LIWA UNNASARI
NIM: 183110259
LIWA UNNASARI
NIM: 183110259
Puji syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan
judul “Literatur Review Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera
Kepala Berat”.Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Diploma III pada Program
Studi D-III Keperawatan Padang, Poltekkes Kemenkes Padang.Peneliti menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ns.
Netti, S. Kep, M.Pd, M.Kep selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Zolla Amely Ilda,
S.Kep, M.Kep selaku pembimbing II yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran untuk mengarahkan peneliti dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada ,Yth:
Peneliti
Terima kasih saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah melancarkan segala
urusan saya dari awal kuliah sampai akhir serta kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW. Terima kasih kepada yang teristimewa Orang Tua saya yang
telah mendukung serta member semua kebutuhan saya. Terima kasih untuk abang,
uni, dan uyun selalu menjadi tempat berkeluh kesah, memberi semangat,
membantu dan menemani selama kuliah. Terima kasih yang tak terhingga kepada
ibu pembimbing saya, bu net dan bu ana yang telah membantu dan memberi ilmu
serta mengarahkan untuk saya menyelesaikan KTI saya. Juga terima kasih untuk
diri saya sendiri. Terima kasih sudah kuat, sudah berhasil menyelesaikan kuliah
dengan nilai yang cukup memuaskan, bisa setara dengan kakak-kakak yang lain,
terima kasih sudah melalui semua ini dengan sabar. Terima kasih untuk teman-
teman seperjuangan yang sama-sama berjuang dari awal kuliah hingga akhir. Dan
yang terakhir, terima kasih untuk orang-orang yang bahkan mereka tidak kenal
saya, tapi secara tidak langsung memberi saya semangat dalam menyelesaikan
kuliah saya, yaitu Vachirawit Chiva-are, Metawin Opas Iam-Kajorn, Lee Jeno, Na
Jaemin, Huang Renjun, Lee Donghyuck, Mark Lee, Zhong Chenle, Park Jisung,
Oh Sehun dan member exo lainnya.
Alhamdulillah.
Agama : Islam
Status : Belum Kawin
Alamat : Komplek Karya REI Sejahtera Blok C no. 33 Kelurahan
Korong Gadang Kecamatan Kuranji
Nama Orang Tua
Ayah : Apen
Ibu : Yulimarni
Riwayat Pendidikan
Pendidikan Tahun
TK Kasih Ibu 2005-2006
SDN 48 Kuranji 2006-2012
SMP 10 Padang 2012-2015
SMA 9 Padang 2015-2018
Poltekkes Kemenkes Padang 2018-2021
ABSTRAK
Menurut Nasional Data and Statistic Center (Amerika) per bulan Maret tahun
2020, terdapat kejadian cedera kepala sebanyak 18,126 kasus.Angka kematian
akibat cedera kepala terjadi sebanyak 50.000 kasus per 100.000
penduduk.Riskesdas (2018), proporsi cedera kepala di Indonesia terjadi sebanyak
11,9 %. Sumatera Barat berada di posisi ke delapan dengan persentase kurang
lebih 14 %.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui analisis asuhan keperawatan
pada pasien cedera kepala berat.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan dan bahan
untuk penulisan selanjutnya tentang cedera kepala berat.
Lampiran 1 : Ganchart
Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Proposal Karya Tulis Pembimbing 1
Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Proposal Karya Tulis Pembimbing 2
Lampiran 4 : Lembar Konsultasi Karya Tulis Pembimbing 1
Lampiran 5 : Lembar Konsultasi Karya Tulis Pembimbing 2
Secara umum cedera kepala diklasifikasikan menurut skala Gasglow Coma Scale
(GCS) dikelompokkan menjadi tiga : (1) Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
dapat terjadinya kehilangan kesadaran atau amnesia selama kurang dari 30 menit,
tidak ada kontusio tengkorak, tidak adanya fraktur serebral, hematoma (2) Cedera
Kepala Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30
menit namun kurang dari waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur
tengkorak, (3) Cedera Kepala Berat (GCS 3-8) dapat kehilangan kesadaran dan
atau terjadi amnesia apabila lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi,
atau hematoma intrakranial (Hardhi & Amin, 2016).
Penyebab utama terjadinya trauma kepala berat menurut (Bararah dan Jauhar,
2013) adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan terjadinya kekerasan.Kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab eksternal pada cedera kepala terbanyak di antara
kedua penyebab lainnya, dan dua kali lebih banyak terjadi pada pria dari pada
wanita.(Rawis et al., 2016)
Cedera kepala memiliki dampak yang serius pada kesehatan negara, sekitar 1,4
juta orang di Inggris mengalami cedera kepala setiap tahun dan mengakibatkan
hampir 150.000 penderita masuk kerumah sakit per tahunnya. Dari
jumlahtersebut, kira-kira 3.500 pasien memerlukan perawatan intensif di ruangan
ICU.Dari keseluruhannya, mortalitascedera kepala berat yaitu cedera
kepaladengan GCS 8adalah 23%.(Rawis et al., 2016).Hasil Penelitianyang
dilakukan oleh Rawis, dkkangka mortalitas tertinggi adapada cedera kepala berat,
danpasien meninggal dunia paling banyak setelah > 48 jam di ICU dan HCU.
Menurut Nasional Data and Statistic Center (Amerika) per bulan Maret tahun
2020, terdapat kejadian cedera kepala sebanyak 18,126 kasus.Angka kematian
akibat cedera kepala terjadi sebanyak 50.000 kasus per 100.000
penduduk.Kematian akibat cedera kepala ini mempunyai persentase 34% dari
semua kematian akibat cedera (CDC, 2014).
Kematian akibat cedera lalu lintas di jalan raya lebih tinggi 2,6 kali di negara-
negara pendapatan rendah (24,1 per 100.000 penduduk) dari pada negara
Angka kematian tertinggi yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas di seluruh
dunia terjadi di Liberia sebanyak 35,9 per 100.000 penduduk, kemudian diikuti
oleh Saint Lucia sebanyak 35,4 per 100.000 penduduk, lalu peringkat ketiga
terjadi di Burundi sebanyak 34,7 per 100.000 penduduk. Sementara Indonesia
menempati sebanyak 12,2 per 100.000 penduduk(WHO, 2020).
Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr. M. Djamil Padang, pasien yang masuk
dengan cedera kepala pada tahun 2018 sebanyak 431 orang. Pada 2 tahun terakhir
mengalami penurunan dengan jumlah pada tahun 2019 sebanyak 253 orang dan
tahun 2020 sebanyak 168 orang. (Rekam Medis RSUP DR M. Djamil Padang,
2021).
Peran perawat dalam kasus cedera kepala berat adalah memberikan asuhan
keperawatan secara menyeluruh bagi penderita Cedera Kepala Berat dimulai dari
tindakan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif. Asuhan keperawatan
merupakan suatu tindakan atau proses dalam praktik keperawatan yang diberikan
Berdasarkan uraian latar belakang dan fenomena diatas, peneliti telah melakukan
Literatur Review Karya Tulis IlmiahAsuhan Keperawatan pada Pasien Cedera
Kepala Berat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari latar belakang diatas adalah “Bagaimana analisis Asuhan
Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala Berat?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera
Kepala Berat.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat menganalisis dari hasil pengkajian pada pasien
dengan cedera kepala berat.
b. Mahasiswa dapat menganalisis dari rumusan diagnosis keperawatan
pada pasien dengancedera kepala berat.
c. Mahasiswa dapat menganalisis dari rencana keparawatan pada pasien
dengan cedera kepala berat.
d. Mahasiswa dapat menganalisis dari tindakan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala berat.
e. Mahasiswa dapat menganalisis dari evaluasi dari tindakan
keperawatan pada pasien dengancedera kepala berat.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengalaman nyata bagi peneliti dalam melakukan penelitian tentang
literatur review asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
berat.
2. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes RI Padang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan bacaan
bagi mahasiswa prodi D-III Keperawatan Padang dan berguna sebagai
pedoman bagi peneliti dalam penelitian selanjutnya tentang literatur
review asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala berat.
2. Etiologi
Menurut Bararah et al., 2013 penyebab utama terjadinya cedera kepala
adalah sebagai berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan
bermotorbertabrakan dengan kendaraan yang lain atau benda lain
sehinggamenyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna
jalan raya.
Sebagian besar korban kecelakaan lalu lintas akan mengalami cedera
kepala karena dampak benturan yang dihasilkan.
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau
meluncur kebawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika
masih digerakkan turun maupun sesudah sampai ke tanah. Ketika
terjatuh dan mengalami benturan pada kepala sehingga dapat
menimbulkan cedera kepala.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan di definisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksa). Kekerasan yang mengenai bagian
kepala dapat menyebabkan cedera kepala.
3. Klasifikasi
MenurutAwaloei et al., 2016, mengklasifikasikan cedera kepala
berdasarkan patomekanisme, sebagai berikut:
a. Cedera kepala primer
Cedera primer merupakan cedera kepala sebagai akiba langsung dari
suatu ruda paksa, dapat berupa benturan langsung ataupun proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada cedera primer dapat
diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan countercoup sehingga
menimbulkan laserasi, memar, fraktur, cedera fokal dan hematoma.
4. Manifestasi Klinis
MenurutTarwoto, 2013, secara umum tanda-tanda dan gejala cedera
kepala meliputi :
a. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar
Fraktut tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf otak,
merobek durameter yang mengakibatkan perembesan cairan
serebrospinal. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkinan yang terjadi
adalah :
1) Keluarnya cairan serebrospinal atau cairan lain dari hidung (
rhinorrhoe) dan telinga (otorrho)
2) Kerusakan saraf kranial
3) Perdarahan di belakang timpani
4) Ekimosis pada periorbital
5) Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan
padasaraf kranial dan kerusakan dalam telingga, sehingga
kemungkinantanda dan gejalanya :
a) Perubahan tajam pada penglihatan karena kerusakan
padanervus optikus
b) Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada
nervusauditorius
c) Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan
beberapaotot mata karena kerusakan pada nervus
okulomutorius.
d) Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis
e) Vertigo karena kerusakan pada otolith dalam telinga
bagiandalam
f) Nistagmus karena kerusakan sistem Vestibular
g) Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan belakang
telinga diatas mastoid (Battle sign)
b. Tingkat kesadaran.
MenurutBrunner & Suddarth, 2017, tanda dan gejala cedera kepala yang
timbul tergantung pada tingkat keparahan dan lokasi terjadinya trauma :
a. Nyeri menetap dan terlokasi, biasanya mengindikasikan adanya fraktur
b. Fraktur pada kubah tengkorak biasanya menyebabkan
pembengkakandidaerah tersebut dan bisa juga tidak.
c. Fraktur pada dasar tengkorak yang sering kali menyebabkanperdarahan
dari hidung, faring, telinga dan darah juga terlihatkonjungtiva.
d. Ekismosis terletak di atas mastoid.
e. Pengeluaran cairan serebrospinal (CSF) dari telingga dan
hidungmenunjukan adanya fraktur pada dasar tengkorak. Pengeluaran
cairanserefrospinal dapat menyebabkan terjadinya infeksi serius (mis,
meningitis) yang masuk melalui robekan yang ada di durameter.
f. Cairan spinal yang mengandung darah menadakan laserasi otak
ataumemar otak (kontusi)
g. Cedera otak juga memiliki bermacam gejala, termasuk
perubahantingkat kesadaran, perubahan ukuran pupil, perubahan dan
hilangnyareflek muntah atau reflek kornea, defisit neurologis,
perubahan tandavital seperti perubahan pola napas, hipertensi,
bradikardia, hipertermiaatau hipotermia, serta gangguan sensorik,
penglihatan dan pendengaran.
h. Gejala sindrom pada gegar otak dapat meliputi sakit kepala,
pusing,cemas, mudah marah, dan kelelahan.
i. Pada hematoma subdural akut atau subakut perubahan tingkat
kesadaran, tanda-tanda pupil, hemiparesis, koma,
5. Patofisiologi
Cedera memegang pengaruh yang besar dalam menentukan seberapa
besar konsekuensi dari patofisologis cedara kepala. Cedera yang di
timbulkan pada bagian kepala dapat disebabkan oleh benda tumpul atau
benda tajam, ketika benda tersebut membentur kepala maka akan
dipengaruhi oleh gaya akselerasi dan deselerasi atau gaya percepatan
perlambatan. Gaya akselerasi tejadi jika suatu objek membentur kepala
yang diam, seperti terkena benda tumpul.Gaya deselarasi apabila kepala
yang bergerak mengenai objek yang diam, seperti terkena kaca mobil atau
terbentur tanah.Gaya akselerasi dan deselerasi dapat terjadi secara
bersamaan, seperti ketika kepala digerakan secara kasar dan tiba-
Pada saat terjadi fraktur bisa timbul fratur terbuka atau fraktur tertutup,
yang dapat menimbulkan luka berupa memar atau laserasi.Pada saat
terjadi benturan yang mengenai os. Mastoid atau tulang pada bagian
wajah maka dapat menimbulkan dampak yang besar seperti fraktur basis
kranii, yang mengakibatkan robekan pada durameter sehingga cairan
likuor di serebro sipinal akan keluar melalui hidung dan telingga yang
telah bercapur dengan darah. Pada saat terjadi luka terbuka maka pintu
masuk bagi pathogen akan semakin besar yang akan menimbulkan
infeksi. Jika gaya tumbukan semakin besar maka akan mengakibatkan
timbulnya kontusio, pada saat terjadi benturan dapat berupa kontusio cup
atau kontusio kontercup. Pada saat terjadi kontusio kontercup maka akan
tejadi cedera renggangan yang menimbulkan dampak pada bagian di
seberang sumber cedera secara linear atau garis lurus hal ini yang akan
menimbulkan geger otak, jika cedera mengenai bagian frontal maka
pasien akan mengalami kelinan terhadap prilakunya dan jika mengenai
bagian temporal makan akan mengalami amnesia. Ketika kontusio terjadi
maka akan menimbulkan hematoma, berdasarkan lokasi hematoma dapat
terbagi menaji hematoama epidural, hematoma subdural, dan hematoma
intraserebral. Ketika hematoma mengalami perluasan maka akan terjadi
peningkatan tekanan intracranial, yang ditandai dengan nyeri kepala
hebat, muntah proyektil dan penurunan kesadaran, jika hal tersebut teru
tejadi tetapi tidak bisa terkompensasi oleh tubuh makan akan terjadi
cedera difus pada otak (Satyanegara, 2010)
Pada saat terjadi cedera sekunder maka telah terjadi kerusakan sel otak,
seperti gangguan autoregulasi yang mengakibatkan menurunnya suplai
darah ke otak, sehingga jumlah oksigen ke otak menurun dan akan
megalami gangguan metabolisme, tubuh akan melakukan kompensasi
berupa dengan cara melakukan reaksi anaerob tetapi akan menimbulkan
penumpukkan asam laktat yang akan menimbulkan oedema otak,
sehingga memperburuk peningkatan tekanan intracranial. Ketika sel otak
mengalami kerusakan maka akan terjadi peningkatan rangsangan
simpatis, sehinga terjadi peninggkatan tahanan vaskuler dan tekanan
darah tetapi terjadi penurunan tekanan darah pulmonal, sehingga
meningkatnya tekanan hidrostatis dan terdjadi kebocoran kapiler dan
mengakibatkan oedema paru yang nantinya kan menggangu difusi
oksigen. Ketika TIK yang semakin meningkat akan menekan otak
kebagian bawah sehingga menekan batang otak sehingga mengganggu
fungsinya dan menyebabkan herniasis, jika berlangsung lama akan
mengakibatkan kematian batang otak (Brunner & Suddarth, 2017)
6. WOC
7. Komplikasi
Komplikasi yang biasa dialami oleh pasien cedera kepala menurut Yessi
& S, 2013 adalah sebagai berikut:
a. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma merupakan kelainan yang dimana terjadikejang
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karenabenturan di
kepala.Kejang bisa saja terjadi beberapa tahunkemudian setelah
terjadinya cedera.Kejang terjadi pada sekitar 10%penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya lukatembus dikepala.
