Anda di halaman 1dari 72

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

ULKUS DIABETIKUM

Disusun oleh:

Ellen Viana / 01073170125


Zekordavar Lavadka / 01073170056
Theodore Dick Liwongan / 01073170
Levinna / 01073170049
William Adiwinata / 01073170108
Nathanael Wilson Wijaya / 01073170105
Ferdinand Sukher / 01073170067

Penguji:

dr. Freda Susana Halim, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE MARET – JUNI 2019

TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 64 Tahun
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Alamat : Jalan Pasir Raja
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal masuk RS : 6 April 2019

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien dan


aloanamnesis oleh keluarga pasien pada tanggal 9 April 2019 pada pukul 15.00
WIB.

Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan luka pada kaki kiri sejak 3 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke instalasi gawat darurat Rumah Sakit Umum
Siloam dengan keluhan luka pada kaki kiri yang memburuk sejak 3 minggu
yang lalu. Awalnya luka hanya kemerahan dan kecil, seiring berjalannya
waktu luka semakin besar, dalam, berbau, dan terdapat perubahan warna
kulit di jaringan luka menjadi kehitaman sejak 2 minggu yang lalu. Luka
tidak di rawat oleh pasien. Pasien juga mengeluhkan baal pada bagian luka.

2
Pasien mengeluhkan kesemutan di bagian telapak kaki kiri. Pasien tidak
mengeluhan adanya keluhan nyeri kaki saat berjalan yang diperingan saat
istirahat.
Keluhan tambahan pasien berupa nyeri dan bengkak pada kaki
kanan sejak 1 minggu SMRS. Nyeri yang dirasakan progresif sejak 1
minggu yang lalu, dan timbul terus-menerus sepanjang hari dengan intesitas
VAS 4. Nyeri lebih dirasakan pada saat pasien menggerakkan kakinya. Saat
ini pasien sudah tidak dapat berdiri dan berjalan karena kakinya bengkak
dan berat. Awalnya pasien merasa muncul kemerahan pada kaki kanan yang
semakin hari semakin menyebar dan timbul bengkak. Selain nyeri dan
bengkak pasien merasa panas pada bagian kaki kanannya. Keluhan demam
disangkal oleh pasien. Menurut pasien kedua tangan dan kaki pasien sering
merasa kesemutan, dan pandangan mata mulai kabur.
3 minggu SMRS pasien sudah berobat ke dokter keluarga dan
diberikan obat diabetes dan antibiotik untuk meringankan keluhannya,
namun tidak ada perubahan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit terdahulu : Pasien memiliki keluhan serupa 8 tahun
yang lalu yaitu luka pada bagian punggung. Luka yang bertambah besar
seiring berjalannya waktu dan bernanah. Pasien saat itu berobat ke klinik
dekat rumah dan didiagnosis diabetes mellitus dengan gula darah sewaktu
700 mg/dL, dan diberikan obat penurun gula. Saat itu luka dibersihkan oleh
anggota keluarga tanpa pertolongan tenaga medis. Setelah pasien merasa
lebih baik, obat gula tidak lagi dilanjutkan, dan pasien tidak kontrol lagi ke
dokter.
Kecelakaan : Riwayat kecelakaan disangkal pasien
Operasi : Riwayat operasi disangkal pasien

Riwayat Keluarga
- Riwayat keluarga diabetes mellitus disangkal pasien

3
- Riwayat keluarga darah tinggi disangkal pasien
- Riwayat keluhan serupa di keluarga disangkal pasien.

Riwayat Sosial/ Kebiasaan/ Pola Hidup


- Merokok -
- Alkohol -
- Obat-obatan -
- Olah raga –

III. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
GCS : E4 M6 V5 (15)
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 110 x/min
Suhu : 36.7 oC
Respirasi : 20 x/min
Saturasi O2 : 98 %

Pemeriksaan Sistem

Kepala dan Rambut  Rambut tersebar secara merata


wajah  Rambut berwarna hitam, kuat, tidak
mudah rontok
Kulit kepala  Tidak ada ruam
 Tidak terdapat bekas luka
 Tidak ada masa
 Tidak ada deformitas
 Tidak ada sianosis/kebiruan

4
 Tidak ada ikteris/jaundice/kekuningan
 Tidak ada kemerahan
 Tidak ada edema
Fungsi  Pergerakan kepala normal
 Tidak ada keterbatasan gerak (range of
motion)
Mata  Mata normal
 Konjungtiva pucat
 Tidak ada sclera ikteris
 Tidak ada ptosis (drooping eyelids)
 Tidak ada bekas luka
 Pupil bulat, sama besar dan bentuk (isokor), diameter
3mm/3mm
 Refleks pupil langsung dan tidak langsung normal (+/+)
 Jarak antar mata simetris
 Pergerakan bola mata normal
 Tidak ada keterbatasan lapang pandang
 Air mata normal
 Tidak ada strabismus
Hidung  Penampakan hidung normal
 Tidak terdapat abnormalitas pigmentasi kulit
 Septum nasal normal, berada di tengah, tidak ada deviasi
 Tidak ada bekas luka
 Mukosa tidak hiperemis
 Tidak ada polip/masa lain dalam lubang hidung
 Tidak ada pendarahan
 Tidak ada discharge
 Tidak ada deformitas
Telinga  Tidak terdapat abnormalitas pigmentasi kulit

5
 Penampakan telinga kanan dan kiri normal
 Bentuk dan ukuran normal, simetris  normotia
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada deformitas
 Tidak ada pus
 Tidak ada pendarahan
 Rongga telinga normal
 Tidak ada nyeri tekan pada mastoid
Sinus  Tidak ada nyeri tekan
Gigi dan mulut  Bibir normal, simetris, tidak ada sianosis/kebiruan
 Gigi utuh, tidak ada karies, tidak ada kavitas, ada sedikit
plak, dan kehitaman
 Mukosa mulut normal, tidak ada ulkus/luka, tidak ada
nodul/masa
 Lidah normal, merah muda, bersih, gerakan normal,
indra perasa normal, tidak ada deviasi maupun atrofi
 Palatum normal, celah langit-langit tidak terlihat.
 Faring normal.
 Uvula intak di tengah
 Tonsil normal.
Leher  Penampakan leher normal
 Tidak terdapat abnormalitas pigmentasi warna kulit
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada ruam
 Trakea intak di tengah, tidak ada deviasi
 Tidak ada pembesaran tiroid
 Tidak ada pembesaran kelenjar parotis
Thorax
Jantung Inspeksi  Iktus kordis tidak terlihat

6
Palpasi  Iktus kordis teraba di ICS V linea
midclavicular sinistra
Perkusi  Batas jantung normal, tidak ada
pembesaran
Auskultasi  Suara jantung normal:
 S1 normal
 S2 normal
 Tidak ada murmur
 Tidak ada gallop
Paru-paru Inspeksi  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Kembang paru simetris, tidak ada yang
tertinggal
 Tidak ada barrel chest
 Tidak ada pectus excavatum maupun
pectus carinatum
 Tidak ada masa
 Tidak ada lesi
 Tidak ada ruam
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada retraksi intercostal
 Tidak ada retraksi supraclavicular
 Tidak ada penggunaan otot pernapasan
abdomen
Palpasi  Taktil fremitus tidak dapat dilakukan
Perkusi  Perkusi paru normal, sonor dan
simetris di kedua lapang paru
 Batas paru hepar normal
Auskultasi  Tidak ada wheezing dan rhonki

7
Abdomen Inspeksi  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Tidak ada distensi abdomen
 Tidak ada ruam
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada striae
 Tidak ada caput medusa
 Tidak ada spider navy
 Tidak ada masa
Auskultasi  Bising usus dalam batas normal
 Tidak ada bruit aorta abdominalis
maupun bruit arteri renalis
 Tidak ada clicking sound maupun
metallic sound
Perkusi  Perkusi normal, timpani di seluruh
bagian abdomen
Palpasi  Palpasi normal
 Tidak terdapat nyeri tekan
 Tidak ada hepatomegali
 Tidak ada splenomegali
 Ballotement test (-/-)
 Pemeriksaan nyeri ketok CVA negatif
pada kedua sisi (-/-)
Ekstremitas atas Look  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Ekstremitas simetris secara orientasi
anatomis
 Jari-jari tidak ada tanda deformitas
 Tidak ada pucat

8
 Tidak sianosis/kebiruan
 Tidak ikteris/jaundice/kekuningan
 Kuku normal, tidak ada clubbing finger
Feel  Ekstremitas hangat
 Capillary Refill Time normal (+-2
detik)
 Tidak terdapat krepitasi ataupun nyeri
tekan
Move  Lengan kanan memiliki kekuatan
motorik 5-5-5-5, ROJM normal
 Lengan kiri memiliki kekuatan motorik
5-5-5-5, ROJM normal

Pemeriksaan Status Lokalis

Ekstremitas Look  Ditemukan diskontinuitas jaringan


bawah pedis dengan tepi tidak rata dan jaringan
sinistra nekrotik di bagian tengah pada regio
calcaneus, dengan ukuran 5 cm x 5 cm
 Tidak terdapat atrofi
 Jari-jari tidak ada tanda deformitas
 Tidak ada pucat
 Tidak sianosis/kebiruan
 Tidak ikteris/jaundice/kekuningan
Feel  Paresthesia pada bagian sekitar luka
 Ekstremitas hangat
 Capillary Refill Time < 2 detik
Move  Kekuatan motoris 5-5-5-5, ROJM
dalam batas normal

9
Ekstremitas Look  Tampak edema pada pedis dextra,
bawah pedis berwarna kemerahan, panas, kulit
dextra kering dan banyak terkelupas, tampak
pelebaran vena pada beberapa tempat.
 Ditemukan diskontinuitas jaringan
dengan tepi tidak rata dasar fasia pada
regio dorsum pedis dextra, berbentuk
sirkuler dengan diameter kurang lebih
1 cm
 Jari-jari tidak ada tanda deformitas
 Tidak ikteris/jaundice/kekuningan
 Kuku berbentuk normal
Feel  Paresthesia pada plantar pedis dextra
 Nyeri tekan pada bagian luka +
 Ekstremitas hangat
 Capillary Refill Time <2 detik
Move  Kekuatan motoris 0, ROJM tidak dapat
diperiksa
Punggung Look  Ditemukan bekas luka tertutup pada
regio scapula sinistra berukuran kurang
lebih 4 cm x 2 cm. Bentuk cekung,
terdapat hiperpigmentasi
Feel  Nyeri tekan -

