Anda di halaman 1dari 19

REFERAT BEDAH ORTHOPEDI

DISLOKASI SHOULDER

Oleh:
M. Ghilman Nurizzan G992003092

Periode: 11 Mei – 15 Mei 2020

Pembimbing:
dr. Rieva Ermawan, Sp.OT (K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Rangka gerak atas / ekstremitas atas manusia terdiri dari lengan, tangan,

serta komponen anatomi yang mendukung pergerakan keduanya. Bagian ini

sangat penting bagi kehidupan karena selalu digunakan untuk aktivitas sehari-hari

seperti makan, minum, mengenakan pakaian serta masih banyak kegiatan sehari-

hari yang mempergunakan anggota badan bagian atas.

Untuk dapat berfungsi dengan baik, lengan, tangan, otot-otot dan

persyarafan serta persendiannya harus dalam kedaaan baik pula. Gerakan–gerakan

yang terjadi di shoulder atau gelang bahu difasilitasi oleh sejumlah sendi yang

saling berhubungan erat. Adanya gangguan pada persendian dapat mengakibatkan

terganggunya fungsi anggota badan bagian atas tersebut.

Salah satu sendi pada anggota badan bagian atas yang sering mengalami

gangguan adalah sendi bahu. Sendi ini sering mengalami dislokasi karena struktur

sendi bahu mempunyai range of motion yang luas. Dislokasi sendi bahu

merupakan salah satu gangguan pada sendi di ekstremitas atas yang masih sering

ditemukan.

Dislokasi adalah terlepasnya sebuah sendi dari tempat yang seharusnya.

Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau

terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya.

Penyebab dislokasi bahu adalah trauma yang membentur bagian bahu,

seperti pada saat terjatuh dari kendaraan. Penyebab lainnya yaitu gerakan lengan
atas yang menyentak dan cepat, atau dapat pula disebabkan karena kelainan

patologis pada tubuh.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dislokasi adalah terlepasnya jaringan tulang dari kesatuan sendi, yang

dapat terjadi sebagian komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya

seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dalam kasus ini tulang

dari mangkuk sendi), atau suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang

membentuk sendi tidak lagi dalam posisi anatomis. Dislokasi merupakan suatu

kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang di

dekat sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktur

dislokasi (Cole, 1970).

Subluksasi adalah dislokasi parsial (sebagian) permukaan persendian

kadang dapat muncul dan berganti dengan episode dislokasi total.

B. Anatomi Sendi

a. Sendi bahu

Gerakan-gerakan yang terjadi di gelang bahu dimungkinkan oleh

sejumlah sendi yang saling berhubungan erat, misalnya sendi

kostovertebral atas, sendi akromioklavikular, permukaan pergeseran

skapulotorakal dan sendi glenohumeral atau sendi bahu.


Gangguan gerakan dalam sendi bahu sering mempunyai

konsekuensi untuk sendi-sendi yang lain di gelang bahu dan sebaliknya.

Sendi bahu dibentuk oleh kepala tulang humerus dan mangkok sendi,

disebut cavitas glenoidalis. Sendi ini menghasilkan gerakan fungsional

sehari-hari seperti menyisir, menggaruk kepala, mengambil dompet, dan

sebagainya atas kerjasama yang harmonis dan simultan dengan sendi-sendi

lainnya.
Cavitas glenoidalis sebagai mangkok sendi bentuknya agak cekung

tempat melekatnya kepala tulang humerus dengan diameter cavitas

glenoidalis yang pendek kira-kira hanya mencakup sepertiga bagian dan

kepala tulang sendinya yang agak besar, keadaan ini otomatis membuat

sendi tersebut tidak stabil namun paling luas gerakannya. Beberapa

karakteristik dari pada sendi bahu yaitu: perbandingan antara permukaan

mangkok sendinya dengan kepala sendi tidak sebanding, kapsul sendinya

relative lemah. Otot-otot pembungkus sendi relative lemah seperti otot

supraspinatus, infraspinatus, teres minor, dan subscapularis, gerakan

paling luas, tetapi stabilitas sendi relatif kurang stabil. Dengan melihat

keadaan sendi tersebut, maka sendi bahu lebih mudah mengalami

gangguan fungsi dibandingkan dengan sendi lainnya.

