Anda di halaman 1dari 113

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

LITERATUR REVIEW ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN CEDERA KEPALA BERAT

KARYA TULIS ILMIAH

LIWA UNNASARI
NIM: 183110259

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN PADANG


JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

LITERATUR REVIEW ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN CEDERA KEPALA BERAT

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai Persyaratan untuk memperoleh gelar Ahli Madya


Keperawatan di Pendidikan Diploma III Politeknik
Kesehatan KemenkesPadang

LIWA UNNASARI
NIM: 183110259

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN PADANG


JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan
judul “Literatur Review Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera
Kepala Berat”.Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Diploma III pada Program
Studi D-III Keperawatan Padang, Poltekkes Kemenkes Padang.Peneliti menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ns.
Netti, S. Kep, M.Pd, M.Kep selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Zolla Amely Ilda,
S.Kep, M.Kep selaku pembimbing II yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran untuk mengarahkan peneliti dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada ,Yth:

1. Bapak Dr. Burhan Muslim, SKM, M.Si selaku Direktur Politeknik


Kementrian Kesehatan Padang.
2. Ibu Ns. Sila Dewi Anggreni, S.Pd, M.Kep, Sp.KMB selaku Ketua Jurusan
Keperawatan Padang Politeknik Kementrian Kesehatan Padang, sekaligus
sebagai Penguji II.
3. Ibu Heppi Sasmita, M. Kep, Sp. Jiwa selaku Ketua Program Studi D-III
Keperawatan Padang Politeknik Kementrian Kesehatan Padang.
4. Ibu Ns. Hj. Defia Roza, M.Biomed selaku penguji I, sekaligus sebagai
pembimbing akademik.
5. Bapak Zukifli H, SKM, M.Si selaku Kepala Unit Pustaka Terpadu.
6. Bapak Ibu dosen serta staf yang telah membimbing dan membantu selama
perkuliahan di Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Padang.
Akhir kata, peneliti berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
Padang, 14 Juni 2021

Peneliti

i Poltekkes Kemenkes Padang


Kata Mutiara

Terima kasih saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah melancarkan segala
urusan saya dari awal kuliah sampai akhir serta kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW. Terima kasih kepada yang teristimewa Orang Tua saya yang
telah mendukung serta member semua kebutuhan saya. Terima kasih untuk abang,
uni, dan uyun selalu menjadi tempat berkeluh kesah, memberi semangat,
membantu dan menemani selama kuliah. Terima kasih yang tak terhingga kepada
ibu pembimbing saya, bu net dan bu ana yang telah membantu dan memberi ilmu
serta mengarahkan untuk saya menyelesaikan KTI saya. Juga terima kasih untuk
diri saya sendiri. Terima kasih sudah kuat, sudah berhasil menyelesaikan kuliah
dengan nilai yang cukup memuaskan, bisa setara dengan kakak-kakak yang lain,
terima kasih sudah melalui semua ini dengan sabar. Terima kasih untuk teman-
teman seperjuangan yang sama-sama berjuang dari awal kuliah hingga akhir. Dan
yang terakhir, terima kasih untuk orang-orang yang bahkan mereka tidak kenal
saya, tapi secara tidak langsung memberi saya semangat dalam menyelesaikan
kuliah saya, yaitu Vachirawit Chiva-are, Metawin Opas Iam-Kajorn, Lee Jeno, Na
Jaemin, Huang Renjun, Lee Donghyuck, Mark Lee, Zhong Chenle, Park Jisung,
Oh Sehun dan member exo lainnya.

Alhamdulillah.

ii Poltekkes Kemenkes Padang


iii Poltekkes Kemenkes Padang
iv Poltekkes Kemenkes Padang
v Poltekkes Kemenkes Padang
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Liwa Unnasari


Tempat/ tanggal lahir : Padang/ 22 Agustus 2000

Agama : Islam
Status : Belum Kawin
Alamat : Komplek Karya REI Sejahtera Blok C no. 33 Kelurahan
Korong Gadang Kecamatan Kuranji
Nama Orang Tua

Ayah : Apen
Ibu : Yulimarni
Riwayat Pendidikan

Pendidikan Tahun
TK Kasih Ibu 2005-2006
SDN 48 Kuranji 2006-2012
SMP 10 Padang 2012-2015
SMA 9 Padang 2015-2018
Poltekkes Kemenkes Padang 2018-2021

vi Poltekkes Kemenkes Padang


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN PADANG

Karya Tulis Ilmiah, Juni 2021


Liwa Unnasari

Literatur Review Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat

Isi: xi + 95 halaman + 3 Tabel + 5 Lampiran

ABSTRAK

Menurut Nasional Data and Statistic Center (Amerika) per bulan Maret tahun
2020, terdapat kejadian cedera kepala sebanyak 18,126 kasus.Angka kematian
akibat cedera kepala terjadi sebanyak 50.000 kasus per 100.000
penduduk.Riskesdas (2018), proporsi cedera kepala di Indonesia terjadi sebanyak
11,9 %. Sumatera Barat berada di posisi ke delapan dengan persentase kurang
lebih 14 %.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui analisis asuhan keperawatan
pada pasien cedera kepala berat.

Metode penelitian adalah deskriptif dalam bentuk literature review dengan


pendekatan analisis kasus. Penelitian dilakukan dari Desember 2020- Juni
2021.Populasi adalah KTI dengan judul asuhan keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala dengan kasus cedera kepala berat5 buah.Sampel sebanyak 3 KTI
yang diambil dengan cara purposive sampling.

Hasil penelitian didapatkan pada keluhan utama yaitu penurunan kesadaran,


muntah darah, perdarahan telinga dan hidung dengan diagnosa keperawatan
ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif, ketidakefektifan bersihan
jalan napas, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak, hipertermi, penurunan
kapasitas adaptif intrakranial, perfusi perifer tidak efektif, dan.Intervensi yang
dilakukan antara lain terapi oksigen, monitor status pernapasan,manajemen jalan
napas, penghisapan lendir pada jalan napas,manajemen syok, monitor peningkatan
TIK, manajemen demam, manajemen edema serebral, peningkatan perfusi
serebral, perawatan sirkulasi, manajemen asam basa. Masalah keperawatan yang
teratasi yaitu perfusi perifer tidak efektif.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan bahan
untuk penulisan selanjutnya tentang cedera kepala berat.

Kata Kunci: Asuhan keperawatan, cedera kepala.


Daftar Pustaka: 34 (2010-2020)

vii Poltekkes Kemenkes Padang


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


PERNYATAAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
LEMBARAN PERSETUJUAN .......................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
BAB I .......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................5
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................................5
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................5
BAB II .....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................6
A. Konsep Cedera Kepala ..................................................................................6
1. Definisi ......................................................................................................6
2. Etiologi ......................................................................................................6
3. Klasifikasi ..................................................................................................8
4. Manifestasi Klinis ....................................................................................11
5. Patofisiologi .............................................................................................13
6. WOC ........................................................................................................16
7. Komplikasi ..............................................................................................17
8. Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................19
9. Penatalaksanaan Medis ............................................................................21
B. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala.............................................23
1. Pengkajian Keperawatan .........................................................................23
2. Diagnosa Keperawatan ............................................................................32
3. Intervensi Keperawatan ...........................................................................33

viii Poltekkes Kemenkes Padang


4. Implementasi Keperawatan .....................................................................40
5. Evaluasi Keperawatan .............................................................................40
BAB III ..................................................................................................................41
METODE PENELITIAN ....................................................................................41
A. Desain Penelitian .........................................................................................41
B. Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................................41
C. Populasi dan Sampel ...................................................................................41
D. Analisis........................................................................................................42
BAB IV ..................................................................................................................43
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................43
A. Hasil Kajian .................................................................................................43
B. Pembahasan .................................................................................................59
BAB V....................................................................................................................93
PENUTUP .............................................................................................................93
A. Kesimpulan .................................................................................................93
B. Saran............................................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................95
LAMPIRAN ..........................................................................................................98

ix Poltekkes Kemenkes Padang


DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penilaian GCS ……………………………………………………….. 27
Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan ……………………………………………... 33
Tabel 4.1 Hasil Kajian …………………………………………………………. 43

x Poltekkes Kemenkes Padang


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Ganchart
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Proposal Karya Tulis Pembimbing 1
Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Proposal Karya Tulis Pembimbing 2
Lampiran 4 : Lembar Konsultasi Karya Tulis Pembimbing 1
Lampiran 5 : Lembar Konsultasi Karya Tulis Pembimbing 2

xi Poltekkes Kemenkes Padang


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan terjadinya gangguan traumatik dari fungsi otakyang


disertai atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Price Sylvia A. & Lorraine, 2016). Trauma kepala
adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsungpada
kepala(Purwanto.H, 2016).

Secara umum cedera kepala diklasifikasikan menurut skala Gasglow Coma Scale
(GCS) dikelompokkan menjadi tiga : (1) Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
dapat terjadinya kehilangan kesadaran atau amnesia selama kurang dari 30 menit,
tidak ada kontusio tengkorak, tidak adanya fraktur serebral, hematoma (2) Cedera
Kepala Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30
menit namun kurang dari waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur
tengkorak, (3) Cedera Kepala Berat (GCS 3-8) dapat kehilangan kesadaran dan
atau terjadi amnesia apabila lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma intrakranial (Hardhi & Amin, 2016).

Cedera Kepala Berat merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan


kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia >24 jam (Haddad,
2012). Cedera kepala berat yaitu pasien dengan GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran
dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga meliputi kontusio serebral,
laserasi, atau hematoma intrakranial.(Purwanto.H, 2016).

Penyebab utama terjadinya trauma kepala berat menurut (Bararah dan Jauhar,
2013) adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan terjadinya kekerasan.Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab eksternal pada cedera kepala terbanyak di antara
kedua penyebab lainnya, dan dua kali lebih banyak terjadi pada pria dari pada
wanita.(Rawis et al., 2016)

1 Poltekkes Kemenkes Padang


2

Manifestasi cedera kepala berat yaitu terdapat hematoma, sukar untuk


dibangunkan, bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari
hidung dan telinga bila fraktur tulang temporal.(Purwanto.H, 2016). Menurut
(Kristanty Paula, 2014), cedera kepala berat mempunyai gejala yaitu nilai GCS 3-
8, kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari, terdapat cedera
sekunder kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan dan atau hematoma intrakranial.

Cedera kepala memiliki dampak yang serius pada kesehatan negara, sekitar 1,4
juta orang di Inggris mengalami cedera kepala setiap tahun dan mengakibatkan
hampir 150.000 penderita masuk kerumah sakit per tahunnya. Dari
jumlahtersebut, kira-kira 3.500 pasien memerlukan perawatan intensif di ruangan
ICU.Dari keseluruhannya, mortalitascedera kepala berat yaitu cedera
kepaladengan GCS 8adalah 23%.(Rawis et al., 2016).Hasil Penelitianyang
dilakukan oleh Rawis, dkkangka mortalitas tertinggi adapada cedera kepala berat,
danpasien meninggal dunia paling banyak setelah > 48 jam di ICU dan HCU.

Komplikasi cedera kepala antara lain demam, menggigil, kejang, hidrosepalus,


mudah lelah, mudah tersinggung, sensitif, gangguan kognitif, konsentrasi, tingkah
laku, emosi, daya ingat, kecepatan berpikir menurun, kelumpuhan dan bahkan
menyebabkan kematian(Dito & Fritz, 2014).Menurut(Mahadewa, 2017),
komplikasi cedera kepala antara lain geger otal, hematoma subdural dan epidural,
kejang, infeksi, hidrosefalus, kerusakan system saraf dan kerusakan pembuluh
darah otak.

Menurut Nasional Data and Statistic Center (Amerika) per bulan Maret tahun
2020, terdapat kejadian cedera kepala sebanyak 18,126 kasus.Angka kematian
akibat cedera kepala terjadi sebanyak 50.000 kasus per 100.000
penduduk.Kematian akibat cedera kepala ini mempunyai persentase 34% dari
semua kematian akibat cedera (CDC, 2014).

Kematian akibat cedera lalu lintas di jalan raya lebih tinggi 2,6 kali di negara-
negara pendapatan rendah (24,1 per 100.000 penduduk) dari pada negara

Poltekkes Kemenkes Padang


3

berpenghasilan tinggi (9,2 kematian per 100.000 penduduk). Kecelakaan dijalan


menempati posisi kedelapan dari sepuluh kasus terbanyak penyebab kematian di
seluruh dunia dan terus mengalami kenaikan (WHO, 2020)

Angka kematian tertinggi yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di seluruh
dunia terjadi di Liberia sebanyak 35,9 per 100.000 penduduk, kemudian diikuti
oleh Saint Lucia sebanyak 35,4 per 100.000 penduduk, lalu peringkat ketiga
terjadi di Burundi sebanyak 34,7 per 100.000 penduduk. Sementara Indonesia
menempati sebanyak 12,2 per 100.000 penduduk(WHO, 2020).

Angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam rentang 2017-2019 mengalami


kenaikan.Pada tahun 2017 sebanyak 104.327 kasus. Dan tahun 2018 sebanyak
109.215 kasus, sedangkan pada tahun 2019 sebanyak 116.411 kasus, dengan
diikuti penurunanjumlah korban meninggal pada tahun 2017 sebanyak 30.694
orang, dan tahun 2018 sebanyak 29.472 orang, serta tahun 2019 sebanyak 25.671
orang. (Badan Pusat Statistik, 2020).Berdasarkan Hasil Riskesdas pada tahun
2018, proporsi Cedera Kepala di Indonesia terjadi sebanyak 11,9 %. Menurut
provinsi, Gorontalo menjadi Provinsi diurutan pertama dengan 17,9 % kejadian
dan yang terendah yaitu Kalimantan Selatan dengan 8,6 %. Sedangkan Sumatera
Barat berada di posisi ke delapan dengan persentase kurang lebih 14
%.(Riskesdas, 2018).

Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr. M. Djamil Padang, pasien yang masuk
dengan cedera kepala pada tahun 2018 sebanyak 431 orang. Pada 2 tahun terakhir
mengalami penurunan dengan jumlah pada tahun 2019 sebanyak 253 orang dan
tahun 2020 sebanyak 168 orang. (Rekam Medis RSUP DR M. Djamil Padang,
2021).

Peran perawat dalam kasus cedera kepala berat adalah memberikan asuhan
keperawatan secara menyeluruh bagi penderita Cedera Kepala Berat dimulai dari
tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif. Asuhan keperawatan
merupakan suatu tindakan atau proses dalam praktik keperawatan yang diberikan

Poltekkes Kemenkes Padang


4

secara langsung kepada pasien untuk memenuhi kebutuhan objektif pasien,


sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapinya dan asuhan
keperawatan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu keperawatan. Asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera kepala tidak berbeda dengan asuhan
keperawatan pada kasus lain, yaitu mulai dari tahapan pengkajian sampai dengan
tahapan evaluasi(Sumirah, 2016). Pada tahapan pengkajian, hal perlu dikaji yaitu
identitas klien, mengkaji riwayat kesehatan, dan data fisik. Pada pemeriksaan data
fisik kita akan mengkaji tentang tingkat kesadaran, pemeriksaan persarafan,
sirkulasi dan kenyamanan nyeri(Bararah et al., 2013).

Berdasarkan survey awal di Repository Poltekkes Padang, ditemukan 3 KTI


dengan judul yang sesuai dengan kriteria peneliti. Diagnosa yang paling sering
muncul pada pasien dengan cedera kepala berat adalah ketidakefektifan bersihan
jalan napas, ketidakefektifan pola napas, resiko ketidakefektifan perfusi jaringan
otak dan hipertermi.Evaluasi pada hari ke 5 biasanya didapatkan hasil yaitu
diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan napas, ketidakefektifan pola napas, dan
resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak teratasi sebagian.Lalu untuk diagnosa
hipertermia biasanya teratasi pada hari ke-2.

Menurut penelitianchristanto et al., 2015, penatalaksanaan pada pasien cedera


kepala berat di Unit Gawat Darurat yaitu sebelum dilakukan intubasi pasien
diberikan terapi oksigen dengan sungkup, dipasang neck collar, posisi sedikit head
up, infus ringerfundin 100 cc/jam, serta dimonitor ketat tanda-tanda vital. Pasien
dilakukan intubasi dengan immobilisasi inline serta tekanan krikoid untuk
mengantisipasi cedera leher dan mencegah aspirasi.

Berdasarkan uraian latar belakang dan fenomena diatas, peneliti telah melakukan
Literatur Review Karya Tulis IlmiahAsuhan Keperawatan pada Pasien Cedera
Kepala Berat.

Poltekkes Kemenkes Padang


5

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari latar belakang diatas adalah “Bagaimana analisis Asuhan
Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala Berat?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera
Kepala Berat.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat menganalisis dari hasil pengkajian pada pasien
dengan cedera kepala berat.
b. Mahasiswa dapat menganalisis dari rumusan diagnosis keperawatan
pada pasien dengancedera kepala berat.
c. Mahasiswa dapat menganalisis dari rencana keparawatan pada pasien
dengan cedera kepala berat.
d. Mahasiswa dapat menganalisis dari tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala berat.
e. Mahasiswa dapat menganalisis dari evaluasi dari tindakan
keperawatan pada pasien dengancedera kepala berat.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengalaman nyata bagi peneliti dalam melakukan penelitian tentang
literatur review asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
berat.
2. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes RI Padang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan bacaan
bagi mahasiswa prodi D-III Keperawatan Padang dan berguna sebagai
pedoman bagi peneliti dalam penelitian selanjutnya tentang literatur
review asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat.

Poltekkes Kemenkes Padang


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan
yang disebabkan karena gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2011). Cedera
kepala adalah terjadinya luka pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
dapat mengakibatkan geger otak sampai kematian(Brunner & Suddarth,
2017).

Cedera kepala adalah gangguan traumatik pada kepala ataupun fungsi


otak yang disertai atau tanpa adanya perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak akibat adanya
pukulan atau benturan pada kepala yang meliputi kulit kepala, tengkorak
dan otak dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Muttaqin, 2011).

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak.Secara


anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, serta
tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya.(Muttaqin, 2011)

2. Etiologi
Menurut Bararah et al., 2013 penyebab utama terjadinya cedera kepala
adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan
bermotorbertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain
sehinggamenyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna
jalan raya.
Sebagian besar korban kecelakaan lalu lintas akan mengalami cedera
kepala karena dampak benturan yang dihasilkan.

6 Poltekkes Kemenkes Padang


7

b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur kebawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika
masih digerakkan turun maupun sesudah sampai ke tanah. Ketika
terjatuh dan mengalami benturan pada kepala sehingga dapat
menimbulkan cedera kepala.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di definisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksa). Kekerasan yang mengenai bagian
kepala dapat menyebabkan cedera kepala.

Cedera kepala disebabkan oleh kekuatan benturan atau pukulan serta


kekuatan inersia dalam tengkorak. Ada tiga mekanisme cedera kepala
menurut Black & Hawks, 2014, yaitu :
a. Cedera primer
Cedera primer terjadi pada benturan dan merupakan akibat
langsungdari benturan yang menyebabkan cedera pada daerah otak
dibawah sisi otak yang biasanya akan terjadi fraktur tengkorak.
Cedera akan menyebar apabila terjadi benturan yang diterima tidak
menyebabkanfraktur tapi menyebabkan otak bergerak hingga
menggeser ataumerobek beberapa pembuluh darah yang berasal dari
korteks otakmenuju tengkorak. Otak dapat bergerak dalam tengkorak,
gerakan otak tersebut dapat mengakibatkan cedera dilokasi yang
berbeda.

Pada saat otak bergerak, goresannya dengan tonjolan bagian dalam


tengkorak yang tidak teratur akan menyebabkan memar dan laserasi
pada jaringan otak. Pecahnya pemuluh darah dipermukaan kecil dapat
terjadi.Perubahan integritas kapiler menyebabkan perpindahan cairan
dan perdarahan petekial. Saraf-saraf kranial,traktus saraf, pembuluh

Poltekkes Kemenkes Padang


8

darah besar, dan struktur lainnya dapat teregan, terpelintir, atau


terotasi, yang mengakibatkan fungsinya terganggu. Contohnya,
kecelakan kendaraan bermotor yang kepala membentur roda kemudi.
b. Cedera coup-contrecoup
Cedera coup-contrecoup adalah isitilah lain untuk cedera kepala
komplek. Cedera ini adalah dimana klien mengalami cedera gabungan
pada titik benturan dan di sisi otak yang berlawanan akibat
bergeraknya otak didalam tengkorak.
c. Trauma tembus
Trauma tembus adalah cedera primer yang meliputi luka pada kepala
akibat benda asing, misalnya pisau, peluru, atau akibat fragmen dari
fraktur tengkorak.Kerusakan yang disebababkan oleh trauma tembus
sering berkaitan dengan kecepatan objek tersebut menembus
tengkorak dan otak.Fragmen tulang dari fraktur tengkorak dapat
menyebabkan cedera otak akibat laserasi jaringan otak dan merusak
struktur lainnya (misalnya saraf dan pembuluhdarah). Jika pembuluh
darah utama mengalami kerusukan atau ruftur maka hematoma dapat
terbentuk, yang akan mengakibatkan kerusakan lain pada struktur
yang berdekatan atau berjauhan (sindrom herniasi). Jadi hematoma
dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang luas.