Foto klinis

Cruris Sinistra

10
Cruris Dextra

11
IV. Saran Pemeriksaan Penunjang:

a. Laboratorium
b. X-ray pedis sinistra
c. X-ray thorax AP/PA
d. ECG

V. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium (6 April 2019)

Hemoglobin ↓ 10.50 g/dL 13.20 – 17.30


Hematocrit ↓ 30.60 % 40.00 – 52.00
Eritrosit (RBC) ↓ 4.24 106/mcL 4.40 – 5.90

12
Leukosit (WBC) ↑ 25.42 103/mcL 3.8 – 10.60
Platelet 413.0 103/mcL 150.00 – 440.00
MCV ↓ 72.20 fL 80 – 100
MCH ↓ 24.80 pg 26 – 34
MCHC 33.70 g/dL 32 – 36
Biochemistry
SGOT - SGPT
SGOT (AST) ↑ 137 U/L 0 – 40
SGPT (ALT) ↑ 94 U/L 0 – 41
Ureum ↑ 198 mg/dL <50
Creatinine
Creatinine ↑ 6.87 mg/dL 0.5 – 1.3
eGFR 7.7 mL/menit/1.73m2
CKMB – Troponin T
CK – MB ↑ 36.5 U/L 7 – 25
Troponin T hs ↑↑ 1049.0 Pg/mL 0.00 – 14.00
Blood Random Glucose ↑ 284 mg/dL <200

Electrolyte
Sodium (Na) ↓↓ 122 mmol/L 137 – 145
Potassium (K) ↑ 5.5 mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride (Cl) ↓ 75 mmol/L 98 – 107
Hematology
Prothrombin time
Control 10.70 Seconds 8.9 – 12.1
Patient ↑ 11.40 Seconds 9.4 – 11.3
INR 1.06
A.P.T.T.

13
Control 31.00 Seconds 26.8 – 36.2
Patient ↑ 40.90 Seconds 27.70– 40.20

b. X-ray Thorax

Kesan:
Kardiomegali dengan aorta kalsifikasi
Fibrosis pada lapangan bawah paru kanan

c. X-ray Pedis Sinistra

14
Kesan:
Tidak tampak gambaran osteomyelitis pedis sinistra

d. ECG

Kesan:
Sinus rhythm
Left axis deviation
Heart rate 100 bpm
Incomplete right bundle branch block (V3 – V4)
Old myocard infark  Q pathologic in lead II, III, aVF
T inverted  V2 V3

15
VI. Diagnosis kerja

Sepsis
Ulkus diabetikum wagner grade II regio kalsaneus sinistra
Ulkus diabetikum wagner grade II regio dorsum pedis medial
dekstra
Selulitis regio kruris - pedis dekstra
CAD; DM tipe II; AKI;

VII. Resume

Pasien datang ke IGD RSU pada tanggal 9 April 2019 dengan keluhan luka
pada kaki kiri sejak 3 minggu SMRS. Awalnya luka hanya kemerahan dan kecil,
seiring berjalannya waktu luka semakin besar, dalam, berbau, dan terdapat
perubahan warna kulit di jaringan luka menjadi kehitaman sejak 2 minggu yang
lalu. Luka tidak di rawat oleh pasien. Keluhan tambahan pasien berupa nyeri dan
bengkak pada kaki kanan sejak 1 minggu SMRS. Nyeri yang dirasakan progresif
sejak 1 minggu yang lalu, dan timbul terus-menerus sepanjang hari dengan intesitas
VAS 4. Nyeri lebih dirasakan pada saat pasien menggerakkan kakinya. Awalnya
pasien merasa muncul kemerahan pada kaki kanan yang semakin hari semakin
menyebar, bengkak, dan panas. Keluhan demam disangkal oleh pasien. Menurut
pasien kedua tangan dan kaki pasien sering merasa kesemutan, dan pandangan mata
mulai kabur. 3 minggu SMRS pasien sudah berobat ke dokter keluarga dan
diberikan obat diabetes dan antibiotik untuk meringankan keluhannya, namun tidak
ada perubahan. Riwayat keluhan serupa 8 tahun yang lalu yaitu luka pada bagian
punggung. Pasien saat itu berobat ke klinik dekat rumah dan didiagnosis diabetes
mellitus dengan gula darah sewaktu 700 mg/dL, dan diberikan obat penurun gula.
Saat itu luka dibersihkan oleh anggota keluarga tanpa pertolongan tenaga medis.
Setelah pasien merasa lebih baik, obat gula tidak lagi dilanjutkan, dan pasien tidak
kontrol lagi ke dokter.

16
Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS 15, tanda-tanda vital ditemukan
peningkatan denyut nadi. Ditemukan konjungtiva pucat, pada ekstremitas bawah
sinistra terdapat diskontinuitas jaringan dengan tepi tidak rata dan jaringan nekrotik
di bagian tengah pada regio calcaneus, dengan ukuran 5 cm x 5 cm, serta paresthesia
pada bagian luka. Pada ekstremitas bawah dextra tampak edema pada pedis dextra,
berwarna kemerahan, panas, kulit kering dan banyak terkelupas, tampak pelebaran
vena pada beberapa tempat, dan ditemukan diskontinuitas jaringan dengan tepi
tidak rata dasar fasia pada regio dorsum pedis dextra, berbentuk sirkuler dengan
diameter kurang lebih 1 cm, terdapat nyeri tekan pada bagian kaki kanan dan
paresthesia pada plantar dextra. Di bagian punggung ditemukan bekas luka tertutup
pada regio scapula sinistra berukuran kurang lebih 4 cm x 2 cm. Bentuk cekung,
terdapat hiperpigmentasi.

Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia mircositic hypochrome,


lucocytosis, peningkatan SGOT, SGPT, ureum, creatinine, CKMB, Troponin T,
gula darah, PT, dan APTT, serta penurunan sodium dan kloride. Dari hasil x-ray
thorax PA ditemukan adanya kardiomegali dan fibrosis pada paru kanan bawah.
Pada x-ray pedis sinistra dalam batas normal. Pada EKG ditemukan adanya infark
lama.

Maka dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


pasien didiagnosis sepsis, ulcus diabetikum grade II region calcaneous sinistra,
ulkus diabetikum grade I region dorsum pedis medial dextra, selulitis region cruris
pedis dextra, CAD, DM tipe II, dan AKI.

VIII. Tatalaksana

Non – Farmakologi:

 Rawat Inap
 Konsultasi spesialis bedah umum
o Pro operasi debridement ulcus DM 9 April 2019 bersama
dr. Andry, Sp.B

17
 Konsultasi spesialis penyakit dalam
o Sepsis, DM, CKD
 Konsultasi spesialis jantung
o CAD

Farmakologi:

 Ceftriaxone 2 gr IV
 Metronidazole 50 mg IV
 Paracetamol 500 mg Po
 Omeprazole 4 mg IV
 Novorapid 10 U SC
 Atrovastatin 20 mg Po
 Biknat 100 mg PO
 Lantus 10 U SC
 Ketorolac 30 mg IV
 Tramal 1 mg IV
 IV Fluid = NaCl 500 cc

IX. Follow up

Laporan intraoperasi:
1. Pasien tidur terlentang dalam general anesthesia
2. Asepsis dan antisepsis lapangan operasi persempit dengan doek
steril
3. Pada kaki kanan dilakukan nekrotomi, kuretase, cuci dengan H2O2
3% lalu bilas dengan NaCl steril
4. Tutup dengan tampon betadine
5. Lakukan nekrotomi, kuretase, cuci dengan H2O2 3% lalu bilas
dengan NaCl steril pada region kalkaneus sinistra
6. Pasang satu buah tampon betadine

18
7. Operasi selesai

Tanggal Jam Mg/dL Gambar intraoperasi


9/4/19 05.00 403
9/4/19 11.00 334
9/4/19 17.00 218
10/4/19 5.30 234
10/4/19 11.10 311
10/4/19 17.35 386
11/4/19 5.00 245
11/4/19 12.05 198

Gula darah sewaku

19
Tanggal Jam Mg/dL
11/4/19 17.00 107
11/4/19 22.00 147

12/4/19 6.00 111


12/4/19 12.00 66
12/4/19 17.00 141
12/4/19 22.00 79
13/4/19 11.30 150

Random Blood Glucose


450

400

350

300
mg/dL

250
GDS
200

150

100

50

10 April 2019

20
S Keluhan membaik, Nyeri pasca operasi tidak ada
O Ku: Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis
TD: 130/80 mmHg | N: 82 x/min | T: 36.4 oC RR: 18 x/min | GDS: 218
Pf: Konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik
Inspeksi: Regio cruris dextra et sinistra: tertutup kasa dan perban. Rembesan
sulit dikaji.
Terpasang kateter urin, 100 ml
A Ulkus diabetikum wagner grade II regio kalsaneus sinistra
Ulkus diabetikum wagner grade I regio dorsum pedis medial dekstra
Selulitis regio kruris - pedis dekstra
Post debridement POD #1
CAD; DM tipe II; AKI;
P NS 500 ml/8jam Novorapid 5x10 u
Ceftriaxone 2x2 mg Lantus 1x10 u
Metronidazole 3x500 mg Atorvastatin 1x20 mg
Paracetamol 3x500 mg Biknat 3x50 mg
Omeprazole 2x4 mg Ketorolac 3x30 mg
Pro usg abdomen, memo +

11 April 2019
S Keluhan membaik. Nyeri tidak ada
O Ku: Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis
TD: 130/80 mmHg | N: 78 x/min | T: 36.4 oC RR: 20 x/min | GDS: 245
Pf: Konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik
Inspeksi: Region cruris dextra et sinistra: tertutup kasa dan perban.
Rembesan + dextra.
Terpasang kateter urin 300 ml
A Ulkus Diabetikum Wagner Grade II Region calcaneous sinistra

21
Selulitis Region cruris pedis dextra
Post debridement POD# 2
CAD; DM tipe II; AKI;
P NS 500 ml/8jam Lantus 1x10 u
Ceftriaxone 2x2 mg Atorvastatin 1x20 mg
Metronidazole 3x500 mg Biknat 3x50 mg
Paracetamol 3x500 mg Ketorolac 3x30 mg
Omeprazole 2x4 mg Iramal 2x1 ampul
Novorapid 5x10 u Pro usg abdomen, memo +
Acc pulang, resume +, resep +

