Anda di halaman 1dari 17

0

LAPORAN PENDAHULUAN
ST-SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)

Oleh:
ASWEDI WINARDI
NIM: R015231007

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR KLINIK

SYAHRUL NINGRAT S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB SYAHRANI SAID, S.Kep., Ns., M.Kep,Sp.KV

PROGRAM STUDI SPESIALIS KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
1

LAPORAN PENDAHULUAN
STEMI

A. Epidemiologi
Secara global infark miokard akut (IMA) menunjukkan insidensi ST-segment
elevation myocardial infarction (STEMI) menurun, sedangkan insidensi Non-ST-
segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) meningkat. Sekitar 3 juta orang
menderita STEMI, dan sekitar 4 juta orang menderita NSTEMI. Setiap tahun, di
Amerika Serikat terjadi IMA sekitar 650.000 kasus, sedangkan di Inggris sekitar
180.000 kasus. Di India, epidemiologi IMA lebih tinggi akibat faktor genetik dan
gaya hidup yaitu mencapai 64,37/1.000 orang
(Anderson & Morrow, 2017; Ibanez et al., 2018; Kolachi et al., 20
. Sedangkan, di Indonesia laporan riset kesehatan
dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung secara umum di Indonesia
berada pada angka 1,5%, termasuk IMA dan sindrom koroner akut,. Prevalensi
penyakit jantung terbesar berada di provinsi Kalimantan Utara sebesar 2,2%,
Yogyakarta 2,0%, dan Gorontalo 2,0% (Kemenkes RI, 2018) . Dengan demikian
angka prevalensi IMA dapat mempengaruhi mortalitas pasien.
Mortalitas IMA dipengaruhi faktor usia, klasifikasi Killip, waktu dilakukan tata
laksana, keberadaan fasilitas kesehatan, dan adanya komorbiditas pada pasien.
Usia rata-rata terjadinya IMA pertama kali adalah 65,1 tahun untuk pria dan 72
tahun untuk Wanita (Mozaffarian et al., 2016) . Sekitar 38% pasien yang datang ke
rumah sakit dengan sindrom koroner akut mengalami STEMI
(Mozaffarian et al., 2016)
. Angka kematian akibat IMA masih berada pada tingkatan yang tinggi, di
mana sebagian besar kematian terjadi sebelum pasien sempat datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Mortalitas pasien dalam 12 bulan pertama akibat henti
jantung mendadak setelah kejadian IMA berkisar 5−10%, di mana 50% pasien
IMA membutuhkan perawatan ulang di rumah sakit dalam rentang satu tahun
setelah serangan pertama (Ibanez et al., 2018; Mechanic et al., 2023) .
B. Defenisi
IMA merupakan kejadian nekrosis miokard yang disebabkan oleh sindrom
iskemik tak stabil. IMA disebabkan kerusakan ireversibel pada otot jantung akibat
pasokan oksigen yang kurang. Keberadaan infark miokard dapat mengganggu
fungsi sistolik maupun diastolik, dan meningkatkan risiko aritmia pada pasien
(Mechanic et al., 2023) . IMA dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan
elevasi segmen ST, yaitu:
2

1. ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI): Infark miokard dengan