3. Klasifikasi
MenurutAwaloei et al., 2016, mengklasifikasikan cedera kepala
berdasarkan patomekanisme, sebagai berikut:
a. Cedera kepala primer
Cedera primer merupakan cedera kepala sebagai akiba langsung dari
suatu ruda paksa, dapat berupa benturan langsung ataupun proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada cedera primer dapat
diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan countercoup sehingga
menimbulkan laserasi, memar, fraktur, cedera fokal dan hematoma.

Poltekkes Kemenkes Padang


9

b. Cedera kepala sekunder


Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologik yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan
otak primer berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
yangberkelanjutan, iskemia dan perubahan neurokimiawi. Pada cedera
sekunder terjadi gangguan proses metabolism dan homeostatis
ionionsel otak, hemodinamika intrakranial, dan kompratemen
cairanserebrospinalis (CSS) yang dimulai setelah terjadinya trauma
namuntidak tampak secara klinis segera setelah trauma.

Keparahan cedera kepala berdasarkan GCS (glasgow Coma Scale)


menurut (Hardhi & Amin, 2016):
a. Cedera kepala ringan (CKR) atau minor
Yaitu cedera kepala dengan nilai GCS 14-15 dengan tanda dan
gejaladapat terjadi kehilangan kesadaran dan amnesia kurang dari 30
menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak kontusio serebral dan tidak
hematoma.
b. Cedera kepala sedang (CKS)
Yaitu cedera kepala dengan nilai GCS 9 - 13 dengan tanda dan gejala
mengalami kehilangan kesadaran dan asam amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam ,dapat mengalami fraktur tengkorak,
dikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial,
pasientampak kebingungan, mengantuk dan masih mampu mengikuti
perintah sederhana.
c. Cedera kepala berat (CKB)
Yaitu cedera kepala dengan GCS 3-8 tanda dan gejala yang dialami
kehilangan kesadaran atau mengalami amnesia lebih dari 24 jam,
diikuti kontusia serebral dan laserasi ataupun hematoma intrakranial.

Poltekkes Kemenkes Padang


10

Cedera kepala berdasarkan jenis cedera menurut(Hardhi & Amin, 2016):


a. Cedera kepala terbuka
Cedera kepala terbuka merupakan cedera yang dapat menembus
tengkorak dan jaringan yang dapat menyebabkan fraktur tulang
tengkorak dan laserasi durameter.
b. Cedera kepala tertutup
c. Cedera kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intracranial
hematoma. (Muttaqin, 2008)

Menurut(Kristanty Paula, 2014), cedera kepala dapat diklasifikasikan


menurut penyebabnya sebagai berikut:
a. Trauma Tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakanyang menyebar.
Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung padaproses akselerasi-
deselerasi, kekuatan benturan, dan kekuatan ritasiinternal. Rotasi
internal dapat menyebabkan perpindahan cairan danpendarahan
petekie karena pada saat otak bergeser akan terjadipergesekan antara
permukaan otak dengan tonjolan-tonjolan yangterdapat di permukaan
dalam tengkorak laserasi jaringan otaksehingga mengubah integritas
vaskuler otak.
b. Trauma tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fraktur
tulang tengkorak.Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak
(velocity) benda tajam.Tersebut menancap ke kepala atau
otak.Kerusakan terjadi hanya pada area dimana benda tersebut
merobek otak (local).Obyek dengan velocity tinggi (peluru)
menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas.Adanya luka terbuka
menyebabkan resiko infeksi.

Poltekkes Kemenkes Padang


11

4. Manifestasi Klinis
MenurutTarwoto, 2013, secara umum tanda-tanda dan gejala cedera
kepala meliputi :
a. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar
Fraktut tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak,
merobek durameter yang mengakibatkan perembesan cairan
serebrospinal. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkinan yang terjadi
adalah :
1) Keluarnya cairan serebrospinal atau cairan lain dari hidung (
rhinorrhoe) dan telinga (otorrho)
2) Kerusakan saraf kranial
3) Perdarahan di belakang timpani
4) Ekimosis pada periorbital
5) Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan
padasaraf kranial dan kerusakan dalam telingga, sehingga
kemungkinantanda dan gejalanya :
a) Perubahan tajam pada penglihatan karena kerusakan
padanervus optikus
b) Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada
nervusauditorius
c) Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan
beberapaotot mata karena kerusakan pada nervus
okulomutorius.
d) Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e) Vertigo karena kerusakan pada otolith dalam telinga
bagiandalam
f) Nistagmus karena kerusakan sistem Vestibular
g) Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan belakang
telinga diatas mastoid (Battle sign)
b. Tingkat kesadaran.

Poltekkes Kemenkes Padang


12

Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat dan ringannya cedera


yang di alami, ada atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.
c. Kerusakan jaringan otak
Manisfestasi klinis kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung dari
cedera kepala yang dialami.Untuk melihat adanya kerusakan cedera
kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT- Scan atau MRI.

MenurutBrunner & Suddarth, 2017, tanda dan gejala cedera kepala yang
timbul tergantung pada tingkat keparahan dan lokasi terjadinya trauma :
a. Nyeri menetap dan terlokasi, biasanya mengindikasikan adanya fraktur
b. Fraktur pada kubah tengkorak biasanya menyebabkan
pembengkakandidaerah tersebut dan bisa juga tidak.
c. Fraktur pada dasar tengkorak yang sering kali menyebabkanperdarahan
dari hidung, faring, telinga dan darah juga terlihatkonjungtiva.
d. Ekismosis terletak di atas mastoid.
e. Pengeluaran cairan serebrospinal (CSF) dari telingga dan
hidungmenunjukan adanya fraktur pada dasar tengkorak. Pengeluaran
cairanserefrospinal dapat menyebabkan terjadinya infeksi serius (mis,
meningitis) yang masuk melalui robekan yang ada di durameter.
f. Cairan spinal yang mengandung darah menadakan laserasi otak
ataumemar otak (kontusi)
g. Cedera otak juga memiliki bermacam gejala, termasuk
perubahantingkat kesadaran, perubahan ukuran pupil, perubahan dan
hilangnyareflek muntah atau reflek kornea, defisit neurologis,
perubahan tandavital seperti perubahan pola napas, hipertensi,
bradikardia, hipertermiaatau hipotermia, serta gangguan sensorik,
penglihatan dan pendengaran.
h. Gejala sindrom pada gegar otak dapat meliputi sakit kepala,
pusing,cemas, mudah marah, dan kelelahan.
i. Pada hematoma subdural akut atau subakut perubahan tingkat
kesadaran, tanda-tanda pupil, hemiparesis, koma,

Poltekkes Kemenkes Padang


13

hipertensi,bradikardia dan penurunan frekuensi pernafasan adalah


tanda-tandapeluasan massa.
j. Hematoma subdural kronik mengakibatkan sakit kepala
hebat,perubahan tanda neurologis fokal, perubahan kepribadian,
gangguanmental dan kejang fokal.

MenurutDiGiulio. M, 2014, tanda dan gejala cedera kepala yaitu:


a. Sakit kepala karena trauma langsung dan/atau meningktanya TIK
b. Disorientasi atau perubahan kognitif
c. Perubahan dalam berbicara
d. Perubahan dalam gerakan motorik
e. Mual dan muntah karena peningkatan TIK
f. Ukuran pupil tidak sama, penting untuk menentukan apakah terkait
dengan perubahan neurologis atau apakah pasien mempunyai ukuran
pupil berbeda (persentase kecil populasi mempunyai ukuran pupil
berbeda)
g. Berkurangnya atau tidak adanya reaksi pupil terkait dengan kompromi
neurologis
h. Menurunnya tingkat kesadaran atau hilangnya kesadaran.
i. Hilang ingatan (Amnesia).

5. Patofisiologi
Cedera memegang pengaruh yang besar dalam menentukan seberapa
besar konsekuensi dari patofisologis cedara kepala. Cedera yang di
timbulkan pada bagian kepala dapat disebabkan oleh benda tumpul atau
benda tajam, ketika benda tersebut membentur kepala maka akan
dipengaruhi oleh gaya akselerasi dan deselerasi atau gaya percepatan
perlambatan. Gaya akselerasi tejadi jika suatu objek membentur kepala
yang diam, seperti terkena benda tumpul.Gaya deselarasi apabila kepala
yang bergerak mengenai objek yang diam, seperti terkena kaca mobil atau
terbentur tanah.Gaya akselerasi dan deselerasi dapat terjadi secara
bersamaan, seperti ketika kepala digerakan secara kasar dan tiba-

Poltekkes Kemenkes Padang


14

tiba.Cedera pada kepala dapat berupa kompresi, renggangan dan robekan


yang terjadi jika gaya tekan yang diberikan melebihi viskoelastistas
kulit(Satyanegara, 2010).

Berdasarkan mekanisme terjadinya cedera terbagi menjadi cedera primer


dan cedera skunder.Cedera primer adalah akibat langsung dari cedera,
sementara cedera skunder adalah akibat yang ditimbulkan dari cedera
primer.Cedera primer dapat berupa memar, laserasi, fraktur, cedera fokal
dan cedera difus. Cedera skunder dapat berupa hipoksia, hipotensi,
edema serebral,dan pergeseran otak (Satyanegara, 2010)

Pada saat terjadi fraktur bisa timbul fratur terbuka atau fraktur tertutup,
yang dapat menimbulkan luka berupa memar atau laserasi.Pada saat
terjadi benturan yang mengenai os. Mastoid atau tulang pada bagian
wajah maka dapat menimbulkan dampak yang besar seperti fraktur basis
kranii, yang mengakibatkan robekan pada durameter sehingga cairan
likuor di serebro sipinal akan keluar melalui hidung dan telingga yang
telah bercapur dengan darah. Pada saat terjadi luka terbuka maka pintu
masuk bagi pathogen akan semakin besar yang akan menimbulkan
infeksi. Jika gaya tumbukan semakin besar maka akan mengakibatkan
timbulnya kontusio, pada saat terjadi benturan dapat berupa kontusio cup
atau kontusio kontercup. Pada saat terjadi kontusio kontercup maka akan
tejadi cedera renggangan yang menimbulkan dampak pada bagian di
seberang sumber cedera secara linear atau garis lurus hal ini yang akan
menimbulkan geger otak, jika cedera mengenai bagian frontal maka
pasien akan mengalami kelinan terhadap prilakunya dan jika mengenai
bagian temporal makan akan mengalami amnesia. Ketika kontusio terjadi
maka akan menimbulkan hematoma, berdasarkan lokasi hematoma dapat
terbagi menaji hematoama epidural, hematoma subdural, dan hematoma
intraserebral. Ketika hematoma mengalami perluasan maka akan terjadi
peningkatan tekanan intracranial, yang ditandai dengan nyeri kepala
hebat, muntah proyektil dan penurunan kesadaran, jika hal tersebut teru

Poltekkes Kemenkes Padang


15

tejadi tetapi tidak bisa terkompensasi oleh tubuh makan akan terjadi
cedera difus pada otak (Satyanegara, 2010)

Pada saat terjadi cedera sekunder maka telah terjadi kerusakan sel otak,
seperti gangguan autoregulasi yang mengakibatkan menurunnya suplai
darah ke otak, sehingga jumlah oksigen ke otak menurun dan akan
megalami gangguan metabolisme, tubuh akan melakukan kompensasi
berupa dengan cara melakukan reaksi anaerob tetapi akan menimbulkan
penumpukkan asam laktat yang akan menimbulkan oedema otak,
sehingga memperburuk peningkatan tekanan intracranial. Ketika sel otak
mengalami kerusakan maka akan terjadi peningkatan rangsangan
simpatis, sehinga terjadi peninggkatan tahanan vaskuler dan tekanan
darah tetapi terjadi penurunan tekanan darah pulmonal, sehingga
meningkatnya tekanan hidrostatis dan terdjadi kebocoran kapiler dan
mengakibatkan oedema paru yang nantinya kan menggangu difusi
oksigen. Ketika TIK yang semakin meningkat akan menekan otak
kebagian bawah sehingga menekan batang otak sehingga mengganggu
fungsinya dan menyebabkan herniasis, jika berlangsung lama akan
mengakibatkan kematian batang otak (Brunner & Suddarth, 2017)

Poltekkes Kemenkes Padang


16

6. WOC

Sumber: Muttaqin, 2011, Yessi & S, 2013, Padila, 2012.

Poltekkes Kemenkes Padang


17

7. Komplikasi
Komplikasi yang biasa dialami oleh pasien cedera kepala menurut Yessi
& S, 2013 adalah sebagai berikut:
a. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma merupakan kelainan yang dimana terjadikejang
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karenabenturan di
kepala.Kejang bisa saja terjadi beberapa tahunkemudian setelah
terjadinya cedera.Kejang terjadi pada sekitar 10%penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya lukatembus dikepala.
b. Afasia
Afasia merupakan hilangnya kemampuan untuk menggunakanbahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak.Penderitatidak
mampu untuk memahami atau mengekspresikan kata-kata.Bagian otak
yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobustemforalis sebelah kiri
dan lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakanpada bagian manapun
dari area tersebut karena stroke, tumor, cederakepala atau infeksi,
akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsibahasa.
c. Apraksia
Apraksia merupakan ketidakmampuan untuk melakukan tugas
yangmemerlukan ingatan atau serangkaian gerakan.Kelainan ini
jarangterjadi dan biasanya disebabkan kerusakan pada lobus
parientalisatau lobus frontalis.Pengobatan ditujukan kepada penyakit
yangmendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
d. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat
dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut.Penderita tidak
dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau
benda-benda umum, walaupun mereka dapat melihat dan
menggambarkan benda-benda tersebut.Penyebab pada agnosis yaitu
adanya kelainan pada fungsi lobus parientalis dan temporalis, dimana

Poltekkes Kemenkes Padang


18

ingatan pada benda-benda penting dan fungsinya disimpan.Agnosis


seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke.
e. Amnesia
Amnesia merupakan hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
atau mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang
sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya
dimengerti, namun cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya
ingatan akan peristiwa yang terjadi saat sebelum terjadinya peristiwa
kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang tejadi segera
setelah terjadinya kecelakaan (amnesi pasca trauma). Amnesia hanya
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung
beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirimya. Pada
cedera otak yang hebat amnesia bisa bersifat menetap.

Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya


kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis,lobus
parietalis dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh
sekejapmerupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang,
yangterjadi secara mendadak dan berat. Serangan biasanya hanya
terjadi satu kali seumur hidup, atau juga bisa berulang.
f. Diabetes insipidus
Diabetes insipidus disebabkan karena kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, yang akan menyebabkan penghentian pada sekresi
hormon antidiuretik. Pasien mengekresikan sejumlah besar volume
urine encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volume.
g. Kejang pasca trauma
Kejang pasca trauma dapat terjadi (dalam 24 jam pertama).Dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah seminggu).Kejang segera tidak
merupakan predisposisi untuk kejang lanjut, sedangkan kejang dini
menunjukan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pada
pasien cedera kepala harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

Poltekkes Kemenkes Padang


19

h. Kebocoran cairan serebrosipinal


Kebocoran cairan serebrosipinal bisa disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6% pasien dengan cedera kepala
tertutup.Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi pada kepala
setelah beberapa hari 85% pasien. Drainase lumbal dapat
mempercepat proses ini.
i. Edema serebral dan herniasi
Edema serebral dan herniasi merupakan penyebab umum dari tekanan
intra kranial, puncuk edema terjadi 72 jam setelah cedera. Perubahan
tekanan darah, frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan
gejala klinis adanya peningkatan tekanan intra kranial.Penekanan di
kranium dikompensasi oleh tertekannya venosus dan cairan otak
bergeser, peningkatan terus menerus menyebabkan aliran darah otak
menurun dan perfusi tidak adekuat, akan terjadi vasodilatasi dan
edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan akan
menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak
kebawah atau lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak,
menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor,
jalur saraf corticospinal, mekanisme kesadaran, tekanan darah, nadi,
pernafasan dan pengatur akan gagal.
j. Defisit neurologis
Defisit neurologi merupakan tanda awal penurunan fungsi neurologis:
perubahan tingkat kesadaran, nyeri kepala hebat, mual atau muntah
proyektil merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk cedera kepala antara lain :
a. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan diagnostic yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala menurut Muttaqin, 2011meliputi :

Poltekkes Kemenkes Padang


20

1) CT (Computerised Tomography) scan (dengan atau tanpa kontras)


Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler
dan perubahan jaringan otak
2) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI digunakan sama dengan CT scan dengan / tanpa
kontrasradioaktif
3) Cerebral Angiopraphy
Menunjukkan anomali sikrulasi serebral seperti perubahan jaringan
otak sekunder menjadi emea, perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG (Electroencephalogram)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5) Sinar –X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otakkecil.
7) PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8) CSS (Cairan Serebrospinal)
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
9) Kadar Elektrolit
Cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan
regulasinatrium, retensi Na dapat berakhir beberapa hari, diikuti
dengan dieresis Na, peningkatan letargi, konfusi dan kejangakibat
ketidakseimbangan elektrolit.Untuk mengoreksi keseimbangan
elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.
10) Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang menyebabkan penurunan
kesadaran
11) Rontgen thorax 2 arah ( PA (Postero-Anterior)/AP(Anterior-
Postero) dan lateral)

Poltekkes Kemenkes Padang


21

Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara/cairan pada area


pleura.
12) Analisa gas darah (AGD)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostik untuk
mencantumkan status respirasi. Status respirasi yang dapat
digambarkan melalui permeriksaan AGD adalah status oksigenasi
dan status asam basa(Muttaqin, 2011).

9. Penatalaksanaan Medis
Brunner & Suddarth, 2017 mengatakan, penatalaksanaan pasien cedera
kepala sebagai berikut:
a. Pengontrolan tekanan intracranial, tindakan pendukung seperti
dukungan ventilasi, pencegahan kejang, usaha untuk menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit,dukungan nutrisi, penatalaksanaan
nyeri dan ansietas, untuk tahap lanjut bisadilakukan tindakan
kraniotomi.
b. Peningkatan tekanan intracranial dikendalikan oleh oksigenasi yang
adekuat,pemberian cairan manitol, dukungan ventilator, hiperventilasi,
elevasi kepala tempattidur, tindakan memepertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit, pemenuhannutrisi, penanganan nyeri dan asietas.

Susan, 2011 mengatakan, penatalaksanaan pada pasien cedera kepala


sebagai berikut:
a. Berikan oksigen sesuai instruksi. Pastikan kepatenan jalan napas
dengan mangaturposisi kepala dan leher dengan tepat. Pertahankan
posisi kepala tempat tidur (KTT)diketinggian 30 derajat untuk
meningkatkan ekskursi dada. Jika cedera servikal tidakdapat
disingkirkan, jangan hiperekstensikan leher untuk intubasi oral;
gunakanmetode jaw-thrust. Jalan nafas nasofaring harus dihindari pada
saat terjadi rinorea(tanda yang dapat menggambarkan kerusakan
integritas tengkorak) karena adanyarisiko trauma otak langsung atau
infeksi Selama pemasangan dilakukan. Jalan nafasoral atau penghalang

Poltekkes Kemenkes Padang


22

gigitan dapat mncegah pasien menggigit slang endotrakea (ET)jika


intubasi oral dilakukan.
b. Lakukan terapi batuk dan nafas dalam serta lakukan reposisi pasien
untukmemobilisasi sekresi, dengan memantau peningkatan TIK secara
cermat. Hindarilatihan batuk pada pasien yang beresiko mengalami
peningkatan TIK.
c. Lakukan pengisapan sekresi hanya jika diperlukan.

Muttaqin, 2011 mengatakan, penatalaksanaan saat awal trauma pada


cedera kepala selain dari factor mempertahankan fungsi ABC (airway,
breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure),
maka factor uang harus dperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia
serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat di bantu dengan pemberian oksigen
dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.