Hasil Laboratorium 11 April 2019


Hemoglobin ↓ 10.80 g/dL 13.20 – 17.30
Hematocrit ↓ 31.40 % 40.00 – 52.00
Erythrocyte (RBC) 4.45 10^6/µL 40.00 – 5.90
White blood cell (WBC) 26.74 10^3/ µL 3.80 – 5.90

Platelet count 298.00 10^3/ µL 150.00 – 440.00
MCV, MCH, MCHC
MCV ↓ 70.60 fL 80.00 – 100.00
MCH ↓ 24.30 Mg 26.00 – 34.00
MCHC 34.40 g/dL 32.00 – 36.00
Electrolyte
Sodium (Na) 138 Mmol/L 137 – 145
Potasium ↓ 3.3 Mmol/L 3.6 – 5.0
Chloride 101 Mmol/L 98 – 107

12 April 2019

22
S Tidak ada keluhan
O Ku: Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis
TD: 130/90 mmHg | N: 82 x/min | T: 36.4 oC RR: 20 x/min | GDS: 128
Pf: Konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik
Inspeksi: Region cruris dextra et sinistra: tertutup kasa dan perban.
Rembesan + dextra dan sinistra.
Palpasi: Regio cruris dextra: teraba hangat, nyeri tekan (+)
A Ulkus diabetikum wagner grade II regio kalsaneus sinistra
Ulkus diabetikum wagner grade I regio dorsum pedis medial dekstra
Selulitis regio kruris - pedis dekstra
Post debridement POD #3
CAD; DM tipe II; AKI;
P NS 500 ml/8jam Atorvastatin 1x20 mg
Ceftriaxone 2x2 mg Biknat 3x50 mg
Metronidazole 3x500 mg Ketorolac 3x30 mg
Paracetamol 3x500 mg Iramal 2x1 ampul
Omeprazole 2x4 mg Pro usg abdomen, memo +
Novorapid 5x10 u Acc pulang, resume +, resep +
Lantus 1x10 u Konsul Sp.KJ belum dijawab

13 April 2019
S Tidak ada keluhan, nyeri kaki kanan minimal,
O Ku: Tampak sakit sedang
Kes: Compos mentis
TD: 150/90 mmHg | N: 96 x/min | T: 36.5oC | RR: 18 x/min | GDS: 137
Pf: Konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik
Inspeksi: Region cruris dextra et sinistra: tertutup kasa dan perban. Tampak
edema minimal dan eritema cruris dextra
Palpasi: Pitting edema + dextra

23
A Ulkus diabetikum wagner grade II regio kalsaneus sinistra
Ulkus diabetikum wagner grade I regio dorsum pedis medial dekstra
Selulitis regio kruris - pedis dekstra
Post debridement POD #4
CAD; DM tipe II; AKI;
P NS 500 ml/8jam Biknat 3x50 mg
Ceftriaxone 2x2 mg Ketorolac 3x30 mg
Metronidazole 3x500 mg Iramal 2x1 ampul
Omeprazole 2x4 mg Pro usg abdomen, memo +
Novorapid 5x10 u Acc pulang, resume +, resep +
Lantus 1x10 u Konsul Sp.KJ belum dijawab
Atorvastatin 1x20 mg

X. Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad Bonam


Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam

24
BAB II. PEMBAHASAN KASUS

I. Analisa Diagnosis

1.1.Diagnosis dan diagnosis banding lainnya

Pasien datang dengan keluhan luka di kaki kanan yang semakin membesar,
disertai riwayat diabetes. Keluhan luka pasien mengarah kearah ulkus diabetes
dengan lokasinya yaitu pada pressure-point di kalsaneus, disertai gula darah yang
tidak terkontrol. Ulkus diabetes pasien sudah masuk ke dalam kategori infeksi dan
iskemia. Pasien ini sudah masuk ke dalam sepsis dimana nadi pasien adlaah
110x/menit dan leukositosis hingga 25 x 109.

1.2.Analisa Jenis Luka

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, luka pada kaki kiri pasien
masuk ke dalam etiologi neuropati, dan luka pada kaki kanan ke dalam
neuroiskemik. Kaki kiri pasien mempunyai penurunan sensasi, dengan kondisi
arteri yang cenderung baik dengan lokasi pada pressure-point. Sedangkan kaki
kanan pasien mempunyai penurunan sensasi, disertai lemahnya arteri dorsalis pedis,
yang lebih mengarh kearah neuroiskemik.

Tabel 1. Karakteristik Ulkus Diabetik Berdasarkan Etiologi 1

25
1.3.Analisa Pemeriksaan Vaskular

Berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik, pasien tidak mempunyai


diagnosis penyakit vaskular yang perlu ditatalaksana dengan cepat yaitu Chronic
limb ischemia, dan Acute Limb Ischemia. Pasien tidak mempunyai riwayat
klaudikasio, yang diperingan saat istirahat. Pasien juga tidak masuk dengan kondisi
iskemik dengan gambaran 6P: Pallor, paralysis, poikilothermia, pain,
pulselessness, dan paresthesia. Dengan adanya luka dengan jaringan eskar yang
nekrosis, dan nadi dorsalis pedis yang melemah, maka perlu dilakukkan
pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter Sp.JP lebih lanjut dan dilakukkan
pemeriksaan USG doppler, ataupun CT arteriografi.

1.4.Analisa Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan fungsi neurologis pada kaki diabetes meliputi pemeriksaan


saraf sensoris untuk menilai fungsi sensoris protektif kaki, saraf motorik, dan saraf
autonomik.

Pemeriksaan baku emas fungsi sensoris protektif kaki yang seharusnya


dilakukkan adalah dengan menggunakkan:1

- Semmenstein 10 g monofilamen
- Palu vibrasi.

Pemeriksaan Monofilamen dilakukkan pada tiga titik yang


direkomendasikkan, dengan menggunakkan monofilamen 10 g hingga tertekuk.

26
Bagan 1. Pemeriksaan Monofilamen

Pada pasien ini tidak dilakukkan pemeriksaan baku emas yang dianjurkan
oleh panduan klinik International Best Practice, karena keterbatasan alat. Namun
berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik terdapat gejala dan tanda disfungsi
saraf sensoris, dan autonomis. dengan pemeriksaan neurologis ditemukkan adalah
hipestesia pada kaki kanan dibandingkan dengan kaki kiri. Pada pasien ini dapat
diperkirakkan adanya kehilangan dari.

Disfungsi saraf motorik yang ditandai dengan adanya wasting dari otot-
otot intrinsik kaki pada antara sela-sela metatarsal dan dibawah arkus plantas tidak
ditemukkan. Tanda-tanda clawfoot tidak ditemukkan pada pasien ini.

Pada pasien ini tidak ditemukkan adanya deformitas kaki: tidak


ditemukkan deformitas charcot yaitu hilang arkus plantar, dan timbulnya tulan baru
di bagian plantar.

1.5.Klasifikasi Ulkus Diabetes

Klasifikasi ulkus diabetes dilakukkan sebagai data dasar, dan untuk


membantu menentukkan tatalaksana yang diperlukkan pasien. Karakteristik yang
dinilai adalah ukuran, kedalaman, gambaran, dan lokasinya. Terdapat beberapa

27
klasifikasi ulkus diabetes yang dapat digunakkan seperti klasifikasi Wagner,
University of Texas, PEDIS, dan SINBAD. (Tabel 1.)

Tabel 1. Klasifikasi-klasifikasi Ulkus DM

Pada pasien ini dilakukkan klasifikasi ulkus berdasarkan klasifikasi


Wagner karena klasifikasinya yang rutin digunakkan dan klasifikasi University of
Texas, karena pertimbangan adanya infeksi dan iskemia pada pasien ini. (Tabel 1)

Tabel 2. Klasifikasi Wagner Pada Pasien

Berdasarkan klasifikasi Wagner, kaki kanan pasien merupakan Wagner


derajat I, sedangkan kaki kiri merupakkan Wagner derajat II. (Tabel 2) Adanya
osteomielitis pada kaki kiri pasien patut dipertimbangkan. Pada pasien ini
dilakukkan pemeriksan foto konvensional kaki sinistra dan tidak ditemukkan
adanya gambaran osteomielitis. Namun pemeriksaan foto konvensional,
mempunyai angka sensitivitas dan spesifitas yang rendah berturut-turut saat fase
awal dan saat fase akhir osteomielitis.1 Sehingga pemeriksaan yang disarankan
untuk menentukkan adanya osteomielitis adalah pemeriksaan probe-to-bone pada
luka terbuka pasien, yang tidak bisa dilakukkan sebelum debridemen karena adanya
jaringan eskar pada ulkus pasien sehingga tidak diketahui dasarnya. Pada pasien ini

28
tidak dilakukkan pemeriksaan tersebut, namun setelah dilakukkan debridemen
ditemukkan bahwa dasar ulkus pasien bukanlah tulang sehingga diagnosis
osteomielitis dapat disingkirkan.

Berdasarkan klasifikasi University of Texas,(Tabel 3) kaki kanan pasien


masuk ke dalam kategori ID, sedangkan kaki kanan pasien masuk ke dalam kategori
IID.

Tabel 3. Klasifikasi University of Texas pada pasien ini.

1.6.Derajat Infeksi Pada Pasien

: Pasien dengan ulkus diabetes mempunyai resiko yang tinggi untuk


terinfeksi. Penilaian derajat infeksi penting untuk digunakkan untuk menentukkan
tatalaksana yang harus dilakukkan, metode pemberian antibiotik, dan menilai
keluaran pasien.

Pasien ini mempunyai ulkus diabetes yang terinfeksi, karena adanya tanda-
tanda inflamasi lokal pada kaki kanan yaitu eritema, edema, dan hangat saat
dipalpasi. Pada ulkus diabetes yang terinfeksi dilakukkan klasifikasi derajat
keparahan berdasarkan IDSA, pada pasien ini derajat IDSA adalah derajat 3 (Tabel
1.)

29
Tabel 1. Derajat Keparahan Infeksi Ulkus berdasarkan IWGF-IDSA

1.7.Analisa Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien ini ditemukkan beberapa hasil pemeriksaan penunjang yang


abnormal. Dari pemeriksaan laboratorium ditemukkan adanya anemia mikrositik
hipokrom, leukositosis, peningkatan SGOT SGPT, peningkatan ureum dan
kreatinin, peningkatan CKMB troponin H, hiponatremia, hiperkalemia, gangguan
koagulasi peningkatan APTT, PT.