b. Afasia
Afasia merupakan hilangnya kemampuan untuk menggunakanbahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak.Penderitatidak
mampu untuk memahami atau mengekspresikan kata-kata.Bagian otak
yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobustemforalis sebelah kiri
dan lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakanpada bagian manapun
dari area tersebut karena stroke, tumor, cederakepala atau infeksi,
akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsibahasa.
c. Apraksia
Apraksia merupakan ketidakmampuan untuk melakukan tugas
yangmemerlukan ingatan atau serangkaian gerakan.Kelainan ini
jarangterjadi dan biasanya disebabkan kerusakan pada lobus
parientalisatau lobus frontalis.Pengobatan ditujukan kepada penyakit
yangmendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
d. Agnosis
Agnosis merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat
dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut.Penderita tidak
dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau
benda-benda umum, walaupun mereka dapat melihat dan
menggambarkan benda-benda tersebut.Penyebab pada agnosis yaitu
adanya kelainan pada fungsi lobus parientalis dan temporalis, dimana
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk cedera kepala antara lain :
a. Pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan diagnostic yang diperlukan pada klien dengan cedera
kepala menurut Muttaqin, 2011meliputi :
9. Penatalaksanaan Medis
Brunner & Suddarth, 2017 mengatakan, penatalaksanaan pasien cedera
kepala sebagai berikut:
a. Pengontrolan tekanan intracranial, tindakan pendukung seperti
dukungan ventilasi, pencegahan kejang, usaha untuk menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit,dukungan nutrisi, penatalaksanaan
nyeri dan ansietas, untuk tahap lanjut bisadilakukan tindakan
kraniotomi.
b. Peningkatan tekanan intracranial dikendalikan oleh oksigenasi yang
adekuat,pemberian cairan manitol, dukungan ventilator, hiperventilasi,
elevasi kepala tempattidur, tindakan memepertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit, pemenuhannutrisi, penanganan nyeri dan asietas.
Menurut Brunner & Suddarth, 2017, asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala meliputi:
1. Pengkajian Keperawatan
Penkajian keperawatan pada pasien cedera kepala adalah suatu komponen
dari proses keperawatan yang merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
perawan dalam menggali permasalahan dari klien meliputi usaha
pengumpulan data dan membuktikan data tentang status kesehatan
seorang klien. Data tentang fisik, emosi, pertumbuhan, social,
kebudayaan, intelektual, dan aspek spiritual.
c) Suhu
Biasanya pada pasien cedera kepala yang mengalami
masalahmetabolik suhu nya dapat meningkat atau menurun
dari normalyang dimediasi oleh hipotalamus. Ruptur anerisma
ventricular dan infeksi tertentu dari sistem saraf pusat juga
akan menimbulkan peningkatan suhu.
2) Pemeriksaan Tingkat kesadaran
a) Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
Biasanya pasien dengan cedera kepala ringan pada
pemeriksaan tingkat kesadaran didapatkan hasil pada
pemeriksaan komponen Eye: dapat membuka mata secara
spontan dan bisa dengan perintah (sentuhan), pada
pemeriksaan Verbal: orientasi baik dan pada pemeriksaan
Motorik: dapat mengikuti perintah dan juga melokalisir nyeri.
b) Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
Biasanya pasien dengan cedera kepala sedang pada
pemeriksaan tingkat kesadaran didapatkan hasil pada
pemeriksaan komponen Eye: dapat membuka mata dengan
rasangan nyeri, pada pemeriksaan Verbal: bicara ngawur,
meracau, tidak nyambung dan bicara membingungkan, dan
pada pemeriksaan Motorik: menghindari rangsangan nyeri,
melokalisir nyeri.
c) Cedera Kepala Berat (GCS 3-8)
Biasanya pasien dengan cedera kepala berat didapatkan hasil
pada pemeriksaan komponen Eye: tidak ada respon baik
diberikan rangsangan nyeri ataupun dengan sentuhan, pada
pemeriksaan Verbal: suara tidak dapat dimengerti, bicara
ngawur, meracau, tidak nyambung dan pada pemeriksaan
Motorik: menghindari rangsangan nyeri, melokalisir nyeri,
fleksi abnormal, ekstensi abnormal.
Tabel 2.1
Penilaian GCS
No Komponen Nilai Hasil
1 Eye 1 Tidak berespon
2 Dengan rangsangan nyeri
3 Dengan perintah (sentuhan)
4 Spontan
2 Verbal 1 Hasil berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti (rintihan)
3 Bicara ngawur, meracau dan tidak
nyambung
4 Bicara membingungkan
5 Orientasi baik
3 Motorik 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal Menghindari
4 rangsangan nyeri
5 Melokalisir nyeri
6 Ikuti perintah
(Sumber: Wijaya dan Yessi. 2013, Padila. 2012)
Kualitatif:
a) Compos mentis yaitu Kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan keadaan disekelilingnya.
Nilai GCS 14-15.
b) Apatis yaitu Keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikap acuh tak acuh. GCS 12-13.
c) Delirium dimana Keadaan gelisah, disorientasi (orang, tempat,
waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal. GCS 10-11.
d) Samnolen dimana Kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila
darah atau kematian otak tetapi hal seperti ini memerlukan proses
yang cukup lama pada cedera kepala.
5) Angiografi serebral
Pemeriksaan ini lebih bermanfaat untuk menunjukan adanya suatu
hematoma atau pendarahan intra cranial. Pada cedera kepala akan
ditemukan pendarahan intrakranial atau hematoma yang semakin
melebar jika kurangnya penanganan.
6) Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi dapat dilakukan jika dilakukan
jika diduga terjadi pendarahan subaraknoid. Pemeriksaan lumbal
fungsi akan menunjukan pendarahan pada intracranial dan jika
terjadi trauma terbuka atau fraktur basis kranii dapat berakibat pada
meningitis yang ditunjukan dengan terjadinya infeksi pada selaput
otak.
7) Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan intrakaranial. Pada cedera kepala kadar elektrolit akan
menurun karena terjadipendarahan aktif dan edema, selainitu kadar
elektrolit bisa menjadi penandapeningkatan intracranial.