Penatalaksanaan konservatif meliputi:


a. Bedrest total
b. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
c. Pemberian obat-obatan
1) Dexamethasone/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
3) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol
20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.
4) Antibiotic yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
d. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat di berikan apa-apa, hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari
kemudian diberikan makanan lunak

Poltekkes Kemenkes Padang


23

Pada trauma berat.Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami


penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrose 5%
8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan dapat
diberikan melalui Nasogastric Tube (NGT) sebanyak 2500-3000
TKTP.Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan
secara ilmiah yangdigunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah
pasien, merencanakan secara sistematisdan melaksanakan serta mengevaluasi
hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

Menurut Brunner & Suddarth, 2017, asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala meliputi:
1. Pengkajian Keperawatan
Penkajian keperawatan pada pasien cedera kepala adalah suatu komponen
dari proses keperawatan yang merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
perawan dalam menggali permasalahan dari klien meliputi usaha
pengumpulan data dan membuktikan data tentang status kesehatan
seorang klien. Data tentang fisik, emosi, pertumbuhan, social,
kebudayaan, intelektual, dan aspek spiritual.

Pengkajian keperawatan terutama melakukan evaluasi


fungsional.Kedalaman pengkajian tergantung pada keluhan fisik klien,
riwayat kesehatan, dan semua petunjuk fisik yang ditemukan pemeriksa
untuk memerlukan eksplorasi lebih jauh.
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan
darah, pendidikan terahir, agama, suku, status perkawinan, perkerjaan
dan alamat.

Poltekkes Kemenkes Padang


24

b. Identitas penanggung jawab


Berisikan biodata penangung jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terahir,
perkerjaan, alamat, momor register dan diagnosa medis.
c. Keluhan utama
d. Keluhan utama pada pasien cedera kepala biasanya akan terlihat
disfungsi neurologis. Keluhan yang sering didapatkan meliputi
kelemahan anggota gerak, bicara palo, tidak dapat berkomunikasi,
konvulsi (kejang), sakit kepala yang hebat, nyeri otot, sakit
punggung, tingkat kesadaran menurun (GCS<15), ektremitas dingin,
ekspresi rasa takut dan pendarahan pada bagian kepala akibat
kecelakaan. Bila klien mengeluh nyeri perlu ditinjau penilaian rasa
nyeri dengan pengkajian nyeri PGRST, meliputi:
P: provoking incident (insiden pemicu): pasien akan mengeluh nyeri
hebat
Q: quality of pain (rasa nyri yang dirasakan): seperti ditusuk atau
disayat
R: region of pain (lokasi nyeri): pada abagian kepala
S: scale of pain (skala nyeri ): 5-10
T: time (lama nyeri dirasakan): secara terus-menerus atau hilang
timbul
e. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Adanya riwayat trauma mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke
kepala.Pengkajian yang dapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS<15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka di kepala, paralisis, akumulasi secret pada
saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang.

Poltekkes Kemenkes Padang


25

2) Riwayat kesehatan dahulu


Berisikan data klien pernah mengalami penyakit system persarafan,
riwayattrauma atau jatuh dimasa lalu, riwayat penyakit darah,
riwayat penyakitsistemik/pernafasan, riwayat hipertensi, riwayat
cedera kepal sebelumnya, riwayat diabetes melitus, penggunaan
obat-obatan dan konsumsi alakohol.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit herediter seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
f. Kebutuhan dasar
1) Eliminasi: perubahan pola BAB/BAK (inkontenensia, konstipasi,
hematuri)
2) Nutrisi: mual, muntah, ganngguan pencernaan/ menelan makan
3) Istirahat: kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
g. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital pada pasien cedera kepala menurutKristanty
Paula, 2014:
a) Tekanan darah
Biasanya pada pasien cedera kepala tekanan darah stabil
diawal periode setelah cedera kepala, tetapi setelah tekanan
perfusiserebral tekanan darah bisa tinggi dan rendah, karena
berbagaisebab, reseptor dalam pusat vasomotor medula
terstimulasi untuk menaikan tekanan darah serta turun.
b) Nadi
Biasanya pada pasien dengan cedera kepala nadi
lambat.Bradikardia akan muncul disebabkan adanya dorongan
padabatang otak, suatu massa dalam fossa posterior, atau suatu
trauma spinal dimana jalur simpatis asenden terputus.

Poltekkes Kemenkes Padang


26

c) Suhu
Biasanya pada pasien cedera kepala yang mengalami
masalahmetabolik suhu nya dapat meningkat atau menurun
dari normalyang dimediasi oleh hipotalamus. Ruptur anerisma
ventricular dan infeksi tertentu dari sistem saraf pusat juga
akan menimbulkan peningkatan suhu.
2) Pemeriksaan Tingkat kesadaran
a) Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
Biasanya pasien dengan cedera kepala ringan pada
pemeriksaan tingkat kesadaran didapatkan hasil pada
pemeriksaan komponen Eye: dapat membuka mata secara
spontan dan bisa dengan perintah (sentuhan), pada
pemeriksaan Verbal: orientasi baik dan pada pemeriksaan
Motorik: dapat mengikuti perintah dan juga melokalisir nyeri.
b) Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
Biasanya pasien dengan cedera kepala sedang pada
pemeriksaan tingkat kesadaran didapatkan hasil pada
pemeriksaan komponen Eye: dapat membuka mata dengan
rasangan nyeri, pada pemeriksaan Verbal: bicara ngawur,
meracau, tidak nyambung dan bicara membingungkan, dan
pada pemeriksaan Motorik: menghindari rangsangan nyeri,
melokalisir nyeri.
c) Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)
Biasanya pasien dengan cedera kepala berat didapatkan hasil
pada pemeriksaan komponen Eye: tidak ada respon baik
diberikan rangsangan nyeri ataupun dengan sentuhan, pada
pemeriksaan Verbal: suara tidak dapat dimengerti, bicara
ngawur, meracau, tidak nyambung dan pada pemeriksaan
Motorik: menghindari rangsangan nyeri, melokalisir nyeri,
fleksi abnormal, ekstensi abnormal.

Poltekkes Kemenkes Padang


27

Tabel 2.1
Penilaian GCS
No Komponen Nilai Hasil
1 Eye 1 Tidak berespon
2 Dengan rangsangan nyeri
3 Dengan perintah (sentuhan)
4 Spontan
2 Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti (rintihan)
3 Bicara ngawur, meracau dan tidak
nyambung
4 Bicara membingungkan
5 Orientasi baik
3 Motorik 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal Menghindari
4 rangsangan nyeri
5 Melokalisir nyeri
6 Ikuti perintah
(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013, Padila. 2012)
Kualitatif:
a) Compos mentis yaitu Kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan keadaan disekelilingnya.
Nilai GCS 14-15.
b) Apatis yaitu Keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikap acuh tak acuh. GCS 12-13.
c) Delirium dimana Keadaan gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal. GCS 10-11.
d) Samnolen dimana Kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila

Poltekkes Kemenkes Padang


28

dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi,


mampu memberikan jawaban. GCS 7-9.
e) Stupor. Keadaan seperti tertidur lelap, tidak ada respon
terhadap nyeri. GCS 4-6.
f) Coma. Dimana Tidak ada respon terhadap rangsangan apapun
(tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya). GCS ≤ 3
(Satyanegara, 2010).
3) Pemeriksaan Nervus Kranialis
Biasanya pada pasien cedera kepala nervus kranialis bisa terganggu
bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak
atau perdarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktoriu):
memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia
bilatral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis: akan
memperlihatkan gejala berupa penurunan penglihatan. Nervus III
(Okulomotorius), nervus IV (troklearis) dan nervus VI (abducens),
kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang,
reflek cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah dan isokor. Nervus V (trigeminus),
gangguan pada nervus ini ditandai dengan adanya anestesi daerah
dahi. Nervus VII (fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai
neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak
ada lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata, dan
hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior.
Nervus VIII (akustikus), biasanya pada pasien sadar gejalanya
yang muncul berupa penurunanan daya pendengaran dan
keseimbangan tubuh. Nervus IX (glosofraringeus, nervus X
(Vagus) dan nervus XI (Assesorius), gejala yang jarang ditemukan
karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf
tersebut. Adanya hiccuping (cekungan) yang disebabkan karena
kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi

Poltekkes Kemenkes Padang


29

spasmodik dan diafragma yang terjadi karena kompresi batang otak


dan cekungan ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan intra
kranial. Nervus XII (Hipoglosus), gejala yang terjadi apabila
adanya kerusakan pada nervus ini jatuh jatuhnya lidah kesalah satu
sisi, disfagia dan disartria. Hal ini akan menyebabkan kesulitan
menelan pada pasien cedera kepala (Rendy dan Margareth, 2012).
4) Pemeriksaan head to toe
Menurut(Kristanty Paula, 2014), data yang akan muncul pada
pemeriksaan head-to-toe, yaitu:
a) Kepala
Biasanya pada kulit kepala ditemuinya adanya perdarahan,
laserasi, memar dan hematom. Pada mata ditemui adanya
perdarahan, tidak simetris, hematom, serta muncul tanda khas
racanne eyes jika dicurigai fraktur basic kranii, pupil ditemui
nonreaktif jika terjadi kompresi terhadap pons, pupil mengecil,
simetris dan reaktif jika terjadi kompresi terhadap hipotalamus
dan pupil berada ditengah menandakan kompresi otak bagian
tengah. Biasanya juga akan ditemui keluarnya cairan likuor
pada hidung, pada wajah ditemukan adanya jejas, hematom dan
lesi, dan adanya paralisis saraf trigeminus.
b) Leher
Biasanya pada leher ditemukan adanya bengkak atau
deformitas dileher dicurigai pasien mengalami fraktur
servikal.Serta terdapat deformitas dan nyeri saat palpasi.
c) Aspek kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan cedera kepala didapatkan
perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi
peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah
meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardi, atau
irama tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu
dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar

Poltekkes Kemenkes Padang


30

dari mulut, hidung telinga dan mata. Adanya hipereskresi pada


rongga mulut.Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada
bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu melakukan pengkajian dari
kepala hingga kaki(Margareth & Clevo, 2012).
d) Aspek sistem pernafasan
Biasanya pada pasien yang mengalami cedera kepala terjadi
perubahan pola napas, baik irama, kedalaman dan maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne
stokes, ataxia breathing), bunyi napas ronchi, wheesing atau
stridor. Adanya sekret pada trakea bronkhiolus. Peningkatan
suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan
terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu
tubuh(Margareth & Clevo, 2012).
e) Aspek sistem eliminasi
Biasanya pada pasien dengan cedera kepala akan didapatkan
retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana
terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem
gastrointestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi
saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak
terdengar/lemah, adanya mual dan muntah (Margareth &
Clevo, 2012).
h. Pengakajian psikologis
Biasanya pasien yang cedera kepala dengan tingkat kesadaranya yang
menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai,
sedangakan pada tingkat kesadaranya agak normal akan terlihat
adanya gangguan emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan
kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan
sehubungan dengan penyakitnya. Data sosial yang diperlukan adalah
bagaimana pasien berinteraksi dengan orang-orang terdekat dan yang
lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peran dalam keluarga, serta

Poltekkes Kemenkes Padang


31

pandangan pasien terhadap dirinya sendiri setelah mengalami cedera


kepala dan rasa aman.(Margareth & Clevo, 2012).
i. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen
Foto rontgen tengkorak seringkali digunakan untuk
mengidentifikasi adanya draktur, disloksi, dan abnormalitas tulang
lainnya.Pada cedera kepala terjadi fraktur pada tenggkorak akibat
tumbukan.
2) Computed tomogrhpy scan
Computed tomogrhpy scan (CT-scan) merupakan suatu teknik
diagnostic dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-X untuk
memindai kepala dalam lapisan secara berurutan.Dengan
meelakukan ini, kita bisa mengamati apakah terjadi lesi atau infark
terhadap otak. Pada cedera kepala dapat dilihat terjadinya
pendarahan dan fraktur yang nantinya akan berkibat infark.
3) Positron emission tomography
Positron emission tomography (PET) teknik pencitraan nuklir
berdasarakan computer yang dapat menghasilkan bayangan fungsi
organ secara actual. PET memungkinkan pengukuran aliran darah,
komposisi jaringan, dan metabolisme otak. Pada cedere kepala
akan terlihat gangguan metabolism otak akibat kuranya supalai
darah ke otak.
4) Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum diotak
dengan meletakan elektroda-elektroda pada kulit kepala atau
dengan meletakan mikroelektroda pada jaringan otak.EEG
bermanfaat mendiagnosis gangguan kejang dan merupakan
prosedur scaning untuk koma. EEG juga dapat bertindak sebagai
indikator kematian otak , abses, bekuan darah dan infeksi yang
menyebabakan abnormalitas aliran listrik. Pada pasien cedera
kepela pemeriksaan elektroensifalografi akan terlihatnya bekuan

Poltekkes Kemenkes Padang


32

darah atau kematian otak tetapi hal seperti ini memerlukan proses
yang cukup lama pada cedera kepala.
5) Angiografi serebral
Pemeriksaan ini lebih bermanfaat untuk menunjukan adanya suatu
hematoma atau pendarahan intra cranial. Pada cedera kepala akan
ditemukan pendarahan intrakranial atau hematoma yang semakin
melebar jika kurangnya penanganan.
6) Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi dapat dilakukan jika dilakukan
jika diduga terjadi pendarahan subaraknoid. Pemeriksaan lumbal
fungsi akan menunjukan pendarahan pada intracranial dan jika
terjadi trauma terbuka atau fraktur basis kranii dapat berakibat pada
meningitis yang ditunjukan dengan terjadinya infeksi pada selaput
otak.
7) Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan intrakaranial. Pada cedera kepala kadar elektrolit akan
menurun karena terjadipendarahan aktif dan edema, selainitu kadar
elektrolit bisa menjadi penandapeningkatan intracranial.
8) Analisa gas darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostic untuk
menentukanstatus respirasi. Status yang dapat digambarkan adah
status oksigenasi dan statusasam basa. Pada pemeriksaan AGD
dapat berakibat terjadinya hipoventilasi atauhiperventilasi karena
akibat terjadinya penumpukan cairan di paru yang
berakibatterjadinya gagguan disfungsi.

2. Diagnosa Keperawatan
Nanda I Diagnosis Keperawatan 2018-2020:
a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b/d edema serebral
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d gangguan neurologis:cedera kepala
c. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik
d. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otakb/d cedera kepala
e. Ketidakefektian besihan jalan nafas b/d peningkatan produksi sputum

Poltekkes Kemenkes Padang


33

f. Penurunan curah jantung b/d perubahan irama jantung


g. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguang neuromuskular

SDKI Definisi dan Indikator Diagnostik 2017:


a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b/d edema serebral
b. Pola napas tidak efekif b/d gangguan neurologis:cedera kepala
c. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d cedera kepala
e. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d hipersekresi jalan napas
f. Penurunan curah jantung b/d perubahan irama jantun
g. Gangguan mobilitas fisik b/d neuromuscular

3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan NIC NOC
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Penurunan kapasitas Status neurologi Manajemen edema
adaptif intrakranial 1. Tidak serebral
terganggunya 1. Monitor adanya
Definisi: kesadaran pingsan
Gangguan mekanisme 2. Tidak 2. Monitor tingkat
dinamika cairan terganggunya GCS
intrakranial yang tekanan 3. Monitor hasil TTV
normalnya melakukan intrakranial 4. Monitor
kompensasi untuk 3. Tidak karakteristik cairan
meningkatkan volume terganggunya serebrospinal:
intrakranial, yang tekanan darah warna, kejernihan
menyebabkan 4. Tidak dan konsistensi
peningkatan TIK yang terganggunya 5. Monitor TIK dan
tidak proporsional dan pernafasan CPP
berulang dalam 5. Tidak ada kejang 6. Monitor CVP dan
respons terhadap 6. Tidak ada sakit PAP
berbagai simuli yang kepala 7. Monitor status
berbahaya dan tidak pernafasan:
berbahaya. Perfusi jaringan: frekuensi, irama,
serebral kedalaman
1. Tidak ada pernafasan, PO2,
deviasi dari PCO2, ph dan
kisaran normal bikarbonat.

Poltekkes Kemenkes Padang


34

nilai rata-rata 8. Kolaborasi


tekanan darah pemeberian anti
2. Tidak ada kejang.
deviasi dari 9. Kolaborasi
kisaran normal pemberian diuretic
tekanan intra osmotik
kranial 10. Bantu pasien dan
3. Tidak ada keluarga untuk
deviasi dari memahami pilihan
kisaran normal pengobatan
hasil serebral 11. Arahkan pasien dan
angiogram keluarga mengenai
4. Tidak ada tindakan dan
deviasi dari efeksampaing dari
kisaran normal obat yang
pada muntah ditetapkan.
5. Tidak ada
deviasi dari Peningkatan perfusi
kisaran normal serebral
dari kognisi 1. Konsultasi dengan
dokter untuk
menentukan
parameter
hemodinamika dan
pertahankan
parameter
hemodinamika
sesuai yang telah
ditentukan.
2. Berikan agen untuk
meningkatkan
volume
intravaskuler, sesaui
kebutuhan
(misalnya., koloid,
produkproduk darah,
dan kristaloid)
3. Berikan agen
rheologis (misalnya.,
manitol dosis rendah
atau dekstran dengan
berat molekul yang
kecil), sesuai
petunjuk
4. Pertahankan level
glukosa darah dalam

Poltekkes Kemenkes Padang


35

batas normal
5. Konsultasi dengan
dokter untuk
menentukan tinggi
kepala tempat tidur
yang optimal
(misalnya., 0,15 atau
30 drajat) dan
monitor respon
pasien terhadap
pengaturan posisi
6. Hindari fleksi leher
atau panggul atau
lutut yang ekstrim u.
Pertahankan PCO2
pada level 25 mmHg
atau lebih
7. Berikan dan monitor
efek diuretic osmotic
dan loop active dan
kortikosteroid
8. Berikan obat nyeri
sesuai kebutuhan
9. Monitor
PTT(partical
tromboplastion time)
DAN PT
(protrombine time)
sesaui kebutuhan
10. Monitor tanda-tanda
pendarahan (sebagai
contoh pada
pemeriksaan fases
dan darah pada
saluran nasogastrik)
11. Montor tanda
kelebihan cairan
(misalnya., ronkhi,
distensi vena
jangularis, edema,
dan penigkatan
sekresi pulmonar)
12. Monitor nilai
laboratorium adanya
perubahan
oksigenasi atau

Poltekkes Kemenkes Padang


36

kesimbangan asam
basa , sesuai
kebutuhan
13. Monitor intake dan
output
2. Ketidakefektifan pola Status pernafasan Manajemen jalan nafas
nafas 1. Tidak ada 1. Posisikan pasien
deviasi dari untuk memaksimalkan
Definisi: kisaran normal ventilasi
Inspirasi dan/atau pada frekuensi 2. Auskultasi suara
ekspirasi yang pernafasan, nafas, catat area
tidakmemberikan irama ventilasinya menurun
ventilasiadekuat. pernafasan, atau tidak ada dan
kedalaman adanya suara
inspirasi, tambahan
auskultasi bunyi 3. Kelola udara atau
nafas dan oksigen yang
kepatenan jalan dilembabkan
nafas sebagaimana mestinya
2. Tidak ada 4. Posisikan untuk
deviasi dari mengurankan sesak
kisaran normal nafas
saturasi oksigen 5. Monitor status
3. Tidak ada pernafasan dan
deviasi dari oksigen, sebagimana
kisaran normal mestinya.
penggunaan otot
bantu nafas, Terapi oksigen
retraksi dinding 1. Bersihkan mulut
dada dan suara hidung dan sekresi
nafas tambahan trakea dengan tepat
2. Pertahankan
Status pernafasan: kepatenan jalan nafas
pertukaran gas 3. Siapkan peralatan
1. Tidak ada oksigen dan berikan
deviasi dari melalui sisten
kisaran normal humidifier
pada tekanan 4. Berikan oksigen
persial oksigen tambahan sesuai yang
di darah arteri diperintahakan
(PaO2) 5. Monitor aliran
2. Tidak ada oksigen
deviasi dari 6. Monitor efektifitas
kisaran normal terapi oksigen dengan
pada tekanan tepat
persial 7. Amati tanda-tanda

Poltekkes Kemenkes Padang


37

karbondioksida hipoventilasi induksi


di darah arteri oksigen
(PaCO2)
3. Tidak ada Monitor pernafasan
deviasi dari 1. Monitor kecepatan,
kisaran normal irama, kedalaman, dan
pda Ph darah kesulitan bernafas
4. Tidak ada 2. Catat pergerakan
deviasi dari dada, catat
kisaran normal ketidaksimetrisan,
pada hasil penggunakaan otot
rongen dada bantu pernafasan dan
retraksi pada otot
supraklavikulas dan
interkosta
3. Monitor suara
tambahan seperti
ngorok dan mengi
4. Monitor pola nafas
(misalnya.,
baradibnue, tarkibnue,
hiperventilasi,
pernafasan kusmaul,
pernafasan 1:1,
apnuestik)
5. Monitor saturasi
oksigen
6. Auskulatasi suara
nafas, catat area
dimana terjadinya
penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan
keberadaan suara
nafas tamabahan

