Anda di halaman 1dari 120

IMPLEMENTASI PEMBERIAN TERAPI CAIRAN INTRAVENA

DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN PADA


ANAK DBD TAHUN 2020

KARYA TULIS ILMIAH

NADIA KHAIRUNNISA
(NIM PO.71.20.1.17.050)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
IMPLEMENTASI PEMBERIAN TERAPI CAIRAN INTRAVENA
DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN CAIRAN PADA
ANAK DBD TAHUN 2020

Diajukan Kepada Poltekkes Kemenkes Palembang Untuk


Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Ahli Madya Keperawatan

NADIA KHAIRUNNISA
(NIM PO.71.20.1.17.050)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
BIODATA PENULIS

I. IDENTITAS DIRI
Nama : Nadia Khairunnisa
Tempat, tanggal lahir : Palembang, 10 September 1999
Agama : Islam
Alamat : Jl. Pertahanan III No.2100 Kec. SU II Palembang
Nama Orang Tua
Ayah : Apriyadi, SE
Ibu : Oktarina, S.Pd

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


1. SD NEGERI 4 INDRALAYA
2. SMP NEGERI 30 PALEMBANG
3. SMA NEGERI 8 PALEMBANG

i
Poltekkes Kemenkes Palembang
MOTTO
“Jika bisa dimimpikan berarti bisa diwujudkan”

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu
telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang
lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
(QS. Al Insyirah : 5-8)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, Karya Tulis
Ilmiah ini penulis persembahkan untuk :
 Tuhan yang Maha Esa Allah SWT yang telah melancarkan segalanya selama
kuliah di Poltekkes Kemenkes Palembang

 Kedua orang tua penulis, Ayah dan Bunda terimakasih telah mencurahkan
segalanya, memberikan dukungan dan pengorbanan baik doa, moril dan
materi.

 Saudari dan saudaraku yang penulis cintai dan sayangi terima kasih telah
memberikan semangat dan dukungan selama penulisan Karya Tulis Ilmiah

ii
Poltekkes Kemenkes Palembang
KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr.Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji syukur bagi Allah SWT. Atas


berkat dan Rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang
berjudul “Implementasi Pemberian Terapi Cairan Intravena dalam Pemenuhan
Kebutuhan Cairan pada Anak DBD”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat saran
dan bimbingan dari berbagai pihak yang selalu memberikan semangat sehingga
memberikan dampak positif dan menjadi sumber kekuatan bagi penulis. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
berpengaruh dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
1. Bapak Muhamad Taswin, S.Si, Apt, MM, M.Kes selaku Direktur Poltekkes
Kemenkes Palembang.
2. Ibu Devi Mediarti, S.Pd, S.Kep, M.Kes selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Palembang.
3. Ibu Rehana S.Pd, S.Kep, M.Kes selaku pembimbing utama yang telah
memberikan bimbingan terbaik dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.
4. Ibu Jawiah, S.Pd, S.Kep, M.Kes selaku dosen pembimbing pendamping yang
juga sudah memberikan bimbingan terbaiknya.
5. Ibu Hj.Maliha Amin, SKM, M.Kes, selaku dosen penguji I Karya Tulis
Ilmiah.
6. Ibu Ns. Herawati Jaya, S.Kep,M.Kes selaku dosen penguji II Karya Tulis
Ilmiah.
7. Semua staf, dosen, karyawan dan karyawati Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurusan Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengertahuan dan
mendidik penulis sehingga mampu menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
8. Teman-teman terbaik Mayang Sari, Novita Trimayasari, Rizky Nabillah dan
Novi Tri Astuti yang senantiasa menemani dan memberi saran dalam proses
penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.

iii
Poltekkes Kemenkes Palembang
9. Teman-teman angkatan 50, khususnya kelas B yang selalu bersama selama
tiga tahun melalui kerasnya kehidupan perkuliahan.

Penulis menyadari dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, masih


terdapat banyak kekurangan baik teknik penulisan maupun isinya, dikarenakan
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna perbaikan.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan
rahmat-NYA untuk kita semua dan semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat
bermanfaat.

WassalamualaikumWr.Wb.

Palembang, April 2020

Penulis

iv
Poltekkes Kemenkes Palembang
ABSTRAK

Khairunnisa, Nadia 2020. Implementasi Pemberian Terapi Cairan Intravena dalam


Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada Anak DBD Tahun 2020. Program Diploma III
Keperawatan Palembang, Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palembang.
Pembimbing (I) : Rehana, S.Pd, S.Kep, M.Kes. Pembimbing (II) : Jawiah, S.Pd, S.Kep,
M.Kes.

Latar Belakang : Demam Berdarah Dengue adalah infeksi yang disebabkan


oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari
nyamuk Aedes Spp. Tujuan umum dari penelitian ini adalah Memperoleh
gambaran hasil Implementasi Pemberian Terapi Cairan Intravena dalam
Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada Anak DBD.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian naratif studi literatur yang


menggambarkan implementasi Pemberian terapi cairan intravena dalam
pemenuhan kebutuhan cairan pada anak DBD. Kriteria artikel/ hasil penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 5 artikel/ hasil penelitian yang
dipublikasikan secara online antara tahun 2015-2019. Artikel atau hasil penelitian
tersebut tersedia secara full Teks untuk digunakan penulis sebagai data untuk
dianalis (sebagaimana terlampir pada penelitian ini).

Hasil : Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh para ahli mengenai
Pemberian Terapi Cairan Intravena pada kasus DBD didapatkan hasil
implementasi pemberian terapi cairan intravena efektif dan penting dilakukan
pada kasus DBD terutama pada anak. Namun harus diperhatikan durasi dan
jumlah cairan yang diberikan karena bisa memicu terjadinya kelebihan cairan.

Kesimpulan : Implementasi Pemberian Terapi Cairan Intravena berupa cairan


Koloid efektif dilakukan pada anak DBD dalam pemenuhan kebutuhan cairan ,
namun harus diperhatikan durasi dan jumlah dalam pemberian

Saran : Diharapkan Implementasi Pemberian Terapi Cairan Intravena dalam


Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada anak DBD dapat dikembangkan lagi dan
menjadi pembelajaran untuk penelitian selanjutnya.

Kata Kunci : Terapi Cairan Intravena, DBD pada Anak, Manajemen Cairan.

v
Poltekkes Kemenkes Palembang
ABSTRACT

Khairunnisa, Nadia 2020. Implementation of Providing Intravenous Fluid Therapy


in Fulfillment of Fluid Needs in Children with Dengue Hemorrhagic Fever in
2020. Diploma Program in Nursing Palembang, Department of Nursing at the
Health Ministry of Health, Palembang. Advisor (I): Rehana, S.Pd, S.Kep, M.Kes.
Advisor (II): Jawiah, S.Pd, S.Kep, M.Kes.

Background: Dengue hemorrhagic fever is an infection caused by dengue virus.


Dengue is a disease virus that is transmitted from Aedes Spp. The general
objective of this research is to obtain an overview of the results of the
implementation of the administration of intravenous fluid therapy in meeting the
fluid needs of children with dengue fever.

Method: This research is a narrative study of the literature that illustrates the
implementation of the administration of intravenous fluid therapy in meeting the
fluid needs of children with Dengue Hemorrhagic Fever Criteria of the articles /
research results used in this study consisted of 5 articles / research results
published online between 2015- 2019. The article or research results are available
in full text for the author to use as data for analysis (as attached to this study).

Results: Based on research conducted by experts on the administration of


intravenous fluid therapy in cases of DHF, the results of the implementation of
administration of effective and important intravenous fluid therapy in DHF cases,
especially in children. But it must be considered the duration and amount of fluid
given because it can trigger excess fluid.

Conclusion: Implementation of Intravenous Liquid Therapy in the form of


Colloid liquid is effectively carried out in DHF children in meeting fluid needs,
but it must be considered the duration and amount in administration

Suggestion: It is hoped that the implementation of the administration of


intravenous fluid therapy in meeting the needs of fluids in DHF children can be
developed further and become learning for further research.

Keywords: Intravenous Fluid Therapy, DHF in Children, Fluid Management.

vi
Poltekkes Kemenkes Palembang
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..............................................................


PERNYATAAN PERSETUJUAN.........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................
BIODATA PENULIS............................................................................................. i
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. v
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................... 3
1.3 TUJUAN PENELITIAN .......................................................................... 3
1.4 MANFAAT PENELITIAN ..................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5


2.1 Konsep Dasar Penyakit Demam Berdarah Dengue .............................. 5
2.1.1 Pengertian............................................................................... 5
2.1.2 Etiologi................................................................................... 5
2.1.3 Anatomi Fisiologi .................................................................. 6
2.1.4 Klasifikasi ............................................................................ 11
2.1.5 Patofisiologi ......................................................................... 13
2.1.6 Pathway................................................................................ 14
2.1.7 Manifestasi Klinis ................................................................ 15
2.1.8 Komplikasi ........................................................................... 15
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 16
2.1.10 Penatalaksanaan ................................................................... 17

vii
Poltekkes Kemenkes Palembang
2.1.11 Pencegahan........................................................................... 18
2.2 Asuhan Keperawatan .............................................................................. 19
2.2.1 Pengkajian ............................................................................ 19
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ........................................................ 22
2.2.3 Intervensi Keperawatan........................................................ 23
2.2.4 Implementasi Keperawatan.................................................. 27
2.2.5 Evaluasi Keperawatan.......................................................... 28
2.3 Penelitian Terkait .................................................................................... 29
2.3.1 Artikel 1 ............................................................................... 29
2.3.2 Artikel 2 ............................................................................... 29
2.3.3 Artikel 3 ............................................................................... 29
2.3.4 Artikel 4 ............................................................................... 29
2.3.5 Artikel 5 ............................................................................... 29

BAB III METODELOGI STUDI KASUS ........................................................ 30


3.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 30
3.2 Variabel Penelitian .................................................................................. 30
3.3 Kriteria Literatur yang digunakan ......................................................... 30
3.4 Sumber artikel.......................................................................................... 30
3.5 Langkah Studi Literatur.......................................................................... 31
3.6 Analisis data dan penyajian hasil penelitian ........................................ 31
3.7 Etika Penelitian ........................................................................................ 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 33


4.1 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 33
4.2 PEMBAHASAN ..................................................................................... 40

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 44


5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 44
5.2 Saran ......................................................................................................... 44
5.2.1 Bagi fasilitas pelayanan kesehatan....................................... 44
5.2.2 Bagi pengembangan keilmuan ............................................. 44

viii
Poltekkes Kemenkes Palembang
5.2.3 Bagi Penelitian lanjutan ....................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46


LAMPIRAN......................................................................................................... 50
JADWAL KEGIATAN .................................................................................... 52
BUKTI PROSES BIMBINGAN ..................................................................... 52
SOP PEMASANGAN INFUS ................................................................. 58
ARTIKEL/HASIL PENELITIAN/FULL TEKS........................................... 60

ix
Poltekkes Kemenkes Palembang
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue................................................... 11


Tabel 4.1 Review Literatur ........................................................................................... 36

x
Poltekkes Kemenkes Palembang
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen Darah ................................................................................ 6

xi
Poltekkes Kemenkes Palembang
DAFTAR LAMPIRAN

JADWAL KEGIATAN ................................................................................................. 52


BUKTI PROSES BIMBINGAN .................................................................................. 52
SOP PEMASANGAN INFUS .............................................................................. 58
ARTIKEL/HASIL PENELITIAN/FULL TEKS ....................................................... 60

xii
Poltekkes Kemenkes Palembang
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia dengan
kelembaban udara yang cukup tinggi menjadi pemicu berkembang biaknya
nyamuk seperti Aedes aegypti yang merupakan salah satu vektor Demam
Berdarah Dengue (DBD). (Nila dan Mahalul, 2017)
DBD adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue
adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk
yang paling cepat berkembang di dunia ini telah menyebabkan hampir
390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk
menularkan atau menyebarkan virus dengue. DBD memiliki gejala serupa
dengan Demam Dengue, namun DBD memiliki gejala lain berupa
sakit/nyeri pada ulu hati terus-menerus, pendarahan pada hidung,
mulut, gusi atau memar pada kulit. (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI,
2017)
Kelembaban yang tinggi dengan suhu berkisar antara 28-320C
membantu nyamuk Aedes bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama.
Pola penyakit di Indonesia sangat berbeda antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya. Tingginya angka kejadian DBD juga dapat dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk. Peningkatan jumlah kasus kepadatan penduduk.
Peningkatan jumlah kasus meningkat. Semakin banyak manusia maka
peluang tergigit oleh nyamuk Aedes aegypti juga akan lebih tinggi.
(Pongsilurang dkk, 2015).
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968,
yaitu di Kota Surabaya Jawa Timur. Sejak saat itu, penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan
menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat. (Hikmawan Suryanto,
2018)

1
Poltekkes Kemenkes Palembang
2

Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah Kasus DBD pada tahun


2018 berjumlah 65.602 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 467 orang.
Jumlah tersebut menurun dari tahun sebelumnya, yaitu 68.407 kasus dan
jumlah kematian sebanyak 493 orang. Angka kesakitan DBD tahun 2018
menurun dibandingkan tahun 2017, yaitu dari 26,10/100.000 penduduk
menjadi 24,75/100.000 penduduk. Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD
mengalami kenaikan, dari 434 (84,44%) pada tahun 2017 menjadi 440
(85,60%) pada tahun 2018. (Profil Kesehatan Indonesia, 2018)
Situasi Demam Berdarah di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun
2018 terjadi peningkatan kasus dibandingkan tahun 2017. Pada tahun 2018
jumlah kasus mencapai 2.396 kasus atau sebesar 29/100.000 penduduk
dengan jumlah kematian sebanyak 26 kematian. Sementara Pada tahun 2017
jumlah kasus mencapai 1.452 kasus atau sebesar 18/100.000 penduduk
dengan jumlah kematian sebanyak 16 kematian. Untuk Kota Palembang pada
tahun 2018 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun 2017. Pada tahun
2017 kasus DBD di kota Palembang mencapai 688 kasus sedangkan pada
tahun 2018 kasus DBD mencapai 620 kasus. (Dinkes Pemerintah Provinsi
Sumsel, 2019)
Infeksi virus dengue dapat mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama
24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.(Hikmatul,
2017)
Tatalaksana DBD berdasarkan kelainan utama yang terjadi yaitu
kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler.
Pemberian cairan kristaloid isotonik merupakan pilihan untuk menggantikan
volume plasma yang keluar dari pembuluh darah. Pemilihan jenis cairan dan
kecermatan penghitungan volume cairan pengganti merupakan kunci
keberhasilan pengobatan. (Munawwarah dkk., 2018)
Resusitasi cairan paling baik diberikan saat syok kompensasi pada

Poltekkes Kemenkes Palembang


3

DBD, dengan pemberian cairan kristaloid (Ringer Laktat) atau koloid


(Gelatin) secara agresif 10-30 ml/kgbb dalam 6-10 menit untuk meningkatkan
curah jantung, volume sirkulasi efektif, memperbaiki perfusi organ, sehingga
mekanisme homeostatis atau mekanisme kompensasi tidak digunakan lagi
dan diharapkan pasien sindrom syok dengue dapat segera sembuh. (Darlan
Darwis, 2016)
Salah satu kunci keberhasilan terapi pada pasien DBD adalah
menjaga tercukupinya kebutuhan cairan pasien selama fase kritis. Salah satu
terapi yang perlu diperhatikan adalah pemberian terapi cairan baik dari segi
jenis, jumlah, serta kecepatan cairan untuk mencegah terjadinya perembesan
plasma yang umumnya terjadi pada fase penurunan suhu di hari ke-3–6.
Terjadinya kehilangan cairan pada ruang intravaskular dapat diatasi dengan
pemberian salah satu jenis cairan seperti kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) ataupun koloid. ( Rahmawati dkk., 2019)
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa masih tingginya angka
kesakitan dan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit DBD.
Pemilihan jenis, jumlah, serta kecepatan cairan dan kecermatan penghitungan
volume cairan pengganti merupakan kunci keberhasilan pengobatan pada
anak dengan DBD, oleh karena itu penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian tentang gambaran hasil Implementasi Pemberian Terapi Cairan
Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada Anak DBD.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana gambaran hasil Implementasi Pemberian Terapi Cairan


Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada Anak DBD?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum


Memperoleh gambaran hasil Implementasi Pemberian Terapi
Cairan Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada Anak
DBD.

Poltekkes Kemenkes Palembang


4

1.3.2 Tujuan Khusus


Mengidentifikasi pengaruh dan efektivitas dari Pemberian
Terapi Cairan Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada
Anak DBD.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :


1. Bagi Rumah sakit, hasil penelitian ini sebagai Dasar Pengembangan
Standar/ Pedoman pengembangan dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan
pada anak dengan Demam Berdarah Dengue.
2. Pedoman Kerja bagi Perawat dalam melaksanakan implementasi
kolaborasi pemberian terapi cairan intravena.

Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat


1. Evidance Base Nursing Practice implementasi pemberian terapi cairan
intravena pada Anak DBD dalam pemenuhan kebutuhan cairan.
2. Data dasar bagi pengembangan studi atau penelitian yang
mengembangkan metode pemberian terapi cairan intravena atau
Implementasi keperawatan lainnya dalam pemenuhan kebutuhan cairan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Pengertian
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang
ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling cepat
berkembang di dunia ini telah menyebabkan hampir 390 juta
orang terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk
menularkan atau menyebarkan virus dengue. DBD memiliki gejala
serupa dengan Demam Dengue, namun DBD memiliki gejala
lain berupa sakit/nyeri pada ulu hati terus-menerus, pendarahan
pada hidung, mulut, gusi atau memar pada kulit. (Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI, 2017)
Demam Berdarah Dengue merupakan suatu penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dan termasuk golongan Arbovirus
(arthropod-bome virus) yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus serta penyebarannya sangat cepat. (Marni,
2016)

2.1.2 Etiologi
Virus penyebab DBD adalah virus dengue. Virus ini merupakan
genus dari Flavivirus dan famili flaviviridae. Ada 4 serotipe virus yang
diketahui, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Terinfeksinya
seseorang dengan salah satu dari serotipe virus di atas akan
menyebabkan kekebalan terhadap serotipe tersebut. Tapi tidak akan
terjadi cross-imunity dengan serotipe lain. Semua serotipe dapat
menimbulkan wabah demam dengue atau demam berdarah dengue.
(Jaka dan Soegeng, 2016)

5
Poltekkes Kemenkes Palembang
6

Vector utama penyakit DBD adalah nyamuk aedes Aegypti


(didaerah perkotaan) dan Aedes Albopticus (di daerah pedesaan).
Nyamuk yang menjadi vector penyakit DBD adalah nyamuk yang
menjadi terinfeksi saat mengigit manusia yang sedang sakit dan viremia
(terdapat virus dalam darahnya). Virus berkembang dalam tubuh
nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar liurnya dan jika
nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan
bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan
berkembang selama 4-6 hari dan orang tersebut akan mengalamai sakit
Demam Berdarah Dengue . Virus Dengue memperbanyak diri dalam
tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu. Orang
yang didalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semua akan sakit
DBD, ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan
sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit, tetapi
semuanya merupakan pembawa virus Dengue selama satu minggu,
sehingga dapat menularkan kepada orang lain diberbagai wilayah yang
ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif
seumur hidupnya. (Raudhatul dkk., 2019)

2.1.3 Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Komponen Darah.


Sumber: Halo Sehat. 2018. 4 Macam Komponen Darah Manusia dan
Fungsinya (https://hellosehat.com, diakses pada tanggal 9 Januari 2020,
pukul 23.34 WIB)

Poltekkes Kemenkes Palembang


7

Menurut Novaliana (2016), darah adalah cairan didalam


pembuluh darah yang mempunyai fungsi sangat penting dalam tubuh
yaitu fungsi transportasi (membawa nutrisi keseluruh tubuh dan oksigen
ke paru-paru kemudian di edarkan keseluruh tubuh).
Darah mempunyai 2 komponen yaitu padat dan cair. Bagian
padat terdiri dari : sel-sel darah merah (eritrosit), sel-sel darah putih
(leukosit), dan sel-sel pembeku darah atau keping-keping darah
(trombosit). Komponen padat merupakan 45% dari seluruh volume
darah dan 55% adalah plasma yang termasuk komponen cair.
1. Sel-Sel Darah Merah (Eritrosit)
Bentuk sel-sel darah merah ini seperti cakram kecil bionkaf,
cekung pada kedua sisinya, sehingga bila dilihat dari samping seperti
dua buah bulan sabit yang sedang bertolak belakang. Dalam setiap
millimeter kubik darah terdapat 5.000.000 sel darah. Jika dilhat satu
per satu warnaya kuning tua, tetapi dalam jumlah besar kelihatannya
merah. Strukturnya terdiri atas pembungkus luar atau stroma yang
berisi massa hemoglobin.
Sel-sel darah merah dibuat didalam sumsum tulang, terutama
dari tulang pendek yang pipih dan tidak beraturan, jaringan kanselus
pada ujung tulang pipa, sumsum dalam batang iga-iga dan dari
sternum. Perkembangan sel darah merah dalam sumsum tulang dari
sel induk pluripoten menjadi retikulosit. Retikulosit kehilangan
organel seperti inti, mitokondria, apparatus Golgi, ribosom,
retikulum endoplasma dan terbentuklah eritrosit yang selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah. Melalui berbagai tahap mula-mula
besar dan berisi inti (nukleus), tidak mengandung hemoglobin,
kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan intinya,
barulah diedarkan ke dalam peredaran darah. (Evelyn C. Pearce,
2016)

Poltekkes Kemenkes Palembang


8

Fungsi sel darah merah menurut Irianto (2017) dalam


Oktaviana (2018)
a. Penghantar oksigen ke seluruh tubuh
Setelah dibentuk, sel darah merah akan menyebar dan
akan mengikat oksigen dari paru-paru untuk diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbondioksida dari
jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru-paru.
b. Penentu golongan darah
Penggolongan ini ditentukan oleh ada atau tidaknya
antigen bernama aglutinogen dalam sel darah merah. Ada dua
antigen yang telah dikenali dalam sel darah merah, yaitu antigen
A dan antigen B.
c. Menjaga sistem kekebalan tubuh
Ketika sel darah merah mengalami proses lisis oleh
pathogen atau bakteri, maka hemoglobin dalam sel darah merah
akan mengeluarkan radikal bebas yang bisa menghancurkan
dinding dan membran sel pathogen, serta membunuh bakteri
yang masuk ke dalam tubuh.
d. Membantu pelebaran pembuluh darah
Sel darah merah akan melepaskan senyawa S-
nitrosothiol yakni saat hemoglobin terdeoksigenasi sehingga
pembuluh darah pun akan melebar dan melancarkan sirkulasi
darah supaya darah segera menuju ke jaringan tubuh yang
kekurangan oksigen.

2. Hemoglobin
Hemoglobin ialah protein yang berupa pigmen merah
pembawa oksigen yang kaya akan zat besi, memiliki daya gabung
terhadap oksigen untuk membentuk hemoglobin dalam sel darah
merah. Dengan dimulainya fungsi ini maka oksigen dibawa dari
paru-paru kedalam jaringan. (Syaifuddin, 2016)

Poltekkes Kemenkes Palembang


9

Dalam berbagai bentuk anemia, jumlah hemoglobin dalam


darah berkurang. Dalam beberapa bentuk anemia parah, kadar itu
bisa dibawah 30% atau 5 gram setiap 10 ml. karena hemoglobin
mengandung besi yang diperlukan untuk bergabung dengan oksigen,
maka dapat dimengerti pasien semacam itu memperlihatkan gejala
kekurangan oksigen, seperti nafas pendek. Ini sering merupakan
salah satu gejala pertama anemia kekurangan zat besi.

3. Sel-Sel Darah Putih (Leukosit)


Sel darah putih (leukosit) rupanya bening dan tidak berwarna,
bentuknya lebih besar daripada sel darah merah, tetapi jumlahnya
lebih kecil. dalam setiap millimeter kubik darah terdapat 6.000-
10.000 (rata- rata 8.000) sel darah putih. Granulosit atau sel
polimorfonuklear merupakan hamper 75% dari seluruh jumlah sel
darah putih. Granulosit terbentuk dalam sumsum merah tulang. Sel
ini berisi sebuah nucleus yang berbelah banyak dan protoplasmanya
berbulir, sehingga disebut sel berbulir atau granulosit. Kekurangan
granulosit disebut granulositopenia. Tidak adanya granulosit disebut
agranulositosis yang dapat timbul setelah makan obat tertentu
termasuk juga beberapa zat antibiotik. Fungsi dari sel darah putih
adalah menyediakan banyak bahan pelindung dan melindungi tubuh
terhadap serangan bakteri. Terdapat lima jenis leukosit yaitu netrofil,
Eosinofil, Basofil, Monosit dan Limfosit.

4. Sel Darah Pembeku Atau Keping Darah (Trombosit)


Trombosit adalah sel kecil kira-kira sepertiga ukuran sel darah
merah. Terdapat 300.000 trombosit dalam setiap millimeter kubik
darah. Peranannya penting dalam penggumpalan/pembekuan darah.
1) Faktor-faktor pembekuan darah
a. Untuk menghasilkan pembekuan darah, diperlukan 12 faktor
yaitu Fibrinogen (pembentuk fibrin)
b. Protrombin (mengaktifkan fibrin, faktor V, VII, XIII)

Poltekkes Kemenkes Palembang


10

c. Faktor jaringan (mengaktifkan faktor VII, tromboplastin


jaringan)
d. Ion kalsium (kofaktor beberapa faktor)
e. Proaselerin (kofaktor faktor Xa)
f. Prokonvertin (mengaktifkan faktor X)
g. Faktor anti haemofilik (kofaktor faktor Xa)
h. Faktor christimas, mengaktifkan faktor X
(komponen tromboplastin plasma)
i. Faktor stuart (mengaktifkan protrombin)
j. Anteseden atau trombopalstin plasma (mengaktifkan faktor
IX)
k. Faktor Hogeman (mengaktifkan faktor XI)
l. Fakor penstabil fibrin (menstabilkan fibrin)

2) Gangguan hemostatis
a. Gangguan pada platelet, contohnya :
1. Defisiensi platelet (trombositopeni) karena infeksi
(demam berdarah), gangguan sintesis (leukemia), idiopatik
2. Gangguan agregasi platelet, misalnya karena
mengkonsumsi aspirin.
b. Gangguan pembekuan darah, contohnya
1. Hemofilia A (defisiensi faktor VII)
2. Penyakit christimas (defisiensi faktor IX)
3. Defisiensi faktor pembekuan darah karena gangguan
fungsi hepar tempat mensintesis faktor II, VII, IX, X dan
Fibrinogen ; dan
4. Defisiensi vitamin K yang diperlukan untuk mengaktifkan
faktor II, VII, IX, X.

5. Cairan Darah (Plasma Darah)


Plasma Darah adalah cairan berwarna kuning yang dalam
reaksi bersifat sedikit alkali. Plasma bekerja sebagai medium

Poltekkes Kemenkes Palembang


11

(perantara) untuk penyaluran makanan, mineral, lemak, glukosa, dan


asam amino ke jaringan. Juga merupakan medium untuk mengangkat
bahan buangan: urea, asam urat, dan sebagian dari karbon.

2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi Demam Berdarah Dengue menurut WHO dalam
Restu Diana (2017) :
Derajat 1 Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji turniquet positif
Derajat 2 Derajat 1 disertai perdarahan spontan dikulit dan / atau
perdarahan lain
Derajat 3 Ditemukan tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lembut, tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg) atau
hipotensi disertai kulit dingin, lembab, dan pasien
menjadi lembab, dan pasien menjadi gelisah.
Derajat 4 Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak
dapat di ukur.

Tabel 2.1 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue


Fase Demam Berdarah Dengue
Menurut M Luki (2018) Demam Berdarah Dengue memiliki 3
fase yaitu :
1. Fase demam
Siklus demam berdarah yang pertama ditandai dengan gejala
demam. Demam yang ditimbukan oleh penyakit demam berdarah
Dengue ini memiliki gambaran berupa demam yang mendadak
tinggi, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2
sampai 7 hari. Namun demam ini dapat turun pada hari ke-3 sampai
hari ke-5 dan kemudian naik lagi. Pada fase ini, kebanyakan orang
akan mengalami demam tinggi selama 3 hari dan disertai dengan
nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, nyeri otot dan juga
nyeri sendi. Selain itu pada beberapa kasus dapat disertai dengan
perdarahan ringan sampai berat, seperti ruam di kulit, mimisan

Poltekkes Kemenkes Palembang


12

maupun gusi berdarah, juga keluhan pencernaan seperti mual dan


muntah.

2. Fase kritis
Pada fase ini, seorang pasien yang mengalami demam
berdarah Dengue tampak seperti mengalami perbaikan. Hal ini
ditunjukkan oleh demam yang turun sampai normal, disertai keringat
dan berkurangnya gejala-gejala lain seperti yang disebutkan di atas.
Akan tetapi sesuai namanya pada fase demam berdarah yang
berlangsung pada hari ke-4 hingga hari ke-5 ini pasien akan
merasakan tubuhnya semakin lemas. Pada fase ini, sebenarnya di
dalam tubuh kita terjadi proses yang sangat berbahaya yakni
turunnya jumlah sel untuk pembekuan darah (trombosit) disertai
dengan cedera lapisan pembuluh darah yang hebat. Cedera pembuluh
darah inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan kebocoran
pembuluh darah sehingga cairan didalam pembuluh darah akan
merembes ke jaringan sekitarnya.

