Anda di halaman 1dari 15

REFERAT BEDAH ORTHOPEDI

TUMOR EWING

Oleh:
M. Ghilman Nurizzan G992003092

Periode: 11 Mei – 15 Mei 2020

Pembimbing:
dr. Udi Herunefi, Sp. B, Sp. OT (K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Pada tahun 1921, James Ewing mendeskripsikan sarkoma sel kecil

pada tulang. Sarkoma tersebut kini menyandang namanya, sarkoma Ewing.

Sarkoma Ewing adalah neoplasma ganas yang terdiri dari sel kecil bulat yang

tidak membentuk matriks (Kamal, 2011). Namun, studi terkini menunjukkan

bahwa tumor Ewing kemungkinan berasal dari sel neuro-ektodermal dengan

berbagai variasi derajat diferensiasi dari sel primitive jaringan neural. Secara

klinis, tumor ini memiliki karakter yang agresif dengan ciri pertumbuhan

yang cepat dan kemungkinan yang tinggi terjadinya mikrometastasis

(Pandarinath, 2008).

Meskipun angka kejadiannya jarang akan tetapi sarkoma Ewing

menyerang usia muda dan dahulu memiliki prognosis yang buruk, sampai

dikembangkan tata laksana dalam beberapa dekade terakhir. Sarkoma Ewing

adalah penyakit sistemik, dengan sebagian besar pasien telah mengalami

mikrometastasis saat diagnosis. Pada pengamatan-pengamatan terdahulu

bahwa pasien-pasien dengan sarkoma Ewing berakhir dengan prognosis

buruk bila ditatalaksana dengan radiasi atau amputasi tumor primer saja.

Kemoterapi memberikan perbaikan angka survival karena kemampuannya

mengendalikan mikrometastasis. Perbaikan protokol kemoterapi memberikan

hasil yang lebih baik dari beberapa dekade yang lalu. kontrol lokal dilakukan

dengan reseksi tumor primer dan atau radioterapi (Kamal, 2011).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Epidemiologi

Sarkoma Ewing adalah suatu tumor ganas jaringan mesenkimal

yang tersusun atas sel bulat, kecil yang berasal dari jaringan neuro-

ektodermal dimana dapat ditemukan pada tulang dan jaringan lunak

(Sadata, 2013). Lokasi utama meliputi ekstremitas bawah (41%),

ekstremitas atas (9%), dinding dada (16%), pelvis (26%), tulang belakang

(6%), dan tulang tengkorak dan wajah (2%). Tulang wajah memiliki angka

kejadian yang jarang, dan tulang mandibula merupakan tulang yang paling

umum terkena. Sekitar 90% kasus yang dilaporkan terjadi pada mandibula

sebagai lesi primernya dan 10%-nya telah bermetastasis. Angka

kejadiannya lebih banyak pada pasien di bawah usia 20 tahun (80%).

Puncak angka kejadian berada pada usia remaja (50%). Berdasar jenis

kelamin, laki-laki muda lebih sering daripada wanita muda dengan rasio

1,4:1 (Shailaja, 2011).

Data dari Amerika Serikat menunjukkan rentangan 0,3 kasus per

satu juta pada anak di bawah 3 tahun sampai 4,6 kasus per satu juta pada

remaja usia 15 - 19 tahun. Menurut registrasi tumor tulang Jepang,

sarkoma Ewing adalah sarcoma tulang tersering ketiga setelah

osteosarkoma dan chondrosarkoma. Pada pasien di bawah 20 tahun,

sarkoma Ewing merupakan sarkoma tersering setelah osteosarkoma. Data


dari register subdivisi Onkologi Orthopedi FKUI-RSCM tahun 1995 -

2008 mencatat rata-rata 2 kasus baru setiap tahunnya atau rata-rata 3% dari

seluruh kasus tumor muskuloskeletal tiap tahun (Kamal, 2011).

B. Etiologi

Sebenarnya, penyebab sarkoma Ewing masih diperdebatkan,

terutama mengenai sel-sel yang menjadi asal muasalnya. Sarkoma Ewing

terkait dengan translokasi kromosom spesifik yang kemudian membentuk

gen gabungan/fusi yang mengkode protein-protein. Gabungan gen terdiri

dari domain transaktivasi EWS dan domain pengikat DNA yang

merupakan salah satu dari keluarga faktor transkripsi yakni FLI1, ERG,

ETV1, ETV4 dan FEV. Lebih dari 85% sarkoma Ewing terkait dengan

translokasi kromosom t(11;22) (q24;q12) yang menghasilkan gen

gabungan EWS-FLI1. Protein yang dihasilkan bersifat sebagai faktor

transkripsi aberan yang menderegulasi program ekspresi gen sel-sel target,

sehingga menampakkan fenotip neuroektodermal primitif. Ekspresi gen

gabungan ini yang diyakini berperan kunci dalam patogenesis sarkoma

Ewing. Sebuah studi menunjukkan gen gabungan EWS-FLI1 memiliki

ekspresi yang stabil pada sel-sel punca mesenkim, yang dapat menjadi

petunjuk patogenesis lebih lanjut dari sarkoma Ewing dan bias

menunjukkan sel-sel yang menjadi asal muasal. Walaupun terjadi

translokasi kromosom, penyakit ini tidak diturunkan dari orang tua kepada

anaknya (Sadata, 2011; Toretsky, 2008; Gosau, 2008).


