LAPORAN PENDAHULUAN
ST-SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)
Oleh:
ASWEDI WINARDI
NIM: R015231007
SYAHRUL NINGRAT S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB SYAHRANI SAID, S.Kep., Ns., M.Kep,Sp.KV
LAPORAN PENDAHULUAN
STEMI
A. Epidemiologi
Secara global infark miokard akut (IMA) menunjukkan insidensi ST-segment
elevation myocardial infarction (STEMI) menurun, sedangkan insidensi Non-ST-
segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) meningkat. Sekitar 3 juta orang
menderita STEMI, dan sekitar 4 juta orang menderita NSTEMI. Setiap tahun, di
Amerika Serikat terjadi IMA sekitar 650.000 kasus, sedangkan di Inggris sekitar
180.000 kasus. Di India, epidemiologi IMA lebih tinggi akibat faktor genetik dan
gaya hidup yaitu mencapai 64,37/1.000 orang
(Anderson & Morrow, 2017; Ibanez et al., 2018; Kolachi et al., 20
. Sedangkan, di Indonesia laporan riset kesehatan
dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung secara umum di Indonesia
berada pada angka 1,5%, termasuk IMA dan sindrom koroner akut,. Prevalensi
penyakit jantung terbesar berada di provinsi Kalimantan Utara sebesar 2,2%,
Yogyakarta 2,0%, dan Gorontalo 2,0% (Kemenkes RI, 2018) . Dengan demikian
angka prevalensi IMA dapat mempengaruhi mortalitas pasien.
Mortalitas IMA dipengaruhi faktor usia, klasifikasi Killip, waktu dilakukan tata
laksana, keberadaan fasilitas kesehatan, dan adanya komorbiditas pada pasien.
Usia rata-rata terjadinya IMA pertama kali adalah 65,1 tahun untuk pria dan 72
tahun untuk Wanita (Mozaffarian et al., 2016) . Sekitar 38% pasien yang datang ke
rumah sakit dengan sindrom koroner akut mengalami STEMI
(Mozaffarian et al., 2016)
. Angka kematian akibat IMA masih berada pada tingkatan yang tinggi, di
mana sebagian besar kematian terjadi sebelum pasien sempat datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Mortalitas pasien dalam 12 bulan pertama akibat henti
jantung mendadak setelah kejadian IMA berkisar 5−10%, di mana 50% pasien
IMA membutuhkan perawatan ulang di rumah sakit dalam rentang satu tahun
setelah serangan pertama (Ibanez et al., 2018; Mechanic et al., 2023) .
B. Defenisi
IMA merupakan kejadian nekrosis miokard yang disebabkan oleh sindrom
iskemik tak stabil. IMA disebabkan kerusakan ireversibel pada otot jantung akibat
pasokan oksigen yang kurang. Keberadaan infark miokard dapat mengganggu
fungsi sistolik maupun diastolik, dan meningkatkan risiko aritmia pada pasien
(Mechanic et al., 2023) . IMA dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan
elevasi segmen ST, yaitu:
2
D. Manifestasi Klinis
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina
tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang
dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin. Angina pektoris adalah
“jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat
kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada
dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau
kedua tangan, leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan
angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang sesudah
makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan
kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien
sedang beristirahat (PERKI, 2018a)
Rasa nyeri hebat sekali seperti terbakar, ditekan ditindih beban
berat, seperti ditusuk rasa diperas atau dipelintir. menambahkan penjalaran
biasanya merambah ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung, / interskapula, perut, dan juga menjalar ke lengan kanan.
penderita dapat merasa gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.
Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini
dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit,
namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin (PERKI, 2018a)
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau
sedikit meningkat. Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke
volume yang dipompa jantung. Volume dan denyut nadi cepat, namun
pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi
dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal
selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal (PERKI, 2018a)
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-
4
otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan
intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2
merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan
seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada
pasien infark miokard transmural tipe STEMI
(Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
Disfungsi ventrikel kiri dapat terjadi pada fase akut dan subakut dari
STEMI. Hal ini dapat transient ataupun persisten tergantung durasi iskemik
dan komplitnya reperfusi. Perbaikan fungsi ventrikel biasanya terjadi
setelah terapi reperfusi yang berhasil namun dapat terjadi setelah
beberapa minggu dan tidak selalu dapat terjadi perbaikan. Disfungsi sistolik
ventrikel kiri merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada STEMI
dan merupakan prediktor kuta mortalitas. Disfungsi ventrikel kiri ini dapat
tidak memberikan gejala atau dapat menyebabkan heart failure. Diagnosis
dapat melalui klinis dan pemeriksaan penunjang seperti echocardiography.