3. Fase penyembuhan
Dari namanya saja, kita pasti sudah mengetahui bahwa fase
ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit demam
berdarah. Fase penyembuhan ini biasanya terjadi pada hari ke-6
hingga hari ke-7. Keadaan pasien pada fase ini biasanya akan
kembali stabil. Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai
strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang
digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan,
kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang
ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan
tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan. Pencegahan penyakit DBD
sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk
Aedes aegypti

Poltekkes Kemenkes Palembang


13

2.1.5 Patofisiologi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk terjadi viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa
penyebab yang jelas disertai gejala lain seperti sakit kepala, mual,
muntah, nyeri otot, pegal di seluruh tubuh, nafsu makan berkurang dan
sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit. Kelainan juga dapat terjadi
pada sistem retikulo endotel atau seperti pembesaran kelenjar-kelenjar
getah bening, hati dan limpa.Serangan virus dengue untuk pertama
kalinya tubuh akan membentuk antibodi spesifik, namun masih
memungkinkan untuk mendapat serangan berikutnya karena ada lebih
dari satu tipe virus dengue. Saat virus berkembang biak di dalam
retikulo endotel (selsel mesenkim dengan daya fagosit) maka akan
terjadi viremia (darah mengandung virus) dan kemudian membentuk
ikatan dengan virus. Ikatan ini mengaktivasi sistem komplemen
sehingga menyebabkan agregasi trombosit yang berdampak pada
trombositopenia dan mengaktivasi sistem koagulasi yang berdampak
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran plasma
dan dapat menyebabkan terjadinya syok yang jika tidak diatasi dapat
terjadi kematian (Soedarto, 2012 dalam Riana Pujiarti 2016)
Plasma merembes sejak permulaan demam dan mencapai
puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai 30% atau lebih. Bila renjatan
hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma yang tidak dengan
segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik
dan berakhir dengan kematian (Ngastiyah, 2014 dalam Hikmatul 2017)

Poltekkes Kemenkes Palembang


14

2.1.6 Pathway

Arbovirus (melalui nyamuk Aedes Aegypti )

Beredar dalam aliran darah

Infeksi virus dengue (viremia)

Hepatomegali Mengaktifkan system komplemen

Melepaskan zat C3а, C5а

PGE2 hipotalamus

Hipertermi

Peningkatan reabsorbsi Na+ dan H2O

Permeabilitas membrane meningkat

Resiko syok hipovolemik

Renjatan hipovolemik dan hipotensi

Kebocoran plasma

Dehidrasi

(Novaliana 2016, dimodifikasi oleh penulis)

Poltekkes Kemenkes Palembang


15

2.1.7 Manifestasi Klinis


Menurut Soegijanto (2006) dalam Didik Pranata (2016) bahwa tanda
dan gejala DBD adalah sebagai berikut ini:
a. Gejala klinis
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas berlangsung
selama 2-7 hari
2) Terdapat Manifestasi perdarahan termasuk uji torniquet positif,
petekie (bintik merah pada kulit > 10), ekimosis/purpura
(perdarahan kecil di dalam kulit), epistaksis (hidung berdarah
atau mimisan), perdarahan gusi, hematemesis (muntah darah),
melena (BAB berdarah).
3) Pembesaran hati (Hepatomegali)
4) Perembesan plasma, yang ditandai secara klinis adanya asites
dan efusi pleura sampai terjadinya renjatan (ditandai nadi cepat
dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembap dan pasien tampak gelisah).
b. Tanda klinis
1) Trombositopenia (kurang dari 100.000/ υL).
2) Hemokonsentrasi, dapat dilihat peningkatan hematokrit 20%
atau lebih, menurut standar umur dan jenis kelamin.

2.1.8 Komplikasi
Menurut Marni (2016) komplikasi yang terjadi pada anak yang
mengalami demam berdarah dengue yaitu perdarahan masif dan dengue
shock syndrome (DSS) atau sindrom syok dengue (SSD). Syok sering
terjadi pada anak berusia kurang dari 10 tahun. Syok ditandai dengan
nadi yang lemah dan cepat sampai tidak teraba. Penanganan syok
biasanya menyebabkan kelebihan cairan. Hal ini dapat terjadi karena:
1. Kelebihan dan atau pemberian cairan yang terlalu cepat
2. Penggunaan jenis cairan yang hipotonik
3. Pemberian cairan intravena yang terlaliu lama
4. Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan
kebocoran yang hebat.

Poltekkes Kemenkes Palembang


16

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Diagnostik DBD menurut Wijayaningsih (2013)


dalam Hikmatul (2017) adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Darah
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
a) Hemoglobin biasanya meningkat, apabila sudah terjadi
perdarahan yang banyak dan hebat Hb biasanya menurun.
Nilai normal Hb: 10-16 gr/dL
b) Hemaktokrit meningkat 20% karena darah mengental dan
terjadi kebocoran plasma. Nilai normal: 33-38%
c) Trombosit biasanya menurun dan akan mengakibatkan
trombositopenia kurang dari 100.000/ml. Nilai normal:
200.000-400.000/ml
d) Leukosit mengalami penurunan dibawah normal. Nilai normal:

9.000-12.000/ mm3
2. Pemeriksaan kimia darah akan menunjukkan hipoproteinemia,
hipokloremia, dan hiponatremia.
3. Pemeriksaan analisa gas darah, biasanya diperiksa:
a) pH darah biasanya meningkat Nilai normal: 7.35-7.45
b) dalam keadaan lanjut biasanya terjadi asidosis metabolic
mengakibatkan pCO2 menurun dari nilai normal (35-40
mmHg) dan HCO3 rendah.
b. Pemeriksaan rontgen thorak
Pada pemeriksaan rontgen thorak ditemukan adanya cairan di
rongga pleura yang menyebabkan terjadinya efusi pleura.
c. Uji torniquet
Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistole dan
diastole. Alirkan darah pada lengan atas dibendung pada tekanan
(hasil sistole dan diastole ditambahkan lalu dibagi dua) selama 3-5
menit, apabila terdapat bintik-bintik merah (ptekie) >10,
pembendungan dapat dihentikan. Dinyatakan positif jika terdapat 10
atau lebih ptekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan

Poltekkes Kemenkes Palembang


17

bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fosca cubiti).

2.1.10 Penatalaksanaan

Menurut WHO, (2009) dalam Novalina (2016), tatalaksana


Demam Berdarah Dengue yaitu:
a. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue tanpa syok Anak dirawat
dirumah sakit
Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air
sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang akibat kebocoran
plasma, demam. Muntah. Berikan paracetamol bila demam. Jangan
berikan asetosal atau ibuprofen karena obat-obatan ini dapat
merangsang terjadinya perdarahan.
Berikan infuse sesuai dengan dehidrasi sedang:
1. Berikan hanya larutan isotonic seperti Ringer Laktat/ Asetat
2. Kebutuhan cairan parenteral
Berat badan <15 kg : 7 ml/kgBB/jam
Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
Berat badan >40 kg : 3 ml/kgBB/jam
3. Pantau tanda vital dan dieresis setiap jam, serta periksa
laboratorium (hemaktokrit, trombosit, leukosit dan hemoglobin)
tiap 6 jam
4. Apabila terjadi penurunan hemaktokrit dan klinis membaik,
turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan stabil
Cairan intravena biasanya hanya memerlukan waktu 24-48
jam sejak kebocoran pembuluh darah kapiler spontan setelah
pemberian cairan. Apabila terjadi perburukan klinis berikan
tatalaksana sesuai dengan tatalaksana syok terkompensasi
(compensated shock).
b. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue dengan Syok
Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-
4 L/menit secara nasal. Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti
ringer laktat/ asetat secepatnya. Jika tidak menunjukkan perbaikan

Poltekkes Kemenkes Palembang


18

klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya


(maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20
ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/jam. Jika tidak ada perbaikan
klinis tetapi hemaktokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan
terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfuse darah. Jika
terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai
membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10
ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan 4-6 jam
sesuai kondisi klinis dan laboratorium. Dalam banyak kasus, cairan
intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.
c. Tatalaksana komplikasi perdarahan
Jika terjadi perdarahan berat segera beri darah bila mungkin.
Bila tidak, beri koloid dan segera rujuk.

2.1.11 Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD menurut Nurjanah (2013) dalam


Nurzahri (2019) sangat tergantung pada pengendalian vektor, yaitu
nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
1. Menjaga Kebersihan Lingkungan Lingkungan untuk mengendalikan
nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat
perkembangbiakan nyamuk hasil sampling kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
a. Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya
sekali seminggu.
b. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung
seminggu sekali.
c. Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
d. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di
sekitar rumah dan lain sebagainya.

Poltekkes Kemenkes Palembang


19

2. Biologis Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan


ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
3. Kimiawi Cara pengendalian ini antara lain dengan:
Pengasapan/fogging dengan menggunakan malathion dan
fenthion, berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai
batas waktu tertentu. Memberikan bubuk abate (temephos) pada air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lainlain. Cara yang paling
efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengantempat-
tempat penampungan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang
disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun.
Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan
pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada
waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida,
menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, dan memeriksa
jentik berkala.

2.2 Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses
keperawatan dan merupakan suatu yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan (Budiono & Pertami, 2015 dalam
Yanti, 2019)
Menurut Nursalam (2005) komponen dalam proses pengkajian
yaitu :
1. Identitas pasien
Nama, umur (pada DBD sering kali menyerang anak
dengan usia kurang 15 tahun), jenis kelamin, alamat, nama orang
tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua.

Poltekkes Kemenkes Palembang


20

2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DBD
untuk datang ke rumah sakit adalah panas tinggi dan anak
lemah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang
disertai menggigil. Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 dan
ke-7, keadaan semakin lemah. Kadang – kadang disertai dengan
keluhan sakit saat menelan, mual, muntah, tidak nafsu makan,
diare ataukonstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian,
nyeri ulu hati serta adanya manifestasi perdarahan pada kulit,
gusi (grade III, IV), melena, dan hematemesis.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang sebelumnya pernah diderita. Pada DBD,
anak biasanya mengalami serangan ulangan DBD dengan tipe
virus yang lain.
d. Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka
kemungkinan akan timbulnya komplikasi dapat dihindari
e. Riwayat gizi
Anak yang menderita DBD sering mengalami keluhan
mual, muntah, dan nafsumakan menurun.Apabila kondisi ini
berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhannutrisi yang
mencukupi, maka akan dapat mengalami penurunanberat badan
sehingga status gizinya menjadi kurang.

3. Kondisi lingkungan
Sering terjadi pada daerah padat penduduk dan lingkungan
yang kurang bersih

Poltekkes Kemenkes Palembang


21

4. Pola kebiasaan
a. Nutrisi dan metabolisme
Frekuensi dan nafsu makan berkurang.
b. Eliminasi bowel
Kadang-kadang anak mengalami diare.
c. Eliminasi urin (buang air kecil)
Sering atau sedikit BAK, sakit atau tidak BAK
d. Tidur dan istirahat
Anak sering mengalami kurang tidur karena mengalami
sakit atau nyeri otot dan persendian.
e. Kebersihan
Upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan
lingkungan cenderung kurang terutama untuk membersihkan
tempat yang biasa untuk sarang nyamuk (tempat genangan air).

5. Pemeriksaan fisik
Meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkat (derajat),
keadaan fisik anak adalah sebagai berikut :
a. Tingkat kesadaran
Biasanya ditemukan kesadaran menurun, terjadi pada
grade III dan grade IV karena nilai hematokrit meningkat
menyebabkan darah mengental dan oksigen ke otak berkurang.
b. Keadaan umum : Lemah.
c. Tanda-tanda vital : Nadi lemah (grade III), nadi tidak teraba
(grade IV), tekanan darah menurun (sistolik
menurun sampai 80 mmHg ), suhu tinggi
(diatas 37,5ºC).
d. Kepala : Kepala terasa nyeri.
e. Mata : Konjungtiva anemis.
f. Hidung : Hidung kadang mengalami perdarahan
(epistaksis) pada grade II, III, IV.

Poltekkes Kemenkes Palembang


22

g. Telinga : Terjadi perdarahan telinga (pada grade II,


III, IV).
h. Mulut : Mukosa mulut kering, terjadiperdarahan
gusi, dan nyeri telan.
i. Dada/thorak : Kadang-kadang tampak sesak.
j. Abdomen : Mengalami nyeri tekan, pembesaran
hati (hepatomegali).
k. Sistem integument : Adanya ptekia (>10) pada kulit spontan dan
dengan melakukan uji tourniquet. keringat
dingin dan lembab
l. Ekstremitas : Akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi
serta tulang. Pada kuku sianosis/tidak.
(Soedarmo, 2008) dalam Fauziah (2017).

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut NANDA (2012) dalam Aziz (2017) Diagnosa


keperawatan adalah penilaian klinis mengenai pengalaman/respon
individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang
aktual atau potensial. Diagnosis keperawatan memberi dasar
pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil akhir sehingga
perawat menjadi akuntabel.
Beberapa diagnosa yang mungkin didapatkan pada penyakit
DBD menurut Marni (2016) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
perdarahan.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi virus
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler, perdarahan.
4. Risiko terjadi komplikasi ( syok atau perdarahan) berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas kapiler.

Poltekkes Kemenkes Palembang


23

5. Defisit Nutrisi berhubungan dengan asupan yang kurang dan/atau


pengeluaran yang berlebihan ( mual muntah dan tidak nafsu
makan).
6. Kurangnya pengetahuan orangtua tentang penyakit berhubungan
dengan kurangnya informasi.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi Keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang


dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai peningkatan, pencegahan dan
pemulihan kesehatan klien individu, keluarga, dan komunitas. (PPNI,
2018)
Intervensi keperawatan Demam Berdarah Dengue menurut
Marni (2016) :
1. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
perdarahan.
Tujuan : Perfusi jaringan menjadi adekuat
Kriteria Hasil : 1. Ekstremitas teraba hangat
2. Warna kulit normal atau merah muda
3. Tidak terjadi sianosis
4. Nilai hemoglobin dan hematokrit dalam batas
normal
5.Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji sirkulasi pada ekstremitas ( suhu tubuh, kelembaban, dan
warna) catat hasilnya.
2. Observasi tanda-tanda vital, catat hasilnya (kualitas dan
frekuensi denyut nadi dan tekanan darah serta capillary refill).
3. Pantau kemungkinan terjadinya kematian jaringan pada
ekstremitas misalnya dingin nyeri dan pembengkakan pada
kaki.
4. Penuhi kebutuhan cairan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


24

5. Jika perlu berikan plasma/plasma ekspander apabila pemberian


cairan infus tidak memberikan respons.
6. Berikan transfusi darah jika terjadi perdarahan hebat nilai
hemoglobin dan hematokrit

2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi virus.


Tujuan : Suhu tubuh pasien dalam batas normal
Kriteria Hasil : 1. Suhu tubuh pasien dalam batas normal
2. Pasien tenang
3. Pasien tidak menggigil
Intervensi :
1. Kaji keluhan pasien
2. Observasi suhu tubuh setiap 4 jam
3. Penuhi kebutuhan cairan untuk mencegah terjadinya dehidrasi
akibat hipertermia.
4. Berikan kompres dingin.
5. Berikan pakaian yang longgar
6. Berikan antipiretik dari golongan asetaminofen (paracetamol),
jangan dari golongan salisilat karena dapat menyebabkan
bertambahnya perdarahan.

3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan


permeabilitas kapiler, perdarahan.
Tujuan : Kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil : 1. Turgor kulit elastic
2. Pasien tidak mengeluh haus
3. Ubun-ubun tidak cekung
4. Produksi urin normal
5.Nilai laboratorium elektrolit darah, serum
albumin, dan berat jenis urin dalam batas
normal

Poltekkes Kemenkes Palembang


25

Intervensi :
1. Observasi tanda-tanda vital paling sedikit setiap 4 jam.
2. Pantau tanda-tanda kekurangan cairan. (Misalnya ubun-ubun
cekung, turgor kulit tidak elastis, dan produksi urin menurun)
3. Berikan cairan oral jika pasien mau.
4. Kurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat-insensible water
loss (IWL)
5. Berikan cairan parenteral/pasang infus untuk mencegah terjadi
renjatan.
6. Pantau pemberian cairan intravena setiap 4 jam dan hindari
terjadinya kelebihan cairan.
7. Pantau asupan dan pengeluaran, catat hasilnya.
8. Pantau nilai laboratorium, elektrolit darah, serum albumin dan
berat jenis urin.

4. Risiko terjadi komplikasi ( syok atau perdarahan) berhubungan


dengan peningkatan permeabilitas kapiler.
Tujuan : Tidak terjadi syok atau renjatan
Kriteria Hasil : 1. Tidak ada perdarahan
2. Tanda-tanda vital dalam batas normal
3. Ekstremitas teraba hangat.
Intervensi :
1. Kaji keluhan pasien
2. Observasi tanda-tanda vital setiap jam apabila terdapat tanda-
tanda syok. Catat hasilnya.
3. Lakukan pemeriksaan trombosit, hematokrit dan hemoglobin
setiap 4 jam. Catat hasilnya.
4. Pantau Keseimbangan cairan.
5. Melakukan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit.
6. Jika perlu, siapkan darah atau plasma untuk transfusi darah
Apabila terjadi perdarahan gastrointestinal yang hebat atau
masif.

Poltekkes Kemenkes Palembang


26

7. Pasang NGT jika terjadi pendarahan di lambung (untuk


mengeluarkan darah dari lambung).

5. Defisit Nutrisi berhubungan dengan asupan yang kurang dan atau


pengeluaran yang berlebihan ( mual muntah dan tidak nafsu
makan).
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil : 1. Berat badan stabil tidak menurun
2. Pasien mau makan atau bisa makan
3. Tidak ada lagi keluhan mual dan muntah
Intervensi :
1. Kaji keluhan mual pada pasien
2. Observasi Apakah pasien pernah muntah.
3. Pertahankan kebersihan mulut pasien.
4. Jelaskan pentingnya nutrisi bagi tubuh.
5. Berikan makanan cair atau lunak.
6. Berikan makanan yang disukai anak jika tidak ada perdarahan
di lambung.
7. Berikan makanan yang disertai suplemen untuk kebutuhan gizi
pasien.
8. Pasang NGT pada pasien yang mengalami perdarahan hebat di
lambung dan puasakan pasien sampai perdarahannya berhenti.
Jika perdarahannya telah berhenti maka berikan makanan
bentuk cairan misalnya susu. Jika Kondisinya sudah stabil
maka pemberian makanan dapat ditingkatkan ke makanan
lunak sesuai dengan kesukaan anak.
9. Timbang berat badan setiap 3 hari jika memungkinkan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


27

6. Kurangnya pengetahuan orangtua tentang penyakit berhubungan


dengan kurangnya informasi
Tujuan : Orangtua memahami tentang penyakit DBD
Kriteria hasil : 1. Orangtua mengetahui tanda-tanda dan gejala
anak yang mengalami DBD
2. Orangtua mengetahui penanganan pertama
sebelum dibawa ke petugas kesehatan.
3. Orangtua mengetahui pencegahan agar
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
tidak berkembangbiak di lingkungan tempat
tinggal.
Intervensi :
1. Kaji pengetahuan orangtua tentang penyakit demam berdarah
dengue
2. Observasi perilaku orangtua dalam keterlibatan perawatan
pasien
3. Anjurkan orangtua untuk aktif dalam perawatan pasien
4. Berikan pendidikan kesehatan tentang penyakit demam
berdarah dengue, tanda tanda dan gejalanya, penanganan
pertama, dan komplikasinya jika tidak segera diatasi.
5. Berikan penyuluhan kepada orangtua tentang penanganan
pertama pada pasien yaitu dengan memberikan minum yang
banyak.
6. Berikan Penyuluhan tentang cara memberantas nyamuk aedes
aegypti dan Aedes albopictus.

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana
perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah
dilaksanakan sebelumnya (Kozier, 2010) dalam (Agustiari,2019).

Poltekkes Kemenkes Palembang


28

Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik


yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Tindakan-tindakan pada intervensi keperawatan terdiri
atas observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi (PPNI, 2018) dalam
(Agustiari,2019).

a. Kolaborasi pemberian terapi cairan intravena


Menurut Putri (2018), terapi intravena merupakan metode
yang efektif dan efisien untuk menyuplai kebutuhan cairan.Perawat
berperan dalam melakukan pemasangan terapi intravena,
perawatan, serta pemantauan intravena.
Terapi intravena merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan dengan cara memasukkan cairan melalui intravena
dengan bantuan infus set yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh. (Trias Eka, 2015)
Dalam Suratno dkk. (2018) pada penanganan demam
berdarah sesuai standar WHO tahun 2009 dan National guidelines
for clinical management of dengue fever tahun 2014, terapi cairan
merupakan penatalaksanaan yang utama untuk penanganan demam
berdarah. Ada beberapa pilihan terapi cairan yang digunakan, yaitu
cairan kristaloid dan koloid, penggunaannya disesuaikan dengan
derajat keparahan penyakit demam berdarah.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil
akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil
evaluasi menunjukan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa
keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan
masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment) (Asmadi, 2008) dalam (Ahmad 2017).

Poltekkes Kemenkes Palembang


29

2.3 Penelitian Terkait


2.3.1 Artikel 1
Penelitian Rahmawati et al. (2019) yang berjudul Efektivitas
Pemberian Terapi Cairan Inisial Dibandingkan Terapi Cairan Standar
WHO terhadap Lama Perawatan pada Pasien Demam Berdarah di
Bangsal Anak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul.
2.3.2 Artikel 2
Penelitian Munawwarah et al. (2018) yang berjudul Efektivitas
Cairan Kristaloid dan Koloid Pasien Demam Berdarah Anak di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Bantul .
2.3.3 Artikel 3
Penelitian Nasriyah et al. (2019) yang berjudul Life Quality of
Pediatric Patient with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Who
Received Crystalloid and Colloid Fluid Treatment in PKU
Muhammadiyah Hospital Yogyakarta.
2.3.4 Artikel 4
Penelitian Yuliarto et al. (2019) yang berjudul Restrictive versus
Liberal Fluid Resuscitation in Children with Dengue Shock Syndrome:
the differences in Clinical Outcomes and Hemodynamic Parameters .
2.3.5 Artikel 5
Penelitian Dey et al. (2017) yang berjudul Fluid Replacement in
Children with Dengue and factors associated with pulmonary.

Poltekkes Kemenkes Palembang


BAB III
METODELOGI STUDI KASUS

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian naratif studi literatur yang
menggambarkan implementasi Pemberian terapi cairan intravena dalam
pemenuhan kebutuhan cairan pada anak DBD

3.2 Variabel Penelitian

Penelitian ini akan mengeksplorasi variabel Implementasi Pemberian


terapi cairan intravena dan variabel pemenuhan kebutuhan cairan pada anak
DBD, serta hubungan atau pengaruh kedua variabel melalui eksplorasi
penelitian/ buku/ artikel penelitian sebelumnya.
Jika digambarkan dalam skema variabel tersebut seperti berikut:

Pemberian terapi cairan DBD pada anak


intravena

3.3 Kriteria Literatur yang digunakan

Kriteria artikel/ hasil penelitian yang digunakan dalam penelitian ini


terdiri dari 5 artikel/ hasil penelitian yang dipublikasikan secara online antara
tahun 2015-2019. Artikel atau hasil penelitian tersebut tersedia secara full
Teks untuk digunakan penulis sebagai data untuk dianalis (sebagaimana
terlampir pada penelitian ini).

3.4 Sumber artikel


Artikel/ hasil penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
penulis melalui eksplorasi pada sumber Google Scholar sebanyak 2 artikel,
Researchgate sebanyak 2 artikel dan juga Pediatric Oncall 1 artikel.

30
Poltekkes Kemenkes Palembang
31

3.5 Langkah Studi Literatur

Penentuan lima (5) artikel yang digunakan penulis dalam studi


literatur ini dilakukan penulis melalui langkah sebagai berikut:
1. Penulis menetapkan topik/masalah penelitian yaitu implementasi
Pemberian terapi cairan intravena dalam pemenuhan kebutuhan cairan
pada anak DBD
2. Menetapkan kata kunci yaitu Defisit Volume Cairan pada anak DBD ,
Terapi cairan pada anak DBD , efektivitas pemberian terapi cairan pada
anak DBD, Jurnal DBD Kekurangan Cairan.
3. Dengan kata kunci tersebut penulis melakukan pencarian artikel
mengunakan data base dari Google Scholar, Researchgate dan Google.
4. Selanjutnya dari 10 artikel yang didapat, tetapkan prioritas yang memiliki
relevansi yang baik dengan topik/masalah riset penelitian
5. Dari 10 artikel tersebut selanjutnya penulis menetapkan 5 artikel yang
digunakan sebagai artikel yang dianalisis untuk menjawab tujuan
penelitian yang dikembangkan penulis. 5 Artikel tersebut meliputi artikel
publikasi dari ( Full teks artikel sebagaimana terlampir)

3.6 Analisis data dan penyajian hasil penelitian


Analisa data penelitian ini dilakukan penulis dengan menyajikan 5
artikel penelitian yang memiliki relevansi dengan topik atau masalah
penelitian, selanjutnya penulis menuangkan rangkuman hasil penelitian dari 5
artikel dalam tabel review yang didalamnya memuat sumber penelitian, judul
penelitian,tujuan penelitian, desain, sampling, hasil penelitian, simpulan dan
saran.
Langkah selanjutnya penulis melakukan analisis atas artikel dengan
mengintegrasikan hasil-hasil penelitian, menghubungkan topik topik yang
berhubungan, mengidentifikasi sentral issue/ hasil penelitian yang relevan
dengan kajian penelitian.

Poltekkes Kemenkes Palembang


32

3.7 Etika Penelitian


Penelitian studi literatur ini mengimplementasi aspek etik berupa
penghargaan atas karya orang lain, atas hal ini penulis melakukan
pencantuman sumber atas setiap kutipan baik langsung maupun tidak
langsung yang dilakukan penulis. Penghindaran atas plagiarism penulis akan
melakukan uji plagiarism setelah laporan penelitian dibuat dan sebelum
kegiatan ujian akhir penelitian dilaksanakan. Implementasi aspek kejujuran
dilkukan penulis dengan menyampaikan hasil studi dari sejumlah artikel
secara objektif, jujur dan tanpa kebohongan serta penulis akan melampirkan
artikel yang digunakan sebagai data hasil studi kasus.

Poltekkes Kemenkes Palembang


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian studi literatur ini disajikan secara naratif untuk


menggambarkan hasil penelitian dari 5 artikel/ hasil penelitian yang relevan
degan topik/ masalah implementasi
1. Artikel 1 Penelitian Rahmawati et al. (2019) yang berjudul Efektivitas
Pemberian Terapi Cairan Inisial Dibandingkan Terapi Cairan Standar
WHO terhadap Lama Perawatan pada Pasien Demam Berdarah di
Bangsal Anak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul yang
dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni tahun 2018
menggunakan metode eksperimental single blind randomised clinical
trial pada dua kelompok yaitu cairan standar WHO (n=24) dan cairan
inisial (n=24), hasil penelitian kedua kelompok tidak menunjukkan
perbedaan bermakna terhadap rata-rata suhu badan dan hematokrit
(p>0,05), sedangkan kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang
bermakna terhadap rata-rata peningkatan trombosit dan lama rawat inap
(p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok cairan inisial memiliki
rata-rata lama rawat inap lebih cepat 4,00±0,7 hari dibanding kelompok
standar WHO yang disertai dengan peningkatan trombosit selama
menjalani rawat inap.
2. Artikel 2 Penelitian Munawwarah et al. (2018) yang berjudul Efektivitas
Cairan Kristaloid dan Koloid Pasien Demam Berdarah Anak di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Bantul yang dilaksanakan pada tahun 2018.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental Single Blind
Randomised Clinical Trial, dimana peneliti melakukan uji klinis pada
kelompok intervensi dan terdapat kelompok pembanding (comparison).
Subjek penelitian yang terlibat sebanyak 48 pasien yang memenuhi
kriteria inklusi kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 24 pasien
termasuk dalam kelompok cairan kristaloid dan 24 pasien termasuk
dalam kelompok cairan koloid (gelafusal). Hasil Penelitian menunjukkan

33
Poltekkes Kemenkes Palembang
34

kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05)


terhadap nilai trombosit (24 dan 48 jam pemberian cairan), nilai
hematokrit (72 jam pemberian cairan) dan lama rawat inap sedangkan
kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05) pada
gejala demam (suhu tubuh). Kesimpulan dari penelitian ini terapi cairan
koloid memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap perbaikan gejala
klinis dan laboratoris serta mengurangi lama rawat inap pasien.
3. Artikel 3 Penelitian Nasriyah et al. (2019) yang berjudul Life Quality of
Pediatric Patient with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Who Received
Crystalloid and Colloid Fluid Treatment in PKU Muhammadiyah
Hospital Yogyakarta . Penelitian ini menggunakan desain penelitian
kohort, pengambilan sampel secara randomisasi blok. Subjek penelitian
sebanyak 48 orang . Kriteria inklusi adalah pasien DBD rawat inap anak
umur 1 bulan-18 tahun periode Februari – Mei 2018. Kriteria eksklusi
adalah pasien DBD dengan rujukan dari RS lain yang sudah mendapat
cairan. Hasil Penelitian didapatkan lama rawat inap kelompok kristaloid
adalah 5 hari lebih lama dibanding kelompok koloid yakni 4 hari. Dari 48
subyek yang diteliti skor fungsi fisik kelompok kristaloid lebih tinggi
dibanding kelompok koloid. Fungsi emosi kelompok kristaloid diperoleh
skor lebih tinggi dibanding kelompok koloid. Fungsi sosial kelompok
kristaloid memiliki skor lebih tinggi dibanding kelompok koloid.
Kesimpulannya kelompok kristaloid skor kualitas hidupnya lebih tinggi
dibanding kelompok koloid, walaupun secara statistik berbeda tidak
signifikan.
4. Artikel 4 Penelitian Yuliarto et al. (2019) yang berjudul Restrictive
versus Liberal Fluid Resuscitation in Children with Dengue Shock
Syndrome: the differences in Clinical Outcomes and Hemodynamic
Parameters yang dilaksanakan dari Januari 2016 hingga Desember 2016.
Sebuah penelitian observasional retrospektif pasien anak yang berusia
antara satu bulan hingga 18 tahun,disajikan dengan kriteria klinis untuk
demam berdarah dengue (DBD) kelas III dan IV berdasarkan klasifikasi
WHO dari demam berdarah pada tahun 2011, dan dirawat di Rumah

Poltekkes Kemenkes Palembang


35

Sakit Umum Saiful Anwar , Malang- Indonesia. Pasien dibagi dalam dua
kelompok: diresusitasi dengan <40 ml / kg berat badan [BB] (kelompok
restriktif) atau>40ml / kg BB (kelompok liberal) solusi; kemudian kami
menganalisis hasil klinis dan parameter hemodinamik antara dua
kelompok. Di antara 100 pasien, 92 pasien diklasifikasikan sebagai DBD
kelas III dan 8 pasien DBD kelas IV. 74 pasien berada dalam kelompok
restriktif dan 24 pasien dalam kelompok liberal. Kelompok restriktif
memiliki mortalitas 53% lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
liberal (P = 0,18). Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan dalam hasil klinis (panjang ventilasi mekanik dan lama
tinggal PICU),dan parameter hemodinamik (preload, inotropi, afterload,
dan indeks jantung) pada pasien Sindrom Syok Dengue yang menerima
resusitasi cairan restriktif atau liberal.
5. Artikel 5 Penelitian Dey et al. (2017) yang berjudul Fluid Replacement in
Children with Dengue and factors associated with pulmonary yang
dilaksanakan selama 1 bulan pada bulan Agustus 2007. Tiga puluh dua
anak yang mengalami DBD atau DSS dilibatkan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian didapatkan Cairan diberikan rata-rata 52,1 ± 34,6 jam
pada 30 pasien. Edema paru terlihat pada 9 anak (28%) dan berhubungan
dengan lebih banyak jam cairan intravena (82 ± 41,4 jam Vs 39,3 ± 22
jam; p = 0,0009), Tiga puluh satu anak (97%) pulih dengan waktu
pemulihan rata-rata 5,8 ± 3,5 hari dan 1 (3%) meninggal. Kesimpulannya
Durasi terapi cairan yang lebih lama dan jumlah cairan yang lebih besar
dapat menyebabkan edema paru pada pasien dengan DSS. Dengan
demikian manajemen terapi cairan yang bijaksana diperlukan untuk
meminimalkan komplikasi dari keadaan kelebihan cairan.