Monitor tanda-tanda
vital
1. Monitor tekanan
darah, nadi suhu dan
pernafasan dengan
tepat
2. Monitor irama dan
laju pernafasan
3. Indikasi kemungkinan
penyebab perubahan
tanda-tanda vital

Poltekkes Kemenkes Padang


38

3. Nyeri akut b.d agen Kontrol nyeri Pemberian analgesic


pencedera fisik 1. Secara konsisten 1. Tentukan, lokasi,
menunjukan karakteristik, kualitas
Definisi: kapan nyeri dan keparahannyeri
Pengalaman sensorik terjadi sebelum mengobatdi
atau emosional yang 2. Secara konsisten pasien
berkaitan menunjukan 2. Cek perintah
dengan kerusakan gambar factor pengobatan meliputi
jaringan actual atau penyebab obat, dosis, dan
fungsional,dengan 3. Secara konsisten ferkuensi obat
onset mendadak atau menunjukan dan analgesic yang
lambatdan menggunakan diresepkan
berintensitasringan tindakan 3. Cek adanya riwayat
hingga beratyang pengurana nyeri alergi obat
tanpa berlangsung tanpa analgetik 4. Monitor tanda vital
kurang dari 3 bulan. 4. Secara konsisten sebelum dan setelah
menunjukan dan pemebrian anlgesik
melaporkan pada pemberian
nyeri yang pertama kali atau jika
terkontrol ditemukan tanda-
tanda ayang tidak
Tingkat nyeri biasa
1. Tidak ada nyeri 5. Berikan kebutuhan
yang dilaporkan kenyamanan dan
2. Tidak ada aktivitas lain yang
mengerang dan dapat membantu
menagis relaksasi untuk
3. Tidak ada focus memfasilitasi
menyempit penurunan nyeri
4. Tidak ada mual 6. Berikan analgesic
sesaui waktu
Perfusi jaringan paruhnya, terutama
1. Tidak ada pada nyeri yang berat
deviasi dari
kisaran normal Manajemen nyeri
pada aliran darah 1. Lakukan pengkajian
melalui nyeri
pembuluh darah komprehensifyang
serebral meliputi lokasi,
karakteristik,
onset/durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas atau
beratnya nyeridan
factor pencetus
2. Ovservasi adanya

Poltekkes Kemenkes Padang


39

petunjuk nonverbal
mengenai
ketidaknyamanan
terutama pada mereka
yang tidak dapat
berkumunikasi secara
efektif
3. Gunakan strategi
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan
sampaikan penimaan
pasien terhadap nyeri
4. Bantu keluarga dalam
mencari dan
menyediakan
dukungan
5. Gunakan metode
penilaian yang sesuai
dengan tahapan
perkembangan yang
memungkinkan untuk
memonitor perubahan
nyeri dan akan dapat
membantu
mengidentifikasi
factor pencetus actual
dan potensial
6. Kendalikan faktor
lingkungan yang dapt
mempengaruhi respon
pasien terhdap
ketidaknyamanan
7. Ajarkan penggunaan
teknik
nonfarmakologi
(relaksasi, hipnotis,
terpi music)
8. Evaluasi dari
keefektifan dari
tindakan pengontrol
nyeri yang dipakai
selama pengkajian
neyeri dilakukan
informasikan tim
kesehatan lain dan

Poltekkes Kemenkes Padang


40

keluarga mengenai
strategi
nonfarmakologis yang
sedang digunakan
9. Berikan infomasi
yang akurat untuk
meningkatkan
pengetahuan dan
respon keluarga
terhadap pengalaman
nyeri.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan berdasarkan pengkajian, diagnosis keperawatan
dan intervensi (Bararah et al., 2013).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan berdasarkan pengkajian, diagnose keperwatan,
intervensi dan implementasi(Bararah et al., 2013). Semua hal yang dilihat
dari hasil perkembangan klien/pasien selama melakukan asuhan
keperawatan.

Poltekkes Kemenkes Padang


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dalam bentuk literature
review dengan pendekatan analisis kasus. Literature Review adalah suatu
kerangka, konsep atau orientasi untuk melakukan analisis dan klasifikasi
fakta yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan dari berbagai
sumber yaitu jurnal, buku, serta publikasi lainnya terkait dengan topik yang
diteliti.(Ketut, 2012).Peneliti melakukan analisis 3 KTI dengan judul Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian mulai dari bulan Desember 2020 sampai dengan Juni 2021.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Pengumpulan literature review digunakan beberapa tahapan diantaranya
adalah pencarian artikel, jurnal, KTI, skripsi berdasarkan topik besar.
Peneliti mencari KTI dengan judul “Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Berat” di Repository Poltekkes Kemenkes Padang.Dari tahun 2015-2020
ditemukan KTI dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Cedera Kepala sebanyak 12 buah.Diantaranya terdapat 5 kasus dengan
cedera kepala berat.Lalu peneliti menetapkan 5 literatur sebagai populasi.
2. Sampel
Peneliti mengambil sampel sebanyak 3 literatur dengan caraPurposive
Sampling, yaitu menentukan pemilihan sampel dengan alasan tertentu,
biasa dikarenakan alasan mudah mendapatkan data maupun alasan
lainnya.
Dengan kriteria inklusi:
a) KTI yang mengandung kata kunci “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan Cedera Kepala Berat di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M.
Djamil Padang”.

41 Poltekkes Kemenkes Padang


42

b) KTI merupakan fulltext dan tidak terbatas pada metode penelitian


tertentu.
c) KTI merupakan AsuhanKeperawatan Medikal Bedah
d) KTI merupakan terbitan antara tahun 2015 sampai tahun 2020.

Dan kriteria eksklusi:


a) KTI merupakan Asuhan Keperawatan Dasar

Lalu peneliti melakukan penyaringan dengan kriteria inklusi diatas


sehingga didapatkan 3 literatur.Sehingga peneliti menetapkan 3 KTI ini
dijadikan sampel.
D. Analisis
Analisis yang dilakukan peneliti menggunakan metode critical appraisal.
Critical appraisal (telaah kritis) adalah proses analisis KTI yang digunakan
terkait perbedaan, persamaan dan kekurangan dari teori yang ada. Setelah itu
di analisis menggunakan tabel dengan mencantumkan proses keperawatan
dari 3 literatur KTI yang akan diteliti.Peneliti menggunakan SDKI, Nanda,
NOC dan NIC untuk menganalisis 3 KTI tersebut.

Poltekkes Kemenkes Padang


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Kajian
Proses pengumpulan literature dilakukan dengan cara melakukan pemilihan jumlah jurnal atau artikel menjadi 3 literatur.

Pada KTI pertama, peneliti akan menganalisa KTI dari Dwi Ayu Humaira (2018) dengan judul Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Cedera Kepala di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Pada KTI kedua, peneliti akan
menganalisa KTI dari Rada Purnama Sari (2018) dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Kepala di
Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Lalu pada KTI ketiga, peneliti akan menganalisa KTI dari Hidayatul Ikhsan
(2019) dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Kepala di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil
Padang.

Pada hasil kajian literature KTI didapatkan hasil sebagai berikut:


Tabel 4.1
Hasil Kajian
No. Tahapan Proses KTI 1 KTI 2 KTI 3
Keperawatan
1. Pengkajian Identitas pasien: Tn. J, 20 tahun, Identitas Pasien: Tn. H, 14 tahun, Identitas Pasien: Tn. AM, 60 tahun,
Keperawatan CK GCS 7 + PSA + Oedema CK GCS 7 + ICH + Fraktur CKB GCS 5 + Fraktur Tertutup
Serebri. Radius ½ Distal Sinistra + Klavikula 1/3 tengah Dextra + ICH
Oedema Serebri. + PSA + CKD Stage V.
Keluhan Utama: Tn. J masuk

43 Poltekkes Kemenkes Padang


44

rumah sakit pada hari Kamis, Keluhan Utama: Pasien masuk Keluhan Utama: Keluahan utama
tanggal 1 Februari 2018 pukul RSUP Dr. M. Djamil Padang pada saat Pasien masuk ke RSUP DR M.
04.00 WIB, melalui IGD RSUP. hari selasa tanggal 6 Maret 2018 Djamil Padang pada tanggal 14
Dr. M. Djamil Padang karena pukul 07:10 wib melalui IGD Februari 2019 pukul 01.44 WIB
mengalami penurunan kesadaran. rujukan dari RS Muaro Labuh melalui IGD, atas rujukan dari
Keluarga mengatakan pasien Solok Selatan dengan keluhan RSUD Pariaman dengan penurunan
mengalami kecelakaan dan penurunan kesadaran sejak 8 jam kesadaran semenjak 2 hari yang
sadarkan diri, kepala berdarah, sebelum masuk rumah sakit akibat lalu sebelum masuk ke RSUP DR
keluar darah di hidung, mulut, kecelakaan lalu lintas, tingkat M Djamil Padang karena
telinga, serta muntah darah kesadaran samnolen GCS 7 kecelakaan lalu lintas. Mengalami
sebanyak 2 kali. (E1M4V2), perdarahan mulut (+), muntah ada sebanyak 5 kali ketika
perdarahan hidung (+), muntah diatas ambulance disertai dengan
Riwayat Kesehatan Sekarang: Saat (+). darah, keluar darah dari hidung,
dilakukan pengkajian tanggal 12 mulut, dan telinga berwarna merah
Februari 2018 pasien hari rawatan Riwayat Kesehatan Sekarang: segar. Terdapat luka robek pada jari
ke 4 di ruang HCU Bedah. Keadaan Saat dilakukan pengkajian hari kaki sebelah kiri dan sudah di jahit
lemah, tingkat kesadaran somnolen Selasa tanggal 6 Maret 2018 dan terjadi fratur tertup pada 1/3
dengan GCS 7 E1M4V2. Pasien pukul 12:00 wib , keluarga klvikula tengah sebelah kanan.
terpasang OPA, suara nafas mengatakan pasien tampak lebih
terdengar gurgling, pasien banyak tidur, tingkat kesadaran Riwayat Kesehatan
terpasang NGT, terpasang oksigen samnolen, masih terdapat sisa Sekarang:Keluhan saat dilakukan
melalui NRM 10 liter/ menit, perdarahan di mulut dan hidung, pengkajian Kamis, 14 Februari
terpasang IVFD NaCl 0,9% 28 tidak ada muntah proyektil, pasien 2019 pukul 09.00 WIB, pasien hari
tetes/ menit melalui CVC, kateter merupakan hari rawatan pertama. rawatan pertama di HCU Bedah,
terpasang, terpasang monitor. Saat Keluarga mengatakan dahak keluarga mengatakan pasien hanya
ini semua aktivitas pasien dibantu pasien banyak, terdapat fraktur tertidur dan tidak sadarkan diri,
oleh perawat di ruangan. radius ⅓ distal sinistra terpasang keluarga mengatakan pasien sesak
ORIF tampak ada luka lecet nafas, keluarga mengatakan bahwa

Poltekkes Kemenkes Padang


45

Pemeriksaan Fisik: Pada ditangan sebelah kanan panjang tangan dan kaki klien teraba dingin
pemeriksaan fisik partisipan 1 ±7 cm lebar ±4 cm luka lecet lalu muka pasien terlihat pucat.
didapatkan keadaan umum pasien warna merah, basah dan luka lecet
lemah, tingkat kesadaran somnolen, pada kaki sebelah kiri panjang ±5 Pemeriksaan Fisik: Pada
GCS 7, E1M4V2, TD= 146/80 cm lebar ±2 cm luka berwarna pemeriksaan fisik yang dilakukan
mmHg, HR= 90 x/menit, RR= 30 merah dan masih basah serta pada Tn. AM didapatkan hasil
x/menit, Suhu 38,4o c, MAP= 102 kepala dielevasikan 30°. sebagai berikut: keadaan umum
mmHg, terpasang nrm 10 pasien lemah dengan tingkat
liter/menit, terdapat luka di pelipis Pemeriksaan Fisik: Pada kesadaran Stupor dan GCS 5
kiri , pernafasan cuping hidung, pemeriksaan fisik pada Tn. H (E1M3V1 ), tekanan darah pasien
terdengar suara nafas tambahan didapatkan Tingkat kesadaran: 169/87mmHg, pernafasan 26
gurgling.N.I (olfaktorius) tidak samnolen, GCS : GCS 7 kali/menit, nadi 90 kali/menit, suhu
dapat dinilai, N.II (opticus) tidak (E1M4V2), TD : 129/63 mmHg, badan 380C. pada pemeriksaan
dapat dinilai, N.III MAP 101 mmHg, Nadi : 116 x / fisik bagian kepala tanda racoen
(occulomotorius) refleks pupil menit, Pernapasan : 28 x / menit, eye dan betele sign sehingga pasien
isokor dengan diameter 3/3 mm, Suhu : 37.0 °C. Pada kepala tidak mengalami fraktur basis
N.IV (trochealis) tidak dapat tampak simetris, tidak ada luka, kranii dan pada pemeriksaan
dinilai, N.VI (abdusen) tidak dapat atau jejas dibagian kepala, tidak rangsaan menigela kakukuduk (-)
dinilai, N.VII (fasialis) tidak dapat ada pembengkakan, kulit kepala dan bruzenskyI(-) sehingg pasien
dinilai karena pasien dalam tampak bersih. Wajah tampak tidak menglami meningitis. Pada
penurunan kesadaran, N.VIII pucat, tidak ada luka maupun wajah terdapat luka lecet pada pipi
(akustikus) tidak dapat dinilai, N.IX memar dibagian wajah, dan dagu. Pada mata ditemukan
(aksesorius) tidak dapat dinilai, pemeriksaan nervus VII (Fasialis) pupil pil-point dan tidak ditemukan
N.X (vagus) tidak dapat dinilai, tidak dapat dinilai. Mata rakoen eye atau tanda lebam
N.IX (glosofaringeus) tidak dapat konjungtiva anemis, sklera tidak disekitar area mata sebagai tanda
dinilai, N.XII (hipoglosus) tidak ikterik, pada pemeriksaan nervus penyebab fraktur basis kranii. Pada
dapat dinilai. II (Optikus) tidak dapat dinilai, hidung ditemukan dalam keadaan
tampak ada oedema di kelopak kotor, tidak terjadi pendarahan aktif

Poltekkes Kemenkes Padang


46

mata sebelah kiri akibat dan tidak ada kelainan. Pada mulut
kecelakaan, pemeriksaan nervus ditemukan dalam keadaan kering
III (Occulomotorius) tidak dapat dan tidak ditemukan kelainan.
dinilai, pupil anisokor dengan Telinga kotor, tidak ada pendarahan
OD/OS : Ø 4/3 mm. N IV aktif dan tidak ditemukan tanda
(trochlearis) dan N VI (abdusens) bettle sign atau lebam dibelakang
tidak dapat dinilai. Hidung adanya daun telinga. Pada leher tidak ada
pernapasan cuping hidung, kelainan. Pada thoraks ditemukan
terpasang NGT, tampak masih ada terdapat tonjolan pada tulang
sisa perdarahan di hidung. Pasien klavikula dexstra dan terdapat luka
tidak dapat diperintah, pasien lebam pada sekitar area tersebut.
tidak bisa membedakan bau yang Pada jantung ditemukan tidak ada
diberikan sehingga pemeriksaan kelainan. Pada abdomen tidak
nervus I (Olfaktoris) tidak dapat ditemukan kelainan yang berarti.
bisa dinilai. Mulut tampak kering, Pada pemeriksaan ektremetas
tampak pucat, tidak ada lesi, ditemukan CRT > 2 detik, akral
tampak masih ada sisa perdarahan teraba dingin, turgor kulit buruk,
dimulut, N. IX (Glassofaringeus) pada pemeriksaan refleks fisiologis
dan N. X (Vagus) tidak dapat patologis tidak ada kelainan. Pada
dinilai, N XII (Hipoglosus) tidak genetalia tidak ditemukan kelainaa.
dapat dinilai. Telinga perdarahan Untuk pemeriksaan nervus tidak
(-), tampak kurang bersih dapat dinilai.
(serumen), pemeriksaan nervus
VIII (Akustikus) tidak dapat
dinilai. Leher Tidak ada
pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada pembesaran
vena jugularis, kaku kuduk tidak

Poltekkes Kemenkes Padang


47

dapat dinilai, pemeriksaan nervus


X (Vagus) tidak dapat dinilai.
2. Diagnosis 1. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Resiko ketidakefektifan 1. Penurunan kapasitas adaptif
Keperawatan napas berhubungan dengan perfusi jaringan otak intrakranial b.d edema serebral
penumpukan sekret dijalan 2. Ketidakefektifan pola napas akibat cedera kepala
napas berhubungan dengan 2. Pola napas tidak efektig b.d
2. Ketidakefektifan pola napas kerusakan neurologis gangguan neurologis
berhubungan dengan gangguan 3. Ketidakefektifan bersihan 3. Perfusi perifer tidak efektif b.d
neurologis jalan napas berhubungan pengurangan konsentrasi
3. Resiko ketidakefektifan perfusi dengan penumpukan sekret hemoglobin
jaringan otak berhubungan dijalan napas 4. Hipertermi b.d respon trauma
dengan trauma kepala 4. Kerusakan integritas kulit 5. Resiko infeksi
4. Hipertermi berhubungan dengan berhubungan dengan factor 6. Gangguan mobilitas fisik b.d
proses penyakit. mekanik. gangguan musculoskeletal
(NANDA) (NANDA) 7. Resiko konfusi akut
8. Resiko ketidakseimbangan
cairan.
(SDKI)
3. Perencanaan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Resiko ketidakefektifan 1. Penurunan kapasitas adaptif
Keperawatan napas berhubungan dengan perfusi jaringan otak intrakranial b.d edema serebral
penumpukan sekret dijalan NOC: akibat cedera kepala
napas a. Perfusi jaringan serebral NIC:
NOC: b. Status sirkulasi a. Manajemen edema serebral
a. Status pernapasan: NIC: b. Monitor status pernapasan
kepatenan jalan napas a. Monitor tekanan c. Peningkatan perfusi
NIC: intrakranial (TIK) serebral.
a. Penghisapan lendir pada b. Terapi oksigen 2. Pola napas tidak efektif b.d
jalan napas c. Monitor ttv gangguan neurologis

Poltekkes Kemenkes Padang


48

b. Manajemen jalan napas


2. Ketidakefektifan pola napas 2. Ketidakefektifan pola napas NIC:
berhubungan dengan gangguan berhubungan dengan a. Manajemen jalan napas
neurologis kerusakan neurologis b. Terapi oksigen
NOC: NOC: c. Monitor pernapasan
a. Status pernapasan a. Status pernapasan d. Monitor ttv.
NIC: NIC: 3. Perfusi perifer tidak efektif b.d
a. Terapi oksigen a. Terapi oksigen pengurangan konsentrasi
b. Monitor tanda-tanda vital b. Monitor ttv hemoglobin
3. Resiko ketidakefektifan perfusi 3. Ketidakefektifan bersihan NIC:
jaringan otak berhubungan jalan napas berhubungan a. Perawatan sirkulasi
dengan trauma kepala dengan penumpukan sekret b. Manajemen asam basa
NOC: dijalan napas c. Manajemen syok
a. Status sirkulasi NOC: 4. Hipertermi b.d respon trauma
b. Perfusi jaringan: serebral a. Status pernapasan: NIC:
c. Status neurologis kepatenan jalan napas a. Perawatan demam
NIC: b. Status pernapasan: b. Pengaturan suhu
a. Manajemen oedema serebral ventilasi 5. Resiko infeksi
b. Terapi oksigen NIC: NIC:
c. Monitor peningkatan TIK a. Manajemen jalan napas a. Kontrol infeksi
d. Monitor neurologi b. Monitor pernapasan b. Perlindungan infeksi
e. Monitor tanda-tanda vital c. Fisioterapi dada c. Perawatan luka
4. Hipertermi berhubungan dengan d. Penghisapan lendir pada d. Perawatan selang
proses penyakit. jalan napas (suction) 6. Gangguan mobilitas fisik b.d
NOC: 4. Kerusakan integritas kulit gangguan musculoskeletal
a. Termoregulasi berhubungan dengan factor NIC:
NIC: mekanik a. Pengaturan posisi
a. Manajemen demam NOC: b. Bantuan perawatan diri

