan
intrinsik dari sistem persarafan parasimpatis (kolinergik) dan simpatis
(adrenergik). Serabut saraf kolinergik menyebabkan perangsangan pada kolon
(kontraksi) dan menginhibisi sfingter ani. Sedangkan serabut saraf adrenergik
menginhibisi kolon (relaksasi) dan mengeksitasi sfingter ani. Selain itu SSE yang
terdapat di dalam dinding usus yang tersusun atas berbagai macam serabut
inhibisi Non-Adrenergik Non-Cholinergik (NANC) berfungsi dalam pengaturan
sekresi intestinal, motilitas, pertahanan mukosa dan respon imun. Sel-sel ganglion
mengkoordinasikan aktivitas muskular usus dengan cara menyeimbangkan sinyal-
sinyal yang diterima dari serabut-serabut adrenergik serta kolinergik dari serabut
SSE NANC. Pada penyakit Hirschsprung, sel-sel ini tidak ditemukan sehingga
koordinasi kontraksi dan relaksasi usus tidak terjadi. Kolinergik yang berlebihan
dianggap bertanggung jawab pada spastisitas dari segmen aganglionik. Asetilkolin
yang berlebihan akan menyebabkan produksi acetylkolinetrase meningkat pada
penyakit Hirschsprung. (1)
22

Ketiadaan serabut saraf inhibisi NANC dari sistem saraf enterik dan
transmitter neuropeptida seperti Vasoactive Intestine Peptide (VIP) dan Nitric
Oxide (NO) diduga menjadi penyebab ketidakseimbangan antara kolinergik dan
adrenergik pada penyakit Hirschsprung. VIP merupakan relaksan utama pada
sfingter ani interna. Sedangkan NO merupakan suatu transmitter yang berperan
(1; 7)
dalam penghambatan NANC berfungsi dalam mediasi relaksasi usus.
Ketiadaan inervasi parasimpatik menyebabkan adanya segmen usus yang
aganglionik yang menyebabkan tidak adanya gerakan mendorong sehingga
menimbulkan akumulasi isi intestinal dan distensi abdomen usus proksimal yang
membuat peristaltik menjadi abnormal dan terjadi konstipasi. (1)
Secara karakteristik, pada pasien hirschprung saat dilakukan pemeriksaan
colok dubur, kanal ani dan rektum terasa bebas dari feses dan terasa sempit serta
menjepit jari. (22) Sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar
dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi.
(3)

Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan hasil yang normal.


Sementara pada pemeriksaan BNO didapatkan kesimpulan adanya suspect
Hirschsprung Disease dan pada pemeriksaan barium enema tidak dijumpai adanya
kelainan.
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit
Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan
enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi
penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa penyakit
Hirschsprung adalah enema barium, dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu
adanya daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah
transisi.
23

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses ke arah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang tidak mengalami Hirschsprung namun disertai
dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.
Pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan tidak adanya ganglion pada
sediaan. Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan melalui
prosedur biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada pleksus
myenterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Di samping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi
pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan
immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada
serabut saraf parasimpatik. Biasanya biopsi hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu
dua, tiga, dan lima sentimeter proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap
meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap
rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.
Pasien dilakukan tindakan pembedahan setelah sebelumnya diberikan terapi
supportive berupa cairan dan antibiotok. Sampai pada saat ini, penyembuhan
penyakit Hirschsprung hanya dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-
tindakan medis dapat dilakukan tetapi untuk menangani distensi abdomen dengan
pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum.
Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk
menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh.21
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama
dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
24

kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
ganglionik dengan bagian bawah rektum.
Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson’s
sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal Endorectal
PullThrough, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur
Laparoskopic Pull-Through, prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.8
Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan, maka sejumlah
tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam
keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi
dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung.
Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan
resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum
secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus.21
Pasien sudah diperbolehkan untuk dipulangkan setelah beberapa hari pasca-
operasi. Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.22
25

DAFTAR PUSKA

1. Jasonni, Vincenzo and Prato, Alessio Pini. 2012. Hirschsprung's Disease.


[ed.] G. Buonocore. Italia : Springer-Verlag, Neonatology. A Practical
Apprroach to Neonatal Diseases, pp. 708-712.
2. Saha, AK, et al. Khulna. 2012. Neonatal Intestinal Obstruction : Patterns,
Problems and Outcome. Bang Med J, Vol. 45, pp. 6-10.
3. Montedonico, S and Puri, Prem. 2008. Pathophysiology of Hirschsprung's
Disease. [book auth.] Holschneider and Prem Puri. Hirschsprung's
Disease and Allied Disorder. 3. New York : Springer, pp. 95-103.
4. Hassan, Rusepno and Alatas, Husein. 1998. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Percetakan INFOMEDIKA.
5. Stella, C. 2012. Neonatus Cukup Bulan Sesuai Masa Kehamilan. Fakultas
Kedokteran Universitas Krida Wacana.
6. Greene, E. 2010. Hirschsprung Disease : A Personal Perspective.
www.springer.com/cda/content/.../cda.../9783540339342-c1.pdf.
7. Kedokteran UGM. 2010. Megacolon Congenital/Hirschsprung Disease.
http://dokterugm.wordpress.com/2010/04/27/megacolon-
congenitalhirschprung-disease/.
8. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.
Jakarta
9. Pieter, J. dkk., 1997. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam
: Buku Ajar Ilmu Bedah. Cetakan Pertama. EGC. Jakarta.
10. Lindseth, G. N., 2006. Gangguan Usus Besar. Dalam Patofisiologi. Edisi
Keenam. EGC. Jakarta.
26

11. Guyton, A. C., 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Cetakan Pertama.
EGC. Jakarta.
12. Iqbal, M. Z. dkk., 2010. Hirschsprung Disease. Professional Med J Jun
2010;17(2) : 223-231. http://www.theprofesional.com/article/APRJUN-
2010/1585.pdf.
13. Hidayat M. dkk., 2009. Anorectal Function Of Hirsphrung’s Patients After
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2
No.2 April-June 2009.
14. Sari, K. A., 2009. Gambaran Penderita Hirschsprung pada Usia 0-14
Tahun di RSUP H. Adam Malik Medan 2005-2009. Skripsi FK USU.
Medan.
15. Tarigan, J.B. 2009. Konformitas Perkawinan Semarga (Sumbang) pada
Batak Karo. Skripsi FISIP USU. Medan.
16. Sodikin, 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier.
Salemba Medika. Jakarta.
17. Eketjall, S. dan Carlos F. I., 2002. Functional Characterization of
Mutations in the GDNF gene of Patients with Hirschsprung Disease.
Human Molecular Genetics, 2002, Vol. 11, No.3 hal. 325-32.
18. Behrman, R. E. dan William T. S., 1995. Penyakit Hirschsprung. Dalam :
Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Cetakan Ketiga. EGC. Jakarta.
19. Markum, A. H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
20. Irwan, B., 2003. Pengamatan Fungsi Anorektal pada Penderita Penyakit
Hirschsprung Pasca Operasi Pull-Through. Tesis Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
21. Sacharin, R. M., 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi Kedua. EGC.
Jakarta.
22. Matei, P., 2008. Hirschsprung’s Disease. Dalam : Pediatric
Gastroenterology. Edisi Pertama. Mosby Elsevier. Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai