Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Akalasia didefinisikan sebagai gangguan motilitas esofagus ditandai

dengan aperistalsis atau gangguan peristalsis esofagus dan relaksasi yang

inadekuat pada sfingter esofagus bagian bawah (lower esophageal sphincter/LES)

yang disebabkan karena kerusakan pleksus myenterikus.1,2

Gambar 1. Akalasia esofagus

B. Anatomi Esofagus

Esofagus manusia dewasa merupakan tabung muskuler panjang sekitar 25

cm yang terdiri atas bagian servikal, torakal, dan abdominal. Otot esofagus

sepertiga bagian atas adalah otot serat lintang yang berhubungan erat dengan otot-

otot faring, sedangkan dua pertiga bagian bawah adalah otot polos yang terdiri

3
atas otot sirkular dan otot longitudinal seperti ditemukan pada saluran cerna

lainnya.8,9

Gambar 2. Anatomi esofagus

Spingter esofagus (LES) merupakan zona tekanan tinggi yang terletak di

bagian esofagus yang menyatu dengan perut. LES adalah spingter fungsional

terdiri dari komponen intrinsik dan ekstrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri dari

otot diafragma yang berfungsi sebagai ajuvan spingter eksternal. Saraf motorik

esofagus didominasi saraf vagus.8

Otot polos esofagus distal dan LES dipersarafi oleh preganglionik, serat

kolinergik yang berasal dari inti motorik dorsal (Dorsal Motorik Neuron/DMN) di

batang otak dan berakhir di pleksus myenterikus (Auerbach). Ganglia pleksus

myenterikus terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkuler dan neuron

postganglion menginervasi dinding esofagus dan LES. Rangsangan neuron

4
postganglion melepaskan asetilkolin sedangkan neuron inhibisi postganglion

melepaskan oksida nitrat (NO) dan polipeptida vasoaktif intestinal (VIP). Dalam

kondisi istirahat (di antara menelan) LES berada dalam keadaan kontraksi tonik.

Menelan berkaitan dengan aktivasi refleks telan paksa. Setelah diaktifkan oleh

refleks ini, pusat neuron telan mengirim debit bermotif inhibisi dan dan eksitasi ke

inti motor dari saraf kranial. Jalur inhibisi neuron diaktifkan dan mengakibatkan

penghambatan semua kegiatan yang sedang berlangsung di esofagus dan relaksasi

LES. Peristaltik merupakan hasil dari relaksasi terkoordinasi dan kontraksi yang

dimediasi oleh neuron pleksus myenterikus inhibisi dan eksitasi di sepanjang

esofagus.8

Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus

vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus myenterikus

Auerbach yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang

esofagus. Penyempitan esofagus tepat di atas lambung menyebabkan peningkatan

dilatasi esofagus secara bertahap di dada atas. Akalasia kemudian dapat berlanjut

secara perlahan.8,9

C. Etiologi

Menurut etiologinya, akalasia dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu:

1. Akalasia primer (yang paling sering ditemukan)

Akalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau

sebagian sel ganglion inhibitor pada pleksus myenterikus (Auerbachs)

pada esofagus. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara neuron

5
eksitatorik dan neuron inhibitorik yang menyebabkan sfingter esofagus

bawah tidak dapat berelaksasi.9,10

Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus

neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang

otak dan ganglia myenterikus pada esofagus. Di samping itu, faktor

keturunan juga cukup berpengaruh pada kelainan ini. 9,10

2. Akalasia sekunder (jarang ditemukan)

Penyebab sekunder tersering dari akalasia esofagus adalah penyakit

Chagas, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies

protozoa, yaitu Trypanosoma cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor

serangga, menginfeksi neuron intramural, dan menyebabkan disfungsi

otonom. Penyakit Chagas paling sering terjadi di Amerika Tengah dan

Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi penyebab sekunder terbanyak

dari akalasia esofagus. Selain itu, penyebab sekunder dari akalasia

esofagus dapat berupa malignansi (karsinoma lambung, esofagus),

postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe neuropatik,

amiloidosis, sarkoidosis, penyakit Anderson-Fabrey, dan tumor

intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti

pseudokista pankreas. 9,10

D. Epidemiologi

Akalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi. Prevelensi

akalasia esofagus adalah sekitar 10 kasus per 100.000 populasi dimana rasio

kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Walaupun

6
penyakit ini jarang terjadi, tetapi tenaga medis tetap harus dapat mengenali dan

mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini

sangat mengancam nyawa seperti adanya obstruksi saluran pernapasan hingga

sudden death.3,4

Akalasia esofagus lebih sering terjadi pada orang dewasa, dengan

prevalensi terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anak-anak, penyakit ini juga

sangat jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan hubungan. 5,6

E. Manifestasi Klinis

Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder

mempunyai gejala klinis yang hampir sama.3

Trias klasik dari gejala-gejala yang tampak terdiri atas disfagia,

regurgitasi, dan penurunan berat badan. Meskipun demikian, heartburn, tersedak

setelah makan (postprandial choking), dan batuk nokturnal dapat pula terlihat

pada akalasia esofagus. 3

1. Disfagia

Diagnosis akalasia harusnya disuspekkan pada tiap pasien yang

mempunyai keluhan disfagia makanan padat dan cair disertai

regurgitasi makanan dan saliva. Terjadinya disfagia biasanya bertahap,

dimana awalnya digambarkan sebagai "rasa penuh di dada" atau

"sticking sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap kali makan.

Awalnya, disfagia terjadi terutama pada makanan padat, namun seiring

waktu, terjadi disfagia pada makanan padat dan cair terutama minuman

dingin. Adanya "power swallow" dan minuman berkarbonasi

7
meningkatkan tekanan intraesofageal dan dapat meningkatkan

pengosongan esofagus. 3

2. Regurgitasi

Regurgitasi terjadi apabila penyakit sudah lanjut dan sudah terjadi

dilatasi esofagus bagian proksimal. Regurgitasi biasanya dirasakan

pada waktu malam sehingga pasien terbangun dari tidurnya. 3

3. Penurunan Berat Badan

Sebagian besar pasien akalasia esofagus memiliki beberapa derajat

penurunan berat badan namun biasanya terjadi dalam jangka lama

bulan sampai tahun.11,12

F. Diagnosis

Terdapat trias klasik dari gejala-gejala yang tampak pada penderita

akalasia esofagus yang terdiri atas disfagia, regurgitasi, dan penurunan berat

badan.3

Diagnosis akalasia sering dibingungkan dengan entitas yang lebih umum

seperti gastroesophageal reflux disease. Diagnosis biasanya terlambat 2-3 tahun

dari gejala awal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis akalasia esofagus antara lain endoskopi gastrointestinal bagian atas,

pemeriksaan radiologi (pemeriksaan dada x-ray, esofagogram, CT scan, USG),

dan manometri esofagus. Gold standar penegakan diagnosis akalasia adalah

manometri esofagus.5

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan akalasia

esofagus antara lain:

8
1. Foto polos thoraks

Pada pemeriksaan foto polos thoraks memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang rendah dalam menegakkan diagnosis akhalasia. Pemeriksaan

foto polos thoraks merupakan pemeriksaan awal pada pasien dengan

akalasia esofagus. Meskipun bukan pemeriksaan untuk tujuan diagnosis dan

evaluasi, akalasia esofagus kadang-kadang terdeteksi pada pemeriksaan foto

polos thoraks terutama pada kasus yang berat. Pemeriksaan foto polos

thoraks akalasia berat menunjukkan adanya pelebaran mediastinum yang

disebabkan esofagus yang membesar dan melebar dengan gambaran air

fluid level di setinggi arkus aorta atau diatasnya disertai adanya sisa

makanan dan cairan di esofagus yang melebar. Selain itu, pada akalasia

tidak didapatkan gelembung udara di lambung yang disebabkan karena

kegagalan relaksasi LES.9

Gambar 3. Foto polos thoraks pada akalasia esophagus

9
2. Kontras Barium

a. Barium Esofagogram

Pemeriksaan barium esofagogram dengan fluoroskopi pada pasien suspek

akalasia esofagus merupakan tes diagnostik awal. Akurasi esofagogram untuk

diagnosis akalasia adalah sebesar 95%. Pada stadium awal, tak tampak adanya

gelombang peristaltik primer, penyempitan gastroesofageal junction hanya

minimal dan kadang-kadang terlihat gelombang peristaltik nonpropusif di badan

esofagus (vigorous achalasia) dengan ditemukan gelombang sekunder sampai

tersier. Pada akalasia progresif, tampak gambaran birds beak di gastroesofageal

junction dengan di bagian distalnya membentuk sudut sebelum masuk ke

lambung. 11

Pada akalasia berat, esofagus biasanya tampak melebar secara signifikan

dan kadang-kadang berliku-liku, tidak kosong, dan terdapat makanan dan air liur

yang tertahan menyebabkan gambaran air fluid level di bagian atas barium.

Esofagus distal ditandai adanya LES yang tertutup secara bertahap bentuk lonjong

halus menyerupai paruh burung (birds beak), dan kadang-kadang terdapat

divertikulum epifrenicus. Pada stadium lanjut seluruh esofagus mengalami atonik.


11

Gambar 4.Barium esofagogram

10
b. Time Barium Esophagogram (TBE)

Time barium esophagogram (TBE) diperkenalkan pada tahun 1997. TBE

merupakan metode yang sederhana dan obyektif untuk menilai pengosongan

esofagus secara kuantitatif dan kualitatif. Teknik TBE sama dengan esofagogram /

barium swallow namun dengan beberapa modifikasi, di antaranya pengambilan

beberapa gambar secara sekuen diantara interval waktu sesudah dilakukan barium

esofagogram dengan volume tertentu. 13

Teknik pemeriksaan TBE sebagai berikut : pasien pada posisi berdiri

minum suspensi barium sulfat low-density. Pasien diinstruksikan minum larutan

barium dalam waktu satu menit. Volume barium yang ditelan didasarkan pada

toleransi pasien (pasien tidak mengalami regurgitasi maupun aspirasi, selain itu

dilatasi esofagus harus dapat diisi secara adekuat). Volume yang diminum harus

dicatat. Pasien berdiri dengan posisi left posterior oblique untuk menghindari

proyeksi berlebih esofagus dan tulang belakang. Pasien diambil gambar radiografi

pada tiga posisi anteroposterior, dan diambil pada menit 1, 2, dan 5 setelah barium

di minum. 13,14

Derajat pengosongan esofagus dinilai secara kuantitatif dan kualitatif.

Pada pasien akalasia esofagogastric junction tampak sebagai tampilan klasik

berupa birds beak appearance. Pada pasien normal, barium di esofagus akan

kosong secara komplet pada menit 1 dan kebanyakan pada menit ke 5.13

Pengosongan esofagus diukur secara kualitatif dengan membandingkan

gambar pada menit 1 - 5 secara subyektif dan disesuaikan dengan hasil

pengukuran secara kuantitatif. 13

11
Pada akalasia esofagus yang aperistaltik disertai LES inkomplit

menyebabkan stasis di esofagus. Barium akan bertahan pada beberapa waktu yang

lebih lama dibandingkan orang sehat. Terjadi obstruksi dan esofagus mengalami

dilatasi pada waktu yang lama (dekompensata). Barium yang persisten di esofagus

dan LES inkomplet atau mengalami pengosongan parsial lebih dari 5 menit

disertai gambaran birds beak atau rat tail appearance membantu diagnosis

akalasia yang selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan manometri.13

Gambar 5. Timed Barium Esopphagogram (TBE) pada menit ke 1,2,dan 5 setelah


pemberian 250 ml Barium

3. Esofagoskopi

Esofagoskopi merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk semua

pasien akalasia oleh karena beberapa alasan yaitu untuk menentukan adanya

esofagitis retensi dan derajat keparahannya, untuk melihat sebab dari obstruksi,

dan untuk memastikan ada tidaknya tanda keganasan. Pada akalasia esofagus

primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan mengandung sisa-sisa

makanan dan sfingter esofagus tidak membuka secara spontan. Jika akalasia

12
esofagus disebabkan oleh neoplasma atau striktur fibrosis esofagus, sfingter

esofagus biasanya dapat dibuka dengan sedikit memberikan tekanan pada saat

melakukan tindakan endoskopi.15

Gambar 6. Esofagoskopi

4. CT Scan

Pemeriksaan CT Scan tidak diindikasikan sebagai pemeriksaan rutin pada

pasien akalasia, tetapi beberapa kasus dengan komplikasi diperlukan pemeriksaan

CT Scan sebagai konfirmasi diagnosis atau untuk mengetahui tanda lain yang

mengarah adanya penyakit lain atau proses benigna maupun maligna.12

Gambar 7. CT Scan yang menunjukkan akalasia esofagus

13
5. Manometri Esofagus

Manometri esofagus merupakan gold standart dalam penegakan diagnosis

akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan

invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomi bedah. Karena akalasia hanya

melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus

bagian distal. Diagnosis akalasia esofagus dapat ditegakkan apabila ditemukan

tekanan LES yang meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan

tidak adanya peristaltik. Menurut Ritcher et al, sekurang-kurangnnya ditemukan 2

abnormalitas patognomonik pada pasien akalasia esofagus, yaitu: aperistalsis dan

relaksasi LES abnormal.11,16

Relaksasi abnormal LES terlihat pada semua pasien akalasia. Relaksasi

abnormal dapat berupa tidak adanya relaksasi LES atau relaksasi inkomplet saat

menelan (70%-80%), dan relaksasi komplet namun lebih pendek (< 6 detik).

Tekanan LES istirahat meningkat pada sekitar 50 % pasien dengan akalasia.11,16

Gambar 8. Teknik pemeriksaan manometri esofagus

14
G. Patofisiologi

Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:6

Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak

berfungsinya neuron inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari

ganglion sel

Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus myenterikus, dapat juga

disebabkan oleh Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit

Chagas, dan infeksi virus.

Abnormalitas motorik pada akalasia esofagus merupakan hasil dari

penurunan fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus myenterikus

intramural. Secara fungsional, kontraksi sfingter esofagus diatur oleh pelepasan

neurotransmitter eksitatorik (asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter

esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan

vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang menderita akalasia esofagus

kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam

transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga mengakibatkan timbulnya

tekanan yang tinggi pada sfingter esofagus dan tidak dapat berelaksasi.5

Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia esofagus:9,11

1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan sfingter

esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk

berelaksasi sempurna.

2. Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40%

yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus

15
makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini menyebabkan

tertahannya makanan dan minuman di esofagus.

H. Penatalaksanaan

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik

esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Tujuan pengobatan akalasia adalah

mengurangi gejala, meningkatkan pengosongan esofagus dan mencegah

perkembangan megaesofagus.7

1) Terapi Non-Bedah

a. Medikamentosa

Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti

nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga

methacholine, dapat membuat sfingter esofagus bawah berelaksasi

sehingga membantu membedakan antara suatu striktur esofagus

distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah. Selain itu, dapat

juga diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mg

sublingual), dimana dapat mengurangi tekanan pada sfingter

esofagus bawah. Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang

berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk

pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap

pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.5,17

b. Injeksi Botulinum Toksin

Suatu injeksi botulinum toksin intra-sfingter dapat digunakan untuk

menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus

16
bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara

neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan

endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang

dimasukkan ke dalam dinding esofagus dengan sudut kemiringan

45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di

atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini

terletak tepat di atas batas proksimal dari sfingter esofagus bawah

dan toksin tersebut diinjeksi secara kaudal ke dalam sfingter. Dosis

efektif yang digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi dalam 20-

25 unit/ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari sfingter

esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan

kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Akan tetapi,

terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian

gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat

myotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada

pasien lanjut usia, yang mempunyai kontraindikasi terhadap

pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.5,18

Gambar 9. Teknik injeksi intra-sfingter

17
c. Pneumatic Dilation

Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama

bertahun-tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian

gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat

otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan

awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50%

pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan

dilatasi. Rasio terjadinya perforasi adalah sekitar 5% dan apabila

terjadi perforasi, pasien harus segera dibawa ke ruang operasi untuk

penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara

thorakotomi kiri. Insidensi dari refluks gastroesophageal yang

abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan

pneumatic dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller.5

Gambar 10. Teknik pneumatic dilation

2) Terapi Bedah

Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah

suatu prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari

18
suatu pemisahan serat otot (myotomi) dari sfingter esofagus bawah (5

cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial

fundoplication. Tambahan prosedur antirefluks parsial, seperti Toupet

atau Dor fundoplication, akan mengembalikan perlindungan terhadap

refluks dan menurunkan gejala-gejala postoperatif. Pasien dirawat di

rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-hari

setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil

mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidensi refluks

postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang

sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu

pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama

dalam penanganan akalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani

terapi ini, mungkin akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua,

atau pengangkatan esofagus (esofagektomi).5,19

Gambar 11. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication

19
Bedah esofagotomi menawarkan hasil yang superior dan kurang membuat

trauma daripada dilatasi balon. Teknik saat ini merupakan modifikasi dari Heller

myotomi yang digambarkan secara original oleh sebuah laparotomi pada 1913.

Modified laparoscopic Heller myotomi juga merupakan salah satu pilihan operasi

saat ini. 19

I. Prognosis

Prognosis akalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak

sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin

sedikit gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus

yang normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat

baik. Penggunaan obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya

pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilation dan laparoskopik

miotomi Heller.5

20

Anda mungkin juga menyukai