Poltekkes Kemenkes Padang


49

b. Monitor tanda-tanda vital. a. Integritas kulit: kulit dan 7. Resiko konfusi akut
membrane mukosa NIC:
b. Keparahan infeksi a. Monitor neurologi
NIC: b. Pencegahan jatuh
a. Perawatan luka 8. Resiko ketidakseimbangan
b. Pengecekan kulit. cairan.
NIC:
a. Manajemen cairan
b. Monitor ttv.
4. Implementasi 1. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Resiko ketidakefektifan 1. Penurunan kapasitas adaptif
Keperawatan napas berhubungan dengan perfusi jaringan otak intrakranial b.d edema serebral
penumpukan sekret dijalan a. Mempertahankan posisi akibat cedera kepala
napas kepala pasien elevasi 30° a. Memonitor adanya pingsan,
a. Pengisapan lendir pada jalan untuk memaksimalkan memonitor tingkat GCS,
nafas diantaranya ventilasi, memberikan memonitor TTV, memonitor
1) Mencuci tangan, memakai rangsangan suara untuk status pernafasan: frekuensi,
APD meningkatkan tingkat irama, kedalaman
2) Menginformasikan kesadaran, memonitor pernafasan, PO2, PCO2, Ph
keluarga mengenai aliran O2, memonitor darah, kolaborasi pemberian
tindakan suction TTV, monitor kualitas diuretik osmotik: manitol
3) Mengauskultasi suara nadi, memonitor tingkat 3x150g, memonitor MAP,
nafas sebelum dan kesadaran. memberikan NaCl 0,9 %
sesudah melakukan 2. Ketidakefektifan pola napas 3kolf/24 jam, memberikan 1
suction berhubungan dengan unit PRC, mengelevasikan
4) Memonitor status oksigen kerusakan neurologis kepala 30o (semi fowler),
pasien a. Mempertahankan posisi menghindari fleksi kepala,
5) Membersihkan daerah kepala pasien elevasi 30° panggul dan lutut yang
stroma trakea setelah untuk memaksimalkan ekstrim, mempertahankan

Poltekkes Kemenkes Padang


50

melakukan tindakan ventilasi, memonitor PCO2 dalam rentang normal


suction kepatenan jalan napas, dengan penggunaan NRM
b. Manajemen jalan nafas memonitor pola 10 L/menit, memonitor efek
diantaranya pernapasan yang pemberian manitol,
1) Memberi posisi semi abnormal, memberikan memonitor PTT dan PT,
fowler pada pasien untuk terapi Non Rebreathing memonitor tanda
memaksimalkan ventilasi Mask 10 liter/menit. pendarahan melalui feses,
2) Mengauskultasi suara 3. Ketidakefektifan bersihan hidung, mulut dan telinga,
pernapasan dan mencatat jalan napas berhubungan memonitor nilai
adanya suara nafas dengan penumpukan sekret laboratorium untuk status
tambahan dijalan napas asam basa, dan monitor
3) Memonitor respirasi dan a. Memposisi elevasi kepala intake dan output.
status O2 30° untuk memaksimalkan 2. Pola napas tidak efektif b.d
2. Ketidakefektifan pola napas ventilasi, memonitor gangguan neurologis
berhubungan dengan gangguan respirasi dan status O2, a. Memposisikan pasien semi
neurologis mengauskultasi suara fowler, mengauskultasi
a. Terapi oksigen diantaranya napas, memonitor status suara nafas, mengelola
1) Memeriksa mulut, O2, memonitor aukultasi penggunaan oksigen,
hidung dan sekret trakea suara napas, monitor memonitor status
2) Mengatur peralatan adanya suara napas pernafasan, membersihkan
oksigen tambahan mulut dan hidung,
3) Memonitor aliran 4. Kerusakan integritas kulit memberikan oksigen
oksigen berhubungan dengan factor melalui NRM 10L/menit,
b. Monitor tanda-tanda vital mekanik memonitor aliran oksigen,
diantaranya a. Monitor karakteristik luka memonitor efektifitas terapi
1) Memonitor tekanan seperti warna, ukuran, bau, oksigen, mengamati tanda-
darah, nadi, suhu dan ukur luas luka yang sesuai, tanda hipoventilasi (mis.
pernapasan - Memonitor oleskan salep yang sesuai nafas pendek dan cepat),

Poltekkes Kemenkes Padang


51

kualitas nadi, memonitor dengan kulit, monitor suhu memonitor irama,


frekuensi dan irama dan warna kulit, monitor kedalaman, dan kesulitan
pernapasan jika ada infeksi, periksa bernafas, inspeksi
2) Memonitor sianosis luka setiap kali ada pergerakan didnding dada,
perifer perubahan luka. memonitor suara tambahan,
3. Resiko ketidakefektifan perfusi memonitor pola nafas,
jaringan otak berhubungan memonitor saturasi oksigen,
dengan trauma kepala dan memonitor TTV.
a. Manajemen edema serebral 3. Perfusi perifer tidak efektif b.d
diantaranya pengurangan konsentrasi
1) Memposisikan kepala hemoglobin
30o a. Melakukan pemeriksaan
2) Memonitor status CRT, denyut nadi perifer
neurologi dan meraba bagian akral,
3) Memberikan anti kejang memonitor cairan yang
Luminal 3 x 1 Mg masuk, menginspeksi
4) Memonitor intake dan adanya luka tekan,
output cairan memonitor pola nafas,
b. Terapi oksigen diantaranya mempertahankan akses
1) Memeriksa mulut, intaravena, memonitor
hidung dan sekret trakea hiperventilasi dan obati
2) Mengatur peralatan penyebabnya, mengontrol
oksigen demam dengan kompres
3) Memonitor aliran dingin, memeberikan NRM
oksigen. 10 L/menit, memonitor Ph
4) Monitor peningkatan darah, Pa CO2, HCO3,
TIK diantaranya memonitor TTV dan output
5) Memonitor tekanan urin, memonitor nilai MAP,

Poltekkes Kemenkes Padang


52

perfusi serebral memonitor nilai labor


6) Mencatat respon pasien (hemoglobin), memberikan
terhadap stimulasi NaCl 0,9 % 3kolf/24 jam,
7) Memonitor tekanan memberikan PRC 1 unit,
intrakranial dan status memonitor intake dan
neurologis terhadap output, dan memonitor
aktivitas fungsi ginjal (mis. nilai
8) Mempertahankan posisi ureum dan kreatinin).
kepala semi fowler 4. Hipertermi b.d respon trauma
9) Memberikan antibiotik a. Memantau suhu tubuh dan
Ceftriaxnone 2 x 1 g tanda-tanda vital secara
c. Monitor neurologi berkala, memantau suhu
diantaranya tubuh dan warna kulit,
1) Memonitor tingkat memonitor intake dan
kesadaran dengan output, memberikan PCT
glasgow coma scale 3x1gr, memberikan NaCl
2) Memonitor refleks 0,9 % 3 kolf/24 jam,
babinsky menyelimuti tubuh pasien
d. Monitor tanda-tanda vital dengan selimut, emberikan
diantaranya oksigen melalui NRM 10
1) Memonitor tekanan L/menit, menjaga suhu
darah, nadi, pernapasan lingkungan sesuai dengan
dan suhu suhu kamar agar
2) Memonitor frekuensi memperlambat metabolisme
pernapasan dan irama dan meningkatkan
pernapasan kenyamanan, memonitor
3) Memonitor sianosis nilai leukosit, melakukan
perifer kompres basah, menjelaskan

Poltekkes Kemenkes Padang


53

kepada keluarga tentang


4. Hipertermi berhubungan dengan penggunaan kompres, dan
proses penyakit. melakukan kompres pada
a. Manajemen demam area kepala.
diantaranya 5. Resiko infeksi
1) Memonitor suhu sekali 2 a. Membersihkan lingkungan
jam dengan baik, mengganti
2) Memonitor warna dan peralatan perawatan pasien
suhu kulit sesuai protocol, membatasi
3) Memberikan terapi obat jumlah pengunjung,
PCT menganjurkan dan
4) Memberi kompres pada mengajarkan kepada
lipatan paha dan aksila keluarga mencuci tangan
5) Memonitor intake dan saat memasuki dan
output pasien meninggalkan ruangan
pasien, memberikan anti
biotic, memonitor tanda dan
gejala infeksi, memonitor
karakteristik luka,
melakukan perawatan luka ,
memeriksa luka setiap kali
perawatan luka, kaji indikasi
pemasangan selang,
pertahankan kebersihan
tangan ketika melakukan
tindakan menggunakan
NGT dan kateter,
pemepertahankan kepatenan

Poltekkes Kemenkes Padang


54

selang NGT, dan


menggantikan NGT dan
Kateter secara berkala.

6. Gangguan mobilitas fisik b.d


gangguan musculoskeletal
a. Menempatkan psien di
tempat tidur yang
terapeutik, meminimalisir
gerakan dan cidera ketika
memposisikan pasien ,
meninggikan kepal tempat
tidur, mengubah posisi
pasien secara hati-hati setiap
2 jam, memepertimbangkan
usia pasien, memberikan
lingkungan yang terapeutik
dan memeberikan bantuan:
mandi, eliminasi, makan,
berpakaian dan lain-lain.
7. Resiko konfusi akut
a. Memantau ukuran pupil,
memonitor GCS, memonitor
status pernafasan,
memonitor reflek batuk dan
muntah, mengidentifikasi
kekurangan baik kognitif
atau fisik dari pasien yang

Poltekkes Kemenkes Padang


55

mungkin meningkatan
potensi jatuh pada
lingkungan tertentu dan
mengidentifikasi prilaku dan
fator mempengaruhi resiko
jatuh, dan pasang savety bed
dengan benar.
8. Resiko ketidakseimbangan
cairan.
a. Menjaga intake dan catat
output pasien, memasang
kateter, memonitor status
hidrasi :mukosa mulut, nadi
dan tekanan darah,
memonitor hasil labor,
memonitor TTV,
memberikan cairan NaCl
0,9 % 3kolf/24 jam dan
memonitor terapi pasien
terhadap terapi elektrolit.
5. Evaluasi 1. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Resiko ketidakefektifan 1. Penurunan kapasitas adaptif
Keperawatan napas berhubungan dengan perfusi jaringan otak intrakranial b.d edema serebral
penumpukan sekret dijalan a. Pada hari keempat dan akibat cedera kepala
napas. kelima keadaan pasien a. Pada hari kedua GCS pasien
a. Pada hari ke 5 sekret pasien sudah mulai membaik meningkat menjadai 7 dan
mulai berkurang, pasien dengan GCS 10 dan pada pada hari ke 5 pasien sudah
masih terpasang OPA, RR hari kelima keadaan pasien mulai tampak sadar dengan
dalam rentang normal membaik dengan GCS 10 GCS 11, masalah teratasi

Poltekkes Kemenkes Padang


56

sehingga masalah dan TTV dalam batas sebagian dan intervensi


keperawatan sebagian normal sehingga masalah dilanjutkan.
teratasi dan intervensi teratasi sebagian dan 2. Pola napas tidak efektig b.d
dilanjutkan. intervensi dilanjutkan: gangguan neurologis
2. Ketidakefektifan pola napas terapi O2, monitor TTV. a. Pada hari ke empat sesak
berhubungan dengan gangguan 2. Ketidakefektifan pola napas pasien mulai berkurang dan
neurologis berhubungan dengan pada hari ke lima terapi
a. Pada hari ke 5 pasien kerusakan neurologis oksigen pasien diganti
mengalami perbaikan rr a. Pada hari keempat dan menggunakan nasal kanul 4
dalam rentang normal, tidak kelima keadaan pasien L/menit. Masalah teratasi
ada pernapasan cuping sudah mulai membaik, sebagian, intervensi
hidung, O2 melalui nrm 8 sesak napas sudah dialnjutkan.
liter sehingga masalah berkurang, RR 26 x/menit 3. Perfusi perifer tidak efektif b.d
keperawatan yang sehingga masalah teratasi pengurangan konsentrasi
ditemukan teratasi sebagian sebagian dan intervensi hemoglobin
dan intervensi dilanjutkan. dilajutkan: monitor TTV, a. Pada hari kelima CRT
3. Resiko ketidakefektifan perfusi terapi oksigen. pasien < 3 detik sehingga
jaringan otak berhubungan 3. Ketidakefektifan bersihan masalah teratasi intervensi
dengan trauma kepala jalan napas berhubungan dihentikan.
a. Pada hari ke 4 kesadaran dengan penumpukan sekret 4. Hipertermi b.d respon trauma
pasien mulai membaik, dijalan napas a. Pada hari ke dua leukosit
hingga hari ke 5 tingkat a. Pada hari keempat dan pasien turun menjadi
kesadaran meningkat, TTV kelima keadaan pasien 14.350/mm3 , pada hari ke 3
dalam batas normal sudah mulai membaik, suhu tubuh pasien 37,50C,
sehingga masalah teratasi sesak napas sudah sehingga masalah teratasi
sebagian dan intervensi berkurang, dahak sudah intervensi dihentikan.
dilanjutkan. berkurang dan TTV dalam 5. Resiko infeksi
4. Hipertermi berhubungan dengan rentang normal sehingga a. Pada hari ke dua leukosit

Poltekkes Kemenkes Padang


57

proses penyakit. masalah teratasi sebagian pasien turun menjadi


a. Pada hari kedua suhu pasien dan intervensi dilanjutkan: 14.350/mm3 , pada hari ke 3
dalam rentang normal dan pertahankan kepatenan suhu tubuh pasien 37,50C,
akral teraba hangat sehingga jalan napas, monitor sehingga masalah teratasi
masalah keperawatan yang pernapasan. intervensi dihentikan.
ditemukan teratasi dan 4. Kerusakan integritas kulit 6. Gangguan mobilitas fisik b.d
intervensi dihentikan. berhubungan dengan factor gangguan musculoskeletal
mekanik a. Setiap hari tingkat
a. Pada hari kelima keadaan kesadaran pasien terus
pasien sudah mulai meningkat, dan keatifan dari
membaik ditandai dengan ekstremitas pasien sangat
warna luka kecoklatan dan aktif, sehingga pada hari ke
sudah tampak mengering lima sebagian masalah
sehingga masalah teratasi teratasi dan intervensi
sebagian dan intervensi dilanjutkan di ruangan
dilanjutkan: lakukan trauma centere.
perawatan luka yang 7. Resiko konfusi akut
sesuai, berikan salep yang a. Pada hari kedua GCS pasien
sesuai dengan kulit. meningkat menjadai 7 dan
pada hari ke 5 pasien sudah
mulai tampak sadar dengan
GCS 11, masalah teratasi
sebagian dan intervensi
dilanjutkan.
8. Resiko ketidakseimbangan
cairan.
a. Pada hari ketiga konjungtifa
pasien tidak anemis, dan

Poltekkes Kemenkes Padang


58

dari hari-kehari tekanan


darah pasien stabil, tetapi
intake dan output pasien
tidak seimbang, sehingga
sebagian masalah teratasi
dan intervensi dilanjutkan
ke trauma centere.

Poltekkes Kemenkes Padang


59

B. Pembahasan
Pada pembahasan kasus ini, peneliti akan membahas kesinambungan antara
teori dengan laporan kasus asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera
kepala. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengkajian, menegakkan diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi
keperawatan.
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Pasien pada KTI 1,2 dan 3 sama-sama berjenis kelamin laki-laki. Hal
ini sesuai dengan teori Brain Injury Association Of Amerika dalam
Bararah et al., 2013, yaitu laki-laki cenderung mengalami cedera
kepala1,5 kali lebih banyak daripada perempuan. Menurut Brunner &
Suddarth, 2017 mengatakan bahwa kelompok yang beresiko tinggi
mengalami cedera kepala adalah laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Rawis et al., 2016 kejadian cedera kepala
dua kali lebih banyak terjadi pada pria dari pada wanita dengan
jumlah pasien laki-laki pada seluruh kasus sebanyak 33 orang (83%).
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Ketiga pasien pada KTI 1,2 dan 3 sama-sama mengalami
penurunan kesadaran, muntah darah, pendarahan hidung, mulut,
dan telinga serta mengalami perdarahan subarachnoid, eodema
serebri dan perdarahan intraserebral.
Pada KTI 1 pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 1 Februari
2018, sedangkan pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Februari
2018. Pada KTI 2 pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 6
Maret 2018 dan pengkajian dilakukan dihari yang sama. Pada KTI
3 pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 14 Februari 2019 dan
pengkajian dilakukan dihari yang sama.

Poltekkes Kemenkes Padang


60

Hal ini sesuai dengan teori Brunner & Suddarth, 2017 yang pada
umumnya pasien cedera kepala datang ke rumah sakit dengan
keluhan penurunan kesadaran, muntah, nyeri kepala, keluarnya
darah dari hidung, telinga dan muntah disertai darah, perubahan
pola napas, perubahan tekanan darah, perubahan suhu tubuh,
mengalami gangguan sensori, gangguan penglihatan, dan
gangguan pendengaran.

Menurut peneliti, pada KTI pertama pengkajian dilakukan 11 hari


setelah pasien datang awal ke rumah sakit.Hal ini menandakan
pasien sudah lama dirawat tetapi pasien masih belum
menunjukkan tanda-tanda kemajuan kondisi pasien.Selama 11 hari
sebelum peneliti datang melakukan pengkajian, perawat ruangan
telah melakukan asuhan keperawatan, tetapi GCS pasien masih 7
dengan tingkat kesadaran samnolen.Perdarahan subarachnoid
adalah perdarahan ekstra serebral atau masuknya darah keruang
subarachnoid akibat cedera tersebut.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada KTI keadaan pasien lemah, penurunan kesadaran dengan
tingkat kesadaran samnolen GCS 7. Pada KTI 2 pasien mengalami
penurunan kesadaran dengan tingkat kesadaran samnolen GCS 7,
masih terdapat sisa perdarahan di mulut dan hidung, tidak ada
muntah proyektil. Pada KTI 3 pasien mengalami penurunan
kesadaran dengan tingkat kesadaran stupor GCS 5, pasien hanya
tertidur dan tidak sadarkan diri, keluarga mengatakan pasien sesak
nafas, tangan dan kaki pasien teraba dingin dan wajah pasien
terlihat pucat.Pasien memliki riwayat CKD Stage Vyaitu
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan cairan dan elektrolit akibat dekstrusi struktur ginjal
yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik
(toksik uremik) di dalam darah.

Poltekkes Kemenkes Padang


61

Menurut teori Tarwoto, 2013, pasien cedera kepala berat memiliki


nilai GCS 3-8, biasanya hilang kesadaran lebih dari 24 jam,
disertai kontusio, laserasi, atau adanya hematoma, edema serebral.

Berdasarkan teori dari Yessi & S, 2013mengatakan bahwa pasien


cedera kepala akan mengalami penurunan kesadaran, sakit kepala,
perdarahan yang mengakibatkan otak tidak dapat bekerja secara
efektif.Menurut peneliti, terdapat kesesuaian antara teori dan kasus
yaitu penurunan kesadaran, muntah darah, perdarahan hidung dan
telinga.
c. Pemeriksaan Fisik
Pada KTI 1 didapatkan keadaan umum pasien lemah, tingkat
kesadaran somnolen, GCS 7, E1M4V2, TD= 146/80 mmHg, HR= 90
x/menit, RR= 30 x/menit, Suhu 38,4o c, MAP= 102 mmHg, terpasang
nrm 10 liter/menit, terdapat luka di pelipis kiri , pernafasan cuping
hidung, terdengar suara nafas tambahan gurgling.N.I (olfaktorius)
tidak dapat dinilai, N.II (opticus) tidak dapat dinilai, N.III
(occulomotorius) refleks pupil isokor dengan diameter 3/3 mm, N.IV
(trochealis) tidak dapat dinilai, N.VI (abdusen) tidak dapat dinilai,
N.VII (fasialis) tidak dapat dinilai karena pasien dalam penurunan
kesadaran, N.VIII (akustikus) tidak dapat dinilai, N.IX (aksesorius)
tidak dapat dinilai, N.X (vagus) tidak dapat dinilai, N.IX
(glosofaringeus) tidak dapat dinilai, N.XII (hipoglosus) tidak dapat
dinilai.

