Anda di halaman 1dari 110

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA


BERAT DI RUANG HCU BEDAH DI RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

KARYA TULIS ILMIAH

AULIA TRI ANANDA


NIM: 173110238

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG


JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA


BERAT DI RUANG HCU BEDAH DI RSUP Dr.M.DJAMIL PADANG

KARYA TULIS ILMIAH

DiajukanSebagaiPersyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Keperawatan

AULIA TRI ANANDA


NIM: 173110238

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG


JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020

i Poltekkes Kemenkes Padang


ii Poltekkes Kemenkes
KATAPENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan KaryaTulis Ilmiah ini
dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Kepala
Berat di Ruang HCU Bedah di RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2020”.
Peneliti menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat


Ibu Ns.Netti, S.Kep., M.Pd selaku pembimbing I dan Ibu Ns. Yosi
Suryarinilsih, M.Kep., Sp. KMB selaku pembimbing II yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan membimbing
peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Selanjutnya ucapan
terimakasih juga peneliti sampaikan kepada yang terhormat :

1. Bapak Dr. Burhan Muslim, SKM., M.Si selaku Direktur Politeknik


Kesehatan Kemenkes Padang.
2. Bapak Dr. dr. Yusirwan, Sp. B., Sp. BA(K)., MARS selaku pimpinan
RSUP Dr. M. Djamil Padang yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian.
3. Ibu Ns. Sila Dewi Anggreni, M. Kep., Sp. KMB selaku Ketua Jurusan
Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.
4. Ibu Heppi Sasmita, M. Kep., Sp. Jiwa selaku Ketua Program Studi
Keperawatan Padang Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.
5. Bapak/ Ibu Dosen dan Staf Program Studi Keperawatan Padang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.
6. Teristimewa kepada orang tua dan keluarga yang telah memberikan
dukungan dan semangat.
7. Teman- teman dan semua pihak yang telah membantu peneliti dalam
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Peneliti menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih terdapat kekurangan,
untuk itu peneliti mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun
dari semua

ii Poltekkes Kemenkes
pihak untuk mencapai kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Peneliti mendoakan
semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan dan
keberkahan dari Allah SWT.

Padang, Mei 2020

Peneliti

i Poltekkes Kemenkes
v Poltekkes Kemenkes
v Poltekkes Kemenkes
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Aulia Tri Ananda

NIM : 173110238

Tempat, Tanggal Lahir : Padang Panjang, 26 Oktober 1998

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat :Jorong Pariangan, Kenagarian Pariangan,


Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah
Datar

Nama Orang Tua

Ayah : Nasrul S.E

Ibu : Asra A.Md.Farm

Riwayat Pendidikan

No Jenis Pendidikan Tempat Pendidikan Tahun


1 TK TK Indojolito Pariangan 2004 – 2005
2 SD SD N 02 Pariangan 2005 – 2011
3 SMP SMP Negeri 5 Padang 2011 - 2014
Panjang
4 SMA SMA Negeri 1 Batipuh 2014 - 2017
5 D-III Keperawatan Poltekkes Kemenkes Padang 2017 - 2020

v Poltekkes Kemenkes
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN PADANG
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN PADANG

Karya Tulis Ilmiah, Mei 2020


Aulia Tri Ananda

“Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Cedera Kepala Berat di Ruang


HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2020”

Isi : Xi + 86 lembar + 12 lampiran

ABSTRAK

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas di dunia,
Persentase penyebab cedera kepala berdasarkan tempat kejadian di Indonesia
44,7% di rumah dan lingkungan, 31,4% jalan raya, 9,1% tempat kerja, 9,1% di
sekolah, dan 8,1% tempat lain. Pasien cedera kepala yang di rawat di RSUP Dr.
M. Djamil Padang, dalam 1 tahun terakhir mencapai 252 kasus. Tujuan penelitian
ini untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala
di Ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Desain penelitian adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian


dilakukan pada bulan Desember 2019 – Juni 2020 di Ruang HCU Bedah RSUP
Dr. M. Djamil Padang. Asuhan keperawatan dilakukan pada tanggal 16- 25
Februari 2020. Populasi penelitian ini berjumlah 3 orang, pengambilan sampel
menggunakan Purposive sampling dengan menggunakan metode mengambilan
sampel sesuai dengan tujuan penelitian yaitu 1 orang sampel yang sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil penelitian didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran, gelisah,


terjadinya peningkatan intrakranial, kerusakan neurologis, luka pada kepala,
perubahan tanda- tanda vital, demam dengan suhu 38˚C, bunyi suara nafas
tambahan dan esktremitas teraba dingin. Diagnosa keperawatan yang muncul
adalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret tertahan,
risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala , gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi- perfusi,
hipertermi berhubungan dengan respon trauma dan risiko luka tekan berhubungan
dengan penurunan mobilisasi. Intervensi keperawatan yang dilakukan yaitu
manajemen jalan napas, penghisapan jalan nafas, manajeman peningkatan tekanan
intrakranial, pemantauan neurologis, pemantauan respirasi, terapi oksigen,
manajeman hipertermia, pemantauan caira dan pencegahan luka tekan
menggunakan VCO. Evaluasi masalah keperawatan teratasi sebagian yaitu
bersihan jalan nafas, gangguan pertukaran gas, hipertermi, risiko luka tekan dan
risiko perfusi serebral.

Diharapkan kepada perawat ruangan untuk mempertahankan intervensi perawatan


kulit dengan menggunakan VCO untuk mengatasi masalah keperawatan risiko
luka tekan pada pasien tirah baring khususnya pasien cedera kepala.

v Poltekkes Kemenkes
Kata kuci : Cedera kepala, Pencegahan Luka Tekan Menggunakan VCO
dan Asuhan Keperawatan.
Daftar Pustaka: 46 (2010 -2019)

i Poltekkes Kemenkes
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................ii
KATA PENGANTAR................................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN......................................................................v
LEMBAR ORISINALITAS......................................................................vi
ABSTRAK..................................................................................................viii
DAFTAR ISI...............................................................................................x
DAFTAR GAMBAR..................................................................................xii
DAFTAR TABEL......................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................7
C. Tujuan Penulisan.......................................................................7
D. Manfaat Penelitian....................................................................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Cedera kapala
1. Pengertian.............................................................................9
2. Etiologi.................................................................................9
3. Klasifikasi............................................................................10
4. Patifiologis...........................................................................13
5. WOC....................................................................................16
6. Manifestasi klinik.................................................................17
7. Penatalaksanaan...................................................................19
8. Pencegahan...........................................................................21
9. Komplikasi...........................................................................22
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan......................................................30
2. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan.................................39
3. Intervensi Keperawatan........................................................40
4. Implementasi Keperawatan..................................................47
5. Evaluasi................................................................................47

BAB III METODE PENELITIAN


A. Desain Penelitian.......................................................................49
B. Tempat dan waktu penelitian....................................................49
C. Subjek penelitian.......................................................................49
x Poltekkes Kemenkes
D. Metode pengumpulan data........................................................50
E. Alat/ instrumen pengumpulan data...........................................51
F. Jenis pengupulan data...............................................................51
G. Analisis......................................................................................52

BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN


A. Deskrisi Lokasi Penelitian.........................................................53
B. Deskripsi Kasus
1. Pengkajian Keperawatan....................................................53
2. Diagnosa Keperawatan......................................................55
3. Intervensi Keperawatan......................................................55
4. Implementasi keperawatan.................................................58
5. Evaluasi Keperawatan........................................................60
C. Pembahasan
1. Pengkajian keperawatan.....................................................62
2. Diagnosa Keperawatan......................................................67
3. Intervensi Keperawatan......................................................69
4. Implementasi Keperawatan................................................76
5. Evaluasi Keperawatan........................................................81

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................84
B. Saran..........................................................................................85

DAFTAR PUSTAKAN
LAMPIRAN

Gambar 2. 1 WOC 16

Gambar 2.2 Lokasi yang berisiko mengalami luka tekan.....26

Gambar 2.3 Luka tekan berdasarkan stage..........................28

x Poltekkes Kemenkes
DAFTAR

Tabel 2.1 Glasgow coma scale (GCS) 11

Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan 37

x Poltekkes Kemenkes
DAFTAR

Lampiran 1 Lembar Konsul Proposal dan Karya Tulis Ilmiyah


Pembimbing I

Lampiran 2 Lembar Konsul Proposal dan Karya Tulis Ilmiyah


Pembimbing II

Lampiran 3 Jadwal Kegiatan Karya Tulis Ilmiah

Lampiran 4 Surat Izin Pengambilan Data dari Institusi Poltekkes


Kemenkes RI Padang

Lampiran 5 Surat Izin Penelitian dari Institusi Poltekkes Kemenkes RI


Padang

Lampiran 6 Surat Izin penelitian dari RSUP Dr. M. Djamil Padang

Lampiran 7 Surat Izin penelitian dari Ka. Irna Bedah

Lampiran 8 Surat Keterangan Selesai Penelitian

Lampiran 9 Persetujuan Menjadi Responden (Informed Concent)

Lampiran 10 Daftar Hadir penelitian

Lampiran 11 Format Pengkajian Asuhan keperawatan Pada Pasien Dengan


Cedera Kepala.

Lampiran 12 Monitoring Pelaksanaan Massage Ringan Menggunakan


VCO.

x Poltekkes Kemenkes
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kepala/otak yang terjadi
baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya akibat insiden
atau kecelakaan (Anurogo, 2014). Menurut Bouma (2003), dalam Padila
(2012), cedera kepala merupakan suatu gangguan trumatik dari fungsi otak
yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan interstill dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Menurut Brain Injury Association of Amerikca dalam Bararah (2013),


penyebab utama dari cedera kepala adalah karena terjatuh (28%),
kecelakaan lalu lintas (20%), tertabrak benda (19%), dan akibat kekerasan
(11%). Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab utama
rawat inap pasien cedera kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000
populasi, penyebab ke tiga akibat kekerasan mencatat sebanyak 7,1 per
100.000 pupolasi di Amerika Serikat pasien dengan cedera kepala di rawat
inap. Menurut Wijaya (2013), cedera kepala merupakan gangguan
fungsional otak yang di sebabkan oleh trauma, baik trauma benda tajam
maupun trauma benda tumpul.

Menurut Bahrudin (2017), klasifikasi cedera kepala dapat di kelompokkan


berdasarkan mekanisme, berat, dan morfologinya. Klasifikasi yang sering
di gunakan adalah berdasarkan berat ringannya cedera kepala yang di
tentukan berdasarkan tingkat kesadaran, menggunakan glasgow coma
scale (GCS). Cedera kepala juga dapat di klasifikasikan menjadi dua yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder, cedera otak primer adalah
kerusakan yang terjadi pada otak setelah trauma terjadi sedangkan trauma
otak sekunder adalah kerusakan yang berkembang kemudian sebagai
komplikasi ( Satyanegara, 2010).

1 Poltekkes Kemenkes
2

Akibat yang ditimbulkan dari cedera primer terjadi bersamaan dengan


dampak dari gaya akselerasi – deselerasi atau gaya rotasi, dan mencakup
fraktur, gegar, kontusio dan laserasi. Efek cedera pada jaringan otak dapat
berupa fokal atau difusi. Cedera sekunder dapat di mulai pada saat trauma
terjadi atau pada waktu setelahnya. Cedera sekunder meliputi gangguang
akson, hematoma, hipertensi intrakranial, infeksi SSP, hipotensi,
hipertermia, hipoksemia, dan hiperkapnia (Stillwell, 2011). Menurut
Margareth (2012), cedera kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi
jantung sekuncup aktivitas atypical- myocardial, perubahan tekanan
vaskuler, udem paru, koma sampai kematian. Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia pada usia antara 5
sampai 35 tahun pada tahun 2013. Angka kematian pasien lebih tinggi di
negara berkembang dan golongan ekonomi menengah (Jasa et al., 2012).

Pada tahun 2013 sebanyak 1,25 juta orang meninggal karena kecelakaan
lalu lintas dan lebih dari 50% di diagnosis cedera kepala. Kematian akibat
cedera lalu lintas di jalan raya lebih tinggi 2,6 kali di negara-negara
perpendapatan rendah (24,1 per 100.000 penduduk) dari pada negara
berpenghasilan tinggi (9,2 kematian per 100.000 penduduk). Kecelakaan
di jalan menempati posisi kedelapan dari sepuluh kasus terbanyak
penyebab kematian di seluruh dunia dan terus mengalami kenaikan. Angka
tertinggi terjadi di Venezuela sebanyak 45,1 per 100.000 penduduk,
kemudian diikuti oleh Thailand sebanyak 36,2 per 100.000 penduduk.
Untuk wilayah Asia Tenggara, angka kematian akibat kecelakaan lalu
lintas tertinggi terjadi di Thailand sebanyak 36,2 per 100.000
penduduk. Indonesia menempati peringkat ke ketujuh sesudah Timor
Leste sebanyak 15,3 per 100.000 penduduk (WHO, 2018).

Menurut data dari Riskesdas (2018), akibat dari kecelakaan lalu lintas
angka tertinggi yang mengalami cedera di antaranya, anggota gerak bawah
sebanyak 67,9%, lalu di ikuti anggota gerak atas 32,7% dan yang ketiga
yaitu cedera kepala sebanyak 11,9%. Prevalensi cedera kepala menurut

Poltekkes Kemenkes
3

provinsi memiliki rata-rata nasional sebanyak 11,9%, provinsi yang


memiliki jumlah kejadian terbanyak, yaitu Gorontalo sebanyak 17,9%,
lalu di ikuti oleh papua kurang lebih 16% dan yang terendah di
Kalimantan Selatan sebanyak 8,6%, sementara Sumatra Barat berada di
urutan ke delapan dengan persentase kurang lebih 14% berada lebih 2%
dari rata-rata nasional, yang tetap memiliki dampak yang buruk seperti
kecacatan dan bahkan kematian.

Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr M. Djamil Padang, Jumlah


pasien dengan cedera kepala pada tahun 2019 jumlah kejadian cedera
kepala berat sebanyak 66 orang, cedera kepala sedang sebanyak 105 orang
dan cedera kepala ringan 81 orang. Jumlah pasien yang masuk dengan
cedera kepala pada tahun 2015 sebanyak 337 orang, tahun 2016
sebanyak 405 orang, pada tahun 2017 sebanyak 658 orang dan pada tahun
2018 sebanyak 274 orang. (Rekam Medis RSUP Dr. M. Djamil Padang,
2020).

Cedera kepala dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa


seperti kerusakan otak sebagai responnya terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), dan terjadinya syok hipovolemik pada cedera kepala
yang di sertai dengan perdarahan yang hebat, agar cedera kepala tidak
mengancam jiwa atau menyebabkan kematian maka cedera kepala
memerlukan perawatan yang intensif dari tenaga kesehatan (Brunner &
Suddart, 2017).

Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat


memberikan pelayanan keperawatan secara langsung atau tidak langsung
kepada pasien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan
yang meliputi: pengkajian dalam upaya mengumpulkan data, menegakkan
diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis data, merencanakan
intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul
dan membuat langkah atau cara pemecahan masalah, melaksanakan

Poltekkes Kemenkes
4

tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan


evaluasi berdasarkan respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilakukannya (Barbara, 2010). Menurut Wijaya (2013), diagnosa
yang muncul pada pasien dengan cedera kepala yang biasanya muncul
adalah bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi
cairan, pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler, obstruksi trakeobronkial, perfusi serebral berhubungan
dengan edema serebral, kerusakan mobilitas berhubungan dengan
penurunan kekuatan/ tahanan, resiko tinggi gangguan integritas kulit
berhubungan dengan imobilisasi.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien cedera kepala diantaranya,


memberikan oksigen sesuai instruksi untuk memaksimalkan perfusi
serebral, kurangi fluktuasi TIK dengan mempertahankan posisi 30 derajat,
memberikan cairan intravena, diuretic osmotic, berikan farmakologis
untuk menurunkan TIK, terapi hiperventilasi ringan, penggunaan anti
oksidan dan intervensi pembedahan yang mungkin dilakukan (Susan,
2011).

Pasien dengan cedera kepala berat mengalami penurunan kesadaran


dimana tingkat glasgow coma scale (GCS) 3-8 karena terjadinya
kerusakan pada otak, salah satu dampak terjadinya kerusakan tersebut
yaitu perdarahan pada otak yang menyebabkan kelumpuhan anggota gerak
(IKAPI UGM, 2015).

Pasien dengan penurunan kesadaran mengalami imobiltas, pada kondisi


ini terjadi luka tekan akibat gangguan integritas kulit karena adanya
tekanan lama pada jaringan kulit, yang menghambat peredaran darah ke
jaringan lain ( Potter & Perry, 2013). Tekanan imobilisasi yang lama
akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, jika salah satu bagian tubuh
berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan).
Terjadinya Iskemik, nekrosis jaringan kulit selain faktor tegangan, ada

Poltekkes Kemenkes
5

faktor lain yaitu : faktor teregangnya kulit misalnya gerakan


meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi setengah berbaring
(Heri Susanto, 2008).

Perawatan integritas kulit merupakan tindakan mandiri perawat yang


bertujuan untuk mencegah terjadinya luka dekubitus, khususnya pada
daerah yang mengalami tekanan atau tonjolan (Uliyah & Hidayat,
2014).Menurut Spilsbury (2010), masalah keperawatan yang muncul
akibat tirah baring lama, di temukannya luka tekan pada pasien yang di
ruang ICU berkisar 1% - 56% di seluruh dunia, 49% di Eropa, 8,3% -
22,9% di Eropa Bara, 22% di Amerika Utara, di korea kejadian luka tekan
meningkat dari 10,5% - 45%. Di Asia Tenggara berkisar 2,1% - 31,3%, di
Indoneia kejadian luka tekan pada pasien di ruang ICU mencapai 33%.
Penyebab utama dari luka tekan adalah tekanan dan toleransi jaringan
yang berkepanjangan (Setiani, 2014).

Salah satu penatalaksanaan mandiri yang dapat dilaksakan oleh perawat


dalam menjaga integritas kulit adalah dengan memberikan pelembab
sepert lotion, salep, krem dan pemberian Virgin Coconut Oil (VCO)
dengan menggunakan teknik message. Terapi pijat (massage) merupakan
upayapenyembuhan yang aman, efektif, dan tanpa efek samping
(Firdaus, 2011).

Dalam penelitian Handayani (2011), mengatakan penggunaan Virgin


Coconut Oil (VCO) dengan pijat ringan, efektif digunakan dalam
pencegahan luka tekangrade I pada klien yang berisiko mengalami luka
tekan di Rumah Sakit.

VCO merupakan minyak kelapa murni yang diyakini baik untuk kesehatan
kulit karna mengandung vitamin E dan mudah di serap oleh kulit. Dari
penelitian yang juga di lakukan oleh Setiani, 2014 terbukti perlakuan
massage efflurage dengan VCO dapat mencegah luka tekan pada

Poltekkes Kemenkes
6

pasienyang mengalami tirah baring, sehingga dapat di terapkan dalam


perawatan pasien.