b. Kapsul sendi

Kapsul sendi terdiri atas dua lapisan:

1. Kapsul sinovial (lapisan bagian dalam) Dengan karakteristik

mempunyai jaringan fibrokolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf

reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya menghasilkan cairan sinovial

sendi dan sebagai transfomator makanan ke tulang rawan sendi. Bila

ada gangguan pada sendi yang ringan saja, maka yang pertama kali

yang mengalami gangguan fungsi adalah kapsul sinovial, tetapi karena

kapsul tersebut tidak memiliki reseptor nyeri, maka kita tidak merasa

nyeri apabila ada gangguan, misalnya pada artrosis sendi.


2. Kapsul fibrosa. Karakteristiknya berupa jaringan fibrous keras dan

memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara

posisi dan stabilitas sendi, dan memelihara regenerasi kapsul sendi

(Nordin, 2001).

C. Etiologi Dislokasi Bahu

Penyebab utama dislokasi sendi bahu ialah trauma dengan lengan

mengalami rotasi internal dan abduksi, menyebabkan caput humerus subluksasio

ke arah depan. Subluksasio ke arah posterior terjadi dari terjatuh dengan posisi

lengan terulur. Dislokasi inferior dapat terjadi dari lemahnya tonus otot dengan

hemiplegia dan dari berat lengan menarik humerus ke arah bawah. Dislokasi

glenohumeral anterior biasa terjadi pada atlit, khususnya pemain sepak bola (Lutz,

2006).

D. Klasifikasi

1. Dislokasi anterior

2. Dislokasi posterior

3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta


4. Dislokasi disertai fraktur (Rasjad, 2007).

E. Mekanisme Trauma

1. Dislokasi sendi bahu anterior

Merupakan jenis dislokasi yang paling sering terjadi pada sendi

mayor. Biasanya terjadi karena rotasi eksternal secara paksa dan ekstensi

dari bahu. Kaput humerus kemudian terdorong ke depan, dan sering

menyebabkan robekan pada kartilago glenoid labrum dan kapsul dari batas

anterior kavum glenoid (Keating, 2004). Lebih jarang dislokasi ini juga

dapat terjadi pada pasien yang terjatuh dengan bertumpu pada tangan dan

sendi bahu dalam posisi ekstensi. Pada dislokasi ini, kaput humerus

mengalami pergeseran ke arah medial ke glenoid, tepat di bawah prosesus

korakoid (Salter, 1999).

Pada dislokasi berulang kapsul dan labrum sering terlepas dari

anterior glenoid. Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap utuh dan kapsul

serta ligamentum glenohumerus keduanya terlepas atau terentang ke arah

anterior dan inferior. Selain itu mungkin ada indentasi pada bagian

posterolateral kaput humerus (lesi Hill-Sachs) yaitu suatu fraktur kompresi

akibat kaput humerus menekan lingkar glenoid anterior setiap kali

mengalami dislokasi (Cole, 2010).


2. Dislokasi sendi bahu posterior

Dislokasi tipe ini lebih jarang terjadi. Biasanya karena trauma

berkekuatan besar dengan posisi terjatuh pada bahu anterior atau pada

tangan dengan posisi adduksi dan rotasi internal, karena kejang epileptic

(akibat epilepsy atau terkena aliran listrik), atau intoksikasi alcohol

(Keating, 2004; Salter, 1999). Dislokasi mungkin disertai dengan fraktur

proksimal humerus, kapsul posterior terlepas dari tulang atau teregang,

dan mungkin ada indentasi dari aspek anterior dari kaput humerus (Cole,

2010).