Anemia mikrositik hipokrom pada pasien ini mungkin disebabkan karena


anemia defisiensi besi. Ditemukkannya leukositosis dan merupakkan tanda adanya
infeksi. Temuan leukositosis pada pasien ini membantu menunjang diagnosis sepsis
pada pasien, dan juga memasukkan pasien ke dalam derajat berat berdasarkan
klasifikasi infeksi ulkus diabetes berdasarkan IDSA. Peningkatan SGOT & SGPT,
dan peningkatan APTT dan PT, yang tidak terlalu signifikan dengan kondisi pasien
ini mungkin adalah peningkatan reaktif karena inflamasi. Adanya peningkatan
CKMB dan Troponin H, dengan hasil EKG tanpa ST elevasi, menandakkan adanya
NSTEMI pada pasien ini.

30
II. Analisa Tatalaksana

Tatalaksana pada pasien ini meliputi penanganan sepsis (kendali infeksi),


dan penanganan ulkus yang meliputi kendali infeksi, kendali metabolik, kendali
vaskular, kendali luka, kendali tekanan, dan penyuluhan.1, 2
Penanganan sepsis
merupakan suatu kegawatdaruratan yang perlu ditatalaksana dengan cepat dan perlu
perawatan inap, yang dapat dilakukkan di bangsal rawat inap biasa karena kondisi
pasien yang stabil.

1.8. Kendali Infeksi

Penanganan sepsis pada pasien ini dilakukkan Karena pasien ini terdapat
sepsis, kendali infeksi pada pasien ini meliputi:3, 4 (Bagan 1.)

1. Perbaikkan tanda-tanda vital & resusitasi


2. Pemberian antibiotik
3. Kendali sumber infeksi

Bagan 1. Algoritma Tatalaksana Infeksi pada Ulkus Diabetes.4

31
1. Perbaikkan tanda-tanda vital & rehidrasi cairan

Pasien masuk tidak dalam kondisi syok. Kondisi tanda-tanda vital pasien
selain adanya takikardia dalam batas normal.

Secara klinis pasien mempunyai dehidrasi, secara pemeriksaan penunjang


ditemukkan peningkatan kreatinin, tidak adanya hemokonsentrasi. Sehingga pada
pasien ini dapat diberikkan rehidrasi cairan. Pada pasien ini dilakukkan pemasangan
infus, dan kateter urin, lalu dilakukkan rehidrasi dengan menggunakan normal
saline 0.9% per 8 jam.

Pasien ini mempunyai gangguan elektrolit, glukosa darah, dan. Untuk


tatalaksana pasien dikonsulkan kepada dokter spesialis penyakit dalam; untuk
hiponatremia dilakukkan koreksi, dan untuk hiperglikemia dilakukkan penurunan
gula darah dengan menggunakkan insulin.

2. Pemberian Antibiotik

Pemberian antibiotik pada pasien diberikkan sedini mungkin, dengan


pengambilan kultur darah sebelum pemberian antibiotik. Pemilihan antibiotik yang
digunakkan adalah antibiotik spektrum luas, disertai dengan antibiotik untuk
anaerob dengan cara pemberian parenteral.3, 4 (Tabel 2.)

Pada pasien ini pemberian antibiotik sudah sesuai dengan panduan, dengan
pengambilan hasil kultur sebelum pemberian antibiotik. Antibiotik yang
digunakkan pada pasien ini adalah Ceftriaxone 2 x 2 gram, dan Metronidazole 1 x
500 gram.

Tabel 2. Penanganan Infeksi4

32
3. Kendali Sumber Infeksi

Pada pasien ini terdapat jaringan nekrotik pada luka yang harus
dibersihkan, sehingga dilakukkan debridemen pada luka di kaki kanan dan kaki kiri.

1.9.Kendali Metabolik

Kontrol hiperglikemia perlu dilakukkan dengan

Pada pasien ini gula darah pasien cenderung tinggi, yang menandakkan
adanya inflamasi bahkan setelah dilakukkan debridemen. Kendali metabolik yang

1.10. Kendali Vaskular

Pada pasien ini tidak dilakukkan pemeriksaan. Menurut panduan klinis


International Diabetes Foundation, seharusnya dilakukkan. Saran untuk selanjutnya
pada pasien ini dapat dilakukkan periferal arteri diseas

1.11. Kendali Luka

Kendali luka dilakukkan dengan prinsip TIME: Tissue debridement,


Inflammation and Infection control, Moisture balance, Epithelial edge
advancement.1, 2

Debridemen luka dilakukkan dan dipilih yang terusak. Baku emas


debridemen adalah dengan debridemen tajam (surgical debridement). Debridemen
dilakukkan untuk membersihkan eskar dan kalus dari luka pada kaki kanan, dan
untuk membersihkan selulitis pada kaki kanan.

Pembahasan kendali inflamasi dan infeksi pada luka dilakukkan dengan


pemberian antibiotik spektrum luas secara parenteral selama 1-2 minggu, yang pada
pasien ini dilakukkan dengan pemberian seftriakson, dan metronidazol.

Pada pasien ini terdapat dua luka yang perlu mendapat pemilihan pembalut
luka yang berbeda. Untuk luka nekrotik di kaki kiri pasien dianjurkan untuk
menggunakan pembalut luka yang menjaga kelembaban karena jaringan nekrotik

33
kering, dapat dilakukkan pelindung luka dengan hydrogel setelah dilakukkan
debridemen. (Tabel 5.). Pada luka kaki kanan, karena adanya infeksi maka
perawatan luka dilakukkan dengan pembalut luka yang bersifat antibakteri yang
pada pasien ini dapat diberikkan dengan kandungan perak. (Tabel 5.)

Tabel 5. Pilihan Pembalut Luka

34
1.11.1. Epithelial edge management

Debridement tepi luka dari kalus, dan jaringan nekrotik penting untuk
dilakukkan untuk penyembuhan luka yang baik.

1.12. Kendali Tekanan

Kendali tekanan (offloading) adalah tatalaksana utama pada ulkus DM.


Kendali tekanan yang merupakkan baku emas pada penanganan pasien ulkus DM
adalah dengan menggunakkan Total Contact Cast (TCC) Cara non-operatif dapat
dilakukkan dengan cara tirah baring, kursi roda, penyanggah, atau dengan Total
Contact Cast (TCC). Tatalaksana bedah, yang dapat dilakukkan adalah dengan
pembedahan kalus, pemanjangan tendon achilles, arthroplastii metatarsofalangeal
pertama. Pembuangan kaluls, memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai. (Tabel
3.)

Pada pasien ini karena adanya infeksi maka TCC dikontraindikasikan


karena penggunaan TCC sulit untuk dilakukkan pemeriksaan kaki yang rutin yang
dibutuhkan pasien. Pada pasien ini tidak dianjurkan penggunaan alat kendali
tekanan.

Tabel 3. Alternatif Tatalaksana Kendali Tekanan Selain Total Contact Cast (TCC) Pada
Pasien1

35
Untuk pasien ini penulis menyarankan untuk dilakukkan tatalaksana
offloading alternatif seperti aircast (removable cast walkers) dan dipakai setiap saat
baik selama pasien beraktivitias dan juga beristirahat. (Gambar 1.) Pemakaian
aircast dapat dimulai sejak pasien pulang dari rawat inap. Kerugian dari
penggunaan opsi ini adalah biayanya yang tidak ditanggung oleh BPJS dan juga
harga yang relatif mahal pada kisaran 800,000 – Satu juta.

Gambar 1. Removable Cast Walker1

Alternatif lain yang dapat dianjurkan kepada pasien, bila terdapat masalah
pembiayaan adalah dengan penggunaan penyanggah, dan kursi roda saat
beraktivitas. Saat pasien istirahat juga dianjurkan untuk tidur dengan kaki yang
diangkat untuk mengurangi tekanan.

36
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

I. Ulkus Diabetikum

1.1. Definisi

Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi dari diabetes mellitus


(DM) kronik yang tidak terkontrol berupa luka terbuka yang dapat disertai dengan
atau tanpa jaringan nekrotik di sekitarnya.

Ulkus diabetikum dapat digolongkan sebagai neuropatik jika terdapat


neuropati perifer tanpa adanya iskemia. Pada pasien dengan penyakit arteri perifer
tanpa neuropati, ulkus diabetikum digolongkan sebagai iskemik. Pada pasien
dengan kedua kelainan, ulkus diabetikum digolongkan sebagai neuroiskemik (7).

1.2.Epidemiologi

Menurut epidemiologi, 15% dari seluruh penderita diabetes mengalami


ulkus diabetikum dan 12-25% diantaranya mengalami amputasi.(1) Kondisi ini
akan lebih sering ditemukan pada pasien dengan usia lanjut. Diperkirakan sekitar
5% dari pasien dengan diabetes memiliki riwayat ulkus pada kaki dan risiko
terjadinya komplikasi ini pada pasien dengan diabetes adalah sebesar 15%.
Persentase ulkus diabetikum sebagai komplikasi diabetes mellitus pada tahun 2011
di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) adalah 8.7%.

Sebagian besar kasus ulkus diabetikum akan sembuh kembali, yaitu


kurang lebih pada 60-80%. Pada 10-15% pasien yang tidak mengalami
penyembuhan, ulkus akan tetap bersifat aktif sehingga menyebabkan perlunya
dilakukan amputasi dalam waktu 6-18 bulan setelah evaluasi pertama pada 5-24%
pasien(8). Jika dibandingkan, pasien dengan ulkus diabetikum neuropatik memiliki
kemungkinan terjadinya penyembuhan lebih tinggi dalam 20 minggu, sedangkan
pada pasien ulkus diabetikum neuroiskemik memiliki kemungkinan mengalami
amputasi. Ulkus diabetikum memberikan angka 40-70% sebagai penyebab
amputasi non-trauma tungkai bawah. Pada 85% pasien diabetes yang mengalami
amputasi, biasanya didahului dengan adanya ulkus.

