Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES RETROFARING

I. Konsep Penyakit Abses Retrofaring


1.1 Definisi
Abses retrofaring merupakan suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada
leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi
pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid,
nasofaring, dan sinus paranasalis yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.
Abses retrofaring adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
akumulasi nanah dibelakang tenggorokan yang menyebabkan kesulitan
bernafas. Kondisi ini dapat terjadi ketika atau segera setelah infeksi
tenggorokan. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi pada saluran pernafasan
atas yang menyebabkan adenitis (peradangan kelenjar-kelenjar di leher atau
kelenjar getah bening) di retrofaring. Nanah menyebar, menyebabkan
terbentuknya suatu abses. Ada 2 tipe abses retrofaring: akut dan kronis.
Abses retrofaring akut berasal dari nanah yang menyebar pada kelenjar
getah bening retrofaring yang berasal dari tonsil, adenoit dan gigi yang
terinfeksi atau akibat penetrasi benda asing. Sedangkan abses retrofaring
kronis jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh tuberkulosis pada tulang
belakang.
Abses retrofaring umumnya menyerang anak-anak dibawah 5 tahun,Tetapi
dapat pula terjadi pada semua usia.Meskipun merupakan komisi medis
yang berpotensi mengancam jiwa karena dapat menutup jalan nafas,dengan
perawatan yang tepat kesembuhan yang sempurna dapat tercapai.
1.2 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring adalah:
1. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenetis retrofaring.
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan
atau tindakan medis seperti adenoidektomi,intubasi endoktrakea,dan
endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Pada banyak kasus sering ditemukan adanya kuman aerob dan anaerob
secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses
retrofaring adalah:
1. Bakteri aerob: streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering)
streptococcus pneumonia, streptococcus non hemolyticus,
staphylococcus aureus, Haemophillus sp;
2. Bakteri anaerob: Bacteroides sp, veilonella, peptostreptococcus,
Fusobacteria.
1.3 Tanda Gejala
Pasien dengan abses retrofaring akut dapat menunjukkan tanda-tanda
obstruksi jalan nafas tetapi hal ini jarang terjadi. Meskipun demikian,
pasien yang awalnya tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas
dapat berkembang menjadi obstruksi jalan nafas.
Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantumg pada tingkat
penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher, (terutama
saat digerakkan) atau tortikolis,disfagia, iritabilitas, malaise, dan
odinofagia. Odinofagia menyebabkan drooling, intake oral yang buruk ,
dan anoreksia. Gejala minor lain misalnya trismus,disfonia, stridor,dan
sleep apnea,. Anak dapat telihat menarik-narik telinga atau tenggorokan
yang menunjukkan adanya nyeri.
Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan
disfagia tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan
komorbiditas seperti diabetes mellitus dan melakukan control glukosa
darah apabila ditemukan. Hampir sepertiga pasien dengan abses leher
dalam memiliki diabetes mellitus.
Gangguan terhadap jalan nafas biasanya tampak dengan gejala dispneu,
distress pernafasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-
tanda seperti takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju
pernapasan yang cepat dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan
jalan nafas.
Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkolosis
biasanya timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang
leher. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan pada garis tengah
(tipe sentral). Dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang berberfluktuasi
dengan tanda inflamasi yang minimal.
1.4 Patofisiologi
Ruang retrofaring berada di anterior fasia prevertebra yang berjalan inferior
dari basis krani sepanjang faring. Ruang ini merupakan lanjutan ruang
parafaring dan fossa infratemporal. Ruang retrofaring dan parafaring
dipisahkan oleh fasia alar, yang merupakan barier yang kurang efektif
terhadap penyebaran infeksi. Ruang retrofaring berhubungan dengan
mediastinum superior dan posterior, sehingga dapat menjadi jalur yang
potensial penyebaran infeksi ke thoraks.
Ruang retrrofaring terdiri dari jaringan areolar dan cincin limfe, sehingga
dapat mengikuti pergerakan faring dan esophagus pada saat menelan.
Kelenjar limfe retrofaring menerima aliran limfe dari hidung, sinus
paranasalis, tuba eustachius, dan faring. Pembentukan pus pada kelenjar
lime retrofaring pada umumnya terlokalisir dengan baik, sehingga
penyebaran vertical dari infeksi biasanya terjadi setelah beberapa waktu
dalam progresi penyakit, meskipun keadaan ini jarang terjadi pada
praktiknya. Sebagian besar gejala abses retrofaring berubungan obstruksi
saluran nafas bagian atas dan iritasi lokal otot (misalnya sternomastoid dan
pteridoid).
Danger space berada diantara ruang retrofaring dan prevertebra yang
dipisahkan oleh dua komponen yaitu fasia alar dan fasia prevertebra. Hal
ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi diantara basis kranii dan
mediatinum posterior sampai pada level diafragma.
Ruang retrofaring dapat mengalami infeksi yang berkembang menjadi
abses meelalui dua cara, yaitu penyebaran infeksi melalui aliran limfe
(sebagian besar) secara lokal dari sumber infeksi atau inokulasi langsung
bakteri melalui trauma tembus atau benda asing.
Pada anak, abses retrofaring akut paling banyak disebabkan infeksi saluran
pernafasan atas seperti tonsillitis dan faringitis, sinusitis paranasalis, otitis
media, dan infeksi gigi yang kemudian menyebar dan menyebabkan
limfadenopati retrofaring. Limfadenopati retrofaring kemudian
menyebabkan abses retrofaring akibat supurasi kelenjar getah bening
nasofaring. Hal ini merupakan alasan abses retrofaring yang disebabkan
oleh proses non-traumatik jarang ditemukan pada orang dewasa karena
kelenjar getah bening retrofaring telah mengalami regresi.
Abses retrofaring akut pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh
inokulasi langsung patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang
disebabkan trauma pada faring atau esophagus akibat tertelan benda asing
atau prosedur medis yang traumatik seperti endoskopi, laringoskopi direk,
maupun intubasi endotrakeal. Penyakit-penyakit seperti diabetes mellitus,
keganasan, alkoholisme kronik, dan AIDS dilaporkan sebagai predisposisi
abses retrofaring pada orang dewasa.
1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis abses retrtofaring antara lain:
1. Pemeriksaan laju endap darah
- Menemukan derajat penyakit inflamasi apabila tidak ditemukan
netrofilia yang signifikan.
Hasil: leukositosis (terutama netrofil) meningkat
2. CT scan leher dengan kontras
- Pemeriksaan definitive
- Mengkonfirmasi adanya abses dan membantu dalam merencanakan
approach tindakan bedah. Adanya udara di dalam atau di sebelah
akumulasi cairan atau udara bebas yang berlebih diantara fascia
leher sangat predektif untuk abses.
Hasil: lesi hipodens dikelilingi cincin pada rongga retrofaring
3. Foto polos servikal soft tissue lateral
- Dilakukan apabila terdapat kecurigaan tetapi tidak tersedia CT scan
tetapi dapat dilakukan sebelum CT scan apabila kecurigaan tinggi
terhadap abses retrofaring.
Hasil: pembengkakan pada ruang prevertebra (> 7mm pada C2 dan >
14 mm pada C6)
4. Pemeriksaan dengan anastesi
- Dilakukan apabila kecurigaan tinggi dan terdapat gangguan jalan
nafas atau apabila tidak terdapat fasilitas CT scan.
- Juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tetapi hasil pencitraan
tidak konsisten dengan abses retrofaring. Pemeriksaan ini dapat
mengkonfirmasi diagnosis dan langsung dilakukan insisi transoral
dan drainase serta pengambilan pus untuk kultur.
Hasil: bulging pada dinding posterior orofaring.
5. Kultur pus
- Pus yang didapatkan dari drainese dilakukan kultur dan uji
sensitivitas antibiotic
Hasil: positif terhadap organisme penyebab.
1.6 Komplikasi
Komplikasi seringkali terjadi akibat keterlambatan diagnosa dan terapi.
Komplikasi yang berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah
terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic
vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan massif yang tiba-tiba akibat
dari erosi arteri karotis interna.
Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan awal yang
kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana
akan dibuat untuk drainase dari abses maka identifikasi arteri karotis
interna harus dilakukan. Dengan demikian, jika terjadi perdarahan ketika
dilakukan drainase abses, maka dapat segera dilakukan ligasi arteri karotis
interna atau arteri karotis komunis.
1. Komplikasi Infeksi :
- Erosi A. carotid dan perdarahan
- Trombosis V. jugularis
- Trombosis sinus cavernosus
- Edema laring
- Mediastinitis
- Septikemia
2. Komplikasi Bedah :
- Kerusakan neurovaskular
- Aspirasi
- Septikemia
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas
dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi rupture, sehingga terjadi
perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul
tromboflebitis dan septikemia.