Ketika sendi bahu yang sebelumnya mengalami dislokasi posterior,

mengalami dislokasi ulang karena cedera lain, dislokasi kedua dan

selanjutnya disebut dislokasi rekuren. Pada kasus dimana pasien dapat

mendislokasikan dan mereduksi sendi bahu sesuai keinginan disebut

dislokasi habitual. Hal ini biasanya terjadi karena gangguan kongenital

generalisata pada ligament (Salter, 1999).

F. Manifestasi Klinis

1. Dislokasi sendi bahu anterior

Pasien biasanya datang dengan keluhan utama nyeri. Pasien juga

mengeluhkan seperti sesuatu keluar dari tempatnya sehingga dia tidak

dapat menggerakkan tangannya. Pasien kemudian menggunakan tangan

yang lain untuk membantu menyanggahnya (Salter, 1999). Pada kejadian

akut yang pertama kali pasien dapat menjelaskan dengan baik mekanisme
trauma; adanya ruda paksa pada bahu dalam keadaan abduksi, rotasi

eksternal, dan ekstensi (Cole, 2010).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda diantaranya

adanya nyeri, terdapat benjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan

abduksi-eksorotasi, tepi bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya

gangguan gerak sendi bahu. Ada 2 tanda khas pada dislokasi sendi bahu

anterior ini yaitu sumbu humeru yang tidak menunjuk ke bahu dan kontur

bahu berubah karena daerah dibawah akromion kosong pada palpasi.

Penderita merasakan sendinya keluar dan tidak mampu menggerakkan

lengannya dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain dan

tidak mampu menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera ditopang

oleh tangan sebelah lain dan ia tidak dapat menyentuh dadanya. Lengan

yang cedera tampak lebih panjang dari normal, bahu terfiksasi sehingga

mengalami fleksi dan lengan bawah berotasi ke arah interna. Posisi badan

penderita miring ke arah sisi yang sakit. Pemeriksa terkadang dapat

membuat scapula bergerak pada dadanya namun tidak akan dapat

menggerakkan humerus pada scapula. Jika pasien tidak terlalu banyak

menggerakkan bahunya, maka pada kasus ini kaput humerus yang

tergeser dapat diraba di bawah prosesus korakoideus. Fungsi nervus

sirkumflex harus diperiksa karena rentan mengalami cedera pada kasus ini

(Cole, 2010; Schenk, 2011).

2. Dislokasi sendi bahu posterior


Kasus ini jarang terjadi dan sering terabaikan karena pasien terlihat

seperti melindungi ekstrimitasnya. Biasanya dari anamesis didapati

riwayat trauma yang hebat pada bahu, riwayat terkena aliran listrik, atau

intoksikasi alkohol.

Dari pemeriksaan fisik terlihat lengan dalam posisi adduksi dan

rotasi interna. Pergerakan rotasi eksternal mengalami tahanan. Pada

pasien yang kurus kaput humerus dapat teraba pada bagian posterior

(Salter, 1999; Schenk 2011).

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto polos

Pemeriksaan radiologis harus meliputi sudut anteroposterior dan

lateral. Pada sudut anteroposterior dapat ditentukan bilamana terjadi

nterjadi rotasi interna dan eksterna. Pada rotasi interna dapat dilihat lesi

Hill-Sachs pada caput hemurus posterolateral.

Pada sudut lateral dapat dilihat sublukasasi glenohumeral ataupun

dislokasi, dapat juga unutk melihat bilamana terdapat fraktur.

Pada dislokasi sendi bahu anterior, kaput hemrus berada di bagian

depan ataupun medial dari glenoid. Pada dislokasi posterior terdapat

gambaran berupa light bulb yang diakibatkan rotasi interna dari humerus.

2. CT-scan arthrografi

Biasanya digunakan untuk mengevaluasi pasien dengna instabilitas

glenohumeral dan dislokasi atau dengan riwayat instabilitas sebelumnya.