gambaran elevasi segmen ST pada elektrokardiografi (EKG)
2. Non-ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI): Infark miokard
tanpa disertai gambaran elevasi segmen ST pada EKG (Thygesen et al., 2018)
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan oleh gejala karakteristik
iskemia miokard yang berhubungan dengan electrocardiographic ST elevation
(STE) yang persisten dan diikuti dengan pelepasan biomarker nekrosis miokard
(Hwang & Levis, 2014)
. STE merupakan penanda pengganti terbaik yang tersedia
saat itu juga untuk mendeteksi oklusi arteri koroner lengkap akut tanpa sirkulasi
kolateral, yang menandakan adanya daerah yang signifikan dari miokardium yang
terluka yang berisiko mengalami infark ireversibel dan membutuhkan terapi
reperfusi segera (Hwang & Levis, 2014)
.
C. Etiologi
STEMI terjadi karena oklusi satu atau lebih arteri koroner yang memasok
darah ke jantung. Penyebab gangguan aliran darah yang tiba-tiba ini biasanya
adalah pecahnya plak, erosi, retakan atau diseksi arteri koroner yang
mengakibatkan penyumbatan trombus. Faktor risiko utama STEMI adalah
dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, merokok, dan riwayat penyakit arteri
koroner dalam keluarga (Akbar et al., 2023) .
Infark miokard secara umum dapat diklasifikasikan dari MI Tipe 1 hingga
Tipe 5 berdasarkan etiologi dan patogenesisnya.
1. MI tipe 1 disebabkan oleh cedera miokard aterotrombotik koroner akut dengan
ruptur plak. Sebagian besar pasien dengan MI elevasi segmen ST (STEMI)
dan banyak pasien dengan MI elevasi segmen ST (NSTEMI) termasuk dalam
kategori ini.
2. MI tipe 2 adalah tipe MI yang paling umum ditemui dalam kondisi klinis dimana
terdapat ketidak sesuaian permintaan dan suplai yang mengakibatkan iskemia
miokard. Ketidak sesuaian pasokan permintaan ini dapat disebabkan oleh
berbagai alasan termasuk namun tidak terbatas pada adanya obstruksi koroner
stabil yang tetap, takikardia, hipoksia, atau stres. Namun, adanya obstruksi
koroner tetap tidak diperlukan. Etiologi potensial lainnya termasuk asospasme
koroner, embolus koroner, dan diseksi arteri koroner spontan (SCAD).
3. MI Tipe 3, Pasien kematian jantung mendadak yang meninggal sebelum
peningkatan troponin termasuk.
4. MI tipe 4 dan 5 terkait dengan prosedur revaskularisasi koroner seperti
Intervensi Koroner Perkutan (PCI) atau Bypass Arteri Koroner (CABG).
3

D. Manifestasi Klinis
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina
tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang
dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin. Angina pektoris adalah
“jeritan” otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat
kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada
dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau
kedua tangan, leher dan punggung. Faktor pencetus yang menyebabkan
angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang sesudah
makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan
kebutuhan oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien
sedang beristirahat (PERKI, 2018a)
Rasa nyeri hebat sekali seperti terbakar, ditekan ditindih beban
berat, seperti ditusuk rasa diperas atau dipelintir. menambahkan penjalaran
biasanya merambah ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung, / interskapula, perut, dan juga menjalar ke lengan kanan.
penderita dapat merasa gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.
Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini
dilakukan untuk menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit,
namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin (PERKI, 2018a)
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau
sedikit meningkat. Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke
volume yang dipompa jantung. Volume dan denyut nadi cepat, namun
pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi
dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal
selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal (PERKI, 2018a)
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-
4

otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan
intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2
merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan
seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada
pasien infark miokard transmural tipe STEMI
(Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan


indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung. (PERKI, 2018b). Kadar troponin
pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam
setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan
kadar troponin biasanya menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila
terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.
(Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)

Disfungsi ventrikel kiri dapat terjadi pada fase akut dan subakut dari
STEMI. Hal ini dapat transient ataupun persisten tergantung durasi iskemik
dan komplitnya reperfusi. Perbaikan fungsi ventrikel biasanya terjadi
setelah terapi reperfusi yang berhasil namun dapat terjadi setelah
beberapa minggu dan tidak selalu dapat terjadi perbaikan. Disfungsi sistolik
ventrikel kiri merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada STEMI
dan merupakan prediktor kuta mortalitas. Disfungsi ventrikel kiri ini dapat
tidak memberikan gejala atau dapat menyebabkan heart failure. Diagnosis
dapat melalui klinis dan pemeriksaan penunjang seperti echocardiography.
Pada pasien ini pada klinis tidak didapatkan ronchi dan pada pemeriksaan
echocardiography didapatkan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri
dengan EF 49,2%. (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
5