Pada saat dilakukan survei awal tanggal 17 Januari 2020 jam 13.10 WIB
di ruang HCU Bedah di temukan jumlah pasien 11 orang pasien, dimana
terdapat 2 orang dengan cedera kepala, 1 orang cedera kepala sedangdan 1
orang cedera kepala berat dengan GCS 8 (E1M5V2 ), Ny. S berjenis
kelamin perempuan dengan usia 16 tahun, tekanan darah 130/70 mmHg,
nadi 88 kali/menit, suhu 36,5˚c. Pasien terpasang oksigen parsial
rebreathing 6 liter dengan frekuensi pernafasan 22 x/menit, terpasang
IVFD NaCl 0,9 % dengan tetesan 20 tetes/menit, terpasang kateter,
terpasang NGT, posisi kepala di ekstensikan 30˚, pasien tidak sadar dan
terbaring ditempat tidur. Dari data yang di dapatkan maka masalah
keperawatan pada pasien tersebut adalah ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral dan pola nafas tidak efektif. Berdasarkan hasil wawancara dengan
perawat yang dinas pada saat itu, pasien cedera kepala berat juga memiliki
masalah keperawatan gangguan integritas kulit efek dari tirah baring lama
yang dialaminya, rata- rata gangguan integritas kulit muncul pada hari ke
3. Pada ruangan Interne Wanita dan Neurologi perawat ruangan sudah
menerapkan intervensi massage ringan untuk mencegah gangguan
integritas kulit atau luka dekubitus yang bisa di alami oleh pasien yang
mengakami gangguan imobilitas.

Menurut Rosita & Maria (2014), dalam penelitiannya terdapat hubungan


yang bermakna antara tingkat mobilisasi terhadap timbulnya luka tekan
pada pasien tirah baringyang mencapai angka 69%.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti telah melakukan Asuhan


Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala Berat di Ruang HCU Bedah
RSUP Dr. M.Djamil Padang.

Poltekkes Kemenkes
7

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan


pada Pasien dengan Cedera Kepala Berat di Ruang HCU Bedah RSUP Dr.
M. Djamil Padang pada tahun 2020 ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan Asuhan Keperawatan pada Pasien cedera
kepala di ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun
2020.

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian asuhan keperawatan pada Pasien
cedera kepala di ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tahun 2020.
b. Mendeskripsikan hasil diagnosa keperawatan asuhan keperawatan
pada Pasien cedera kepala di ruang HCU Bedah RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tahun 2020.
c. Mendeskripsikan hasil intervensi keperawatan pada Pasien cedera
kepala di ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
tahun 2020.
d. Mendeskripsikan hasil implementasi keperawatan pada Pasien
cedera kepala di ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang
pada tahun 2020.
e. Mendeskripsikan hasil evaluasi keperawatan pada Pasien cedera
kepala di ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Kegitan penelitian dapat bermanfaat bagi peneliti untuk menambah
wawasan,pengetahuan, dan pengalaman dalam menerapkan asuhan
keperawatan pada pasien.

Poltekkes Kemenkes
8

2. Bagi Direktur Rumah Sakit


Melalui direktur, hasil yang diperoleh dari laporan karya tulis ilmiah
ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perawat di ruangan HCU
Bedah dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien CK di
RSUP. Dr.M. Djamil Padang.

3. Bagi Direktur Poltekkes Kemenkes Padang


Melalui direktur data dan hasil yang diperoleh dari laporan karya tulis
ilmiah ini dapat digunakan sebagai penambah pembelajaran di Prodi
Keperawatan Padang khususnya mahasiswa dalam penerapan asuhan
keperawatan pada pasien CK di RSUP. Dr.M. Djamil Padang.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan
masukan, pengetahuan dan data dasar tentang penerapan asuhan
keperawatan pada pasien CK.

Poltekkes Kemenkes
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP CEDERA KEPALA


1. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury pada kepala, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Cedera kepala merupakan
keadaan yang serius dan perlu mendapat penanganan yang cepat.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak bisa menghindarkan
pasien dari cidera kepala sekunder (Susilo, 2019).

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
di sertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa terputusnya
kontinuitas otak (Padila,2014). Cedera kepala adalah trauma yang
mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan
perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif,
fungsi tingkah laku dan emosional (Bararah, 2013).

2. Etiologi
Menurut Sosilo (2019), penyebab trauma kepala dapat meliputi
kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan yang berkaitan dengan
olahraga, atau kejahatan dan tindak kekerasan.
Menurut penyebabnya cedera kepala di bagi menjadi 3:
a. Trauma benda tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang
menyebar. Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada
proses akselerasi-deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan
rotasi internal. Rotasi internal dapat menyebabkan perpindahan
cairan dan perdarahan petekie karena pada saat otak “bergeser”
akan terjadi “pergesekan” antara permukaan otak dengan

9 Poltekkes Kemenkes Padang


1

tonjolan- tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak


laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler
otak.
b. Trauma tajam
Di sebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada
fraktur tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan
gerak (velocity) benda tajam tersebut menacap ke kepala.
c. Coup dan contracoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah
benturan sedangkan pada cedera contracoup kerusakan terjadi
pada sisi yang berlawanan dengan coup.

3. Klasifikasi
Jenis- jenis cedera otak traumastis adalah :
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam
jaringan otak. Jika kondisi ini kemudian melukai atau menyobek
dura mater, maka dapat menyebabkan cairan serebrospinal
merembes, kerusakan saraf otak, dan jaringan otak.
b. Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi
komosio, kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma,
intrakranial hematoma (Susilo,2019)

Menurut krisanty paula (2014), cidera kepala ada 3 berdasarkan nilai


GCS :
a. Cedera kepala ringan
1) Nilai GCS 13- 15
2) Amnesia kurang dari 30 menit
3) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
4) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari

Poltekkes Kemenkes
1

b. Cedera kepala sedang


1) Nilai GCS 9 – 12
2) Penurunan kesadaran 30 menit – 24 jam
3) Terdapat trauma sekunder
4) Gangguan neorologis sedang
c. Cedera kepala berat
1) Nilai GCS 3- 8
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari – hari
3) Terdapat cedera sekunder : kontusio, fraktur tengkorak,
perdarahan dan atau hematoma intrakranial.

Tabel 2.1
Glasgow coma scale (GCS)
Sumber Wijaya & Yessie, 2013.

Glasgow coma scale (GCS)


Mata (Eye) Verbal Motorik
- - - - Dengan perintah 6
- - Orientasi baik 5 Melokalisasi 5
nyeri
Spontan 4 Bicara 4 Menarik area 4
membingungkan, nyeri
jawaban tidak
tepat
Dengan 3 Bicara kacau/ 3 Fleksi abnormal 3
perintah tidak nyambung
(suara/ sentuh)
Rangsangan 2 Suara tidak 2 Ekstensi 2
nyeri dimengerti/ abnormal
rintihan
Tidak 1 Tidak berespon 1 Tidak berespon 1
berespon

Poltekkes Kemenkes
1

Menurut Paula (2014), klasifikasi cedera kepala dibagi atas 5:

a. Scalp wounds (trauma kulit kepala)


Kulit kepala harus di periksa adalah bukti luka atau perdarahan akibat
fraktur tengkorak. Adanya objek yang berpenetrasi atau benda asing
harus di angkat atau di tutupi oleh kain steril, perawatan untuk tidak
menekan area luka. Laserasi pada kulit kepala cenderung
menyebabkan perdarahan hebat dan harus di tangani dengan
pengablikasian penekanan langsung. Kegagalan mengontrol
perdarahan hebat dapat menyebabkan terjadinya syok.
b. Fraktur tengkorak
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka tidak
memerlukan perhatian segera. Yang lebih penting adalah keadaan
intrakranialnya. Fraktur tengkorak tidak memerlukan tindakan
pengobatan istimewa apabila ada fraktur impresi tulang maka operasi
untuk mengembalikan posisi.
Pada fraktur basis kranium dapat berbahaya terutama karena
perdarahan yang di timbulkan sehingga menimbulkan ancaman
terhadap jalan nafas. Pada fraktur ini, aliran cairan serebro spinal
terhenti dalam 5- 6 hari dan terdapat hematom kacamata yaitu
hematom sekitar orbita.
c. Komosio serebri (gegar otak)
Kehilangan kesadaran sementara (kurang dari 15 menit). Sesudah itu
klien mungkin mengalami disorientasi dan bingung hanya dalam
waktu yang relatif singkat. Gejala lain meliputi: sakit kepala, tidak
mampu untuk berkonsentrasi, gangguan memoris sementara, pusing
dan peka. Beberapa klien mengalami amnesia retrograd. Kebanyakan
klien sembuh sempurna dan cepat, tetapi beberapa penderita lain
berkembang ke arah sindrom pasca gegar dan dapat mengalami gejala
lanjut selama beberapa bulan. Penderita tetap di bawa ke RS, karena
kemungkinan cidera yang lain.

Poltekkes Kemenkes
1

d. Kontusio serebri
Kehilangan kesadaran lebih lama. Dikenal juga dengan Diffuse Axonal
Injury (DAI), yang mempunyai prognosis lebih buruk.
e. Perdarahan intra kranial
Dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau
perdarahan intrakranial. Terutama perdarahan epidural dapat
berbahaya karena perdarahan berlanjut akan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial yang semakin berat.

4. Patofisiologi
Suatu sentakan traumatik pada kepala menyebabkan cedera kepala.
Sentakannya tiba- tiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jauh,
kecelakaan kendaraan bermotor, atau kepala terbentuk. Jika sentakan
menyebabkan suatu trauma akselerasi- delerasi atau coup-
countercoup, maka kontusioserebri dapat terjadi. Trauma akselerasi-
deselerasi dapat terjadi langsung di bawah sisi yang terkena ketika otak
terpantul kearah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (suatu
pukulan benda tumpul) ketika kekuatan sentakan mendorong otak
terpantul kearah sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala
terdorong kedepan dan terhenti seketika. Otak terus bergerak dan
terbentur kembali ke tengkorak (akselerasi) dan terpantul (deselerasi)
(Krisanty, 2014).

Trauma tumpul karena kekuatan benturan akan menyebabkan


kerusakan yang menyebar. Berat ringannya cedera yang terjadi
tergantung pada proses akselerasi- deselerasi, kekuatan benturan dan
kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat menyebabkan
perpindahan cairan dan perdarahan petekie karena pada saat otak
“bergeser” akan terjadi “pergeseran” antara permukaan otak dengan
tojolan- tojolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak laserasi
jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler otak. Trauma
benda tajam disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang

Poltekkes Kemenkes
1

pada fraktur tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan


gerak (velocity) benda tajam tersebut menancap ke kepala atau otak.
Kerusakan terjadi hanya pada area dimana benda tersebut merobek
otak (lokal). Obyek dengan vecolity tinggi (peluru) menyebabkan
kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka menyebabkan
resiko infeksi. Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah
benturan sedangkan pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi
yang berlawanan dengan cedera coup (Krisanty, 2014).

Gejala yang timbul bergantung pada tingkat keparahan dari lokasi


terjadinya trauma. Nyeri menetap dan teralokasi, biasanya
mengindikasikan adanya fraktur. Fraktur pada kubah tengkorak bisa
menyebabkan pembengkakan di daerah tersebut, tetapi bisa juga tidak.
Fraktur pada dasar tengkorak yang sering kali menyebabkan
perdarahan dari hidung, faring, telinga dan darah mungki terlihat
dibawah konjungtiva. Ekimosis terlihat di atas tulang mastoid (tanda
Battle). Pengeluaran cairan serebrospinalis (CSF) dari telinga dan
hidung menunjukkan terjadinya fraktur tengkorak. Pengeluaran cairan
serebrospinalis dapat menyebabkan infeksi serius (mis, meningitis)
yang masuk melalui robekan di dura mater. Cairan spinal yang
mengandung darah menunjukkan laserasi otak atau memar otak
(kontusi). Cedera otak juga memiliki bermacam gejala, termasuk
perubahan tingkat kasadaran (LCO), peruabahan ukuran pupil,
perubahan ata hilangnya reflek muntah atau reflek kornea, defisit
neurologis, perubahan tanda vital seperti perubahan pola nafas,
hipertensi, bradikardia, hipertermia, serta gangguan sensorik,
penglihatan, dan pendengaran. Gejala sindrom pasca- gegar otak dapat
meliputi sakit kepala, pusing, cemas, mudah marah, dan kelelahan.
Pada hematoma subdral akut atau subakut, perubahan LCO, tanda-
tanda pupil, hemiparesis, koma, hipertensi, bradikardi dan penuruanan
frekuensi pernafasan adalah tanda- tanda perluasan massa. Hematoama
subdural kronik mengakibatkan sakit kepala hebat, peruabahan tanda-

Poltekkes Kemenkes
1

tanda neurologis fokal, peruabahan kepribadian, gangguan mental dan


kejang fokal (Brunner & Suddarth, 2017).

Poltekkes Kemenkes
16

5. WOC
Kecelakaan, terjatuh, trauma persalinan, penyalahgunaan obat
Terkena peluru
Benda tajam Trauma tajam Trauma Kepala Trauma tumpul

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial


/ kulit kepala / Jaringan otak

Fraktur
Breath Blood Brain Bowel Bone tulang

Perdarahan, Penumpukan P
P Perdarahan Robeknya Gg. Saraf
hematoma, kesadaran
kesadaran arteri darah di otak motorik
kerusakan meningen &P
TIK
jaringan Kompensasi tengkorak
Bed rest tubuh yaitu: P
lama vasodilatasi Hematoma kesadarans P P Gangguan
Nafsu makan, Terputusnya
& bradikardi epidural ensori kesadaran koordinasi
Penekanan Anemia mual, muntah, kontinuitas
P gerak
saraf disfagia Gangguan tulang
kemampuan Aliran darah ekstremitas
system Perubahan P keseimbangan
Hipoksia batuk
pernapasan ke otak sirkulasi kemampuan
P Hemiparase Nyeri akut
CSS mengenali
Intake / hemiplegi
Perubahan Ganggua Akumulasi Hipoksia stimulus
makanan dan Intoleransi aktivitas
pola nafas n mukus jaringan PK: P TIK cairan
pertukar Kesalahan Gangguan mobilitas fisik
RR an gas Batuk tdk interpretasi
Gg. Tira
,hiperpneu, efektif,
ronchi, Perfusi Defisit nutrisi Resiko h
hiperventil-
serebral Penurunan
asi RR luka
tdk efektif Kapasitas
Adaptif tekan Padila, 2012
Pola Bersihan jalan
nafas Poltekkes Kemenkes Padang
nafas tdk
1

6. Manifestasi klinik
Menurut Paula (2014), manifestasi klinik pada pasien cedera kepala:
a. Peningkatan TIK, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Trias TIK: penurunan tingkat kesadaran, gelisah/ iritable, papil
edema, muntah proyektil.
2) Penurunan fungsi neurologis, seperti: perubahan bicara,
perubahan reaksi pupil, sensori motori berubah.
3) Sakit kepala, mual, pandangan kabur (diplopia).
b. Fraktur tengkorak, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) CSF atau darah mengalir dari telinga dan hidung
2) Perdarahan di belakang memebran timpani
3) Periorbital ekhimosis
4) Battle`s sign (memar di daerah mastoid)
c. Kerusakan saraf kranial dan telinga tengah dapat terjadi saat
kecelakaan terjadi dengan manifestasi klinis sebagai berikut:
1) Perubahan penglihatan akibat kerusakan nervus optikus.
2) Pendengaran berkurang akibat kerusakan nervus auditory.
3) Hilangnya daya penciuman akibat kerusakan nervus
olfaktorius.
4) Pupil dilatasi, ketidakmampuan mata bergerak akibat
kerusakan nervus okulomotor.
5) Vertigo akibat kerusakan otolith di telinga tengah.
6) Nistagmus karena kerusakan sistem vestibular.
d. Komosio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
1) Sakit kepala- pusing.
2) Retrograde amnesia.
3) Tidak sadar lebih dari atau sama dengan 5 menit.
e. Kontusio serebri, dengan manifestasi sebagai berikut:
Terjadi pada injuri berat, termasuk fraktur servikalis:
1) Peningkatan TIK.
2) Tanda dan gejala:

Poltekkes Kemenkes
1

a) Kontusio serebri
Manifestasi tergantung area hemifer otak yang kena.
Kontusio pada lobus temporal: agitasi, confuse,
kontusio frontal: hemiparese, klien sadar: kontusio
frontotemporal: aphasia.
Tanda gejala tersebut reversible.
b) Kontusio batang otak
1. Respon segera menghilang dan pasien koma
2. Penurunan tingkat kesadaran terjadi berhari – hari,
bila kerusakan hebat.
3. Pada pasien riticular terjadi comatuse permanen
4. Pada perubahan tingkat kesadaran
a. Respirasi : dapat normal/ periodik/ cepat
b. Pupil: simetris kontiksi dan reaktif
c. Kerusakan pada batang otak bagian atas pupil
abnormal
d. Gerakan bola mata: tidak ada.

Menurut Susilo (2019), manifestasi klinik cedera kepala memiliki


tanda dan gejala sebagai berikut:

a. Komosio otak (Gegar otak)


1) Cedera kepala ringan.
2) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
3) Kehilangan kesadaran sementara 10-20 menit.
4) Tanpa kerusakan otak permanen.
5) Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
6) Disorientasi sementara.
7) Tidak ada gejala sisa.
8) Tidak ada terapi khusus.
b. Kontusio Serebri (Memar Otak)
1) Ada memar otak.
2) Perdarahan kecil lokal.

Poltekkes Kemenkes
1

3) Gangguan kesadaran lebih lama.


4) Kelainan neurologis positif.
5) Refleks patologi positif, lumpuh, konvulsi.
6) Gejala TIK meningkat.
7) Amnesia retrograde lebih nyata.
c. Umum
1) Gangguan kesadaran.
2) Kebingungan.
3) Abnormsalitas pupil.
4) Awitan tiba- tiba defisit neurologik.
5) Perubahan tanda vital.
6) Gangguan penglihatan dan pendengaran.
7) Disfungsi sensori.
8) Kejang otot.
9) Sakit kepala.
10) Vertigo.
11) Gangguan pergerakan.

7. Penatalaksanaan
a. Cedera Kepala Ringan
Pasien sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan
kesadaran. Amnesia retrograd terhadap peristiwa sebelum
kecelakaan cukup signifikan.
1) Indikasi untuk rotgen tengkorak
a) Hilang kesadaran atau amnesia.
b) Tanda- tanda neurologis.
c) Kebocoran LCS.
d) Curiga trauma tembus.
e) Intoksikasi alkohol.
f) Sulit menilai.
2) Indikasi rawat
a) Kebingungan atau GCS menurun.

Poltekkes Kemenkes
2

b) Fraktur tengkorak.
c) Tanda – tanda neurologis atau sakit kepala atau muntah.
d) Sulit menilai.
e) Terdapat masalah medis yang menyertai.
f) Kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orang
dewasa yang dapat mengawasi pasien.
3) Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf
a) Fraktur tengkorak + kebingungan/ penurunan GCS.
b) Tanda – tanda neurologis fokal atau kejang.
c) Menetapnya tanda – tanda neurologis atau kebingunan > 12
jam.
d) Koma setelah resusitasi.
e) Curiga cedera terbuka pada tengkorak.
f) Fraktur tekanan pada tengkorak.
g) Terdapat perburukan.
b. Cedea Kepala Berat
1) Klien akan datang dalam keadaan tidak sadar ke unit gawat
darurat. Cedera kepala mungkin merupakan bagian dari trauma
multipel.
2) ABC (Airway management, Breathing, Circulation). Intubasi
dan ventilasi pasien- pasien tidak sadar untuk melindungi jalan
nafas dan mencegah cedera otak sekunder akibat hipoksia.
3) Resusitasi pasien dan cari tanda- tanda cedera lainnya,
khususnya jika pasien dalam keadaan syok. Cedera kepala
dapat di sertai dengan cedera tulang belakang servikal dan
leher harus di lindungi dengan cervical collar pada pasien-
pasien ini.
4) Obati masalah- masalah yang mengancam hidup (misalnya
ruptur limpa) dan stabilkan pasien sebelum dikirim ke unit
bedah saraf. Pastikan terdapat pengawasan medis yang adekuat
(ahli anestesi dan perawat) selama pengiriman (Susilo,2019).