8) Analisa gas darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostic untuk
menentukanstatus respirasi. Status yang dapat digambarkan adah
status oksigenasi dan statusasam basa. Pada pemeriksaan AGD
dapat berakibat terjadinya hipoventilasi atauhiperventilasi karena
akibat terjadinya penumpukan cairan di paru yang
berakibatterjadinya gagguan disfungsi.
2. Diagnosa Keperawatan
Nanda I Diagnosis Keperawatan 2018-2020:
a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b/d edema serebral
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d gangguan neurologis:cedera kepala
c. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik
d. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otakb/d cedera kepala
e. Ketidakefektian besihan jalan nafas b/d peningkatan produksi sputum
3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan NIC NOC
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Penurunan kapasitas Status neurologi Manajemen edema
adaptif intrakranial 1. Tidak serebral
terganggunya 1. Monitor adanya
Definisi: kesadaran pingsan
Gangguan mekanisme 2. Tidak 2. Monitor tingkat
dinamika cairan terganggunya GCS
intrakranial yang tekanan 3. Monitor hasil TTV
normalnya melakukan intrakranial 4. Monitor
kompensasi untuk 3. Tidak karakteristik cairan
meningkatkan volume terganggunya serebrospinal:
intrakranial, yang tekanan darah warna, kejernihan
menyebabkan 4. Tidak dan konsistensi
peningkatan TIK yang terganggunya 5. Monitor TIK dan
tidak proporsional dan pernafasan CPP
berulang dalam 5. Tidak ada kejang 6. Monitor CVP dan
respons terhadap 6. Tidak ada sakit PAP
berbagai simuli yang kepala 7. Monitor status
berbahaya dan tidak pernafasan:
berbahaya. Perfusi jaringan: frekuensi, irama,
serebral kedalaman
1. Tidak ada pernafasan, PO2,
deviasi dari PCO2, ph dan
kisaran normal bikarbonat.
batas normal
5. Konsultasi dengan
dokter untuk
menentukan tinggi
kepala tempat tidur
yang optimal
(misalnya., 0,15 atau
30 drajat) dan
monitor respon
pasien terhadap
pengaturan posisi
6. Hindari fleksi leher
atau panggul atau
lutut yang ekstrim u.
Pertahankan PCO2
pada level 25 mmHg
atau lebih
7. Berikan dan monitor
efek diuretic osmotic
dan loop active dan
kortikosteroid
8. Berikan obat nyeri
sesuai kebutuhan
9. Monitor
PTT(partical
tromboplastion time)
DAN PT
(protrombine time)
sesaui kebutuhan
10. Monitor tanda-tanda
pendarahan (sebagai
contoh pada
pemeriksaan fases
dan darah pada
saluran nasogastrik)
11. Montor tanda
kelebihan cairan
(misalnya., ronkhi,
distensi vena
jangularis, edema,
dan penigkatan
sekresi pulmonar)
12. Monitor nilai
laboratorium adanya
perubahan
oksigenasi atau
kesimbangan asam
basa , sesuai
kebutuhan
13. Monitor intake dan
output
2. Ketidakefektifan pola Status pernafasan Manajemen jalan nafas
nafas 1. Tidak ada 1. Posisikan pasien
deviasi dari untuk memaksimalkan
Definisi: kisaran normal ventilasi
Inspirasi dan/atau pada frekuensi 2. Auskultasi suara
ekspirasi yang pernafasan, nafas, catat area
tidakmemberikan irama ventilasinya menurun
ventilasiadekuat. pernafasan, atau tidak ada dan
kedalaman adanya suara
inspirasi, tambahan
auskultasi bunyi 3. Kelola udara atau
nafas dan oksigen yang
kepatenan jalan dilembabkan
nafas sebagaimana mestinya
2. Tidak ada 4. Posisikan untuk
deviasi dari mengurankan sesak
kisaran normal nafas
saturasi oksigen 5. Monitor status
3. Tidak ada pernafasan dan
deviasi dari oksigen, sebagimana
kisaran normal mestinya.
penggunaan otot
bantu nafas, Terapi oksigen
retraksi dinding 1. Bersihkan mulut
dada dan suara hidung dan sekresi
nafas tambahan trakea dengan tepat
2. Pertahankan
Status pernafasan: kepatenan jalan nafas
pertukaran gas 3. Siapkan peralatan
1. Tidak ada oksigen dan berikan
deviasi dari melalui sisten
kisaran normal humidifier
pada tekanan 4. Berikan oksigen
persial oksigen tambahan sesuai yang
di darah arteri diperintahakan
(PaO2) 5. Monitor aliran
2. Tidak ada oksigen
deviasi dari 6. Monitor efektifitas
kisaran normal terapi oksigen dengan
pada tekanan tepat
persial 7. Amati tanda-tanda
Monitor tanda-tanda
vital
1. Monitor tekanan
darah, nadi suhu dan
pernafasan dengan
tepat
2. Monitor irama dan
laju pernafasan
3. Indikasi kemungkinan
penyebab perubahan
tanda-tanda vital
petunjuk nonverbal
mengenai
ketidaknyamanan
terutama pada mereka
yang tidak dapat
berkumunikasi secara
efektif
3. Gunakan strategi
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan
sampaikan penimaan
pasien terhadap nyeri
4. Bantu keluarga dalam
mencari dan
menyediakan
dukungan
5. Gunakan metode
penilaian yang sesuai
dengan tahapan
perkembangan yang
memungkinkan untuk
memonitor perubahan
nyeri dan akan dapat
membantu
mengidentifikasi
factor pencetus actual
dan potensial
6. Kendalikan faktor
lingkungan yang dapt
mempengaruhi respon
pasien terhdap
ketidaknyamanan
7. Ajarkan penggunaan
teknik
nonfarmakologi
(relaksasi, hipnotis,
terpi music)
8. Evaluasi dari
keefektifan dari
tindakan pengontrol
nyeri yang dipakai
selama pengkajian
neyeri dilakukan
informasikan tim
kesehatan lain dan
keluarga mengenai
strategi
nonfarmakologis yang
sedang digunakan
9. Berikan infomasi
yang akurat untuk
meningkatkan
pengetahuan dan
respon keluarga
terhadap pengalaman
nyeri.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilakukan berdasarkan pengkajian, diagnosis keperawatan
dan intervensi (Bararah et al., 2013).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi dilakukan berdasarkan pengkajian, diagnose keperwatan,
intervensi dan implementasi(Bararah et al., 2013). Semua hal yang dilihat
dari hasil perkembangan klien/pasien selama melakukan asuhan
keperawatan.
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dalam bentuk literature
review dengan pendekatan analisis kasus. Literature Review adalah suatu
kerangka, konsep atau orientasi untuk melakukan analisis dan klasifikasi
fakta yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan dari berbagai
sumber yaitu jurnal, buku, serta publikasi lainnya terkait dengan topik yang
diteliti.(Ketut, 2012).Peneliti melakukan analisis 3 KTI dengan judul Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu penelitian mulai dari bulan Desember 2020 sampai dengan Juni 2021.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Pengumpulan literature review digunakan beberapa tahapan diantaranya
adalah pencarian artikel, jurnal, KTI, skripsi berdasarkan topik besar.
Peneliti mencari KTI dengan judul “Asuhan Keperawatan Cedera Kepala
Berat” di Repository Poltekkes Kemenkes Padang.Dari tahun 2015-2020
ditemukan KTI dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Cedera Kepala sebanyak 12 buah.Diantaranya terdapat 5 kasus dengan
cedera kepala berat.Lalu peneliti menetapkan 5 literatur sebagai populasi.