Penurunan fungsi ventrikel kiri mengakibatkan terjadinya penurunan


curah jantung yang selanjutnya menyebabkan teraktivasinya mekanisme
kompensasi neurohormonal yang bertujuan mengembalikan kinerja jantung
dalam memenuhi kebutuhan jaringan. Aktivasi sistem simpatis
menimbulkan peningkatan denyut jantung dan vasokontriksi perifer
sehingga curah jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi Renin-
Angiotensin- Aldosterone System (RAAS) menyebabkan vasokontriksi
(angiotensin) dan peningkatan volume darah melalui retensi air dan natrium
(aldosteron). Mekanisme kompensasi yang terus berlangsung ini akan
menyebabkan stress pada miokardium sehingga menyebabkan terjadinya
remodeling yang progresif, dan pada akhirnya dengan mekanisme
kompensasi pun jantung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan jaringan
(dekompensasi) (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
E. Patomekanisme
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu stemi
karena berkembangnya pembuluh darah kolateral spanjang waktu. Stemi terjadi
jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi
lipid (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami
fisur, rupture atau atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, dan akumulasi lipid. Sehingga terjadi trombus mular pada lokasi
rupture yan mengakibatkan oklusi koroner. Penelitian histologist menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai fibrosis cup yang tipis
dan kaya inti. Pada stemi gambaran patologi klasik terdiri dari fibrin rich red
trombus yang dipercaya menjadi dasar sehingga stemi memberikan respon terapi
trombolitik (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan koonformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai fungsi tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
6

faktor von willebrand dan fibrinogen dimana keduanya adalah molekul multivalent
yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan. Menghasilkan ikatan
silang platelet yang dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissuefactor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konkersi protrombin menjadi trombin yang kemudian mengonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terkibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yangdisebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner
dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
F. Diagnosa Keperawatan (Tim Pokja SDKI DPP, 2017)
1. D.0008 Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama
jantung, perubahan frekuensi jantung, perubahan kontraktilitas, perubahan
preload, perubahan afterload
2. D0003 Gangguan pertukaran gas berhubungan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi, perubahan membran alveolus-kapiler.
3. D.0005 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
hambatan upaya napas, penurunan energi
4. D.0022 Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan, gangguan
mekanisme regulasi, kelebihan asupan natrium, gangguan aliran balik vena, efek
agen farmakologis
5. D.0077 Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
6. D.0056 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
7. D.0111 Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi,
ketidakadekuatan menemukan sumber informasi, kurang mampu mengingat
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan
EKG di IGD merupakan landasan dalam memperkuat keputusan terapi karena
bukti kuat menunjukkan gambaranelevasi segmen ST dapat mengidentifikasi
pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG
awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
7

pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan uuntuk


mendeteksi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI
inferior, EKG sisi kana harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark
ventrikel kanan (Sudoyo, setiyohadi, Alwi, Marcellus, & Siti, 2009)
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST
mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
non Q. jika obstruksi trombus tidak total. Obstruksi dapat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya pasien tersebut mengalami angina
pectoris tak stabil atau NSTEMI. Pada pasien tanpa elevasi ST berkembang
tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. sebelumnya infark
miokard transmural digunakan jika gelombang EKG atau hilangnya gelombang R
dan infarkmiokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
gelombang segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada
korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural)
sehingga terminologi IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/nontransmural (Lily, 2012)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis
nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2 mm , minimal
pada 2 sandapan precordial yang berdampingan atau ≥ 1 mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama tropinim T yang meningkat,
memperkuat diagnosis. Namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi
tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana
IMA prinsip penatalaksanaan adalah time is muscle (Lily, 2012)
2. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilaksanakan sebagai dalam
tatalaksana pasien stemi namun tidak boleh menghambat implementasi
reperfusi (PERKI, 2018a)
a. Petanda (biomarker) kerusakan jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah kreatin kinase (CK)MB dan
cardiac spesific troponim (cTn) T atau Ctn I dan dilakukan secara serial. Ctn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan ST elevasi dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker.
8