37
1.3.Etiologi

Penyebab dari ulkus diabetikum terdiri dari berbagai komponen. Pada


penelitian yang dilakukan didapatkan 63% dari ulkus diabetikum yang
berhubungan dengan triase klinis neuropati sensori perifer, trauma, dan deformitas.
Faktor lain yang berkontribusi pada kejadian ulkus adalah iskemia, formasi dari
kalus, dan edema. Infeksi jarang diimplikasikan sebagai etiologi dari ulkus
diabetikum. Ulkus tersebut menjadi rentan terkena infeksi jika didapatkan luka.
Faktor risiko juga menjadi faktor predisposisi amputasi.

Tabel 3. Risk Factors for Lower Extremity Amputation in the Diabetic Foot

Absence of protective sensation due to peripheral neuropathy

Arterial insufficiency

Foot deformity and callus formation resulting in focal areas of high pressure

Autonomic neuropathy causing decreased sweating and dry, fissured skin

Limited joint mobility

Obesity

Impaired vision

Poor glucose control leading to impaired wound healing

Poor footwear that causes skin breakdown or inadequately protects the skin from
high pressure and shear forces

History of foot ulcer or lower extremity amputation

38
1.4.Patofisiologi

Ulkus diabetikum disebabkan oleh multifaktorial. Tiga faktor utama


berupa neuropati, trauma, dan deformitas. Faktor lain berupa iskemik, pembentukan
kalus, dan edema.

Faktor risiko yang paling signifikan dalam ulserasi di kaki adalah


neuropati diabetic, penyakit arteri perifer, dan trauma konsekuen pada kaki.
Neuropati diabetik merupakan faktor umum pada hampir 90% dari ulkus
diabetikum. Kerusakan saraf pada diabetes mempengaruhi serabut motor, sensori,
dan otonomik. Neuropati motorik menyebabkan lemah otot, atrofi, dan parese.
Neuropati sensori menyebabkan kehilangan sensasi protektif dari rasa sakit,
tekanan, dan panas. Disfungsi otonomik menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
produksi keringat, sehingga mengakibatkan hilangnya integritas kulit yang menjadi
rentan terhadap infeksi microbial.

Penyakit arteri perifer terjadi 2 hingga 8 kali lebih sering pada pasien
dengan diabetes dengan progresi cepat dan semakin parah. Gangguan biasanya
terjadi pada segmen di antara tumit dan lutut. Diabetes sendiri sudah terbukti
sebagai faktor risiko gangguan kardiovaskular dan prediktor dari hasil akhir ulkus
kaki. Cedera minor, terutama dengan komplikasi berupa infeksi, meningkatkan
kebutuhan suplai darah ke kaki. Ketidakmampuan suplai darah dapat menyebabkan
terjadinya ulserasi yang berpotensi dilakukannya amputasi.

Pada pasien dengan neuropati diabetikum, kehilangan sensasi pada kaki


menyebabkan cedera minor repetitif dari internal seperti kalus, kuku, deformitas
kaki dan eksternal seperti sepatu, luka bakar, benda asing yang tidak terdeteksi saat
kejadian dan dapat menyebabkan ulserasi. Hal ini dapat diperparah dengan adanya
infeksi.

Deformitas pada kaki secara structural seperti flatfoot, haluks valgus, claw
toes, neuroartropati Charcot, dan hammer foot memainkan peran penting dalam
perjalanan ulkus diabetikum karena kontribusinya pada tekanan plantar yang
abnormal dan menjadi predisposisi ulserasi.

39
Faktor risiko lain terjadinya ulserasi adalah riwayat ulserasi atau amputasi,
gangguan penglihatan, nefropati diabetikum, control glikemik yang buruk,
merokok. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ulserasi lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Faktor sosial seperti status
sosioekonomi yang rendah, akses pelayanan kesehatan yang buruk, dan edukasi
yang buruk juga berhubungan dengan kejadian ulkus lebih sering.

1.5.Diagnosis dan klasifikasi

Pemeriksaan fisik dari ulkus diabetikum dilakukan berdasarkan


pemeriksaan pada kulit dan sistem vaskuler, neurologis, dan muskuloskeletal.
Pemeriksaan dermatologi mencakup inspeksi dari kulit pada kaki dan tungkai
bawah, terutama bagian dorsal, plantar, lateral, medial dan posterior. Pemeriksaan
juga mengikuti kuku pada kaki. Hasil pemeriksaan yang perlu diperhatikan secara
seksama adalah kulit yang mengelupas dan maserasi atau fisura pada kulit
interdigiti. Melalui inspeksi, dapat juga dilihat tanda-tanda neuropati otonom dan
disfungsi sudomotor. Pada pasien dengan diabetes, terdapat risiko terjadinya
penyakit vaskular perifer, pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui
keberadaan penyakit tersebut adalah dengan palpasi pulsasi arteri bilateral pada
daerah kaki seperti pada arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri
popliteal, dan arteri femoralis superfisial. Palpasi ini bertujuan untuk mengevaluasi
sirkulasi darah ke tungkai bawah. Gangguan dari sirkulasi pada daerah tersebut
menyebabkan gangguan pada perfusi ke jaringan. Dengan begitu, pemulihan dari
ulkus menjadi kurang baik dan menghasilkan ulkus kronis yang rentan terhadap
infeksi. Untuk mengonfirmasi kecurigaan terhadap oklusi pada arteri, dapat
digunakan pemeriksaan sederhana berupa pengukuran tekanan darah sistolik
istirahat pada pergelangan kaki dan lengan. Berdasarkan pemeriksaan, dapat
ditemukan ankle-brachial index (ABI). Rasio normal dari ABI adalah 1.0-1.3.
Angka yang lebih tinggi menunjukkan tekanan yang lebih tinggi pada pergelangan
kaki yang mungkin disebabkan oleh kalsifikasi pada pembuluh darah. Rasio yang
lebih rendah mengindikasikan adanya gangguan pada pembuluh darah perifer dan
berhubungan dengan 50% stenosis pada pembuluh darah besar. Pemeriksaan

40
palpasi lainnya adalah dengan memeriksa temperatur kulit dengan punggung
tangan. Pada pemeriksaan normal, didapatkan hangat pada area tibia dan menjadi
lebih dingin pada jari distal. Peningkatan temperatur pada daerah distal
berhubungan dengan disfungsi sudomotor dan meningkatkan risiko mengalami
ulkus.

Neuropati diabetik dapat ditemukan melalui anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pasien dengan neuropati diabetik memiliki keluhan berupa sensasi terbakar,
tertusuk jarum, rasa nyeri yang tajam. Selain itu, gejala lain berupa kram otot yang
dirasakan bilateral (distribusi stocking and glove) dan semakin parah dirasakan saat
malam hari. Terdapat sistem skoring yang dapat membantu mengidentifikasi
neuropati yaitu NSS (Neuropathy Symptom Score)

Klasifikasi ulkus diabetikum menurut Wagner-Meggitt: (2)

1. Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, dapat disertai deformitas atau selulitis
2. Derajat I : ulkus superfisial terbatas pada kulit
3. Derajat II : ulkus hingga mencapai jaringan ligamen, tendon, kapsul sendi,
atau fascia tanpa abses atau osteomielitis
4. Derajat III : ulkus disertai abses atau osteomielitis
5. Derajat IV : gangren sebagian jaringan kaki
6. Derajat V : gangren seluruh jaringan kaki

Tabel 1. Klasifikasi ulkus diabetikum menurut Wager-Megitt

41
1.6. Evaluasi

Evaluasi dari ulkus diabetikum perlu mengikutsertakan bukan hanya status


lokalis, tetapi juga status neurologis dan vaskuler. Pemeriksaan neurologis yang
dapat dilakukan pada pasien dengan ulkus diabetikum adalah dengan monofilamen
Semmes-Weinstein untuk menentukan keberadaan sensasi protektif dari pasien.
Pemeriksaannya adalah dengan memastikan sensasi rasa pasien terhadap
monofilamen 10-g. Pemeriksaan sensasi vibrasi juga dilakukan menggunakan
garpu tala 128 Hz yang dilakukan pada pergelangan kaki dan sendi pertama
metatarsal-falangeal. Pasien dengan neuropati tidak dapat merasakan getaran pada
jari kaki, tetapi dapat mendeteksi getaran pada pergelangan kaki saat garpu tala
dipindahkan secara cepat dari jari ke pergelangan kaki. Hal ini didasari oleh konsep
bahwa pasien neuropati memiliki gradien pada intensitas dan lebih parah pada
daerah distal. Getaran yang dirasakan oleh jari pemeriksa tidak akan dirasakan lagi
melebihi 10 detik dari yang dirasakan pada kaki pasien pada pasien normal.

Pemeriksaan refleks patela dan achilles merupakan pemeriksaan lain yang


dapat dilakukan secara cepat pada lingkungan ruang pemeriksaan, tetapi hasilnya
kurang dapat diandalkan dalam mendiagnosis neuropati diabetik. Analisis lebih
lanjut dapat menggunakan vibrometer, pemeriksaan sensasi suhu, konduksi saraf,
propriosepsi, dan keseimbangan.

Pemeriksaan vaskuler merupakan pemeriksaan yang penting dalam


menentukan proses penyembuhan ulkus dan evaluasinya. Pemeriksaannya berupa
pemeriksaan pulsasi pada kaki dan waktu pengisian kapiler.

Evaluasi dari ulkus yang penting untuk diperhatikan adalah lokasi ulkus,
ukuran, bentuk, kedalaman, dasar, dan batas dari ulkus. Probe berbahan besi tahan
karat steril berguna dalam memeriksa keberadaan saluran sinus dan menentukan
kedalaman luka. Pemeriksaan radiografi berupa x-ray perlu dilakukan pada kasus-
kasus terdapatnya atau dicurigainya luka dalam atau terinfeksi. Penggunaan MRI
lebih berguna karena lebih sensitif dalam mendeteksi osteomielitis dan abses dalam.

42
Tanda dari infeksi seperti selulitis, bau, dan drainase purulen perlu untuk dicatat
dan dilakukan kultur aerobik dan anaerobik pada eksudat purulen.

1.7.Tatalaksana

Tujuan dari terapi ulkus diabetikum adalah sembuhnya luka untuk


menghindari komplikasi seperti amputasi dan penurunan kualitas hidup. Terapi
ulkus diabetikum tergantung dari derajat keparahan ulkus diabetikum. Dasar terapi
ulkus diabetikum adalah manajemen infeksi, nekrotomi/debridemen, offloading,
dan clean & moist wound dressing.