Poltekkes Kemenkes
2

5) Mencegah terjadinya luka dekubitus yang bisa di alami oleh


pasien dengan penurunan kesadaran lama.

8. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat
trauma. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer berupa upaya pencegahan sebelum peristiwa
kecelakaan terjadi. Misalnya, berkendara dengan hati- hati,
memakai sabuk pengaman, memakai helm, dan lain-lain.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berupa upaya pencegahan saat peristiwa
terjadi yang dilakukan untuk meminimalkan beratnya cedera.
Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama ABC, yaitu:
1) Memberikan jalan nafas yang lapang (airway)
Gangguan oksigenasi otak dan jariangan vital dan lain
merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Pasien
dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk
mengalami gangguan jalan nafas. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalah airway menjadi perioritas utama.
Beberapa kematian dalam kasus ini di sebabkan oleh kegagalan
mengenali masalah airway yang tersumbat oleh aspirasi isi
lambung atau kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas
tertutup lidah pasien sendiri.
2) Memberi nafas buatan (breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernapasan. Keterlambatan
mengenali gangguan pernapasan dan membantu pernapasan
dapat menimbulkan kematian.

Poltekkes Kemenkes
2

3) Menghentikan perdarahan (circulations)


Perdarahan dapat di hentikan dengan memberi tekanan pada
tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.
Kepala dapat di balut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok,
dapat di atasi dengan pemberian cairan infus dan bila perlu di
lanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya
disebabkan karena pasien kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat. Penanganan tepat bagi penderita
cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dapat menurangi
kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tersier
ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis
bagi penderita (Susilo, 2019).

9. Komplikasi
a. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak menunjukkan tinkat keparahan cedera. Tidak di
perlukan terapi khusus kecuali terjadi trauma campuran, tekanan
atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis.
b. Perdarahan intrakranial
1) Perdarahan ekstradural. Robekan pada arteri meningea media
atau hematoma di tengkorak dan dura. Sering kali terdapat
interval lucid sebelum terbukti tanda- tanda peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) seperti penurunan nadi, peningkatan
tekanan darah, dilatasi pupil ipsilateral, paresis atau paralisis
kontralateral.
2) Perdarahan subdural akut. Robekan pada vena- vena di antara
araknoid dan durameter. Terdapat perburukan neurologis yang
progresif. Biasanya terjadi pada orang usia lanjut.

Poltekkes Kemenkes
2

3) Hematoma subdural kronis. Robekan pada vena dapat


menyebabkan hematoma subdural yang akan membesar secara
perlahan akibat penyerapan LCS. Penyebab yang paling sering
adalah cedera ringan.
4) Perdarahan interserebral. Pendarahan ke dalam substansi otak
yang menyebabkan kerusakan ireversibel.
c. Infeksi (trauma terbuka).
d. Depresi pernapasan dan gagal nafas
e. Hernia otak
(Susilo,2019).

Menurut IKAPI UGM, 2015 dampak dari trauma kepala jangka


panjang adalah:
a. Kerusakan saraf kranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang kalau total disebut anosmia dan bila parsial
disebut hiposmia. Kadang-kadang anosmia menyertai rinorea.
Pada sepertiga kasus, anosmia terjadi sebagai akibat trauma di
oksiput, yang dengan mekanisme contreoup menyebabkan lesi
di filamen nervus olfaktorius. Penderita anosmia tidak dapat
mengenal bau- bau makanan atau apapun.
2) Gangguan penglihatan
Cedera pada nervus optikus terdapat pada 1,7% kasus cedera
kepala. Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi,
kerusakan nervus optikus adalah akibat trauma di regio frontal
atau frontotempotal, timbul segera setelah mengalami trauma.
Biasanya disertai hematoma di sekitar mata dan proptosis
akibat adanya perdarahan dan edema di dalam orbita.
Kerusakaan khlasma optika jarang terjadi akibat fraktur pada
sela tursika.
3) Oftalmoplegi

Poltekkes Kemenkes
2

Oftalmoplegi adalah kumpulan otot- otot pergerakan bola mata,


umumnya disertai ptosis dan pupil yang midriatik. Insiden
berkisar antara 1-7% kasus trauma kepala. Meskipun lesi
nervus okulomotorius sering terjadi sendiri, nervus troklearis
dan nervus abdusens dapat pula menyertainya. Kombianasi sel
saraf- saraf tersebut terjadi pada 3% kasus cedera kepala akibat
kecelakaan.
4) Paresis fasialis
Paresis fasialis terjadi pada sekitar 3% dari kasus trauma
kepala. Kira- kira seperlima kasus dengan perdarahan telinga
mengalami faresis fasialis pada sisi yang sama. Umumnya
gejala klinik muncul sejak saat trauma: hanya 12% kasus
paresis fasialis yang timbul tertunda 5-7 hari pasca trauma.
Keadaan demikian disebabkan oleh edema pada sarafnya
sendiri atau edema jaringan sekitarnya. Sebagian besar paresis
fasiliasis traumatik menyertai fraktur di fosa media yang
mengenai os petrosus atau mastoid.
5) Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori- neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena adanya hubungan yang
erat antara koklea, veslibula dan saraf. Dengan demikian
adanya trauma yang berat pada salah satu organ yang lain.
Pengobatan biasanya hanya simtomatik, jarang sekali
dilakukan tindakan bedah.
b. Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa yan di sebabkan oleh penyakit sistem saraf
pusat.
c. Sindrom pascatrauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala atau dikenal pula sebagai
postconcussional syndrome merupakaan kumpulan gejala subjektif
yang sering di jumpai pada trauma kepala. Penyebab sindrom ini

Poltekkes Kemenkes
2

bersifat multifaktoral, meliputi faktor organik (jenis dan lokasi


kerusakan otak), psikologik (termasuk premobid personality),
sosial ekonomi (pekerjaan, tingkat penididikan dan lingkungan).
d. Fistula karotiko- kavernosus
Fistula karitiko- kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteria karotis dengan sinus kavenosus, umumnya di sebabkan oleh
trauma pada dasar tengkorak.adanya hubungan pendek ini
menimbulkan akibat penting yaitu hipertensi venosa simultan dan
vascular stealing syndrome pada area yang di pasok oleh arteri
kerotis interna, yang kemudian menimbulkan hipoksia otak.
e. Epilepsi
Berdasarkan saat pertama munculnya bangkitan epilepsi, maka di
kenal 2 macam epilepsi pascatrauma kepala, ialah epilepsi yang
muncul dalam minggu pertama pascatrauma (early postraumatic
epilepsy) dan epilepsi yang muncul lebih dari satu minggu
pascatrauma (late postraumatic epilepsy) yang pada umumnya
munculdalam satu tahun pertama meskipun ada beberapa kasus
yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.
f. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuahan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
piramidal di koteks, subkorteks atau di batang otak. Penyebabnya,
berkaitan dengan trauma kepala, adalah perdarahan otak (subdural,
epidural, intraparenkhimal), emplema subdural, herniasi
transientorial. Dan dalam hal ini pasien mengalami imobilisasi.

Imobilisasi yang lama menyebabkan dampak negatif terhadap


sistem tubuh, pada sistem integumen yang menyebabkan integritas
kulit seperti abrasi dan dekubitus, pada sistem kardiovaskuler
menyababkan penurunan kardiak reserve, peningkatan beban kerja
jantung, dan phlebotrombosis, pada sistem muskulosketal
menebabkan penurunan massa otot dan pada sistem neurosensoris

Poltekkes Kemenkes
2

menyebabkan kerusakan jaringan yang menimbulkan gangguan


saraf (Susanto, 2017).
Pasien cedera kepala mengalami ketidak mampuan untuk
beraktivitas sehingga mengalami gangguan mobilisasi dan
memungkinkan terjadinya perubahan bahkan kerusakan neurologi
berat. Ketidak mampuan pasien cedera kepala dengan gangguan
mobilisasi membuat pasien hanya berbaring saja tanpa mampu
untuk mengubah posisi. Efek dari gangguan mobilisasi akan
mempengaruhi pada kondisi psikologis dan fisiologis pasien. Salah
satu pengaruh secara fisiologis adalah perubahan sistem
integument seperti terjadinya ulkus dekubitus (Hidayat & Uliyah,
2013).

Luka dekubitus merupakan dampak tekanan yang terlalu lama pada


area permukaan tulang yang menonjol dan mengakibatkan
berkurangnya sirkulasi darah pada area yang tertekan dan lama
kelamaan jaringan setempat mengalami iskemik, hipoksia dan
berkembang menjadi nekrosis (Barbara, 2010).
Gambar 2.2
Lokasi yang berisiko mengalami luka tekan (Airlangga
University Press, 2015).

Poltekkes Kemenkes
2

Pembagian klinis derajat dekubitus, berdasarkan klasifikasi Shea


yang telah dimodifikasi oleh Nasional Pressure Ulcer Advisory
Panel (NPUAP, 2007) ulkus dekubitus dibagi menjadi enam
stadium :
1. Suspected Deep Tissue Injury: adanya perubahan warna kulit
menjadi merah keunguan pada kulit yang utuh, bula berisi
darah oleh karena kerusakan jaringan lunak akibat tekanan dan
shear. Pada daerah tersebut jaringan teraba nyeri, melunak,
lebih hangat atau lebih dingin dibandingkan jaringan di
sekitarnya.
2. Stadium I: reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis.
Tampak sebagian daerah kemerahan/eritema, indurasi atau
lecet.
3. Stadium II: reaksi yang lebih dalam sampai mencapai seluruh
dermis hingga lapisan lemak subkutan. Tampak sebagai ulkus
yang dangkal, dengan tepi yang jelas dan perubahan warna
pigmen kulit.
4. Stadium III: ulkus lebih dalam, meliputi jaringan lemak
subkutan, menggaung dan berbatasan dengan fascia dari otot.
5. Stadium IV: perluasan ulkus menembus oto sehingga tambak
tulang dari dasar ulkus serta dapat mengakibatkan infeksi pada
tulangf dan sendi.
6. Unstageable: ulkus dengan dasar yang tertutup lapisan yang
berwarna kuning, coklat, abu- abu, hijau (Airlangga University
Press, 2015).

Poltekkes Kemenkes
2

Gambar 2.3
Gambaran luka tekan berdasarkan stage (Airlangga University
Press, 2015).

Poltekkes Kemenkes
2

Untuk mencegah terjadinya luka dekubitus pada pasien yang


mengalami imobilisasi khususnya pada pasien cedera kepala yang
mengalami tirah baring lama maka tindakan mandiri perawat yang
dapat dilakukan dengan melakukan massage ringan dengan
menggunakan VCO. Manfaat dari massage ringan ini adalah
meningkatkan sirkulasi pada daerah yang di massage, meningkatkan
relaksasi dan menjaga kondisi kulit (Pupung, 2009).

VCO merupakan minyak kelapa murni yang dihasilkan dari proses


pengolahan daging buah kelapa, dari hasil penelitian Novilla (2017),
hasil kromatografi gas spektrometri massa, asam lemak yang
terkandung dalam VCO tersebut yaitu asam kaproat (0,187%), asam
siklopropanapentanoat (1,12%), asam nonanoat (0.54%), asam laurat
(32,73%), asam miristat (28.55%), asam palmitat (17.16%), asam oleat
(14.09%), dan asam oktadekanoat (5.68%). Asam lemak jenuh dan
tidak jenuh dalam VCO terbukti dapat menghambat pertumbuhan
jamur Candida albicans.

Menurut Handayani (2010), dalam penelitiannya mengatakan teknik


massage ringan yang dapat dilakukan:
1. Pasien dimandikan dengan air hangat menggunakan sabun
dengan pH balance, lalu dikeringkan dengan handuk bersih
kering secara hati- hati.
2. Setelah dikeringkan, bagian punggung dimassage ringan dengan
VCO dengan cara : tuangkan VCO secukupnya ditelapak tangan,
gosok-gosok ke-2 telapak tangan untuk meratakannya lalu
dimassagekan ke punggung pasien dengan teknik efflurage secara
ringan.
3. Prosedur 1 dan 2 dilakukan setiap pagi dan sore.

Poltekkes Kemenkes
3

B. Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Kepala


1. Pengkajian
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah
keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi
masalah-masalah pasien, merencanakan secara sistematis dan
melaksanakan serta mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan. Menurut brunner & sudarth (2013), asuhan
keperawatan pada pasien cedera kepala meliputi:
1. Pengkajian
Penkajian keperawatan pada pasien cedera kepala adalah suatu
komponen dari proses keperawatan yang merupakan suatu usaha
yang dilakukan oleh perawan dalam menggali permasalahan dari
klien meliputi usaha pengumpulan data dan membuktikan data
tentang status kesehatan seorang klien. Data tentang fisik,emosi,
pertumbuhan, social,kebudayaan, intelektual, dan aspek spiritual.
Pengkajian keperawatan terutama melakukan evaluasi fungsional.
Kedalaman pengkajian tergantung pada keluhan fisik klien, riwayat
kesehatan, dan semua petunjuk fisik yang ditemukan pemeriksa
untuk memerlukan eksplorasi lebih jauh.
a. Identitas klien.
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir,
golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status
perkawinan, pekerjaan dan alamat.
b. Identitas penanggung jawab.
Berisikan biodata penangung jawab pasien yaitu nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,
pendidikan terakhir, pekerjaan dan alamat.
c. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien cedera kepala biasanya akan
terlihat disfungsi neurologis. Keluhan yang sering didapatkan
meliputi kelemahan anggota gerak, bicara palo, tidak dapat
berkomunikasi, konvulsi (kejang), sakit kepala yang hebat,

Poltekkes Kemenkes
3

nyeri otot, sakit punggung, tingkat kesadaran menurun


(GCS<15), ektremitas dingin, ekspresi rasa takut dan
pendarahan pada bagian kepala akibat kecelakaan.Bila klien
mengeluh nyeri perlu ditinjau penilaian rasa nyeri dengan
pengkajian nyeri PGRST, meliputi:
P: provoking incident (insiden pemicu): pasien akan mengeluh
nyeri hebat.
Q: quality of pain (rasa nyri yang dirasakan): seperti ditusuk
atau disayat.
R: region of pain (lokasi nyeri): pada abagian kepala.
S: scale of pain (skala nyeri ): 5-10.
T: time (lama nyeri dirasakan): secara terus-menerus atau
hilang timbul.
d. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS<15),
letargis, mual dan muntah, sakit kepala yang hebat.
Biasanya diikuti oleh disfungsi neurologis seperti wajah
tidak simetris, lemah, paralysis, hilangnya keseimbangan,
sulit untuk mengenggam, kesulitan mengecap atau
membaui, dan sulit menelan. Selain itu juga adanya fraktur
pada kepala yang menyebabkan pendarahan akibat cedera
benda tajam atau tumpul.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data klien pernah mengalami penyakit sistem
persarafan, riwayat trauma atau jatuh dimasa lalu, riwayat
penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan,
riwayat hipertensi, riwayat cedera kepal sebelumnya,
riwaya diabetes melitus, penggunaan obat- obatan dan
konsumsi alakohol.
3. Riwayat kesehatan keluarga

Poltekkes Kemenkes
3

Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit herediter


seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
e. Kebutuhan dasar
1. Eliminasi: perubahan pola BAB/BAK (inkontenensia,
konstipasi, hematuri).
2. Nutrisi: mual, muntah, ganngguan pencernaan/ menelan
makan.
3. Istirahat: kelemahan, mobilisasi, tidur kurang.
f. Pengkajian persistem dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Biasanya pada pasien dengan cedera kepala pada umumnya
mengalami penurunan kesadaran.
2. Pemeriksaan head to toe
a) Kepala : biasanya ada luka atau laserasi pada kulit
kepala
b) Mata : biasanya mata simetris kiri kanan, dan
inspeksi konjungtiva anemis atau tidak, sklera ikterik
atau tidak, reflek pupil.
c) Hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung
d) Telinga : inspeksi apakah ada darah yang keluar dari
telinga
e) Mulut : biasanya bibir pasien pucat dan kering
f) Leher : observasi adanya cidera servikal dan
observasi adanya distensi vena jugularis
g) Dada : inspeksi dinding dada,kaji kualitas dan
kedalaman, pernafasan, kaji kesemetrisan pergerakkan
dinding dada dan auskultasi bunyi nafas.
h) Abdomen : inspeksi ada luka , catat adanya
distensi dan adanya memar khususnya di organ vital
seperti limfa dan hati, dan auskultasi bising usus.

Poltekkes Kemenkes
3

i) Ekstremitas : inspeksi adanya perdarahan, udema


nyeri di ektremitas, cek capillaryrefil pada ujung kuku,
dan cek reflek seperti bisep, trisep dan patella.
3. Fungsi Motorik
Biasanya pada pasien cedera kepala kekuatan ototnya
berkisar antara 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan
cedera kepala yang dialami pasien.
4. Aspek neurologis
a) Kaji GCS: biasanya pasien cedera kepala GCS nya
tergantung berat, sedang, ringannya (cedera kepala
ringan14-15, cedera kepala sedang 9-13, cedera kepala
berat 3-8).
b) Perubahan status mental
c) Nervus carnialis (biasanya pasien yang mengalami
cedera kepala pola bicara abnormal).
d) Perubahan pupil atau penglihatan kabur, diplopia, foto
pobia, kehilangan sebagian lapang pandang.
e) Perubahan tanda–tanda vital: biasanya tekanan darah
pasien cedera kepala naik/turun.
f) Biasanya pasien mengalami gangguan pengecapan dan
penciuman, serta pendengaran.
g) Pasien mengalami adanya tanda –tanda peningkatan
TIK seperti: penurunan kesadaran, gelisah letargi, sakit
kepala, muntah proyektif, pelambatan nadi, pelebaran
tekanan nadi, peningkatan tekanan darah sistolik.
h) Aspek kardiovaskuler
Biasanya pasien mengalami perubahan TD, denyut nadi
tidak teratur, TD naik, TIK naik.
i) Sistem pernafasan
Biasanya pasien mengalami perubahan pola nafas
(apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), irama dan
frekuensi nafas lemah.