C. Staging Sarkoma Ewing

Enneking dkk. menciptakan sistem staging untuk tumor

muskuloskeletal untuk membantu pembuatan keputusan dalam tata

laksana. Sistem ini berdasarkan derajat keganansan (grade) histologik

tumor, perluasan lokal, dan keberadaan metastasis. Grading neoplasma

tergantung selularitas lesi dan gambaran sitologis dari sel-sel neoplasma.

Neoplasma low grade memiliki gambaran menyerupai sel-sel asal.

Neoplasma high grade memiliki sel-sel ganas yang yang tidak

terdiferensiasi sehingga sulit diidentifikasi sel-sel asalnya. Sebagian besar

tumor tulang digradasikan dari 1 sampai 4 (Kamal, 2011).

Grading neoplasma memerlukan variasi morfologik. Sarkoma Ewing

memiliki sedikit variasi dari tumor ke tumor, sehingga tidak ada cara yang

praktis untuk melakukan grading. Sarkoma Ewing digolongkan sebagai

highgrade. Tumor-tumor dianggap terjadi di kompartemen anatomi.

Sarkoma yang terkurung dalam tulang adalah intrakompartemen, bila

meluas ke jaringan lunak maka digolongkan ekstrakompartemen (Kamal,

2011).

Grading histologis dan deskripsi anatomis tumor digabungkan untuk

mendefinisikan stage pada Sarkoma Ewing.

 Stage IA: low grade, intrakompartemen

 Stage IB: low grade, ekstra kompartemen

 Stage IIA: high grade, intrakompartemen

 Stage IIB: high grade, ekstrakompartemen


 Stage III: dengan metastasis

Lesi high-grade seperti sarkoma Ewing termasuk pada stage 2.

Kebanyakan pasien dengan sarkoma Ewing jatuh pada stage IIb atau III

akibat perluasan di luar kompartemen anatomik atau metastasis. Seperti

telah disebut pencitraan untuk staging adalah CT scan thorak dan bone

scan (Kamal, 2011).

D. Manifestasi Klinis & Sistemik

Manifestasi klinis sarkoma Ewing dapat berupa manifestasi lokal

maupun sistemik. Manifestasi lokal meliputi: nyeri dan bengkak pada

daerah tulang yang terlibat dan umumnya bertumbuh dengan cepat

(Pandarinath, 2008; Shailaja, 2011). Massa tulang dan jaringan lunak

didaerah sekitar tumor sering dan bisa teraba fluktuasi dan terlihat eritema

yang berasal dari perdarahan dalam tumor. Selain itu terjadi pembesaran

nodus limfatikus terdekat (Shailaja, 2011).

Manifestasi sistemik biasanya meliputi: ciri umum dari inflamasi

yakni demam, nyeri, parestesia, anemia, peningkatan laju endap darah

(LED), peningkatan serum laktat dihidrogenase (LDH) dan leukositosis.

Riwayat demam biasanya tidak konsisten dan nyeri bervariasi mulai dari

sedang hingga sangat berat dan seringkali terus menerus serta lebih berat

di saat malam hari. Nyeri pada bagian tulang lain dapat menjadi indikasi

paling awal kemungkinan terjadinya metastasis (Kamal, 2011; Fonseca,

2000; Shailaja, 2011).


Gambar 1. Gambaran klinis dari Sarkoma Ewing pada mandibula,

tampak benjolan yang mendesak gigi geligi dari lengkung normal

(Pandarinath, 2008).