Pada KTI 2 didapatkan Tingkat kesadaran: samnolen, GCS : GCS 7


(E1M4V2), TD : 129/63 mmHg, MAP 101 mmHg, Nadi : 116 x /
menit, Pernapasan : 28 x / menit, Suhu : 37.0 °C. Pada kepala tampak
simetris, tidak ada luka, atau jejas dibagian kepala, tidak ada
pembengkakan, kulit kepala tampak bersih.Wajah tampak pucat, tidak
ada luka maupun memar dibagian wajah, pemeriksaan nervus VII

Poltekkes Kemenkes Padang


62

(Fasialis) tidak dapat dinilai. Mata konjungtiva anemis, sklera tidak


ikterik, pada pemeriksaan nervus II (Optikus) tidak dapat dinilai,
tampak ada oedema di kelopak mata sebelah kiri akibat kecelakaan,
pemeriksaan nervus III (Occulomotorius) tidak dapat dinilai, pupil
anisokor dengan OD/OS : Ø 4/3 mm. N IV (trochlearis) dan N VI
(abdusens) tidak dapat dinilai. Hidung adanya pernapasan cuping
hidung, terpasang NGT, tampak masih ada sisa perdarahan di
hidung.Pasien tidak dapat diperintah, pasien tidak bisa membedakan
bau yang diberikan sehingga pemeriksaan nervus I (Olfaktoris) tidak
dapat bisa dinilai. Mulut tampak kering, tampak pucat, tidak ada lesi,
tampak masih ada sisa perdarahan dimulut, N. IX (Glassofaringeus)
dan N. X (Vagus) tidak dapat dinilai, N XII (Hipoglosus) tidak dapat
dinilai. Telinga perdarahan (-), tampak kurang bersih (serumen),
pemeriksaan nervus VIII (Akustikus) tidak dapat dinilai. Leher Tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran vena
jugularis, kaku kuduk tidak dapat dinilai, pemeriksaan nervus X
(Vagus) tidak dapat dinilai.

Pada KTI 3 didapatkan keadaan umum pasien lemah dengan tingkat


kesadaran Stupor dan GCS 5 (E1M3V1 ), tekanan darah pasien
169/87mmHg, pernafasan 26 kali/menit, nadi 90 kali/menit, suhu
badan 380C. pada pemeriksaan fisik bagian kepala tanda racoen eye
dan betele sign sehingga pasien tidak mengalami fraktur basis kranii
dan pada pemeriksaan rangsaan menigela kakukuduk (-) dan
bruzenskyI(-) sehingga pasien tidak menglami meningitis. Pada wajah
terdapat luka lecet pada pipi dan dagu.Pada mata ditemukan pupil pil-
point dan tidak ditemukan rakoen eye atau tanda lebam disekitar area
mata sebagai tanda penyebab fraktur basis krani.Pada hidung
ditemukan dalam keadaan kotor, tidak terjadi pendarahan aktif dan
tidak ada kelainan.Pada mulut ditemukan dalam keadaan kering dan
tidak ditemukan kelainan.Telinga kotor, tidak ada pendarahan aktif

Poltekkes Kemenkes Padang


63

dan tidak ditemukan tanda bettle sign atau lebam dibelakang daun
telinga.Pada leher tidak ada kelainan.Pada thoraks ditemukan terdapat
tonjolan pada tulang klavikula dexstra dan terdapat luka lebam pada
sekitar area tersebut.Pada jantung ditemukan tidak ada kelainan.Pada
abdomen tidak ditemukan kelainan yang berarti.Pada pemeriksaan
ektremetas ditemukan CRT > 2 detik, akral teraba dingin, turgor kulit
buruk, pada pemeriksaan refleks fisiologis patologis tidak ada
kelainan.Pada genetalia tidak ditemukan kelainaa.Untuk pemeriksaan
nervus tidak dapat dinilai.

Otak yang mengalami cedera sangat sensitif terhadap deviasi dalam


lingkungan fisiologiknya.Bahkan episode hipotensi, hipoksia, atau
peningkatan ICP yang hanya terjadi dalam waktu singkat, dapat
sangat membahayakan otak tersebut.Kenaikan sementara ICP tidak
menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan tekanan yang menetap
mengakibatkan rusaknya kehidupan jaringan otak.Perawatan awal
pada pasien cedera kepala ditujukan pada pengamanan jalan napas dan
memberikan oksigenasi dan ventilasi yang memadai.(Price Sylvia A.
& Lorraine, 2016)

Berdasarkan teori Margareth & Clevo, 2012 pada pemeriksaan fisik


yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS 3-8, disorientasi
orang, waktu dan tempat, biasanya pasien tidak dapat diinstruksikan
dan membedakan rangsangan /stimulus rasa, raba, suhu dan getaran.
Nervus kranialis dapat terganggu apabila trauma meluas sampai
kebatang otak karena edema otak atau perdarahan yang terjadi di otak.

Menurut Ar et al., 2012 dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada


anak jaringan neural yang sedikit mengandung mielin yang
menyebabkan jaringan saraf mudah rusak, sehingga pada anak lebih
sering terjadi injuri yang diffus dan edema otak dan peningkatan
tekanan intrakranial lebih mudah terjadi. Menurut analisa peneliti

Poltekkes Kemenkes Padang


64

terdapat kesamaan antara teori dan kasus yaitu sama-sama mengalami


gangguan neurologis dan tidak semua pemeriksaan nervus kranialis
dapat dilakukan pada pasien.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif
Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 1, KTI 2 dan KTI 3.
Pada KTI 1 diagnosa ini ditegakkan karena didukung datasesak nafas
dengan frekuensi pernafasan diatas normal, pernafasan cuping hidung
dan pernafasan dibantu dengan non rebreathing mask 10 L/i.
Pada KTI 2 diagnosa ini ditegakkan karena didukung datapasien
tampak sesak napas, data objektif tampak sesak napas, tampak
pernapasan cuping hidung, retraksi dinding dada (+), terpasang Non
Rebreathing Mask 10 liter/menit, RR : 28 x / menit.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung datapasien
tampak sesak, RR: 26 kali/menit, terpasang NRM 10 L/menit, P CO2 :
28 mmHg, terdapat retraksi dinding dada.

Hal ini sesuai dengan Anna et al., 2018 dikatakan ketidakefektifan


pola napas adalah inspirasi dan/ ekspirasi yang tidak memberikan
ventilasi adekuat dengan batasan karakteristik pola napas abnormal,
fase ekspirasi memanjang, penggunaan otot bantu pernapasan,
penurunan kapasitas vital, pernapasan cuping hidung.

Dalam Tim Pokja PPNI, 2017 pola napas tidak efektif adalah inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Dengan
gejala mayor dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, fase
ekspirasi memanjang, pola napas abnormal, ortopnea, pernapasan
pursed-lip, pernapasan cuping hidung, ventilasi semenit menurun,
tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun dan ekskursi
dada berubah.

Poltekkes Kemenkes Padang


65

Hal ini sesuai juga dengan teori pada aspek sistem pernapasan terjadi
perubahan pola napas, kedalaman, ataupun frekuensi yaitu cepat dan
dangkal, irama tidak teratur (Muttaqin, 2011). Menurut peneliti,
diagnosa ini diangkat karena mengalami gangguan di jalan nafas,
gangguan pernafasan dan gangguan sirkulasi.Pada KTI 3
kemungkinan penyakit penyerta seperti CKD bisa memperburuk
keadaan pasien karena bisa terjadi retensi cairan intertisial dari edema
paru.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 1 dan 2.
Pada KTI 1 diagnosa ini ditegakkan karena didukung oleh data pasien
mengalami penurunan kesadaran, terpasang OPA, terdengar bunyi
gurgling, frekuensi napas meningkat, pasien gelisah.
Pada KTI 2 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data ada sekret
dijalan napas, bunyi napas terdengar gurgling, terpasang OPA.

Dalam teori Anna et al., 2018 dikatakan ketidakefektifan bersihan


jalan napas adalah ketidakmampuan membersihkan sekresi atau
obstruksi dari sealuran napas untuk mempertahankan jalan napas
dengan batasan karakteristik tidak ada batuk, suara napas tambahan,
sputum dalam jumlah yang berlebih, batuk yang tidak efektif, gelisah.

Dalam Tim Pokja PPNI, 2017, bersihan jalan napas tidak efektif
adalah ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten. Dengan gejala
mayor batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih,
mengi wheezing dan ronkhi kering dan gejala minor dispnea, sulit
bicara, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi
napas berubah dan pola napas berubah. Menurut analisa peneliti,
diagnosa ini diangkat karena bersifat gawat dan jika pasien mengalami
sumbatan pada jalan nafas maka suplay O2 ke otak mengalami

Poltekkes Kemenkes Padang


66

gangguan sehingga otak tidak mendapatkan O2 secara maksimal dan


hal ini akan menyebabkan kematian jaringan.
c. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 1 dan KTI 2.
Pada KTI 1 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data pasien
sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas, pasien muntah, kejang
dan mengalami penurunan kesadaran, kesadaran somnolen, adanya
trauma pada kepala, tanda-tanda vital tidak normal, adanya kerusakan
neurolgi dan adanya peningkatan TIK.
Pada KTI 2 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data pasien
belum sadar, tingkat kesadaran samnolen dengan GCS 7 (E1M4V2),
masih terdapat sisa perdarahan di mulut dan hidung, muntah proyektil
(-), TD : 129/63 mmHg, MAP 101 mmHg, nadi : 116 x / menit,
pernapasan : 28 x / menit, suhu : 37.0 °C, terpasang Non Rebreathing
Mask 10 liter/menit.

Hal ini sesuai dengan teori NANDA Anna et al., 2018yaitu resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah rentan mengalami
penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu
kesehatan.Kondisi ini disebabkan cedera kepala atau cedera otak.

Dalam Tim Pokja PPNI, 2017risiko perfusi serebral tidak efektif


adalah berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak. Kondisi
ini bisa disebabkan oleh cedera kepala.Menurut peneliti, terdapat
kesesuaian antara teori dan kasus yang ada.

d. Hipertermi
Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 1 dan KTI 3.
Pada KTI 1 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data akral pasien
teraba panas, suhu 38,4oC, kulit pasien tampak kemerahan.

Poltekkes Kemenkes Padang


67

Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data kepala


pasien teraba panas dan data objektif , Suhu :38oC , Nadi: 90 kali
permenit.

Hal ini sesuai dengan teori Anna et al., 2018yaitu hipertermi adalah
suhu inti tubuh diatas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi dengan batasan karakteristik gelisah, kulit kemerahan,
kulit terasa hangat dan takikardi.

Hal ini juga sejalan dengan Tim Pokja PPNI, 2017 yaitu hipertermi
adalah suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh dengan
gejala suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, takikardi, kulit
terasa hangat.

Begitu juga dengan teori Satyanegara, 2010, yaitu ketika terjadi


peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada penderita cedera kepala
maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan pengeluaran cairan
dalam sel ke luar sel yang akan mempengaruhi tekanan intrakranial.
Menurut analisa peneliti diagnosa hipertermi ditegakkan pada pasien
cedera kepala karena adanya kerusakan pengaturan suhu di
hipotalamus.

e. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3 dengan gejala tekanan darah
meningkat, bradikardi pola nafas ireguler, tingkat kesadaran menurun,
respon pupil melambat atau tidak sama, ditandai dengan data
subjektif, Keluarga mengatakan pasien belum sadar, data objektif ,
Pasien tampak tidak sadar, Tingkat kesadaran pasien stupor, GCS 5,
TD:169/87 mmHg, Suhu: 38oC, Nadi :90 kali/menit, RR: 26
kali/menit, Pasien tampak lesuh dan lemah.

Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017yaitu penurunan


kapasitas adaptif intrakranial adalah gangguan mekanisme mekanika

Poltekkes Kemenkes Padang


68

intrakranial dalam melakukan kompensasi terhadap stimulus yang


dapat menurunkan kapasitas intrakranal. Dengan tanda dan gejala
mayor yaitu tekanan darah meningkat, brakikardi, tingkat kesadaran
menurun, reflex neurologis terganggu dan tanda gejala minor yaitu
gelisah, muntah, peningkatan TIK, tampak lemah dan lesu.

Menurut Anna et al., 2018, penurunan kapasitas adaptif intrakranial


adalah gangguan mekanisme dinamika cairan intracranial, yang
menyebabkan peningkatan TIK yang tidak proporsional dan berulang
dalam respons terhadap berbagai stimuli yang berbahaya dan tidak
berbahaya. Dengan batasan karakteristik tekanan intrakranial dasar
≥10 mmHg, peningkatan tekanan intrakranial tidak proporsional
setelah terjadi stimulus, kenaikan bentuk gelombang tidal wave
intracranial pressure (2P TIK), peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
≥ 10 mmHg secara berulang selama ≥5 menit setelah adanya berbagai
stimuli eksternal, uji respons tekanan volume yang beragam (volume:
rasio tekanan 2, indeks volume tekanan), dan bentuk gelombang TIK
menunjukkan amplitude yang tinggi. Menurut peneliti, terdapat
kesesuaian antara teori dan kasus.

f. Perfusi perifer tidak efektif


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung datapasien tidak
sadar dan ujung tangan teraba dingin dan data objektif, hemoglobin
8,7 gr/dl, CRT >3 detik, akral pasien teraba dingin, pasien terlihat
pucat dan turgor kulit pasien buruk.

Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017yaitu perfusi perifer tidak
efektif adalah penurunan sirkulasi darah pada lever kapiler yang dapat
mengganggu metabolisme tubuh yang ditandai dengan gejala mayor
CRT>3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba
dingin, warna kulit pucat dan turgor kulit menurun.

Poltekkes Kemenkes Padang


69

Dalam Anna et al., 2018 ketidakefektifan perfusi jaringan perifer


adalah penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat mengganggu
kesehatan. Dengan batasan karakteristik tidak ada nadi perifer,
perubahan fungsi motorik, perubahan karakteristik kulit, waktu
pengisian kapiler > 3 detik, perubahan tekanan darah di ekstermitas,
penurunan nadi perifer, keterlambatan penyembuhan luka perifer,
edema, nyeri ekstermitas, dan warna kulit pucat saat elevasi.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke


menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, yang
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak
(Price Sylvia A. & Lorraine, 2016). Menurut peneiti terdapat
kesesuaian antara teori dan kasus.

g. Kerusakan integritas kulit


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 2.
Pada KTI 2 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data tampak
luka lecet ditangan kanan dengan panjang ±7 cm lebar ±4 cm dan luka
lecet pada kaki sebelah kiri panjang ±5 cm lebar ±2 cm, tampak luka
warna merah dan masih basah.

Hal ini sesuai dengan Anna et al., 2018kerusakan integritas kulit


adalah kerusakan pada epidermis dan atau dermis dengan batasan
karakteristik hematoma, perdarahan, kemerahan dan area panas lokal.
Dalam Tim Pokja PPNI, 2017 gangguan integritas kulit/jaringan
adalah kerusakan kulit (dermis dan atau epidermis) atau jaringan
(mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi

Poltekkes Kemenkes Padang


70

dan atau ligamen). Menurut peneliti, terdapat kesesuaian antara teori


dan kasus yang ada.

h. Resiko infeksi
Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data , leukosit:
18.010 /mm3, Suhu : 380C , terdapat luka gores di area pipi dan dagu,
luka memar disekitar fraktur klavikula dan, luka bekas jahitan
disekitar kaki.

Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017resiko infeksi adalah
beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik, yang
disebabkan ketidak adekuatan pertahanan primer dan sekunder dalam
tubuh.

Dalam Anna et al., 2018 resiko infeksi adalah rentan mengalami


invasi dan multiplikasi organism patogenik yang dapat mengganggu
kesehatan.

Hal ini juga sejalan dengan teoriSatyanegara, 2010, penderita cedera


kepala akan mudah terserang infeksi dikarenakan pebdarahan yang
terjadi di dalam kepala dan pendarahan akibat multiple trauma.
Menurut peneliti, terdapat kesesuaian antara teori dan kasus yang ada.

i. Gangguan mobilitas fisik


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data terdapat
tonjolan tulang pada tulang dibahunya dan data objektif, Keadaan
umum pasien lemah, pasien tidak sadar, terdapat fraktur pada tulang
klavikuladan kekuatan otot melemah.

Hal ini sesuai denganTim Pokja PPNI, 2017 yaitu gangguan mobilitas
fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih

Poltekkes Kemenkes Padang


71

ekstremitas secara mandiri, yang disebabkan salah satunya oleh


gangguan musculoskeletal, dengan tanda dan gejala mayor, kekutan
otot menurun dan tanda gejala minor, sendi kaku, gerakan tidak
terkoordinasi dan fisik lemah, yang biasanya terjadi pada trauma dan
fraktur.

DalamAnna et al., 2018 hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan


dalam gerakan fisik atau satu atau lebih ekstermitas secara mandiri
dan terarah. Dengan batasan karakteristik gangguan sikap berjalan,
penurunan keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan
motorik kasar, penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang,
kesulitan membolak-balik posisi, ketidaknyamanan, dispnea setelah
beraktivitas dan tremor akibat bergerak.Menurut peneliti, terdapat
kesesuaian antara teori dan kasus yang ada.

j. Resiko konfusi akut


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data pasien tidak
sadar dan data objektif, pasien terlihat tidak sada, tingkat kesadaran
pasien stupor dengan GCS 5, dan pasien mangalami gangguan otak
organik.

Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017 resiko gangguan konfusi
adalah beresiko mengalami gangguan kesadaran, perhatian, kognisi,
dan persepsi yang reversible dan terjadi dalam periode waktu singkat
yang disebabkan oleh faktor usia, dan gangguan fungsi metabolik dan
terjadi salah satunya pada kasus cedera kepala.

DalamAnna et al., 2018risiko konfusi akut adalah rentan mengalami


gangguan kesadaran, perhatian, kognisi dan persepsi yang reversibel
dan terjadi dalam periode waktu singkat, yang mengganggu

Poltekkes Kemenkes Padang


72

kesehatan.Menurut peneliti, terdapat kesesuaian antara teori dan kasus


yang ada.

k. Resiko ketidakseimbangan cairan


Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data akral pasien
teraba dingin, CRT > 3 detik, Hb: 8,7 gr/dl, hasil CT-brain, terjadi
pendarahan di intracranial dan subaraknoid, terdapat fraktur tertutup
pada klvikula kanan dan menimbulkan luka lebam, ureum darah:205
mg/dl, kreatinin darah: 6,2 mg/dl, intake :4306 cc/24 jam, dan output:
2500 cc/24jam.

Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017yaitu resiko


ketidakseimbangan cairan adalah beresiko mengalami pemenuhan,
peningkatan, atau percepatan, perpindahan cairan dari intravaskuler,
interstisial atau intra seluler.

Dalam Anna et al., 2018risiko ketidakseimbangan volume cairan


adalah rentan terhadap penurunan, peningkatan atau pergeseran cairan
cepat intravaskuler, intestinal, dan atau intraseluler lain, yang dapat
menggangu kesehatan. Ini mengacu pada kehilangan, peningkatan
cairan tubuh, atau keduanya.

MenurutBrunner & Suddarth, 2017, pasien dengan cedera kepala


berkemungkinan mengalami ganguan ketidakseimbangan cairan yang
disebabkan oleh pendarahan pada otak.Menurut peneliti, terdapat
kesesuaian antara teori dan kasus yang ada.Diagnosa ini juga bisa
diangkat berdasarkan penyakit penyerta pasien yaitu CKD.