Komplikasi yang berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah
terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic
vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan massif yang tiba-tiba akibat
dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini dapat member kesan
dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar). Jika
diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan dibuat untuk drainase dari
abses maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan
demikian, jika terjadi perdarahan ketika dilakukan drainase abses, maka
dapat segera dilakukan ligasi arteri karotis interna atau arteri karotis
komunis.
1.7 Penatalaksanaan
1. Tindakan prahospital
Pemberian oksigen dan tindakan untuk memastikan potensi jalan napas
merupakan komponen penting pra-hospital pada pasien dengan
kecurigaan abses retrofaring. Apabila pasien menunjukkan tanda
distress pernapasan posisikan dalam sniffing position. Kadang-kadang
intubasi endotrakeal atau krikotirotomi dibutuhkan apabila pasien
menunjukkan tanda obstruksi jalan nafas atas.
2. Tindakan di ruang emergensi
Manajemen emergensi abses retrofaring termasuk patensi jalan napas,
resusitasi cairan apabila dibutuhkan, antibiotik, dan persiapan operasi
emergensi. Monitoring tanda vital dan saturasi oksigen penting untuk
dilakukan.
- Manajemen jalan nafas
o Berikan tambahan oksigen
o Intubasi endotrakeal dibutuhkan apabila pasien menunjukkan
tanda obstruksi jalan nafas atas. Intubasi dapat sulit untuk
dilakukan akibat edema
o Krikotirotomi (surgical atau needle) dapat dibutuhkan pada
pasien dengan obstruksi jalan napas atas yang tidak dapat
diintubasi. Trakeostomi dapat dibutuhkan untuk manajemen
jalan nafas definitive.
- Cairan intravena dibutuhkan apabila pasien mengalami dehidrasi
akibat demam dan intake oral yang buruk
3. Tindakan definitive
a. Medikamentosa
Pemberian antibiotik secara paranteral diberikan secepatnya tanpa
menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus
mencakup terhadap kuman aerob dan aerob, gram positif dan gram
negatif. Pilihan antibiotik lini pertama adalah clyndamycin dengan
Aminoglikosida atau penicili-nase-resistant penicillin seperti
Ticarcillin/clavulanate, piveracillin/ tazobactam, dan
ampicillin/sulbactam dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
ketiga dan metronidazole. Clindamycin dan metronidazole tidak
boleh digunakan sebagai terapi tunggal. Terapi antibiotik dapat
dibrikan selama sekitar 10 hari. Untuk abses retrofaring kronik
pasien diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan tindakan
operatif seperti aspirasi atau insisi dan drainase abses.
b. Operatif
Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle
aspiration) atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan
melalui dua pendekatan:
1) Pendekatan internal atau transoral
Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien
diletakkan pada posisi trendelenburg dimana leher dalam
keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi
vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi dan
pus yang keluar harus segera di hisap dengan alat pengisap
untuk menghindari aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan porsep
atau klem arteri untuk memudahkan evakuasi pus. Kekurangan
dari pendekatan ini terkait dengan resiko aspirasi isi abses.
Pendekatan intaoral dapat sulit dilakukan untuk abses yang
letaknya superior atau lateral.
2) Pendekatan eksternal atau transervikal
Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior
dilakukan untuk abses yang besar dan meluas ke arah
hipofaring. Kelemahan dari teknik ini adalah waktu pemulihan
yang lebih lama dan terdapat kemungkinan komplikasi cidera
terhadap nervus kranialis dan pembuluh darah besar.
Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara
horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau
pertengahan antara os hyoid dan klavikula. Kulit dan subkutis
dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m
sternokleidomastoid dilakukan insisi pada batas anterior m
sternokleidomastoid. Dengan menggunakan klem arteri,
bengkok, m sternokleidomastoid dan selubung karotis
disisihkan kearah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam
tumpul, abses dibuka dan pus di keluarkan. Bila diperlukan
insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain (penrose
drain).
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada
batas posterior m. sternokleidomastoid. Kepala diputar kearah
yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.
sternokleidomastoid diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi
tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.