E. Pemeriksaan Penunjang

Tes dan prosedur diagnostik berikut ini harus dilakukan pada semua

pasien yang dicurigai Ewing Sarkoma, antara lain:

1. Pemeriksaan darah:

a. Pemeriksaan darah rutin

b. Transaminase serum hepar

c. Alkali fosfatase

d. Laju Endap Darah (LED)

e. Laktat dehidrogenase (LDH)

Kenaikan kadar enzim ini berhubungan dengan adanya atau

berkembanganya metastase

2. Pemeriksaan radiologis:

a. Foto rontgen:
Gambaran radiologis sarkoma Ewing tampak lesi destruktif

yang bersifat infiltratif yang berawal di medulla; pada foto

terlihat sebagai daerah-daerah radiolusen. Tumor cepat

merusak korteks dan tampak reaksi periosteal. Kadang-

kadang reaksi periostealnya tampak sebagai garis-garis yang

berlapis-lapis menyerupai kulit bawang dan dikenal sebagai

onion skin appearance. Gambaran ini pernah dianggap

patognomonis untuk tumor ini, tetapi biasa dijumpai pada lesi

tulang lain. Tumor dapat meluas sampai ke jaringan lunak

dengan garis-garis osifikasi yang berjalan radier disertai

dengan reaksi periosteal tulang yang memberikan gambaran

yang disebut sunray appearance.

Gambar 2. Gambaran Radiologis Sarkoma Ewing pada

mandibula, tampak adanya sunray appereance yang

merupakan pertumbuhan tulang dari mandibular (Shailaja,

2011).

Interpretasi radiologis pada Sarkoma Ewing di mandibula

dapat memiliki diagnosis banding antara lain: Sarkoma

osteogenik, neuroblastoma, limfosarkoma, histiositosis,

rhabdomyosarkoma, osteomyelitis dan karsinoma metastatik.


b. CT scan:

Pada daerah yang dicurigai neoplasma (misal: pelvis,

ekstremitas, kepala) penting untuk mencatat besar dan lokasi

masa dan hubungannya dengan struktur sekitarnya dan

adanya metastase pulmoner. Bila ada gejala neurologis, CT

scan kepala juga sebaiknya dilakukan.

Gambar 3. Gambaran CT scan potongan potongan transversal

dan sagital pada pasien Sarkoma Ewing. Tampak adanya

benjolan pada berukuran besar pada tulang maksilla yang

melibatkan zygoma dan rongga nasal (Pampori, 2011).

3. Pemeriksaan invasif:

a. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang. Aspirasi dan biopsi

sampel sumsum tulang pada jarak tertentu dari tumor

dilakukan untuk mengetahui adanya kemungkinan metastase.

b. Biopsi insisi atau biopsi aspirasi dengan jarum pada massa

tumor sangat penting untuk mendiagnosis Sarkoma Ewing.

Jika terdapat jaringan lunak, biopsi pada daerah ini biasanya

lebih memungkinkan.
Massa tumor terlihat seperti lapisan-lapisan sel bulat,

menyerupai limfosit tetapi lebih besar. Sel-sel mitotik jarang

dijumpai, stroma intercelullar berjumlah sedikit dan sebagian

besar dari massa tumor bisa jadi mengalami nekrotik. Sel-sel

tumor terletak di tengah-tengah area dan membentuk rosette,

seperti rosette Homer-Wright, ciri yang spesifik untuk

neuroblastoma.

F. Tatalaksana

Saat ini tatalaksana ES berupa terapi multimodalitas melingkupi

terapi lokal dan sistemik. Secara umum terapi yang diberikan untuk pasien

ES yang resektabel. adalah dengan kemoterapi neo-adjuvan diikuti dengan

limb-salvage procedure atau radiasi yang kemudian dapat diikuti lagi

dengan kemoterapi adjuvan post operatif. Terapi multimodalitas pada ES

akan menurunkan angka rekurensi lokal secara signifikan dibandingkan

dengan monoterapi. Pilihan terapi lokal dibuat dengan mempertimbangkan

lokasi tumor, usia pasien dan tujuan fungsional akhir yang diharapkan

serta mempertimbangkan morbiditas jangka panjang. Monoterapi dengan

pembedahan atau radiasi saja memberikan 5-year survival sebesar <10%,

sedangkan tatalaksana multimodalitas termasuk kemoterapi memberikan


angka survival 60-70% dan 20-40% untuk kasus dengan metastasis

(Paulussen, 2009; Iwamoto, 2007)

NCCN guidelines untuk tatalaksana ES dimulai dengan

mengklasifikasikan kondisi ES sebagai lesi lokal atau dengan metastasis,

dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi selama 12 minggu baik untuk

lesi lokal ataupun dengan metastasis. Pascakemoterapi, dilakukan

restaging kondisi pasien untuk menilai respons terhadap kemoterapi yang

telah diberikan. Pasien dengan respons positif atau kondisi stabil dapat

menjalani pembedahan (eksisi atau amputasi), radiasi definitif dan

kemoterapi. Sedangkan pada pasien yang mengalami progresivitas

penyakit dapat diberikan radiasi atau pembedahan yang bersifat paliatif

(Network NCC, 2016).