2. Sampel
Peneliti mengambil sampel sebanyak 3 literatur dengan caraPurposive
Sampling, yaitu menentukan pemilihan sampel dengan alasan tertentu,
biasa dikarenakan alasan mudah mendapatkan data maupun alasan
lainnya.
Dengan kriteria inklusi:
a) KTI yang mengandung kata kunci “Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan Cedera Kepala Berat di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M.
Djamil Padang”.
Pada KTI pertama, peneliti akan menganalisa KTI dari Dwi Ayu Humaira (2018) dengan judul Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Cedera Kepala di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Pada KTI kedua, peneliti akan
menganalisa KTI dari Rada Purnama Sari (2018) dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Kepala di
Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Lalu pada KTI ketiga, peneliti akan menganalisa KTI dari Hidayatul Ikhsan
(2019) dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cedera Kepala di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
rumah sakit pada hari Kamis, Keluhan Utama: Pasien masuk Keluhan Utama: Keluahan utama
tanggal 1 Februari 2018 pukul RSUP Dr. M. Djamil Padang pada saat Pasien masuk ke RSUP DR M.
04.00 WIB, melalui IGD RSUP. hari selasa tanggal 6 Maret 2018 Djamil Padang pada tanggal 14
Dr. M. Djamil Padang karena pukul 07:10 wib melalui IGD Februari 2019 pukul 01.44 WIB
mengalami penurunan kesadaran. rujukan dari RS Muaro Labuh melalui IGD, atas rujukan dari
Keluarga mengatakan pasien Solok Selatan dengan keluhan RSUD Pariaman dengan penurunan
mengalami kecelakaan dan penurunan kesadaran sejak 8 jam kesadaran semenjak 2 hari yang
sadarkan diri, kepala berdarah, sebelum masuk rumah sakit akibat lalu sebelum masuk ke RSUP DR
keluar darah di hidung, mulut, kecelakaan lalu lintas, tingkat M Djamil Padang karena
telinga, serta muntah darah kesadaran samnolen GCS 7 kecelakaan lalu lintas. Mengalami
sebanyak 2 kali. (E1M4V2), perdarahan mulut (+), muntah ada sebanyak 5 kali ketika
perdarahan hidung (+), muntah diatas ambulance disertai dengan
Riwayat Kesehatan Sekarang: Saat (+). darah, keluar darah dari hidung,
dilakukan pengkajian tanggal 12 mulut, dan telinga berwarna merah
Februari 2018 pasien hari rawatan Riwayat Kesehatan Sekarang: segar. Terdapat luka robek pada jari
ke 4 di ruang HCU Bedah. Keadaan Saat dilakukan pengkajian hari kaki sebelah kiri dan sudah di jahit
lemah, tingkat kesadaran somnolen Selasa tanggal 6 Maret 2018 dan terjadi fratur tertup pada 1/3
dengan GCS 7 E1M4V2. Pasien pukul 12:00 wib , keluarga klvikula tengah sebelah kanan.
terpasang OPA, suara nafas mengatakan pasien tampak lebih
terdengar gurgling, pasien banyak tidur, tingkat kesadaran Riwayat Kesehatan
terpasang NGT, terpasang oksigen samnolen, masih terdapat sisa Sekarang:Keluhan saat dilakukan
melalui NRM 10 liter/ menit, perdarahan di mulut dan hidung, pengkajian Kamis, 14 Februari
terpasang IVFD NaCl 0,9% 28 tidak ada muntah proyektil, pasien 2019 pukul 09.00 WIB, pasien hari
tetes/ menit melalui CVC, kateter merupakan hari rawatan pertama. rawatan pertama di HCU Bedah,
terpasang, terpasang monitor. Saat Keluarga mengatakan dahak keluarga mengatakan pasien hanya
ini semua aktivitas pasien dibantu pasien banyak, terdapat fraktur tertidur dan tidak sadarkan diri,
oleh perawat di ruangan. radius ⅓ distal sinistra terpasang keluarga mengatakan pasien sesak
ORIF tampak ada luka lecet nafas, keluarga mengatakan bahwa
Pemeriksaan Fisik: Pada ditangan sebelah kanan panjang tangan dan kaki klien teraba dingin
pemeriksaan fisik partisipan 1 ±7 cm lebar ±4 cm luka lecet lalu muka pasien terlihat pucat.
didapatkan keadaan umum pasien warna merah, basah dan luka lecet
lemah, tingkat kesadaran somnolen, pada kaki sebelah kiri panjang ±5 Pemeriksaan Fisik: Pada
GCS 7, E1M4V2, TD= 146/80 cm lebar ±2 cm luka berwarna pemeriksaan fisik yang dilakukan
mmHg, HR= 90 x/menit, RR= 30 merah dan masih basah serta pada Tn. AM didapatkan hasil
x/menit, Suhu 38,4o c, MAP= 102 kepala dielevasikan 30°. sebagai berikut: keadaan umum
mmHg, terpasang nrm 10 pasien lemah dengan tingkat
liter/menit, terdapat luka di pelipis Pemeriksaan Fisik: Pada kesadaran Stupor dan GCS 5
kiri , pernafasan cuping hidung, pemeriksaan fisik pada Tn. H (E1M3V1 ), tekanan darah pasien
terdengar suara nafas tambahan didapatkan Tingkat kesadaran: 169/87mmHg, pernafasan 26
gurgling.N.I (olfaktorius) tidak samnolen, GCS : GCS 7 kali/menit, nadi 90 kali/menit, suhu
dapat dinilai, N.II (opticus) tidak (E1M4V2), TD : 129/63 mmHg, badan 380C. pada pemeriksaan
dapat dinilai, N.III MAP 101 mmHg, Nadi : 116 x / fisik bagian kepala tanda racoen
(occulomotorius) refleks pupil menit, Pernapasan : 28 x / menit, eye dan betele sign sehingga pasien
isokor dengan diameter 3/3 mm, Suhu : 37.0 °C. Pada kepala tidak mengalami fraktur basis
N.IV (trochealis) tidak dapat tampak simetris, tidak ada luka, kranii dan pada pemeriksaan
dinilai, N.VI (abdusen) tidak dapat atau jejas dibagian kepala, tidak rangsaan menigela kakukuduk (-)
dinilai, N.VII (fasialis) tidak dapat ada pembengkakan, kulit kepala dan bruzenskyI(-) sehingg pasien
dinilai karena pasien dalam tampak bersih. Wajah tampak tidak menglami meningitis. Pada
penurunan kesadaran, N.VIII pucat, tidak ada luka maupun wajah terdapat luka lecet pada pipi
(akustikus) tidak dapat dinilai, N.IX memar dibagian wajah, dan dagu. Pada mata ditemukan
(aksesorius) tidak dapat dinilai, pemeriksaan nervus VII (Fasialis) pupil pil-point dan tidak ditemukan
N.X (vagus) tidak dapat dinilai, tidak dapat dinilai. Mata rakoen eye atau tanda lebam
N.IX (glosofaringeus) tidak dapat konjungtiva anemis, sklera tidak disekitar area mata sebagai tanda
dinilai, N.XII (hipoglosus) tidak ikterik, pada pemeriksaan nervus penyebab fraktur basis kranii. Pada
dapat dinilai. II (Optikus) tidak dapat dinilai, hidung ditemukan dalam keadaan
tampak ada oedema di kelopak kotor, tidak terjadi pendarahan aktif
mata sebelah kiri akibat dan tidak ada kelainan. Pada mulut
kecelakaan, pemeriksaan nervus ditemukan dalam keadaan kering
III (Occulomotorius) tidak dapat dan tidak ditemukan kelainan.