Poltekkes Kemenkes
3

j) Pengkajian psikologis.
Biasanya pasien mengalami gangguan emosi terhadap
penyakit yang dideritanya, elirium, perubahan tingkah
laku atau kepribadian.
k) Pengkajian sosial
Mengkaji bagaimana hubungan pasien dengan orang
terdekat, kemampuan komunikasi pasien dengan orang
lain.
l) Nyeri/kenyamanan: biasanya pasien mengalami sakit
kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respon
menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah.
5. Pemeriksaan Nervus cranial
a) N.I (Olfaktorius)
Adanya mengalami penurunan daya penciuman atau
tidak
b) N.II (Optikus)
Pada trauma frontalis memperlihatkan terjadi
penurunan penglihatan
c) N.III (okulomotorius), IV (trokhlearis), VI (abducens)
Menyebabkan penurunan lapang pandang, reflek cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak
dapat mengikuti perintah, anisokor.
d) N.V (trigeminus)
Apakah adanya gangguan mengunyah atau tidak
e) N.VII (Fasialis)
Mengalami gangguan lemahnya penutupan kelopakata,
hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
f) N.VIII (Akustikus)
Pasien mengalami penurunan pendengaran dan
keseimbangan tubuh.
g) N.IX (glosofaringeus), X (vagus), XI (assesorius)

Poltekkes Kemenkes
3

Gejala tersebut jarang ditemukan karena penderita akan


meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut.
Adaya cekungan karena kompresi pada nervus vagus,
yang menyebabkan kompresis pasmodic dan diafragma.
Cekungan yang terjadi biasanya akan mengalami
peningkatan intrakranial.
h) N. XII (hipoglosus)
Gejala biasa timbul adalah jatuhnya lidah kesalah satu
sisi,disfagia dan disartria. Hal ini akan menyebabkan
kesulitan menelan (Wijaya, 2013).
6. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal
a) Pemeriksaan kaku kuduk dilakukan dengan mengatur
pasien agar berada dalam posisi terlentang, kemudian
leher ditekuk. Apabila dagu tertahan dan tidak
menempel atau mengenai bagian dada, maka terjadi
kaku kuduk (positif). Kaku kuduk dapat bersifat ringan
atau berat.
b) Pemeriksaan Brudzinski I dilakukan dengan mengatur
pasien agar berada dalam posisi terlentang, kemudian
letakkan satu tangan di bawah kepala pasien dan tangan
yang lain di letakkan di dada untuk mencegah badan
terangkat. Kepala difleksikan ke dada, adanya
rangsangan meningeal apabila kedua tungkai bawah
akan fleksi (trangkat) pada sendi panggul dan lutut.
c) Pemeriksaan Brudzinski II dilakukan dengan cara
mengatur pasien agar berada dalam posisi terlentang,
kemuan tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul.
Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi
tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini
menandakan test ini positif.
d) Tanda kernig dilakukan dengan mengatur pasien agar
ada dalam posisi terlentang, fleksikan tungkai atas
tegak

Poltekkes Kemenkes
3

lurus sampai mencapai sudut 90˚, kemudian luruskan


tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut
sampai memcapai sudut lebih dari 135˚ terhadap pada.
Bila teraba tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang
dari sudut 135˚, maka dikatakan kernig sign positif.
e) Lasegue sign, untuk pemeriksaan ini dilakukan pada
pasien yang berbaring lalu kedua tungkai di luruskan
(ekstensi), kemudian satu tungkai diangkat di lurus,
dibengkokkan (fleksi) persendian panggul. Pada
keadaan normal dapat dicapai sudut 70˚ maka disebut
tanda lansegue positif. Namun pada pasien yang sudah
lanjut usianya diambil patokan 60˚.
7. Reflek patologis
a) Babinski
Stimulus: penggoresan telapak kaki bagian lateral dari
posterior ke anterior. Respon: esktensi ibu jari kaki dan
pengembangan (fanning) jari- jari kaki.
b) Chaddock
Stimulus: penggoresan kulit dorsum pedis lateral,
sekitar malleolus lateralis dari posterior ke anterior.
Respon: seperti babinski.
c) Oppenhelm
Stimulus: pengurutan crista anterior tibiae dari
proksimal ke distal. Respon: seperti babinski.
d) Gardon
Stimulus: penekanan betis secara keras. Respon: seperti
babinski.
e) Schaeffer
Stimulus: memencet tendon achilles secara keras.
Respon: seperti babinski.

Poltekkes Kemenkes
3

f) Gonda
Stimulus: penekukan (planta fleksi) maksimal jari kaki
keempat. Respon: seperti babinski.
g) Hoffman
Stimulus: goresan pada kuku jari tengah pasien.
Respon: ibu jari, di telunjuk dan jari- jari lainnya
berlefksi.
h) Tromner
Stimulus: colekan pada ujung jari tengah pasien.
Respon: seperti hoffman (Wijaya & Yessie, 2013).
2. Pemeriksan penunjang.
a. Foto rontgen
Foto rontgen tengkorak seringkali digunakan untuk
mengidentifikasi adanya fraktur, dislokasi, dan abnormalitas
tulang lainnya. Pada cedera kepala terjadi fraktur pada
tenggkorak akibat tumbukan.
b. Computed tomogrhpy scan
Computed tomogrhpy scan (CT-scan) merupakan suatu teknik
diagnostic dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-X untuk
memindai kepala dalam lapisan secara berurutan. Dengan
melakukan ini, kita bisa mengamati apakah terjadi lesi atau
infark terhadap otak. Pada cedera kepala dapat dilihat terjadinya
pendarahan dan fraktur yang nantinya akan berkibat infark.
c. Positron emission tomography
Positron emission tomography (PET) teknik pencitraan nuklir
berdasarakan computer yang dapat menghasilkan bayangan
fungsi organ secara aktual. PET memungkinkan pengukuran
aliran darah, komposisi jaringan, dan metabolisme otak. Pada
cedera kepala akan terlihat gangguan metabolisme otak akibat
kuranya suplai darah ke otak.

Poltekkes Kemenkes
3

d. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum diotak
dengan meletakan elektroda-elektroda pada kulit kepala atau
dengan meletakan mikroelektroda pada jaringan otak. EEG
bermanfaat mendiagnosis gangguan kejang dan merupakan
prosedur scaning untuk koma. EEG juga dapat bertindak
sebagai indikator kematian otak , abses, bekuan darah dan
infeksi yang menyebabkan abnormalitas aliran listrik. Pada
pasien cedera kepela pemeriksaan elektroensifalografi akan
terlihatnya bekuan darah atau kematian otak tetapi hal seperti ini
memerlukan proses yang cukup lama pada cedera kepala.
e. Angiografi serebral
Pemeriksaan ini lebih bermanfaat untk menunjukan adanya
suatu hematoma atau pendarahan intra cranial. Pada cedera
kepala akan ditemukan pendarahan intrakranial atau
hematoma yang semakin melebar jika kurangnya penanganan.
f. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi dapat dilakukan jika
dilakukan jika diduga terjadi pendarahan subaraknoid.
Pemeriksaan lumbal fungsi akan menunjukan pendarahan pada
intracranial dan jika terjadi trauma terbuka atau fraktur basis
krani dapat berakibat pada meningitis yang ditunjukan dengan
terjadinya infeksi pada selaput otak.
g. Kadar elektrolit untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai peningkatan intrakaranial. Pada cedera kepala kadar
elektrolit akan menurun karena terjadi pendarahan aktif dan
edema, selain itu kadar elektrolit bisa menjadi penanda
peningkatan intracranial.
h. Analisa gas darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostic untuk
menentukan status respirasi. Status yang dapat digambarkan
adah status oksigenasi dan status asam basa. Pada pemeriksaan
AGD dapat berakibat terjadinya hipoventilasi atau hiperventilasi

Poltekkes Kemenkes
3

karena akibat terjadinya penumpukan cairan di paru yang


berakibat terjadinya gagguan disfungsi (Margareth, 2012).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis
(cedera kepala).
d. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera
kepala.
e. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan
edema otak.
f. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
g. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan
h. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler.
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
j. Risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan
mobilisasi. (SDKI, 2017).

Poltekkes Kemenkes
4

3. Intervensi Keperawatan
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI


1. Bersihan jalan nafas 1. Bersihan 1. Manajemen jalan
tidak efektif b.d jalan nafas. napas.
sekret yang tertahan. a. Klien mampu a. Monitor pola nafas
Defenisi: batuk efektif (frekuensi, kedalaman,
Ketidakmampuan b. Produksi usaha napas)
membersihkan sekret sputum b. Monitor bunyi
atau obstruksi jalan menurun napas tambahan
nafas untuk c. Mengi, (mis, gurgling,
mempertahankan jalan wheezing mengi, wheezing,
nafas tetap paten. menurun ronkhi kering)
d. Dispnea c. Monitor sputum
1. Tanda Mayor menurun (jumlah, warna, aroma)
a. Batuk tidak e. Sulit bicara d. Pertahankan kepatenan
efektif bisa membaik jalan napas dengan
b. Tidak f. Sianosis head-tilt dan chin-lift
mampu menurun (jaw- thrust jika di
batuk. g. Gelisah curigai trauma
c. Sputum menurun servikal)
berlebihan. h. Frekuensi nafas e. Posisikan semi fowler
d. Mengi, membaik atau fowler.
wheezing, atau 2. Perukaran gas f. Beriakan minuman
ronkhi kering. a. Dispnea hangat.
2. Tanda Minor menurun g. Lakukan fisioterapi
a. Dispnea b. Pusing menurun dada.
b. Sulit bicara c. Gelisah h. Lakukan pengisapan
c. Ortopnea menurun lendir.
d. Gelisah d. Pco2 membaik i. Lakukan
e. Sianosis e. Po2 membaik hiperoksigenasi
f. Bunyi nafas f. Takikardia sebelum pengisapan
menurun membaik endotrakeal.
g. Frekuensi nafas g. Sianosis j. Berikan oksigen
berubah membaik jika perlu
h. Pola h. Pola nafas 2. Latihan batuk efektif
nafas membaik a. Identifikasi
berubah. i. Warna kulit kemampuan batuk
membaik b. Monitor adanya
retensi sputum
c. Monitor tanda dan
gejala infeksi saluran
pernapasan
d. Monitor input dan
output cairan
(mis. Jumlah dan
karakteristik)

Poltekkes Kemenkes
4

e. Atur posisi semi


fowler atau fowler.
f. Pasang perlak dan
bengkok di
pangkuan pasie.
g. Buang sekret pada
tempat sputum
h. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk
efektif.
i. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, di
tahan 2 detik,
kemudian keluarkan
melalui mulut dengan
bibir mencucu selama
8 detik.
j. Anjurkan mengulangi
tarik nafas dalam
hingga 3 kali
k. Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik nafas
dalam yang ke 3.

2. Risiko perfusi 1. Perfusi serebral 1. Manajeman


serebral tidak efektif a. Tingkat peningkatan tekanan
b.d cedera kepala. kesadaran intrakranial.
kognitif a. Identifikasi
Defenisi: berisiko meningkat. penyebab
mengalami penurunan b. Tekanan peningkatan TIK.
sirkulasi darah ke otak. intrakranial b. Monitor tanda dan
menurun. gejala peningkatan
Faktor risiko: cedera c. Sakit kepala TIK.
kepala. menurun. c. Kolaborasi dalam
d. Gelisah monitor MAP
Kondisi klinis terkait: menurun. (Mean Arterial
cedera kepala. e. Kecemasan Pressure)
menurun. d. Kolaborasi dalam
f. Agitasi monitir CPP
menurun. (Cerebral Perpusion
g. Demam Pressure)
menurun. e. Kolaborasi dalam
h. Tekanan darah monitor gelombang
membaik. ICP
i. Reflek saraf f. Monitor status

Poltekkes Kemenkes
4

membaik. pernapasan
2. Status neurologis g. Monitor intake dan
a. Tingkat output cairan.
kesadaran h. Monitor cairan
meningkat serebro-spinalis.
b. Reaksi pupil i. Minimalkan
meningkat stimulus dengan
c. Status kognitif menyediakan
meningkat lingkungan yang
d. Kontrol motorik terang.
pusat j. Berikan posisi
meningkat. semi fowler.
e. Fungsi sensorik 2. Pemantauan
dan motorik neurologis
kranial a. Monitor ukuran,
meningkat. bentuk,
f. Fungsi sensorik kesimetrisan, dan
dan motorik raektifitas pupil.
spinal b. Monitor tingkat
meningkat. kesadaran
g. Hipertermi c. Monitor ingatan
menurun terakhir, rentang
h. Pucat menurun. perhatian, memori
i. Sindrom horner masa lalu, mood
menurun. dan perilaku
j. Pandangan d. Monitor tanda-
kabur menurun. tanda vital
e. Monitor reflek
kornea
f. Monitor kekuatan
pegangan
g. Monitor
kesimetrisan wajah
h. Monitor
karakteristik bicara,
kelancaran, kefihan,
atau kesulitan
mencari kata.
i. Monitor respons
babinski
j. Monitor respons
cushing
3. Edukasi program
pengobatan
a. Identifikasi
pengetahuan
tentang pengobatan
yang di

Poltekkes Kemenkes
4

rekomendasikan
b. Identifikasi
pengguanaan
pengobatan
tradisional dan
efek sampingnya
c. Fasilitasi informasi
tertlis atau gambar
untuk
meningkatkan
pemahaman
d. Berikan dukungan
untuk menjalani
proram pengobatan
e. Libatkan keluarga
untuk memberikan
dukungan pada
pasien selama
pengobatan
f. Jelaskan manfaat
dan efek
samping dari
pengobatan
g. Jelaskan strategi
mengelola efek
samping obat
h. Jealaskan
penyimpanan,
pengsian kembali
dan pemantauan
sisa obat
i. Informasikan
fasilitas kesehatan
yang dapat di
gunakan selama
pengobatan.
3. Nyeri akut b.d agen 1. Tingkat nyeri 1. Manajemen nyeri
pencedera fisik a. Keluhan nyeri a. Identifikasi lokasi,
(trauma) menurun karakteristik,
b. Meringis durasi, frekuensi,
Defenisi: menurun kualitas nyeri
Pengalaman sensorik c. Sikap protektif b. Identifikasi
atau emosional yang menurun skala nyeri
berkaitan dengan d. Gelisah c. Identifikasi faktor
kerusakan jaringan menurun yang memperberat
aktual atau fungsional, e. Kesulitan tidur dan memperingan
dengan onset menurun nyeri
mendadak atau lambat f. Mual dan d. Identifikasi respon

Poltekkes Kemenkes
4

dan berintensitas muntah nyeri verbal


ringan hingga berat menurun e. Identifikasi
yang berlangsung g. Pola napas pengetahuan dan
kurang dari 3 membaik keyakinan tentang
bulan. h. Tekanan darah nyeri
membaik f. Identifikasi
Tanda mayor: i. Proses berfikir pengaruh budaya
1. Mengeluh nyeri membaik terhadap respon
2. Tampak meringis j. Nafsu makan nyeri
3. Bersikap protektif membaik g. Identifikasi nyeri
4. Gelisah 2. Tingkat cedera pada kualitas
5. Frekuensi nadi a. Kejadian cedera hidup
meningkat menurun h. Monitor
6. Sulit tidur b. Luka atau keberhasilan terapi
lecet menurun komplementer yang
Tanda minor: c. Ketegangan otot sudah di berikan
1. Tekanan darah menurun i. Monitor efek
meningkat d. Perdarahan samping
2. Pola nafas berubah menurun penggunaan
3. Nafsu makan e. Ekspresi wajah analgesik
berubah kesakitan j. Berikan teknik
4. Proses berfikir menurun nonfarmakologis
terganggu f. Iritabilitas untuk
5. Menarik diri menurun mengurangi rasa
6. Berfokus pada diri g. Gangguan nyeri (mis: teknik
sendiri mobilitas imajinasi
7. Diaforesis. menurun terbimbing)
h. Gangguan 2. Pemberian analgesik
kognitif a. Identifkasi
menurun karakteristik
i. Tekanan darah nyeri
membaik b. Identifikasi
j. Frekuensi nafas alergi obat
membaik c. Identifikasi
k. Pola istirahat/ kesesuaian jenis
tidur membaik. analgesik
d. Monitor tanda-
tanda vital
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
e. Monitor efektifitas
analgesik
f. Perimbangkan
pengguanaan infus
kontinu, atau
bolus uploid untuk
mempertahankan
kadar dalam serum
g. Tetapkan target

Poltekkes Kemenkes
4

efektifitas
analgesik

Poltekkes Kemenkes
4

untuk
mengobtimalkan
respons pasien
h. Dokumentasikan
respons pasien
terhadap efek
analgesik dan
efek yang tidak
diinginkan
i. Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat
j. Kolaborasi dalam
pemberian dosis
dan jenis
analgesik.
3. Edukasi teknik nafas
a. Identifikasi
kesiapan dan
kemampuan
menerima informasi
b. Sediakan materi
dan media
pendidikan
kesehatan
c. Jadwalkan
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
d. Berikan
kesempatan untuk
bertanya
e. Jelaskan tujuan
dan manfaat teknik
nafas
f. Jelaskan prosedur
teknik nafas
g. Anjurkan
memposisikan
tubuh senyaman
mungkin
h. Anjurkan
menutup mata dan
berkonsentrasi
penuh
i. Ajarkan melakukan
inspirasi dengan
menghirup udara
secara perlahan

Poltekkes Kemenkes
4

j. Ajarkan melakukan
ekspirasi dengan
menghembuskan
udara mulut
mencucu secara
perlahan.
4. Risiko luka tekan 1. Integritas kulit 1. Pencegahan luka
berhubungan dengan dan jaringan. tekan.
penurunan mobilisasi. a. Nyeri menurun a. Periksa adanya
b. Perdarahan luka tekan
Defenisi: berisiko menurun sebelumnya
mengalami cedera c. Hematoma b. Monitor suhu
lokal pada kulit atau menurun kulit yang
jaringan, biasanya pada d. Pigmentasi tertekan
tonjolan tulang akibat abnormal c. Monitor status
tekanan atau gesekan. menurun kulit harian
e. Jaringan parut d. Monitor kulit di
menurun atas tonjolan
f. Nekrosis tulang atau titik
menurun tekan saat
g. Suhu kulit mengubah posisi
membaik e. Monitor sumber
h. Tekstur tekanan dan
membaik gesekan
i. Elastisitas f. Keringkan daerah
meningkat kulit yang lembab
j. Hidrasi akibat keringat,
meningkat cairan luka, dan
k. Perfusi jaringan inkontinensia
meningkat. fekal/urin
g. Ubah posisi
dengan hati- hati
setiap 1-2 jam.
h. Buat jadwal
perubahan posisi.
i. Jaga seprai tetap
kering, bersih dan
tidak ada lipatan/
kerutan.
j. Pastikan asupan
makanan yang
cukup terutama
protein, vit B,
vit C, zat besi
dan kalori.
2. Perawatan
integritas kulit.
a. Identifikasi
penyebab gangguan

Poltekkes Kemenkes
4

integritas kulit
b. Ubah posisi taip
2 jam jika tirah
baring
c. Lakukan
massage efflurage
dengan VCO.
(Jurnal Setiani,
2014 efektifitas
massage dengan
VCO terhadap
pencegahan luka
tekan di intensive
care unit).
d. Bersihkan perineal
dengan air hangat
e. Gunakan produk
berbahan petrolium
atau minyak pada
kulit kering
f. Gunakan produk
berbahan ringan/
alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitif
g. Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada
kulit
kering.
(SLKI & SIKI, 2018)

4. Implementasi Keperawatan.
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam
rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independen) dan tindakan kolaborasi (Tarwoto & Wartonah, 2011).

5. Evaluasi
Evaluasi dari perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat
dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu di kaji ulang letak
kesalahannya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan,

Poltekkes Kemenkes
4

serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi (Tarwoto & Wartonah,


2011).

Poltekkes Kemenkes
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain penelitian
yaitu studi kasus yang bertujuan untuk menggambarkan asuhan
keperawatan, maka peneliti mendeskripsikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan cedera kepala berat di ruangan HCU Bedah RSUP DR. M.
Djamil Padang tahun 2020.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Ruangan HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada bulan Desember 2019 – Juni 2020. Waktu melakukan
asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala berat selama 10 hari,
dimulai tanggal 16 Februari sampai 25 Februari 2020.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek atau objek yang memenuhi
kriteria dan karakterisktik yang telah ditetapkan oleh peneliti dan
kemudian di ambil suatu kesimpulan (Sugiono, 2017).
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosa
medis cedera kepala yang di rawat di ruangan HCU Bedah RSUP
Dr.M.Djamil Padang. Pada saat dilakukan penelitian ditemukan 3
orang pasien dengan diagnosa cedera kepala.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian adalah objek penelitian yang menjadi bagian
kecil dalam populasi dan mewakili seluruh populasi dalam penelitian
(Tarjo, 2019). Sampel pada penelitian ini yaitu 1 orang pasien dengan
diagnosa medis cedera kepala berat yang dirawat di ruangan HCU
Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara porposive sampling. Cara pengambilan sampel sesuai
dengan kebutuhan atau tujuan peneliti yang sesuai dengan kriteria

4 Poltekkes Kemenke
5

inklusi dan eklusi sehingga sampel dapat mewakili karakteristik


populasi (Nursalam, 2011). Dua orang pasien cedera kepala yang
ditemukan di ruang HCU bedah tidak sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi peneliti, yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
1 orang pasien yaitu Tn. Z.
Adapun kriteria sampel dalam penelitian sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
1. Keluarga dan pasien bersedia menjadi responden.
2. Pasien yang didiagnosa cedera kepala berat (CKB).
3. Pasien tidak mengalami luka dekubitus.
b. Kriteria eksklusi
1. Pasien pulang atau meninggal dengan hari rawatan kurang dari
5 hari.

D. Metode Pengumpulan Data


1. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan
responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam
hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden
merupakan pola media yang melengkapi kata- kata secara verbal.
Karena itu, wawancara tidak hanya menangkap pemahaman atau ide,
tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman, emosi, motif, yang
di miliki oleh responden yang bersangkutan (Firdaus, 2018).
Pada penelitian ini, dilakukan metode wawancara dalam
penggumpulan data pada tahapan pengkajian atau anamnesa.
Wawancara dilakukan kepada keluarga terdekat pasien.

2. Observasi
Pengamatan (observasi) adalah metode pengumpulan data di mana
peneliti mencatat informasi sebagaimana yang di saksikan selama
penelitian. Penyaksian terhadap peristiwa- peristiwa itu bisa dengan
melihat, mendengar, merasakan, yang kemungkinan dicatat seobjektif

Poltekkes Kemenkes
5

mungkin (Firdaus, 2018). Pada penelitian ini metode observasi


digunakan oleh peneliti untuk mengamati respon pasien selama dalam
proses keperawatan, pengkajian, intervensi, implementasi, dan
evaluasi serta perkembangan pasien setiap harinya.

3. Pengukuran
Pada penelitian ini, peneliti mengukur menggunakan alat ukur
pemeriksaan, seperti melakukan pengukuran tanda-tanda vital,
pemeriksaat fisik head to toe dan pemeriksaan neurologis.

4. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah penggumpulan data yang sebagian besar
data dan fakta tersimpan dalam suatu bahan yang telah
didokumentasikan. Studi dokumentasi dilakukan pada surat, cacatan
harian, arsip, foto dan lain-lain. Melalui studi dokumentasi kita dapat
menggali kejadian yang terjadi dimasa lampau. Pada penelitian ini
peneliti melakukan studi kasus pada cacatan perkembangan, cacatan
status pasien, arsip, foto rontgen, dan hasil diagnostik lainnya.

5. Alat/ Instrument Pengumpulan Data


Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah format
pengkajian keperwatan medical bedah, format pengkajian neurologis
dan alat pemeriksaan fisik yang terdiri dari tensi meter, stetostkop,
thermometer, stopwatch, pen light, tongue spatel, refleks hummer, dan
bahan beraroma.

6. Jenis dan Pengumpulan Data


1. Jenis data
a. Data primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari
partisipan sebagai pengkajian kepada pasien meliputi:

Poltekkes Kemenkes
5

indentitas pasien, riwayat kesehatan, pola aktifitas sehari-hari


dan pemeriksaan fisik.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi
dokumentasi seperti bukti rawat, data penunjang (hasil labor
dan diagnostic), catatan atau laporan perkembangan yang
tersusun dalam arsip dan tidak dipublikasikan.

2. Prosedur Pengumpulan Data


Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti adalah:
a. Peneliti meminta izin penelitian dari instansi asal peneliti
yaitu Poltekkes Kemenkes RI Padang.
b. Peneliti melakukan uji etik dari bagian kode etik RSUP Dr. M.
Djamil Padang
c. Meminta surat rekomendasi ke bagian Diklat RSUP DR. M.
Djamil Padang.
d. Meminta izin penelitian ke kepala Ruangan HCU Bedah RSUP
DR. M. Djamil Padang.
e. Melakukan pememilihan sampel sebanyak 1 orang partisipan
dengan diagnosa medis cedera kepala.
f. Mendatangi partisipan serta keluarga dan menjelaskan tentang
tujuan penelitian.
g. Partisipan dan keluarga diberikan kesempatan untuk bertanya.
h. Partisipan dan keluarga menandatangani informed consent.
Peneliti melakukan asuhan keperawaan.

7. Analisis
Analisa yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan cara
menganalisis semua temuan yang ditemukan pada semua tahapan
keperawatan dengan menggunakan konsep dan teori keperawatan
pada pasien cedera kepala. Data yang diperoleh melalui pengakajian,

Poltekkes Kemenkes
5

diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Hasil tindakan


akan dibentuk menjadi sebuah narasi yang akan dibandingakan antara
partisipan dengan teori keperawatan dan hasil penelitian sebelumnya
tentang cedera kepala. Analisis yang dilakukan berguna untuk
menentukan apakah ada kesesuaian antara teori dengan kondisi pasien
yang dijadikan objek penelitian.

Poltekkes Kemenkes
BAB IV

DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di RSUP DR M. Djamil Padang di IRNA Bedah.
IRNA Bedah terdiri dari ruangan HCU Bedah, Bedah Wanita, Bedah Pria,
Bedah Anak (CAA) dan Trauma Center. Penelitian ini dilakukan di
ruangan HCU Bedah. HCU Bedah dapat menampung kapasitas 15 tempat
tidur. Ruangan HCU Bedah dikepalai oleh Kepala Ruangan dan Ketua
Tim untuk ruangan. Jumlah tenaga keperawatan terdiri dari 1 orang karu
dan 21 orang perawat pelaksana yang dibagi menjadi 3 shift, pagi, sore
dan malam. Selain perawat ruangan, terdapat juga beberapa orang
mahasiswa praktek dari berbagai institusi juga ikut andil dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien.

B. Deskripsi Kasus
Penelitian yang dilakukan di IRNA Bedah tepatnya di HCU Bedah
melibatkan 1 orang partisipan yang memiliki diagnosa medis yaitu cedara
kepala Berat. Partisipan berjenis kelamin laki-laki dan hari rawatan
pertama. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 16 -25 Februari 2020.
1. Pengkajian keperawatan
Pasien barnama Tn.Z, berusia 13 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
lahir di Muara bangun, 12 – 12 - 2006, belum menikah, beragama
islam, pendidikan masih berada di bangku SD, dan alamat pasien
Muara bangun padang gelugur pasaman. Pasien dengan no MR:
01.07.xx.xx masuk rumah sakit dengan diagnosa medis CKB GCS 8 +
edema cerebri. Pasien masuk melalui IGD RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 16 Februari 2020 pukul 04.40 WIB, rujukan
RSUD Pratama Pasaman dengan penurunan kesadaran. Pasien
mengalami kecelakaan tunggal 22.00 WIB, terdapat luka dikepala,
luka lecet pada tangan dan kaki, dengan TD: 141/ 75 mmHg, nadi 97
kali/menit, pernafasan 42 kali/ menit dan suhu 37˚c.

5 Poltekkes Kemenke
5

Pada saat dilakukan pengkajian Minggu 16 Februari 2020 pukul 13.00


WIB, pasien hari rawatan pertama di HCU Bedah, keluarga
mengatakan pasien belum sadar, dari awal kejadian sampai sekarang,
keluarga mengatakan pasien tampak sesak nafas, kadang ujung kaki
pasien teraba dingin dan pasien tampak gelisah. Pemeriksaan fisik
yang dilakukan pada Tn. Z didapatkan hasil sebagai berikut: keadaan
umum pasien tidak sadar dengan GCS 8 (E2M4V2) dengan tingkat
kesadaran delirium, tekanan darah 134/77 mmHg, nadi 116 kali/menit,
pernafasan 30 kali/menit dan suhu tubuh 38˚c. Pada pemeriksaan
kepala terdapat luka yang sudah di jahit di temporal bagian kanan di
atas telinga, konjungtiva tampak anemis, terdapat luka di pelipis mata
kiri klien sepanjang 3 cm yang sudah dijahit di rumah sakit
sebelumnya, terpasang NGT, dan tampak kotor, mulut pasien tampak
kering dan pecah- pecah. Pada ekstremitas atas terdapat luka lecet di
punggung tangan kanan, CRT >2, kekuatan otot tangan tidak dapat di
nilai karena pasien gelisah dan terpasang restrain, esktremitas bawah
akral teraba dingin, CRT >2, kekuatan otot kaki tidak bisa di nilai
karna pasien gelisah dan terpasang restrain.
Pada hari kedua tingkat kesadaran pasien menurun GCS 5, suhu tubuh
meningkat 39˚c dan mengalami kejang pada malam hari, terdapat
sekret berlebih di jalan nafas, adanya bunyi suara tamabahan(ronki),
pasien terpasang OPA, pernafasan pasien abnormal.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Februari 2020 : leukosit
27,68 103/mm3, trombosit 427 103/mm3, APTT 26,7 detik,SGOT 257
u/l, SGPT 143 u/l, PCO2 48 mmHg, PO2 108 mmHg, ph 7,55, HCO3
28,5 mmol/L, SO2c 95%. Pada pemeriksaan rongent terdapat nya
edema di dalam otak.
Terapi pengobatan yang diterima oleh Tn. Z adalah ceftriakson 2x1g,
paracetamol 3x500gr, ranitindine 2x500, manitol 3x125mg, fenitoin 3x
100, levofloxacin 1x 750 dan nacl 0,9% 3 kolf/24 jam.

Poltekkes Kemenkes
5

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn. Z maka
diagnosa keperawatan yang muncul adalah diagnosa 1: bersihan jalan
nafas berhubungan dengan sekret tertahan ditandai dengan bunyi nafas
ronki, produksi sputum berlebih, pola nafas abnormal, gelisah,
penurunan kesadaran, dispnea, diagnosa diagnosa 2:risiko perfusi
serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala ditandai
dengan tingkat kesadaran yang menurun, tekanan darah meningkat,
pernafasan ireguler, nadi meningkat dan terdapat luka di temporal
kanan, dianosa 3:gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi- Risiko perfusi serebral tidak efektif
berhubungan dengan cedera kepala ditandai dengan tingkat kesadaran
yang menurun, tekanan darah meningkat, pernafasan ireguler, nadi
meningkat perfusi ditandai dengan dispnea, PCO2 meningkat, PO2
meningkat, gelisa, pola nafas abnormal, terjadinya penurunan
kesadaran, diagnosa 4: hipertermi berhubungan dengan respon trauma
ditandai dengan suhu tubuh di atas nilai normal, nadi cepat, kulit
teraba hangat, 5: risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan
imobilitas fisik ditandai dengan penurunan imobilitas fisik, suhu
meningkat, penurunan kesadaran, penekanan di atas tonjolan tulang.

3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan yang dilakukan pada partisipan mengacu pada
SLKI dan SIKI. Intervensi yang disusun berdasarkan diagnosa pada
partisipan adalah sebagai berikut:
a. Diagnosa 1: bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret
tertahan. Rencana intervensi untuk diagnosa ini antara lain
manajemen jalan napas: monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas), monitor bunyi napas tambahan (mis: gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi kering), monitor sputum (jumlah, warna,
aroma), pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan

Poltekkes Kemenkes
5

chin-lift (jaw- thrust jika di curigai trauma servikal), posisikan


semi fowler atau fowler, beriakan minuman hangat, lakukan
fisioterapi dada, lakukan pengisapan lendir, lakukan
hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal, berikan oksigen
jika perlu. Penghisapan jalan nafas: identifikasi kebutuhan
dilakukan penghisapan, auskultasi sebelum dan sesudah
penghisapan, monitor status oksigenasi, status neurologis (tekanan
intrakranial, tekanan perfusi serebral), monitor catat jumlah dan
konsistensi sekret, gunakan teknik aseptik, gunakan prosedurnsteril
dan disposibel, gunakan teknik penghisapan tertutup, sesuai
indikasi, lakukan penghisapan lebih dari 15 detik, lakukan
penghisapan ETT dengan tekanan rendah, hentikan penghisapan
jika mengalami kondisi- kondisi seperti bradikardi, penurunan
saturasi.

b. Diagnosa 2: risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan


dengan cedera kepala. Rencana intervensi untuk diagnosa ini
antara lain manajeman peningkatan tekanan intrakranial:
identifikasi penyebab peningkatan TIK, monitor tanda dan gejala
peningkatan TIK, kolaborasi dalam monitor MAP (Mean Arterial
Pressure), kolaborasi dalam monitir CPP (Cerebral Perpusion
Pressure), kolaborasi dalam monitor gelombang ICP, monitor
status pernapasan, monitor intake dan output cairan, monitor cairan
serebro-spinalis, minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang terang, berikan posisi semi fowler. Pemantauan
neurologis: monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan, dan raektifitas
pupil, monitor tingkat kesadaran (GCS), monitor ingatan terakhir,
rentang perhatian, memori masa lalu, mood dan perilaku, monitor
tanda- tanda vital, monitor reflek kornea, monitor kekuatan
pegangan, monitor kesimetrisan wajah, monitor karakteristik
bicara, kelancaran, kefihan, atau kesulitan mencari kata. monitor
respons babinski, monitor respons cushing.

Poltekkes Kemenkes
5

c. Dianosa 3: gangguan pertukaran gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan ventilasi- risiko perfusi serebral tidak
efektif.Rencana intervensi untuk diagnosa ini antara lain
pemantauan respirasi: monitor frekuensi, irama dan upaya nafas,
monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea, monitor
kemampuan batuk efektif, monitor adanya produksi sputum,
monitor adanya sumbatan jalan nafas, palpasi kesimetrisan
ekspansi paru, auskultasi bunyi nafas, monitor saturasi oksigen,
monitor nilai AGD. Terapi oksigen: monitor kecepatan aliran
oksigen, monitor posisi alat terapi oksigen, monitor aliran oksigen
secara periodik dan pastikan fraksi yang diberikan cukup, monitor
efektifitas terapi oksigen, monitor tanda- tanda hipoventilasi,
monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen,
bersihkan sekret pada mulut, hidung jika perlu, pertahankan
kepatenan jalan nafas.

d. Diagnosa 4: hipertermi berhubungan dengan respon trauma.


Rencana intervensi untuk diagnosa ini antara lain manajeman
hipertermia: identifikasi penyebab hipertermia, monitor suhu
tubuh, monitor kadar elektrolit, monitor pengeluaran urine,
longgarkan atau lepas lepaskan pakaian, basahi atau kipas
permukaan tubuh, berikan oksigen, kolaborasi dalam pemberian
obat dan cairan, monitor tekanan darah, frekuensi pernafasan dan
nadi. Pemantauan cairan: monitor frekuensi dan kekuatan nadi,
monitor frekuensi nafas, monitor tekanan darah, monitor berat
badan, Monitor pengisian kapiler, monitor elastisitas atau turgor
kulit, monitor jumlah dan warna urine, monitor kadar albumin dan
protein total, monitor intake dan output.

e. Diagnosa 5: risiko luka tekan berhubungan denganpenurunan


imobilitas fisik. Rencana intervensi untuk diagnosa ini antara lain

Poltekkes Kemenkes
5

pencegahan luka tekan: periksa adanya luka tekan sebelumnya,


monitor suhu kulit yang tertekan, monitor status kulit harian,
monitor kulit di atas tonjolan tulang atau titik tekan saat mengubah
posisi, monitor sumber tekanan dan gesekan, keringkan daerah
kulit yang lembab akibat keringat, cairan luka, dan inkontinensia
fekal/urin, ubah posisi dengan hati- hati setiap 1-2 jam, buat jadwal
perubahan posisi, jaga seprai tetap kering, bersih dan tidak ada
lipatan/ kerutan, pastikan asupan makanan yang cukup terutama
protein, vit B, vit C, zat besi dan kalori, perawatan integritas kulit,
identifikasi penyebab gangguan integritas kulit, ubah posisi taip 2
jam jika tirah baring, lakukan massage efflurage dengan VCO,
bersihkan perineal dengan air hangat, gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak pada kulit kering, gunakan produk berbahan
ringan/ alami dan hipoalergik pada kulit sensitive, hindari produk
berbahan dasar alkohol pada kulit kering.

4. Implementasi Keperawatan
Terdapat 5 diagnosa yang muncul pada partisipan, dilakukan
implementasi sesuai dengan intervensi keperawatan dan kondisi Tn. Z.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada partisipan adalah
sebagai berikut:
a. Diagnosa 1: bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret
tertahan. Implementasi yang dilakukan pada Tn. Z pada diagnosa
ini adalah memonitor pola nafas (frekuensi, kedalaman dan usaha
nafas), monitor adanya bunyi nafas tambahan (gurgling, ronki,
wheezing), monitor sputum (jumlah, banyak, warna), posisikan
pasien semi fowler dengan 30˚, melakukan suction, auskultasi
sebelum dan sesudah pengisapan sekret, menggunakan teknik
aseptik saat melakukan suction, melakukukan menghisapan lebih
dari 15 detik, monitor input uotput cairan.

Poltekkes Kemenkes
5

b. Diagnosa 2: risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan


dengan cedera kepala. Implementasi yang dilakukan pada Tn. Z
pada diagnosa ini adalah memonitor tingkat GCS, memonitor TTV,
monitor status pernafasan: frekuensi, irama, kedalaman, PO2,
PCO2, PH darah, kolaborasi pemberian diuretik osmotik manitol
3x 150g, monitor MAP, memberikan Nacl 0,9% 3 kolf/24 jam,
mengelevasikan kepala 30˚, monitor intake output, monitor PT,
APTT, memberikan penkes kepada keluarga dan pasien sebelum
pulang, memberikan penkes kepada keluarga tentang tanda gejala
terjadinya peningkatan TIK pada pasien seperti terjadinya sakit
kepala, adanya mual muntah, menganjurkan keluarga untuk selalu
memperhatikan tingkat kesadaran pasien, melatih ingatan pasien,
seperti tentang lingkungan dan masa lalu, menganjurkan keluarga
untuk memperhatikan tingkat kekuatan otot seperti cara berjalan,
memberikan informasi tentang kontrol kesehatan sesuai jadwal
yang telah di anjurkan, mengajurkan keluarga untuk memanfaatkan
pelayanan kesehatan dengan baik.

c. Dianosa 3: gangguan pertukaran gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan ventilasi- risiko perfusi serebral tidak efektif.
Implementasi yang dilakukan pada Tn. Z pada diagnosa ini adalah
memposisikan pasien semi fowler, inspeksi pergerakan dinding
dada, mengauskultasi suara nafas, memonitor suara tambahan,
memonitor pola nafas, mengelola penggunaan oksigen, memonitor
status pernafasan, memberikan oksigen NRM 10L/ menit,
memonitor aliran oksigen, membersihkan mulut dan hidung,
mengamati tanda- tanda hipoventilasi (mis: nafas pendek atau
cepat).

d. Diagnosa 4: hipertermi berhubungan dengan respon trauma.