Selanjutnya review artikel /hasil penelitian yang digunakan sebagai


data dalam studi literatur ini digambarkan dalam tabel review literatur
berikut

Poltekkes Kemenkes Palembang


36

Tabel 4.1 Review Literatur Implementasi Pemberian Terapi Cairan Intravena Dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan Pada Anak
Dengan DBD

Sumber Peneliti dan judul Tujuan penelitian Desain Sampling Hasil Penelitian Simpulan dan saran
artikel penelitian
Researchgate Rahmawati et al. Untuk mengetahui perbedaan Eksperimental 48 pasien anak Hasil penelitian kedua Kelompok cairan inisial
(2019) pemberian terapi cairan inisial Single Blind dengan DBD kelompok tidak memiliki rata-rata lama
terhadap perbaikan klinis, Randomised dibagi menjadi menunjukkan perbedaan rawat inap lebih cepat
Efektivitas laboratoris dan lama rawat Clinical Trial dua kelompok bermakna terhadap rata-rata 4,00±0,7 hari dibanding
Pemberian Terapi inap dibandingkan terapi yaitu cairan suhu badan dan hematokrit kelompok standar WHO
Cairan Inisial standar WHO pada pasien standar WHO (p>0,05), sedangkan kedua yang disertai dengan
Dibandingkan denguefever (DF) dan dengue (n=24) dan kelompok menunjukkan peningkatan trombosit
Terapi Cairan hemorrhagic fever (DHF) di cairan inisial perbedaan yang bermakna selama menjalani rawat
Standar WHO bangsal anak RS PKU (n=24), terhadap rata-rata inap.
terhadap Lama Muhammadiyah Bantul. peningkatan trombosit dan
Perawatan pada lama rawat inap (p<0,05).
Pasien Demam
Berdarah di Bangsal
Anak Rumah Sakit
PKU
Muhammadiyah
Bantul

Poltekkes Kemenkes Palembang


37

Researchgate Munawwarah et al. Tujuan dari penelitian ini Eksperimental 48 pasien anak Kedua kelompok Terapi cairan koloid
(2018) untuk mengetahui efektivitas Single Blind dengan menunjukkan perbedaan memberikan pengaruh
perbedaan jenis cairan Randomised diagnosa DHF yang bermakna (p < 0,05) yang lebih baik terhadap
Efektivitas Cairan terhadap perbaikan klinis, Clinical Trial terhadap nilai trombosit (24 perbaikan gejala klinis
Kristaloid dan laboratoris dan lama rawat dan 48 jam pemberian dan laboratoris serta
Koloid Pasien inap pasien demam berdarah cairan), nilai hematokrit (72 mengurangi lama rawat
Demam Berdarah anak di Rumah Sakit PKU jam pemberian cairan) dan inap pasien DBD.
Anak di Rumah Muhammadiyah Bantul. lama rawat inap sedangkan
Sakit PKU kedua kelompok tidak
Muhammadiyah menunjukkan perbedaan
Bantul bermakna (p > 0,05) pada
gejala demam (suhu tubuh).
Google Nasriyah et al. Untuk mengetahui kualitas Kohort 48 pasien rawat Lama rawat inap kelompok Kelompok kristaloid skor
Schoolar (2019) hidup anak DBD yang inap DBD usia kristaloid adalah 5 hari kualitas hidupnya lebih
mendapat kristaloid dan 1bulan- lebih lama dibanding tinggi dibanding
Life Quality of koloid . 18tahun. kelompok koloid yakni 4 kelompok koloid,
Pediatric Patient hari. Dari 48 subyek yang walaupun secara statistik
with Dengue diteliti skor fungsi fisik berbeda tidak signifikan.
Hemorrhagic Fever kelompok kristaloid lebih
(DHF) Who tinggi dibanding kelompok
Received Crystalloid koloid. Fungsi emosi
and Colloid Fluid kelompok kristaloid

Poltekkes Kemenkes Palembang


38

Treatment in PKU diperoleh skor lebih tinggi


Muhammadiyah dibanding kelompok
Hospital Yogyakarta koloid. Fungsi sosial
kelompok kristaloid
memiliki skor lebih tinggi
dibanding kelompok koloid
.
Google Yuliarto et al. Untuk menentukan perbedaan Retrospective 100 Pasien Di antara 100 pasien, 92 Kesimpulan Penelitian ini
Schoolar (2019) dalam hasil klinis dan observational dibagi dalam pasien diklasifikasikan menunjukkan bahwa
parameter hemodinamik anak dua kelompok: sebagai DBD kelas III dan tidak ada perbedaan
Restrictive versus dengan sindrom syok dengue diresusitasi 8 pasien DBD kelas IV. 74 dalam hasil klinis
Liberal Fluid pasca resusitasi cairan dengan <40 ml pasien berada dalam (panjang ventilasi
Resuscitation in restriktif dan liberal. / kg BB kelompok restriktif dan 24 mekanik dan lama tinggal
Children with (kelompok pasien dalam kelompok PICU), dan parameter
Dengue Shock restriktif) dan liberal. Kelompok restriktif hemodinamik (preload,
Syndrome: the >40ml / kg BB memiliki mortalitas 53% inotropi, afterload, dan
differences in (kelompok lebih rendah dibandingkan indeks jantung) pada
Clinical Outcomes liberal) dengan kelompok liberal (P pasien Sindrom Syok
and Hemodynamic = 0,18). Dengue yang menerima
Parameters resusitasi cairan restriktif
atau liberal.

Poltekkes Kemenkes Palembang


39

Pediatric Dey et al. (2017) Untuk menentukan kebutuhan Eksperimental 32 anak dengan Cairan diberikan rata-rata Durasi terapi cairan yang
Oncall cairan optimal pada anak-anak Single Blind demam 52,1 ± 34,6 jam pada 30 lebih lama dan jumlah
Fluid Replacement dengan demam berdarah dan Randomised berdarah pasien. Edema paru terlihat cairan yang lebih besar
in Children with juga untuk menentukan faktor- Clinical Trial dengue. pada 9 anak (28%) dan dapat menyebabkan
Dengue and factors faktor yang terkait dengan berhubungan dengan lebih edema paru pada pasien
associated with keadaan kelebihan cairan. banyak jam cairan dengan DSS. Dengan
pulmonary intravena (82 ± 41,4 jam Vs demikian manajemen
39,3 ± 22 jam; p = 0,0009), terapi cairan yang
Tiga puluh satu anak (97%) bijaksana diperlukan
pulih dengan waktu untuk meminimalkan
pemulihan rata-rata 5,8 ± komplikasi dari keadaan
3,5 hari dan 1 (3%) kelebihan cairan.
meninggal.

Poltekkes Kemenkes Palembang


40

Hasil penelitian /artikel diatas menemukan bahwa Pemberian Terapi


cairan intravena efektif dilakukan pada pasien Demam Berdarah Dengue
dengan masalah kekurangan volume cairan yang disebabkan oleh kebocoran
plasma yang diakibatkan oleh virus dengue . Dari 5 artikel diatas didapatkan
hasil cairan koloid memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap perbaikan
gejala klinis dan laboratoris serta mengurangi lama rawat inap pasien DBD.
Untuk skor kualitas hidup, didapatkan hasil bahwa cairan kristaloid memiliki
skor kualitas hidup lebih tinggi dibanding kelompok koloid, walaupun secara
statistik berbeda tidak signifikan. Serta tidak ada perbedaan dalam hasil klinis
dan parameter hemodinamik pada pasien yang menerima resusitasi cairan
secara restriktif ataupun liberal. Walaupun pemberian terapi cairan intravena
dinilai efektif dan penting dilakukan, tetap harus memperhatikan durasi dalam
pemberian terapi cairan, karena durasi yang lebih lama dan jumlah cairan
yang lebih besar dapat menyebabkan edema paru. Dengan demikian
manajemen terapi cairan yang bijaksana diperlukan untuk meminimalkan
komplikasi dari keadaan kelebihan cairan.
Pemenuhan Kebutuhan Cairan yang menjadi topik bahasan dalam
penelitian ini memiliki relevansi dengan sejumlah penelitian yang disajikan
pada tabel. Pemenuhan Kebutuhan Cairan terpenuhi digambarkan dalam
perubahan bermakna pada nilai hematokrit, kenaikan nilai trombosit serta
lamanya rawat inap pasien.

4.2 PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit infeksi


yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui vektor nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk yang menjadi vector penyakit
DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat mengigit manusia yang
sedang sakit dan viremia, jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus
dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia,
virus ini akan berkembang selama 4-6 hari dan orang tersebut akan
mengalamai sakit DBD .

Poltekkes Kemenkes Palembang


41

Fase DBD dimulai dari fase demam, fase kritis dan fase
penyembuhan. Fase demam berlangsung terus-menerus selama 2 sampai 7
hari, turun pada hari ke-3 sampai hari ke-5 kemudian naik lagi. Fase kritis
tampak seperti mengalami perbaikan ditunjukkan dengan demam yang turun
sampai dengan normal pada hari ke-4 hingga hari ke-5 namun sebenarnya di
dalam tubuh kita terjadi proses yang sangat berbahaya yakni turunnya
trombosit disertai dengan cedera lapisan pembuluh darah yang akan
menyebabkan kebocoran pembuluh darah. Fase penyembuhan biasanya
terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-7. Keadaan pasien pada fase ini biasanya
akan kembali stabil.
Terinfeksinya tubuh karena virus dengue dapat menyebabkan
penurunan nilai trombosit yang berdampak pada trombositopenia dan
mengaktivasi sistem koagulasi sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler
dan terjadilah kebocoran plasma yang dapat menyebabkan terjadinya syok
yang jika tidak diatasi dapat mengakibatkan kematian.
Komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami demam berdarah
dengue yaitu perdarahan masif dan dengue shock syndrome (DSS) atau
sindrom syok dengue (SSD). Penanganan syok biasanya menyebabkan
kelebihan cairan. Hal ini dapat terjadi karena kelebihan dan atau pemberian
cairan yang terlalu cepat, penggunaan jenis cairan yang hipotonik, pemberian
cairan intravena yang terlaliu lama dan pemberian cairan intravena yang
jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang hebat.
DBD dapat menyebabkan kekurangan volume cairan berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan. Intervensi yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan cairan. Adapun kriteria hasil yang
ingin dicapai adalah turgor kulit elastis, pasien tidak mengeluh haus, ubun-
ubun tidak cekung, produksi urin normal, nilai laboratorium elektrolit darah,
serum albumin, dan berat jenis urin dalam batas normal. Berikut intervensi
yang dapat dilakukan diantaranya observasi tanda-tanda vital paling sedikit
setiap 4 jam, pantau tanda-tanda kekurangan cairan, berikan cairan oral jika
pasien mau, berikan cairan parenteral/pasang infus untuk mencegah terjadi
renjatan, pantau pemberian cairan intravena setiap 4 jam dan hindari

Poltekkes Kemenkes Palembang


42

terjadinya kelebihan cairan, pantau asupan dan pengeluaran (catat hasilnya),


pantau nilai laboratorium (elektrolit darah, serum albumin dan berat jenis
urin).
Implementasi Keperawatan yang dapat dilakukan pada anak DBD
dengan kekurangan volume cairan adalah Kolaborasi pemberian terapi cairan
intravena. Penanganan demam berdarah sesuai standar WHO tahun 2009 dan
National guidelines for clinical management of dengue fever tahun 2014,
terapi cairan merupakan penatalaksanaan yang utama untuk penanganan
demam berdarah. Ada beberapa pilihan terapi cairan yang digunakan, yaitu
cairan kristaloid dan koloid, penggunaannya disesuaikan dengan derajat
keparahan penyakit demam berdarah. Terapi intravena dilakukan dengan cara
memasukkan cairan melalui intravena dengan bantuan infus set.
Pembahasan penelitian ini difokuskan pada hasil penelitian dari lima
(5) artikel yang didapatkan bahwa pemberian terapi cairan intravena dapat
memenuhi kebutuhan cairan pada pasien anak dengan Demam Berdarah
Dengue. Resusitasi cairan merupakan salah satu tindakan yang penting
dilakukan pada pasien DBD dengan kekurangan volume cairan. Virus dengue
yang masuk kedalam tubuh manusia dapat meningkatkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat menyebabkan terjadinya
syok yang jika tidak diatasi dapat mengakibatkan kematian.
Pemberian cairan kristaloid dan koloid merupakan pilihan untuk
menggantikan volume plasma yang keluar dari pembuluh darah. Namun
kedua jenis cairan tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-
masing . Dari hasil 5 artikel yang didapatkan diketahui cairan koloid
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap perbaikan gejala klinis dan
laboratoris serta mengurangi lama rawat inap pasien DBD. Trombositopenia
merupakan salah satu kriteria penting yang digunakan sebagai indikator
potensial tingkat keparahan klinis DBD. Penggunaan terapi cairan koloid
(inisial) dapat meningkatkan nilai trombosit lebih cepat setelah melewati 48–
72 jam dari masa kritis.
Berdasarkan WHO pada fase kritis (hari ketiga hingga keenam) nilai
hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) dikarenakan oleh penurunan

Poltekkes Kemenkes Palembang


43

kadar plasma darah akibat kebocoran vaskular. Dari hasil penelitian


Munawwarah et al. (2018) didapatkan cairan koloid dapat menurunkan nilai
hematokrit lebih cepat dibandingkan cairan kristaloid. Sehingga hal ini juga
berpengaruh terhadap lamanya rawat inap yang lebih cepat.
Untuk skor kualitas hidup, didapatkan hasil bahwa cairan kristaloid
memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi dibanding kelompok koloid,
walaupun secara statistik berbeda tidak signifikan. Dari hasil penelitian
Nasriyah et al. (2019) didapatkan hasil skor fungsi fisik kelompok kristaloid
lebih tinggi dibanding kelompok koloid. Fungsi emosi kelompok kristaloid
diperoleh skor lebih tinggi dibanding kelompok koloid. Fungsi sosial
kelompok kristaloid memiliki skor lebih tinggi dibanding kelompok koloid.
Dari hasil penelitian Yuliarto et al. (2019) menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam hasil klinis dan parameter hemodinamik pada pasien yang
menerima resusitasi cairan secara restriktif ataupun liberal. Sedangkan dari
hasil penelitian Dey et al. (2017) didapatkan durasi dan jumlah pemberian
terapi cairan intravena pada anak DBD harus diperhatikan, karena durasi yang
lebih lama dan jumlah cairan yang lebih besar dapat mengakibatkan
kelebihan cairan. Komplikasi yang dapat terjadi dari kondisi tersebut adalah
terjadinya edema paru pada anak.
Dari artikel yang telah dibahas kita dapat mengetahui bahwa
pemberian terapi cairan intravena dinilai efektif dan penting dilakukan, tetapi
kita harus tetap memperhatikan durasi dalam pemberian terapi cairan, karena
durasi yang lebih lama dan jumlah cairan yang lebih besar dapat
menyebabkan edema paru. Dengan demikian manajemen terapi cairan yang
bijaksana diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dari keadaan kelebihan
cairan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Setelah dilakukannya penelitian studi literatur terkait Implementasi
Pemberian Terapi Cairan Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan
pada Anak DBD, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
5.1.1 Dari 5 artikel yang memiliki relevansi dengan Implementasi
pemberian terapi cairan intravena dalam pemenuhan kebutuhan cairan
pada anak dengan Demam Berdarah Dengue didapatkan hasil
Pemberian Terapi Cairan Intravena efektif dilakukan pada anak DBD
dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan. Jenis Cairan Intravena yang
paling efektif adalah cairan koloid karena lebih efektif dalam
perbaikan gejala klinis dan laboratoris serta mengurangi lamanya
rawat inap, namun harus diperhatikan durasi dalam pemberian cairan
karena jika terlalu lama dan jumlah yang lebih besar dapat
mengakibatkan kelebihan cairan dan komplikasi dari kelebihan cairan
dapat mengakibatkan edema paru pada anak.

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan :
5.2.1 Bagi fasilitas pelayanan kesehatan
Diharapkan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dapat
melakukan tindakan pemberian terapi cairan intravena pada anak
DBD dengan cairan serta durasi yang tepat, guna mengoptimalkan
pemenuhan kebutuhan cairan serta meminimalisir adanya komplikasi
pada anak dengan Demam Berdarah Dengue

5.2.2 Bagi pengembangan keilmuan


Diharapkan dapat menambah pengetahuan, keterampilan dan
mengembangkan pengetahuan tentang Implementasi Pemberian

44
Poltekkes Kemenkes Palembang
45

Terapi Cairan Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada


Anak DBD.

5.2.3 Bagi Penelitian lanjutan


Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam
penelitian yang akan dilaksanakan, metodelogi, maupun saran riset
lanjutan terkait hasil penelitian Implementasi Pemberian Terapi
Cairan Intravena dalam Pemenuhan Kebutuhan Cairan pada Anak
DBD.

45
Poltekkes Kemenkes Palembang
46

DAFTAR PUSTAKA

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2017. Survei Demografi


Dan Kesehatan http://sdki.bkkbn.go.id/files/buku/2017IDHS.pdf. Diakses
pada tanggal 07 November 2019

Darwis, Darlan.2016. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada Anak


.https://www.researchgate.net/publication/312199020_Kegawatan_Dem
am. Diakses pada 5 Januari 2020

Dey, Amit dkk.2017. Fluid Replacement in Children with Dengue and Factors
Associated with Pulmonary Edema https://www.pediatriconcall.com
/pediatric-journal/view/fulltext-articles/1102/J/0/0/586/0. Diakses pada
tanggal 22 April 2020

Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.2019.Rencana Kinerja


Tahunan Dekonsentralisasi Dinas Kesehatan Tahun 2019 https://e-
renggar.kemkes.go.id/file2018/e-performance/2-110009-2tahunan-
847.pdf. Diakses pada tanggal 19 Januari 2020

Diana,Restu.2017. DHF (Demam Berdarah) https://www.academia.edu/. Diakses


pada tanggal 21 Desember 2019

Dwiharini, Raudhatul.2019. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Dengue


Hemorrhagic Fever (DHF) di ruang Jayanegara RSU. dr. Wahidin
Sudirohusodo Mojokerto http://ejournal.stikesmajapahit.ac.id/index.php/
HM/article/view/318. Diakses pada tanggal 6 Januari 2020

Fauziah,Hikmatul.2017.Asuhan Keperawatan Pada An. H Dan An. N Dengan


Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Rsi Ibnu Sina Padang.
http://pustaka.poltekkespdg.ac.id. Diakses tanggal 22 Desember 2019

Fitria,Anis.2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Demam Berdarah Dengue


(DBD) Dengan Efektivitas Monitoring Intake: Studi Kasus Di Ruang
Rawat Inap Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta Barat
https://jurnal.akpersumberwaras.ac.id/index.php/akpersw/article/downlo
ad/17/5. Diakses pada tanggal 6 Januari 2020

Poltekkes Kemenkes Palembang


47

Hikmawan Suryanto.2018. Analisis Faktor Perilaku, Penggunaan Kasa, dan


House Index dengan Kejadian DBD di Kecamatan Dringu Kabupaten
Probolinggo.http://ejournal.unair.ac.id/JKL/article/download/9385/5253
. Diakses pada 17 Desember 2019

I Wayan & I Gusti.2017. Gambaran Pola Penatalaksanaan Demam Berdarah


Dengue (DBD) Pada Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Buleleng.https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/
view/30373. Diakses pada tanggal 17 Desember 2019

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2018.Profil Kesehatan Indonesia 2018


https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan
-indonesia/PROFIL_KESEHATAN_2018_1.pdf. Diakses pada tanggal 19
Januari 2020.

Luki,M.2018. Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD)


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17783/Penangg
ulangan%20Demam%20Berdarah.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
Diakses pada tanggal 22 Desember 2019

Marni.2016. Asuhan Keperawatan Anak pada Penyakit Tropis. Jakarta : Erlangga

Munawwarah, Baiq dkk.2019. Efektivitas Cairan Kristaloid dan Koloid Pasien


Demam Berdarah Anak di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul
https://www.researchgate.net/publication/334998007_Efektivitas_Cairan
_Kristaloid_dan_Koloid_Pasien_Demam_Berdarah_Anak_di_Rumah_S
akit_PKU_Muhammadiyah_Bantul. Diakses pada tanggal 10 April 2020

Nasriyah, Chotijatun dkk.2019. Life Quality of Pediatric Patient with Dengue


Hemorrhagic Fever (DHF) Who Received Crystalloid and Colloid Fluid
Treatment in PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta
https://pdfs.semanticscholar.org/56bc/af999c70631c40116a0d9aed2ac27
ba2dfb6.pdf. Diakses pada tanggal 20 April 2020

Nila Prastiana & Mahalul.2017.Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Praktik


PSN-DBD Keluarga di Kelurahan Mulyoharjo.
https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/phpj/article/view/11000.
Diakses pada tanggal 09 Desember 2019

Poltekkes Kemenkes Palembang


48

Novaliana, Lita Kresti. 2016. Asuhan Keperawatan pada An. P dengan Dengue
Hemoragic Fever (DHF) Di Ruang Cempaka RSUD dr. R. Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga. http://repository.ump.ac.id/1097/. Diakses
pada tanggal 21 Desember 2019

Pranata,Didik.2016. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan


sikap tentang pencegahan DBD di wilayah Puskesmas Purbalingga
Kabupaten Purbalingga. http://repository.ump.ac.id/760/. Diakses pada
tanggal 25 Desember 2019

Pujiarti,Riani.2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian di Dengue


Shock Syndrome (DSS) pada anak. http://lib.unnes.ac.id/28216/1/
6411412002.pdf. Diakses pada tanggal 22 Desember 2019

Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.2017.Situasi Penyakit Demam Berdarah


di Indonesia tahun 2017. http://www.depkes.go.id/ download.php?file=
download/pusdatin/infodatin/InfoDatin-Situasi-Demam-Berdarah-
Dengue. pdf. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2019

Rahmawati, Asnia dkk.2019. Efektivitas Pemberian Terapi Cairan Inisial


Dibandingkan Terapi Cairan Standar WHO terhadap Lama Perawatan
pada Pasien Demam Berdarah di Bangsal Anak Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Bantul https://www.researchgate.net/publication/
334600897_Efektivitas_Pemberian_Terapi_Cairan_Inisial_Dibandingka
n_Terapi_Cairan_Standar_WHO_terhadap_Lama_Perawatan_pada_Pasi
en_Demam_Berdarah_di_Bangsal_Anak_Rumah_Sakit_PKU_Muhamm
adiyah_Bantul. Diakses pada tanggal 10 April 2020

Ridla, Muhammad. 2018. Permasalahan dosis dan terapi pengobatan demam


berdarah dengue.http://repository.ump.ac.id/7207/. Diakses pada 5
Januari 2020

Rina.2018. Gambaran Persepsi Masyarakat terhadap Peran dan Motivasi Bidan


untuk menurunkan Angka Kesakitan DBD di Desa Siaga Morgo Mulyo
Tahun 2017 https://jurnal.unived.ac.id/index.php/JM/article/view/507/
445. Diakses pada tanggal 17 Desember 2019

Saptadi, Yuliarto dkk.2019. Restrictive versus Liberal Fluid Resuscitation in


Children with Dengue Shock Syndrome: the differences in Clinical
Outcomes and Hemodynamic Parameters http://ijp.mums.ac.ir

Poltekkes Kemenkes Palembang


49

/article_3945_0.htmlhttp:/ijp.mums.ac.ir/article_12005.html. Diakses
pada tanggal 22 April 2020

Sidik, Fajar. 2016. Asuhan Keperawatan pada An.A dengan Dengue Hemoraghic
Fever di Rumah Sakit Daerah dr. Goeteng Taronadibrata Probolinggo.
http://repository.ump.ac.id/1078/. Diakses pada tanggal 25 Desember
2019

Susilowati,Dwi.2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Promosi Kesehatan.


Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan

Tim Pokja SIKI PPNI. 2017. Standar Interevnsi Keperawatan Indonesia. Jakarta :
DPP PPNI

Utomo, Abdul Aziz. 2014. Pemberian terapi cairan untuk mencegah syok pada
anak dengan Dengue Hemorrhagic Fever http://fik.um-surabaya.ac.id/
sites/default/files/Artikel%206.pdf. Diakses pada tanggal 5 Januari 2020

Poltekkes Kemenkes Palembang


LAMPIRAN

50
Poltekkes Kemenkes Palembang
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

JADWAL KEGIATAN

NAMA : NADIA KHAIRUNNISA


NIM : PO.71.20.1.16.050
JUDUL : IMPLEMENTASI PEMBERIAN TERAPI CAIRAN
INTRAVENA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN
CAIRAN PADA ANAK DENGAN DEMAM
BERDARAH DENGUE (DBD)
PEMBIMBING 1 : Rehana, S.Pd, S.Kep, M.Kes
PEMBIMBING 2 : Jawiah, S.Pd, S.Kep, M.Kes

NO TANGGAL KEGIATAN
1 20 September 2019 Pengajuan Judul KTI
2 02 Oktober 2019 Penyusunan Proposal
s.d
10 Januari 2020
3 14 Januari 2020 Ujian Proposal
4 21 Januari 2020 Perbaikan Proposal
s.d
27 Januari 2020
5 08 April 2020 Pencarian jurnal / artikel
s.d
12 April 2020
6 13 April 2020 Pengelolahan data dan Analisis
s.d
15 April 2020
7 15 April 2020 Penyusunan Laporan
s.d
07 Mei 2020
8 11 Mei 2020 Ujian Akhir

51
Poltekkes Kemenkes Palembang
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

BUKTI PROSES BIMBINGAN

NAMA : NADIA KHAIRUNNISA


NIM : PO.71.20.1.16.050
JUDUL : IMPLEMENTASI PEMBERIAN TERAPI CAIRAN
INTRAVENA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN
CAIRAN PADA ANAK DENGAN DEMAM
BERDARAH DENGUE (DBD)
PEMBIMBING I : Rehana, S.Pd, S.Kep, M.Kes
No Tanggal Materi Hasil Konsultasi Bukti Bimbingan
1 09-04-2020 Konsultasi Cari jurnal terkait
Intervensi yang pilihan intervensi,
akan Difokuskan tentukan dari hasil
jurnal terbanyak

2 21-04-2020 Konsultasi Jurnal Ganti jurnal yang


dan Judul kurang sesuai

52
Poltekkes Kemenkes Palembang
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

3 23-04-2020 Konsultasi BAB I Perbaik penulisan,


sampai bab IV tambahkan sub bab
Penelitian Terkait di
BAB II dan Kerjakan
BAB V

4 27-04-2020 Konsultasi Perbaiki Penulisan,


Perbaikan BAB II Kata Pengantar,
dan BAB V Daftar Pustaka dan
BAB IV Pembahasan

5 30-04-2020 Konsultasi File Perbaiki Halaman


Perbaikan Persembahan dan
Abstrak

6 05-05-2020 Konsultasi File Perbaiki Tujuan


Perbaikan Penelitian,
Kesimpulan dan Kata
Pengantar

53
Poltekkes Kemenkes Palembang
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

7 08-05-2020 Konsultasi File ACC Karya Tulis


Perbaikan Ilmiah
Lanjut Seminar Karya
Tulis Ilmiah

54
Poltekkes Kemenkes Palembang
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

BUKTI PROSES BIMBINGAN KARYA TULIS ILMIAH

NAMA : NADIA KHAIRUNNISA


NIM : PO.71.20.1.16.050
JUDUL : IMPLEMENTASI PEMBERIAN TERAPI CAIRAN
INTRAVENA DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN
CAIRAN PADA ANAK DENGAN DEMAM
BERDARAH DENGUE (DBD)
PEMBIMBING II : Jawiah, S.Pd, S.Kep, M.Kes
No Tanggal Materi Hasil Konsultasi Bukti Bimbingan
1 07-04-2020 Bimbingan Kerjakan BAB
Mengenai Studi selanjutnya
Literatur

2 09-04-2020 Konsultasi jenis Disarankan 1


Intervensi yang Intervensi
akan difokuskan

55
Poltekkes Kemenkes Palembang
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

3. 12-04-2020 Konsultasi Artikel Diperbolehkan karena


Penelitian Terkait ada hubungan dengan
Intervensi intervensi yang
difokuskan

3 23-04-2020 Konsultasi BAB I Perbaiki pembahasan


sampai BAB IV di BAB IV
Lanjutkan BAB V

4 26-04-2020 Konsultasi Perbaiki Analisis dan


Perbaikan BAB IV Perbaiki Latar
Konsultasi BAB I Belakang BAB I
sampai BAB V Penyajian Data BAB
III
Perbaiki Tabel
Review BAB IV
Perbaiki Kesimpulan
BAB 5

56
Poltekkes Kemenkes Palembang
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
Jln. Merdeka76-78 Palembang 30134, Telepon (0711) 351081, email: prodid3kep.plg@ poltekkespalembang .ac.id

5 05-05-2020 Konsultasi Tabel Perbaiki Tulisan Tabel


Review BAB IV Review BAB IV

6 Konsultasi ACC BAB I


Perbaikan BAB I ACC BAB II
sampai BAB V ACC BAB III
ACC BAB V
Perbaiki Tulisan
“tabel” di BAB IV

7 Konsultasi ACC Laporan Tugas


Perbaikan BAB IV Akhir
Lanjut Seminar Karya
Tulis Ilmiah

57
Poltekkes Kemenkes Palembang
SOP PEMASANGAN INFUS

Prosedur pemasangan terapi intravena adalah sebagai berikut :


a. Persiapan Alat dan bahan
1. Infuse set
2. Cairan infuse
3. Standar infuse
4. Sarung tangan bersih
5. Torniquet
6. Jarum infuse
7. Pengalas
8. Gunting dan plester
9. Kapas alkohol
10. Alkohol
11. Kassa

b. Prosedur Pelaksanaan
1. Cuci tangan
2. Dekatkan alat
3. Jelaskan kepada klien tentang prosedur dan sensasi yang akan dirasakan selama
pemasangan infus
4. Atur posisi pasien / berbaring
5. Siapkan cairan dengan menyambung botol cairan dengan selang infus dan
gantungkan pada standar infus
6. Menentukan area vena yang akan ditusuk
7. Pasang alas
8. Pasang tourniquet pembendung ± 15 cm diatas vena yang akan ditusuk
9. Pakai sarung tangan
10. Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm
11. Tusukan IV catheter ke vena dengan jarum menghadap ke jantung
12. Pastikan jarum IV masuk ke vena
13. Sambungkan jarum IV dengan selang infus
14. Lakukan fiksasi ujung jarum IV ditempat insersi
15. Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester

58
Poltekkes Kemenkes Palembang
16. Atur tetesan infus sesuai program medis
17. Lepas sarung tangan
18. Pasang label pelaksanaan tindakan yang berisi : nama pelaksana, tanggal dan
jam pelaksanaan
19. Bereskan alat
20. Cuci tangan
21. Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi keperawatan

59
Poltekkes Kemenkes Palembang
ARTIKEL/HASIL PENELITIAN/FULL TEKS

60
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Juni 2019 Tersedia online pada:
Vol. 8 No. 2, hlm 91–98 http://ijcp.or.id
ISSN: 2252–6218 DOI: 10.15416/ijcp.2019.8.2.91
Artikel Penelitian

Efektivitas Pemberian Terapi Cairan Inisial Dibandingkan Terapi Cairan


Standar WHO terhadap Lama Perawatan pada Pasien Demam Berdarah
di Bangsal Anak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul
Asnia Rahmawati1,4, Dyah A. Perwitasari1, Nurcholid U. Kurniawan2,3
1
Program Studi Magister Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Indonesia,
2
Staf Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta, Indonesia, 3KSM Ilmu Kesehatan Anak RS PKU Muhammadiyah
Bantul, Yogyakarta, Indonesia, 4UPTD Puskesmas Tamalanrea, Makassar, Indonesia
Abstrak
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Kasus
DBD di Kabupaten Bantul pada tahun 2016 berjumlah 1.706 dengan 13 kematian. Salah satu kunci
keberhasilan terapi pada pasien DBD adalah menjaga tercukupinya kebutuhan cairan pasien selama
fase kritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pemberian terapi cairan inisial terhadap
perbaikan klinis, laboratoris dan lama rawat inap dibandingkan terapi standar WHO pada pasien dengue
fever (DF) dan dengue hemorrhagic fever (DHF) di bangsal anak RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Penelitian ini dilakukan di bangsal anak RS PKU Muhammadiyah Bantul pada bulan Februari sampai
dengan Juni tahun 2018 menggunakan metode eksperimental single blind randomised clinical trial
pada dua kelompok yaitu cairan standar WHO (n=24) dan cairan inisial (n=24). Hasil yang diukur
yaitu luaran terapi suhu badan, hematokrit, trombosit dan lama rawat inap. Perbedaan antarkelompok
dianalisis dengan unpaired t-test dan Mann-Whitney. Berdasarkan hasil penelitian, kedua kelompok tidak
menunjukkan perbedaan bermakna terhadap rata-rata suhu badan dan hematokrit (p>0,05), sedangkan
kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap rata-rata peningkatan trombosit
dan lama rawat inap (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok cairan inisial memiliki rata-rata
lama rawat inap lebih cepat 4,00±0,7 hari dibanding kelompok standar WHO yang disertai dengan
peningkatan trombosit selama menjalani rawat inap. Simpulan dari penelitian ini adalah pemberian
terapi cairan inisial tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap rata-rata suhu badan dan
hematokrit, sedangkan efektivitas antara kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna
terhadap rata-rata peningkatan trombosit dan lama rawat inap.
Kata kunci: Cairan inisial, demam berdarah dengue, hematokrit, lama rawat inap, suhu badan, trombosit

Effectiveness of Initial Fluid Therapy Compared to WHO Standard


Therapy on the Length of Stay of Patients with Dengue Fever
in Children’s Ward PKU Muhammadiyah Bantul Hospital
Abstract
Dengue hemorrhagic fever (DHF) is an infectious disease caused by the dengue virus. The number of
dengue cases in Bantul Regency in 2016 was 1,706 with 13 deaths. One of the keys to successful therapy
in DHF patients is to maintain adequate fluid requirements for patients during the critical phase. This
study aimed to determine differences in initial fluid therapy for clinical, laboratory improvement and
length of stay compared to WHO standard therapy in dengue fever (DF) and DHF patients in pediatric
ward PKU Muhammadiyah Bantul Hospital, Yogyakarta, Indonesia. This research was conducted in the
pediatric ward of PKU Muhammadiyah Bantul Hospital in February 2018 to June 2018 using a single
blind randomized clinical trial experimental method. Samples were divided into two groups, namely
WHO standard fluid (n=24) and initial fluid (n=24). The results measured were body temperature,
hematocrit, platelets and length of stay. Differences between groups were analyzed using unpaired t-test
and Mann-Whitney. The two groups showed a significant difference toward the increase in platelets and
length of stay (p<0.05). This suggests that the initial fluid group had an average length of stay 4.00±0.7
days faster than the WHO standard group which was accompanied by an increase in platelets during
hospitalization. In conclusion, the initial fluid therapy did not give a significant difference to the mean
body temperature and hematocrit, while the effectiveness between the two groups showed a significant
difference toward the increase in platelets and length of stay.

Keywords: Body temperature, dengue hemorrhagic fever, hematocrit, initial fluid, length of stay, platelets
Korespondensi: Asnia Rahmawati, S.Farm., Apt, Program Studi Magister Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan,
Yogyakarta, D.I. Yogyakarta 55164, Indonesia, email: asnia.rahmawati91@gmail.com
Naskah diterima: 11 September 2018, Diterima untuk diterbitkan: 17 April 2019, Diterbitkan: 28 Juni 2019

61
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

Pendahuluan Oleh karena itu, interpretasi yang cermat dan


penilaian pada data klinis dan laboratoris
Infeksi dengue merupakan sebuah penyakit untuk manajemen kebutuhan cairan pasien
menular yang menjangkit manusia dan banyak DBD sangat penting untuk dilakukan. Tujuan
ditemukan di daerah tropis dan subtropis. dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Infeksi dengue ditularkan melalui nyamuk, perbedaan pemberian terapi cairan inisial
khususnya jenis Aedes aegypti dan Aedes terhadap perbaikan klinis, laboratoris dan
albopictus.1 Berdasarkan data yang diperoleh lama rawat inap dibandingkan terapi standar
dari World Health Organization (WHO) pada WHO pada pasien dengue fever (DF) dan
tahun 1968 sampai dengan 2009, Indonesia dengue hemorrhagic fever (DHF) di bangsal
merupakan salah satu negara di kawasan Asia anak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Tenggara yang tercatat dengan angka kejadian Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini dapat menjadi
DBD tertinggi. Angka kejadian DBD tersebut masukan dalam menunjang pengobatan terkait
tercatat di 34 provinsi di Indonesia, yakni pemberian terapi cairan inisial yang dapat
sebanyak 100.347 pasien DBD pada tahun digunakan dalam tatalaksana pasien DBD.
2014, yang di antaranya terdapat 907 pasien
yang tidak dapat tertolong, sedangkan pada Metode
tahun 2015 terdapat peningkatan kejadian
DBD menjadi 126.675 pasien dengan 1.229 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
pasien di antaranya meninggal dunia.2 desain penelitian eksperimental single blind
Pada kasus DBD, untuk menurunkan randomised clinical trial. Variabel penelitian
angka morbiditas dan mortilitas, dibutuhkan terdiri dari variabel bebas (terapi cairan
pengobatan yang optimal. Salah satu terapi standar WHO dan cairan inisial) dan variabel
yang perlu diperhatikan adalah pemberian terikat (pemeriksaan suhu badan, hematokrit,
terapi cairan baik dari segi jenis, jumlah, serta trombosit dan lama rawat inap). Adapun
kecepatan cairan untuk mencegah terjadinya jenis cairan yang diberikan untuk kristaloid
perembesan plasma yang umumnya terjadi berupa ringer laktat, sedangkan untuk koloid
pada fase penurunan suhu di hari ke-3–6.3 berupa gelofusal, dan pemberian salah satu
Terjadinya kehilangan cairan pada ruang jenis cairannya disesuaikan dengan prosedur
intravaskular dapat diatasi dengan pemberian terapi cairan berdasarkan diagnosis dokter
salah satu jenis cairan seperti kristaloid (ringer penanggungjawab terkait derajat keparahan
laktat, ringer asetat, cairan salin) ataupun demam berdarah pasien. Data pasien yang
koloid.4 Penelitian uji klinis terkait pemberian diperoleh merupakan data pasien yang berobat
cairan baik dari segi jumlah ataupun kecepatan pada bulan Februari–Juni 2018 di bangsal
masih sangat sedikit diperoleh. anak RS PKU Muhammadiyah Bantul.
Meskipun demikian, pemberian cairan Populasi dalam penelitian ini adalah pasien
yang cukup diharapkan mampu mengatasi anak berusia 1 bulan sampai 18 tahun yang
kebocoran plasma yang terjadi pada ruang menderita DF (ICD-10: A90) dan DHF (ICD-
intravaskular. Menurut Chen et al. (2009), 10: A91) di RS PKU Muhammadiyah Bantul.
pada umumnya proses kebocoran plasma dan Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien
trombositopenia terjadi antara hari keempat dengan DBD yang memenuhi kriteria inklusi
hingga keenam sejak demam berlangsung.3 dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah pasien
Selanjutnya, proses kebocoran plasma akan perempuan dan laki-laki usia 1 bulan sampai
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang 18 tahun, pasien yang mendapat perawatan
interstitial ke intravaskular di hari ketujuh. di IGD dan bangsal anak minimal 1 hari, data

62
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

laboratorium yang lengkap (trombosit dan mulai diberikan cairan inisial/standar WHO
hematokrit) tiap 24 jam, dan wali pasien hingga dinyatakan sembuh dan dibolehkan
bersedia mengisi informed consent. Kriteria pulang oleh dokter penanggung jawab pasien.
eksklusi meliputi pasien rujukan dari rumah
sakit lain yang telah mendapatkan terapi Hasil
cairan awal DBD dan pasien yang mendapat
rujukan ke tingkat rumah sakit yang lebih Karakteristik pasien yang menerima terapi
tinggi. Penelitian ini telah mendapatkan cairan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
persetujuan kelaikan etik (ethical clearance) Diketahui bahwa perbandingan jenis kelamin
dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan RSUD pasien laki-laki dengan perempuan adalah
Dr. Moewardi dengan nomor 62/II/HREC/ 1:1. Pasien laki-laki mendominasi sebesar
2018, izin penelitian dari Direktur Utama 66,7% pada penggunaan terapi cairan inisial
RS PKU Muhammadiyah Bantul beserta izin sedangkan pasien perempuan mendominasi
wali pasien (informed consent). sebesar 66,7% pada penggunaan terapi cairan
Pengambilan data dilakukan pada pasien standar WHO (p=0,021). Sebesar 62,5% pasien
yang telah mendapatkan terapi cairan standar didominasi oleh kelompok usia 0–60 bulan,
WHO (6–7 mL/kgBB/jam) dan cairan inisial sedangkan sisanya didominasi oleh kelompok
(10 mL/kgBB/15 menit). Pengukuran suhu usia 72–132 bulan yakni sebesar 29,2% dan
badan dilakukan pada saat pasien masuk kelompok usia 144–216 bulan sebesar 8,3%
rumah sakit dan pengukuran suhu selanjutnya dengan mean±SD 64,38±45,547 bulan. Pada
dilakukan minimal setiap 8 jam/hari selama penelitian ini, terdapat perbedaan usia pada
menjalani perawatan, sedangkan pengukuran antarkelompok (p=0,005). Data karakteristik
hematokrit dan trombosit dilakukan pada saat pasien lainnya terdapat pada Tabel 1. Seluruh
pasien masuk rumah sakit dan pengukuran variabel tidak menunjukkan perbedaan antar
selanjutnya dilakukan setiap 24 jam selama kelompok (p>0,05). Tidak adanya perbedaan
menjalani perawatan. Pengukuran lama rawat antarkelompok menunjukkan adanya kemiripan
inap dihitung berdasarkan hari saat pasien karakteristik pasien penelitian yang tinggi.

Tabel 1 Karakteristik Pasien Dengue Fever (DF)/Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)


Jumlah Total Standar WHO Cairan Inisial
Karakteristik Keterangan Nilai p
n (%) n (%) n (%)
Jenis kelamin Laki-laki 24 (50,0) 8 (33,3) 16 (66,7)
0,021a*
Perempuan 24 (50,0) 18 (66,7) 8 (33,3)
Usia (bulan) 0–60 30 (62,5) 12 (40) 18 (60,0)
72–132 14 (29,2) 8 (57,1) 6 (42,9) 0,005b*
144–216 4 (8,3) 4 (100,0) 0 (0,0)
Mean±SD (bulan) 64,38±45,547 82,50±48,934 46,25±34,045 -
Suhu awal Mean±SD (°C) - 37,57±1,15 37,04±0,65 0,054b
Penyakit penyerta Ada 20 (41,7) 9 (37,5) 11 (45,8)
0,558a
Tidak ada 28 (58,3) 15 (62,5) 13 (54,2)
Antipiretik Tidak ada 20 (41,7) 9 (37,5) 11 (45,8)
0,558a
Ada (IV) 28 (58,3) 15 (62,5) 13 (54,2)
Diagnosis penyakit DF 38 (79,2) 18 (75) 20 (83,3)
0,477a
DHF 10 (20,8) 6 (25) 4 (16,7)
a
Uji Chi-square, bUji unpaired t-test, *Significant p-value

63
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

Tabel 2 Efektivitas Terapi Cairan terhadap Luaran Terapi Suhu Badan


Suhu Badan
Hari Demam Standar WHO Cairan Inisial Nilai p
(n=24) (n=24)
Demam hari ke–4
Mean±SD 37,4±0,8 37,2±0,5
0,258a
n (%) 24 (100,0) 24 (100,0)
Demam hari ke–5
Mean±SD 37,0±0,5 36,8±0,3
0,134b
n (%) 24 (100,0) 24 (100,0)
Demam hari ke–6
Mean±SD 36,7±0,4 36,8±0,4
0,605b
n (%) 24 (100,0) 24 (100,0)
Demam hari ke–7
Mean±SD 36,7±0,5 36,7±0,2
0,594b
n (%) 21 (87,5) 19 (79,2)
Demam hari ke–8
Mean±SD 36,8±0,6 36,6±0,2
0,462a
n (%) 13 (54,2) 5 (20,8)
a
Uji unpaired t-test, bUji Mann-Whitney

Berdasarkan Tabel 2, hasil uji unpaired pada pasien penelitian ini rata-rata 37,7%.
t-test dan Mann-Whitney menunjukkan nilai Nilai hematokrit minimal yang menggunakan
p>0,05, yang artinya secara statistik tidak ada cairan standar WHO yaitu 28% dan hematokrit
perbedaan yang bermakna antara penggunaan maksimal 46,6%, sedangkan pada pasien yang
terapi cairan standar WHO dan cairan inisial mendapat terapi cairan inisial, nilai hematokrit
terhadap suhu badan. Menurut teori, pada minimal dan maksimal sebesar 31,9% dan
fase kritis, terutama hari ke–5 demam, suhu 41,8%.
badan akan mengalami penurunan sekitar Trombositopenia merupakan salah satu
≤37,5 °C. 1 Pada penelitian ini, data yang kriteria penting yang digunakan sebagai
diambil yakni rata-rata suhu badan pasien di indikator potensial tingkat keparahan klinis
hari ke–5 demam, dan diketahui bahwa suhu DBD. Trombositopenia merupakan kondisi
pasien yang menggunakan cairan standar yang menggambarkan penurunan trombosit.
WHO berkisar 37,0 °C, sedangkan yang Kadar trombosit sebesar <50.000/mm3 disebut
menggunakan cairan inisial berkisar 36,8 °C. trombositopenia berat, sedangkan 50.000–
Berdasarkan Tabel 3, hasil uji unpaired 100.000/mm3 disebut trombositopenia sedang.5
t-test menunjukkan nilai p>0,05, yang artinya Pada penderita DBD, jumlah trombosit sebesar
secara statistik tidak terdapat perbedaan ≤100.000/µL umumnya ditemukan pada hari
bermakna antara penggunaan terapi cairan ke–3 sampai ke–7.6
standar WHO dan cairan inisial terhadap Hasil dari uji unpaired t-test menunjukkan
hematokrit. Berdasarkan teori, fase kritis DBD, nilai p<0,05, artinya secara statistik terdapat
yaitu periode kebocoran plasma dimulai saat perbedaan yang bermakna antara penggunaan
transisi dari fase febris ke fase afebris yang terapi cairan standar WHO dan cairan inisial
ditandai dengan peningkatan hematokrit, terhadap peningkatan trombosit setiap
terjadi pada hari ke–3–6. Pengambilan data pengukuran 24 jam (Tabel 3). Hal tersebut
dilakukan pada fase kritis (terutama hari ke– didukung oleh perbedaan rata-rata trombosit
3–6 demam), dan diperoleh nilai hematokrit pada demam hari ke–5, sebesar 34,21x103/µL,
64
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

Tabel 3 Efektivitas Terapi Cairan terhadap Luaran Terapi Hematokrit dan Trombosit
Hematokrit Trombosit
Standar Cairan Standar Cairan
Hari Demam
WHO Inisial Nilai p WHO Inisial Nilai p
(n=24) (n=24) (n=24) (n=24)
Demam hari ke–4
Mean±SD 37,7±4,8 37,0±3,0 0,560a 135,9±45,4 159,7±32,4 0,004a*
n (%) 24 (100,0) 24 (100,0) 24 (100,0) 24 (100,0)
Demam hari ke–5
Mean±SD 37,0±4,2 35,1±2,4 0,060a 114,8±45,6 149,0±37,9 0,007a*
n (%) 24 (100,0) 24 (100,0) 24 (100,0) 24 (100,0)
Demam hari ke–6
Mean±SD 37,0±4,3 35,0±2,6 0,055a 113,5± 45,4 154,4±32,4 0,009a*
n (%) 24 (100,0) 23 (95,8) 24 (100,0) 23 (95,8)
Demam hari ke–7
Mean±SD 36,1±4,9 37,5±3,4 0,403a 108,0±56,7 157,0±38,6 0,012a*
n (%) 17 (70,8) 13 (54,2) 17 (70,8) 13 (54,2)
Demam hari ke–8
Mean±SD 35,5±4,6 38,3±4,9 0,361a 98,3±60,4 183,3±37,5 0,039a*
n (%) 12 (50,0) 3 (12,5) 12 (50,0) 3 (12,5)
a
Uji unpaired t-test, *Significant p-value

menunjukkan bahwa trombosit penggunaan Pembahasan


terapi cairan inisial meningkat lebih cepat
setelah melewati 48–72 jam dari masa kritis, Hasil penelitian yang diperoleh mengenai
yakni perbedaan rata-rata trombosit demam gambaran subjek terhadap jenis kelamin pada
hari ke–8 sebesar 49,00x103/µL. kedua kelompok baik laki-laki atau perempuan
Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa menunjukkan perbandingan yang tidak jauh
analisis uji unpaired t-test bernilai p=0,004, berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
yang secara statistik menunjukkan terdapat suatu faktor risiko terjadinya infeksi bukanlah
perbedaan yang bermakna antara penggunaan disebabkan oleh jenis kelamin. Hal ini didukung
terapi cairan standar WHO dibandingkan hasil penelitian Zumaroh et al. (2015) yang
cairan inisial terhadap hasil lama rawat inap menyatakan perbandingan anak lelaki yang
pasien DF/DHF. Hasil mean±SD menunjukkan terkena DBD tidak jauh berbeda dengan anak
bahwa lama perawatan di rumah sakit pasien perempuan, yakni 1,2:1.7
yang diberikan cairan inisial lebih cepat 4 hari Hasil penelitian Kulkarni et al. (2010)
dengan simpang baku 0,7, sedangkan pasien di India menunjukkan bahwa pasien yang
yang diberikan terapi cairan standar WHO paling banyak dirawat akibat virus dengue
memiliki lama rawat inap selama 4,96 hari adalah pasien kelompok usia 6–12 tahun.8
dengan simpang baku 1,4. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian

Tabel 4 Efektivitas Terapi Cairan Terhadap Luaran Terapi Lama Rawat Inap
Lama Rawat Inap
Kelompok Nilai p
n Mean±SD
Standar WHO 24 4,96±1,4 0,004a*
Cairan Inisial 24 4,00±0,7
a
Uji unpaired t-test, *Significant p-value

65
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

yang dilakukan Setiawati (2011) di RSUP tinggi seperti ketika awal infeksi, sebab tubuh
Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta telah membentuk antibodi spesifik sehingga
yang menyatakan bahwa usia yang rentan tubuh mampu mengatasi virus tersebut. Akan
terinfeksi DBD terbanyak adalah anak usia tetapi, jika fase kritis tidak dapat teratasi,
sekolah, yakni berjumlah 39 anak (65%).6 terjadi syok yang ditandai dengan penurunan
Menurut Syahribulan et al. (2012), untuk suhu badan di bawah normal sehingga tubuh
mendapatkan protein yang dibutuhkan dalam pasien akan terasa dingin apabila disentuh.
proses pematangan telur melalui darah yang Pada penelitian ini, rata-rata suhu tubuh
dihisap dari host, nyamuk betina Aedes akan pasien hari ke–4 dan ke–5 demam mengalami
aktif terbang pada saat anak-anak biasanya penurunan yang menandakan terjadinya fase
beraktivitas di luar rumah, yakni pagi hari kritis pada pasien DF/DHF, yakni berkisar
antara pukul 08.00–12.00 WIB dan sore hari 37,4 °C dan 37,2 °C pada pasien kelompok
pukul 15.00–17.00 WIB.9,10 pengguna cairan standar WHO, dan berkisar
Pada hasil penelitian ini, rata-rata keluarga 37,2 °C dan 36,8 °C pada pasien kelompok
pasien DF/DHF akan membawa anaknya ke cairan inisial. Menurut WHO (2011), pasien
rumah sakit setelah menjalani pengobatan yang dapat bertahan setelah 24 hingga 48 jam
sendiri atau ke dokter pribadi minimal pada masa kritis akan mengalami reabsorbsi cairan
hari ke–3 demam dan maksimal pada hari kompartemen ekstravaskuler secara bertahap
ke–5 demam. Hal ini didukung dengan hasil dalam 48 hingga 72 jam yang ditandai dengan
penelitian Nugraha dan Widijatmoko (2010) stabilnya status hemodinamik. Hal tersebut
bahwa pengambilan sampel darah paling didukung oleh hasil mean±SD suhu badan
banyak dilakukan pada hari ke–4 demam, saat memasuki fase pemulihan, yakni demam
yakni sebanyak 26,92%.11 Terapi pengobatan hari ke–6 sampai ke–8, menunjukkan bebas
pasien DBD pada dasarnya terdiri atas dua demam pada penggunaan terapi cairan inisial
jenis, yakni terapi suportif dan simptomatik. dan terapi cairan standar WHO, walaupun
Pengobatan dengan pemberian terapi cairan secara statistik tidak terdapat perbedaan yang
pengganti, contohnya cairan intravena, disebut signifikan (p>0,05).
sebagai terapi suportif, sedangkan pemberian Pada DBD, terjadinya infeksi virus dengue
terapi antipiretik, misal parasetamol, dikenal akan merangsang terjadinya respon tubuh
dengan terapi simptomatik.3 imun spesifik yang lalu membentuk ikatan
Demam yang terjadi pada kasus infeksi (kompleks) dengan virus. Ikatan ini akan
dengue dikenal dengan istilah pelana kuda. mengaktifkan komplemen seperti mediator
Ketika awal sakit, pasien mengalami demam C3a dan C5a yang memengaruhi sel endotel
tinggi akibat viremia selama 2 hari, kemudian vaskuler dan menimbulkan perembesan
akan terjadi penurunan suhu tubuh yang plasma.12 Terjadinya kebocoran plasma ke
biasanya terjadi pada demam hari ke–4 dan ruang ekstravaskular akan mengakibatkan
ke–5 yang disebut sebagai fase kritis. Fase terjadinya peningkatan nilai hematokrit.4
ini disebabkan oleh replikasi virus sehingga Hemokonsentrasi akibat perembesan plasma
tubuh menjadi terhindar dari respon imun. dapat ditentukan berdasarkan peningkatan
Sitokin yang dihasilkan menjadi berkurang nilai hematokrit. Salah satu tanda/bukti awal
dan selanjutnya akan bertambah kembali jika peningkatan hematokrit yakni nilai berada
proses replikasi tersebut telah selesai. Pada sebesar 10–15% di atas baseline.4 Menurut
hari ke–6 demam, virus dengue akan siap WHO (2011), jika pasien selamat pada 24–48
dikeluarkan melalui proses lisis sel dan suhu jam di fase kritisnya, akan terjadi reabsorbsi
tubuh akan meningkat kembali, namun tidak cairan ekstravaskular selama 48–72 jam.