dinilai, pupil anisokor dengan Telinga kotor, tidak ada pendarahan
OD/OS : Ø 4/3 mm. N IV aktif dan tidak ditemukan tanda
(trochlearis) dan N VI (abdusens) bettle sign atau lebam dibelakang
tidak dapat dinilai. Hidung adanya daun telinga. Pada leher tidak ada
pernapasan cuping hidung, kelainan. Pada thoraks ditemukan
terpasang NGT, tampak masih ada terdapat tonjolan pada tulang
sisa perdarahan di hidung. Pasien klavikula dexstra dan terdapat luka
tidak dapat diperintah, pasien lebam pada sekitar area tersebut.
tidak bisa membedakan bau yang Pada jantung ditemukan tidak ada
diberikan sehingga pemeriksaan kelainan. Pada abdomen tidak
nervus I (Olfaktoris) tidak dapat ditemukan kelainan yang berarti.
bisa dinilai. Mulut tampak kering, Pada pemeriksaan ektremetas
tampak pucat, tidak ada lesi, ditemukan CRT > 2 detik, akral
tampak masih ada sisa perdarahan teraba dingin, turgor kulit buruk,
dimulut, N. IX (Glassofaringeus) pada pemeriksaan refleks fisiologis
dan N. X (Vagus) tidak dapat patologis tidak ada kelainan. Pada
dinilai, N XII (Hipoglosus) tidak genetalia tidak ditemukan kelainaa.
dapat dinilai. Telinga perdarahan Untuk pemeriksaan nervus tidak
(-), tampak kurang bersih dapat dinilai.
(serumen), pemeriksaan nervus
VIII (Akustikus) tidak dapat
dinilai. Leher Tidak ada
pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada pembesaran
vena jugularis, kaku kuduk tidak
b. Monitor tanda-tanda vital. a. Integritas kulit: kulit dan 7. Resiko konfusi akut
membrane mukosa NIC:
b. Keparahan infeksi a. Monitor neurologi
NIC: b. Pencegahan jatuh
a. Perawatan luka 8. Resiko ketidakseimbangan
b. Pengecekan kulit. cairan.
NIC:
a. Manajemen cairan
b. Monitor ttv.
4. Implementasi 1. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Resiko ketidakefektifan 1. Penurunan kapasitas adaptif
Keperawatan napas berhubungan dengan perfusi jaringan otak intrakranial b.d edema serebral
penumpukan sekret dijalan a. Mempertahankan posisi akibat cedera kepala
napas kepala pasien elevasi 30° a. Memonitor adanya pingsan,
a. Pengisapan lendir pada jalan untuk memaksimalkan memonitor tingkat GCS,
nafas diantaranya ventilasi, memberikan memonitor TTV, memonitor
1) Mencuci tangan, memakai rangsangan suara untuk status pernafasan: frekuensi,
APD meningkatkan tingkat irama, kedalaman
2) Menginformasikan kesadaran, memonitor pernafasan, PO2, PCO2, Ph
keluarga mengenai aliran O2, memonitor darah, kolaborasi pemberian
tindakan suction TTV, monitor kualitas diuretik osmotik: manitol
3) Mengauskultasi suara nadi, memonitor tingkat 3x150g, memonitor MAP,
nafas sebelum dan kesadaran. memberikan NaCl 0,9 %
sesudah melakukan 2. Ketidakefektifan pola napas 3kolf/24 jam, memberikan 1
suction berhubungan dengan unit PRC, mengelevasikan
4) Memonitor status oksigen kerusakan neurologis kepala 30o (semi fowler),
pasien a. Mempertahankan posisi menghindari fleksi kepala,
5) Membersihkan daerah kepala pasien elevasi 30° panggul dan lutut yang
stroma trakea setelah untuk memaksimalkan ekstrim, mempertahankan
mungkin meningkatan
potensi jatuh pada
lingkungan tertentu dan
mengidentifikasi prilaku dan
fator mempengaruhi resiko
jatuh, dan pasang savety bed
dengan benar.
8. Resiko ketidakseimbangan
cairan.
a. Menjaga intake dan catat
output pasien, memasang
kateter, memonitor status
hidrasi :mukosa mulut, nadi
dan tekanan darah,
memonitor hasil labor,
memonitor TTV,
memberikan cairan NaCl
0,9 % 3kolf/24 jam dan
memonitor terapi pasien
terhadap terapi elektrolit.
5. Evaluasi 1. Ketidakefektifan bersihan jalan 1. Resiko ketidakefektifan 1. Penurunan kapasitas adaptif
Keperawatan napas berhubungan dengan perfusi jaringan otak intrakranial b.d edema serebral
penumpukan sekret dijalan a. Pada hari keempat dan akibat cedera kepala
napas. kelima keadaan pasien a. Pada hari kedua GCS pasien
a. Pada hari ke 5 sekret pasien sudah mulai membaik meningkat menjadai 7 dan
mulai berkurang, pasien dengan GCS 10 dan pada pada hari ke 5 pasien sudah
masih terpasang OPA, RR hari kelima keadaan pasien mulai tampak sadar dengan
dalam rentang normal membaik dengan GCS 10 GCS 11, masalah teratasi
B. Pembahasan
Pada pembahasan kasus ini, peneliti akan membahas kesinambungan antara
teori dengan laporan kasus asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera
kepala. Kegiatan yang dilakukan meliputi pengkajian, menegakkan diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi
keperawatan.
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Pasien pada KTI 1,2 dan 3 sama-sama berjenis kelamin laki-laki. Hal
ini sesuai dengan teori Brain Injury Association Of Amerika dalam
Bararah et al., 2013, yaitu laki-laki cenderung mengalami cedera
kepala1,5 kali lebih banyak daripada perempuan. Menurut Brunner &
Suddarth, 2017 mengatakan bahwa kelompok yang beresiko tinggi
mengalami cedera kepala adalah laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Rawis et al., 2016 kejadian cedera kepala
dua kali lebih banyak terjadi pada pria dari pada wanita dengan
jumlah pasien laki-laki pada seluruh kasus sebanyak 33 orang (83%).
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Ketiga pasien pada KTI 1,2 dan 3 sama-sama mengalami
penurunan kesadaran, muntah darah, pendarahan hidung, mulut,
dan telinga serta mengalami perdarahan subarachnoid, eodema
serebri dan perdarahan intraserebral.
Pada KTI 1 pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 1 Februari
2018, sedangkan pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Februari
2018. Pada KTI 2 pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 6
Maret 2018 dan pengkajian dilakukan dihari yang sama. Pada KTI
3 pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 14 Februari 2019 dan
pengkajian dilakukan dihari yang sama.
Hal ini sesuai dengan teori Brunner & Suddarth, 2017 yang pada
umumnya pasien cedera kepala datang ke rumah sakit dengan
keluhan penurunan kesadaran, muntah, nyeri kepala, keluarnya
darah dari hidung, telinga dan muntah disertai darah, perubahan
pola napas, perubahan tekanan darah, perubahan suhu tubuh,
mengalami gangguan sensori, gangguan penglihatan, dan
gangguan pendengaran.
dan tidak ditemukan tanda bettle sign atau lebam dibelakang daun
telinga.Pada leher tidak ada kelainan.Pada thoraks ditemukan terdapat
tonjolan pada tulang klavikula dexstra dan terdapat luka lebam pada
sekitar area tersebut.Pada jantung ditemukan tidak ada kelainan.Pada
abdomen tidak ditemukan kelainan yang berarti.Pada pemeriksaan
ektremetas ditemukan CRT > 2 detik, akral teraba dingin, turgor kulit
buruk, pada pemeriksaan refleks fisiologis patologis tidak ada
kelainan.Pada genetalia tidak ditemukan kelainaa.Untuk pemeriksaan
nervus tidak dapat dinilai.