G. Komplikasi Radioterapi

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat disebabkan oleh radioterapi,

diantaranya (Bluemke, 1994):

 Pertumbuhan abnormal dari jaringan yang menjadi target radiasi.

 Penutupan dini dari epifisis yang menyebabkan terjadinya defisit

perumbuhan dan diskrepansi panjang ekstremitas. Plat epifisis diketahui

merupakan bagian dari tulang yang bersifat paling radiosensitif,

sehingga radiasi pada daerah ini akan cenderung menyebabkan

terjadinya pertumbuhan abnormal tulang. Retardasi pertumbuhan tulang

pada pasien anak biasanya muncul setelah pemberian radioterapi

dengan total dosis lebih dari 10 Gy.


 Terjadi fraktur patologis pada sekitar 15% dari lesi tulang panjang.

Fraktur patologis yang terkait dengan radioterapi biasanya dijumpai

pada femur terutama pada bagian proksimal femur. Fraktur patologis

kebanyakan terjadi dalam 24 bulan atau lebih setelah terapi.6 Beberapa

faktor risiko penting untuk terjadinya fraktur adalah eksisi periosteal,

lokasi tumor pada kompartemen anterior femur, batas sayatan positif.

 Kelemahan ekstremitas, edema pada ekstremitas, gangguan

keterbatasan gerak akibat fibrosis serta nyeri.

 Keganasan sekunder akibat radioterapi dapat terjadi pada lokasi primer.

Risiko ini meningkat pada total dosis >60 Gy, dengan jenis keganasan

yang umum dijumpai adalah osteosarkoma (insidens 1-4% dalam 20

tahun).

 Osteitis pasca radiasi biasanya terjadi akibat kerusakan pada osteoblas.

Secara radiologik akan tampak gambaran osteopeni. Adakalanya

gambaran osteitis pasca radiasi dianggap menyerupai gambaran

keganasan sekunder pasca radiasi. Namun dikatakan bahwa pada

osteitis pasca radiasi biasanya perubahan yang terjadi terbatas pada area

tulang yang menjadi target radiasi sebelumnya serta tidak ditemukan

keterlibatan jaringan lunak di sekitar tulang.


BAB III
PENUTUP

Sarkoma Ewing adalah suatu tumor ganas primer yang jarang terjadi

dimana sel kanker dapat ditemukan pada tulang maupun jaringan lunak. Terjadi

pada usia remaja dan dewasa muda. Biasanya penyakit ini menyerang tulang

panjang seperti pelvis, femur, humerus, dan tulang rusuk. Ewing’s sarcoma juga

dapat bermetastasis ketempat lain seperti sumsum tulang, paru-paru, ginjal, hati,

kelenjar adrenal, dan jaringan lunak lainnya. Untuk prognosis sarcoma Ewing ini

buruk. Mortalitas pada tahun-tahun pertama setelah diagnosis sekitar 95%. Akhir

akhir ini dengan terapi kombinasi radioterapi, kemoterapi dan operasi, prognosis

menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Bluemke DA, Fishman EK, Scott WW, Jr. Skeletal complications of radiation

therapy. Radiographics. 1994;14(1):111-21.

Iwamoto Y. Diagnosis and treatment of Ewing's sar-coma. Japanese journal of

clinical oncology. 2007;37(2):79-89.

Kamal AF, Putro RNH, Pattiata R. 2011. Diagnosis and Treatment of Ewing

Sarcoma. The Journal of Indonesian Orthopaedic, Volume 39, Number 2.

Network NCC. Bone Cancer. Ewing's Sarcoma Family of Tumor. 2016.

Pampori R., Shamas I., Malik A. 2011. Ewing’s Sarcoma of Maxilla: A Case

Report. JPMI 2011 Vol. 25.

Pandarinath B.G., Kushal S. 2008. Ewing’s Sarcoma of the mandible: a case

report. IAJD Vol. 3

Paulussen M, Kuhlen M, Kone-mann S, Rube C, et al. Local therapy in localized

Ewing tumors: results of 1058 patients treated in the CESS 81, CESS 86,

and EICESS 92 trials. Int J Radi-at Oncol Biol Phys. 2003;55(1):168-77.

Sadata A. SM., Afrozc J., Rit S. N. 2013. A Rare Case of Ewing’s Sarcoma

affecting Mandible of a Child. Updat Dent. Coll.

Shailaja S.R. et al. 2011. Ewing’s Sarcoma of the Mandible: A Rare Case Report

and Review of Literature. Journal of Indian Academy of Oral Medicine

and Radiology, July-September 2011.


Toretsky J. A. 2008. Targeting EWS-FLI1 with Small Molecule Inhibitors.

http://sarcomahelp.org/research/ewings-sarcoma-EWS-FLI1.html

Anda mungkin juga menyukai