66
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yakni 4,3 hari.14


ini: nilai maksimal hematokrit yang diperoleh Terdapat beberapa keterbatasan pada
setelah 72 jam mendapatkan terapi cairan penelitian ini, salah satunya pasien DF/DHF
menunjukkan bahwa nilai hematokrit pasien dianggap sama dari segi tingkat keparahannya
kelompok penggunaan terapi cairan inisial (grade I, II, III, IV). Selain itu, jumlah sampel
(39%) menurun lebih cepat dibandingkan penelitian ini pun terbatas. Oleh karena itu,
dengan kelompok penggunaan terapi cairan untuk mendapatkan sampel minimum yang
standar WHO (48%) walaupun tidak berbeda lebih banyak, diperlukan peningkatan power
secara signifikan (p>0,05). Nilai hematokrit penelitian.15
kembali stabil saat memasuki fase pemulihan
pada demam hari ke–7 dan 8 dengan nilai Simpulan
hematokrit pasien kelompok cairan standar
WHO yaitu 36,1% dan 35,5%, dan kelompok Efektivitas terapi cairan standar WHO dan
cairan inisial sebesar 37,5% dan 38,2%. terapi cairan inisial secara statistik tidak
Berdasarkan penelitian ini, pasien mampu menunjukkan perbedaan bermakna terhadap
melewati masa kritis dan terdapat perbedaan perbaikan klinis (suhu badan) dan nilai
yang signifikan (p<0,05) antara kelompok hematokrit (p>0,05); dan menunjukkan
penggunaan terapi cairan inisial dan terapi perbedaan bermakna terhadap peningkatan
cairan standar WHO terhadap perubahan rata- trombosit dan penurunan lama rawat inap
rata peningkatan trombosit selama pasien (p<0,05).
dirawat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sari et al. (2017) pada pasien DHF dengan Ucapan Terima Kasih
disertai syok memperoleh rata-rata trombosit
52,382 sel/mm3 yang terjadi pada hari ke–3 Terima kasih kepada segenap tim peneliti
demam dan peningkatan trombosit terjadi (dokter jaga IGD, apoteker, perawat) dan
pada hari ke–7 demam.13 Masa viremia hanya pegawai staf RS PKU Muhammadiyah PKU
berlangsung selama 5–7 hari. Jika pasien Bantul Yogyakarta yang telah membantu dalam
mampu melewati masa kritis, setelah 48–72 pengambilan data penelitian.
jam dari masa kritis, cairan ekstravasasi akan
masuk kembali ke dalam intravaskular dan Pendanaan
jumlah trombosit pasien secara alami akan
meningkat hingga lebih dari 150.000/µL dalam Penelitian ini tidak didanai oleh sumber hibah
waktu 2–3 hari setelah masa kritis4. manapun.
Secara umum, lama perjalanan penyakit
DBD adalah 7–10 hari. Selama pengambilan Konflik Kepentingan
sampel, rata-rata keluarga pasien membawa
anaknya ke rumah sakit untuk melakukan Seluruh penulis menyatakan tidak terdapat
pengobatan minimal pada hari ke–3 demam potensi konflik kepentingan dengan penelitian,
dan maksimal di hari ke–5 demam. Hal ini kepenulisan (authorship), dan atau publikasi
diperkuat dengan rata-rata lama rawat inap artikel ini.
pasien DBD yang diperoleh pada penelitian
ini, yakni 4,48 hari. Hasil yang serupa juga Daftar Pustaka
ditemukan pada penelitian oleh Divy et al.
(2018) di RSUP Sanglah yang memperoleh 1. Candra A. Demam berdarah dengue:
hasil rata-rata lama rawat inap pasien DBD Epidemiologi, patogenesis, dan faktor

67
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Volume 8, Nomor 2, Juni 2019

risiko penularan. Aspirator. 2010;2(2): 9. Syahribulan, Biu FM, Hassan MS. Waktu
110–9. aktivitas menghisap darah nyamuk Aedes
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. aegypti dan Aedes albopictus di Desa
Situasi DBD di Indonesia [diunduh Pa’lanassang Kelurahan Barombong
November 2017]. Tersedia dari: http:// Makassar Sulawesi Selatan. J Ekologi
www.depkes.go.id/resources/download/ Kesehatan. 2012;11(4):306–14.
pusdatin /info datin/infodatindbd2016 10. Pranata IWA, I Gusti AA. Gambaran pola
3. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis penatalaksanaan demam berdarah dengue
dan terapi cairan pada demam berdarah (DBD) pada anak di instalasi rawat inap
dengue. Medicinus. 2009;22(1):3–7. Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
4. World Health Organization. Comprehensive Buleleng tahun 2013. E-Jurnal Medika.
guidelines for prevention and control of 2017;6(5):21–7.
dengue and dengue haemorrhagic fever. 11. Nugraha J, Widijatmoko TE. Peran
India: WHO Press; 2011. antigen Ns1 dengue terhadap penghitungan
5. Cahyani M, Tjeng WS, Khotimat S. trombosit dan penampakan (manifestasi)
Hubungan antara peningkatan nilai klinis penjangkitan/penularan (infeksi)
hematokrit, derajat trombositopenia, dan virus dengue. Indones J Clin Pathol Med
status gizi lebih dengan kejadian syok Laboratory. 2010;16(3):110–7. doi: 10.242
pada pasien demam berdarah dengue 93/ijcpml.v16i3.1038
anak di RSUD Abdul Wai-Iab Sjahranie 12. Sudjana P. Diagnosis dini penderita
Samarinda. J Kedokt Mulawarman. 2018; demam berdarah dengue dewasa. Buletin
4(1):21–8. Jendela Epidemiologi. 2010;2:21–5.
6. Setiawati S. Analisis faktor-faktor risiko 13. Sari RC, Kahar H, Puspitasari D. Pola
terjadinya dengue syok sindrom (DSS) jumlah trombosit pasien infeksi virus
pada anak dengan demam berdarah dengue yang dirawat di SMF Ilmu
dengue (DBD) di RSUP Persahabatan Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo
dan RSUD Budhi Asih (tesis). Jakarta: Surabaya. Sari Pediatri. 2017;19(1):1–6.
Universitas Indonesia; 2011. doi: 10.14238/sp19.1.2017.1-6
7. Zumaroh. Evaluasi pelaksanaan surveilans 14. Divy NPA, Sudarmaja IM, Swastika IK.
kasus demam berdarah dengue di Puskesmas Karakteristik penderita demam berdarah
Putat Jaya berdasarkan atribut surveilans. dengue (DBD) di RSUP Sanglah Bulan
Epidemilogi. 2015;3(1):82–94. Juli-Desember tahun 2014. E-Jurnal Medika.
8. Kulkarni MJ, Sarathi V, Bhalla V, Shivpuri 2018;7(7):1–7.
D, Acharya U. Clinico-epidemiological 15. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar
profile of children hospitalized with metodologi penelitian klinis, edisi ke-5.
dengue. Indian J Pediatr. 2010;7:1103–7. Jakarta: Sagung Seto; 2014.
doi: 10.1007/s12098-010-0202-2.

© 2019 Rahmawati et al. The full terms of this license incorporate the Creative Common Attribution-Non Commercial License (https://
creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/). By accessing the work you hereby accept the terms. Non-commercial use of the work are permitted
without any further permission, provided the work is properly attributed.

68
Poltekkes Kemenkes Palembang
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Efektivitas Cairan Kristaloid dan Koloid Pasien Demam Berdarah Anak di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Bantul

Baiq Adelina Atbam Munawwarah1*, Dyah Aryani Perwitasari1, Nurcholid Umam Kurniawan2,3
1
Pascasarjana Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
2
Staf Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
3
KSM Ilmu Kesehatan Anak RS PKU Muhammadiyah Bantul, Yogyakarta

*Corresponding author: baiqadelina@gmail.com

Abstract
Background: The key of successful management therapy in dengue fever is the fulfillment of fluid requirements.
The important thing to consider in fluid therapy is the type of fluid and amount of fluid given. Objective: The
purpose of this study was to determine the effectiveness of different types of fluids on clinical, laboratory
improvement and length of stay of pediatric fever patients in PKU Muhammadiyah Bantul Hospital. Methods:
Patients with dengue fever who fulfilled inclusion criteria were given crystalloid (ringer lactate) or colloid
(gelatin) fluid and were monitored body temperature, hematocrit, platelet count and length of stay. The results
were analyzed using SPSS with unpaired t test. Results: Both groups showed significant differences (p < 0.05)
on platelet count (24 and 48 hours of fluid administration), hematocrit value (72 hours of fluid administration)
and length of stay while the two groups did not show significant differences (p > 0.05) on symptom of fever (body
temperature). Conclusion: Colloid fluid therapy has a better effect on improving clinical and laboratory
symptom and reducing patient length of stay.

Keywords: dengue fever, crystalloid, colloid

Abstrak
Pendahuluan: Kunci keberhasilan terapi pada demam berdarah yaitu tercukupinya kebutuhan cairan. Hal
penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan yaitu jenis cairan dan jumlah cairan yang diberikan. Tujuan:
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efektivitas perbedaan jenis cairan terhadap perbaikan klinis,
laboratoris dan lama rawat inap pasien demam berdarah anak di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul.
Metode: Pasien anak demam berdarah yang memenuhi kriteria inklusi diberikan cairan kristaloid (ringer laktat)
atau koloid (gelatin) dan dilakukan pemantauan suhu tubuh, hematokrit, trombosit dan lama rawat inap. Hasil
dianalisis mengunakan SPSS dengan unpaired t test. Hasil: Kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p < 0,05) terhadap nilai trombosit (24 dan 48 jam pemberian cairan), nilai hematokrit (72 jam
pemberian cairan) dan lama rawat inap sedangkan kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p >
0,05) pada gejala demam (suhu tubuh). Kesimpulan: Terapi cairan koloid memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap perbaikan gejala klinis dan laboratoris serta mengurangi lama rawat inap pasien.

Kata kunci: demam berdarah, kristaloid, koloid

PENDAHULUAN yang terserang setiap 4 - 5 tahun. Kelompok umur yang


Demam berdarah dangue (DBD) merupakan salah sering terkena adalah anak–anak usia 4 - 10 tahun,
satu penyakit yang perjalanan penyakitnya dapat walaupun dapat pula mengenai bayi dibawah umur 1
menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Penyakit tahun (IDAI, 2009). Pengobatan DBD bersifat suportif.
ini merupakan penyakit menular yang sering Tatalaksana berdasarkan kelainan utama yang terjadi
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia yaitu kebocoran plasma sebagai akibat peningkatan
(Depkes RI, 2011). Di Indonesia, penderita penyakit permeabilitas kapiler. Pemberian cairan kristaloid
DBD terbanyak berusia 5 - 11 tahun (Ginanjar, 2008). isotonik merupakan pilihan untuk menggantikan
Penyakit ini menunjukkan peningkatan jumlah orang volume plasma yang keluar dari pembuluh darah.

69 Poltekkes Kemenkes Palembang


Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Pemilihan jenis cairan dan kecermatan penghitungan BAHAN DAN METODE


volume cairan pengganti merupakan kunci Bahan
keberhasilan pengobatan (WHO, 1997). Penelitian ini memperoleh izin dengan terbitnya
Selama beberapa dekade telah terjadi kontroversi surat keterangan layak etik (Ethical Clearance) dari
keuntungan kristaloid dan koloid dalam tatalaksana Komisi Etik Penelitian Kesehatan RSUD Dr.
demam berdarah. Nhan dkk. (2001), membandingkan Moewardi nomor 63/II/HREC/2018. Penelitian ini
resusitasi awal menggunakan 4 macam regimen terapi menggunakan cairan kristaloid yaitu Ringer Laktat dari
cairan menunjukkan hasil bahwa ringer laktat PT. SF sedangkan cairan koloid yaitu gelatin dari PT.
memberikan waktu recovery paling lama sedangkan DM.
gelatin memberikan waktu recovery lebih singkat Metode
(p = 0,017). Penelitian lain yang dilakukan oleh Dung Penelitian ini menggunakan desain penelitian
dkk. (1999), membandingkan 4 macam terapi cairan eksperimental Single Blind Randomised Clinical Trial,
menunjukkan pasien yang menerima terapi cairan dimana peneliti melakukan uji klinis pada kelompok
koloid secara bermakna dapat meningkatkan intervensi dan terdapat kelompok pembanding
hematokrit (p = 0,01), tekanan darah (p = 0,005) dan (comparison). Sejumlah 48 pasien anak dengan anak
denyut nadi (p = 0,02) dibandingkan pasien yang dengan diagnose DF (ICD-10: A90) atau DHF (ICD-
menerima cairan kristaloid. Sementara itu Prasetyo 10: A91) yang memenuhi syarat inklusi dibagi menjadi
dkk. (2009) juga membandingkan efikasi dan dua kelompok yaitu kelompok intervensi (n = 24) yang
keamanan Hydroxyethyl Starch (HES) dengan Ringer mendapatkan terapi cairan koloid berupa inisial
Lactate (RL) pada pasien anak DBD Grade III (gelatin) 10 mL/Kg BB selama 15 menit kemudian
menunjukkan bahwa HES dapat menurunkan nilai dilanjutkan dengan cairan ringer laktat sesuai standar
hemoglobin dan hematokrit secara signifikan terapi rumah sakit dan kelompok kontrol (n = 24) yang
dibandingkan RL. Perbaikan klinis pada denyut nadi mendapatkan terapi cairan kristaloid tunggal berupa
terlihat setelah pemberian HES walaupun tidak secara ringer laktat. Pemberian jenis cairan diberikan
signifikan dibandingkan RL dan tidak ditemukan reaksi berdasarkan randomisasi yang dilakukan selama
yang merugikan selama penelitian pada pasien. penelitian. Randomisasi yang digunakan yaitu
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di randomisasi blok. Kedua kelompok selanjutnya akan
RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta dilakukan pemantauan terhadap parameter klinis yaitu
menunjukkan pasien DHF dan DF (N = 79 pasien suhu tubuh, parameter laboratoris yaitu nilai trombosit
anak) dari bulan September 2016 sampai bulan dan hematokrit setiap 24 jam dan lama rawat inap atau
Agustus 2017 memiliki rata-rata lama rawat inap yaitu length of stay (LOS). Flowchart penelitian disajikan
4,18 ± 1,05 hari dengan lama rawat inap paling singkat dalam Gambar 1.
yaitu 2 hari dan paling lama 7 hari. Tujuan penelitian
untuk mengetahui efektivitas perbedaan jenis cairan
terhadap perbaikan klinis, laboratoris dan lama rawat
inap pasien demam berdarah anak di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Bantul.

Pasien anak dengan diagnose dengue fever (ICD-10: A90) atau dengue
hemorrhagic fever (ICD-10: A91) (n = 48)

Kriteria eksklusi

Single Blinding

Kelompok intervensi (n = 24) Kelompok Kontrol (n = 24)


Cairan Koloid (Gelatin) Cairan Kristaloid (Ringer Laktat)

Analisis (n = 48)
Perbaikan klinis (suhu tubuh), laboratoris (trombosit dan hematokrit) dan lama
rawat inap

70 Poltekkes Kemenkes Palembang


Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Gambar 1. Flowchart penelitian


Kriteria inklusi dan eksklusi menjadi 2 kelompok yaitu 24 pasien termasuk dalam
Kriteria inklusi yaitu pasien perempuan dan laki- kelompok cairan kristaloid dan 24 pasien termasuk
laki usia 1 bulan sampai 18 tahun dengan kriteria DF dalam kelompok cairan koloid (gelafusal).
dan DHF di bangsal pediatrik periode Januari 2018 Karakteristik subjek penelitian disajikan pada Tabel 1.
sampai Juni 2018 dan wali pasien bersedia menjadi Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
peserta penelitian dengan mengisi informed consent. mayoritas jenis kelamin subjek penelitian yaitu
Kriteria eksklusi yaitu pasien yang datang dengan perempuan sejumlah 26 pasien (54,2%) sedangkan
rujukan dari rumah sakit lain yang telah mendapatkan pasien anak laki-laki sejumlah 22 pasien (45,8%).
terapi cairan sebelumnya dan pasien yang mendapat Hasil penelitian ini sesuai penelitian Akhmad (2012),
rujukan ke tingkat pelayanan kesehatan yang lebih yang menyatakan bahwa pada pasien DBD di RSUD
tinggi. Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung menunjukkan
Analisa data pasien terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan.
Data hasil penelitian dianalisa secara statistik Penelitian Hukom dkk. (2013) menunjukkan bahwa
untuk melihat karakteristik subjek penelitian dengan uji proporsi jenis kelamin perempuan lebih banyak dari
distribusi frekuensi dan perbedaan efektivitas antara laki-laki dengan persentase 53,2%. Berdasarkan
kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid kelompok usia, Tabel 1 menujukkan mayoritas subjek
menggunakan SPSS versi 21. Analisa data diawali penelitian yaitu kelompok usia 1 - 5 tahun sejumlah
dengan uji normalitas menggunakan Shapiro-wilk dan 35 pasien (72,9%). Hasil penelitian ini sesuai dengan
dilanjutkan menggunkan uji unpaired t test dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munar Lubis di
taraf kepercayaan 95%. RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2003 (Lubis,
2003) selama periode 5 tahun menunjukkan bahwa
HASIL DAN PEMBAHASAN. kelompok umur yang paling besar yaitu proporsi
Total subjek penelitian yang terlibat sebanyak 48 penderita DBD pada kelompok umur 1 - 5 tahun.
pasien yang memenuhi kriteria inklusi kemudian dibagi
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian
Cairan
Jumlah total Cairan Koloid
Karakteristik Mean ± SD Kristaloid Nilai p
(%)
n = 24 (%) n = 24 (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 22 (45,8%) 6 (27,3%) 16 (72,7%)
- 0,564a
Perempuan 26 (54,2%) 18 (69,2) 8 (30,8%)
Usia
< 1 tahun 1 (2,0%) - 1 (100%)
1 – 5 tahun 35 (72,9%) 17 (48,6%) 18 (51,4%)
0,320b
6 – 10 tahun 10 (20,8%) 4,4 ± 3,3 5 (50) 5 (50%)
11 – 15 tahun 2 (4,2%) 2 (100) -
Tingkat Keparahan
DF 44 (91,7%) - 21 (87,5%) 23 (95,8%)
0,296a
DHF derajat I 4 (8,3%) 3 (12,5%) 1 (4,2%)
Penyakit Penyerta
Ada 7 (14,6%) - 4 (16,7%) 3 (12,5%)
0,683a
Tidak Ada 41 (85,4%) 20 (83,3%) 21 (87,5%)
Profil Obat (Antipiretik)
Ada 41 (85,4%) 21 (87,5%) 20 (83,3%)
0,683a
Tidak Ada 7 (14,6%) 3 (12,5%) 4 (16,7%)
a
Chi-square test
b
Mann-Whitney test

71 Poltekkes Kemenkes Palembang


Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

parasetamol yaitu 7 pasien (14,6%). Hasil penelitian ini


Penelitian Muliansyah (2015) menunjukkan pasien sesuai dengan Pranata & Artini (2017) yang
BDB dengan usia dibawah 15 tahun sebanyak 44 orang menunjukkan penggunaan obat antipiretik pada pasien
mengalami DBD tetapi berdasarkan dari penelitian- demam berdarah yaitu 98%. Hasil analisis yang
penelitian sebelumnya menunjukkan umur < 15 tahun dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square
lebih rentan terserang virus DBD. Berdasarkan tingkat didapatkan nilai (p = 0,683) artinya tidak terdapat
keparahan penyakit, hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna pemberian obat parasetamol
mayoritas tingkat keparahan responden penelitian ini antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan
yaitu kategori dengue fever (DF) sebanyak 44 pasien koloid.
(91,7%) yang terdiri dari 21 pasien kategori DF pada Analisis nilai suhu tubuh bertujuan untuk melihat
kelompok cairan kristaloid dan 23 pasien kategori DF perbandingan suhu tubuh antara kelompok pasien yang
pada kelompok cairan koloid sedangkan kategori mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok pasien
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) derajat I pada yang mendapatkan cairan koloid. Pengukuran suhu
penelitian ini sebanyak 4 pasien (8,3%) yang terdiri tubuh dilakukan minimal setiap 8 jam/hari selama
dari 3 pasien kategori DHF derajat I pada kelompok menjalani perawatan. Penderita DF dan DHF pada
cairan kristaloid dan 1 pasien DHF derajat I pada penelitian ini berobat ke rumah sakit setelah
kelompok cairan koloid. Hasil analisis yang dilakukan mengalami demam dirumah 2 - 3 hari sebelumnya
dengan menggunakan uji Chi-square didapatkan nilai sehingga pengukuran suhu di rumah sakit diasumsikan
p = 0,296 (p > 0,05) artinya tidak terdapat perbedaan dimulai dari demam hari keempat.Analisis suhu tubuh
yang signifikan antara tingkat keparahan DF atau DHF menggunakan uji unpaired t test yang terdapat pada
terhadap kelompok cairan kristaloid maupun kelompok Tabel 2 menunjukkan perbandingan suhu tubuh antara
cairan koloid. Berdasarkan penyakit penyerta, hasil kelompok pasien yang mendapatkan cairan kristaloid
penelitian menunjukkan pasien yang memiliki penyakit dengan kelompok pasien yang mendapatkan cairan
penyerta pada penelitian ini sebanyak 7 pasien (14,6%) koloid. Hasil uji menunjukkan bahwa tidak terdapat
yang terdiri dari 4 pasien pada kelompok cairan perbedaan rata-rata suhu yang bermakna secara
kristaloid dan 3 pasien pada kelompok cairan koloid. statistik antara kelompok pasien yang menerima cairan
Pada kelompok cairan kristaloid diketahui 3 pasien kristaloid kristaloid dibandingkan kelompok pasien
memiliki penyakit penyerta bronkopneumonia dan 1 yang mendapatkan cairan koloid. Pada demam hari
pasien dengan infeksi saluran kemih sedangkan pada keempat menunjukkan nilai p = 0,963 dengan rata-rata
kelompok cairan koloid diketahui 2 pasien memiliki suhu tubuh kelompok kristaloid 37,18°C sedangkan
penyekit penyerta bronkopneumonia dan 1 pasien rata-rata suhu cairan koloid yaitu 37,16°C. Pada
dengan infeksi saluran kemih. Hasil analisis yang demam hari kelima didapatkan nilai p = 0,421 dengan
dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square rata-rata suhu tubuh kelompok cairan kristaloid
didapatkan nilai p = 0,683 (p > 0,05) artinya penyakit 36,25°C dan rata-rata suhu tubuh kelompok cairan
penyerta tidak berpengaruh secara bermakna terhadap koloid yaitu 36,76°C. Demam hari keenam didapatkan
hasil penelitian antara kelompok cairan kristaloid dan nilai p = 0,336 dengan rata-rata suhu tubuh kelompok
kelompok cairan koloid. Pada penelitian ini juga cairan kristaloid 35,96°C dan rata-rata suhu tubuh
dilakukan analisis profil obat antipiretik yang kelompok cairan koloid yaitu 36,76°C. Demam hari
digunakan sebagai standar terapi selain terapi cairan ketujuh diketahui nilai p = 0,226 dengan rata-rata suhu
dalam tatalaksana DF ataupun DHF di rumah sakit. tubuh kelompok cairan kristaloid 36,79°C sedangkan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pasien rata-rata suhu tubuh pada kelompok cairan koloid yaitu
penelitian yang mendapatkan antipiretik berupa 36,65°C. Selanjutnya demam hari kedelapan
parasetamol intravena yaitu 41 pasien (85,4%) yang didapatkan nilai p = 0,085 dengan rata-rata suhu tubuh
terdiri dari kelompok kristaloid sebanyak 21 pasien dan kelompok cairan kristaloid yaitu 37,05°C dan rata-rata
kelompok cairan koloid sebanyak 20 pasien sedangkan suhu tubuh kelompok cairan koloid yaitu 36,64°C.
pasien penelitian yang tidak mendapatkan obat

72 Poltekkes Kemenkes Palembang


Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Tabel 2. Perbandingan demam (rata-rata suhu tubuh) merupakan salah satu gejala awal pada fase demam
antara kelompok cairan kristaloid dankelompok cairan yang berlangsung 2 - 7 hari. Suhu tubuh dapat
koloid. mencapai 40°C dan dapat terjadi kejang demam. Akhir
∑ Suhu Tubuh fase demam merupakan fase kritis pada DBD yang
Cairan Cairan ditandai dengan penurunan suhu tubuh seakan sembuh
Hari
Kristaloid Koloid Nilai p pada hari ke-3, 4 dan 5. Selanjutnya yaitu fase
Demam
(n = 24) (n = 24)
pemulihan pada hari ke-6 hinggahari ke-10 ditandai
Demam hari ke-4
Mean ± SD 37,18 ± 2,32 37,16 ± 0,54 0,963a dengan suhu tubuh kembali meningkat, akan terjadi
reabsorbsi secara bertahap cairan kompartemen
Demam hari ke-5 ekstravaskular dan perbaikan status hemodinamik. Pola
Mean ± SD 36,25 ± 3,00 36,76 ± 0,30 0,421a demam pada penderita DBD memiliki ciri khas seperti
“pelana kuda” yaitu terjadi demam tinggi pada awal
Demam hari ke-6
Mean ± SD 35,96 ± 4,03 36,76 ± 0,36 0,336a fase demam kemudian mengalami penurunan cepat
pada fase kritis dan kembali meningkat pada fase
Demam hari ke-7 penyembuhan. Pada Gambar 2 menunjukkan grafik
Mean ± SD 36,79 ± 0,48 36,65 ± 0,18 0,226a kelompok cairan koloid memiliki bentuk grafik yang
lebih stabil dimana penurunan suhu tubuh terjadi
Demam hari ke-8
Mean ± SD 37,05 ± 0,69 36,64 ± 0,15 0,085a hingga hari ke-8 dengan rata-rata suhu tubuh 36,64°C
a sedangkan kelompok cairan kristaloid terlihat
independent t test
mengalami penurunan suhu tubuh pada demam hari ke-
Gambar 2 menunjukkan perubahan rerata suhu
6 namun meningkat kembali pada hari ke-8 dengan
antara kelompok pasien yang mendapatkan cairan
rata-rata suhu tubuh yaitu 37,05°C walaupun tidak
kristaloid dibandingkan dengan kelompok pasien yang
terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata
mendapatkan cairan koloid selama pasien dirawat di
suhu tubuh kelompok cairan kristaloid dibandingkan
rumah sakit. Lima hari pengambilan data suhu badan
cairan koloid selama hari perawatan di rumah sakit.
berdasarkan rerata lama rawat inap yaitu 4 hari untuk
Pranata & Artini (2017) menyatakan bahwa dengan
kelompok cairan kristaloid dan 5 hari untuk kelompok
menurunkan suhu tubuh, aktivitas dan kesiagaan anak
cairan koloid. Hasil rerata suhu tubuh selama 5 hari
membaik, perbaikan suasana hati (mood) dan nafsu
menunjukkan bahwa rerata suhu tubuh kelompok
makan juga semakin membaik.
cairan koloid lebih stabil dibandingan kelompok cairan
kristaloid. Berdasarkan WHO (2012), demam

38

37.5 p = 0.963
p = 0.085
37

36.5
Tubuh(ºC)

p = 0.226
36 Terapi Cairan Kristaloid
Suhu

p = 0.421
(Kontrol) Terapi Cairan Koloid
35.5 p = 0.336 (Intervensi)

35

34.5
Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 Hari ke-8

Hari Demam

Gambar 2. Grafik perbandingan demam (suhu tubuh) antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan kristaloid

73 Poltekkes Kemenkes Palembang


Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Tatalaksana demam berdarah berdasarkan yaitu 157,30/µL dengan simpang baku 43,12, hal ini
Departemen Kesehatan RI (2004) juga menunjukkan hasil rerata trombosit antar kelompok
merekomendasikan pemberian obat antipiretik untuk memiliki perbedaan rerata yaitu 29,17. Analisa t-test
menangani gejala demam yang timbul pada fase unpaired menunjukkan nilai p = 0,047 (p < 0,05) yang
demam berdarah. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan
2) diketahui responden penelitian yang mendapatkan bermakna nilai trombosit antara kelompok pasien yang
obat antipiretik sebagai standar terapi di rumah sakit. mendapatkan cairan kristaloid dibandingkan dengan
Antipiretik yang digunakan yaitu parasetamol dengan kelompok pasien yang mendapatkan terapi cairan
rute pemberian intravena. Pasien yang mendapatkan koloid.
antipiretik (parasetamol intravena) pada penelitian ini Tabel 3. Perbandingan rata-rata nilai trombosit antara
yaitu 41 pasien (85,4%) yang terdiri dari kelompok kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid
kristaloid sebanyak 21 pasien dan kelompok cairan
∑ Nilai Trombosit
koloid sebanyak 20 pasien sedangkan pasien penelitian Cairan
yang tidak mendapatkan antipiretik yaitu 7 pasien Hari Cairan Koloid
Kristaloid Nilai p
Demam (n = 24)
(14,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan Pranata & (n = 24)
Artini (2017) yang menunjukkan penggunaan obat Demam hari ke-4
antipiretik pada pasien demam berdarah yaitu 98%. Mean ± SD 143,79 ± 46,22 153,79 ± 32,43 0,403a
Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji Demam hari ke-5
Chi-square didapatkan nilai (p = 0,683) artinya tidak Mean ± SD 123,91 ± 39,77 151,20 ± 37,88 0,023a*
terdapat perbedaan yang bermakna pemberian obat
parasetamol antara kelompok cairan kristaloid dan Demam hari ke-6
kelompok cairan koloid. Mean ± SD 128,13 ± 50,78 157,30 ± 43,12 0,047a*
Analisis nilai trombosit bertujuan untuk melihat Demam hari ke-7
perbandingan nilai trombosit antara kelompok pasien Mean ± SD 135,21 ± 43,92 160,38 ± 38,57 0,106a
yang mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok
pasien yang mendapatkan cairan koloid. Analisis nilai Demam hari ke-8
a
trombosit dilakukan setiap 24 jam menggunakan uji Mean ± SD 159,61 ± 50,75 183,33 ± 37,54 0,470
a
independent t test
unpaired t test yang terdapat pada Tabel 3. *significant p value
Berdasarkan pada Tabel 3, diketahui bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan (p < 0,05) antara kelompok Gambar 3 menunjukkan perubahan rerata nilai
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid dengan trombosit antara kelompok pasien yang mendapatkan
kelompok pasien yang mendapatkan cairan koloid pada cairan kristaloid dibandingkan pasien yang
demam hari ke lima (24 jam setelah pemberian terapi mendapatkan cairan koloid selama pasien dirawat.
cairan) dan demam hari ke enam (48 jam setelah Kelompok pasien yang mendapatkan cairan koloid
pemberian terapi cairan). Pada demam hari kelima memiliki grafik perubahan trombosit yang lebih stabil
(24 jam setelah pemberian terapi cairan) diketahui dan memiliki nilai rata-rata trombosit lebih tinggi
rerata trombosit kelompok cairan kristaloid yaitu dibandingkan kelompok pasien yang mendapatkan
123,91/µL dengan simpang baku 39,77 sedangkan cairan kristaloid. Trombositopenia merupakan salah
rerata trombosit kelompok cairan koloid 151,20/µL satu kriteria sederhana oleh WHO sebagai diagnosis
dengan simpang baku 37,88, hal ini menjukkan hasil klinis penyakit DBD. Nilai trombosit normal pada anak
rerata trombosit antar kelompok memiliki perbedaan adalah 150.000 - 400.000/µL (Chiocca, 2011).
rerata yakni 27,29/µL. Selanjutnya, analisa t-test Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah
unpaired menunjukkan nilai p = 0,023 (p < 0,05) yang demam dan mencapai titik terendah pada fase syok.
menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan Yakub dkk. (2014) menyatakan trombosit akan
bermakna nilai trombosit antara kelompok pasien yang berangsur naik ketika pasien sudah melewati fase kritis
mendapatkan cairan kristaloid dibandingkan kelompok yaitu menuju fase pemulihan sekitar hari ketujuh atau
pasien yang mendapatkan cairan koloid. Pada demam kesepuluh dimana akan terjadi reabsorbsi secara
hari keenam (48 jam setelah pemberian cairan) bertahap cairan kompartemen ekstravaskular dalam
diketahui rerata trombosit kelompok cairan kristaloid 48 - 72 jam. Pasien yang terlibat pada penelitian ini
yaitu 128,13/µL dengan simpang baku 50,78 datang ke rumah sakit dengan rata-rata telah
sedangkan rerata trombosit kelompok cairan koloid mengalami demam 3 hari sebelumnya sehingga