Dalam Tim Pokja PPNI, 2017 pola napas tidak efektif adalah inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Dengan
gejala mayor dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan, fase
ekspirasi memanjang, pola napas abnormal, ortopnea, pernapasan
pursed-lip, pernapasan cuping hidung, ventilasi semenit menurun,
tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun dan ekskursi
dada berubah.
Hal ini sesuai juga dengan teori pada aspek sistem pernapasan terjadi
perubahan pola napas, kedalaman, ataupun frekuensi yaitu cepat dan
dangkal, irama tidak teratur (Muttaqin, 2011). Menurut peneliti,
diagnosa ini diangkat karena mengalami gangguan di jalan nafas,
gangguan pernafasan dan gangguan sirkulasi.Pada KTI 3
kemungkinan penyakit penyerta seperti CKD bisa memperburuk
keadaan pasien karena bisa terjadi retensi cairan intertisial dari edema
paru.
Dalam Tim Pokja PPNI, 2017, bersihan jalan napas tidak efektif
adalah ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan
napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten. Dengan gejala
mayor batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih,
mengi wheezing dan ronkhi kering dan gejala minor dispnea, sulit
bicara, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi
napas berubah dan pola napas berubah. Menurut analisa peneliti,
diagnosa ini diangkat karena bersifat gawat dan jika pasien mengalami
sumbatan pada jalan nafas maka suplay O2 ke otak mengalami
Hal ini sesuai dengan teori NANDA Anna et al., 2018yaitu resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak adalah rentan mengalami
penurunan sirkulasi jaringan otak yang dapat mengganggu
kesehatan.Kondisi ini disebabkan cedera kepala atau cedera otak.
d. Hipertermi
Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 1 dan KTI 3.
Pada KTI 1 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data akral pasien
teraba panas, suhu 38,4oC, kulit pasien tampak kemerahan.
Hal ini sesuai dengan teori Anna et al., 2018yaitu hipertermi adalah
suhu inti tubuh diatas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi dengan batasan karakteristik gelisah, kulit kemerahan,
kulit terasa hangat dan takikardi.
Hal ini juga sejalan dengan Tim Pokja PPNI, 2017 yaitu hipertermi
adalah suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh dengan
gejala suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, takikardi, kulit
terasa hangat.
Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017yaitu perfusi perifer tidak
efektif adalah penurunan sirkulasi darah pada lever kapiler yang dapat
mengganggu metabolisme tubuh yang ditandai dengan gejala mayor
CRT>3 detik, nadi perifer menurun atau tidak teraba, akral teraba
dingin, warna kulit pucat dan turgor kulit menurun.
h. Resiko infeksi
Diagnosa ini ditegakkan pada KTI 3.
Pada KTI 3 diagnosa ini ditegakkan karena didukung data , leukosit:
18.010 /mm3, Suhu : 380C , terdapat luka gores di area pipi dan dagu,
luka memar disekitar fraktur klavikula dan, luka bekas jahitan
disekitar kaki.
Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017resiko infeksi adalah
beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik, yang
disebabkan ketidak adekuatan pertahanan primer dan sekunder dalam
tubuh.
Hal ini sesuai denganTim Pokja PPNI, 2017 yaitu gangguan mobilitas
fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
Hal ini sesuai dengan Tim Pokja PPNI, 2017 resiko gangguan konfusi
adalah beresiko mengalami gangguan kesadaran, perhatian, kognisi,
dan persepsi yang reversible dan terjadi dalam periode waktu singkat
yang disebabkan oleh faktor usia, dan gangguan fungsi metabolik dan
terjadi salah satunya pada kasus cedera kepala.
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif
Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaketidakefektifan pola
napas/ pola napas tidak efektif, rencana asuhan keperawatan dengan
tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan dapat
menunjukkanstatus pernapasan: Frekuensi pernapasan normal, tidak
ditemukan atelektasis, tidak mengalami dispnea saat istirahat, tidak
ada retrasi dinding dada. (Moorhead. dkk, 2013)
Hal ini sesuai dengan teori Brunner & Suddarth, 2017, pada
ketidakefektifan jalan nafas intervensi keperawatan pengisapan lendir
di jalan nafas merupakan salah satu tujuan yang paling penting agar
membangun dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat.
d. Hipertermi
Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaHipertermi, rencana
asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dapat menunjukkantermoregulasi : tidak ada peningkatan
suhu tubuh, tidak ada mengalami hipertermia dan tidak terganggu
tingkat pernafasan. keparahan cedera fisik: tidak ada
pendarahan(Moorhead. dkk, 2013)
Hal ini sesuai dengan Brunner & Suddarth, 2017yaitu untuk mencegah
terjadinya cedera sekunder dan membantu otak dalam
mengkompensasi maka penting untuk mengontrol TIK, meningkankan
oksigenasi, kaji faktor penyebab penurunan kapasitas adaptif
intracranial, kaji kemungkinan peningkatan TIK, kolaborasi dalam
pennggunaan manitol menjaga kesimbangan elektrolit, mengontrol
nyeri, dan mengelevasikan tempat tidur.
h. Resiko infeksi
Pada intervensi keperawatan dengan diagnosaResiko infeksi, rencana
asuhan keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan dapat menunjukkan keparahan Infeksi : tidak ada
kemerahan, tidak ada demam, tidak ada peningkatan leukosit.
Keparahan cidera fisik:tidak ada memar, tidak ada cedara kepala, tidak
ada fraktur, dan tidak ada pendarahan.(Moorhead. dkk, 2013)
4. Implementasi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif
Pada KTI 1, implementasi yang dilakukan yaitumemonitor status
respirasi dan oksigen, memonitor aliran O2, memonitor tanda-tanda
vital dan tanda-tanda hipoventilasi.
Pada KTI 2, implementasi yang dilakukan yaitumempertahankan
posisi kepala pasien elevasi 300 untuk memaksimalkan ventilasi,
memonitor kepatenan aliran oksigen, memonitor frekuensi dan irama
pernafasan, memonitor pola pernafasan abnormal, memberikan terapi
oksigen Non Rebreathing Mask 10 liter/menit.
Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumemposisikan pasien
semi fowler, mengauskultasi suara nafas, mengelola penggunaan
oksigen, memonitor status pernafasan, membersihkan mulut dan
hidung, memberikan oksigen melalui NRM 10L/menit, memonitor
aliran oksigen, memonitor efektifitas terapi oksigen, mengamati
tanda-tanda hipoventilasi (mis. nafas pendek dan cepat), memonitor
irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas, inspeksi pergerakan
didnding dada, memonitor suara tambahan, memonitor pola nafas,
memonitor saturasi oksigen, dan memonitor TTV.
d. Hipertermi
Pada KTI 1, implementasi yang dilakukan yaitumengukur suhu
sesering mungkin yaitu sekali 2 jam, memonitor warna dan suhu kulit,
memberikan antipiretik sesuai program terapi dokter, memberikan
kompres pada bagian lipatan paha dan aksila.
Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumemantau suhu tubuh
dan tanda-tanda vital secara berkala, memantau suhu tubuh dan warna
kulit, memonitor intake dan output, memberikan PCT 3x1gr,
memberikan NaCl 0,9 % 3 kolf/24 jam, menyelimuti tubuh pasien
dengan selimut, emberikan oksigen melalui NRM 10 L/menit, menjaga
suhu lingkungan sesuai dengan suhu kamar agar memperlambat
metabolisme dan meningkatkan kenyamanan, memonitor nilai
leukosit, melakukan kompres basah, menjelaskan kepada keluarga
tentang penggunaan kompres, dan melakukan kompres pada area
kepala.
h. Resiko infeksi
Pada KTI 3, implementasi yang dilakukan yaitumembersihkan
lingkungan dengan baik, mengganti peralatan perawatan pasien sesuai
protocol, membatasi jumlah pengunjung, menganjurkan dan
Pada KTI 1 didapatkan hasil pada hari kedua sekret masih banyak dan
sudah di suction secara berkala. Pada hari kelima sekret sudah mulai
berkurang.
Pada KTI 2 didapatkan hasilkeadaan pasien sudah mulai membaik,
sesak napas sudah berkurang, dahak sudah berkurang, RR 26 x/menit
sehingga masalah teratasi sebagian dan intervensi dilajutkan.
d. Hipertermi
Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa hipertermi adalah
termoregulasi : tidak ada peningkatan suhu tubuh, tidak ada
mengalami hipertermia dan tidak terganggu tingkat pernafasan.
Keperahan cedera fisik: tidak ada pendarahan.
Pada KTI 1 didapatkan hasil suhu tubuh pasien normal, akral teraba
hangat, tidak ada warna kemerahan pada kulit sehingga masalah yang
ditemukan teratasi dan intervensi dihentikan.
Pada KTI 3 didapatkan hasilpenurunan suhu tubuh yang berahir pada
kisaran normal. Pada saat kasus ditemukan dari semua kriteria hasil
Pada KTI 3 didapatkan hasil CRT < 3 detik, muka tidak pucat dan
saturasi berada pada kisaran normal. Pada saat kasus ditemukan dari
semua kriteria hasil yang diharapkan baru 60% yang tercapai setelah 5
hari implementasi dan dilakukan evaluasi diperoleh dari semua
kriteria hasil 100% sudah tercapai, sehingga intervensi dihentikan.
h. Resiko infeksi
Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa resiko
infeksiadalahkeparahan Infeksi : tidak ada kemerahan, tidak ada
demam, tidak ada peningkatan leukosit. Keparahan cidera fisik:tidak
ada memar, tidak ada cedara kepala, tidak ada fraktur, dan tidak ada
pendarahan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada BAB terdahulu, peneliti mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Pada pengkajian didapatkan kesimpulan bahwa KTI 1, 2 dan 3 sama-sama
memiliki keluhan utama, penurunan kesadaran, perdarahan hidung,
telinga dan mulut.
2. Terdapat 6 diagnosa keperawatan utama dari ketiga KTI yang muncul
yaitu: ketidakefektifan pola napas/ pola napas tidak efektif,
ketidakefektifan bersihan jalan napas, resiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak, hipertermi, penurunan kapasitas adaptif intrakranial, perfusi
perifer tidak efektif.
3. Tahap perencanaan keperawatan hampir semua rencana tindakan
dilakukan, yaitu: terapi oksigen, monitor status pernapasan, manajemen
jalan napas, penghisapan lendir pada jalan napas,manajemen syok,
monitor peningkatan TIK, manajemen demam, manajemen edema
serebral, peningkatan perfusi serebral, , perawatan sirkulasi, manajemen
asam basa.
4. Tahap pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan yang telah dibuat, yaitu: manajemen jalan napas,
penghisapan lendir pada jalan napas, manajemen edema serebral, monitor
status pernapasan, peningkatan perfusi serebral, terapi oksigen, perawatan
sirkulasi, manajemen asam basa, manajemen syok, monitor peningkatan
TIK.
5. Pada tahap evaluasi dari ke 6 diagnosa utama yang telah ditegakkan ada 1
masalah yang teratasi pada hari ke 5 yaitu pada diagnosa perfusi perifer
tidak efektif dengan tanda CRT>3 detik. Lalu untuk 5 diagnosa lainnya
intervensi dilanjutkan yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas,
B. Saran
1. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat menjadi data dasar dan bahan pembelajaran mengenai
literature review asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
berat serta sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Padang
Diharapkan hasil penelitian ini, dapat menambah studi kepustakaan dan
menjadi masukan yang berarti dan bermanfaat bagi mahasiswa Poltekkes
Kemenkes Padang khususnya jurusan keperawatan.
Anna, K. budi, Mediani, henny suzana, & Tahlil, T. (2018). NANDA-I Diagnosis
Keperawatan 2018-2020 (Ed 11). EGC.
Ar, M., Umar, N., Saleh, S. C., Anestesiologi, D., Fk, I., & Rs, U. (2012).
Penatalaksanaan cedera otak pada anak management of brain trauma in
children. 1–7.
Awaloei, A. C., Mallo, N. T. S., & Tomuka, D. (2016). Gambaran cedera kepala
yang menyebabkan kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof Dr. E-CliniC, 4(2), 2–6. https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14369
Brunner & Suddarth. (2017). Keperawatan Medikal Bedah (Ed 12). EGC.
Christanto, S., Rahardjo, S., Suryono, B., & Chasnak Saleh, S. (2015).
Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan
Subdural yang Tertunda. Jurnal Neuroanestesi Indonesia, 4(3), 176–185.
https://doi.org/10.24244/jni.vol4no3.97
Dito, A., & Fritz, U. S. (2014). Penyakit dan Gangguan Syaraf. ANDI OFFSET.
Margareth, R., & Clevo, M. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Nuhu Medika.
Moorhead. dkk. (2013). Nursing Ourcome Classification (NOC) (Ed 5). Elsevier.
Polapa, M. (2015). Hubungan antara dinamika suhu tubuh dan leukosit perifer
dengan skala skor FOUR penderita cedera otak risiko tinggi. 184–191.
Pratiwi, S. H., Ropi, H., Sitorus, R., Keperawatan, F., & Padjadjaran, U. (2015).
Perbedaan Efek Kompres Selimut Basah dan Cold-pack terhadap Suhu
Tubuh Pasien Cedera Kepala di Neurosurgical Critical Care Unit Wet
Blanket and Cold-pack Application to Reduce Body Temperature among
Patients with Head Injury in Neurosurgical Critical Care. 3.
Price Sylvia A., & Lorraine, W. (2016). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. EGC.
Rawis, M. L., Lalenoh, D. C., & Kumaat, L. T. (2016). Profil pasien cedera kepala
sedang dan berat yang dirawat di ICU dan HCU. E-CliniC, 4(2).
https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14481
Ristanto, R., Indra, M. R., Poeranto, S., & Setyorini, I. (2016). AKURASI
REVISED TRAUMA SCORE SEBAGAI PREDIKTOR MORTALITY PASIEN
CEDERA KEPALA. 76–90.
Saanin, S., & Bachtiar, H. (2014). Artikel Penelitian Pengaruh Terapi Oksigen
Menggunakan Non-Rebreathing Mask Terhadap Tekanan Parsial CO2
Darah pada Pasien Cedera Kepala Sedang. 3(1), 41–44.
Tim Pokja PPNI. (2017). SDKI Definisi dan Indikator Diagnostik (Ed 1). PPNI.