b. Pertanda Biokimia Troponin T pada Infark Miokard


Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen
tipis aparatus kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit, yaitu
troponin T (39 kDa), troponin I (26 kDa), dan troponin C (18 kDa) (Maynard,
2000). Troponin C berikatan dengan ion Ca2+ dan berperan dalam proses
pengaturan aktifasi filamen tipis selama kontraksi otot jantung. Berat
molekulny adalah 18.000 Dalton. Troponin I yang berikatan dengan akt in,
berperan menghambat interaksi aktin miosin. Berat molekulnya adalah 24.000
Dalton. Troponin T yang berikatan dengan tropomiosin dan memfasilitasi
kontraksi, bekerja meregulasi kontraksi otot. Berat molekulnya adalah 37.000
Dalton. Struktur asam amino troponin T dan I yang ditemukan pada otot
jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal dalam hal
komposisi imunologis, sedangkan struktur troponin C pada otot jantung dan
skeletal identik (PERKI, 2018a)
Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi
yang tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan protein. Sitosol,
yang merupakan prekursor tempat pembentukan miofibril, memiliki 6% dari
total massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya (94%), cTnT berikatan
dalam miofibril. Dalam keadaan normal, kadar cTnT tidak terdeteksi dalam
darah. Keberadaan cTnT dalam darah diawali denga keluarnya cTnT bebas
bersamaan dengan sitosol yang keluar dari sel yang rusak. Selanjutnya cTnT
yang berikatan dengan miofibril terlepas, namun hal ini membutukan waktu
lebih lama (Ibanes B, James S, Agewall S, 2017)
Karena pelepasan cTnT terjadi dalam 2 tahap, maka perubahan
kadar cTnT pada infark miokard memiliki 2 puncak (bifasik). Puncak pertama
disebabkan oleh keluarnya cTnT bebas dari sitosol. Puncak kedua terjadi
karena pelepasan cTnT yang terikat pada miofibril. Oleh sebab itu, pelepasan
cTnT secara sempurna berlangsung lebih lama,sehingga jendela
diagnostiknya lebih besar dibanding pertanda jantung lainnya (PERKI, 2018a)
Berat dan lamanya iskemia miokard menentukan perubahan miokard
yang reversible atau irreversible. Pada iskemia miokard, glikolisis anaerob
dapat mencukupi kebutuhan fosfat energi tinggi dalam waktu relatif singkat.
Penghambatan proses transportasi yang dipengaruhi ATP dalam membran
sel menimbulkan pergeseran elektrolit, edema sel dan hilangnya integritas
membran sel. Dalam hal kerusakan sel ini, mula-mula akan terjadi pelepasan
protein yang terurai bebas dalam sitosol melalui transpor vesikular. Setelah itu
9

terjadi difusi bebas dari isi sel ke dalam interstisium yang mungkin
disebabkan rusaknya seluruh membran sel. Peningkatan kadar laktat intrasel
disebabkan proses glikolisis. pH intrasel menurun dan kemudian diikut i oleh
pelepasan dan akt ifasi enzim-enzim proteolitik lisosom. Perubahan pH dan
akt ifasi enzim proteolitik menyebabkan disintegrasi struktur intraseluler dan
degradasi protein terikat. Manifestasinya adalah jika terjadi kerusakan
miokard akibat iskemia, cTnT dari sitoplasma dilepaskan ke dalam aliran
darah. Keadaaan ini berlangsung terus menerus selama 30 jam sampai
persediaan cTnT sitoplasma habis. Bila terjadi iskemia yang persisten, maka
sel mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah proteolisis yang
melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa pelepasan
cTnT ini berlangsung 30-90 jam, lalu perlahan-lahan kadarnya turun
(PERKI, 2018a)