74 Poltekkes Kemenkes Palembang


Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

pengambilan data dilakukan pada masa kritis (3 - 6 hari dikatakan bahwa kelompok cairan koloid dapat
demam). Berdasarkan grafik terlihat 24 jam setelah mempertahankan nilai trombosit lebih baik
pemberian terapi cairan, kelompok cairan kristaloid dibandingkan kelompok cairan kristaloid pada pasien
mengalami penurunan nilai trombosit yaitu dengan DF dan DHF derajat 1 walaupun penggunaan cairan
rata-rata 123,91/µL dan kelompok cairan koloid koloid berdasarkan WHO direkomendasikan pada
memiliki rata-rata 151,20/µL (p = 0,023). Pada 48 jam pasien derajat III dan IV yang telah mengalami syok.
setelah pemberian cairan terlihat kelompok cairan Cairan koloid memiliki berat molekul yang lebih besar
kristaloid mengalami pengingkatan nilai terombosit dibandingkan kristaloid sehingga berada lebih lama di
dengan rata-rata 128,13/µL dan kelompok koloid intravaskular dan dapat mencegah syok.
dengan rata-rata 157,30/µL (p = 0,047) sehingga dapat

200
180
p = 0.403 p = 0.047
160
140
p = 0.470
120
p = 0.106
Nilai Trombosit

100 p = 0.023
Cairan Kristaloid
80 (Kontrol)
(x1000/µl)

60
40
Cairan Koloid
20 (Intervensi)
0
hari ke-4 hari ke-5 hari ke-6 hari ke-7 hari ke-8

Hari Demam

Gambar 3. Grafik perbandingan nilai trombosit antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid

Berdasarkan Depkes RI (2004), efek volume Tabel 4. Perbandingan nilai hematokrit antara
gelatin dapat menetap sekitar 2 - 3 jam dan tidak kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid
mengganggu mekanisme pembekuan darah sehingga ∑ Nilai Hematokrit
keunggulan ini menjadi dasar pemilihan cairan. Cairan Cairan
Hari
Analisis nilai hematokrit bertujuan untuk melihat kristaloid Koloid Nilai p
Demam
perbandingan nilai hematokrit antara kelompok pasien (n = 24) (n = 24)
yang mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok Demam hari ke-4
pasien yang mendapatkan cairan koloid. Analisis kadar Mean ± SD 34,87 ± 3,88 36,01 ± 2,83 0,253a
hematokrit dilakukan setiap 24 jam menggunakan uji
unpaired t test yang terdapat pada Tabel 4. Demam hari ke-5
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa terdapat Mean ± SD 34,29 ± 3,45 35,44 ± 2,35 0,185a
perbedaan bermakna (p < 0,05) rerata nilai hematokrit
antara kedua kelompok pada demam hari ke tujuh Demam hari ke-6
(72 jam setelah pemberian cairan) (p = 0,036) dengan Mean ± SD 34,56 ± 3,56 35,56 ± 3,56 0,357a
rerata nilai hematokrit kelompok cairan kristaloid yaitu
37,46% sedangkan rerata kelompok cairan koloid yaitu Demam hari ke-7
34,82%. Mean ± SD 37,46 ± 2,50 34,82 ± 1,86 0,036a*

Demam hari ke-8


Mean ± SD 38,33 ± 1,25 34,50 ± 0,86 0,110a
a
independent t test
*significant p value

75
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

Gambar 4 menunjukkan perubahan nilai (p = 0,036) antara kelompok cairan kristaloid


hematokrit antara kelompok cairan kristaloid dibandingkan dengan kelompok cairan koloid sesuai
dibandingkan kelompok cairan koloid. Pada grafik dengan Hung (2012) dalam penelitiannya menyebutkan
terlihat perbedaan rerata nilai hematokrit yang bahwa pasien anak DBD yang menerima gelatin secara
bermakna yaitu 72 jam setelah pemberian terapi cairan signifikan memiliki fase pemulihan yang lebih singkat
dengan nilai p = 0,036 (p < 0,05). Berdasarkan WHO dibandingkan dengan pasien anak yang menerima
(2012), pada fase kritis (hari ketiga hingga keenam) ringer laktat (p = 0,017). Hal tersebut sesuai dengan
nilai hematokrit akan meningkat (hemokonsentrasi) penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Suciawan
dikarenakan oleh penurunan kadar plasma darah akibat (2000) menunjukkan pemberian terapi cairan
kebocoran vaskular. Peningkatan hematokrit, misalnya kombinasi yaitu cairan kristaloid dan koloid secara dini
10% sampai 15% di atas baseline, adalah bukti paling terbukti mencegah syok dalam 24 jam pertama
awal. Jika pasien dapat bertahan pada 24 - 48 jam pada dibandingkan penderita yang hanya diberikan cairan
fase kritisnya, maka selanjutnya akan terjadi reabsorbsi kristaloid (tanpa cairan koloid). Perbaikan keadaan
cairan ekstravaskular selama 48 - 72 jam berikutnya umum dapat terlihat dengan adanya peningkatan nafsu
(fase pemulihan). Peningkatan nilai hematokrit makan, gejala-gejala abdomen yang berkurang, status
merupakan manifestasi hemokonsentrasi yang terjadi hemodinamik yang stabil dan adanya diuresis. Pada
akibat kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular penelitian ini juga diketahui nilai rata-rata hematokrit
disertai efusi cairan melalui kapiler yang rusak pada kelompok cairan kristaloid adalah 34,61%
sehingga terjadi kebocoran plasma dan menyebabkan sedangkan nilai rata-rata hematokrit pada kelompok
terjadinya syok hipovolemik serta kegagalan sirkulasi cairan koloid yaitu 36,52% sehingga rata-rata
(Rena, 2009). Pada keadaan terjadinya peningkatan hematokrit pada penelitian ini masih dalam kategori
permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma maka normal pada anak yaitu 34 - 45% (Chiocca, 2011). Hal
pemberian cairan koloid dapat dilakukan untuk ini sesuai dengan penelitian Rasyada dkk. (2014)
mencegah terjadinya syok karena cairan koloid bahwa nilai hematokrit pada pasien DBD normal
memilki berat molekul yang lebih besar sehingga akan bahkan rendah dan didiagnosis DBD. Penelitian
berada lebih lama di intravaskular (Chaerulfalah, Erlinda dkk. (2015) juga menunjukkan persentase
2000). Pada penelitian ini diketahui terdapat perbedaan terbanyak DBD memiliki nilai hematokrit normal yaitu
yang bermakna pada demam hari ketujuh (72 jam sebanyak 83,7%.
setelah pemberian cairan) nilai rerata hematokrit
80

70

60
Nilai Hematokrit

50
p = 0.253 p = 0.110
p = 0.357
40
Cairan Kristaloid
30 (Kontrol) Cairan Koloid
(%)

p = 0.185 p = 0.036
20 (Intervensi)

10

0
hari ke-4 hari ke-5 hari ke-6 hari ke-7 hari ke-8

Hari Demam

Gambar 4.Grafik perbandingan nilai hematokrit antara kelompok cairan kristaloid dan kelompok cairan koloid
Analisis lama rawat inap bertujuan untuk mendapatkan cairan kristaloid dengan kelompok pasien
mengetahui adanya perbedaan lama rawat inap pasien yang mendapatkan cairan koloid. Parameter yang
atau length of stay (LOS) antara kelompok pasien yang diukur dengan menggunakan hitungan hari selama

76
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit. Analisis dibandingkan kelompok pasien yang mendapatkan
lama perawatan menggunakan analisis distribusi cairan koloid dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05).
frekuensi dan uji unpaired t test. Tabel 5 menunjukkan
Tabel 6. Perbandingan rata-rata lama rawat inap atau
lama rawat inap pasien selama perawatan di rumah
length of stay (LOS)
sakit. Lama rawat inap dalam penelitian ini antara 3
Jenis Cairan Mean ± SD p value
sampai 8 hari, hasil yang didapatkan lama rawat inap
Kristaloid (n = 24) 5,00 ± 1,286
paling singkat yaitu 3 hari sedangkan paling lama yaitu 0,002a*
Koloid (n = 24) 4,00 ± 0,659
8 hari, hal ini sesuai dengan penelitian Soegianto a
independent t test
(2002) yang menemukan lama rawat inap pasien DBD *significant p value
anak berkisar 3 - 7 hari dan rata-rata durasi 4 hari).
Kelompok pasien yang mendapatkan terapi cairan Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik
kristaloid memiliki lama rawat inap antara 3 sampai 8 Indonesia (2004) beberapa kriteria memulangkan
hari dengan jumlah pasien yang dirawat selama 3 hari pasien demam berdarah yaitu keadaan umum dan
adalah 3 pasien (12,5%), 4 hari sebanyak 6 pasien hemodinamik baik, tidak demam dalam 24 jam, serta
(25%), 5 hari sebanyak 6 pasien (25%), 6 hari jumlah hematokrit dan trombosit dalam batas normal
sebanyak 7 pasien (4,2%), 7 hari dan 8 hari masing- (stabil dalam 24 jam). Berdasarkan hasil penelitian
masing 1 pasien (4,2%) sedangkan pada kelompok pada kelompok cairan kristaloid dengan rata-rata
pasien yang mendapatkan cairan koloid memiliki lama length of stay 5 hari masih ada pasien yang
rawat inap antara 3 sampai 5 hari dengan jumlah pasien mendapatkan perawatan dari hari ke-6 hingga hari ke-8
yang dirawat selama 3 hari sebanyak 5 pasien (20,8%), dengan kondisi suhu tubuh rata-rata pada hari ke-6
4 hari sebanyak 14 pasien (58,4%) dan 5 hari sebanyak yaitu 36,7°C (n = 7 pasien), hari ke 7 dengan suhu
5 pasien (20,8%). 36,8°C (n = 1 pasien) dan hari ke 8 dengan suhu
36,4°C (n = 1). Berdasarkan trombosit diketahui masih
Tabel 5. Frekuensi lama rawat inap atau length of stay
ada pasien yang mendapatkan perawatan pada hari ke-6
(LOS) dengan dan
pasien) nilaihari
rata-rata trombosit
ke 7 dengan 150,50/µL130,00/µL
nilai trombosit (n = 4
Lama Kelompok Kelompok (n = 1 pasien) sedangkan nilai hematokrit pada hari ke
Rawat Cairan Cairan Total
Inap Kristaloid Koloid (n = 48)
(hari) (n = 24) (n = 24) 6 yaitu 36,5% (n = 4 pasien) dan hari ke 7 yaitu 38%
3 3 (12,5%) 5 (20,8%) 8 (16,7%) (n=1 pasien). Pada kelompok cairan koloid dengan
4 6 (25,0%) 14 (58,4%) 20 (41,7%) rata-rata length of stay 4 hari tidak terdapat pasien yang
5 6 (25,0%) 5 (20,8%) 11 (22,9%)
masih mendapatkan perawatan pada hari ke-6 hingga
6 7 (29,1%) - 7 (14,6%)
7 1 (4,2%) - 1 (2,1%) hari ke-8. Penelitian oleh Nopianto (2012)
8 1(4,2%) - 1 (2,1%) menyebutkan bahwa nilai trombosit merupakan salah
Total 24 (100%) 24 (100%) 48 (100%) satu faktor yang berpengaruh terhadap lama rawat inap
pasa pasien demam berdarah.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui perbandingan rata-
rata length of stay (LOS) kelompok pasien yang KESIMPULAN
mendapatkan cairan koloid yaitu 4 hari, lebih singkat Terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antara
dibandingkan kelompok pasien yang mendapatkan cairan kristaloid dengan koloid pada nilai trombosit
cairan kristaloid yaitu 5 hari. Hasil penelitian ini sesuai jam ke-24 dan jam ke-48, nilai hematokrit jam ke-72
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh dan lama rawat sedangkan kedua kelompok tidak
Mandriani (2009) menunjukkan lama rawat inap menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap suhu
penderita adalah 4,62 hari dengan lama perawatan tubuh (p > 0,05).
paling singkat 1 hari dan paling lama 9 hari. Nisa dkk.
(2013) juga menyebutkan bahwa lama perawatan rata- UCAPAN TERIMAKASIH
rata penderita BDB anak di RS Roemani Semarang Program studi Magister Farmasi Universitas
yaitu 4,26 hari (4 hari) dengan standar deviasi (SD) Ahmad Dahlan, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
1,504. Hasil analisa t-test unpaired pada Tabel 5 Bantu dan seluruh responden penelitian.
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan lama rawat
inap yang bermakna secara statistik antara kelompok DAFTAR PUSTAKA
pasien yang mendapatkan cairan kristaloid Akhmad, A. P. (2012). Evaluasi Penggunaan Obat pada
Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUD Dr.
77
Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol. 5 No. 1 Juli 2018

H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Periode Lahan dengan Pendekatan Spasial di Kabupaten
Oktober 2012 - Februari 2015. Skripsi; Fakultas Banggai Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011-
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2013. Journal of Information System for Public
Chiocca, E. M. (2011). Advance Pediatric Assesment. Health; 1; 47-54.
Philadelphia: Lippincott Williams & Walkins. Nhan, N. T., Phuung, C. X. T., Kneen, R. & Wills, B.
Departemen Kesehatan (Depkes) RI. (2004). (2001). Acute Management of Dengue Shock
Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Syndrome, A Randomized Double-Blind
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral P2M Comparison of A Intravenous Fluid Regimens in
Depkes RI. the First Hour. Clinical Infectious Disease; 32;
Depkes RI. (2011). Profil Kesehatan Indonesia 2010 by 204-211.
Depkes RI. Nisa, D. W., Notoatmojo, H. & Rohmani, A. (2013).
http://www.depkes.go.id/downloads/profil_Kese Karakteristik Demam Berdarah Dengue pada
hatan_Indonesia_2010.pdf. Accessed: 5 Agustus Anak di Rumah Sakit Roemani Semarang.
2017. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah; 1; 93-97.
Dung, N. M., Day, N. P., Tam, D. T., Loan, H. T., Nopianto, H. (2012). Faktor–Faktor yang Berpengaruh
Chau, H. T. & Minh, L. N. (1999). Fluid terhadap Lama Rawat Inap pada Pasien Demam
Replacement in Dengue Shock Syndrome: A Berdarah Dengue di RSUP Dr. Kariadi
Randomized, Double-Blind Comparison of Four Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro; 1;
Intravenous-Fluid Regimen. Clinical Infectious 20-25.
Disease; 29; 787-794. Prasetyo, V. P, Azis, A. L. & Soegijanto, S. (2009).
Erlinda, F., Sadiah, A. & Maya, T. (2015). Hubungan Comparison of the Efficacy and Safety of
Kadar Trombosit dan Hematokrit dengan Hydroxyethyl Starch 130/0.4 and Ringer’s
Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue pada Lactate in Children with Grade III Dengue
Pasien Dewasa. Prosiding; Penelitian Sivitas Hemorrhagic Fever. Paediatrica Indonesia; 49;
Akademika Universitas Islam Bandung, 97-103.
Bandung. Rasyada, A., Ellyza, N. & Zulkarnain, E. (2014).
Ginanjar. (2008). Demam Berdarah, a Survival Quide Hubungan Nilai Hematokrit terhadap Jumlah
(Cet. 1). Yogyakarta: B. First (PT Benteng Trombosit pada Penderita Demam Berdarah
Pustaka). Dengue. Jurnal Kesehatan Anak; 3; 343-347.
Hukom, A. O. E., Warouw, S. M., Memah, M. & Soegianto, S. (2002). Penatalaksanaan Demam
Mongan, A. E. (2013). Hubungan Nilai Berdarah Dengue pada Anak: Lab Ilmu
Hematokrit dan Jumlah Nilai Trombosit pada Kesehatan Anak-FK UNAIR/RSUD Dr.
Pasien Demam Berdarah Dengue. Manado. Soetomo. Surabaya: Tropical Disease Center.
Jurnal e-Biomedik; 3; 738-742. Suciawan, N. (2000). Tatalaksana Terapi Cairan
Hung, N. T. (2012). Fluid Management for Dengue in Penderita Demam Berdarah Dengue. Tesis;
Children. Paediatrics and International Child Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Health; 32; 39-41. Yogyakarta.
IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Palembang: World Health Organization (WHO). (1997). Dengue
IDAI Press. Haemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment, and
Lubis, M. (2003). Spectrum of DSS in Haji Adam Control. 2nd ed. Genewa: WHO.
Malik Hospital during 5 years: Research report World Health Organization (WHO). (2012). Demam
from JKPKBPPK. Jakarta: Badan Litbang Berdarah Dengue: Diagnosis, Pengobatan,
Kesehatan. Pencegahan dan Pengendalian Ed. 2. Jakarta:
Mandriani, E. (2009). Karakteristik Penderita Demam EGC.
Berdarah Dengue (DBD) yang Mengalami Yakub, R., Kemas, H., Hasrul, P. & Agustria, H.
Dengue Shock Syndrome (DSS) Rawat Inap di (2014). Pola Jumlah Trombosit Pasien Rawat
RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008. Skripsi; Inap BDB RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Palembang dengan Hasil Uji Serologi Positif
Sumatera Utara, Medan. yang Diperiksa di Laboraturium GrahaSpesialis
Muliansyah, T. B. (2015). Analisa Pola Sebaran RSUP Dr. Mohammad Hoesin. Majalah
Demam Berdarah Dengue terhadap Penggunaan Kedokteran Sriwijaya; 2; 104-110.

78
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
http://journal.umy.ac.id/index.php/mm

Vol 19 No 2 Hal 50-55 Juli 2019

Life Quality of Pediatric Patient with Dengue


Hemorrhagic Fever (DHF) Who Received Crystalloid and
Colloid Fluid Treatment in PKU Muhammadiyah Hospital
Yogyakarta
Kualitas Hidup Pasien Anak Demam Berdarah Dengue yang Diberikan Cairan Kristaloid dan Koloid
di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta

Chotijatun Nasriyah*1, Dyah Aryani Perwitasari1, Nurcholid Umam Kurniawan2,3


1
Faculty of Pharmacy, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
2
The staff of Children's Health Sciences, Faculty of Medicine, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
3
KSM Child Health Sciences PKU Muhammadiyah Hospital Bantul, Yogyakarta

DATA OF ARTICLE: Abstract: Dengue hemorrhagic fever (DHF) in the community can have an impact
Received: 9 Nov 2018 of panic, death, and reduced age of hope in the family. Research on the quality of
Reviewed: 18 Dec 2018 life of DHF pediatric patient who got the treatment of crystalloid and colloid fluids
Revised: 24 Jun 2019 has never been done before. The purpose of this study was to determine the quality
Accepted: 27 Jun 2019
of life of DHF pediatric patients who received crystalloids and colloids with
PedsQL instruments. The study design was a cohort with block randomization. The
inclusion criteria in this study were hospitalized DHF pediatric patients aged one
*CORRESPONDENC month -18 years from February to May 2018. The exclusion criteria were DHF
E: patients who came with referrals from other hospitals who had received fluid
805.nasri@gmail.com therapy. Research data include the length of stay (LOS) and quality of life score
with the PedsQL questionnaire. The statistical analysis was using an independent t-
test and the Mann Whitney test. The length of stay for the crystalloid group is five
DOI: days longer than the colloid group, which is four days. From a total of 48 subjects
10.18196/mm.190229 studied, the score for the physical function of the crystalloid fluid group 84.54 ±
9.90 was higher than the colloid group of 77.58 ± 19.30 (p = 0.125). The emotional
functions in the crystalloid group obtained a score of 81.88 ± 12.14 higher than the
colloid group, i.e., 79.17 ± 18.5 (p = 0.552). The social function in the crystalloid
TYPE OF ARTICLE: group had a score of 92.08 ± 8.84 higher than the colloid group of 86.67 ± 13.96 (p
Research = 0.232). The school functions in the crystalloid group had a score of 50.42 ± 33.68
higher than in the colloid group of 37.92 ± 36.62 (p = 0.225). The results of this
study showed that the crystalloid group had a higher quality of life score compared
to the colloid group, although it was not significant.

Keywords: Quality of Life; Pediatric; PedsQL; Crystalloid; Colloid

Abstrak: Demam berdarah dengue (DBD) di masyarakat memberi dampak kepanikan,


kematian dan berkurang usia harapan. Penelitian kualitas hidup anak DBD dengan cairan
kristaloid dan koloid belum pernah dilakukan.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
kualitas hidup anak DBD yang mendapat kristaloid dan koloid dengan instrumen PedsQL.
Rancangan penelitian adalah kohort, pengambilan sampel secara randomisasi blok. Kriteria
inklusi adalah pasien DBD rawat inap anak umur 1 bulan-18 tahun periode Februari –
Mei 2018. Kriteria eksklusi adalah pasien DBD dengan rujukan dari RS lain yang sudah
mendapat cairan. Data penelitian meliputi lama rawat inap dan skor kualitas hidup dengan
kuesioner PedsQL. Analisis statistik menggunakan independent t test dan Mann Whitney

79
test. Lama rawat inap kelompok kristaloid adalah 5 hari hemodynamics are more stable, as a consequence,
lebih lama dibanding kelompok koloid yakni 4 hari. Dari 48 plasma leakage can be prevented and maintenance
subyek yang diteliti skor fungsi fisik kelompok kristaloid time can be reduced.8
84,54±9,90 lebih tinggi dibanding kelompok koloid DHF patients need intensive care at the hospi-
77,58±19,30 (p= 0,125). Fungsi emosi kelompok kristaloid tal.9 Hospital care can contribute psychologycal
diperoleh skor 81,88±12,14 lebih tinggi dibanding kelompok stress on the patients especially pediatric patients
koloid 79,17±18,5 (p=0,552). Fungsi sosial kelompok because the child is separated from his parents,
kristaloid memiliki skor 92,08±8,84 lebih tinggi dibanding siblings, and friends, meets the medical staff who
kelompok koloid 86,67±13,96 (p=0,232). Fungsi sekolah care for him, gets painful medical treatments, unfa-
kelompok kristaloid memiliki skor 50,42±33,68 lebih tinggi miliar places, interrupts daily activities and school
dibanding kelompok koloid 37,92±36,62 (p=0,225). Hasil activities.9
penelitian kelompok kristaloid skor kualitas hidupnya lebih The quality of one's life is greatly influenced by
tinggi dibanding kelompok koloid, walaupun secara statistik physical and psychological activities. Decreasing
berbeda tidak signifikan. physical function and stress can interfere with all
aspects of life, one of which is the quality of life.10
Kata Kunci: Kualitas Hidup; Pediatrik; PedsQL; Quality of life on health can be defined as a multi-
Kristaloid; Koloid dimensional assessment that includes physical,
psychological, social functions and changes in beha-
INTRODUCTION vior or development in one's life.9 To assess the
quality of adequate intensive management of an
The dengue hemorrhagic fever patient in illness, an outcome assessment is needed. This
Indonesia has reached the number of more than outcome assessment is not only based on mortality
100.000, and among them, more than 1.000 have outcomes but also includes non-mortality assess-
died.1 The viral transmission of dengue hemorrhagic ments, such as quality of life.9 So far, researchers
fever can be through the bite of an infected female have not found an assessment of the quality of life
mosquito.2 The impact of dengue fever in the in a pediatric patient with DHF who are treated with
community for now in addition to being a health crystalloid and colloid fluids. Based on the fact
problem, also causes social consequences such as mentioned before, this research is carried out.
panic, death, and makes the age of hope decrease
in family members.3 MATERIAL AND METHOD
Several attempts have been made to measure
the burden of dengue fever. Long-term morbidity, The study was conducted in the pediatric ward
mortality, and quality of life are essential metrics for of PKU Muhammadiyah Bantul hospital in January -
measuring the health burden of chronic and acute June 2018. The design of this study was a cohort;
diseases. Also, age, duration of illness, and severity sampling was done by block randomization. The
of the disease were related to the quality of life of inclusion criteria were hospitalized DHF pediatric
patients with dengue hemorrhagic fever.4 patients aged 1 -18 years in the period February -
The most important treatment for DHF is the May 2018. The exclusion criteria in this study were
particular emphasis on proper and careful fluid DHF patients who came with referrals from other
management to overcome the plasma leak caused hospitals that had received fluids. Forty-eight sam-
by the infection.5 The types of crystalloid and ples met the inclusion criteria. The samples were
colloidal fluids are the choices used to replace plas- divided into two groups, namely the group (n = 24)
ma leaks.6 Liquid crystalloid properties that have who received colloid fluid (initial gelafusal) and the
components similar to blood, which do not cause group (n = 24) who received single crystalloid fluid
allergies, are cheap, and are easily obtained making therapy (ringer lactate). The application of this type
crystalloids become the therapy of choice com- of fluid is based on randomization carried out
pared to colloids.7 Also, crystalloid solutions have a during the study. The old data from hospitalization
molecular size smaller than colloidal solutions then, were seen and recorded from the patient's medical
if, in the same amount of volume, there will be less record on the nurse ward.
crystalloid fluid that remains intravascular.7 Howe- The quality of life of pediatric patients with
ver, colloids have advantages, namely if colloids and DHF, was measured using the PedsQL 4.0 Generic
crystalloids have the same amount of volume, Core Scales questionnaire, which included four
colloids have greater plasma volume (intravascular) functions, namely physical, emotional, social, and
expansion and last longer for intravascular space school functions. Parents/guardians of patients be-
than crystalloid. By these advantages, it is expected fore interviews and filling out the questionnaires,
that colloids provide better tissue oxygenation and they need to fill out the informed consent sheet

80
first as a form of approval to be the subject of re- function/domain to test the validity obtained r
search. The questionnaires were taken a day before count value higher than r table (0.361), so the
the pediatric patients came home from the hospital. questionnaire was declared valid. As for the reliabi-
The parent/guardian of the patient is asked to fill in lity test, the correlation value in the Cronbach's
the form containing the patient's identity, the name Alpha column was 0.852, which means that it is
of the parent/guardian, address, and signature. The classified as very strong. Thus, it can be concluded
assessment of the quality of life is calculated start- that the questionnaire can be declared valid and
ing from physical, emotional, social, and school trusted based on the correlation value of 0.852.
functions with a generic measurement scale con-
sisting of 23 questions. RESULT
The questionnaires were asked to the pa-
rents/guardians of patients based on five scales, From a total of 48 patients who met the
which were marked by the value according to the inclusion criteria, divided into two groups; 24
problem of each item felt by the patient. The scale patients with cervical fluid (Ringer's lactate) and 24
consists of 0 never; 1 rarely; 2 sometimes; 3 often; 4 patients with colloidal fluid (gelafusal).
almost always. Each score received from respon- Table 1. The majority of the subject was 26 wo-
dents is transformed to a scale of 0-100 (0 = 100; 1 = men patients (54.2%) and 22 men patients (45.8%).
75; 2 = 50; 3 = 25; 4 = 0). The calculation of the total These two groups have similar age characteristics,
score of 23 question items is the average of all the i.e., the number of patients with less than or equal
number of answers to items divided by many items to 5 years are more than the number of patients
answered from the physical, emotional, social, and over the age of 5 years.
school subscales. Higher scores indicate a better The comparison of length of stay between the
quality of life. crystalloid group and the colloid group can be seen
The analysis of length of stay data and results in Table 2.
of quality of life scores – to compare the two The parameters of length of stay were
groups, were carried out with independent t-test measured using several days as long as the patient
and Mann Whitney test. The independent samples received treatment at the hospital. The group of
t-test was carried out for data that are generally crystalloid fluid therapy has a length of stay of 3 to
distributed by showing p-value. At the same time, 8 days with 3 patients were treated for 3 days
the Mann-Whitney test for data that is not normally (12,5%), 6 patients were treated for 4 days (25%), 6
distributed. patients were treated for 5 days (25%), 7 patients
Based on the results of previous research were treated for 6 days (4,2%), 1 patient was treated
validation, in this study, researchers also conducted for 7 days and 1 patient was treated 8 days (4,2%)
validation and reliability tests related to the PedsQL whereas in the colloid fluid group it has a length of
questionnaire against 30 parents/guardians of pe- stay of 3 to 5 days with 5 patients were treated for 3
diatric patients. The validation and reliability tests days (20,8%), 14 patients were treated for 4 days
apply the four functions/domains that include phy- (58,4%) and 5 patients were treated for 5 days
sical, emotional, social, and school functions using (20,8%).
the SPSS statistical program. The results of each