Implementasi yang dilakukan pada Tn. Z pada diagnosa ini adalah
monitor suhu tubuh dan tanda- tanda vital secara berkala,
mementau suhu tubuh dan warna kulit, memonitor intake dan

Poltekkes Kemenkes
6

output, kolaborasi dalam pemberian PCT 3x 500 mg, memberikan


NaCl 0,9% 3 kolf/ 24 jam, menjaga suhu lingkungan dengan suhu
kamar agar menghambat metabolisme dan meningkatkan
kenyamanan, memonitor nilai leukosit, menjelaskan kepada
keluarga tentang penggunaan komres hangat, melakukan kompres
hangat pada area kepala.

e. Diagnosa 5: risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan


imobilitas fisik. Implementasi yang dilakukan pada Tn. Z pada
diagnosa ini adalah identifikasi adakah luka tekan sebelumnya,
monitor suhu tubuh, monitor warna kulit pada daerah tonjolan
tulang atau titik tekan, jaga lingkungan/ seprai pasien agar tetap
kering dan bersih, pastikan nutrisi pasien terpenuhi, membantu
dalam pemberian diit pasien, ubah posisi pasien dengan hati- hati
setiap 2 jam sekali, lakukan perawatan kulit dengan massage
efflurage dengan VCO 2 kali sehari yang dilakukan setelah
memandikan pasien pada pagi hari dan sore hari, mengajarkan
keluarga melakukan perawatan kulit dengan menggunakan VCO,
memberikan penkes tentang nutrisi yang baik untuk pasien,
memberikan penkes tentang makanan dan pola makan yang baik
bagi pasien.

5. Evaluasi Keperawatan
Berdasarkan implementasi yang dilakukan pada Tn. Z yang dilakukan
pada tanggang 16 Februari 2020 sampai 25 Februari 2020 evaluasi dari
kelima diagnosa yang muncul adalah:
a. Diagnosa 1: bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekret
tertahan. Setelah dilakukan implementasi keperawatan didapatkan
evaluasi hari keenam yaitu, S: keluarga pasien mengatan sesak
nafas pasien sudah berkurang dan tidak ada air liur yang keluar jika
pasien di miringkan O: RR: 22 kali/ menit, tidak ada bunyi suara

Poltekkes Kemenkes
6

tambahan, sesak nafas sudah berkurang, PO2: 95 mmHg, PCO2:


38 mmHg, TD: 108/ 61 mmHg, nadi: 85 kali/ menit, tidak ada
sputum. A: masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian. P:
intervensi monitor kepatenan jalan nafas dilanjutkan.

b. Diagnosa 2: risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan


dengan cedera kepala. Setelah dilakukan implementasi
keperawatan didapatkan evaluasi hari kesepuluh yaitu S: keluarga
mengatakan pasien sadar penuh dan sudah banyak berbicara. O:
pasien sudah sadar penuh, TD: 110/ 70 mmHg, nadi: 80 kali/
menit, suhu: 36,5˚c, pernafasan: 19 kali/menit, GCS 15, CRT < 2
detik. A: masalah risiko perfusi serebral tidak efektif teratasi
sebagian, P: intervensi di anjurkan untuk dilakukan di rumah
karena pasien pulang.

c. Dianosa 3: gangguan pertukaran gas berhubungan dengan


ketidakseimbangan ventilasi- risiko perfusi serebral tidak efektif.
Setelah dilakukan implementasi keperawatan didapatkan evaluasi
pada hari keenam yaitu S: keluarga mengatakan pasien sudah lebih
baik, tidak sesak nafas lagi. O: pernafasan 22 kali/ menit, tidak ada
bunyi suara tambahan, sesak nafas sudah berkurang, pola nafas
tidak teratur, PO2: 95 mmHg, PCO2: 38 mmHg, TD: 108/ 61
mmHg, nadi: 85 kali/ menit. A: masalah gangguan pertukaran gas
teratasi sebagian P: intervensi terapi oksigen dilanjutkan.

d. Diagnosa 4: hipertermi berhubungan dengan respon trauma.


Setelah dilakukan implementasi keperawatan didapatkan evaluasi
hari keempat yaitu, S: keluarga pasien mengatakan badan pasien
sudah tidak panas lagi. O: tubuh pasien tidak terapa panas, suhu
tubuh: 36,9˚c, TD: 155/ 85 mmHg, nadi 92 x/menit, pernafasan: 23
x/menit intake: 1800cc, output: 1800 cc, A: masalah hipertermi
teratasi sebagian P: intervensi pemantauan cairan dilanjutkan.

Poltekkes Kemenkes
6

e. Diagnosa 5: risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan


imobilitas fisik. Setelah dilakukan implementasi keperawatan
didapatkan evaluasi hari kesepuluh yaitu, S: Pasien mengatakan
badan sudah lebih enak. O: pasien tampak sadar penuh, pasien
tampak lemah, GCS 15, suhu tubuh: 36,5˚c, kulit terlihat bersih,
tidak ada merah pada daerah tonjolan tulang atau titik tekan, seprai
bersih dan rapi. A: masalah risiko luka tekan teratasi sebagian. P:
intervensi di sarankan untuk di lanujutkan di rumah, karena pasien
pulang.

C. Pembahasan
Setelah didapatkan data pasien dengan metode wawancara, observasi,
studi dokumentasi serta pemeriksaan pada satu orang partisipan melalu
pendekatan proses keperawatan pengkajian, menegakkan diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, maka peneliti akan
membahas mengenai kesenjangan antara teori dengan kasus yang
ditemukan pada pasien cedera kepala, yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses
keperawatan dan merupakan proses pengumpulan data yang sistematis
dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan pasien (Nursalam, 2011).

Pasien barnama Tn.Z, berusia 13 tahun, berjenis kelamin laki-laki,


lahir di Muara bangun, 12 – 12 - 2006, belum menikah, beragama
islam, pendidikan masih berada di bangku SD, dan alamat pasien
Muara bangun padang gelugur pasaman. Pasien dengan no MR:
01.07.xx.xx.

Poltekkes Kemenkes
6

Menurut teori yang dikemukakan oleh Brunner & Suddart (2013),


mengatakan bahwa yang berisiko tinggi mengalami cedera kepala
adalah laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan
2:1.
Menurut penelitian Usi (2010), cedera kepala lebih sering terjadi
kepada laki- laki (74,5%) dan perempuan (25,5%) dan dalam
penelitian Jamal dan Hidayat, (2014), di RSU dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh, terdapat 67% pasien laik- laki dan 33% pasien
perempuan yang mengalami cedera kepala.
Menurut peneliti kasus yang ditemukan sejalan dengan teori dan
penelitian yang ada sebelumnya kasus yang ditemukan oleh peneliti
terjadi pada pasien laki- laki.

Pasien masuk rumah sakit dengan diagnosa medis CKB GCS 8 +


edema cerebri. Pasien masuk melalui IGD RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 16 Februari 2020 pukul 04.40 WIB, rujukan
RSUD Pratama Pasaman dengan penurunan kesadaran. Pasien
mengalami kecelakaan tunggal 22.00 WIB, terdapat luka pada kepala,
luka lecet pada tangan dan kaki, dengan TD: 141/ 75 mmHg, nadi 97
kali/menit, pernafasan 42 kali/ menit dan suhu 37˚c .

Keluhan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Bahrudin


(2017), tanda gejala yang temukan pada pasien cedera kepala adalah
terjadinya kerusakan pada kulit kepala dan jaringan subkutan, tulang
tengkorak, jaringan otak, saraf otak dan pembuluh darah. Menurut
teori Suddarth (2017) pasien dengan cedera kepala datang kerumah
sakit dengan keluhan penurunan kesadaran, muntah, nyeri kepala,
keluarnya darah dari hidung, telinga dan muntah, perubahan pola
nafas, perubahan tekanan darah, perubahan suhu tubuh, mengalami
gangguan sensori, gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ikhsan (2019), yang berjudul


“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat Di RSUP Dr.

Poltekkes Kemenkes
6

M. Djamil Padang” keluhan utama yang ditemukan pada pasien cedera


kepala berat mengalami penurunan kesadaran, mengalami muntah,
keluarnya darah pada telinga dan hidung pasien dan terdapat luka lecet
di ekstremitas pasien

Menurut analisa peneliti terdapat kesamaan pada keluhan utama antara


teori dengan kasus yang ditemukan yaitu sama-sama mengalami
penurun kesadaran, terdapat luka di kulit kepala, pola nafas berubah
dan perubahan tekanan darah.

Pada saat dilakukan pengkajian Minggu 16 Februari 2020 pukul 13.00


WIB, pasien hari rawatan pertama di HCU Bedah, keluarga
mengatakan pasien belum sadar, dari awal kejadian sampai sekarang,
keluarga mengatakan pasien tampak sesak nafas, kadang ujung kaki
pasien teraba dingin dan pasien tampak gelisah.

Hasil pengkajian ini sesuai dengan teori menurut Muttaqin, (2011),


ditemukan penurunan kesadaran (GCS<15), letargis, sakit kepala yang
hebat. Biasanya diikuti oleh disfungsi neurologis seperti wajah tidak
simetris, lemah, paralysis, hilangnya keseimbangan, sulit untuk
mengenggam, kesulitan mengecap atau membaui dan sulit menelan.
selain itu juga adanya fraktur pada kepala yang menyebabkan
pendarahan akibat cedera benda tajam atau tumpul.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ikhsan (2019), yang berjudul


“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat Di RSUP Dr.
M. Djamil Padang” pasien cedera kepala mengalami penurunan
kesadaran, sesak nafas, akral digin, dan pasien tampak pucat.
Menurut peneliti terdapat kesamaan antara teori dengan kasus yang
ditemukan pada saat pengkajian yaitu pasien mengalami penurunan
kesadaran.

Poltekkes Kemenkes
6

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada Tn. Z didapatkan hasil sebagai


berikut: keadaan umum pasien tidak sadar dengan GCS 8 (E2M4V2)
dengan tingkat kesadaran delirium, tekanan darah 134/77 mmHg, nadi
116 kali/menit, pernafasan 30 kali/menit dan suhu tubuh 38˚c. Pada
pemeriksaan kepala terdapat luka yang sudah di jahit di temporal
bagian kanan di atas telinga, konjungtiva tampak anemis, terdapat luka
di pelipis mata kiri klien sepanjang 3 cm yang sudah dijahit di rumah
sakit sebelumnya, terpasang NGT, dan tampak kotor, mulut pasien
tampak kering dan pecah- pecah. Pada ekstremitas atas terdapat luka
lecet di punggung tangan kanan, CRT >2, kekuatan otot tangan tidak
dapat di nilai karena pasien gelisah dan terpasang restrain, esktremitas
bawah akral teraba dingin, CRT >2, kekuatan otot kaki tidak bisa di
nilai karna pasien gelisah dan terpasang restrain.
Pada hari kedua tingkat kesadaran pasien menurun GCS 5, suhu tubuh
meningkat 39˚c dan mengalami kejang pada malam hari, terdapat
sekret berlebih di jalan nafas, adanya bunyi suara tamabahan (ronki),
pasien terpasang OPA, pernafasan pasien abnormal.

Berdasarakan teori yang dikemukakan oleh Bahrudin (2017), pada


pemeriksaan fisik yang akan mengalami masalah dan perlu untuk
dikaji adalah penurunan tingkat kesadaran, gangguan kognitif,
gangguan neurologis, terjadi pendarahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh ikhsan (2019), yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat Di RSUP Dr.
M. Djamil Padang” pada pemeriksaan fisik pasien cedera kepala berat
mengalami penurunan kesadaran, tidak ada pendarahan aktif, wajah
terlihat puvat, konjungtiva anemis, aktal teraba dingin, mengalami
gangguan neurologis, tidak semua penilaian nervus bisa dilkukan.

Menurut analisa peneliti terdapat kesamaan antara teori dan kasus


yaitu sama-sama mengalami penurunan kesadaran, gangguan

Poltekkes Kemenkes
6

neurologis dan tidak semua pemeriksaan nervusdapat dilakukan pada


pasien.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Februari 2020 : leukosit


27,68 103/mm3, trombosit 427 103/mm3, APTT 26,7 detik,SGOT 257
u/l, SGPT 143 u/l, PCO2 48 mmHg, PO2 108 mmHg, ph 7,55, HCO3
28,5 mmol/L, SO2c 95%. Pada pemeriksaan rongent terdapat nya
edema di dalam otak.

Berdasarkan teori menurut Satyanegara (2010), dari data penunjang


yang dilakukan akan terjadi peningkatan leukosit karena terjadinya
infeksi, penurunan hemoglobin, abnormalnya PCO2 dan PO2, karena
terjadi pendarahandan ganguan asam basa karena gangguan
pernafasan, pada pemeriksaan CT-scen akan terlihat hematom pada
berbagai lapisan kepala dan otak. Menurut peneliti terdapat kesamaan
antara teori dengan kasus yang ditemukan yaitu terjadinya peningkatan
leukosit, abnormalnya PCO2 dan PO2.

Terapi pengobatan yang diterima oleh Tn. Z adalah ceftriakson 2x1g,


paracetamol 3x500gr, ranitindine 2x500, manitol 3x125mg, fenitoin 3x
100, levofloxacin 1x 750 dan nacl 0,9% 3 kolf/24 jam.

Berdasarkan teori menurut Satyanegara (2010), salah satu penanganan


cedera kepala yaitu kolaborasi dalam pemberian obat-obatan, seperti
dexameason/ kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral,
terapi hiperventilasi (pada trauma berat) untuk mengurangi
vasodilatasi, pengobatan anti edema dengan hipertonis, seperti manitol
20%, ataugliserol 10%, antibiotic yang mengandung barier darah otak
(penisilin atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole, vit K
untuk terapi menghentikan pendarahan. Menurut peneliti terdapat
kesamaan antara teori dengan kasus dimana terdapat sama-sama
menggunakan manitol untuk mengurangi edema padaotak.

Poltekkes Kemenkes
6

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian dan observasi yang dilakukan peneliti
ditemukan beberapa masalah keperawatan pada Tn.Z yaitu:
a. Masalah pertama yang ditemukan pada Tn. Z adalah bersihan jalan
nafas b.d sekret tertahan d.d bunyi nafas ronki, produksi sputum
berlebih, pola nafas abnormal, gelisah dan penurunan kesadaran.
Dengan data subjektif keluarga mengatakan anaknya tampak sesak
nafas dan mengatakan sekret pasien keluar sendiri ketika pasien di
miringkan. Data objektif pasien tampak sesak nafas, adanya bunyi
suara nafas tambahan (ronki), produksi sputum berlebih, frekuensi
nafas 25x/ menit, pasien mengalami penurunan kesadaran dan
tampak gelisah.

Menurut teori pasien cedera kepala mengalami penurunan


kesadaran, terjadinya obstruksi pada jalan nafas dan adanya
produksi sputum yang berlebih menghambat jalan nafas, pastikan
kepatenan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala dan leher
yang tepat, tinggikan 30˚ untuk meningkatkan ekskursi dada.
Tanda dan gejalanya bunyi nafas (ronki, mengi, wheezing) Stillell,
(2011). Menurut paneliti kasus yang ditemukan sama dengan teori.

b. Masalah kedua yang ditemukan pada Tn.Z adalah risiko perfusi


serebral tidak efektif b.d cedera kepala d.d tingkat kesadaran yang
menurun, sakit kepala, tekanan darah meningkat, pernafasan
ireguler, nadi meningkat dan terdapat luka di temporal kanan.
Ditandai dengan data subjektif keluarga pasien mengatakan pasien
belum sadar, pasien gelisah, dan data objektif pasien tampak tidak
sadar, tingkat kesadaran GCS 8, TD: 133/74 mmHg, suhu tubuh
38˚c, nadi 116 x/menit, pernapasan 30 x/menit, dan terdapat luka di
temporal kanan pasien.

Poltekkes Kemenkes
6

Dalam teori Arif Fadhila, dkk (2016), dikatakan risiko perfusi


serebral tidak afektif dimana keadaan yang beriko mengalami
penurunan sirkulasi darah ke otak, yang di awali dengan penurunan
kapasitas adaptif intracranial adalah gangguan mekanisme
mekanika intracranial dalam melakukan kompensasi terhadap
stimulus yang dapat menurunkan kapasitas intrakaranial.
Dengan tanda dan gejala mayor yaitu tekanan darah meningkat,
bradikardi, tingkatkesadaran menurun, refleks neurologis
terganggu dan tanda gejala minor yaitu gelisah, peningkatan TIK,
lemah dan lesu. Menurut peneliti terdapat kesamaan kasus yang di
temukan dengan teori.

c. Masalah ketiga yang ditemukan pada Tn. Z adalah gangguan


pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi- risiko perfusi
serebral tidak efektif d.d penurunan tingkat kesadaran, gelisah,
tekanan darah meningkat, pernafasan ireguler, nadi meningkat,
PCO2 meningkat, PO2 meningkat dan bunyi nafas tambahan.
Ditandai dengan data subjektif keluarga mentakan anaknya tampak
susah bernafas, anaknya belum sadar dan mengatakan anaknya
tampak gelisah, data objektif pasien tampak sesak, pernapasan 30
x/menit, terpasang oksigen NRM, PCO2 48 mmHg, PO2 108
mmHg, HCO3 28,5 mmol/L, pernapassan tidak teratur, mengalami
penurunan kesadran.

Dalam teori Bararah (2014), konsentrasi oksigen dan


karbondioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah/
tinggi, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi.
Penurunan/ tingginya PCO2 akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokontriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF
(cerebral blood fluid). Menurut peneliti adanya kesesuaian antara
teori dan kasus yang di temukan dengan pasien yaitu PO2 yang
naik 108 mmHg, dan PCO2 48 mmHg.

Poltekkes Kemenkes
6

d. Masalah keempat yang ditemukan pada Tn. Z adalah hipertermi


b.d respon trauma d.d suhu tubuh di atas nilai normal, nadi cepat,
kulit teraba hangat. Dengan data subjektif keluarga mengatakan
pasien teraba panas dan mengatakan anaknya gelisah, data objektif
yang di temukan suhu 38˚c, nadai 116x/menit, badan teraba panas,
leukosit meningkat 17,98 103/mm3.

Dalam teori Arif Fadhila, dkk (2016), dikatakan bahwa hipertermia


adalah suhu tubuh meningkat diatas normal tubuh. Dengan tanda
dan gejala mayor yaitu suhu tubuh diatas rentang normal dan tanda
gejala minor yaitu kulit merah, kejang, takikardi, takipnea dan kulit
terasa hangat. Hal ini sejalan dengan Styanegara (2010), yaitu
ketika terjadi peningkatan suhu tubuh yang tejadi pada penderita
cedera kepala maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan
pengeluaran cairan dalam sel ke luar selyang akan mempengaruhi
tekanan intracranial. Menurut peneliti hal ini sejalan antara
hipertermi yang dialami oleh Tn.Z dengan teori yang ada.

e. Masalah keperawatan kelima yang ditemukan pada Tn. Z adalah


risiko luka tekan b.d penurunan imobilitas fisik d.d penurunan
imobilitas fisik, suhu meningkat, penurunan kesadaran, penekanan
di atas tonjolan tulang. Dengan data subjektif keluarga mengatakan
pasien tidak sadar dan pasien terbaring lemah, data objektif yang
ditemukan pasien tampak tidak sadar, penurunan imobilitas fisik,
semua aktivitas ADL dibantu oleh keluarga dan perawat.

Menurut teori pasien cedera kepala mengalami ketidakmampuan


untuk beraktivitas sehingga mengalami gangguan mobilisasi dan
memungkinkan terjadinya perubahan bahkan kerusakan neurologi
berat. Ketidakmampuan pasien cedera kepala dengan gangguan
mobilisasi membuat pasien hanya berbaring saja tanpa mampu
untuk mengubah posisi. Efek dari gangguan mobilisasi akan
mempengaruhi pada kondisi psikologis dan fisiologis pasien. Salah

Poltekkes Kemenkes
7

satu pengaruh secara fisiologis adalah perubahan sistem


integument seperti terjadinya ulkus dekubitus ( Hidayat & Uliyah,
2013). Menurut peneliti kasus yang ditemukan sejalan dengan teori
yang ada.