Pada pasien ini pada klinis tidak didapatkan ronchi dan pada pemeriksaan
echocardiography didapatkan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri
dengan EF 49,2%. (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
5
faktor von willebrand dan fibrinogen dimana keduanya adalah molekul multivalent
yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan. Menghasilkan ikatan
silang platelet yang dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissuefactor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konkersi protrombin menjadi trombin yang kemudian mengonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terkibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yangdisebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner
dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
F. Diagnosa Keperawatan (Tim Pokja SDKI DPP, 2017)
1. D.0008 Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama
jantung, perubahan frekuensi jantung, perubahan kontraktilitas, perubahan
preload, perubahan afterload
2. D0003 Gangguan pertukaran gas berhubungan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi, perubahan membran alveolus-kapiler.
3. D.0005 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
hambatan upaya napas, penurunan energi
4. D.0022 Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan, gangguan
mekanisme regulasi, kelebihan asupan natrium, gangguan aliran balik vena, efek
agen farmakologis
5. D.0077 Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
6. D.0056 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
7. D.0111 Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi,
ketidakadekuatan menemukan sumber informasi, kurang mampu mengingat
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan
EKG di IGD merupakan landasan dalam memperkuat keputusan terapi karena
bukti kuat menunjukkan gambaranelevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG
awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
7
terjadi difusi bebas dari isi sel ke dalam interstisium yang mungkin
disebabkan rusaknya seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel
disebabkan proses glikolisis. pH intrasel menurun dan kemudian diikut i oleh
pelepasan dan akt ifasi enzim-enzim proteolitik lisosom. Perubahan pH dan
akt ifasi enzim proteolitik menyebabkan disintegrasi struktur intraseluler dan
degradasi protein terikat. Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan
miokard akibat iskemia, cTnT dari sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran
darah. Keadaaan ini berlangsung terus menerus selama 30 jam sampai
persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila terjadi iskemia yang persisten, maka
sel mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah proteolisis yang
melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa pelepasan
cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun
(PERKI, 2018a)
H. Modalitas Farmakologis
1. Penatalaksanaan farmakologi pra-rumah sakit
Pemberian fibrinolitik di ambulanspraRS akan mengurangi tingkat
kematian bila dibandingkan dengan pemberian fibrinolitik di RS, sehingga
strategi reperfusi ini telah di adopsi sebagai strategi yangbaik. Pendekatan
strategi ini dalam praktek rutin seharihari telah dilakukan di Perancis dan
dicatat dalam registri USIC. Registri USIC ini melaporkan bahwa pasien yang
diterapi dengan fibrinolitik praRS mempunyai angka survival yang lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang menjalani intervensi koroner perkutan
primer.
Penelitian CAPTIM (Comparison of Angioplasty and Prehospital
Thrombolysis In Myocardial infarction) yang dilakukan secara acak pada
pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik prarumah sakit atau pasien
yang mendapat terapi IKP penyelamatan pasca kegagalan fibrinolitik, ternyata
dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan yang sama baiknya dan bahkan
lebih baik bila dibandingkan dengan pasien STEMI yang menjalani IKKP
(salah satunya mengurangi kejadian syok kardiogenik). Presentase pasien uji
klinis CAPTIM yang dirawat dengan terapi fibrinolitik kemudian mendapatkan
IKP penyelamatan dan intervensi koroner perkutan di rumah sakit adalah 26%
dan 60%. Demikian halnya dengan 20 persen pasien uji coba ASSENT4
(ASsessment of the Safety and Efficacy of New Treatment strategy4 trial) yang
secara acak mendapatkan fibrinolitik dosis penuh (tenecteplase) di ambulans
praRS yang dilanjutkan dengan facilitated PCI dan intervensi koroner perkutan
primer ternyata mempunyai luaran yang sama dengan mereka yang mengikuti
uji CAPTIM. Angka mortalitas dalam 30 hari facilitated PCI versus IKPP yaitu
3,1% vs 3,7%. Pasien yang memiliki awitan gejala angina kurang dari 23 jam,
maka prarumah sakit fibrinolitik yang disertai IKP penyelamatan dapat
menurunkan angka kematian sampai < 4%. Pencapaian tersebut menyerupai
pencapaian menggunakan intervensi koroner perkutan primer. Pelaksanaan
EKG prarumah sakit barubaru Ini juga telah direkomendasikan oleh American
Heart Association (Firdaus, 2011). (PERKI, 2018b)
2. Penatalaksanaan di rumah sakit (Umum)
11
halnya dengan durasi 2 hingga 4 jam. Jika dibandingkan dengan referensi 2 jam,
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam rebleeding situs akses atau RAO
dengan durasi yang lebih pendek atau lebih lama, tetapi estimasi titik mendukung
durasi yang lebih lama untuk rebleeding situs akses dan durasi yang lebih pendek
untuk RAO. Durasi <90 menit dan 90 menit menduduki peringkat 1 dan durasi 2
jam menduduki peringkat 2 sebagai durasi yang paling efektif, sedangkan durasi 2
jam menduduki peringkat 1 dan 2 hingga 4 jam menduduki peringkat 2 sebagai
durasi yang paling aman (Maqsood et al., 2023) . Sementara itu, bukti lainnya
adalah protokol inisiasi deflasi TR band yang ditunda diikuti dengan deflasi cepat
dikaitkan dengan waktu yang lebih rendah untuk melepas pita tanpa peningkatan
komplikasi perdarahan atau kepuasan pasien. Namun, staf lebih menyukai
interval yang lebih lama antara deflasi (Al Riyami et al., 2020) .