Table 1. Characteristics of DHF Pediatric Patients with Crystalloid and Colloid Fluids Treatment Based on
Gender and Age (n = 24)
Type of Fluid
Characteristics Crystalloid Colloid Total (%) Average ±SD p-value
n=24 (%) n=24 (%)
Gender
Man 6 (27.3) 16 (72.7) 22 (45.8)
0.564a
Women 18 (69.2) 8 (30.8) 26 (54.2) -
Age
< 1 year - 1 (100) 1 (2.0)
1-5 year 17 (48.6) 18 (51.4) 35 (72.9) 4.4±3.3 0.320b
6-10 year 5 (50) 5 (50) 10 (20.8)
11-15 year 2 (100) - 2 (4.2)
Chisquare test
a

Mann-Whitney test
b

81
Table 2. Frequency of Length of Stay for Pediatric Patient with DHF between Groups of Crystalloid and
Colloid Fluids
Group of Crystalloid Group of Colloid Fluids Total
Length of stay in inpatient centre (day)
Fluid (n = 24) (n = 24) (n=48)
3 3 (12.5%) 5 (20.8%) 8 (16.7%)
4 6 (25.0%) 14 (58.4%) 20 (41.7%)
5 6 (25.0%) 5 (20.8%) 11 (22.9%)
6 7 (29.1%) - 7 (14.6%)
7 1 (4.2%) - 1 (2.1%)
8 1(4.2%) - 1 (2.1%)
Total 24 (100%) 24 (100%) 48 (100%)

Based on Table 3., the average length of stay colloid group (77,58±19,30); emotional function of
for the colloid fluid group was 4 days, it's shorter the crystalloid group (81,88±12,14) was higher from
than the group of patients who received crystalloid the colloid group (79,17±18,51); social function of
fluid, i.e. 5 days. The results of the independent crystalloid group (92,08±8,84) was higher from the
analysis of the t-test in this study that there were colloid group (86,67±13,96), and school function of
statistically significant differences in the length of crystalloid group (50,42±33,68) was higher from the
stay between the groups of crystalloid fluid and to colloid group (37,92±36,62).
the colloid fluid group with a value of p = 0.002 (p
<0.05). DISCUSSION
Analysis of data related to the assessment of
the life quality of children with dengue hemorrhagic The number of patients with dengue he-
fever was carried out using independent sample t- morrhagic fever (DHF) in Table 1. shows that the
test statistics and Mann-Whitney test. The following majority of DHF patients are women, as many as 26
is a table of assessment results of the quality of life patients (54,2%), while male patients were 22 pa-
between the two groups, including 4 functions/ tients (45,8%). Another study conducted by Hukom
domains. (2013),11 also showed more women than men with a
Table 4. explains about the assessment of the percentage of 53.2%.
quality of life of children with DHF who received From the results of this study, the age was
crystalloid and colloid fluids. The assessment of the dominated between 1-5 years, with a total of 35
four functions of the crystalloid group have a higher patients (72,9%) from a total of 48 samples. The
physical function (84,54±9,90) compared to the result was that both women and men under the age
of 5 have a greater risk of getting a virus than
Table 3. Results of Average Comparison Statistics of children over 5 years because children under 5 years
Length of Stay Patients with DHF Group of have a lower level of immunity.12 According to the
Crystalloid and Colloid Fluids results of research conducted by Muliansyah
Liquid type Mean±SD p-value (2015),13 the majority of patients with dengue
Kristaloid (n=24) 5,00 ±1,286 0,002a* hemorrhagic fever were under 15 years old with 44
Koloid (n=24) 4,00 ±0,659 people (90%). Other research in India by Saraswathy
a
independent t test (2013),14 showed the majority of patients with
*significant p value dengue hemorrhagic fever aged 1-5 years (57%),
followed by children aged 6-12 years (29%).
Table 4. Statistics Results on Differences in the Life Table 3. shows the results of the mean statistic
Quality in Children with DHF in the of the length of stay showed significant differences
Administration of Crystalloid and Colloid with values (p=0,02). The duration of stay in the
Fluids crystalloid group was 5 days, longer than the
length
of stay in the colloid group, which was 4 days. These
Life Quality Average Value ±SD p-value results were in accordance with the theory that
Assessment Crystalloid Colloid colloidal fluids have the advantage that in the same
Fungsi Fisik 84,54±9,90 77,58±19,30 0,125* amount of volume there will be greater plasma
Fungsi Emosi 81,88±12,14 79,17±18,51 0,552* volume expansion (intravascular) and last for a long
Fungsi Sosial 92,08±8,84 86,67±13,96 0,232** time in the intravascular space compared to crys-
Fungsi Sekolah 50,42±33,68 37,92±36,62 0.,225* talloid. With these advantages, it is expected that
Analisis data : * independent samples t test colloids provide better tissue oxygenation and
** Mann-Whitney Test maintain more stable hemodynamics so that they
82
can prevent plasma leakage and reduce mainte- CONCLUSION
nance time.8
Based on the previous PedsQL research, good The result of the assessment related to the life
score for healthy children were around 83 with the quality of children with dengue hemorrhagic fever is
lowest score of 70, while for children with disease that the crystalloid group had a higher score than
the score was between 60 and less than 70. 15 the colloid group, though statistically, the
According to the survey results of the PedsQL ins- differences were not significant. All authors declare
trument maker, the average results of the total that there is no potential conflict of interest with
scores for children with healthy conditions were research, authorship and or publication of this
81.38 ± 15.90. Quality of life can be declared normal article.
according to the survey if the total value is more
than 65.48 and vice versa has a quality of life of "at- REFERENCE
risk" if the total value is less than 65.48.15
In the average study of the quality of life 1. Kemenkes RI. Pusat Data dan Informasi Situasi
quality between crystalloid and colloid groups DBD. Pusdatin. Jakarta: Kemenkes RI. 2016.
(table 4), each physical function, emotional function 2. Bruce R. Dengue Fever/Dengue Hemorrhagic
and social function show the results ≥ 65.48 which Fever. Am J Med, 2010; 7 (2): 51-53.
means that the three functions/domains are de- 3. Kemenkes RI. Demam Berdarah Dengue (DBD).
clared normal. In accordance with a research by Jakarta: Kemenkes RI. 2017 Apr 25. From:
Thompson and Vernon (1992) cited by Aji (2004),9 www.kemkes.go.id
menyatakan bahwa Post-treatment physical and 4. Bach X, Giang T, Long H, Anh T, Tung T, Binh
psychological problems are more often happen in T, et al. Cost-of-Illness and the Health-Related
length of stay for more than 2 weeks, repeated Quality of Life of Patients in the Dengue Fever
care, and sufferers of chronic diseases. In this study, Outbreak in Hanoi in 2017. Int J Environ, 2018; 15
the duration of the length of stay in DHF children (6): 1174.
was less than 2 weeks, and the underlying disease is 5. Cucunawangsih & Nata PHL. Trends of Dengue
an acute infectious disease so that the results of Disease Epidemiology. Virology (Auckl), 2017; 8: 1-
normal quality of life are still obtained. 6.
School function for crystalloid and colloidal 6. Hung N. Fluid Management for Dengue in
groups showed the results of < 65,48, which means Children. Paediatr Int Child Health, 2012; 32
both groups are still declared below normal/risky. In (Suppl 1): 39-42.
line with several studies, one of them was con- 7. Lisa S. Choosing between Colloids and
ducted by Dwi, Krisna and Nur (2016),16 ho explain- Crystalloids for IV Infusion. Nursing Times, 2017;
ed that physical and school scores in cancer children 113: 12, 20-23.
were significantly lower than healthy children. This 8. Antonios L. Volume Resuscitation; the Crystalloid
was due to conditions that had to be hospitalized in Vs Colloid Debate Revisited. Medscape, 2004;
the hospital, giving rise to high absenteeism rates Available
from school. from:URL:http://www.medscape.com/viewarticle
From the assessment of the life quality of DHF /480288
children, the crystalloid group has a higher score 9. Fajar A. Kualitas Hidup Anak Pasca Sindrom Syok
than the colloid group. It is because the majority of Dengue [tesis]. Semarang: Fakultas Kedokteran
the age in the colloid group is less than 5 years. In Universitas Diponegoro. 2004.
line with the research by Thomson dan Vernon 10. Hsien T, Li-Min Wu, Shu-Hui Wen. Quality of
(1992),9 who viewed from the psychological point Life and Its Predictors Among Children and
of view of post-hospital care children stated that Adolescents with Cancer. Cancer Nursing, 2017; 40
emotional disorders most often occur in children (5): 343–351.
aged 6 months to 6 years. The research by Evy 11. Andrew H, Sarah M, Maya M. Hubungan Nilai
(2017),17 also said that children aged 9-12 years have Hematokrit dan Jumlah Nilai Trombosit pada
more mature cognitive development than those Pasien Demam Berdarah Dengue. Jurnal e-Biomedik
below them so that positive self-concepts can be (eBM), 2013; 1 (1): 707-711.
formed. This study expects information or commu- 12. Devi Y, Galuh R, Andra N. Hubungan Status Gizi,
nication by health workers to prevent or control Umur dan Jenis Kelamin dengan Derajat Infeksi
dengue fever especially during the peak season, Dengue pada Anak. Jurnal Kedokteran
and for health services to consider using colloid Muhammadiyah, 2015; 2(1): 24-28.
fluids as initial treatment for DHF to reduce the 13. Muliansyah, Tri B. Analisa Pola Sebaran Demam
length of stay. Berdarah Dengue terhadap Penggunaan Lahan

83
dengan Pendekatan Spasial di Kabupaten Banggai Children’s Health Assessment Project, 2002; 10: 1-
Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011-2013. 11.
Journal of Information System for Public Health, 2016; 16. Dwi N, Krisna Y, Nur A. Faktor-faktor
1(1): 47-54. Berhubungan dengan Kualitas Hidup Anak
14. Saraswathy M, Sankari K, Sakthi G, Sripriya D, Leukemia Limfositik Akut yang Menjalani
Lakshmi P. Incidence of Dengue Hemorraghic Kemoterapi. JKP, 2016; 4 (1): 5-7.
Fever in Children: A Report From 17. Evy S, Livana P, yulia S. Hubungan Konsep Diri
Melmaruvathur Tamilnadu India. JPSI, 2013; 2 dengan Kualitas Hidup Anak Usia Sekolah pada
(1): 34-36.
Keluarga Buruh Migran Internasional. IJHS, 2017;
15. Skar D, Varni JW, Seid M, Burwinkle TS. Health
Status Assesment Project. Data Insight Report 1 (2): 21-28.

84
http:// ijp.mums.ac.ir
Original Article (Pages: 9215-9224)

Restrictive versus Liberal Fluid Resuscitation in Children with


Dengue Shock Syndrome: the differences in Clinical Outcomes
and Hemodynamic Parameters
*Saptadi Yuliarto1, Kurniawan Taufiq Kadafi1, Dessy Anitasari21
1
Department of Pediatrics, Division of Pediatric Emergency and Intensive Care, Saiful Anwar General Hospital,
University of Brawijaya, Malang, East of Java, Indonesia.
2
Department of Pediatrics, Saiful Anwar General Hospital, University of Brawijaya, Malang, East of Java,
Indonesia.

Abstract
Background:
Fluid resuscitation is the mainstay of treatment to counteract massive plasma leakage in dengue shock
syndrome. We aimed to determine the differences in clinical outcomes and hemodynamic parameters
of children with dengue shock syndrome post restrictive and liberal fluid resuscitation.
Materials and Methods: A retrospective observational study of pediatric patients who were between
one month to 18 years old, presented with clinical criteria for dengue hemorrhagic fever (DHF) grade
III and IV based on WHO classification of dengue fever in 2011, and admitted to the Saiful Anwar
General Hospital, Malang- Indonesia, from January 2016 to December 2016. Patients were divided in
two groups: resuscitated with either <40 ml/kg body weight [BW] (restrictive group) or > 40ml/kg
BW (liberal group) solutions; then we analyzed the clinical outcomes and hemodynamic parameters
between two groups.
Results
Among 100 patients, 92 patients were classified as DHF grade III and 8 patients were DHF grade IV.
74 patients were in the restrictive group and 24 patients were in the liberal group. Median age at
diagnosis was 6 years old, and 56% of patients were female. No significant differences were observed
between length of stay in pediatric intensive care unit (P=0.09), and duration of ventilator use
(P=0.68). The restrictive group had 53% lower mortality compared to the liberal group (P=0.18). This
study also showed that there were no significant differences in hemodynamic parameters between two
groups based on measurement with USCOM which were preload component (SVV) (P=0.89),
inotropy components (SMII) (P=0.07), SVRI (P=0.85) as well as the cardiac index (P=0.66).
Conclusion
This study showed that there is no difference in clinical outcomes (length of mechanical ventilation
and length of PICU stay), and hemodynamic parameters (preload, inotropy, afterload, and cardiac
index) in Dengue Shock Syndrome patients who receive restrictive or liberal fluid resuscitation.
Key Words: Children, Dengue Shock Syndrome, Liberal, Fluid resuscitation, Restrictive.

*Please cite this article as: Yuliarto S, Kadafi KT, Anitasari D. Restrictive versus Liberal Fluid Resuscitation in
Children with Dengue Shock Syndrome: the differences in Clinical Outcomes and Hemodynamic Parameters.
Int J Pediatr 2019; 7(4): 9215-24. DOI: 10.22038/ijp.2018.36587.3186

*Corresponding Author:
Saptadi Yuliarto, Pediatric Intensivist, Address: Saiful Anwar General Hospital, JA Suprapto street 2, Malang,
East Java, Indonesia. Postal code 65111; Fax: +62-341-564-755
Email: : dr.saptadiyuliarto@gmail.com
Received date: Nov.14, 2018; Accepted date: Dec. 22, 2018

85
Int J Pediatr, Vol.7, N.4, Serial No.64, Apr. 2019
Fluid Resuscitation in DSS Children

1- INTRODUCTION refractory occurred after 40 ml/kg body


weight (BW) of fluid resuscitation (5). In
The World Health Organization
this study, we hypothesized that clinical
(WHO) estimates that between 50 and 100
outcomes and hemodynamic parameters
million people are infected with the
are different between patients who
dengue virus each year, whereas 500,000
received fluid resuscitation ≤ 40 ml/kg
cases of dengue hemorrhagic fever (DHF)
BW, and > 40 ml/kg BW. We aimed to
require hospitalization, and ninety percent
determine the differences in clinical
of mortalities occur in children less than
outcomes and hemodynamic parameters of
15 years of age (1,2). Dengue Shock
children with DSS post restrictive and
Syndrome (DSS) is one of dangerous
liberal fluid resuscitation.
clinical manifestations of dengue infection
characterized by severe plasma leakage
due to increased vascular permeability 2- MATERIALS AND METHODS
leading to rapid and progressive
2-1. Study design and population
intravascular volume reduction. DSS
generally occurs in a time of fever This study was a retrospective
defervescence or 4-5 days of fever and is observational study. All pediatric patients
often preceded by a warning sign (3). who presented with clinical criteria for
dengue hemorrhagic fever grade III and IV
The most common complications of
based on WHO classification of dengue
dengue infection are plasma leakage,
fever in 2011, and were admitted to a
instead of massive bleeding and organ
pediatric intensive care unit (PICU),
dysfunction; those are still the main cause
pediatric wards, and emergency room at a
of death for children. Current guideline
Saiful Anwar General Hospital, Malang,
recommends fluid resuscitation as a
Indonesia from January 2016 to December
mainstay therapy, based on clinical sign
2016 were included in this study.
and hematocrit level. The majority of
children with DSS can be treated 2-2. Methods
successfully with crystalloid solutions, We collected the following data from the
however, if shock persists, colloid is medical records: patient age, gender, body
considered effective for resuscitation. weight, body height, nutritional status,
Moreover, blood transfusion is also needed final diagnosis, length of stay in PICU,
in patient with severe bleeding condition. duration of mechanical ventilation, and
Unfortunately, the guideline does not mortality event. We classified patients into
provide the next step of management if two groups: restrictive and liberal fluid
fluid and blood transfusion fail (2). resuscitation. Restrictive fluid resuscitation
Although the main mechanism of DSS group was defined as patients who
occurrence is a hypovolemic shock, many received bolus infusion ≤ 40 ml/kg BW,
studies have reported that myocardial whereas liberal group received bolus
dysfunction or cardiomyopathies also infusion > 40 ml/kg BW (5, 6). Patients
played a role in hemodynamic instability were resuscitated with either crystalloid or
and had the potential to cause recurrence colloid solutions. Initial fluid resuscitation
of shock (4); while fluid responsiveness was measured and documented since
depends on the inotropy or contractility patients were diagnosed with dengue
level, massive fluid resuscitation might be hemorrhagic fever.
harmful in cardiomyopathies -associated 2-3. Measuring tools
DSS. Previous observational study
revealed that most children with shock had Hemodynamic parameters were measured
low inotropy level, therefore fluid by ultrasonic cardiac output monitor

86
Yuliarto et al.

(USCOM 1A, USCOM PVT Ltd, Coffs discontinued if therapeutic goals are
Harbor, NSW, Australia). The measured achieved or total fluid amount is 40 ml/kg,
parameters included stroke volume or patient reveals sign of fluid overload
variation (SVV), Smith-Madigan Inotropy (liver enlargement or rales). In case of
Index (SMII), potential for kinetic ratio persistent shock following 40 ml/kg of
(PKR), stroke volume index (SVI), cardiac fluid bolus or fluid overload, diuretics and
index (CI), and systemic vascular vasoactive agents are administered based
resistance index (SVRI). We measured on CI and SVRI level. Inotropes
aortic valve (AV) diameter by using (dopamine 5-10 mcg/kg/min, dobutamine
patient’s age, weight, and height. We also 5-20 mcg/kg/min, or epinephrine 0.05-0.3
used Doppler to measured velocity time mcg/kg/min) are given in low CI – high
integral (VTI). We obtained stroke volume SVRI case, and can be combined with
(SV) using available AV diameter and vasodilator (milrinone 0.5-0.75
VTI. In context of preload; SVV is mcg/kg/min) if blood pressure is normal.
defined as stroke volume which is Vasopressor (norepinephrine 0.05
variation by respiratory cycle. We can mcg/kg/min-1 mcg/kg/min or epinephrine
measure CI by incorporating heart rate >0.3 mcg/kg/min) is given in high CI –
with SV. Afterload in the form of SVR and low SVRI case. Combination of inotropes
SVRI can be computed with the input of and vasopressor are given in low CI- low
blood pressure. Inotropy in the form of SVRI case.
SMII was calculated using a purpose-
written computer program based on Smith- 2-5. Ethical consideration
Madigan formula given with the input of This study was approved by Ethical
SV. SVV ≤30% was defined as fluid- Commission of Medical/Health
refractory shock, and >30% as fluid- Researches, Faculty of Medicine,
responsive shock. Each of the parameters University of Brawijaya, Saiful Anwar
SMII, PKR, and SVI was divided into 3 Hospital (letter no. 400/28/K.3/302/2018).
levels; that is: low, normal, and high, All participants’ parent or guardian
based on the respective normal value for provided informed written consent.
age (7). In addition, normal CI and SVRI
2-6. Inclusion and exclusion criteria
were 3.3-6.0 L/min/m2 and 800-1600
dyne.sec.cm-5 m-2, respectively; a below- In this study, DSS children with age from
normal value was categorized as a low, 1 month to 18 years old who were
while an above normal as high (8). A admitted to pediatric intensive care unit
pediatric emergency and intensive care (PICU), pediatric wards, and emergency
consultant or trained-senior resident room at a Saiful Anwar General Hospital
performed all measurements. from January 2016 to December 2016
were included. The exclusion criteria were
2-4. Hospital protocol children with congenital heart diseases,
The hospital protocol recommends fluid immunodeficiency disorders, autoimmune
bolus 20 ml/kg for 5-15 minutes in case of diseases, pulmonary diseases, hematology
DSS, and can be repeated until 40 ml/kg to diseases, and renal diseases.
achieve the therapeutic goals (normal
2-7. Data Analyses
heart/pulse rate and blood pressure
according to age, normal perfusion [CRT, Data were analyzed using SPSS for
urine output, mental status], cardiac index Windows 20.0 (IBM Corp., Chicago, IL).
[CI] 3.3-6.0 L/min/m2, and systemic Continuous variables were expressed as
vascular resistance [SVRI] 800-1600 mean and standard deviation (SD).
d.s/cm5/m2). Fluid bolus must be Variables with non-normal distributions

87
Fluid Resuscitation in DSS Children

were summarized with medians and were similar between the restrictive and
interquartile ranges (IQR), as appropriate. liberal groups. Median age at restrictive
The two independent groups were group was 6.0 years old whereas median
compared using Mann-Whitney test. age at liberal group was 5.5 years old.
Categorical variables were expressed as Among the 100 cases, 92 (92%) patients
frequencies and percentages and analyzed were classified as DHF grade III and 8
with Chi-square tests or Fisher’s exact (8%) patients were DHF grade IV. In the
tests, as appropriate. Level of statistical restrictive group, the majority of DSS
significance was declared at p- value < patients 42 (56.8%) had a normal
0.05 levels. nutritional status, while 16 patients
(21.6%) had an underweight nutritional
3- RESULTS status and 16 patients (21.6%) had an
3-1. Baseline characteristics overweight nutritional status. In the liberal
group, among 26 patients, 15 (57.7%)
As shown in Table.1, one hundred patients had a normal nutritional status,
patients enrolled and were analyzed (74 while 7 (26.9%) patients had an
and 26 subjects in the restrictive and overweight nutritional status and 4
liberal groups, respectively). Of the 100 (15.4%) patients had an underweight
patients, 56 (56%) patients were female. nutritional status.
The median age and gender distribution

Table-1: Comparison of baseline characteristics between restrictive and liberal groups


Restrictive group Liberal group
Baseline characteristics (n=74) Percent Percent
(n=26)
Age (years), median 6.0 ( 0.33-13) 5.5 (0.42-13)
(IQR)
Gender, n 36 48.6 8 30.7
Male 38 51.4 18 69.3
Female
Nutritional status, n 16 21.6 4 15.4
Underweight 42 56.8 15 57.7
Normal 16 21.6 7 26.9
Overweight
Diagnosis, n 70 94.6 22 84.6
DHF grade III 4 5.4 4 15.4
DHF grade IV
Values are presented as number (%) or median (interquartile range [IQR]); DHF: dengue hemorrhagic fever; P-
value was considered significant if P-value < 0.05.

Although the duration of mechanical


3-2. Clinical outcomes
ventilation was slightly longer for liberal
There was no statistically difference was group, no significant difference was found
found in clinical outcomes in both groups between two groups for patients who
as shown in Table.2 (P>0.05). The median received less fluid resuscitation (P=0.68).
(range) length of stay in PICU was similar The mortality rate for overall hospital stay
in the two groups: 3 (2-18) days in was less in restrictive group (11.1% in
restrictive group versus 4 (2-19) days in restrictive group versus 23% in liberal
liberal groups (P=0.09). The median group). Although the difference was not
duration of mechanical ventilation in statistically significant (P=0.18), the
restrictive group was 4 (1-18) days, while restrictive group had absolute reduction
in liberal group was 5 (2-18) days. risk (ARR) 12% and relative reduction risk

88
Yuliarto et al.

(RRR) 53% of mortality compared to means for every 8 patients in restrictive


liberal group. The number needed to treat group, there would be 1 additional
(NNT) for mortality rate was 8.1, thus it survivor.

Table-2: Comparison of clinical outcomes between restrictive and liberal groups


Restrictive Liberal
Clinical Outcomes P-value ARR RRR NNT
group, (n=74) group, (n=26)
Length of PICU stay (day),
3 (2-18) 4 (2-19) 0.09
median (IQR)
Length of mechanical ventilation
4 (1-18) 5 (2-18) 0.68
time (day), median (IQR)
Mortality rate (%) 11.1 23.0 0.18 12% 53% 8.1
Values are presented as number (%) or median (interquartile range); P-value was considered significant if P-
value < 0.05; ARR: absolute risk reduction; NTT: number needed to treat; RRR: relative risk reduction.

3-3. Hemodynamic parameters group, while median SVRI for 5 -18 years
Regarding the hemodynamic parameters of old was 1959 d.s/cm5. In comparison, the
the study patients (Table.3), no significant mean SVRI in liberal group was 1526.7 ±
difference was observed among two 244.0 d.s/cm5 for 0-2 years age group,
groups (P>0.05). The mean SVV was 2097.1 ± 715.1 d.s/cm5 for 3-4 years old,
similar in two groups: 29.0 ± 10.7% in while median SVRI for 5-18 years old was
restrictive group and 29,5 ± 12,2% in 1970 d.s/cm5. There were no significant
liberal groups (P=0.89). Patients in differences in SVRI between two groups
restrictive groups had similar SMII (P>0.05), yet the level was higher than
compared with liberal groups (1 W/m2 normal value, especially in >3 years old
group. Cardiac index was similar in both
versus 1.2 W/m2 ) (P=0.07); however,
groups (P>0.05). Mean cardiac index for
SMII level in both groups was lower than
3-4 years old group in restrictive group
normal value according to age. Mean
SVRI in restrictive group was 1490.7 ± and liberal group was 3.48 ± 0.73
L/min/m2 and 3.00 ± 0.88 L/min/m2 ,
355.6 d.s/cm5 for 0-2 years age group,
respectively (P=0.66).
2071.2 ± 712.4 d.s/cm5 for 3-4 years

Table-3: Comparison of hemodynamic parameters between restrictive and liberal groups


Hemodynamic parameters Restrictive group, (n=74) Liberal group, (n=26) P-value
Preload
Stroke volume variation (%), mean ± SD 29,0 ± 10,7 29,5 ± 12,2 0,89
Inotropy
SMII (W/m2 ), median (IQR)
Afterload 1.0 (0.19-1.90) 1.2 (0.70-2.60) 0,07
SVRI (d.s/cm5/m2)
0–2 years (mean ± SD)
3-4 years (mean ± SD) 1490.7 ± 355.6 1526.7 ± 244.0 0.85
5-18 years, median (IQR) 2071.2 ± 712.4 2097.1 ± 715.1 0.94
Cardiac index 1959 (586-5817) 1970 (1227-3838) 0.95
0–2 years (mean ± SD)
3-4 years (mean ± SD) 3.56 ± 0.94 3.32 ± 0.27 0,66
5-18 years (mean ± SD) 3.48 ± 0.73 3.00 ± 0.88 0.22
3.39 ± 1.06 3.50 ± 0.69 0.72

Values are presented as mean± standard deviation (SD) or median and interquartile ranges (IQR); SVRI:
SMII: P-value was considered significant if P-value < 0.05.