Poltekkes Kemenkes Padang


73

3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif
Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaketidakefektifan pola
napas/ pola napas tidak efektif, rencana asuhan keperawatan dengan
tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat
menunjukkanstatus pernapasan: Frekuensi pernapasan normal, tidak
ditemukan atelektasis, tidak mengalami dispnea saat istirahat, tidak
ada retrasi dinding dada. (Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu terapi oksigen: pertahankan kepatenan jalan


napas, atur peralatan oksigen, monitor aliran oksigen , mertahankan
posisi pasien, observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi , monitor
adanya kecemasan. Monitor tanda-tanda vital: monitor adanya
kecemasan, catat adanya flutuasi tekanan darah. monitor kualitas nadi,
monitor suara paru , monitor suara pernapasan.(Bulecheck. dkk, 2013)

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaKetidakefektifan
bersihan jalan napas, rencana asuhan keperawatan dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat menunjukkanstatus
pernapasan: Frekuensi pernapasan normal, irama pernapasan dalam
batas normal, adanya kemampuan untuk mengeluarkan sekret, tidak
pernapasan cuping hidung, tidak ansietas dan status pernapasan:
Frekuensi pernapasan dalam batas normal, suara napas tambahan tidak
ada, retraksi dinding dada tidak ada, penggunaan otot bantu
pernapasan tidak ada.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitumanajemen jalan napas: posisikan klien untuk


memaksimalkan ventilasi, posisikan klien untuk mengurangi sesak
napas, monitor status pernapasan dan oksigenasi, auskultasi suara
napas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan adanya
suara tambahan, monitor pernapasan, monitor kecepatan, irama,

Poltekkes Kemenkes Padang


74

kedalaman, dan kesuitan bernapas, monitor suara napas tambahan,


monitor saturasi oksigen pasien, monitor peningkatan kelelahan,
kecemasan dan kekurangan udara pada pasien, monitor sekresi
pernapasan pasien, monitor keluhan sesak napas pasien, termasuk
kegiatan yang meningkatkan atau memperburuk sesak napas tersebut,
posisikan pasien dan Pengisapan lendir pada jalan napas (Suction):
lakukan hand hygiene, gunakan alat pelindung diri, auskultasi suara
napas sebelum dan sesudah tindakan suction, informasikan kepada
keluarga tentang pentingnya tindakan suction, monitor status
oksigenasi pasien.(Bulecheck. dkk, 2013)

Hal ini sesuai dengan teori Brunner & Suddarth, 2017, pada
ketidakefektifan jalan nafas intervensi keperawatan pengisapan lendir
di jalan nafas merupakan salah satu tujuan yang paling penting agar
membangun dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat.

c. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaresiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak, rencana asuhan keperawatan dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat menunjukkanStatus
sirkulasi Indikator: tekanan darah sistol dalam rentang normal,
tekanan darah diastol dalam rentang normal, saturasi O2 dalam
rentang normal, tekanan PaO2 (tekanan parsial O2 dalam darah arteri)
dalam rentang normal.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu monitor tekanan intrakranial (TIK): Letakkan


kepala dan leher dalam posisi 30°, monitor efek rangsangan
lingkungan pada TIK, monitor tingkat CO2 dan pertahakankan dalam
parameter yang ditentukan, berikan terapi agen farmakologis untuk
mempertahankan TIK dalam jangkauan tertentu. Terapi Oksigen:
Pertahankan kepatenan jalan napas, monitor aliran oksigen, atur dan
anjurkan pasien mengenai penggunaan perangkat oksigen yang

Poltekkes Kemenkes Padang


75

memudahkan mobilitas(Bulecheck. dkk, 2013).Menurut analisa


peneliti intervensi yang dilakukan bertujuan agar mengetahui adanya
peningkatan TIK dan untuk menentukan perkembangan penyakit pada
pasien.

d. Hipertermi
Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaHipertermi, rencana
asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dapat menunjukkantermoregulasi : tidak ada peningkatan
suhu tubuh, tidak ada mengalami hipertermia dan tidak terganggu
tingkat pernafasan. keparahan cedera fisik: tidak ada
pendarahan(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu Perawatan demam:pantau suhu tubuh dan


tanda vital lainnya, pemantauan warna kulit dan suhu tubuh, monitor
asupan dan cairan, sadari perubahan kehilangan cairan yang tak
dirasakan, berikan obat atau cairan IV, tutup pasien dengan selimut,
berikan oksigen sesuai kebutuhan, tingkatkan sirkulasi udara,dan
pantau komplikasi berhubungan dengan demam serta tanda dan gejala
penyebab demam. Pengaturan suhu: monitor suhu tubuh sesuai
kebutuhan, gunakan matras pendingin, selimut yang mensirkulasikan
air, mandi air hangat, kantong es atau bantalan gel dan kateterisasi
pendinginan intravaskuler untuk menurunkan suhu tubuh, sesuai
kebutuhan, sesuaikan suhu lingkungan sesuai kebutuhan pasien dan
berikan pengobatan anti piretik, sesuai kebutuhan(Bulecheck. dkk,
2013)

e. Penurunan kapasitas adaptif intracranial


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosapenurunan kapasitas
adaptif intrakranial, rencana asuhan keperawatan dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat menunjukkan Status
neurologi: tidak terganggunya kesadaran, tidak terganggunya tekanan

Poltekkes Kemenkes Padang


76

intracranial, tidak terganggunya tekanan darah, tidak terganggunya


pernafasan, tidak ada kejang, tidak ada sakit kepala. Perfusi jaringan
serebral: tidak ada deviasi dari kisaran normal nilai rata-rata tekanan
darah, tidak ada deviasi dari kisaran normal tekanan intra kranial,
tidak ada deviasi dari kisaran normal hasil serebral angiogram, tidak
ada deviasi dari kisaran normal pada muntah, tidak ada deviasi dari
kisaran normal dari kognisi.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu manajemen edema serebral: monitor adanya


pingsan, monitor tingkat GCS, monitor hasil TTV, monitor
karakteristik cairan serebrospinal: warna, kejernihan dan konsistensi,
monitor TIK dan CPP, monitor CVP dan PAP, monitor status
pernafasan: frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, PO2, PCO2, ph
dan bikarbonat, kolaborasi pemeberian anti kejang, kolaborasi
pemberian diuretic osmotik dan peningkatan perfusi serebral:
konsultasi dengan dokter untuk menentukan parameter hemodinamika
dan pertahankan parameter hemodinamika sesuai yang telah
ditentukan, berikan agen untuk meningkatkan volume intravaskuler,
sesaui kebutuhan (misalnya., koloid, produkproduk darah, dan
kristaloid), berikan agen rheologis (misalnya., manitol dosis rendah
atau dekstran dengan berat molekul yang kecil), sesuai petunjuk,
pertahankan level glukosa darah dalam batas normal, konsultasi
dengan dokter untuk menentukan tinggi kepala tempat tidur yang
optimal (misalnya., 0,15 atau 30 drajat) dan monitor respon pasien
terhadap pengaturan posisi, hindari fleksi leher atau panggul atau lutut
yang ekstrim u. Pertahankan PCO2 pada level 25 mmHg atau lebih,
berikan dan monitor efek diuretic osmotic dan loop active dan
kortikosteroid, berikan obat nyeri sesuai kebutuhan, monitor
PTT(partical tromboplastion time) DAN PT (protrombine time) sesaui
kebutuhan, monitor tanda-tanda pendarahan (sebagai contoh pada
pemeriksaan fases dan darah pada saluran nasogastrik), montor tanda

Poltekkes Kemenkes Padang


77

kelebihan cairan (misalnya., ronkhi, distensi vena jangularis, edema,


dan penigkatan sekresi pulmonar), monitor nilai laboratorium adanya
perubahan oksigenasi atau kesimbangan asam basa , sesuai kebutuhan,
monitor intake dan output.(Bulecheck. dkk, 2013)

Hal ini sesuai dengan Brunner & Suddarth, 2017yaitu untuk mencegah
terjadinya cedera sekunder dan membantu otak dalam
mengkompensasi maka penting untuk mengontrol TIK, meningkankan
oksigenasi, kaji faktor penyebab penurunan kapasitas adaptif
intracranial, kaji kemungkinan peningkatan TIK, kolaborasi dalam
pennggunaan manitol menjaga kesimbangan elektrolit, mengontrol
nyeri, dan mengelevasikan tempat tidur.

f. Perfusi perifer tidak efektif


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaPerfusi perifer tidak
efektif,rencana asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan dapat menunjukkanperfusi jaringan perifer:
tidak ada deviasi dari kisaran normal pengisian kapiler jari tangan dan
kaki, tidak ada deviasi dari kisaran normal tekanan darah sistol dan
diastoldan tidak ada muka pucat. Status sirkulasi: tidak deviasi dari
kisaran normal pada Pa O2 , tidak ada deviasi dari kisaran normal
pada Pa CO2, dan tidak ada deviasi dari kisaran normal pada saturasi
O2.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu Perawatan sirkulasi: lakukan pemeriksaan


komprehensif pada sirkulasi perifer (mis. Memeriksa denyut nadi
perifer, CRT, dan lain-lain), ubah posisi tiap 2 jam, monitor cairan
masuk dan keluar, dan inspeksi jika terjadi luka tekan. Manajemen
asam basa (alkalosis respiratorik): monitor pola nafas, pertahankan
akses intravena, monitor hiperventilasi dan obati penyebabnya (mis.
anemia berat dan cedera SSP), kaji konsumsi oksigen dengan cara
meningkatkan kenyamanan, mengontrol demam, sesuai kebutuhan

Poltekkes Kemenkes Padang


78

,berikan sungkup oksigen sesuai kebutuhan, dan monitor Ph darah, Pa


CO2, dan HCO3. Manajemen syok: monitor TTV dan output cairan,
monitor gambaran dalam parameter hemodinamik (mis. MAP, CVP
dan lain-lain, monitor nilai laboratorium, berikan cairan intravena,
kristaloid dan koloid, berikan tranfusi PRC , dan monitor fungsi ginjal
(mis. Nilai ureum, kreatinin dan lain-lain).(Bulecheck. dkk, 2013)

Menurut Satyanegara, 2010, pasien dengan cedera kepala akan


mengalami luka laserasi, fraktur dan hemoragik, yang mengakibatkan
terjadinya pendarahan dalam jumlah besar dan menganggu sitem
sirkulasi ke otak dan keseluruh tubuh. Menurut Suddarth (2017),
intervensi untuk maslah perfusi yaitu mengakaji tandatanda vital dan
tanda pendarahan.

g. Kerusakan integritas kulit


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaKerusakan integritas
kulit, rencana asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan dapat menunjukkan Integritas jaringan: tidak
ada lesi pada kulit, suhu kulit dalam batas normal, tidak ada
pigmentasi abnormal, tidak ada pengelupasan kulit. Keparahan
infeksi: tidak ada kemerahan, luka tidak berbau, adanya kestabilan
suhu tubuh.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaituperawatan luka: monitor karakteristik luka,


termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau, ukur luas luka yang
sesuai, berikan balutan sesuai dengan jenis luka, oleskan salep yang
sesuai dengan kulit, pertahankan teknik balutan steril ketika
melakukan perawatan luka dengan tepat, ganti balutan sesuai dengan
jumlah eksudat dan drainase, periksa luka setiap kali perubahan luka,
bandingkan dan catat perubahan luka. Pengecekan kulit: periksa kulit
dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan, kehangatan
ekstrim, edema atau drainase, amati warna, kehangatan, bengkak,

Poltekkes Kemenkes Padang


79

tekstur, edema, ulserasi pada ekstremitas, aonitor warna dan suhu


kulit, monitor infeksi, terutama didaerah edema, dokumentasikan
perubahan membran mukosa, lakukan langkah-langkah untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.(Bulecheck. dkk, 2013)

h. Resiko infeksi
Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaResiko infeksi, rencana
asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dapat menunjukkan keparahan Infeksi : tidak ada
kemerahan, tidak ada demam, tidak ada peningkatan leukosit.
Keparahan cidera fisik:tidak ada memar, tidak ada cedara kepala, tidak
ada fraktur, dan tidak ada pendarahan.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu kontrol infeksi: bersihkan lingkungan dengan


baik, ganti alat perawatan perpasien sesuai protocol, batasi jumlah
pengunjung, anjurkan mencuci tangan pada saat memasuki dan
meninggalkan ruangan pasien, pastikan penanganan aseptic dari
semua saluran IV, dan gunakan terapi anti biotic yang sesuai.
Perlindungan infeksi: monitor adanya tanda dan gejala infeksi
sistemik dan local, dan monitor kerentanan terhadap infeksif.
Perawatan luka: monitor karakteristik luka, ukur luas luka, bersihkan
luka secara teratur, dan periksa luka setiap kali perawatan. Perawatan
selang: kaji indikasi pemasangan selang, pertahankan kebersiahn
tangan sebelum, saat, dan sesudah melakukan tindakan menggunakan
selang, pertahankan kepatenan selang, dan ganti selang secara
teratur.(Bulecheck. dkk, 2013)

Dalam Polapa, 2015 mengatakan penilaian total leukosit 48 jam


pertama berhubungan dengan skala FOUR penderita cedera otak
risiko tinggi, sehingga seseorang yang mengalami cedera otak selalu
beresiko terhadap infeksi dan penting untuk memonitor leskosit.

Poltekkes Kemenkes Padang


80

Hipertermia pada penderita cedera otak tanpa tanda-tanda infeksi


mencerminkan kerusakan hipotalamus.

i. Gangguan mobilitas fisik


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaGangguan mobilitas
fisik, rencana asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan dapat menunjukkan Pergerakan: tidak
terganggunya gerakan sendi dan tidak terganggunya gerakan otot.
Konsekuensi imobilisasi fisiologis: tidak ada konstipasi, tidak ada
demam, dan tidak ada fraktur. Status neurologi:pusat control motorik,
tidak ada terganggu refleks babinsky dan tidak ada kejang.(Moorhead.
dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu : pengaturan posisi:tempatkan pasien diatas


matra /tempat tidur yang treapeutik, minimalisir gerakan dan cedera
ketika memposisikan dan membalik tubuh pasien, tinggikan kepala
tempat tidur dan balikan tubuh pasien secara hati-hati setiap 2 jam.
Bantuan perawatan diri: pertimbangkan usia pasien, berikan
lingkuangan yang terapeutik, dan berikan bantuan sampai pasien
mandiri (missal, mandi, berpaikaian, eliminasi, makan dan lain-
lain)(Bulecheck. dkk, 2013)

j. Resiko konfusi akut


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaResiko konfusi akut,
rencana asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dapat menunjukkan Tingkat stupor: tidak ada gangguan
memorr, tidak mengalami perubahan tingkat kesadaran, tidak ada
gangguan kognisi dan tidak ada disorientasi waktu, tempat dan orang.
Status Neurologi Kesadaran: tidak terganggu buka mata terhadap
stimulus eksternal, tidak terganggu dalam mematuhi pemerintah, tida
ada aktivitas kejang, tidak ada stupor, delirium dan koma dan tida ada
mengalami penurunan kesadaran(Moorhead. dkk, 2013)

Poltekkes Kemenkes Padang


81

Dengan intervensi yaitu Monitor Neurologi: pantau ukuran pupil,


bentuk, kesimetrisan, dan reaktivitas monitor tingkat kesadaran,
monitor GCS, monitor satus pernafasan, monitor refleks batuk dan
muntah, dan beritahu dokter mengenai perubahan kondisi pasien.
Pencegahan jatuh: identifikasi kekurangan baik kognitif atau fisik dari
pasien yang mungkin meningkatan potensi jatuh pada lingkungan
tertentu identifikasi prilaku dan fator mempengaruhi resiko jatuh, dan
pasang savety bed dengan benar (Bulecheck. dkk, 2013)

Penderita cedera kepala akan mengalami penurunan kesadaran dan


ganguan neurologis sehingga hal yang perlu dilakukan yaitu
memantau tingakat kesdaran dan refleks pupil (Satyanegara, 2010).

k. Resiko ketidakseimbangan cairan


Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaresiko
ketidakseimbangan cairan, rencana asuhan keperawatan dengan tujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat menunjukkan
keseimbangan cairan: tidak terganggunya tekanan darah, tidak
terganggunya keseimbangan intake dan output, tidak terganggunya
turgor kulit, tidak terganggunya kelembapan membrane mukosa, dan
tidak adda edema perifer. Fungsi ginjal: tidak terganggu HCO3, tidak
ada peningkatan ureum dan kreatinin dan tidak ada
anemia.(Moorhead. dkk, 2013)

Dengan intervensi yaitu manajemen cairan: jaga intake dan output


pasien, masukan kateter urine, monitor status hidrasi (memebran
mukosa, denyut nadi dan tekanan darah), monitor hasil labor, monitor
TTV, barikan cairan dengan tepat, monitor reaksi pasien terhadap
terapi elektrolit yang diberikan, konsultasi dengan dokter jika terdapat
perburukan kelebihan volume cairan, atur ketersediaan produk darah,

Poltekkes Kemenkes Padang


82

persiapkan pemeberian produk darah, dan berikan produk-produk


darah.(Bulecheck. dkk, 2013)

Dalam miningkatkan keseimbangan cairan dan elektrolit sebagai


dampak komplikasi pontensial pada cedera kepala, hal yang perlu
dilakukan yaitu pemberian cairan dan produk darah, karena pada
pasien cedera kepala akan mengalami cedera dan pendarahan pada
bagian kepala dan anggota tubuh lain.(Brunner & Suddarth, 2017).

4. Implementasi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif
Pada KTI 1, implementasi yang dilakukan yaitumemonitor status
respirasi dan oksigen, memonitor aliran O2, memonitor tanda-tanda
vital dan tanda-tanda hipoventilasi.
Pada KTI 2, implementasi yang dilakukan yaitumempertahankan
posisi kepala pasien elevasi 300 untuk memaksimalkan ventilasi,
memonitor kepatenan aliran oksigen, memonitor frekuensi dan irama
pernafasan, memonitor pola pernafasan abnormal, memberikan terapi
oksigen Non Rebreathing Mask 10 liter/menit.
Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumemposisikan pasien
semi fowler, mengauskultasi suara nafas, mengelola penggunaan
oksigen, memonitor status pernafasan, membersihkan mulut dan
hidung, memberikan oksigen melalui NRM 10L/menit, memonitor
aliran oksigen, memonitor efektifitas terapi oksigen, mengamati
tanda-tanda hipoventilasi (mis. nafas pendek dan cepat), memonitor
irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas, inspeksi pergerakan
didnding dada, memonitor suara tambahan, memonitor pola nafas,
memonitor saturasi oksigen, dan memonitor TTV.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saanin & Bachtiar,


2014didapat hasil bahwa terapi oksigen menggunakan non rebreathing
mask berpengaruh terhadap tekanan parsial CO2 darah pada pasien

Poltekkes Kemenkes Padang


83

cedera kepala untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan


intrakranial pada pasien cedera kepala.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas


Pada KTI 1, implementasi yang dilakukan yaitumengauskultasi suara
pernafasan sebelum dan sesudah suction, melakukan suction,
memonitor, meberiikan bronkodilator sesuai program terapi dokter,
suara nafas tambahan dan memonitor status respirasi.
Pada KTI 2, implementasi yang dilakukan yaitumempertahankan
posisi kepala pasien elevasi 300 untuk memaksimalkan ventilasi,
memonitor respirasi dan status O2, Mengauskultasi suara napas,
monitor adanya suara napas tambahan, Memonitor aukultasi suara
napas.

c. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak


Pada KTI 1, implementasi yang dilakukan yaitumengatur posisi pasien
dengan elevasi kepal 30o , melakukan pemeriksaan status neurologis
dan nervus kranialis I-XII, melakukan pemeriksaan tingkat kesadaran
dengan glasgow coma scale, memonitor tandatanda vital, memonitor
adanya tanda peningkatan TIK, memonitor intake dan output pasien,
memberikan oksigen melalui nrm dengan volume 10 liter,
memberikan manitol untuk menurunkan oedema serebri.
Pada KTI 2, implementasi yang dilakukan yaitumempertahankan
posisi kepala pasien elevasi 300 untuk memaksimalkan ventilasi,
memberikan rangsangan suara untuk meningkatkan tingkat kesadaran,
memonitor tanda-tanda peningkatan TIK dan respon neurologis,
memonitor aliran O2, memonitor TTV, monitor kualitas nadi,
memonitor intake dan output cairan, pantau adanya perdarahan,
muntah, kejang.

Poltekkes Kemenkes Padang


84

d. Hipertermi
Pada KTI 1, implementasi yang dilakukan yaitumengukur suhu
sesering mungkin yaitu sekali 2 jam, memonitor warna dan suhu kulit,
memberikan antipiretik sesuai program terapi dokter, memberikan
kompres pada bagian lipatan paha dan aksila.
Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumemantau suhu tubuh
dan tanda-tanda vital secara berkala, memantau suhu tubuh dan warna
kulit, memonitor intake dan output, memberikan PCT 3x1gr,
memberikan NaCl 0,9 % 3 kolf/24 jam, menyelimuti tubuh pasien
dengan selimut, emberikan oksigen melalui NRM 10 L/menit, menjaga
suhu lingkungan sesuai dengan suhu kamar agar memperlambat
metabolisme dan meningkatkan kenyamanan, memonitor nilai
leukosit, melakukan kompres basah, menjelaskan kepada keluarga
tentang penggunaan kompres, dan melakukan kompres pada area
kepala.