Dalam analisis 10 RCT yang melibatkan 4911 pasien, jika dibandingkan
dengan referensi durasi hemostasis 2 jam, durasi yang lebih pendek secara
signifikan meningkatkan risiko hematoma di lokasi akses. Meskipun tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik pada RAO dan perdarahan ulang di
lokasi akses, secara umum, estimasi titik lebih menyukai durasi yang lebih pendek
untuk RAO dan durasi yang lebih lama untuk perdarahan ulang. Durasi <90 menit
dan 90 menit menduduki peringkat 1 dan durasi 2 jam menduduki peringkat 2
sebagai hasil yang paling berkhasiat (dengan risiko RAO yang lebih rendah),
sedangkan durasi 2 jam menduduki peringkat 1 dan 2 hingga 4 jam (2-4 jam)
menduduki peringkat 2 sebagai durasi yang paling aman untuk hasil keamanan
primer (hematoma di lokasi akses). Plot klaster untuk hasil efikasi dan keamanan
gabungan menunjukkan bahwa keseimbangan optimal untuk efikasi dan
keamanan dicapai pada durasi 2 jam (Maqsood et al., 2023) .
TR-band mungkin merupakan salah satu perangkat kompresi yang paling
umum digunakan setelah prosedur koroner melalui jalur radial. Namun, seperti
disebutkan sebelumnya, tidak ada protokol yang jelas untuk menghentikan
penggunaan band ini (Al Riyami et al., 2020) . Ada berbagai protokol yang telah
dilaporkan, termasuk protokol akselerasi dan protokol standar serta protokol yang
bersifat individual sesuai obat yang diberikan selama prosedur, dengan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa protokol akselerasi aman dengan komplikasi
perdarahan yang sebanding (Al Riyami et al., 2020)
Protokol inisiasi deflasi pita TR yang terlambat diikuti dengan deflasi yang
sering dikaitkan dengan pelepasan pita yang lebih cepat dibandingkan dengan
inisiasi awal dengan deflasi yang lebih jarang. Hal ini dapat dijelaskan dengan
14
hemostasis yang lebih baik dengan kompresi yang lebih lama sehingga
menghasilkan pelepasan yang lebih cepat setelah deflasi dimulai. Penelitian
sebelumnya juga menunjukkan kompresi lengkap setidaknya 90-120 menit
sebelum deflasi dikaitkan dengan pelepasan pita yang lebih cepat
(Pancholy et al., 2016)
.
Ada banyak manfaat dari waktu pelepasan pita yang lebih singkat. Bagi
pasien, semakin cepat tali pengikat dilepas, semakin sedikit rasa tidak nyaman
yang mereka rasakan dan semakin cepat pula mereka dapat dilepas. Namun,
dalam suatu penelitian skor kepuasan pasien sama pada kedua kelompok. Waktu
pelepasan pita yang lebih pendek juga lebih disukai karena telah terbukti
berhubungan dengan insiden oklusi arteri radialis yang lebih rendah
(Al Riyami et al., 2020)
.
Jadi kesimpulannya: waktu pelepasan band yang dipercepat dapat
dibenarkan tetapi dengan pertimbangan yang cermat dalam hal menerima risiko
komplikasi perdarahan ringan. Pada pasien yang menjalani akses transradial
untuk angiografi koroner atau intervensi, durasi hemostasis selama 2 jam
menawarkan keseimbangan terbaik untuk efektivitas (pencegahan RAO) dan
keamanan (pencegahan hematoma/pendarahan di lokasi akses)
15
REFERENSI
Akbar, H., Foth, C., Kahloon, R. A., & Mountfort, S. (2023). Acute ST-Elevation
Myocardial Infarction.
Al Riyami, H., Al Riyami, A., & Nadar, S. K. (2020). Comparison between two protocols
for deflation of the TR band following coronary procedures via the radial route.
Journal of the Saudi Heart Association, 32(1). https://doi.org/10.37616/2212-
5043.1009
Anderson, J. L., & Morrow, D. A. (2017). Acute Myocardial Infarction. New England
Journal of Medicine, 376(21), 2053–2064.
https://doi.org/10.1056/NEJMra1606915
Hwang, C., & Levis, J. T. (2014). ECG Diagnosis: ST-Elevation Myocardial Infarction. The
Permanente Journal, 18(2). https://doi.org/10.7812/TPP/13-127
Ibanes B, James S, Agewall S, et all. (2017). ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J
(2018) 39, 119–177.
Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H., Caforio,
A. L. P., Crea, F., Goudevenos, J. A., Halvorsen, S., Hindricks, G., Kastrati, A., Lenzen,
M. J., Prescott, E., Roffi, M., Valgimigli, M., Varenhorst, C., Vranckx, P., Widimský, P.,
… Gale, C. P. (2018). 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart
Journal, 39(2), 119–177. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393
Kemenkes RI. (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan
Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018.
Kolachi, M., Ansari, Z. N., Hussain, T., Karim, I., Soomro, M. K., & Maheshwari, S. D.
(2021). Frequency of Modifiable and Non-Modifiable Risk Factors of ST elevation
Myocardial Infarction at Tertiary Care Hospital. Pakistan Journal of Medical and
Health Sciences, 15(9), 3040–3042. https://doi.org/10.53350/pjmhs211593040
Krishnamoorthy, R., Norman, S., Mohd Zaki, N., David, T., Lee, A., Shetty, P., Nguyen-
Dang, T., Danson, E., & Yeung, A. (2020). 865 Outcomes With Accelerated TR Band
Removal Time for Trans-Radial Cardiac Catheterisation. Heart, Lung and
Circulation, 29, S425–S426. https://doi.org/10.1016/j.hlc.2020.09.872
Lily, R. (2012). PENYAKIT KARDIOVASKULER (pkv) (A. U. Rahajoe, Ed.). FKUI.
Maqsood, M. H., Pancholy, S., Tuozzo, K. A., Moskowitz, N., Rao, S. V., & Bangalore, S.
(2023). Optimal Hemostatic Band Duration After Transradial Angiography or
Intervention: Insights From a Mixed Treatment Comparison Meta-Analysis of
Randomized Trials. Circulation: Cardiovascular Interventions, 16(2).
https://doi.org/10.1161/CIRCINTERVENTIONS.122.012781
Mechanic, O. J., Gavin, M., & Grossman, S. A. (2023). Acute Myocardial Infarction.
Mozaffarian, D., Benjamin, E. J., Go, A. S., Arnett, D. K., Blaha, M. J., Cushman, M., Das,
S. R., de Ferranti, S., Després, J.-P., Fullerton, H. J., Howard, V. J., Huffman, M. D.,
Isasi, C. R., Jiménez, M. C., Judd, S. E., Kissela, B. M., Lichtman, J. H., Lisabeth, L. D.,
Liu, S., … Turner, M. B. (2016). Heart Disease and Stroke Statistics—2016 Update.
Circulation, 133(4). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000350
Pancholy, S. B., Bernat, I., Bertrand, O. F., & Patel, T. M. (2016). Prevention of Radial
Artery Occlusion After Transradial Catheterization. JACC: Cardiovascular
Interventions, 9(19), 1992–1999. https://doi.org/10.1016/j.jcin.2016.07.020
16
PERKI. (2018a). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (4th ed.). Centra
Communications.
PERKI. (2018b). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (Ketiga). Centra
Communications. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehn416
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses PEnyakit.
EGC.
Thygesen, K., Alpert, J. S., Jaffe, A. S., Chaitman, B. R., Bax, J. J., Morrow, D. A., & White,
H. D. (2018). Fourth Universal Definition of Myocardial Infarction (2018).
Circulation, 138(20). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000617
Tim Pokja SDKI DPP, P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.