3. Intervensi keperawatan
a. Diagnosa 1: bersihan jalan nafas b.d sekret tertahan. Menurut
Persatuan Perawat Indonesia (2017), rencana keperawatan untuk
bersihan jalan nafas dengan tujuan, bersihan jalan nafas: klien
mampu batuk efektif, produksi sputum menurun, mengi, wheezing
menurun, dispnea menurun, sulit bicara bisa membaik, sianosis
menurun, gelisah menurun, frekuensi nafas membaik. Perukaran
gas: dispnea menurun, pusing menurun, gelisah menurun, Pco2
membaik, Po2 membaik, takikardia membaik, sianosis membaik,
pola nafas membaik, warna kulit membaik.

Intervensi, manajemen jalan napas: monitor pola nafas (frekuensi,


kedalaman, usaha napas), monitor bunyi napas tambahan (mis,
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering), monitor sputum
(jumlah, warna, aroma), pertahankan kepatenan jalan napas dengan
head-tilt dan chin-lift (jaw- thrust jika di curigai trauma servikal),
posisikan semi fowler atau fowler, berikan minuman hangat,
lakukan fisioterapi dada, lakukan pengisapan lendir, lakukan
hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal, berikan oksigen
jika perlu. Penghisapan jalan nafas: identifikasi kebutuhan
dilakukan penghisapan, auskultasi sebelum dan sesudah
penghisapan, monitor status oksigenasi, status neurologis (tekanan
intrakranial, tekanan perfusi serebral), monitor catat jumlah dan
konsistensi sekret, gunakan teknik aseptik, gunakan prosedur steril
dan disposibel, gunakan teknik penghisapan tertutup, sesuai
indikasi, lakukan penghisapan lebih dari 15 detik, lakukan
penghisapan ETT dengan tekanan rendah, hentikan penghisapan

Poltekkes Kemenkes
7

jika mengalami kondisi- kondisi seperti bradikardi, penurunan


saturasi.

Menurut teori Susilo (2019), intervensi yang dapat dilakukan pada


diagnosa tidakefektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan sekret yaitu kaji kelancaran jalan nafas setiap 15
menit, evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada setiap 1 jam,
lakukan penghisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak dan lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam.

Menurut penelitian Priyono (2019), yang berjudul “Asuhan


Keperawatan Pada Klien Cedera Otak Berat Dengan Bersihan
Jalan Nafas Tidak Efektif di Ruang High Care Unit RSUD Bangil
Pasuruan” pada pasien cedera kepala berat dilakukan intervensi
bersihan jalan nafas monitoring TTV dan membantu klien dalam
mengeluarkan eksudat dan menejemen energi meliputi pembatasan
aktivitas, monitoring intake nutrisi, dan batasi stimulasi
lingkungan. Efektif dilakukan pada pasien yang membuat keadaan
pasien semakin membaik.

Menurut analisa peneliti, intervensi yang ada diteori sama dengan


yang dilakukan peneliti dengan tujuan bersihan jalan nafas dan
pertukaran gas membaik. Berdasarkan intervensi yang dilakukan
pada Tn. Z ada kesinambungan yang terjadi dengan teori.

b. Diagnosa 2: risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala.


Menurut Persatuan Perawat Indonesia (2017), rencana keperawatan
untuk risiko perfusi serebral tidak efektif dengan tujuan, perfusi
serebral: tingkat kesadaran kognitif meningkat, tekanan
intrakranial menurun, sakit kepala menurun, gelisah menurun,
kecemasan menurun, agitasi menurun, demam menurun, tekanan
darah membaik reflek saraf membaik. Status neurologis: tingkat

Poltekkes Kemenkes
7

kesadaran meningkat, reaksi pupil meningkat, status kognitif


meningkat, kontrol motorik pusat meningkat, fungsi sensorik dan
motorik kranial meningkat, fungsi sensorik dan motorik spinal
meningkat, hipertermi menurun, pucat menurun, sindrom horner
menurun, pandangan kabur menurun.

Intervensi, manajeman peningkatan tekanan intrakranial:


iIdentifikasi penyebab peningkatan TIK, monitor tanda dan gejala
peningkatan TIK, kolaborasi dalam monitor MAP (Mean Arterial
Pressure), kolaborasi dalam monitir CPP (Cerebral Perpusion
Pressure), kolaborasi dalam monitor gelombang ICP, monitor
status pernapasan, monitor intake dan output cairan, monitor cairan
serebro-spinalis minimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang terang berikan posisi semi fowler. Pemantauan
neurologis: monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan, dan raektifitas
pupil, monitor tingkat kesadaran (GCS), monitor ingatan terakhir,
rentang perhatian, memori masa lalu, mood dan perilaku, monitor
tanda- tanda vital, monitor reflek kornea, monitor kekuatan
pegangan, monitor kesimetrisan wajah, monitor karakteristik
bicara, kelancaran, kefihan, atau kesulitan mencari kata, monitor
respons babinski, monitor respons cushing.

Menurut Susilo (2019), intervensi yang dilakukan pada pasien


yang mengalami cedera kepala dengan diagnosa gangguan perfusi
serebral berhubungan dengan edema otak yaitu monitor dan catat
status neorologis dengan menggunakan metode GCS, amati respon
motorik, amati pergerakan mata, amati reaksi pupil. Hal ini sesuai
dengan Suddarth (2017), yaitu untuk mencegah terjadinya cedera
sekunder dan membantu otak dalam mengkompensasi maka
penting untuk mengontrol TIK, meningkankan oksigenasi,kaji
kemungkinan peningkatan TIK, kolaborasidalam pennggunaan

Poltekkes Kemenkes
7

manitol menjaga kesimbangan elektrolit, mengontrol nyeri, dan


mengelevasikan tempat tidur.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sumarno (2016), yang


berjudul “ Glasgow Coma Scale (GCS), Tekanan Darah dan Kadar
Hemoglobin Sebagi Prediktor Kematian Pada Pasien Cedera
Kepala” mengatakan pemantauan GCS sangat penting karena GCS
merupakan factor yang paling dominan dan dapatdigunakan
sebagai predictor kematian pasien cedera kepala.

Menurut analisa peneliti, intervensi yang ada diteori sama dengan


yang dilakukan peneliti dengan tujuanperfusi serebral dan status
neurologis membaik. Berdasarkan intervensi yang dilakukan pada
Tn. Z ada kesinambungan yang terjadi dengan teori.

c. Diagnosa 3: gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan


ventilasi- risiko perfusi serebral tidak efektif. Menurut Persatuan
Perawat Indonesia (2017), rencana keperawatan untuk gangguan
pertukaran gas dengan tujuan, pertukaran gas: dispne menurun,
bunyi nafas tambahan tidak ada, pusing menurun, gelisah menurun,
nafas cuping hidung menurun, PCO2 membaik, PO2 membaik,
takikardi membaik, sianosis membaik, pola nafas membaik, warna
kulit membaik.

Intervensi, pemantauan respirasi: monitor frekuensi, irama dan


upaya nafas, monitor pola nafas (seperti bradipnea, takipnea,
monitor kemampuan batuk efektif, monitor adanya produksi
sputum, monitor adanya sumbatan jalan nafas, palpasi kesimetrisan
ekspansi paru, auskultasi bunyi nafas, monitor saturasi oksigen,
monitor nilai AGD. Terapi oksigen: monitor kecepatan aliran
oksigen, monitor posisi alat terapi oksigen, monitor aliran oksigen
secara periodik dan pastikan fraksi yang diberikan cukup, monitor
efektifitas terapi oksigen, monitor tanda- tanda hipoventilasi,

Poltekkes Kemenkes
7

monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen,


bersihkan sekret pada mulut, hidung jika perlu, pertahankan
kepatenan jalan nafas.

Menurut penelitian Alit (2015), yang berjudul “Pengaruh


Pemberian Oksigen Melalui Masker Sederhana dan Posisi Kepala
30º. Terhadap Perubahan Tingkat Kesadaran Pada Pasien Cedera
Kepala Sedang. Di RSUD Ulin Banjarmasin 2015” Adanya
pengaruh pemberian oksigen melalui masker sederhana dan posisi
kepala 30° terhadap perubahan tingkat kesadaran dan nilai GCS
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pemberian oksigen
melalui masker sederhana dan posisi kepala 30° pada pasien cedera
kepala.

Menurut analisa peneliti, intervensi yang ada diteori sama dengan


yang dilakukan peneliti dengan tujuan pertukaran gas membaik.
Berdasarkan intervensi yang dilakukan pada Tn. Z ada
kesinambungan yang terjadi dengan teori.

d. Diagnosa 4: hipertermi b.d respon trauma. Menurut Persatuan


Perawat Indonesia (2017), rencana keperawatan untuk hipertermi
dengan tujuan, termoregulasi: menggigil tidak ada, kejang tidak
ada, kulit merah tidak ada, takikardi menurun, hipoksia tidak ada,
suhu tubuh menurun, pengisian kapiler membaik, tekanan darah
normal.

Intervensi, manajeman hipertermia: identifikasi penyebab


hipertermia, monitor suhu tubuh, monitor kadar elektrolit, monitor
pengeluaran urine, longgarkan atau lepas lepaskan pakaian, basahi
atau kipas permukaan tubuh, berikan oksigen, kolaborasi dalam
pemberian obat dan cairan, monitor tekanan darah, frekuensi
pernafasan dan nadi. Pemantauan cairan: monitor frekuensi dan

Poltekkes Kemenkes
7

kekuatan nadi, monitor frekuensi nafas, monitor tekanan darah,


monitor berat badan, monitor pengisian kapiler, monitor elastisitas
atau turgor kulit, monitor jumlah dan warna urine, monitor kadar
albumin dan protein total, monitor intake dan output.

Peningkatan suhu tubuh dapat mempengaruhi peningkatan


metabolime otak, akan mempengaruhi dalam peningkatan cairan
intrasel dalam otak,yang akan meningkatkan TIK, dan dapat
berujung kepada herniasis otak jikakasus terus berlanjut
(Styanegara, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2015), yang berjudul


“Perbedaan Efek Kompres Selimut Basah dan Cold-pack
terhadapSuhu TubuhPasien Cedera KepaladiNeurosurgical Critical
Care Unit” mengatakan metode kompres menggunakanselimut
basah dengan suhu kamar, menggunakan kecepatan kompres
selama 20 menit adalah 0,1˚C sehingga jauh lebih efektif dan
semakin lama waktu yang digunakan untuk pengompresan,
penurunan suhu tubuh yang dimungkinkan akan semakin
bertambah.

Menurut analisa peneliti, intervensi yang ada diteori sama dengan


yang dilakukan peneliti dengan tujuan termoregulasi seperti
menggigil tidak ada dan kejang tidak ada. Berdasarkan intervensi
yang dilakukan pada Tn. Z ada kesinambungan yang terjadi dengan
teori.

e. Diagnosa 5: risiko luka tekan b.d penurunan imobilitas fisik.


Menurut Persatuan Perawat Indonesia (2017), rencana keperawatan
untuk resiko luka tekan dengan tujuan, Integritas kulit dan
jaringan: nyeri menurun, pigmentasi abnormal menurun, jaringan
parut menurun, nekrosis menurun, suhu kulit membaik, tekstur
membaik, elastisitas meningkat, hidrasi meningkat, perfusi
jaringan meningkat.

Poltekkes Kemenkes
7

Intervensi, pencegahan luka tekan: periksa adanya luka tekan


sebelumnya, monitor suhu kulit yang tertekan, monitor status kulit
harian, monitor kulit di atas tonjolan tulang atau titik tekan saat
mengubah posisi, monitor sumber tekanan dan gesekan, keringkan
daerah kulit yang lembab akibat keringat, cairan luka, dan
inkontinensia fekal/urin, ubah posisi dengan hati- hati setiap 1-2
jam, buat jadwal perubahan posisi, jaga seprai tetap kering, bersih
dan tidak ada lipatan/ kerutan, pastikan asupan makanan yang
cukup terutama protein, vit B, vit C, zat besi dan kalori. Perawatan
integritas kulit: identifikasi penyebab gangguan integritas kulit,
ubah posisi taip 2 jam jika tirah baring, lakukan massage efflurage
dengan VCO (Jurnal Setiani, 2014 efektifitas massage dengan
VCO terhadap pencegahan luka tekan di intensive care unit),
bersihkan perineal dengan air hangat, gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak pada kulit kering, gunakan produk berbahan
ringan/ alami dan hipoalergik pada kulit sensitive, hindari produk
berbahan dasar alkohol pada kulit kering.

Menurut teori Susilo (2019), intervensi yang dapat dilakukan pada


pasien cedera kepala dengan diagnosa risiko tinggi gangguan
integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik tidak adekuat
yaitu kaji fungsi motorik dan sensorik pasien, sirkulas ferifer,
pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien, kaji daerah kulit
yang berisiko lecet dan ubah posisi pasien secara berkala.

Menurut panelitian yang dilakukan oleh Setiani (2014), yang


berjudul “Efektivitas Massage Dengan Virgin Coconut Oil
Terhadap Pencegahan Luka Tekan Di Intensive Care Unit”
mengatakan perlakuan massage efuflurage dengan VCO dapat
mecegah luka tekan sehingga dapat diterapkan dalam perawatan
pasien.

Poltekkes Kemenkes
7

Menurut analisa peneliti, intervensi yang ada diteori sama dengan


yang dilakukan peneliti dengan tujuan integritas kulit dan jaringan
membaik dan tidak terjadi permasalahan. Berdasarkan intervensi
yang dilakukan pada Tn. Z ada kesinambungan yang terjadi dengan
teori.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah tahap melakukan rencana
keperawatan yang telah dibuat. Adapun kegiatan yang ada dalam
tahap implementasi meliputi pengkajian ulang, mempengaruhi data
dasar, meninjau dan merivisi rencana asuhan keperawatan yang
direncanakan (Taqiyyah & Mohammad, 2013). Peneliti melakukan
implementasi keperawatan berdasarkan tindakan yang telah
direncanakan sebelumnya. Implementasi keperawatan yang dilakukan
pada partisipan dimulai tanggal 16-25 Februari 2019.

Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan tidak semua keperawatan


dilakukan oleh peneliti karena peneliti tidak merawat pasien 24 jam.
Peneliti melakukan studi dokumentasi terhadap tindakan yang telah
dilakukan perawat ruangan umumnya sudah sesuai dengan intervensi
yang ada pada SIKI.

a. Diagnosa 1: bersihan jalan nafas b.d sekret tertahan implementasi


yang dilakukan adalah memonitor pola nafas (frekeunsi, kedalaman
dan usaha nafas), monitor adanya bunyi nafas tambahan (gurgling,
ronki, wheezing), monitor sputum (jumlah, banyak, warna),
posisikan pasien semi fowler dengan 30˚, melakukan suction,
auskultasi sebelum dan sesudah pengisapan sekret, menggunakan
teknik aseptik saat melakukan suction, melakukukan menghisapan
lebih dari 15 detik, monitor input uotput cairan.

Poltekkes Kemenkes
7

Menurut penelitian Savitri (2012), implementasi yang dilakukan


pada pasien cedera kepala dengan masalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas yaitu mengkaji kelancaran jalan nafas dengan
auskultasi dada dan evaluasi pergerakan dada, menghisap lendir,
dengan melakukan suction pada pasien.

Menurut analisa peneliti, implementasi yang peneliti lakukan sama


dengan penelitian diatas, yaitu memonitor pola nafas, adanya bunyi
nafas tambahan, memonitor produksi sputum dan melakukan
suction untuk melancarkan jalan nafas.

b. Diagnosa 2: risiko perfusi serebral tidak efektif b.d cedera kepala,


implementasi yang dilakukan adalah memonitor tingkat GCS,
memonitor TTV, monitor status pernafasan: frekuensi, irama,
kedalaman, PO2, PCO2, PH darah, kolaborasi pemberian diuretik
osmotik manitol 3x 150g, monitor MAP, memberikan Nacl 0,9% 3
kolf/24 jam, mengelevasikan kepala 30˚, monitor intake output,
monitor PT, APTT, memberikan penkes kepada keluarga dan
pasien sebelum pulang, memberikan penkes kepada keluarga
tentang tanda gejala terjadinya peningkatan TIK pada pasien seperti
terjadinya sakit kepala, adanya mual muntah, menganjurkan
keluarga untuk selalu memperhatikan tingkat kesadaran pasien,
melatih ingatan pasien, seperti tentang lingkungan dan masa lalu,
menganjurkan keluarga untuk memperhatikan tingkat kekuatan otot
seperti cara berjalan, memberikan informasi tentang kontrol
kesehatan sesuai jadwal yang telah di anjurkan, mengajurkan
keluarga untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2013), yang


berjudul “Mannitoluntuk Hiperensi Intrakranial pada Cedera Otak
Traumatik:apakah masih diperlukan?” mengatakan berdasarkan
The Brain Trauma Foundation mannitol tetep digunakan dalam

Poltekkes Kemenkes
7

pengunaan hipertensi intracranial, karena penggunaan mannitol


mampu menurunkan volume otak dan TIK, mengurangi viskositas
darah, meningkatkan aliran darah otak,sehingga akan
memperbaiki pasokan oksigen.

Menurut analisa peneliti, implementasi yang peneliti lakukan sama


dengan penelitian diatas, yaitu kolaborasi pemberian diuretik
osmotik manitol 3x 150 g, monitor MAP, memberikan Nacl 0,9%
3 kolf/24 jam, mengelevasikan kepala 30˚, memonitor tingkat
GCS, memonitor TTV, monitor status pernafasan: frekuensi,
irama, kedalaman, PO2, PCO2 dan PH darah.

c. Diagnosa 3: gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan


ventilasi- risiko perfusi serebral tidak efektif, implementasi yang
dilakukan adalah memposisikan pasien semi fowler, inspeksi
pergerakan dinding dada, mengauskultasi suara nafas, memonitor
suara tambahan , memonitor pola nafas, mengelola penggunaan
oksigen, memonitor status pernafasan, memberikan oksigen NRM
10L/ menit, memonitor aliran oksigen, membersihkan mulut dan
hidung, mengamati tanda- tanda hipoventilasi (mis: nafas pendek
atau cepat).

Di dalam penelitian Hendrizal dkk (2014), yang berjudul “Pengaruh


Terapi Oksigen Menggunakan Non-Rebreathing Mask Terhadap
Tekanan Parsial CO2 Darah pada Pasien Cedera Kepala
Sedang”terapi oksigen mengunakan NRM dapat meningkatkan
fraksi inspirasi oksigen lebih dari 90% sehingga pengaruh
penggunaan NRM ini juga akan menurunkan tekanan parsial gas
dalam alveoli. Tingginya PO2 dalam alveoli juga menimbulkan
efek Halden dimana tekanan parsial oksigen yang tinggi akan
meningkatkan pelepasan ikatan CO2 dengan haemoglobin dalam
darah.