Dalam penelitian Pratiwi et al., 2015, mengatakan metode kompres


menggunakan selimut basah dengan suhu kamar dengan kecepatan
kompres selama 20 menit adalah 0,1oC sehingga jauh lebih efektif dan
semakin lama waktu yang digunakan untuk pengompresan, penurunan
suhu tubuh yang dimungkinkan akan semakin bertambah.

e. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial


Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumemonitor adanya
pingsan, memonitor tingkat GCS, memonitor TTV, memonitor status
pernafasan: frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, PO2, PCO2, Ph
darah, kolaborasi pemberian diuretik osmotik: manitol 3x150g,
memonitor MAP, memberikan NaCl 0,9 % 3kolf/24 jam, memberikan
1 unit PRC, mengelevasikan kepala 300 (semi fowler), menghindari
fleksi kepala, panggul dan lutut yang ekstrim, mempertahankan PCO2
dalam rentang normal dengan penggunaan NRM 10 L/menit,
memonitor efek pemberian manitol, memonitor PTT dan PT,

Poltekkes Kemenkes Padang


85

memonitor tanda pendarahan melalui feses, hidung, mulut dan telinga,


memonitor nilai laboratorium untuk status asam basa, dan monitor
intake dan output.

f. Perfusi perifer tidak efektif


Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumelakukan
pemeriksaan CRT, denyut nadi perifer dan meraba bagian akral,
memonitor cairan yang masuk, menginspeksi adanya luka tekan,
memonitor pola nafas, mempertahankan akses intaravena, memonitor
hiperventilasi dan obati penyebabnya, mengontrol demam dengan
kompres dingin, memeberikan NRM 10 L/menit, memonitor Ph darah,
Pa CO2, HCO3, memonitor TTV dan output urin, memonitor nilai
MAP, memonitor nilai labor (hemoglobin), memberikan NaCl 0,9 %
3kolf/24 jam, memberikan PRC 1 unit, memonitor intake dan output,
dan memonitor fungsi ginjal (mis. nilai ureum dan kreatinin).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan olehRistanto et al., 2016
apabila frekuensi pernapasan kurang 12 kali/menit atau lebih dari 24
kali/menit meningkatkan resiko luaran perawatan yang buruk pada
pasien cedera kepala, dikarenakan terjadinya penurunan oksigenasi
dan perfusi ke otak yang berakibat terjadinya tekanan intra kranial
menjadi meningkat dan mengakibatkan hipoksia serebri.

g. Kerusakan integritas kulit


Pada KTI 2, implementasi yang dilakukan yaitumonitor karakteristik
luka seperti warna, ukuran, bau, ukur luas luka yang sesuai, oleskan
salep yang sesuai dengan kulit, monitor suhu dan warna kulit, monitor
jika ada infeksi, periksa luka setiap kali ada perubahan luka.

h. Resiko infeksi
Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumembersihkan
lingkungan dengan baik, mengganti peralatan perawatan pasien sesuai
protocol, membatasi jumlah pengunjung, menganjurkan dan

Poltekkes Kemenkes Padang


86

mengajarkan kepada keluarga mencuci tangan saat memasuki dan


meninggalkan ruangan pasien, memberikan anti biotic, memonitor
tanda dan gejala infeksi, memonitor karakteristik luka, melakukan
perawatan luka , memeriksa luka setiap kali perawatan luka, kaji
indikasi pemasangan selang, pertahankan kebersihan tangan ketika
melakukan tindakan menggunakan NGT dan kateter,
pemepertahankan kepatenan selang NGT, dan menggantikan NGT dan
Kateter secara berkala.

i. Gangguan mobilitas fisik


Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumenempatkan psien di
tempat tidur yang terapeutik, meminimalisir gerakan dan cidera ketika
memposisikan pasien , meninggikan kepal tempat tidur, mengubah
posisi pasien secara hati-hati setiap 2 jam, memepertimbangkan usia
pasien, memberikan lingkungan yang terapeutik dan memeberikan
bantuan: mandi, eliminasi, makan, berpakaian dan lain-lain.

j. Resiko konfusi akut


Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumemantau ukuran
pupil, memonitor GCS, memonitor status pernafasan, memonitor
reflek batuk dan muntah, mengidentifikasi kekurangan baik kognitif
atau fisik dari pasien yang mungkin meningkatan potensi jatuh pada
lingkungan tertentu dan mengidentifikasi prilaku dan fator
mempengaruhi resiko jatuh, dan pasang savety bed dengan benar.

k. Resiko ketidakseimbangan cairan


Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumenjaga intake dan
catat output pasien, memasang kateter , memonitor status hidrasi
:mukosa mulut, nadi dan tekanan darah, memonitor hasil labor,
memonitor TTV, memberikan cairan NaCl 0,9 % 3kolf/24 jam dan
memonitor terapi pasien terhadap terapi elektrolit.
5. Evaluasi Keperawatan.

Poltekkes Kemenkes Padang


87

a. Ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa ketidakefektifan pola
napas/ pola napas tidak efektif adalahstatus pernapasan: Frekuensi
pernapasan normal, tidak ditemukan atelektasis, tidak mengalami
dispnea saat istirahat, tidak ada retrasi dinding dada.

Pada KTI 1 didapatkan hasilpada hari kelima frekuensi pernafasan


pasien mulai normal, pernapasan cuping hidung tidak ada, oksigen
yang diberikan memalui nrm 8 liter, masalah yang ditemukan teratasi
sebagian dan intervensi dilanjutkan.
Pada KTI 2 didapatkan hasil keadaan pasien sudah mulai membaik,
sesak napas sudah berkurang, RR 26 x/menit sehingga masalah
teratasi sebagian dan intervensi dilajutkan.
Pada KTI 3 didapatkan hasil sturasi tidak terganggu, tidak ada
gangguan jalan nafas, tidak ada penggunaan otot bantu nafas, dan
penggunaan NRM diganti dengan binasal. Pada saat kasus ditemukan
dari semua kriteria hasil yang diharapkan baru 62,8% yang tercapai
setelah 5 hari implementasi dan dilakukan evaluasi diperoleh dari
semua kriteria hasil 88,5% sudah tercapai, sehingga intervensi masih
harus dilanjutkan.

b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa ketidakefektifan
bersihan jalan napas adalahstatus pernapasan: Frekuensi pernapasan
normal, irama pernapasan dalam batas normal, adanya kemampuan
untuk mengeluarkan sekret, tidak pernapasan cuping hidung, tidak
ansietas dan status pernapasan: Frekuensi pernapasan dalam batas
normal, suara napas tambahan tidak ada, retraksi dinding dada tidak
ada, penggunaan otot bantu pernapasan tidak ada.

Poltekkes Kemenkes Padang


88

Pada KTI 1 didapatkan hasil pada hari kedua sekret masih banyak dan
sudah di suction secara berkala. Pada hari kelima sekret sudah mulai
berkurang.
Pada KTI 2 didapatkan hasilkeadaan pasien sudah mulai membaik,
sesak napas sudah berkurang, dahak sudah berkurang, RR 26 x/menit
sehingga masalah teratasi sebagian dan intervensi dilajutkan.

c. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalahstatus sirkulasi Indikator:
Tekanan darah sistol dalam rentang normal, tekanan darah diastol
dalam rentang normal, saturasi O2 dalam rentang normal, tekanan
PaO2 (tekanan parsial O2 dalam darah arteri) dalam rentang normal.
Pada KTI 1 didapatkan hasil pada hari 4 kesadaran pasien mulai
meningkat menjadi 8, tekanan intrakranial dalam batas normal,
masalah yang ditemukan sebagian teratasi dan intervensi dilanjutkan.
Pada KTI 2 didapatkan hasilpasien gelisah, meracau, tingkat
kesadaran meningkat menjadi delirium dengan GCS 10 (E1V5M4),
TD 130/70 mmHg, MAP 98 mmHg, nadi 94 x / menit, pernapasan :
26 x / menit, suhu : 37.0 °C, intake : 2450 ml, output : 2250 ml.

d. Hipertermi
Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa hipertermi adalah
termoregulasi : tidak ada peningkatan suhu tubuh, tidak ada
mengalami hipertermia dan tidak terganggu tingkat pernafasan.
Keperahan cedera fisik: tidak ada pendarahan.

Pada KTI 1 didapatkan hasil suhu tubuh pasien normal, akral teraba
hangat, tidak ada warna kemerahan pada kulit sehingga masalah yang
ditemukan teratasi dan intervensi dihentikan.
Pada KTI 3 didapatkan hasilpenurunan suhu tubuh yang berahir pada
kisaran normal. Pada saat kasus ditemukan dari semua kriteria hasil

Poltekkes Kemenkes Padang


89

yang diharapkan baru 65% yang tercapai setelah 3 hari implementasi


dan dilakukan evaluasi diperoleh dari semua kriteria hasil 100% sudah
tercapai, sehingga intervensi dihentikan.

e. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa penurunan kapasitas
adaptif intracranial adalahstatus neurologi: tidak terganggunya
kesadaran, tidak terganggunya tekanan intracranial, tidak
terganggunya tekanan darah, tidak terganggunya pernafasan, tidak ada
kejang, tidak ada sakit kepala. Perfusi jaringan serebral: tidak ada
deviasi dari kisaran normal nilai rata-rata tekanan darah, tidak ada
deviasi dari kisaran normal tekanan intra kranial, tidak ada deviasi
dari kisaran normal hasil serebral angiogram, tidak ada deviasi dari
kisaran normal pada muntah, tidak ada deviasi dari kisaran normal
dari kognisi.

Pada KTI 3 didapatkan hasil terjadi peningkatan dalam tingkat


kesadaran dan tekanan darah dari hasil evalusi selama tiga hari. Pada
saat kasus ditemukan dari semua kriteria hasil yang diharapkan baru
45,4% yang tercapai setelah 5 hari implementasi dan dilakukan
evaluasi diperoleh dari semua kriteria hasil 85,4% sudah tercapai,
sehingga intervensi masih harus dilanjutkan.

f. Perfusi perifer tidak efektif


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa perfusi perifer tidak
efektif adalahperfusi jaringan perifer: tidak ada deviasi dari kisaran
normal pengisian kapiler jari tangan dan kaki, tidak ada deviasi dari
kisaran normal tekanan darah sistol dan diastoldan tidak ada muka
pucat. Status sirkulasi: tidak deviasi dari kisaran normal pada Pa O2 ,
tidak ada deviasi dari kisaran normal pada Pa CO2, dan tidak ada
deviasi dari kisaran normal pada saturasi O2.

Poltekkes Kemenkes Padang


90

Pada KTI 3 didapatkan hasil CRT < 3 detik, muka tidak pucat dan
saturasi berada pada kisaran normal. Pada saat kasus ditemukan dari
semua kriteria hasil yang diharapkan baru 60% yang tercapai setelah 5
hari implementasi dan dilakukan evaluasi diperoleh dari semua
kriteria hasil 100% sudah tercapai, sehingga intervensi dihentikan.

g. Kerusakan integritas kulit


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa kerusakan integritas
kulitadalahintegritas jaringan: tidak ada lesi pada kulit, suhu kulit
dalam batas normal, tidak ada pigmentasi abnormal, tidak ada
pengelupasan kulit. Keparahan infeksi: tidak ada kemerahan, luka
tidak berbau, adanya kestabilan suhu tubuh.

Pada KTI 2 didapatkan hasilkeadaan sudah mulai membaik, ditandai


dengan luka sudah kering dan warna luka kecoklatan sehingga
masalah teratasi sebagian intervensi dilanjutkan.

h. Resiko infeksi
Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa resiko
infeksiadalahkeparahan Infeksi : tidak ada kemerahan, tidak ada
demam, tidak ada peningkatan leukosit. Keparahan cidera fisik:tidak
ada memar, tidak ada cedara kepala, tidak ada fraktur, dan tidak ada
pendarahan.

Pada KTI 3 didapatkan hasilpeningkatan leukosit pada hari pertama,


lalu pada hari kedua leukosit kembali turun.Dan pada hari ketiga
demam sudah tidak terjadi. Pada saat kasus ditemukan dari semua
kriteria hasil yang diharapkan hanya 42,8% yang tercapai, setelah
dilakukan implementasi selama tiga hari didapatkan dari semua
kriteria hasil yang diharapkan 100% sudah tercapai sehingga
intervensi dihentikan.

Poltekkes Kemenkes Padang


91

i. Gangguan mobilitas fisik


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa gangguan mobilitas
fisikadalahpergerakan: tidak terganggunya gerakan sendi dan tidak
terganggunya gerakan otot. Konsekuensi imobilisasi fisiologis: tidak
ada konstipasi, tidak ada demam, dan tidak ada fraktur. Status
neurologi:pusat control motorik, tidak ada terganggu refleks babinsky
dan tidak ada kejang.

Pada KTI 3 didapatkan hasiltidak ada melakukan pergerakan apapun,


tetapi setelah dilakukan implementasi selam 5 hari tubuh pasien
mullah aktif bergerak.Pada saat ditemukan darisemua kriteria hasila
yang diharapkan baru tercapai sebayak 36% dan setelah dilakukan
implementasi diperoleh dari semua kriteria hasil didaptkan 80% sudah
tercapai.Sehingga intervensi masih harus dilanjutkan.

j. Resiko konfusi akut


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa resiko konfusi
akutadalahtingkat stupor: tidak ada gangguan memori, tidak
mengalami perubahan tingkat kesadaran, tidak ada gangguan kognisi
dan tidak ada disorientasi waktu, tempat dan orang. Status Neurologi
Kesadaran: tidak terganggu buka mata terhadap stimulus eksternal,
tidak terganggu dalam mematuhi pemerintah, tida ada aktivitas
kejang, tidak ada stupor, delirium dan koma dan tida ada mengalami
penurunan kesadaran.

Pada KTI 3 didapatkan hasilmengalami penurunan kesadaran tetapi


setiap hari tingkat kesdaran pasien terus bertambah. Pada saat kasusu
ini ditemukan dari semua kriteria hasil ditemukan 45% yang baru
tercapai dan setelah dilakukan implementasi dan dievaluasi dari semua
kriteria hasil 77,5% sudah tercapai. Sehingga intervensi masih harus
dilanjutkan.

Poltekkes Kemenkes Padang


92

k. Resiko ketidakseimbangan cairan


Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa resiko
ketidakseimbangan cairanadalahkeseimbangan cairan: tidak
terganggunya tekanan darah, tidak terganggunya keseimbangan intake
dan output, tidak terganggunya turgor kulit, tidak terganggunya
kelembapan membrane mukosa, dan tidak adda edema perifer. Fungsi
ginjal: tidak terganggu HCO3, tidak ada peningkatan ureum dan
kreatinin dan tidak ada anemia.

Pada KTI 3 didapatkan hasiltekanan darah pasien kembali kerentang


normal tetapi jumlah intake dan output pasien tidak seimbang. Pada
saat ditemukan dari semua kriteria hasil 48,5% baru tercapai dan
setelah dilakukan implemetasi selam lima hari diperoleh evaluasi dari
semua kriteria hasil yang diharapakan baru 82,8% yang tercapai.
Sehingga masih perlu untuk dilanjutkan intervensi.

Poltekkes Kemenkes Padang


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada BAB terdahulu, peneliti mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Pada pengkajian didapatkan kesimpulan bahwa KTI 1, 2 dan 3 sama-sama
memiliki keluhan utama, penurunan kesadaran, perdarahan hidung,
telinga dan mulut.
2. Terdapat 6 diagnosa keperawatan utama dari ketiga KTI yang muncul
yaitu: ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif,
ketidakefektifan bersihan jalan napas, resiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak, hipertermi, penurunan kapasitas adaptif intrakranial, perfusi
perifer tidak efektif.
3. Tahap perencanaan keperawatan hampir semua rencana tindakan
dilakukan, yaitu: terapi oksigen, monitor status pernapasan, manajemen
jalan napas, penghisapan lendir pada jalan napas,manajemen syok,
monitor peningkatan TIK, manajemen demam, manajemen edema
serebral, peningkatan perfusi serebral, , perawatan sirkulasi, manajemen
asam basa.
4. Tahap pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan yang telah dibuat, yaitu: manajemen jalan napas,
penghisapan lendir pada jalan napas, manajemen edema serebral, monitor
status pernapasan, peningkatan perfusi serebral, terapi oksigen, perawatan
sirkulasi, manajemen asam basa, manajemen syok, monitor peningkatan
TIK.
5. Pada tahap evaluasi dari ke 6 diagnosa utama yang telah ditegakkan ada 1
masalah yang teratasi pada hari ke 5 yaitu pada diagnosa perfusi perifer
tidak efektif dengan tanda CRT>3 detik. Lalu untuk 5 diagnosa lainnya
intervensi dilanjutkan yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas,

93 Poltekkes Kemenkes Padang


94

penurunan kapasitas adaptif intrakranial, ketidakefektifan pola napas/ pola


napas tidak efektif, dan resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak.

B. Saran
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat menjadi data dasar dan bahan pembelajaran mengenai
literature review asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
berat serta sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Padang
Diharapkan hasil penelitian ini, dapat menambah studi kepustakaan dan
menjadi masukan yang berarti dan bermanfaat bagi mahasiswa Poltekkes
Kemenkes Padang khususnya jurusan keperawatan.

Poltekkes Kemenkes Padang


DAFTAR PUSTAKA

Anna, K. budi, Mediani, henny suzana, & Tahlil, T. (2018). NANDA-I Diagnosis
Keperawatan 2018-2020 (Ed 11). EGC.

Ar, M., Umar, N., Saleh, S. C., Anestesiologi, D., Fk, I., & Rs, U. (2012).
Penatalaksanaan cedera otak pada anak management of brain trauma in
children. 1–7.

Awaloei, A. C., Mallo, N. T. S., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof Dr. E-CliniC, 4(2), 2–6. https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14369

Bararah, Taqqiyah, & Johor, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Profesional. Prestasi Pustaka.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen


Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan (Ed 3). ELSEVOER.

Brunner & Suddarth. (2017). Keperawatan Medikal Bedah (Ed 12). EGC.

Bulecheck. dkk. (2013). Nursing Intervensions Classification (NIC) (Ed 5).


Elsevier.

Christanto, S., Rahardjo, S., Suryono, B., & Chasnak Saleh, S. (2015).
Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan
Subdural yang Tertunda. Jurnal Neuroanestesi Indonesia, 4(3), 176–185.
https://doi.org/10.24244/jni.vol4no3.97

DiGiulio. M, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Demystified. Rapha


Publishing.

Dito, A., & Fritz, U. S. (2014). Penyakit dan Gangguan Syaraf. ANDI OFFSET.

95 Poltekkes Kemenkes Padang


96

Hardhi, & Amin. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan


Diagnosa Nanda, NIC, NOC Berbagai Kasus (Jilid 1). Mediaction.

Ketut, S. I. (2012). Metodologi Penlitian Kesehatan (1 st Ed). ANDI.

Kristanty Paula, D. (2014). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Trans Info


Medika.

Mahadewa, D. (2017). Pegangan Praktis Bedah Saraf. Sagung Seta.

Margareth, R., & Clevo, M. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Nuhu Medika.

Moorhead. dkk. (2013). Nursing Ourcome Classification (NOC) (Ed 5). Elsevier.

Muttaqin, A. (2011). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Salemba Medika.

Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika.

Polapa, M. (2015). Hubungan antara dinamika suhu tubuh dan leukosit perifer
dengan skala skor FOUR penderita cedera otak risiko tinggi. 184–191.

Pratiwi, S. H., Ropi, H., Sitorus, R., Keperawatan, F., & Padjadjaran, U. (2015).
Perbedaan Efek Kompres Selimut Basah dan Cold-pack terhadap Suhu
Tubuh Pasien Cedera Kepala di Neurosurgical Critical Care Unit Wet
Blanket and Cold-pack Application to Reduce Body Temperature among
Patients with Head Injury in Neurosurgical Critical Care. 3.

Price Sylvia A., & Lorraine, W. (2016). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. EGC.

Purwanto.H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Pusdik SDM Kesehatan.

Rawis, M. L., Lalenoh, D. C., & Kumaat, L. T. (2016). Profil pasien cedera kepala

Poltekkes Kemenkes Padang


97

sedang dan berat yang dirawat di ICU dan HCU. E-CliniC, 4(2).
https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14481

Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 Desember 2013

Ristanto, R., Indra, M. R., Poeranto, S., & Setyorini, I. (2016). AKURASI
REVISED TRAUMA SCORE SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITY PASIEN
CEDERA KEPALA. 76–90.

Saanin, S., & Bachtiar, H. (2014). Artikel Penelitian Pengaruh Terapi Oksigen
Menggunakan Non-Rebreathing Mask Terhadap Tekanan Parsial CO2
Darah pada Pasien Cedera Kepala Sedang. 3(1), 41–44.

Satyanegara. (2010). Ilmu Bedah Syaraf. Gramedia.

Sumirah, B. (2016). Konsep Dasar Keperawatan. Bumi Medika.

Susan, S. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis (3 rd Ed). EGC.

Tarwoto. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Sagung Seto.

Tim Pokja PPNI. (2017). SDKI Definisi dan Indikator Diagnostik (Ed 1). PPNI.

WHO. (2020a). Death On The Roads. https://extranet.who.int/roadsafety/death-


on-the-roads/#trends/death/all

WHO. (2020b). Estimated Read Traffic Death Rate.


https://www.who.int/data/gho/data/indicators/indicator-
details/GHO/estimated-road-traffic-death-rate-(per-100-000-population).

Yessi, W., & S, A. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2. Nuhu Medika.

Poltekkes Kemenkes Padang


LAMPIRAN

98 Poltekkes Kemenkes Padang


99

Poltekkes Kemenkes Padang


100

Poltekkes Kemenkes Padang

Anda mungkin juga menyukai