Peningkatan kadar cTnT terdeteksi 3-4 jam setelah jejas miokard


Kadar cTnT mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas (Samsu, 2007).
Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari (Ramrakha, 2006). cTnT tetap
meningkat kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB. cTnT membutuhkan
waktu 5-15 hari untuk kembali normal (Samsu, 2007). Diagnosis infark
miokard ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT dalam 12 jam sebesar ≥0.03
µg/L, dengan atau tanpa disertai gambaran iskemi atau infark pada lembaran
EKG dan nyeri dada (PERKI, 2018b)
Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
1) Ctn : ada 2 jenis Ctn T dan Ctn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bil ada
infark miokard dan mencapai puncaknya dalam 10-24 jam dan Ctn T masih
dapat terdeteksi setelah 5-14 hari, sedangkan CTn I setelah 5-10 hari.
2) Mioglobin : dapat dideteksi sat jam setelah infark dan mencapai puncak
dalam 24-48 jam.
3) Creatin kinase meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembli normal setelah dalam 3-4
hari.
4) Lactine dehydrogenase (LDH) meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark
miokard,mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
5) CKMB : meningkat setelah 3 jambila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jham dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
10

6) Reaksi nonspesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis PMN yang


terjadi dalam beberapa jam setelah onset dan menetap sampai selama 3-7
hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul. (PERKI, 2018b)
.

H. Modalitas Farmakologis
1. Penatalaksanaan farmakologi pra-rumah sakit
Pemberian fibrinolitik di ambulanspraRS akan mengurangi tingkat
kematian bila dibandingkan dengan pemberian fibrinolitik di RS, sehingga
strategi reperfusi ini telah di adopsi sebagai strategi yangbaik. Pendekatan
strategi ini dalam praktek rutin seharihari telah dilakukan di Perancis dan
dicatat dalam registri USIC. Registri USIC ini melaporkan bahwa pasien yang
diterapi dengan fibrinolitik praRS mempunyai angka survival yang lebih baik
dibandingkan dengan kelompok yang menjalani intervensi koroner perkutan
primer.
Penelitian CAPTIM (Comparison of Angioplasty and Prehospital
Thrombolysis In Myocardial infarction) yang dilakukan secara acak pada
pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik prarumah sakit atau pasien
yang mendapat terapi IKP penyelamatan pasca kegagalan fibrinolitik, ternyata
dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan yang sama baiknya dan bahkan
lebih baik bila dibandingkan dengan pasien STEMI yang menjalani IKKP
(salah satunya mengurangi kejadian syok kardiogenik). Presentase pasien uji
klinis CAPTIM yang dirawat dengan terapi fibrinolitik kemudian mendapatkan
IKP penyelamatan dan intervensi koroner perkutan di rumah sakit adalah 26%
dan 60%. Demikian halnya dengan 20 persen pasien uji coba ASSENT4
(ASsessment of the Safety and Efficacy of New Treatment strategy4 trial) yang
secara acak mendapatkan fibrinolitik dosis penuh (tenecteplase) di ambulans
praRS yang dilanjutkan dengan facilitated PCI dan intervensi koroner perkutan
primer ternyata mempunyai luaran yang sama dengan mereka yang mengikuti
uji CAPTIM. Angka mortalitas dalam 30 hari facilitated PCI versus IKPP yaitu
3,1% vs 3,7%. Pasien yang memiliki awitan gejala angina kurang dari 23 jam,
maka prarumah sakit fibrinolitik yang disertai IKP penyelamatan dapat
menurunkan angka kematian sampai < 4%. Pencapaian tersebut menyerupai
pencapaian menggunakan intervensi koroner perkutan primer. Pelaksanaan
EKG prarumah sakit barubaru Ini juga telah direkomendasikan oleh American
Heart Association (Firdaus, 2011). (PERKI, 2018b)
2. Penatalaksanaan di rumah sakit (Umum)
11

a. Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.