1.8.· Manajemen infeksi

Langkah pertama yang terpenting adalah manajemen infeksi apabila


terdapat infeksi. Derajat infeksi dapat dinilai dengan Infectious Diseases Society of
America (IDSA) guna panduan pemberian antibiotik sesuai derajat infeksi.(3)
Apabila terdapat insufisiensi arteri, maka dokter bedah vaskular dapat melakukan
melakukan intervensi berupa angioplasti ataupun bypass untuk mengembalikan
aliran darah ke kaki.

Tabel 2. Klasifikasi infeksi ulkus diabetikum (3)

Gambaran klinis Infectious International


Diseases Working Group
Society of on the Diabetic
America Foot

Luka tanpa nanah atau manifestasi inflamasi Tidak 1


terinfeksi

>2 manifestasi inflamasi (nanah atau Ringan 2


eritema, nyeri, hangat, atau indurasi);
selulitis atau eritema <2 cm sekitar ulkus,
dan infeksi terbatas pada kulit atau jaringan

43
subkutan superfisial; tidak terdapat
komplikasi lokal maupun sistemik

Infeksi pada pasien dengan keadaan umum Sedang 3


sakit sedang dan metabolik stabil, namun
memiliki >1 dari: selulitis >2 cm;
limpangitis; melewati fascia; abses pada
jaringan dalam; gangren; keterlibatan otot,
tendon, sendi, dan tulang

Infeksi pada pasien dengan keadaan umum Berat 4


sakit berat dan metabolik tidak stabil
(demam, menggigil, takikardi, hipotensi,
konfusi, vomitus, leukositosis, asidosis,
hiperglikemia, atau azotemia

Tabel 3. Regimen antibiotik ulkus diabetikum (4)

44
1.9. Debridemen

Debridemen dilakukan untuk menghilangkan jaringan nekrotik beserta


debris yang menghambat penyembuhan luka serta memiliki peranan dalam
memproduksi jaringan granulasi. Debridemen mengubah luka kronik menjadi luka
akut yang sehingga menstimulasi dan mempercepat proses penyembuhan luka
dengan meningkatkan kadar VEGF akibat luka yang dihasilkan.(5)

Terdapat lima tipe debridemen, yaitu: operatif, enzimatik, autolitik,


mekanik dan biologis. Debridemen operatif menggunakan pisau untuk mengangkat
jaringan nekrotik beserta debris. Tipe operatif memilkik efektivitas yang paling
tinggi di antara tipe lain. Debridemen enzimatik menggunakan enzim proteolitik
seperti kolagenase, papain, fibrinolisi DNAse, tripsin, streptokinase-
streptodornase. Debridemen autolitik terjadi secara natural pada jaringan sehat,
lembab dan luka dengan perfusi yang baik. Debridemen mekanikal dilakukan
dengan dry-wet dressing pressure irrigation, lavage dan hidroterapi. Debridemen
biologik menggunakan larva lalat Lucilia sericata steril yang akan menghasilkan
enzim proteolitik sehingga mendilusi jaringan nekrotik. (5)

Berdasarkan pembagian Wagner, maka tindakan pengobatan atau


pembedahan dapat ditentukan sebagai berikut :

45
A. Derajat 0 :edukasi pasien, dan alas kaki
B. Derajat I : external pressure relief - TCC, walking brace
C. Derajat II : debridemen dan perawatan luka
D. Derajat III : debridemen, antibiotik, dan perawatan luka
E. Derajat IV : evaluasi vaskular, amputasi
F. Derajat V : amputasi

Beberapa tindakan bedah khusus diperlukan dalam pengelolaan kaki


diabetik ini, sesuai indikasi dan derajat lesi yang dijumpai seperti :

a. Insisi : abses atau selullitis yang luas

b. Eksisi : pada kaki diabetik derajat I dan II

c. Debridement/nekrotomi : pada kaki diabetik derajat II, III, IV dan V

d. Mutilasi : pada kaki diabetik derajat IV dan V

e. Amputasi : pada kaki diabetik derajat V

1.10. Offloading

Prinsip terapi ulkus diabetikum adalah offloading atau mengurangi beban


tekanan pada area ulkus, dapat dilakukan dengan cara tirah baring, menggunakan
kursi roda, kruk, atau modalitas lain seperti total contact cast (TCC) dan removable

46
cast walker. Tindakan operatif dapat juga dilakukan untuk offloading antara lain
Achilles tendon lengthening untuk mengurangi tekanan forefoot;
metatarsophalangeal joint arthroplasty untuk mengurangi tekanan pada area distal.
(6)

1.11. Dressing

Tujuan utama dari dressing adalah menciptakan lingkungan lembab pada


area luka untuk memfasilitasi migrasi sel dan mencegah kulit pecah-pecah. Pilihan
jenis dressing dipilih berdasarkan tipe dan banyaknya eksudat pada luka. Dressing
hidrogel, film, komposit digunakan pada luka dengan eksudat minimal. Untuk luka
dengan eksudat sedang menggunakan hidrokoloid, sedangkan pada luka dengan
eksudat banyak menggunakan alginat, foam, dan negative pressure wound therapy
(NPWT).(5)

47
NPWT merupakan salah satu teknik dressing terbarukan dengan
menggunakan spons vakum pada luka yang ditutup dengan dressing kedap udara.
NPWT menghilangkan cairan limpatik sehingga meningkatkan difusi oksige ke
jaringan dan dapat mengurangi edema. (5)

II. SELULITIS

2.1 Definisi

Selulitis merupakan infeksi kulit dan jaringan lunak yang umum ditemui
dan mengakibatkan lebih dari 600.000 rawat inap per tahun. Selulitis merupakan
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan berbagai jenis infeksi kulit dan
jaringan lunak; penggunaan istilah ini untuk menggambarkan berbagai bentuk
infeksi (selulitis, abses, erysipelas), skenario klinis (Fournier gangrene, Ludwig
angina), dan agen etiologi (“myonecrosis clostridial", " streptococcal fasciitis
necrotizing").

48
Beberapa jenis infeksi kulit dan jaringan lunak meliputi selulitis,
erysipelas, abses, dan infeksi jaringan lunak nekrotikans. Selulitis digambarkan
sebagai penyebaran infeksi yang mengenai bagian dermis dan jaringan subkutan.
Selulitis purulen didefiinisikan sebagai selulitis dengan drain/ eksudat purulen
tanpa adanya abses. Penyebab selulitis purulen kebanyakan bersumber dari S.
aureus.

Erysipelas merupakan jenis selulitis spesifik yang melibatkan struktur


kulit yang lebih superfisial yang secara klinis dapat dikenali dari adanya peninggian
kulit dan batas jelas antara kulit yang terkena dan yang tidak terkena. Erisipelas
diduga terutama disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus.

Abses merupakan kumpulan pus di dalam dermis atau jaringan subkutan.


Secara klinis, pasien datang dengan nodul dengan eritema dan fluktuasi di
sekitarnya. Perbedaan antara abses dan selulitis adalah signifikan karena abses lebih
mungkin disebabkan oleh S. aureus, dan diberikan pengobatan terutama dengan
insisi dan drainase.

49
Infeksi jaringan lunak nekrotikans merupakan infeksi nekrotikan yang
melibatkan lapisan jaringan lunak, termasuk dermis, jaringan subkutan, fasia
superfisial atau profunda, dan otot.

2.2 Etiologi

Umumnya penyebabnya adalah Streptococcus beta-hemolyticus,


terkadang grup A streptokokus, grup B, C, atau G. Streptococcus aureus dapat
menyebabkan selulitis, terutama pada kasus furunkel, karbunkel, dan abses. Sumber
potensial untuk kultur termasuk darah tepi, aspirasi jarum, biopsi kulit, dan
spesimen bedah dalam kasus dengan purulensi, abses, atau nekrosis.

2.3 Manifestasi Klinis

Pasien dengan selulitis biasanya memiliki riwayat rasa sakit, kemerahan,


dan pembengkakan pada kulit yang terlibat. Umumnya ada riwayat kondisi
predisposisi untuk selulitis, termasuk obesitas, edema, pengangkatan vena safena
sebelumnya, terapi radiasi sebelumnya, atau gangguan kulit apa pun yang
menyebabkan port d’entre, termasuk ulkus, kulit kering, penyakit kulit kronis
penyakit, dan vena stasis. Toe web intertrigo juga telah terbukti menjadi faktor
risiko selulitis, terutama jika diperumit oleh kolonisasi bakteri patogen. Anamnesis
juga harus mencakup penilaian faktor risiko yang terkait dengan patogen spesifik.
(Tabel 1).

Tabel 1. Faktor Risiko untuk Patogen Terkait dalam Selulitis


Faktor-faktor risiko yang dilaporkan untuk MRSA
 Riwayat rawat inap atau operasi sebelumnya dalam satu tahun
terakhir
 Tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang dalam satu tahun
terakhir
 Hemodialisis
 Infeksi atau kolonisasi MRSA sebelumnya
 Penggunaan antibiotik baru-baru ini
 Hubungi olahraga
 Laporan pasien tentang "gigitan laba-laba"
 Infeksi jaringan lunak bernanah
 Lingkungan hidup yang ramai, termasuk tempat penampungan
tunawisma, penjara, tentara

50
 Pengguna narkoba suntikan
 Pria yang berhubungan seks dengan pria
Kontak rumah tangga dengan infeksi MRSA
Faktor risiko yang terkait dengan patogen lain
Infeksi kaki diabetes Seringkali polimikrobia, termasuk
gram positif dan gram negatif
aerob dan anaerob
Neutropenia Gram-positif, gram-negatif
termasuk Pseudomonas aeruginosa
Sirosis Gram-negatif, serta Campylobacter
fetus, Vibrio vulnificus,
Capnocytophaga canimorsus
Penggunaan obat intravena Staphylococcus aureus, P.
aeruginosa
Gigitan manusia Campuran polimikroba dari kuman
anaerob dan aerob oral
(Streptococci, S. aureus, Eikenella
corrodens)
Gigitan anjing dan kucing Campuran polimikrobia patogen
yang berasal dari hewan (campuran
bakteri aerob dan anaerob,
termasuk spesies Pasteurella) dan
flora inang kulit, termasuk
stafilokokus dan streptokokus.
Capnocytophaga canimorsus
patogen berat potensial untuk inang
dengan asplenia atau sirosis.
Laserasi air tawar Aeromonas hydrophila
Laserasi air asin Vibrio vulnificus
Luka sirip/ tulang ikan Vibrio vulnificus, streptococci, S.
aureus, kuman gran negatif.
MRSA= methicillin-resistant Staphylococcus aureus.