Akan tetapi, sekarang ini CT-scan hanya digunakan apabila terdapat


kontraindikasi pemeriksaan dengan MRI atau jika dicurigai terdapat

abnormalitas glenoid.

Pemeriksaan radiologis harus meliputi sudut anteroposterior dan

lateral. Pada sudut anteroposterior dapat ditentukan bilamana terjadi

nterjadi rotasi interna dan eksterna. Pada rotasi interna dapat dilihat lesi

Hill-Sachs pada caput hemurus posterolateral.

3. MRI

MRI dan magnetic Resonanace Arthrografi lebih sensitive

dibandingkan metode lainnya untuk keadaan patplogia pada ligamen,

kartilago, cidera bisep ataupun abnormalitas kapsul. MR artrografi lebih

sensitif dibandingkan MRI, dan hal ini merupakan pemeriksaaan pilihan

pada dislokasi sendi bahu, khususnya untuk kasus instabilitas yang

berulang dan lebih bagus untuk mendiagnosa lesi patologis untuk hal- hal

tersebut (Rasjad, 2007; Scheibel, 2011; Schenk, 2011)

H. Penatalaksanaan

1. Dislokasi bahu anterior

Beraneka ragam metode reduksi dilakukan pada pasien dengan

dislokasi sendi bahu. Untuk pasien yang pernah mengalami dislokasi

sebelumnya, traksi sederhana pada lengan biasanya berhasil dengan

baik. Biasanya penggunaan sedasi atau anestesi general diperlukan.

• Dengan metode Stimson, pasien ditelungkupkan dan lengan yang

sakit tergantung disebelah tempat tidur. Seteleah 15 hingga 20 menit

bahunya akan tereduksi.


• Dengan metode Hipocrates, penderita dibaringkan dilantai,

anggota gerak ditarik ke atas dan kaput hemerus ditekan dengan kaki agar

kembali ke tempatnya.

• Dengan metode Kocher, penderita berbaring di tempat tidur dan

pemeriksa berada disamping penderita. Sendi siku dalam posisi fleksi 90

dan dilakukan traksi sesuai garis humerus, kemudian dilakukan rotasi ke

arah lateral dan lengan diadduksi dan sendi siku dibawa mendekati tubuh

ke arah garis tengah dan lengan kemudian dirotasi ke medial sehingga

tangan jatuh di daerah dada. Teknik ini kurang direkomendasikan karena


dapat mengakibatkan cidera pada nervus, pembuluh darah dan pada

tulang

Penanganan setelah reposisi

Lengan diistirahatkan dengan mitella selama 3 minggu pada

penderita yang usianya dibawah 3 tahun (yang lebih sering terjadi

rekurensi) dan hanya 1 minggu pada usia lebih 30 tahun (lebih sering

terjadi kekakuan). Kemudian dimulai pergerakan ringan namun kombinasi

abduksi dan rotasi lateral sebaiknya dihindari selama 3 minggu. Selama

periode ini, siku dan jari mulai digerakkan setiap hari.

2. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi bahu posterior

Dilakukan reduksi dengan menarik lengan ke depan secara hati-hati

dan rotasi eksterna, serta dilakukan imobilisasi selama 3-6 minggu.

3. Penatalaksanaan Dislokasi Sendi bahu inferior

Dilakukan reduksi tertutup menarik lengan ke depan secara hati-hati

dan rotasi eksterna. Lengan diistirahatkan sampai nyeri hilang, namun

hindari melakukan abduksi selama 3 minggu setelah terjadi penyembuhan

jaringan lunak. Apabila hal ini tidak berhasil dapat dilakukan reduksi

terbuka dengan operasi (Rasjad, 2007; Scheibel, 2011; Schenk, 2011).


I. Komplikasi

1. Awal

 Rotator cuff tear. Biasa mengiringi dislokasi anterior pada orang

dewasa. Pasien mungkin kesulitan mengabduksikan lengannya

setelah reduksi; kontraksi muskulus deltoid yang teraba

menyingkirkan kelumpuhan saraf aksilaris.