Poltekkes Kemenkes
8

Menurut analisa peneliti, implementasi yang peneliti lakukan sama


dengan penelitian diatas, yaitu memberikan oksigen NRM 10L/
menit, serta memonitor aliran oksigen, membersihkan mulut dan
hidung, mengamati tanda- tanda hipoventilasi (mis: nafas pendek
atau cepat), memposisikan pasien semi fowler, inspeksi pergerakan
dinding dada, mengauskultasi suara nafas, memonitor suara
tambahan , memonitor pola nafas, mengelola penggunaan oksigen,
memonitor status pernafasan.

d. Diagnosa 4: hipertermi b.d respon trauma, implementasi yang


dilakukan adalah monitor suhu tubuh dan tanda- tanda vital secara
berkala, memantau suhu tubuh dan warna kulit, memonitor intake
dan output, kolaborasi dalam pemberian PCT 3x 500 mg,
memberikan NaCl 0,9% 3 kolf/ 24 jam, menjaga suhu lingkungan
dengan suhu kamar agar menghambat metabolisme dan
meningkatkan kenyamanan, memonitor nilai leukosit, menjelaskan
kepada keluarga tentang penggunaan komres hangat, melakukan
kompres hangat pada area kepala.

Menurut penelitian Ika & Yoseph (2018), yang berjudul “Kompres


Hangat Sebagai Penurun Suhu Tubuh Pasien Trauma Kepala”
bahwa kompres hangat efektif untuk menurunkan suhu tubuh
pasien trauma kepala. Kompres hangat dapat digunakan sebagai
penurun suhu tubuh pada pasien trauma kepala.

Menurut analisa peneliti, implementasi yang peneliti lakukan sama


dengan penelitian diatas, yaitu melakukan kompres hangat pada
area kepala, serta memonitor suhu tubuh dan tanda- tanda vital
secara berkala, memantau suhu tubuh dan warna kulit, memonitor
intake dan output, kolaborasi dalam pemberian PCT 3x 500 mg,
memberikan NaCl 0,9% 3 kolf/ 24 jam, menjaga suhu lingkungan

Poltekkes Kemenkes
8

dengan suhu kamar agar menghambat metabolisme dan


meningkatkan kenyamanan, memonitor nilai leukosit.

e. Diagnosa 5: risiko luka tekan b.d penurunan imobilitas,


implementasi yang dilakukan adalah identifikasi adakah luka tekan
sebelumnya, monitor suhu tubuh, monitor warna kulit pada daerah
tonjolan tulang atau titik tekan, jaga lingkungan/ seprai pasien agar
tetap kering dan bersih, pastikan nutrisi pasien terpenuhi,
membantu dalam pemberian diit pasien, ubah posisi pasien dengan
hati- hati setiap 2 jam sekali, melakukan perawatan kulit dengan
massage efflurage dengan VCO 2 kali sehari yang dilakukan
setelah memandikan pasien pada pagi hari dan sore hari ,
mengajarkan keluarga melakukan perawatan kulit dengan
menggunakan VCO, memberikan penkes tentang nutrisi yang baik
untuk pasien, memberikan penkes tentang makanan dan pola
makan yang baik bagi pasien.

Dalam penelitian Handayani (2011), mengatakan penggunaan


Virgin Coconut Oil (VCO) dengan pijat ringan, efektif digunakan
dalam pencegahan luka tekangrade I pada klien yang berisiko
mengalami luka tekan di Rumah Sakit.
Hasil penelitian Novilla (2017), hasil kromatografi gas
spektrometri massa, asam lemak yang terkandung dalam VCO
tersebut yaitu asam kaproat (0,187%), asam siklopropanapentanoat
(1,12%), asam nonanoat (0.54%), asam laurat (32,73%), asam
miristat (28.55%), asam palmitat (17.16%), asam oleat (14.09%),
dan asam oktadekanoat (5.68%). Asam lemak jenuh dan tidak
jenuh dalam VCO terbukti dapat menghambat pertumbuhan jamur
Candida albicans.

Poltekkes Kemenkes
8

Menurut analisa peneliti, implementasi yang peneliti lakukan sama


dengan penelitian diatas, yaitu melakukan perawatan kulit dengan
pijat ringan menggunakan VCO, serta memonitor suhu tubuh,
monitor warna kulit pada daerah tonjolan tulang atau titik tekan,
menjaga lingkungan/ seprai pasien agar tetap kering dan bersih,
memastikan nutrisi pasien terpenuhi, membantu dalam pemberian
diit pasien dan mengubah posisi pasien dengan hati- hati setiap 2
jam sekali.

5. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan langakah terahir dalam proses
keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan
dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Pada teori maupun
kasus dalam membuat evaluasi disusun berdasarkan tujuan dan
kriteria hasil yang ingin dicapai. Dimana pada kasus peneliti
melakukan evaluasi dari tindakan keperawatan yang dilakukan
Selama sepuluh hari. Tahap evaluasi merupakan langkah terahir dalam
proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana
tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak (Taqiyyah &
Mohammad, 2013).
Evaluasi yang didapatkan pada partisipan yaitu:
a. Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa bersihan jalan
nafas b.d sekrte tertahan adalah bersihan jalan nafas: klien mampu
batuk efektif, produksi sputum menurun, mengi, wheezing
menurun, dispnea menurun, sulit bicara bisa membaik, sianosis
menurun, gelisah menurun, frekuensi nafas membaik. Perukaran
gas: dispnea menurun, pusing menurun, gelisah menurun, Pco2
membaik, Po2 membaik, takikardia membaik, sianosis membaik,
pola nafas membaik, warna kulit membaik.

Pada kasus Tn. Z pada hari keempat bunyi nafas tambahan ronki
sudah mulai berkurang. Pada hari keenam sudah tidak ada lagi
bunyi suara tambahan, pernafasan 22 x/ menit, sesak nafas sudah

Poltekkes Kemenkes
8

berkurang, PO2 95 mmHg, PCO2 38 mmHg, TD: 108/61 mmHg,


nadi 85 x/ menit, tidak ada stupum. kriteria hasil yang diharapkan
pada bersihan jalan nafas dan pertukaran gas teratasi sebagian, dan
intervensi di lanjutkan.

b. Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa risiko perfusi


serebral tidak efektif b.d cedera kepala adalah perfusi serebral:
tingkat kesadaran kognitif meningkat, tekanan intrakranial
menurun, sakit kepala menurun, gelisah menurun, kecemasan
menurun, agitasi menurun, demam menurun, tekanan darah
membaik reflek saraf membaik. Status neurologis: tingkat
kesadaran meningkat, reaksi pupil meningkat, status kognitif
meningkat, kontrol motorik pusat meningkat, fungsi sensorik dan
motorik kranial meningkat, fungsi sensorik dan motorik spinal
meningkat, hipertermi menurun, pucat menurun, sindrom horner
menurun, pandangan kabur menurun.

Pada kasus Tn. Z pada hari kedua GCS pasien menurun menjadi 5
dan pada hari kesepuluh pasien sadar sepenuhnya dengan GCS 15,
TD: 110/70 mmHg, nadi 80 x/ menit, suhu 36,5˚c, pernafasan 19x/
menit, CRT < 2 detikkriteria hasil yang diharapkan pada tingkat
kesadaran kognitif meningkat dan status neurologis tercapai dengan
baik, masalah belum teratasi dan intervensi disarankan untuk di
lanjutkan di rumah.

c. Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa gangguan


pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi- risiko perfusi
serebral tidak efektif adalah pertukaran gas: dispne menurun, bunyi
nafas tambahan tidak ada, pusing menurun, gelisah menurun, nafas
cuping hidung menurun, PCO2 membaik, PO2 membaik, takikardi
membaik, sianosis membaik, pola nafas membaik, warna kulit
membaik.

Poltekkes Kemenkes
8

Pada kasus Tn. Z, pada hari ketiga PCO2 meningkat 244 mmHg,
dan PCO2 menrun 34 mmHg. Pada hari keempat penggunaan
oksigen di ganti menjadi simple mask 7 L dan pada hari keenam
keadaan pasien sudah mulai membaik penggunaan oksigen diganti
menjadi nasal kanul 5 L pernafasan sudah mulai membaik 22x/
menit, tidak ada bunyi suara tambahan, PO2 95 mmHg, PCO2 38
mmHg, kriteris hasil yang diharapkan pada pertukaran gas sudah
tercapai dengan baik pada hari ketujuh pasien oksigen dengan
menggunakan nasal kanul 2 L dan pada hari kesembilan pasien
sudah bernafas dengan baik tanpa menggunakan oksigen, intervensi
dilanjutkan.

d. Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa hipertermi b.d


respon trauma adalah termoregulasi: menggigil tidak ada, kejang
tidak ada, kulit merah tidak ada, takikardi menurun, hipoksia tidak
ada, suhu tubuh menurun, pengisian kapiler membaik, tekanan
darah normal.
Pada kasus Tn. Z pada hari kedua suhu pasien meningkat menjadi
39˚c dan pasien juga mengalami kejang, pada hari keempat suhu
sudah kembali normal 36,9˚c, pernafasan 23x/ menit, intake 1800
cc, output 1800 cc,nadi 92x/ menit, TD 155/85 mmHg, kriteria
hasil yang di harapkan pada termoregulasi tercapai dengan baik.

e. Kriteria hasil yang harus dicapai untuk diagnosa risiko luka tekan
b.d penurunan imobiltitas adalah integritas kulit dan jaringan: nyeri
menurun, pigmentasi abnormal menurun, jaringan parut menurun,
nekrosis menurun, suhu kulit membaik, tekstur membaik,
elastisitas meningkat, hidrasi meningkat, perfusi jaringan
meningkat.
Pada kasus Tn. Z pada hari kesepuluh pasien sudah sadar
sepenuhnya GCS 15, sudah bisa duduk walaupun masih tampak
lemah, suhu tubuh 36,5˚c, kulit terlihat bersih dan tidak ada
kemerahan pada daerah tonjolan tulang atau titik tekan, dengan

Poltekkes Kemenkes
8

perawatan kulit dengan massage efflurage dengan VCO


pencegahan terjadinya luka dekubitus berhasil dilakukan, kriteria
hasil yang diharapkan tercapai dengan baik dan intervensi
dianjurkan untuk dilanjutkan di rumah.

Poltekkes Kemenkes
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian- uraian pada BAB terdahulu peneliti mengambil


kesimpulan bahwa:
1. Pada pengkajian pasien cedera kepala didapatkan data yaitu pasien
mengalami penurunan kesadaran, gelisah, terdapat luka dikepala,
terjadinya peningkatan intrakranial, perubahan tanda- tanda vital dan
kerusakan neurologis.
2. Rumusan diagnosis keperawatan yang muncul yaitu bersihan jalan
nafas berhubungan dengan sekret yang tertahan, risiko perfusi serebral
tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala, gangguan pertukaran
gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi- risiko perfusi
serebral tidak efektif, hipertermi berhubungan dengan respon trauma
dan risiko luka tekan berhubungan dengan penurunan imobilitas fisik.
3. Tahap perencanaan keperawatan hampir semua rencana tindakan
dilakukan, yaitu: manajemen jalan nafas, penghisapan jalan nafas,
manajeman peningkatan tekanan intrakranial, pemantauan neurologis,
pemantauan respirasi, terapi oksigen, manajeman hipertermia,
pemantauan cairan, pencegahan luka tekan dan perawatan integritas
kulit menggunakan VCO.
4. Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan yang telah dibuat dan didokumentasikan pada catatan
perkembangan, seperti: manajemen jalan nafas, penghisapan jalan
nafas, manajeman peningkatan tekanan intrakranial, pemantauan
neurologis, pemantauan respirasi, terapi oksigen, manajeman
hipertermia, pemantauan cairan pencegahan luka tekan dan perawatan
integritas kulit menggunakan VCO.
5. Pada tahap evaluasi pada pasien cedera kepala yang didapatkan
peneliti adalah masalah keperawatan bersihan jalan nafas, risiko
perfusi serebral tidak efektif, gangguan pertukaran gas, hipertermi, dan
risiko luka tekan menggunakan VCO teratasi sebagian.

8 Poltekkes Kemenkes
8

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas peneliti memeberikan saran sebagai
berikut:
1. Bagi peneliti
Diharapkan penelitian ini menambah kemampuan dan pengalaman
peneliti dalam keperawatan medikal bedah terutama pada kasus cedera
kepala, serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan peneliti
tentang penerapan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala.
2. Bagi rumah sakit
a. Bagi pimpinan rumah sakit
Diharapkan melalui pimpinan RSUP dr. M Djamil Padang untuk
menjadikan intervensi perawatan kulit dengan menggunakan VCO
dalam bagian dari SOP ruangan yang membantu mengatasi
masalah risiko luka tekan pada pasien tirah baring, disetiap
melakukan asuhan keperawatan yang diberikan perawat di rumah
sakit kepada pasien.
b. Bagi perawat HCU bedah
Kepada perawat ruangan HCU Bedah RSUP dr. M Djamil Padang
diharapkan untuk mempertahankan dan lebih meningkatkan
pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien, terutama
pada pasien dengan cedera kepala.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini, dapat menambah studi kepustakaan
dan menjadi masukan yang berarti dan bermanfaat bagi mahasiswa
Poltekkes Kemenkes Padang khususnya Jurusan Keperawatan.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai data dasar dan pembanding pada penelitian
selanjutnya tentang cedera kepala.

Poltekkes Kemenkes
8

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta:


Salemba Medika.
Anugoro, Dito. 2014. 45 Penyakit dan Gangguan Saraf. Yogyakarta:
Rapha Publishing.

Bahrudin. 2017. Neurologi Klinik. Malang: Universitas Muhammadiyah


Malang.
Barbara, K. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses
dan Praktik edisi VII Volume I. Jakarta : EGC.
Bararah & Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi
Perawat Profesional Jilid 2. Jakarta: Prestasi pustakaraya.

Bisri, D. Y. (2013). Mannito Untuk Hipertensi Intracranial Pada


Cedera Otak Traumatik: Apakah Masih Diperlukan. Jurnal
Neuroanatesia Indonesia, 2, 177–187.

Fadhila, Arif dkk. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. edisi


1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI

Firdaus, Fakhry Zamzam. 2018. Aplikasi Metode Penelitian. Yogayakarta:


CV Budi Utama.
Gajah Mada University Press. 2015. Buku Ajar Neurologi Klinis.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press Anggota IKAPI.
Handayani, et al. 2011. Pencegahan Luka Tekan Melalui Pijat
Menggunakan Virgin Coconut Oil. Di Rumah Sakit AB Provinsi
Lampung. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 14, No. 3,
November 2011; hal 141-148.
Huliyat, A. & Uliyah, M. 2014. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia.
Jakarta: Salemba Medika.
Hendrizal, dkk. 2014. Pengaruh Terapi Oksigen Menggunakan Non-
reabreathing Mask Terhadap Parsial CO2 Darah Pada Pasien
Cedera Kepala Sedang. Jurnal kesehatan andalas 2014;(3).

Ikhsan, Hidayatul. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera


Kepala di Ruang HCU Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Poltekkes Kemenkes RI Padang: Padang.

Jasa, Z. K, Jamal, F., & Hidayat, I. (2012). Luaran Pasien Cedera Kepala
Berat yang dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma
atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh Postoperative Outcome Of Patient with Severe Traumatic

Poltekkes Kemenkes
8

Brain Injury Undergoing Craniotomy to Evacuate. Jurnal


Neuroanestesi Indonesia, 3(1), 8-14.
Krisanty paula, D. 2014. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Trans info Media.
Margareth, TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta: Nurha Medika.
Nurdin, ismail, D. 2019. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Media
Sahabat Cendekia.
Novilla, et al. 2017. Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa Murni
(Virgin Coconut Olil) Yang Berpotensi sebagai Anti Kandidiasis.
Jurnal Edu Chemia,Vol.2, No.2, Juli 2017.
Padila. 2012. Buku Ajar Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter, PA, Perry, A. G, Stockert, P. A. Hall, A.M. 2013. Fundamental of
Nursing. 8th ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Mosby.
PPNI. 2017 Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Defenisi dan
Indikator Diagnosa, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defenisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Defnisi dan
Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Pupung. 2009. Efek Massage pada Peredaran Darah, Lympa, Kulit dan
Jaringan Otot.

Pratiwi, S. H. (2015). Perbedaan Efek Kompres Selimut Basah dan Cold-


pack terhadap Suhu Tubuh Pasien Cedera Kepala Di Neurosurgical
Critical Care Unit. Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran,
3, 158–165.

Priyono, dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Otak Beat
Dengan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif Di Ruang High Care
Unit RSUD Bangil Pasuruan.

Rahmawat, Ika & Agung, Yoseph. 2018. Kompres Hangat Sebagai


Penurun Suhu Tubuh Pasien Trauma Kepala. Adi Husada Nursing
Journal, Vol.4, NO.2, Desember 2018.

Riskesdas. (2018). Riskesdas 2018. Kementrian Kesehatan RI.


Rosnita & Maria. 2014. Mobilitas Dan timbulnya Luka Tekan Pada
Pasien Tirah Baring. Di Rumah Sakit di Jakarta. Journal Tita
Rosnita, FIK UI.

Poltekkes Kemenkes
8

Savitri, Nadia Citra. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Post


Craniotomy dengan Diagnosa Cedera Kepala Berat (CKB) di
Intensive Care Unit (ICU) RSUD. DR. MOEWARDI di Surakarta.

Susilo, catur budi. (2019). Keperawatan Medikal Bedah Persarafan.


yogyakarya: Pustaka Baru Press.

Suddarth, B. (2017).keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.


Stillwell, Susan B. 2011. Pedoman Keperawatan Kritis Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Setiani, Diah. 2014. Efektifitas Massage Dengan Virgin Coconut Oil
Terhadap Pencegahan Luka Tekan Di Intensive Care Unit (ICU) di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Kalimantan Timur.
Jurnal Husada Mahakam, Vol III, no.8, hal 389-442.
Styanegara. (2010). Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia.
Suddrart, B. 2017. Keperawatan Mediakal Bedah. Jakarta:
EGC.
Sumarno, M. (2016). Glasgow Coma Scale (GCS), Tekana Darah dan
Kadr Hemoglobin Sebagai Ptediktor Kematian Pada Pasien Cedera
Kepala. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 12, 132–143.

Susan, S. 2011. Pedoman Keperawatan Krisis (3rd ed). Jakarta: EGC.


Sutanto & Yuni. 2017. Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta: Pustaka
Baru Press.

Suyanto, E. (2018). Hubungan Kadar Serum Interleukin-10 dan Kadar


Leukosi Darah Perifer Pada Pasien Cedera Otak Berat Akibat
Trauma. Online First.

Suwandewi, Alit dkk. 2015. Pengaruh Pemberian Oksigen Melalui


Masker Sederhana dan Posisi Kepala 30˚ Terdahap Perubahan
Tingkat Kesadaran Pada Pasien Cedera Kepala Sedang di RSUD
Ulin Banjarmasin. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Banjarmasin 2015.

Spilsbury, K., dkk. Pressure Ulcers andTheir Treatment And effects On


QualityOf Life : Hospital Inpatient Perspectives.Journal of
advanced nursing volume 57.2010: number; 5 page 494-
504.Retrieved fromhttp://www.ebscohost.com/uph.edu.
Tarjo. 2019. Metode Penelitian Sistem 3X Baca. Yogayakarta: CV Budi
Utama.
Tarwoto & Wartonah. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Poltekkes Kemenkes
8

Usi, S. (2010). Korelasi Antara Neuron-Specific Enolase Serum dan


Glasgow Coma Scale Di Pasien Cedera Kepala. Indonesian Journal
of Clinical Patholgy and Medical Laboratory, 17, 1–60.

Wijaya & Yessie. 2013. KMB2 Keperawatan Medikal Bedah


(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nurha Medika.

Poltekkes Kemenkes

Anda mungkin juga menyukai