II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Abses Retrofaring


2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Kesehatan
Hal – hal yang perlu dikaji di antaranya adalah :
- Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali,
sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan.
- Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau
terkena peluru.
- Riwayat infeksi (suhu tinggi) sebelumnya yang secara cepat
menunjukkan rasa sakit diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa
dikeluarkan.
2.1.2 Pemeriksaan Fisik: Data Fokus
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
- Luka terbuka atau tertutup
- Organ / jaringan terinfeksi
- Massa eksudat dengan bermata
- Peradangan dan berwarna pink hingga kemerahan
- Abses superficial dengan ukuran bervariasi
- Rasa sakit dan bila dipalpasi akan terasa fluktuaktif.
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang
- Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel
darah putih.
- Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan
pemeriksaan rontgen, USG, CT, Scan, atau MRI.
2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnosa 1: Hipertermia
2.2.1 Definisi
Peningkatan suhu tubuh di atas rentang normal (Wilkinson dan
Ahern, 2011).
2.2.2 Batasan karakteristik
 Kulit merah
 Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal
 Frekuensi nafas meningkat
 Kejang atau konvulsi
 Kulit teraba hangat
 Takikardia
 Takipnea
2.2.3 Faktor yang berhubungan
 Dehidrasi
 Penyakit atau trauma
 Ketidakmampuan atau penurunan kemmpuan untuk berkeringat
 Pakaian yang tidak tepat
 Peningkatan laju metabolisme
 Obat atau anastesi
 Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
 Aktivitas yang berlebihan
Diagnosa 2: Nyeri Akut
2.2.4 Definisi
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau
digambarkan dengan istilah seperti (International Association for the
Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas
ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat
diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan (Wilkinson dan
Ahern, 2011).
2.2.5 Batasan karakteristik
 Mengomunikasikan deskriptor nyeri (misalnya rasa tidak
nyaman, mual, berkeringat malam hari, kram otot, gatal kulit,
mati rasa, dan kesemutan pada ekstermitas)
 Menyeringai
 Rentang perhatian terbatas
 Pucat
 Menarik diri
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Agen-agen pnyebab cidera (misalnya biologi, kimia, fisik, dan
psikologis)
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Hipertermia
2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
 Menunjukkan tingkat termoregulaasi yang membaik.
2.3.2 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
 Terapi demam: penatalaksanaan pasien yang mengalami
hiperpireksia akibat faktor selain lingkungan.
 Kewaspadaan hipertermia maligna: pencegahan atau penurunan
respons hipermetabolik terhadap obat-obat farmakologis yang
digunakan selama pembedahan.
 Regulasi suhu: mencapai atau mempertahankan suhu tubuh
dalam rentang normal.
 Pemantauan tanda vital: mengumpulkan dan menganalisis data
kardiovaskular, pernafasan dan suhu tubuh untuk menentukan
serta mencegah komplikasi.
Diagnosa 2: Nyeri Akut
2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria): berdasarkan
NOC
 Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif
untuk mencapai kenyamanan
 Mempertahankan tingkat nyeri atau mengurangi.
 Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologis.
 Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernafasan,
frekuensi jantung, atau tekanan darah.
2.3.4 Intervensi Keperawatan dan Rasional: berdasarkan NIC
 Pemberian analgetik: menggunakan agen-agen farmakologi
untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.
 Manajeman medikasi: memfasilitasi penggunaan obat resep atau
obat bebas secara aman dan efektif.
 Manajeman nyeri: meringankan atau mengurangi nyeri sampai
tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien.
 Manajemen sedasi: memberikan sedatif, memantau respon
pasien, dan memberi dukungan fisiologis yang dibutuhkan
selama prosedur diagnostik atau terapeutik.
III. Daftar Pustaka
Puspa-sisca, 2012 scribd referat abses retrofaring. Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman Samarinda
Pandusetia, Adji, 2015 scribd askep abses
Rambe, A.Y.2003. Abses Retrofaring. Fakultas kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Wilkison, J.,M. & Ahern N.,R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta: EGC.
Gadre AK, Gadre KC. 2006. Infection of the deep Space of the neck.
Otolaryngology Head and neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
JB.Lippincott Company.
Adams GL. 1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. In: enam k,
editor. Boies: Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran;
Fachruddin D. 2011. Abses leher dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. ke enam ed. Jakarta: Balai Penerbit
FK-UI.

Banjarmasin, ..................................2016
Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

................................................... ...................................................

Anda mungkin juga menyukai