b. Pantau tanda vital: setiap ½ jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau
sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau >
110 kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas
< 8 kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
c. Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat
tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
d. Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung
(kompleks karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan
unsaturated fats < 30% dari kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur,
buah), magnesium (sayuran hijau, makanan laut) dan serat (buah segar,
sayur, sereal).
e. Medika mentosa :
1) Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika
saturasi oksigen arteri rendah (< 90%)
2) Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang
tiap lima menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg
intravena, atau Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch,
intravena jika nyeri berulang dan berkepanjangan.
3. Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
Rekomendasi:
a. Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75
tahun; Blok cabang berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard
akut.
b. Dosis obat-obat trombolitik: Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator
plasminogen jaringan (tPA): bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB
(maksimal 50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg)
dalam 60 menit. (Price & Wilson, 2015)(PERKI,
; 2018b)
,
4. Antitrombotik :
a. Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
b. Heparin direkomendasi pada:
1) Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
12

2) Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan


alteplase: dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat
mulai infus alteplase, dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada
pasien dengan risiko tinggi terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
3) Diberikan intravena pada infark non-Q.
4) Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan
trombolitik yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi
atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
5) Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat
trombolitik non-selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang
merupakan risiko tinggi terjadinya emboli sistemik seperti di atas.
Keterangan: heparin direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada
saat itu diperiksa aPTT. Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali kontrol
(sekitar 70 detik), kemudian infus dipertahankan dengan target aPTT 1,5-
2 kali kontrol (infus awal sekitar 1000 UI/jam). Setelah 48 jam dapat
dipertimbangkan diganti heparin subkutan, warfarin, atau aspirin saja.
(Price & Wilson, 2015)(PERKI,
; 2018b)
,
5. Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
6. Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
7. Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat.
8. ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi,
9. riwayat infark miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
(Price & Wilson, 2015)
; (PERKI, 2018b)
,
I. Modalitas Intervensi Keperawatan: Waktu dalam Deflation Band Setelah
Coronary Intervention Melalui Radial Artery

Studi menunjukan rata-rata pelepasan band adalah 62,7 menit secara


keseluruhan (PCI t = 79,2 menit, CA t = 46,2 menit) dengan 80% (n = 670) kasus
yang tercatat tidak mengalami komplikasi. Secara keseluruhan, 20% dari PCI
(n=27) dan 21,2% dari CA (n=124) tercatat mengalami kejadian perdarahan mulai
dari hematoma atau memar kecil hingga besar. Insiden keseluruhan dari
hematoma atau memar yang besar adalah 0,8% (n=6). Tidak ada kasus oklusi
arteri radial yang terdokumentasi dalam kumpulan data kami
(Krishnamoorthy et al., 2020)
. Adapun hasil penelitian lainnya adalah, Jika dibandingkan dengan
durasi referensi 2 jam, terdapat risiko hematoma lokasi akses yang secara
signifikan lebih tinggi dengan durasi 90 menit (rasio odds, 2,39 [95% CI, 1,40-
4,06]) dan <90 menit (rasio odds, 3,61 [95% CI, 1,79-7,29]), namun tidak demikian
13