89
Fluid Resuscitation in DSS Children

4- DISCUSSION and 40 ml/kg (cumulative survival rate


This study aimed to determine the 72.5% vs. 77.6%; P=0.71, respectively)
differences in clinical outcomes and (19); our study showed opposing results.
hemodynamic parameters of children with The mortality rate of fluid-restrictive
dengue shock syndrome post restrictive group was 53% lower than liberal group.
and liberal fluid resuscitation. This study Restricting fluid resuscitation to maximum
revealed that mortality was reduced by 40 ml/kg reduced mortality rate by 12%.
Moreover, massive fluid resuscitation
12% during fluid resuscitation  40 ml/kg
could increase extravascular lung water
BW in dengue shock syndrome patients.
(EVLW) which is the amount of fluid that
Thus, the restrictive group had 53% lower
is accumulated in the interstitial and
mortality compared to the liberal group.
alveolar spaces. Increased EVLW is
There were no differences in length of
always potentially life-threatening, mainly
mechanical ventilation and length of PICU
because it impairs gas exchange and
stay. Additionally, the hemodynamic
reduces lung compliance (20). Previous
parameters (preload, inotropy, afterload,
study also revealed that the initial bolus
and cardiac index) was similar between
infusion of hypertonic sodium lactate
two groups. The clinical presentation of
solution (5ml/kg BW) was as effective as
dengue varies from a nonspecific febrile
the initial bolus infusion of ringer lactate
illness to severe forms, including dengue
(20 ml/kg BW) for the acute shock
shock syndrome, a form of hypovolemic
management in dengue shock syndrome
shock resulting from excessive plasma
(21). For another case such as major
leakage due to a transient increase in
surgery, a restrictive fluid regimen leads to
systemic vascular permeability (9-11).
reduced complications and improved
Several studies have demonstrated a disability-free (22, 23).
greater risk for vascular leakage and
Thus, recognition and early intervention in
development of DSS among children
potentially severe cases represent one of
compared to adults (7, 12-13). The
the principal strategies for reducing case
endothelial glycocalyx layer (EGL) has
fatality (1, 24), in particular, judicious use
been recognized as a key regulator of
of parenteral fluid therapy to counteract
vascular permeability and helps to regulate
plasma leakage (25). Although cardiac
proper vascular function (10). Recently,
manifestations specific to dengue are rare,
one report revealed that a secreted protein
acute reversible myocardial dysfunction is
from dengue virus infected cells, non-
the most commonly documented heart
structural protein 1 (NS1) can trigger
disorder in dengue and myocardial
increased fluid leakage by disrupting the
depression is fairly common in cases with
integrity of EGL (15). Disruption of this
shock (24). Impairment of cardiac function
layer may further edema, inflammation,
in patients with DHF/DSS and the
hypercoagulability, platelet aggregation,
proportion of patients with cardiac
and sepsis syndrome including capillary
dysfunction was larger in patients with
leak (16, 17). Further, other evidence
higher clinical severity of the disease (8,
indicated that over-aggressive fluid
resuscitation in condition with disruption 26, 27). Thus we measured Smith-
Madigan Inotropy Index (SMII) which
of EGL, such as in septic shock, was
represents a new approach to the problem
associated with increased morbidity and
of measuring inotropy degrees quickly and
mortality (18); while previous randomized
accurately (28). We found that the results
clinical trial (RCT) revealed similar
of SMII were similar in both groups
mortality rates in pediatric septic shock
(P=0.07), and lower compared to SMII
who received fluid resuscitation >40 ml/kg

90
Yuliarto et al.

value in normal children (Smith BE). The due to sinus bradycardia (32). In critically
lower value of SMII in both groups ill children, adequate fluid resuscitation is
demonstrated the presence of myocardial a particular challenge for the physician
depression in some children with DSS since fluid hemostasis is maintained in a
even though the cause of cardiac narrow range and physiological
dysfunction in DSS is still unknown (29). compensation of both hypervolemia and
Although fluid administration was aimed hypovolemia is limited (33). SVV is a
at increasing intravascular volume to a reliable predictor in the assessment of fluid
certain extent, and could increase responsiveness in adult patients (34), and it
myocardial muscle fiber resulting in is important to monitor the need for fluid
increased strength of myocardial resuscitation and optimize the number of
contraction (29), another study mentioned preloads in critical children (32). We
that excessive fluid resuscitation could found that SVV in both groups has similar
also cause cardiac dysfunction in patients results (P=0.89), despite difference of fluid
with increased vascular permeability by resuscitation volumes. SVV less than 30%
causing myocardial edema (30). Moreover, was found in both groups which
one study stated that almost 58% of demonstrated patients with DSS had a
children with shock are refractory shock refractory shock condition. These results
that required vasoactive drugs which were consistent with previous study which
indicated a disruption of myocardial showed that most of refractory fluid
function (5). Therefore, our result showed conditions in children were reached after
that inotropy index correlated negatively fluid administration 40 ml/kg BW (5).
with the amount of intravenous fluid
Important changes in blood pressure also
resuscitation (Table.3).
take place during DSS, including enhanced
Because a causal relationship between peripheral vascular resistance with
cardiac dysfunction and the occurrence of diminished cardiac output and normal or
shock cannot be determined from this low central venous pressure (35). Thus we
study, we assumed cardiac dysfunction can measured SVRI which represented the
also be the result of coronary resistance to blood flow offered by all the
hypoperfusion from low cardiac output. systemic vasculature. Our study showed
Thus, we measured cardiac output there was an increased SVRI and similar
component in both groups. The Cardiac results (P=0.94) in both groups compared
Index (CI) is one of the hemodynamic to SVRI value in normal children (31). The
parameters on USCOM examination that elevated SVRI in DSS is likely to be
represents the cardiac output component. affected by contracted intravascular
Despite receiving different amounts of volume. We evaluated the clinical
fluid resuscitation, we found that CI values outcomes after fluid resuscitation in both
were similar (P=0.66), and still within groups and found that the median length of
normal limits in both groups (31). stay in PICU, duration of mechanical
Probably this result was due to ventilation, and fluid excess in both groups
compensation of increased heart rates for had no significant difference (P=0.09,
the poor blood circulation and tend to P=0.68, P=0.83, respectively). These
maintain mean arterial pressure (MAP) in results are likely to be affected by our
DSS patients. CI was also low during the critical care management in DSS children
toxic stage due to decreased preload (low which is based on our hospital protocol. In
end-diastolic volume) and depressed left this study, the use of noninvasive
ventricular ejection fraction. CI also hemodynamic monitoring, the restrictive
remained subnormal during convalescence fluid management, timely use of

91
Fluid Resuscitation in DSS Children

noninvasive mechanical ventilation and and/or management after fluid


early implementation of diuretics and resuscitation using judicious inotropic
inotropic supports were carried out in supports in DSS children is yet to be
patients with DSS. The use of advanced defined and deserves further study.
monitoring technique would be most
4-1. Limitations of the study
useful in this regard, such as USCOM,
since it is a tool for early detection of fluid There are several limitations to this study.
leakage and could help us to adjust fluid First, this study was conducted in a single
administration for children with shock center with different samples and no
condition. Thus, in the restrictive group, matching sampling, which may limit its
we should refrain from giving treatment generalizability. Second, we did not check
intervention outside the guidance provided packed cell count (PCV) before or after
whereby fluid boluses are administered fluid resuscitation as WHO guideline to
only for fluid resuscitation. On the other detect plasma leakage, so we could not
hand, in the fluid liberal group, we use an compare the hemodynamic parameters
advanced monitoring to allow for fluid results in USCOM with PCV.
boluses based on volume responsiveness
and immediately stop giving fluid 5- CONCLUSION
resuscitation when they are in a condition This study revealed that mortality was
of fluid refractory and consider using reduced by 12% during fluid resuscitation
inotropic and/or diuretics supports  40 ml/kg BW in dengue shock syndrome
judiciously. Previous study also suggested patients. Thus, the restrictive group had
that the use of cardiovascular monitoring 53% lower mortality compared to the
and rational use of inotropic support and liberal group. There were no differences in
fluid removal strategies might decrease length of mechanical ventilation and
mortality and incidence of fluid overload length of PICU stay. Additionally, the
in patients with DSS (6). Early diagnosis hemodynamic parameters (preload,
and optimal clinical management reduce inotropy, afterload, and cardiac index)
fatalities in both children and adult patients were similar between two groups.
(36). Current management of dengue
infection does not have any specific 6- CONFLICT OF INTEREST: None.
treatment except cautious monitoring and
appropriate fluid replacement therapy (2). 7- ACKNOWLEDGMENT
Gratitude is addressed to Takhta Khalasha,
Further, the current guidelines for
MD for her help with writing this article.
treatment of DHF published by the WHO
None of the authors have any conflict of
do not mention the treatment after fluid
interest in this study.
resuscitation and the use of invasive or
noninvasive hemodynamic monitoring or
8- REFERENCES
inotropic support in patients with DSS (2).
Although dengue-related shock syndrome 1. World Health Organization.
is primarily due to increased capillary Strengthening implementation of the global
permeability and the consequent strategy for dengue fever and dengue
hypovolemia, persistent hemodynamic hemorrhagic fever, prevention and control.
instability after appropriate volume Report of the informal consultation. Geneva:
expansion requires evaluation and World Health Organization; 1999.
treatment of the associated ventricular 2. World Health Organization.
dysfunction (37). Evaluation of cardiac Comprehensive guidelines for prevention and
dysfunctio using hemodynamic monitoring control of dengue and dengue haemorrhagic

92
Yuliarto et al.

fever revised and expanded edition. New City, Vietnam. Am J Trop Med Hyg.
Delhi: World Health Organization South East 2011;84:127-134.
Asia Regional Office; 2011.
12. Biswas HH, Ortega O, Gordon A,
3. Hadinegoro SR, Moedjianto I, Standish K, Balmaseda A, Kuan G,et al. Early
Chairulfatah A, Alam A, Setiabudi D, Hapsari clinical features of dengue virus infection in
MM, et al. Handbook for diagnosis and nicaraguan children: a longitudinal analysis.
management of dengue virus infection in PloS Negl Trop Dis. 2012;6:e1562.
children. Jakarta: Coordination work unit of
13. Guzman MG, Kouri G. Dengue: an
infection and tropical diseases IDAI; 2014:1-
update. Lancet Infect Dis.2002;2:33-42.
26.
14. Reitsma S, Slaaf DW, Vink H, van
4. Yacoub S, Griffiths A, Chau TT,
Zandvoort MA, oude Egbrink MG. The
Simmons CP, Wills B et al. Cardiac function
endothelial glycocalyx: composition,
in Vietnamese patients with different dengue
functions, and visualization. Pflugers Arch.
severity grades. Crit Care Med. 2012;
2007;454(3):345-59.
40(2):477-83.
15. Puerta-Guardo, Glasner DR, Harris E.
5. Yuliarto S. Hemodynamic parameter
Dengue virus NS1 disrupts the endothelial
changes in pediatric shock after fluid
glycocalyx leading to hyperpermeability. PloS
resuscitation and vasoactive drugs therapy.
Pathog. 2016;12(7):e1005738.
Jakarta: University of Indonesia (thesis); 2014.
16. Chappell D, Westphal M, Jacob M.
6. Ranjit S, Kissoon N, Jayakumar I.
The impact of the glycocalyx on
Aggressive management of dengue shock
microcirculatory oxygen distribution in critical
syndrome may decrease mortality rate: a
illness. Curr Opin Anaesthesiol.
suggested protocol. Pediatr Crit Care Med.
2009;22(2):155-62.
2005;6(4):412-9.
17. Becker BF, Chappell D, Bruegger D,
7. Giraldo D, Sant’Anna C, Perisse AR,
Annecke T, Jacob M. Therapeutic strategies
March Mde F, Souza AP, Mendes A, et al.
targeting the endothelial glycocalyx: acute
Characteristics of children hospitalized with
deficits, but great potential. Cardiovasc Res.
dengue fever in an outbreak in Rio de Janeiro,
2010;87(2):300-10.
Brazil. Trans R Soc Trop Med Hyg.
2011;105:601-3. 18. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM,
Bion J, Margaret M, et al. Surviving Sepsis
8. Pinsky MR, Payen D. Functional
Campaign: International guidelines for
hemodynamic monitoring. Crit Care.
management of severe sepsis and septic shock.
2005;9(6):566-72.
Crit Care Med. 2008;36:296–327.
9. Bunnag T, Kalayanarooj S. Dengue
19. Santhanam I, Sangareddi S,
shock syndrome at the emergency room of
Venkataraman S, Kissoon N,
Queen Sirikit National Institute of Child
Thiruvengadamudayan V, Kasthuri RK. A
Health, Bangkok, Thailand. J Med Assoc Thai
prospective randomized controlled study of
2011;94:S57-S63.
two fluid regimens in the initial management
10. Wills B, Nguyen MD, Ha TL, Dong of septic shock in the emergency department.
THT, Tran TNT, Le TTM, et al. Comparison Pediatr Emerg Care. 2008;24:647-55.
of three fluid solutions for resuscitation in
20. Jozwiak M, Monnet X, Teboul JL.
dengue shock syndrome. N Engl J Med.
Prediction of fluid responsiveness in ventilated
2005;353:877-.89.
patients. Ann Transl Med. 2018;6(18):352.
11. Anders KL, Nguyet NM, Chau NVV,
21. Somasetia DH, Setiati TE, Sjahrodji
Hung NT, Thuy TT, Lien LB,et al.
AM, Idjradinata PS, Setiabudi D, Roth H.
Epidemiological factors associated with
Early resuscitation of dengue shock syndrome
dengue shock syndrome and mortality in
in children with hyperosmolar sodium-lactate:
hospitalized dengue patients in Ho Chi Minh
a randomized single-blind clinical trial of

93
Fluid Resuscitation in DSS Children

efficacy and safety. Critical Care. depression in dengue hemorrhagic fever:


2014;18:466. prevalence and clinical description. Pediatr
Crit Care Med. 2007; 8(6): 524-9.
22. Myles P, Bellomo R, Corcoran T,
Forbes A, Peyton P, Story C, et al. Restrictive 30. Aggarwal A, Chandra J, Aneja S,
versus liberal fluid therapy for major Patwari AK, Dutta AK. An epidemic of
abdominal surgery. N Eng J Med. dengue hemorrhagic fever and dengue shock
2018;378:2263-74. syndrome in children in Delhi. Indian Pediatr.
1998;35:727-32.
23. Myles P, Bellomo R, Corcoran T,
Forbes A, Wallace S, Peyton P, et al. 31. Cattermole GN, Leung PY, Ho GY,
Restrictive versus liberal fluid therapy in Lau PW, Chan CP, Chan SS, et al. The normal
major abdominal surgery (RELIEF): rationale ranges of cardiovascular parameters measured
and design for a multicentre randomised trial. using the ultrasonic cardiac output monitor.
BMJ Open. 2017;7:e015358. Physiol Rep. 2017;5(6):e13195.
24. Bhatt S,Gething PW,Brady OJ, 32. Khongphatthanayothin A,
Messina JP, Farlow AW, Moyes CL, et al. The Suesaowalak M, Muangmingsook S,
global distribution and burden of dengue. Bhattarakosol P, Pancharoen C. Hemodynamic
Nature. 2013;496:504-7. profiles of patients with dengue hemorrhagic
fever during toxic stage: an echocardiographic
25. Lam PK, Hoai Tam DT, Dung NM,
study. Intensive Care Med. 2003;29(4):570-4.
Hanh Tien NT, Thanh Kieu NT, Simmons C,
et al. A prognostic model for development of 33. Yi L, Liu Z, Qiao L, Wan C, Mu D.
profound shock among children presenting Does stroke volume variation predict fluid
with dengue shock syndrome. PloS ONE. responsiveness in children: a systematic
2015;10(5): e0126134. review and meta-analysis. PLoS ONE.
2017;12(5):e0177590.
26. Yacoub S, Griffiths A, Chau TT,
Simmons CP, Wills B et al. Cardiac function 34. Marik PE, Cavalazzi R, Vasu T,
in Vietnamese patients with different dengue Hirani A. Dynamic changes in arterial
severity grades. Crit Care Med. 2012; waveform derived variables and fluid
40(2):477-83. responsiveness in mechanically ventilated
patients. A systematic review of the literature.
27. Nhan NT, Cao XT, Kneen R, Wills B,
Crit Care Med. 2009;37(9):2642-47.
Nguyen TQ, Chu VT, et al. Acute
Management of Dengue Shock Syndrome: A 35. Halstead SB. Dengue. Lancet.
Randomized Double-Blind Comparasion of 4 2007;370:1644-52.
Intravenous Fluid Regimens in the First Hour.
36. Kittigul L, Pitakarnjanakul P, Sujirarat
Clin Infect Dis. 2012; 32(2): 204-13.
D, Siripanichgon K. The 10 differences of
28. Smith BE, Madigan VM (2013) Non- clinical manifestations and laboratory findings
invasive method for rapid bedside estimation in children and adults with dengue virus
of inotropy: theory and preliminary clinical infection. J Clin Virol, 2007;39(2):76-81.
validation. Br J Anaesth. 2013;111(4)580-8.
37. Kakihana Y, Ito T, Nakahara M,
29. Khongphatthanayothin A, Yamaguchi K, Yasuda T. Sepsis-induced
Lertsapcharoen P, Supachokchaiwattana P, La- myocardial dysfunction: pathophysiology and
Orkhun V, Khumtonvong management. Jounal of Intensive Care.
A, Boonlarptaveechoke C, et al. Myocardial 2016;4:22.

94
http://www.pediatriconcall.com

ORIGINAL ARTICLE
FLUID REPLACEMENT IN CHILDREN WITH DENGUE AND FACTORS ASSOCIATED WITH PULMONARY
EDEMA

Amit Dey, Harshal Dhabe, Ira Shah

Abstract may go into fluid overload during convalescent phase of


Objective: To determine fluid replacement and factors illness due to absorption of extravasated plasma from
associated with pulmonary edema in children with the interstitial compartment. (2) We undertook this
dengue hemorrhagic fever/dengue shock syndrome study to determine the optimum fluid requirement in
(DHF/DSS). children with dengue and also to determine the factors
Methods: This study was conducted over a period associated with fluid overload state.
of 1 month in 32 children with DHF/DSS and a
positive Dengue IgM capture ELISA. Intravenous Methods & Materials
(IV) fluid therapy was indicated when patient This prospective study was done over a period
had hemoconcentration, poor capillary refill time, of 1 month in August 2007. Thirty-two children who
decreased urine output and/or hypotension or when presented with either DHF or DSS were included
child was unable to take orally. Fluids were adjusted in the study. A thorough clinical examination and
according to the clinical condition, urine output and detailed history was taken in each child. Each child was
hematocrit. Statistical analysis was done to determine, confirmed to have dengue by a positive dengue IgM
complications of fluid therapy and factors associated capture Elisa test. Those patients with negative dengue
with pulmonary edema. IgM tests were excluded from the study. On admission,
Results: Mean age at presentation was 6 years a venous blood sample was obtained for complete
with male:female ratio of 1:1. Fluids were given for blood count, hematocrit, liver transaminases, renal
an average of 52.1±34.6 hours in 30 patients. Two function tests, coagulation profile. Chest radiograph,
children did not require IV fluids as oral intake was echocardiography and tests for other infections such
satisfactory. Average fluids given were 2893.8±2838.2 as Leptospira IgM, Optimal for malaria, blood culture
ml with median of 1975 cc. Total fluids per kilogram of were done as and when required. Intravenous fluids
body weight were 143.7cc/kg±103.5 cc/kg. The urine were indicated when the patient had one or more of
output on Day1 of hospitalization was 2±0.7cc/kg/ the signs/symptoms: hemoconcentration, hypotension,
hour which increased to 4.9±1.9cc/kg/hour. Pulmonary oliguria or poor capillary refill time. Normal saline was
edema was seen in 9 children (28%) and was related started at a rate of 4ml/kg/hour and then adjusted
to more hours of intravenous fluids (82±41.4 hours accordingly to pulse, urine output, capillary refill
Vs 39.3± 22hours; p=0.0009), more quantity of fluid time and blood pressure. The goal of the IV fluid was
(4649.7cc±3775.3cc Vs 2206.7±2100.7cc; p=0.06). to maintain the blood pressure at the lower normal
All children with pulmonary edema had shock initially range, urine output between 1-1.5ml/kg/hour and
(p=0.0018). However there was no difference in time a normal capillary refill time. For patients with DSS,
interval to recovery in children with/without pulmonary initial bolus of ringer lactate (RL) at 20ml/kg over 1
edema (p=0.134). Two children had acute respiratory hour was followed by a fluid rate of 10ml/kg/hour which
distress syndrome (ARDS) which was not related to was then adjusted as per the above criteria. A blood
fluids, pulmonary edema and shock. Thirty one (97%) transfusion was indicated only in patients with severe
children recovered with average recovery time of bleeding. Intravenous fluids were stopped when the
5.8±3.5 days and 1(3%) died. patient’s condition was stable for more than 24 hours
Conclusion: Longer duration of fluid therapy and or there was any sign/symptom of fluid overload.
larger quantity of fluids can lead to pulmonary edema. For those who developed fluid overload, furosemide
Pulmonary edema is seen in patients with DSS. Thus was given at 0.5-1mg/kg/dose. Frequency and urine
judicious management of fluids and DSS is required to output volume was recorded every 4 hours. A fluid
minimize complications of fluid overload states. balance sheet was also used to record the type, rate
and quantity of fluid administered and to calculate the
Introduction amount of intravenous fluid (IVF) per kg body weight
Volume replacement is the mainstay for treatment per 24 hours.
of dengue hemorrhagic fever (DHF) and dengue shock
syndrome (DSS). (1) World Health Organization (WHO) Statistical analysis: The outcome measures were the
guidelines for volume replacement are based on total volume of intravenous fluids infused; duration
studies of DHF/DSS in children and early and effective of intravenous fluid therapy, development of any
replacement of plasma loss with crystalloid, colloidal complications related to fluid therapy. The outcome
solutions results in favorable outcome in most patients. measures were analyzed for associated factors such
(1) However volume replacement in children with as gender, biochemical parameters, complications
dengue is a challenging management problem with such as acute respiratory distress syndrome (ARDS),
very few published studies on the same (2) with no pulmonary edema and shock using t test and chi square
large studies to determine the optimal fluid regimen test. A p value of <0.05 was considered statistically
though there have been studies that have compared significant.
use of crystalloid and colloids as replacement fluids.
(3,4) Maintenance of perfusion to vital organs remains Results
the objective behind volume replacement, however risk Clinical and laboratory findings are shown in Table
of fluid overload always remains. About 8% of patients 1. The mean age of patients was 6.1+3.9 years

95
http://www.pediatriconcall.com

Table 1a: Clinical and laboratory findings of children with DHF/DSS

Parameter Mean + SD
Fever (days) 7.7 + 4.9
Platelets (cells/cumm) 105100 + 75600
SGOT (IU/L) 182.6 + 278.3
SGPT (IU/L) 84.9 + 121.4
PTT (sec) 46.5 + 27.1
PT (sec) 15.4 + 3.0
Packed cell volume 34.5 + 7.2
Hemoglobin (gm/dl) 10.9 + 2.5
White cell count (cells/cumm) 7830 + 4310
Table 1b: Clinical and laboratory findings of children with DHF/DSS
Parameter N (%)
Fever (days) 32 (100%)
Thrombocytopenia 25 (78.1%)
Elevated SGOT 26 (81.5%)
Elevated SGPT 24 (75%)
Prolonged PTT 21 (65.6%)
Prolonged PT 18 (56.5%)
Hypotension 18 (56.5%)
Hemoconcentration 14 (43.7%)
Rash 8 (25%)
Malena 10 (31.3%)
Leucopenia 6 (18.8%)
Leucocytosis 5 (15.6%)
Table 2: Clinical and Laboratory parameters with fluid therapy
Factors N Fluid (hours) P value Fluids (cc/kg) P value
Sex

Male 16 58.4 + 44.2 0.53 149.5 + 129.5 0.75


Female 16 48.4 + 24.4 138 + 72.9
Location

Central Mumbai 14 57.9 + 40.9 0.4 178.5 + 103.3 0.36

Central suburbs 5 45 + 15.1 118 + 86.6

Western Mumbai 11 54.6 + 30.5 125 + 109.2

Outstation 2 14 + 19.8 68.5 + 96.8


Rash 8 65.8 + 54.3 0.19 184 + 124.3 0.21
Malena 10 61 + 49.4 0.33 157 + 129 0.63
Thrombocytopenia 24 54.7 + 36.2 0.43 158.6 + 99.5 0.12
Leucopenia 6 68 + 53.3 0.21 197.3 + 124.4 0.16
Leucocytosis 4 50.5 + 24.8 0.92 74.2 + 79.2 0.1
Hemoconcentration 14 64.3 + 42.3 0.09 180.4 + 113 0.09

96
http://www.pediatriconcall.com

with median of 7 years and range of 9 months to older children with grade IV disease. (2) There has
12 years. Male: female ratio was 16:16. Fourteen been much debate about the optimal means of fluid
children (43.8%) were located from Central Mumbai, replacement in a number of diverse conditions, but
11 (34.4%) were from western suburbs, 5 (15.6%) there are no specified recommendations as such. (8)
were from central suburbs and 2 (6.2%) were from In several studies of patients with DSS, hemodynamic
out station. Two (6.2%) patients had co-infection with profile is stabilized faster with colloids than compared
malaria (one each had vivax and falciparum malaria) to crystalloids, Also they require less resuscitation
whereas 1 (3.1%) was co-infected with leptospirosis. volumes than crystalloids. Also crystalloids have
Thirty (93.8%) required IVF therapy whereas 2 shown an increase incidence of acute respiratory
patients improved with oral intake of fluids. Twelve distress syndrome .because they have a considerable
patients (37.5%) required RL boluses. The mean shorter intravascular resistance time than colloids and
fluids given were 143.7+103.5cc/kg with median of may precipitate pulmonary edema if the pulmonary
136.5cc/kg. Total duration of fluids required were microcirculation is also affected by systemic increase
for 52.1+34.6 hours with median of 48 hours. Urine in capillary permeability. (9) Conversely there are
output at start of fluid therapy was 2+0.7cc/kg/hour also reports of increased mortality associated with
which increased to 4.9+1.9cc/kg/hour on recovery. usage of colloids (10) and vice versa. (11) There
Seven (21.9%) patients required ionotropes whereas have been several autopsy cases of fatal dengue
6 (18.8%) patients required plasma transfusion and where pulmonary edema has been seen following
5 (15.6%) patients each required blood and platelet excessive fluid resuscitation. (12) The cause of acute
transfusion. Thirty one (97%) patients recovered with respiratory failure in DHF patients is usually caused
average recovery time of 5.8+3.5 days and one patient by the administration of intravenous fluids too rapidly
(3%) died. Two patients (6.2%) each had ARDS and or for too long a period. Lum et al described acute
renal failure. Pulmonary edema was seen in 9 (28%) respiratory distress syndrome in three patients with
patients. DHF with prolonged shock and tissue hypoxia when
Factors affecting fluid therapy duration and volume crystalloids were administered too rapidly. (13)
are depicted in Table 2. There was no difference in fluid Colloids have a longer intravascular residence time
therapy per gender, location of residence, clinical and than the crystalloids, and by increasing the colloid
laboratory parameters. Patients with shock required osmotic pressure, they may draw extravasated fluid
more fluids as compared to those without shock back into the intravascular compartment. It has been
(201.9+95cc/kg vs. 68.9+54.9cc/kg; p <0.0001) and estimated that 2–4 times the volume of crystalloids
those with pulmonary edema also received more total may need to be infused to achieve the same degree
fluids as compared to those without pulmonary edema of resuscitation as in colloids. (14) However, in DSS
(4649.7+3775.3 cc vs. 2206.7+2100.7 cc; p=0.026). the extra volume of crystalloid required to achieve
Patients with pulmonary edema also received longer adequate cardiovascular stability may exacerbate
duration of fluids (82+41.4 hours vs. 39.3+22 hours; the ongoing fluid leakage and precipitate pulmonary
p=0.0009) and those with shock also received longer edema. Although DHF in infants comprise less than
duration of fluids (67.9+33.8 hours vs. 28.5+19.7 5% of all cases still mortality is more in infants
hours; p=0.0011). Fluid therapy volume (p=0.63) compared to others. (15) The management of DSS
and duration (p=0.06) had no relation with ARDS. is a balancing act between adequate resuscitation
Pulmonary edema was seen in 9 out of 18 patients and overzealous replacement, often in circumstances
(50%) with shock (p=0.002) and all these patients where full monitoring cannot be done. (5) The present
received fluids for more than 48 hours (p=0.03). study emphasizes that intravenous fluids must be
However in patients with pulmonary edema, there was administered with special care to avoid fluid overload
no difference in number of days to recovery (7.4+5.3 and thus pulmonary edema. This involves following
days, p=0.134). established procedures for use of colloidal solutions
and blood transfusions. Special emphasis needs to be
Discussion given to infants with DHF/DSS who have developed
About 25 years ago, treatment of dengue with severe complications like pulmonary edema.
intravenous fluid replacement led to decrease in
mortality from 20% to 2%. (5) In 1974, WHO Funding : None
recommended ringers lactate or isotonic saline Conflict of Interest : None
solution for quick infusion and colloids 10-20 ml/kg/h
to be substituted only in cases of profound shock.
(6) Nimmanitya et al reported 487 cases of dengue References :
1. World Health Organization (WHO). Dengue and dengue
shock syndrome out of which 61% were successfully
hemorrhagic fever. Prevention and Control. Fact Sheet
treated with crystalloids (ringers lactate/acetate), 22% 117. 2nd Edition. Geneva. WHO Press. 1997
with colloids (dextran 40%) and 15% required blood 2. Nguyen TH, Nguyen TL, Lei HY, Lin YS, Le BL, Huang KJ,
transfusion. (7) Lin CF, et al. Volume replacement in infants with dengue
In management of patients with DSS, it is difficult to hemorrhagic fever/dengue shock syndrome. Am J Trop
correct hypovolemia rapidly without volume overload. Med Hyg. 2006; 74: 684-91.
All infants must be treated as high-risk patients 3. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le TT, et
who require early intervention with colloids, as in

97
al. Comparison of three fluid solutions for substitutes in critically ill in-patients with
resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl various etiologies of haemo-dynamic instability.
J Med. 2005; 353: Int J Intensive Care 1998; 5:8 –14.
877-89. 12. Bhamarapravati H, Tuchinda P,
4. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Boonyapaknavik V.
Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue Pathology of Thailand hemorrhagic fever: a study
shock syndrome: a randomized double blind of 100 autopsy cases. Ann Trop Med Parasitol
comparison of 4 intravenous fluid regimens in the 1967;61:500 –10.
first hour. Clin Infect Dis. 2001; 32: 13. Lum LCS, Thong MK, Cheak YK, Lam SK.
204-13. Dengue associated with adult respiratory distress
5. Dung NM, Day NPJ, Tam DTH, Loan HT, Chau syndrome. Ann Trop Pediatr. 1995; 15: 335–
HTT, Minh LN, et al. Fluid Replacement in 339.20.
Dengue Shock Syndrome: A Randomized, 14. Skowronski GA. Hypovolaemic shock. In: Oh TE,
Double-Blind Comparison of Four Intravenous- ed.
Fluid Regimens. Clin Infect Dis. (1999) Intensive care manual. 3rd ed. London:
29 (4): 787-794. Butterworths,
6. World Health Organization. Technical Advisory 1990:371– 4.
Committee. 15. Hung NT, Lei HY, Lan NT, Lin YS, Huang KJ, Lien LB,
Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, et al.
treatment, prevention, and control. Geneva. Dengue hemorrhagic fever in infants, a study of
1997. clinical and cytokine profiles. J Infect Dis.2004;
7. Nimmannitya S. Clinical spectrum and 189:221–232.
management of dengue hemorrhagic fever.
Southeast Asian J Trop Med Public Health.
1987;18: 392–397.
8. Haupt MT, Rackow EC. Colloid osmotic pressure
From: Department of Pediatrics, B.J.Wadia
and fluid resuscitation with hexastarch, albumin, Hospital for Children, Mumbai, India.
and saline. Crit Care Med 1982;10:159–62.
9. Modig J. Effectiveness of dextran 70 versus Address for Correspondence: Dr Ira
Ringer’s lactate in traumatic shock and adult Shah, 1/B Saguna, 271/B St Francis Road,
respiratory syndrome. Crit Care Med Vile
1986;14:454 –7.
Parle (W), Mumbai 400056, India.
10. Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers.
Human albumin administration in critically ill
patients: systematic review of randomized
Email : irashah@pediatriconcall.com
trials.BMJ 1998;317:235–9.
11. Hankeln KB, Beez M. Hemodynamic and oxygen DOI : 10.7199/ped.oncall.2017.45
transport correlate of various volume

98

Anda mungkin juga menyukai