Faktor-faktor risiko untuk MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus


Aureus) termasuk serangkaian paparan nosokomial, serta faktor-faktor risiko yang
diduga untuk CA-MRSA (community associated MRSA).

Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada karakterisasi area selulitis dan


menilai bukti infeksi abses atau nekrotikans. Paling umum, selulitis melibatkan
ekstremitas bawah tetapi mungkin melibatkan bagian atas, ekstremitas, trunkus,
perineum, atau kepala dan leher. Ruam ini hampir secara universal ditemukan
hangat, merah, lunak, dan bengkak, dan mungkin berhubungan dengan limfangitis

51
atau limfadenopati. Pada kasus erisipelas, ruam berbatas tegas, sedangkan pada
selulitis batasnya kurang terdefinisi dengan baik. Mungkin ada vesikel dan bula
terkait, meskipun jika ada, bula umumnya diisi dengan cairan bening.

Demam dan gejala konstitusional sering ringan atau tidak ada pada
selulitis tanpa komplikasi. Dalam beberapa penelitian, demam dilaporkan hanya
dalam 26% -67% kasus. Hipotensi jarang terjadi, dilaporkan dalam satu seri pasien
rawat inap seperti 2,7% 0,32 Leukositosis dan peningkatan tingkat sedimentasi
hadir di sekitar setengah dari kasus.

2.4 Diagnosis Banding

Berbagai kondisi dapat menyamar sebagai selulitis, termasuk infeksi


seperti necrotizing fasciitis, varicella zoster, herpetic whitlow, dan erythema
migrans; kondisi peradangan seperti radang sendi akut, gout, atau radang kandung
lendir; atau kondisi dermatologis seperti dermatitis kontak, reaksi hipersensitivitas,
reaksi obat tetap, dan penyakit stasis vena33 (Tabel 2). Seperti dijelaskan
sebelumnya, abses kulit penting untuk dibedakan dari selulitis karena perlunya
drainase.

Tabel 2. Diagnosis Banding Selulitis


Karakteristik
Infeksi
Necrotizing fasciitis Trias: sakit parah, bengkak, dan demam. Nyeri
di luar proporsi, toksisitas parah, bula
hemoragik atau kebiruan, gas atau krepitus,
nekrosis kulit atau ekimosis luas, perkembangan
cepat.
Erysipelas Bentuk selulitis dengan batas tegas.
Abses kutan Abses dini mungkin tampak mirip dengan
selulitis. Dapat dibedakan dengan penampakan
nodul dengan fluktuasi dan drainase.

52
Herpetic whitlow Vesikuler. Lokasi karakteristik pada jari.
Erythema migrans Seringkali tidak nyeri, biasanya tidak terjadi
pada ekstremitas bawah, penampilan berbentuk
bulat telur. Paparan tungau.
Inflamasi
Arthritis akut Ciri penting adalah keterlibatan sendi, dengan
nyeri yang tidak proporsional dengan gerakan
sendi.
Bursitis akut Lokasi karakteristik seperti di atas patela atau
olecranon, sering dengan pengumpulan cairan
teraba.
Dermatologis
Dermatitis statis Dapat dibedakan dari selulitis dengan kurang
demam, lebih sedikit nyeri, deposisi heme, dan
pola melingkar.
Reaksi Gatal (bukan rasa sakit), tidak ada demam.
hipersensitivitas
Eritema fikstum Biasanya terjadi segera setelah konsumsi obat,
biasanya tidak menyakitkan kecuali erosi
terjadi, lokasi karakteristik pada alat kelamin,
wajah, batang tubuh; lebih jarang, ekstremitas
bawah.
Lain-lain
Deep vein thrombosis Biasanya tidak terkait dengan kulit kemerahan
atau demam.
Kasus Jarang
Familial Pasien mungkin mengalami eritema seperti
Mediterranean fever eritelas selama episode. Dibedakan dari
erisipelas sejati oleh sifat berulang, sejarah
keluarga positif, dan kejadian pada orang

53
Yahudi Sephardic dan orang-orang dari Timur
Tengah.
Pyoderma gangrenosa Seringkali pada tulang kering anterior, ulkus
kasar dengan batas bawah. Seringkali pada
pasien dengan penyakit radang usus.
Sweet’s syndrome Kadang-kadang keliru untuk selulitis. Lesi yang
khas adalah papula yang menyatu menjadi plak.
Umumnya pada ekstremitas atas dan wajah.
Diobati dengan kortikosteroid.

2.5 Tata Laksana

Pengobatan selulitis secara empiris dengan antibiotik yang dipilih untuk


agen streptokokus hemolitik dan S. aureus yang sensitif terhadap metisilin. Selama
dekade terakhir, dengan munculnya CA-MRSA secara luas sebagai patogen
potensial, banyak dokter telah memilih untuk mengobati selulitis dengan terapi
yang diarahkan pada MRSA. Rekomendasi antimikroba dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Rekomendasi Antimikroba pada Pasien dengan Selulitis


Erysipelas
Penicilin A-I* Obat pilihan untuk erisipelas.
Sensitivitas 100%
Streptococcus pyogenes.
Pasien selulitis
purulenta rawat
jalan
Clindamycin A-II Bakteriostatik. Sangat efektif
melawan Streptococci. Data
efikasi yang baik dalam
SSTI; 3% -24% resistensi
CA-MRSA. Juga, potensi
resistensi diinduksi pada

54
strain yang rentan selama
pengobatan jika resisten
dengan eritromisin
TMP-SMZ A-II Bakterisida. Terbatas data
yang dipublikasikan tentang
SSTI. Khasiat yang tidak
pasti terhadap S. pyogenes.
CA-MRSA jarang resisten.
Doxycycline A-II Bakteriostatik. Sedikit data
kemanjuran baru-baru ini,
resistensi CA-MRSA 5%
Linezolid A-II Bakteriostatik, mahal,
banyak efek samping
potensial (myelosupresi,
neuropati perifer, neuritis
optik, mual, muntah, diare,
asidosis laktat). CBC
mingguan untuk
pemantauan. Sangat efektif
melawan beta HS, CA-
MRSA.
Pasien selulitis non- .
purulenta rawat
jalan
Beta laktam A-II Bakterisida, sangat efektif
(cephalexin / melawan beta HS, MSSA
dicloxacillin)
Clindamycin A-II Sama dengan di atas.
Beta lactam + TMP- A-II Sangat efektif melawan HS
SMZ/ tetrasiklin dan CA-MRSA.
Direkomendasikan untuk

55
pasien yang gagal terapi -
laktam dan dapat
dipertimbangkan semuanya
dengan toksisitas sistemik.
Linezoid A-II Sama dengan di atas.
Pasien selulitis
rawat inap
Vancomycin A-I Terapi parenteral tradisional
untuk infeksi MRSA.
Kekhawatiran atas aktivitas
bakterisida yang lambat.
Kurang efektif terhadap
Staphylococcus aureus
dibandingkan beta-laktam
untuk strain yang rentan
Linezolid A-I Sama dengan di atas.
Daptomycin A-I Bakterisida, mahal. Risiko
miopati dan rhabdomiolisis.
CK mingguan untuk
pemantauan. Hindari
pemberian dengan HMG-
CoA reduktase inhibitor.
Telavancin A-I Bakterisida. Nefrotoksisitas,
pantau kadar kreatinin.
Clindamycin A-III Sama dengan di atas.
Nafcillin/ oxacillin A-II Bakterisida. Tidak aktif
terhadap MRSA.
Rekomendasi A-II untuk
pasien rawat inap dengan
selulitis nonpurulent.

56
Cefazolin A-II Bakterisida. Tidak aktif
terhadap MRSA.
Rekomendasi A-II untuk
pasien rawat inap dengan
selulitis nonpurulent.
Infeksi jaringan
lunak nekrotikans
Tipe 1, Ampisilin- A-III Lebih disarankan per IDSA
sulbaktam
polimikroba /
piperacillin-
tazobactam
+
clindamycin +
ciprofloxacin
Tipe 2,
monomrobial (S.
pyogenes,
MRSA, V.
Vulnificus, lainnya)
Clindamycin plus A-II Clindamycin tampaknya
penicillin untuk S. lebih unggul daripada
pyogenes penisilin sebagai
monoterapi, tetapi jarang, S.
pyogenes mungkin resisten,
karenanya penambahan
penisilin.
HS=hemolytic streptococci; CA-MRSA=community-acquired
S. aureus; MSSA=methicillin-susceptible S. aureus; MRSA=methicillin-
resistant S. aureus; SSTI=skin and soft-tissue infection; TMP-
SMZ=trimethoprim-sulfamethoxazole.

57
* Semua penilaian rekomendasi per pedoman Infectious
Disease Society of America (IDSA). Kelas A Bukti yang baik untuk
mendukung rekomendasi untuk digunakan; harus selalu ditawarkan.
Kualitas bukti I Bukti dari setidaknya satu uji coba terkontrol secara
acak; II Bukti dari setidaknya satu percobaan klinis yang tidak dirancang
secara acak atau penelitian kohort atau studi kasus-terkontrol, atau
beberapa rangkaian waktu, atau dari hasil substansial dari eksperimen
yang tidak terkontrol; III Bukti dari pendapat otoritas yang dihormati.

III. DIABETES MELITUS TIPE 2

3.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus (DM)


merupakan penyakit metabolik yang menyebabkan hiperglikemia karena terjadi
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM tipe 2 terjadi karena
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin disebabkan oleh penurunan
produksi insulin yang dihasilkan oleh β sel secara progresif atau dominan resitensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif.1,2

3.2 Epidemiologi

85% diabetes adalah DM tipe 2. DM tipe 2 ini berjalan kronik sehingga


awal perjalanan penyakitnya tidak bisa dipastikan. Banyak pasien yang sudah
mempunyai penyakit DM tipe 2 sejak lama tetapi baru terdeteksi dan hampir
setengah pasien diabetes mungkin tidak terdiagnosa.2 Populasi yang paling tinggi
prevalensi DM-nya juga mempunyai prevalensi yang tinggi untuk obesitas.
Populasi Asia dan Afrika mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan ras
Eropa.5

3.3 Etiologi dan Faktor Resiko

DM tipe 2 terjadi karena interaksi dari faktor genetik < 10% dan faktor
lingkungan. Faktor genetik yang paling sering pada transcription factor 7 like 2

58
gene/ TCF7L gen ini mengurangi sekresi insulin dari sel β. Faktor resiko lainnya
adalah: 4,8

- Riwayat keluarga: individu dengan first degree relative DM tipe 2


mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk menderita DM tipe 2
- Faktor etnisitas: Ras Asia, Hispanik, Afrika-Amerika mempunyai resiko
DM tipe 2 yang lebih besar dibandingkan ras kulit putih.
- Sindrom metabolik membuat resiko DM tipe 2 meningkat.
- Faktor gaya hidup: sedentary lifestyle dan merokok
- Kuantitas dan kualitas tidur. Durasi tidur yang kurang ≤ 5-6 jam /hari dan
panjang >8-9 jam /hari berhubungan dengan peningkatan resiko DM tipe 2.
- Faktor nutrisi: konsumsi makanan barat seperti daging merah, daging
olahan, dan minuman bergula meningkatkan resiko DM tipe 2.