halnya dengan durasi 2 hingga 4 jam. Jika dibandingkan dengan referensi 2 jam,
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam rebleeding situs akses atau RAO
dengan durasi yang lebih pendek atau lebih lama, tetapi estimasi titik mendukung
durasi yang lebih lama untuk rebleeding situs akses dan durasi yang lebih pendek
untuk RAO. Durasi <90 menit dan 90 menit menduduki peringkat 1 dan durasi 2
jam menduduki peringkat 2 sebagai durasi yang paling efektif, sedangkan durasi 2
jam menduduki peringkat 1 dan 2 hingga 4 jam menduduki peringkat 2 sebagai
durasi yang paling aman (Maqsood et al., 2023) . Sementara itu, bukti lainnya
adalah protokol inisiasi deflasi TR band yang ditunda diikuti dengan deflasi cepat
dikaitkan dengan waktu yang lebih rendah untuk melepas pita tanpa peningkatan
komplikasi perdarahan atau kepuasan pasien. Namun, staf lebih menyukai
interval yang lebih lama antara deflasi (Al Riyami et al., 2020) .
Dalam analisis 10 RCT yang melibatkan 4911 pasien, jika dibandingkan
dengan referensi durasi hemostasis 2 jam, durasi yang lebih pendek secara
signifikan meningkatkan risiko hematoma di lokasi akses. Meskipun tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik pada RAO dan perdarahan ulang di
lokasi akses, secara umum, estimasi titik lebih menyukai durasi yang lebih pendek
untuk RAO dan durasi yang lebih lama untuk perdarahan ulang. Durasi <90 menit
dan 90 menit menduduki peringkat 1 dan durasi 2 jam menduduki peringkat 2
sebagai hasil yang paling berkhasiat (dengan risiko RAO yang lebih rendah),
sedangkan durasi 2 jam menduduki peringkat 1 dan 2 hingga 4 jam (2-4 jam)
menduduki peringkat 2 sebagai durasi yang paling aman untuk hasil keamanan
primer (hematoma di lokasi akses). Plot klaster untuk hasil efikasi dan keamanan
gabungan menunjukkan bahwa keseimbangan optimal untuk efikasi dan
keamanan dicapai pada durasi 2 jam (Maqsood et al., 2023) .
TR-band mungkin merupakan salah satu perangkat kompresi yang paling
umum digunakan setelah prosedur koroner melalui jalur radial. Namun, seperti
disebutkan sebelumnya, tidak ada protokol yang jelas untuk menghentikan
penggunaan band ini (Al Riyami et al., 2020) . Ada berbagai protokol yang telah
dilaporkan, termasuk protokol akselerasi dan protokol standar serta protokol yang
bersifat individual sesuai obat yang diberikan selama prosedur, dengan beberapa
penelitian menunjukkan bahwa protokol akselerasi aman dengan komplikasi
perdarahan yang sebanding (Al Riyami et al., 2020)
Protokol inisiasi deflasi pita TR yang terlambat diikuti dengan deflasi yang
sering dikaitkan dengan pelepasan pita yang lebih cepat dibandingkan dengan
inisiasi awal dengan deflasi yang lebih jarang. Hal ini dapat dijelaskan dengan
14

hemostasis yang lebih baik dengan kompresi yang lebih lama sehingga
menghasilkan pelepasan yang lebih cepat setelah deflasi dimulai. Penelitian
sebelumnya juga menunjukkan kompresi lengkap setidaknya 90-120 menit
sebelum deflasi dikaitkan dengan pelepasan pita yang lebih cepat
(Pancholy et al., 2016)
.
Ada banyak manfaat dari waktu pelepasan pita yang lebih singkat. Bagi
pasien, semakin cepat tali pengikat dilepas, semakin sedikit rasa tidak nyaman
yang mereka rasakan dan semakin cepat pula mereka dapat dilepas. Namun,
dalam suatu penelitian skor kepuasan pasien sama pada kedua kelompok. Waktu
pelepasan pita yang lebih pendek juga lebih disukai karena telah terbukti
berhubungan dengan insiden oklusi arteri radialis yang lebih rendah
(Al Riyami et al., 2020)
.
Jadi kesimpulannya: waktu pelepasan band yang dipercepat dapat
dibenarkan tetapi dengan pertimbangan yang cermat dalam hal menerima risiko
komplikasi perdarahan ringan. Pada pasien yang menjalani akses transradial
untuk angiografi koroner atau intervensi, durasi hemostasis selama 2 jam
menawarkan keseimbangan terbaik untuk efektivitas (pencegahan RAO) dan
keamanan (pencegahan hematoma/pendarahan di lokasi akses)
15