 Kerusakan saraf. Saraf aksilaris paling sering mengalami cedera,

pasien tidak dapat mengkontraksikan otot deltoid dan sedikit

kehilangan rasa pada otot. Ketidakmampuan abduksi harus

dibedakan dari robekan rotator cuff.

 Kerusakan pembuluh darah. Arteri aksilaris dapat mengalami

kerusakan, khususnya pada orang tua dengan pembuluh darah

yang rapuh. Ini bisa terjadi saat cedera ataupun saat melakukan

reduksi. Tungkai harus selalu diperiksa ada tidaknya tanda-tanda

iskemia sebelum dan sesudah reduksi.

 Fraktur-dislokasi. Jika ada hubungan fraktur proksimal humerus,

mungkin diperlukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal.

2. Terlambat

 Kaku bahu. Lamanya immobilisasi dapat menyebabkan kekakuan

pada sendi bahu, khususnya pada pasien diatas 40 tahun.

 Dislokasi tak tereduksi. Dislokasi sendi bahu terkadang tidak

terdiagnosa. Biasa terjadi pada pasien yang tidak sadar atau

terlalu tua. Reduksi tertutup baik dilakukan sampai 6 minggu


setelah cedera; manipulasi yang dilakukan setelah itu dapat

menyebabkan fraktur, robekan pembuluh darah atau saraf.

 Dislokasi rekuren. Jika dislokasi anterior merobek kapsul sendi

bahu, perbaikan diikuti reduksi secara spontan maka dislokasi

mungkin tidak terjadi, tetapi bila glenoid lepas atau kapsul

tertanggal didepan leher glenoid, rekurensi lebih sering terjadi

(Scheibel, 2011; Schenk, 2011).


BAB III
PENUTUP

Dislokasi sendi bahu merupakan salah satu kelainan dalam bidang bedah

ortopaedi yang sering ditemukan di masyarakat. Penyebab terseringnya ialah

trauma. Pemahaman yang cermat mengenai anatomi sendi bahu sangat penting

bagi kita sebagai kunci kerberhasilan dalam mereduksi kembali dislokasi yang

terjadi. Pemeriksaan radiologis dapat membantu menentukan tipe dislokasi dan

adanya tidaknya fraktur yang menyertai. Berbagai teknik dapat dilakukan untuk

mereduksi kembali dislokasi yang terjadi, dengan atau tanpa pembiusan.


DAFTAR PUSTAKA

Cole A, Pavlou P. The Shoulder and Pectoral Girdle. Dalam: Solomon Louis,

Warwick David, Nayagam Selvadurai (Ed). Apley’s System of

Orthopaedic and Fracture 9th ed. 2010. London: Hodder Arnold. 337-

368.

Keating John, Hoofer Geoff, Robb James. Regional Injuries. Dalam: Luqmani

Lashid, dkk (Ed). TextBook of Orthopaedic, Trauma, and Rheumatology.

2004. Philadelpia: Mosby.

Lutz, M. 2006. Shoulder Dislocation (Anterior Glenohumeral). Colorado, pp 8.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.

Hal. 406-408.

Salter, RB. Textbook of the Disorder and Injury of the Muskuloskeletal System

3rd ed. 1999. Pennysylvania: Williams & Wilkins. 589-592.

Scheibel M, Kuke A, Nikulka C, Magosch P, Ziesler O, Schroeder RJ. How long

should acute anterior dislocations of the shoulder be immobilized in

external rotation?. Am J Sports Med. 2009 Jul. 37(7):1309-16

Schenk TJ, Brems JJ. Multidirectional instability of the shoulder:

pathophysiology, diagnosis, and management. J Am Acad Orthop Surg.

1998 Jan-Feb. 6(1):65-72


Solomon, L., et al. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth

edition. 739-744.

Anda mungkin juga menyukai