3.4 Patofisiologi

Gambar 1: Patogenesis DM tipe 23

59
Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh 13 hal berikut
(Unlucky thirteenth in diabetes): 1,3

1. Kegagalan sel β pankreas


2. Otot tidak bisa meng-uptake glukosa karena resistensi insulin
3. Liver memicu glukoneogenesis
4. Gangguan metabolisme adiposit seperti pada obesitas
5. Efek inkretinin menurun terdapat defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap
GIP
6. Glukagon yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan insulin karena
berkurangnya sel β pankreas
7. Reabsorpsi glukosa di ginjal
8. Disregulasi nafsu makan sentral:
9. Konsenterasi dopamin yang menurun
10. Konsenterasi vitamin D rendah
11. Konsenterasi testosteron rendah
12. Sistem renin aldosteron membantu resistensi insulin
13. Sistem gastrointestinal dalam penyerapan karbohidrat
o Disbiosis intestinal penurunan organisme Roseburia intestinals dan
F prausnitzii yang memproduksi butirat

Gambar 2: Patogenesis DM tipe 24

60
3.5 Manifestasi Klinis

Gejala klasik DM berupa 3P (Polidipsi, poliuri, dan polifagi) dan


penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada DM juga
terdapat gejala non spesifik seperti cepat lelah, penglihatan yang buram, lemah
badan, kesemutan, gatal, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada
wanita, dll. 6

Gambar 3: Manifestasi klinis DM6

3.6 Pemeriksaan penunjang

Kriteria diagnosis DM: 1

- Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl.


- Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
- Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl dengan keluhan
klasik.

61
- Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program
(NGSP).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT). 1

Tabel 1: Kriteria DM 1

HbA1c Glukosa Glukosa


(%) darah puasa plasma 2 jam
(mg/dl) setelah TTGO
(mg/dl)
Diabetes ≥6,5 ≥126 ≥200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

Gambar 4: Diagnosis DM 7

62
3.7 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi: 1

 Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas


hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
 Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara komprehensif.

Terdapat 4 pilar untuk menangani diabetes yaitu edukasi, terapi nutrisi


medis, kegiatan jasmani dan terapi farmakologis. 1

3.7.1 Tatalaksana non-farmakologis

Edukasi1
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat
penting dari pengelolaan DM secara holistik.

- Materi edukasi
o Materi tentang perjalanan penyakit DM.
o Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
o Penyulit DM dan risikonya.
o Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
o Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.

63
o Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah
o Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
o Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
o Pentingnya perawatan kaki.

Tabel 2: Elemen edukasi perawatan kaki1

- Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus


- Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

Terapi Nutrisi Medis1


Makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Terdiri dari:
- Komposisi makanan
- Kebutuhan kalori
- Berat badan ideal
Aktivitas fisik1

64
- Kegiatan jasmani sehari-hari secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu. Jeda
antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
- Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani.

3.7.2 Tatalaksana farmakologis

3.7.2.1 Obat Antihiperglikemia Oral (OHO) 1

Berdasarkan cara kerjanya Perkumpulan Endokrinologi Indonesia


(Perkeni) membagi obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:1,9

Gambar 5: Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa
darah7

1. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)


 Sulfonilurea
2. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
 Biguanid
 Tiazolidindion (TZD).

65
3. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:
 Penghambat Alfa Glukosidase.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

3.7.2.2 Obat Antihiperglikemia Suntik

Berdasarkan Perkeni 2015 yang termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu


insulin dan agonis GLP-1: 1

 Indikasi insulin
o HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
o Penurunan berat badan yang cepat
o Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o Krisis Hiperglikemia
o Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
o Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
o Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
o Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
 Insulin terbagi menjadi 5 jenis berdasarkan lama kerjanya yakni: 1
o Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
o Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
o Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
o Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
o Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja
cepat dengan menengah (Premixed insulin)

66
Gambar 6: Algoritma kombinasi terapi injeksi2

 Agonis glucagon like peptide 1 (GLP 1)/ incretinin mimetic 1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru


untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel β sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan.

3.7.2.3 Obat antihiperglikemia lainnya1

 Pramlintid
 Colesevelam hydrochloride
 Bromokriptin

3.7.2.4 Terapi kombinasi

Pelaksanaan gaya hidup sehat seperti pengaturan diet dan kegiatan jasmani
merupakan hal yang utama dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan

67
dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal
atau kombinasi sejak dini. 1

Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai


dengan dosis rendah, lalu dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kadar glukosa
darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral harus menggunakan dua
macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. 1

Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan
kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. 1

Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia
oral dihentikan dengan hati-hati. 1

Gambar 7: Algoritma DM tipe 21

68
3.7.3 Kriteria Pengendalian DM

Kriteria pengendalian didasarkan pada hasil pemeriksaan kadar


glukosa, kadar HbA1C, dan profil lipid. 1

Parameter Sasaran
Glukosa darah preprandial 80-130
kapiler (mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP <180
kapiler
(mg/dl)
HbA1c (%) <7
6-6.5% (jika durasi penyakit
pendek, masih muda, tidak ada
komorbid)
7.5-8% (Jika pasien
mempunyai riwayat hipoglikemi,
lansia, sudah terdapat
komplikasi/komorbid)
Kolesterol LDL (mg/dl) <100 (<70 bila risiko
kardiovaskular sangat
tinggi)
Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan:
>50
Trigliserida (mg/dl) <150
Tabel 3: Sasaran pengendalian DM1

3.8 Komplikasi7

 Akut
o Hipoglikemi
o Ketoasidosis
o Koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik

69
 Menahun
o Makroangiopati
 Penyakit jantung koroner
 Penyakit arteri perifer
 Penyakit serebrovaskuler
 Kaki diabetes
o Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
 Nefropati diabetik
 Disfungsi ereksi
 Neuropati
o Neuropati perifer
o Neuropati otonom – Charcot arthropathy

70
REFERENSI

3.9 1. International Best Practice Guidelines. Wound Management In


Diabetic Foot Ulcers. Wounds International. 2013.

3.10 2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. 2015.

3.11 3. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M,


Ferrer R, dkk. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive care medicine.
2017;43(3):304-77.

3.12 4. Lipsky BA, Aragon-Sanchez J, Diggle M, Embil J, Kono S,


Lavery L, dkk. IWGDF guidance on the diagnosis and management of
foot infections in persons with diabetes. Diabetes/metabolism research
and reviews. 2016;32 Suppl 1:45-74.

4. Boulton AJ, Vileikyte L, Ragnarson-Tennvall G, Apelqvist J. The global


burden of diabetic foot disease. Lancet [Internet]. 2005 Nov
12;366(9498):1719–24. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16291066

5. Kumar A, Jain C. A NEW CLASSIFICATION OF DIABETIC FOOT


COMPLICATIONS: A SIMPLE AND EFFECTIVE TEACHING TOOL
[Internet]. Vol. 4, The Journal of Diabetic Foot Complications. 2012 [cited
2019 May 8]. Available from: http://jdfc.org/wp-
content/uploads/2012/01/v4-i1-a1.pdf
6. Lavery LA, Armstrong DG, Murdoch DP, Peters EJG, Lipsky BA.
Validation of the Infectious Diseases Society of America’s Diabetic Foot
Infection Classification System. Clin Infect Dis [Internet]. 2007;44(4):562–
5. Available from: https://academic.oup.com/cid/article-
lookup/doi/10.1086/511036
7. RG F. Diabetic foot ulcers: pathogenesis and management. Am Fam
Physician [Internet]. 2002;66(9):1655–1662 8p. Available from:

71
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=ccm&AN=10683
8308&lang=pt-br&site=ehost-live
8. Rosyid FN. Etiology, Pathophysiology, Diagnosis and Management of
Diabetic’s Foot Ulcer. Int J Res Med Sci [Internet]. 2017;5(10):4206–13.
Available from: www.msjonline.org
9. Peripheral D, Neuro- C. Idf Foot Care Recommendation. International
Diabetes Federation; 2017.
10. Gemechu FW, Seemant FNU, Curley CA. Diabetic Foot Infections. 2013;
11. Frykberg RG, Moines D. Diabetic Foot Ulcers : Pathogenesis and
Management. 2002;1655–62.
12. Alexiadou K, Doupis J. Management of Diabetic Foot Ulcers. 2012;
13. Soelistijo S, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P. Konsensus: Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI;
2015.
14. Standards of Medical Care in Diabetes — 2018. American Diabetes
Association. 2018;7(1):50-67
15. N. P. Somasundaram. Therapy for Type 2 Diabetes Mellitus: Targeting the
‘Unlucky Thirteen’. J J Diab Endocrin. 2016, 2(1): 012.
16. Harrison T, Kasper D. Harrison's principles of internal medicine. 19th ed.
New York: McGraw-Hill Medical Publ. Division; 2015.
17. Forouhi N, Wareham N. Epidemiology of diabetes. Medicine.
2014;42(12):698-702.
18. 6 McCance K, Huether S, Brashers V, Rote N. Pathophysiology. 7th ed.
Utah: Elsevier; 2015
19. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, K M, Setiyohadi B, Syam A. Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: PAPDI; 2014.
20. K McCulloch D, Robertson P. Pathogenesis of type 2 diabetes mellitus.
UpToDate. 2018;16.
21. Katzung B, Trevor A. Basic & clinical pharmacology. 13th ed. United
States: McGraw-Hill Education; 2015.

72

Anda mungkin juga menyukai