REFERENSI
Akbar, H., Foth, C., Kahloon, R. A., & Mountfort, S. (2023). Acute ST-Elevation
Myocardial Infarction.
Al Riyami, H., Al Riyami, A., & Nadar, S. K. (2020). Comparison between two protocols
for deflation of the TR band following coronary procedures via the radial route.
Journal of the Saudi Heart Association, 32(1). https://doi.org/10.37616/2212-
5043.1009
Anderson, J. L., & Morrow, D. A. (2017). Acute Myocardial Infarction. New England
Journal of Medicine, 376(21), 2053–2064.
https://doi.org/10.1056/NEJMra1606915
Hwang, C., & Levis, J. T. (2014). ECG Diagnosis: ST-Elevation Myocardial Infarction. The
Permanente Journal, 18(2). https://doi.org/10.7812/TPP/13-127
Ibanes B, James S, Agewall S, et all. (2017). ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. Eur Heart J
(2018) 39, 119–177.
Ibanez, B., James, S., Agewall, S., Antunes, M. J., Bucciarelli-Ducci, C., Bueno, H., Caforio,
A. L. P., Crea, F., Goudevenos, J. A., Halvorsen, S., Hindricks, G., Kastrati, A., Lenzen,
M. J., Prescott, E., Roffi, M., Valgimigli, M., Varenhorst, C., Vranckx, P., Widimský, P.,
… Gale, C. P. (2018). 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart
Journal, 39(2), 119–177. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx393
Kemenkes RI. (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan
Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018.
Kolachi, M., Ansari, Z. N., Hussain, T., Karim, I., Soomro, M. K., & Maheshwari, S. D.
(2021). Frequency of Modifiable and Non-Modifiable Risk Factors of ST elevation
Myocardial Infarction at Tertiary Care Hospital. Pakistan Journal of Medical and
Health Sciences, 15(9), 3040–3042. https://doi.org/10.53350/pjmhs211593040
Krishnamoorthy, R., Norman, S., Mohd Zaki, N., David, T., Lee, A., Shetty, P., Nguyen-
Dang, T., Danson, E., & Yeung, A. (2020). 865 Outcomes With Accelerated TR Band
Removal Time for Trans-Radial Cardiac Catheterisation. Heart, Lung and
Circulation, 29, S425–S426. https://doi.org/10.1016/j.hlc.2020.09.872
Lily, R. (2012). PENYAKIT KARDIOVASKULER (pkv) (A. U. Rahajoe, Ed.). FKUI.
Maqsood, M. H., Pancholy, S., Tuozzo, K. A., Moskowitz, N., Rao, S. V., & Bangalore, S.
(2023). Optimal Hemostatic Band Duration After Transradial Angiography or
Intervention: Insights From a Mixed Treatment Comparison Meta-Analysis of
Randomized Trials. Circulation: Cardiovascular Interventions, 16(2).
https://doi.org/10.1161/CIRCINTERVENTIONS.122.012781
Mechanic, O. J., Gavin, M., & Grossman, S. A. (2023). Acute Myocardial Infarction.
Mozaffarian, D., Benjamin, E. J., Go, A. S., Arnett, D. K., Blaha, M. J., Cushman, M., Das,
S. R., de Ferranti, S., Després, J.-P., Fullerton, H. J., Howard, V. J., Huffman, M. D.,
Isasi, C. R., Jiménez, M. C., Judd, S. E., Kissela, B. M., Lichtman, J. H., Lisabeth, L. D.,
Liu, S., … Turner, M. B. (2016). Heart Disease and Stroke Statistics—2016 Update.
Circulation, 133(4). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000350
Pancholy, S. B., Bernat, I., Bertrand, O. F., & Patel, T. M. (2016). Prevention of Radial
Artery Occlusion After Transradial Catheterization. JACC: Cardiovascular
Interventions, 9(19), 1992–1999. https://doi.org/10.1016/j.jcin.2016.07.020
16

PERKI. (2018a). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (4th ed.). Centra
Communications.
PERKI. (2018b). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (Ketiga). Centra
Communications. https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehn416
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2015). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses PEnyakit.
EGC.
Thygesen, K., Alpert, J. S., Jaffe, A. S., Chaitman, B. R., Bax, J. J., Morrow, D. A., & White,
H. D. (2018). Fourth Universal Definition of Myocardial Infarction (2018).
Circulation, 138(20). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000617
Tim Pokja SDKI DPP, P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai