Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan masalah kardiovaskular


utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian
1
yang tinggi .sebuah survey yang dikeluarkan oleh lembaga asosiasi jantung
amerika (American Heart Associations-AHA), menunjukan bahwa setiap tahun
sekitar 635.000 warga Amerika mengalami apisode sindrom koroner akut, dan
sekitar 280.000 mengalami kasus rekuren. Eestimasi data menunjukkan bahwa
40% pasien SKA beresiko meninggal dunia dalam 5 tahun setelahnya, dengan
resiko kematian 5 sampai 6 kali lebih tinggi pada penderita kasus rekuren 1.

Permasalahan ekonomi juga menjadi kasus yang dipertimbangkan. Di


Amerika, biaya per tahun pasien SKA diestimasikan sebesar US$22.528 sampai
US$32.345 (300-400 juta), untuk biaya perawatan, dokter, resep obat, sampai
pelayanan rumah sakit, diluar dari biaya tidak langsung yang terjadi akibat
penurunan produktivitas pasien. Oleh karena itu, tingginya prevalensi kasus
SKA memberikan dampak terhadap kesehatan hingga ekonomi, sehingga
pencegahan dan peningkatan penanganan SKA mampu memberikan
keuntungan sosial dan ekonomi secara signifikan 1.

B. Tujuan
Pembuatan laporan kasus ini ditujukkan untuk mengetahui lebih jelas
mengenai penegakkan diagnosa dan penanganan kasus sindrom koroner akut,
sebagai salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian khusus
di Indonesia. Serta sebagai pemenuhan tugas internship di RS. Wisma
Prashanti, Tabanan, Bali.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom Koroner Akut

A. Definisi Sindrom Koroner Akut

Sindrom Koroner Akut adalah kumpulan gejala iskemia miokardium


yang bervariasi mulai dari angina tidak stabil sampai infark miokardium,
disertai atau tanpa disertai elevasi segmen ST. Mekanisme utama terjadinya
SKA terjadi akibat rupturnya plak aterosklerosis akibat perubahan komposisi
plak dan penipisan fibrosa yang menutupi plak tersebut, diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi, sehingga terbentuk thrombus
yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang
pembuluh darah koroner secara parsial atau total, atau menjadi mikroemboli
yang menyumbat pembuluh darah koroner yang lebih distal. Selain itu, terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi, sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Akibat hal-hal tersebut, terjadi
penurunan aliran darah koroner menyebabkan gejala iskemik miokardium
(ditandai dengan gejala perasaan tidak nyaman pada dada, seperti nyeri, berat,
atau terbakar) 2,3.

Trombus dapat menyebabkan oklusi secara total maupun parsial. Pasien


dengan oklusi total, selain dikenali dari gejala tidak nyaman pada dada yang
khas dapat dilihat dari gambaran elektrokardiogram berupa elevasi segmen ST
(IMA-EST). Apabila oklusi tidak dapat diselesaikan dalam batas waktu emas
(golden period) atau suplai oksigen berhenti selama kurang-lebih 20 menit,
2,3
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokardium / IM) .
Hal ini membuat perlunya penanganan reperfusi dini yang rasional, baik
melalui terapi farmakologi maupun kateterisasi terhadap pasien STEMI. Pasien

2
dengan oklusi arteri koroner parsial umumnya tidak terlihat gambaran elevasi
segmen ST, tetapi dapat terjadi perubahan sugestif iskemia lainnya pada
gambaran elektrokardiogram (misal; depresi segmen ST, inversi gelombang T).
pasien dengan gambaran tersebut diklasifikasikan mengalami Angina Pektoris
Tidak Stabil / Unstable Angina Pectoris (UAP) atau non-elevasi segmen ST
(IMA-NEST), tergantung dari apakah mereka mengalami luka pada
miokardium, yang terlihat dari enzim jantung (elevasi enzim troponin).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner, sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi dinamis juga dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
serta disritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran, dan fungsi
ventrikel) 3.

Karakteristik anatomi plak aterosklerosis seperti tipisnya atap fibrosa,


lapisan lipid yang dikelilingi oleh sel-sel inflamatori, produksi matriks
metalloproteinase dalam jumlah besar, serta sedikitnya sel-sel otot polos,
membuatnya mudah ruptur dan menjadi SKA. Beberapa faktor dari pasien
dapat meningkatkan resiko rupture nya plak aterosklerosis, sehingga
menimbulkan SKA dan sudden death,seperti hiperkoagulasi sementara yang
terjadi dari akibat merokok, dehidrasi, infeksi, dan malignansi (keganasan)
dapat memfasilitasi proses tersebut 3.

3
B. Epidemiologi Sindrom Koroner Akut di Indonesia
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa
secara nasional terdapat 0,5% prevalensi penyakit jantung koroner yang
didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut paling tinggi di provinsi Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh 4.

Di provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008-2009 berdasarkan Jakarta Acute


Coronary Syndrome Registry, terdapat 2103 pasien sindroma koroner akut dan
3
654 di antaranya adalah ST elevation myocardial infarction (STEMI)
.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC)
Registry periode Oktober 2014 sampai Juli 2015 melaporkan dari 3015 kasus
SKA 1024 diantaranya adalah kasus STEMI 4.

Prevalensi PJK nasional berdasarkan Riskesdas 2013 sebesar 1,5%,


tertinggi di Prov Nusa Tenggara Timur (4,4%) dan terendah di Provinsi Riau
(0,3%). Prevalensi PJK pada umur ≥ 15 tahun menurut karakteristik, didapatkan
sebagai berikut 4 :

1. Kelompok umur : tertinggi pada kelompok umur 65 – 74 tahun


 >75 tahun 3,2%,
 65-74 tahun 3,6%,
 55-64 tahun 2,8%,
 45-54 2,1%,
 35-44 tahun 1,3%,
 25-34 tahun 0,9%, dan
 15-24 tahun 0,7%

2. Jenis Kelamin : lebih tinggi pada Laki-laki dibanding Perempuan

 Laki-laki 1,6%, dan


 Perempuan 1,3%.

4
C. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

Oleh karena banyaknya variasi mekanisme yang menyebabkan iskemia


mikardium, sebuah sistem klasifikasi klinis berdasarkan patologi klinis, dan
diferensiasi prognosis telah dikembangkan untuk menetapkan laporan klinis
infark miokardium (IM), terlampir pada tabel I.

Tipe 1 merupakan akibat rupture plak dengan thrombosis, sedangkan


tipe 2 merupakan proses sekunder akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan
oksigen miokardium dan suplai oksigen dengan obstruksi plak aterosklerosis,
vasospasme, atau disfungsi endothelial yang memainkan peranan proses SKA.
Tipe 3 meliputi pasien yang mengalami sudden death akibat IM walaupun bukti
biomarker jantung masih sedikit. Tipe 4 dan 5 meliputi pasien dengan IM yang
telah melakukan PCI dan CABG, berurutan 1.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram


(EKG) dan pemeriksaan biomarka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi
menjadi 3:

1. Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST)


2. Infark Miokard Akut non-elevasi segmen ST (IMA-NEST)
3. Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS).

5
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST akut (IMA-EST)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini membutuhkan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner
perkutan primer. Diagnosis IMA-EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pectoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan
bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
peningkatan biomarka jantung 3.

Diagnosis IMA-NEST dan APTS ditegakkan jika terdapat keluhan


angina pectoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan. Angina pectoris tidak stabil dan
IMA-NEST dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka jantung.
Biomarka jantung yang lazim digunakan adalah high sensitivity troponin,
troponin, atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia biomarka jantung
terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosisnya infark miokard akut tanpa
elevasi segmen ST (IMA-NEST), jika biomarka jantung tidak meningkat secara
bermakna maka diagnosisnya APTS 2,5.

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau


menunjukkan kelainan yang non diagnostic sementara angina masih
berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika EKG
ulangan tetap menunjukkan gambaran non diagnostic semenyara eluhan angina
sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang
setiap terjafi angina berulang atau setidaknya 1 kali dalam 24 jam,5.

6
D. Penegakkan Diagnosis Sindrom Koroner Akut

D.1. Anamnesis

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapularis, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten (>20 menit), keluhan
mungkin tidak berkurang dengan istirahat maupun pemberian nitrogliserin.
Pada pasien yang memiliki riwayat angina stabil, gejala tidak nyaman pada
dada yang mengarah ke SKA biasanya lebih berat dibandingkan pasien yang
baru mengalami gejala SKA. Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop 3.

Presentasi angina atipikal yang sering ditemukan antara lain nyeri di


daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit dijelaskan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda(25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA 3.

Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan


pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Pria
2. Diketahui mempunyai riwayat penyakit aterosklerosis non-koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP

7
4. Mempunyai faktor resiko: umur, hipertensi, merokok, dyslipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifikasikan
sebagai risiko tinggi, risiko sedang, atau risiko rendah menurut National
Cholesterol Education Program (NCEP) 1,2.

D.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus


iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Walaupun umumnya tidak ditemukan tanda khas pada pemeriksaan
fisik pasien SKA, tetapi beberapa penemuan seperti diaphoresis, kulit dingin
dan lembab, ditemukan bunyi jantung S3 dan atau S4, murmur sistolik apical
(akibat mitral regurgitasi yang disebabkan oleh disfungsi muskulus papilaris),
dan ronkhi basah halus pada basal paru dan gejala edema paru lainnya,
mengarah pada proses iskemia dan impending syok kardiogenik. Keadaan
umum beberapa pasien dapat terlihat stabil, tetapi keadaan tersebut dapat
memburuk dengan cepat, oleh karena itu pasien harus segera triase ke unit
perawatan intensif, dan atau angiografi koroner dini 1,2,3.

D.3. Pemeriksaan Elektrokardiogram

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
segera setelah sampai di Unit Gawat Darurat, kurang lebih dalam waktu 10
menit sejak kedatangan. Sadapan V34 dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah pada
iskemia dinding inferior 6.

Segmen ST dan gelombang T pada iskemia miokard

Segmen ST dan gelombang T terbentuk akibat aktivitas listrik yang


timbul sewaktu repolarisasi cepat ventrikel. Proses repolarisasi ini memerlukan

8
suplai oksigen yang konstan untuk menghasilkan energi. Pada keadaan
penyempitan pembuluh darah koroner, akan terjadi penurunan aliran darah
(iskemia) dan daerah yang mengalami iskemia tentunya tidak dapat membentuk
energy untuk repolarisasi., sehingga arah gelombang T akan bergerak menjauh
meninggalkan daerah iskemia. Pada EKG, keadaan iskemia tersebut bisa dilihat
berupa aanya inversi gelombang T maupun depresi segmen ST, tergantung
beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG. Diduga iskemia miokard, jika
depresi segmen ST ≥ 0,5 mm (setengah kotak kecil) terletak dibawah garis
baseline (garis isoelektrik) dan 0,04 detik dari J point, serta dijumpai pada dua
atau lebih sadapan yang berhubungan . sedangkan inversi gelombang T
dianggap bermakna jika dalamnya ≥ 0,2 mV (lebih dari dua kotak kecil) 6.

Pada uji latih jantung dengan beban (misalnya treadmill test), jika
terdapat depresi segmen ST tipe horizontal atau downslope sebesar 1 mm dan
80 milidetik (0,08 detik) dari J point, maka disebut respon iskemia positif 6.

9
Contoh EKG iskemia miokard

Perubahan EKG pada injuri miokard

Sel miokard yang mengalami injuri tidak akan berdepolarisasi


sempurna, secara elektrik lebih bermuatan positif dibanding daerah yang tidak
mengalami injuri dan pada EKG tampak gambaran elevasi segmen ST pada
sadapan yang berhadapan dengan lokasi injuri. Pada pasien dengan nyeri dada,
jika dijumpai elevasi segmen ST di dua atau lebih sadapan, maka harus
dipikirkan bahwa pasien sedang mengalami serangan jantung akut (IMA
disertai elevasi segmen ST) dan terjadi sumbatan total 100% di arteri koroner,
sehingga diperlukan segera terapi reperfusi untuk mengembalikan aliran darah
koronernya 6.

Elevasi segmen ST bermakna jika elevasi > 1 mm (1 kotak kecil) pada


sadapan ekstremitas dan >2mm pada sadapan precordial di dua atau lebih
sadapan yang menghadap daerah anatomi jantung yang sama. Perubahan
segmen ST, gelombang Tdan kompleks QRS pada injuri dan infark mempunyai

10
karakteristik tertentu sesuai waktu dan kejadian selama infark. Jika elevasi
segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark miokard, maka harus
dipikirkan adanya aneurisma ventrikel 6.

Perubahan EKG pada infark miokard lama

Infark miokard berarti kematian sel otot jantung akibat terhentinya


aliran darah ke otot jantung yang bisa terjadi seara tiba-tiba. Sel infark yang
tidak berfungsi tersebut tidak mempunyai respons stimulus listrik sehingga arah
arus yang menuju daerah infark akan bergerak meninggalkan daerah tersebut
dan pada EKG memberikan gambaran defleksi negative berupa gelombang Q
patologis dengan karakteristik durasi gelombang Q > 0,04 detik dan dalamnya
harus minimal sepertiga tinggi gelombang R pada kompleks QRS yang sama
(gambar 4-5) 6.

11
Menentukan lokasi infark miokard

Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta predileksi


pembuluh koroner mana yang terlibat (gambar 4-7 dan 4-8), diperlukan dua
atau lebih sadapan yang berhubungan, yang menunjukkan gambaran anatomi
daerah jantung yang sama 2,6.

12
C.4. Pemeriksaan Biomarka Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka


nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesivisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan biomarka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis tersebut (koroner atau non-koroner).
Peingkatan Troponin I/T dapat disebabkan oleh kondisi non-koroner dapat
meliputi takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/pericarditis. Sementara keadaan non-kardiak yang dapat
meningkatkan Troponin I/T meliputi sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologic akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi
ginjal 3,5,7.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T


menunjukkan kadar dalam 4-6 jam, setelah awitan SKA sehingga pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak
dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-9 jam
setelah pemeriksaan pertama. Terapi reperfusi tidak boleh terlambat diberikan
pada pasien terduga STEMI (tanpa menunggu hasil pemeriksaan biomarker
jantung). Sementara pada pasien dengan hasil elektrokardiogram (EKG) tanpa
peningkatan segmen ST tetapi terduga SKA, hasil negatif dalam 2 kali test
interval 6-9 jam biasanya menyingkirkan dugaan NSTEMI, tetapi masih
terduga APS, yang secara definisi merupakan SKA tanpa nekrosis miokardium.
Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan
kerusakan otot skeletal (spesivisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
lebih singkat (48 jam). Sehinga, CK-MB terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark (infark berulang) 1,2,5,7.

13
C.5. Pemeriksaan Invasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan


tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan
diagnostic pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak
jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa,
sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan
troponin, namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostic. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas ireguler, ulserasi,
penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya
thrombus intrakoroner 2.

C.6. Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping biomarka jantung adalah tes darah rutin,


gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan
panel lipid. Pemeriksaan ini dilakukan tanpa menunda terapi SKA 3.

C.7. Pemeriksaan Foto Polos Dada

Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,


identifikasi penyakit penyerta, dan komplikasi penyakit.

14
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes biomarka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan
sebagai berikut: non kardiak, angina stabil, kemungkinan SKA, dan definitif
SKA (gambar 1) 3.

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda 3:

1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau non-diagnostik, dan
3. Biomarka jantung normal.

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda 3:

1. Angina tipikal
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk IMA-EST,
depresi ST, atau inversi T yang diagnostic sebagai keadaan iskemia miokard,
atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan biomarka jantung.

Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG non-diagnostik dan


biomarka jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat darurat
(gambar 1,2.)/ daefinitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG non-
diagnostik, sebaiknya dirawat di intensive cardiovascular care
(ICVCU/ICCU).

15
E. Diagnosis Banding 2,7
1. Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung
(stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai
perubahan EKG dan peningkatan marka jantung menyerupai pasien IMA-
NEST.
2. Miokarditis dan pericarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada,
perubahan EKG, peningkatan biomarka jantung, dan gangguan gerak
dinding jantung menyerupai pasien IMA-NEST.
3. Diagnosis banding non-kardiak yang mengancam jiwa, seperti infark
pulmonal, trauma tumpul dada, diseksi aorta.
4. Diagnosis banding non-kardiak lainnya seperti GERD, nyeri
muskuloskeletal, serangan panik, dll.

F. Tindakan umum dan langkah awal

Terapi awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja
“kemungkinan SKA”atau “SKA”atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/ atau biomarka jantung 2,8.

Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin-Oksigen-Nitrat-Aspirin (MONA),


yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan 3,7.

1. Tirah baring
2. Pengukuran saturasi oksigen perifer
a. Oksigen 4L/ menit diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2
<90%) atau PaO2 <60 mmHg
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan Sao2 ≥ 90%
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual lebih cepat.

16
4. Penghambat reseptor adenosine difosfat (ADP)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien IMA-
EST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP
yang dianjurkan adalah clopidogrel).
5. Nitrogliserin (NTG) spray / tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri
tidak hilang dengan 1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai
maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak
responsive dengan 3 terapi NTG sublingual. Bila tidak tersedia, dapat
digantikan dengan isosorbid dinitrat.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsive dengan 3 dosis sublingual NTG.

17
Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST
(IMA-EST)

A. Epidemiologi IMA-EST
Secara global, sindrom koroner akut merupakan penyebab tersering
kasus kematian dan frekuensi nya terus meningkat. Walaupun, di Eropa, sudah
terjadi penurunan mortalitas SKA selama tiga decade. Angka kejadian SKA di
Eropa saat ini mencapai 1,8 juta kematian per tahun, atau 20% dari penyebab
kematian di Eropa, dengan berbagai variasi kasus di setiap negara. 8
Insiden kasus IMA-EST dan IMA-NEST mengalami peningkatan dan
penurunan secara berurutan. Insiden STEMI terendah di Eropa ditemukan di
Swedia, yaitu 58 dari 100.000 kasus per tahun (data 2015). Di negara Eropa
lainnya, secara umum insiden STEMI ditemukan kisaran 43-144 per 100.000
kasus per tahun. Tidak jauh berbeda dengan insiden kasus di Amerika Serikat,
terjadi penurunan insiden dari 133 per 100.000 kasus per tahun (1999) menjadi
50 per 100.000 kasus per tahun (2008). Menurut studi, terdapat kasus yang
persisten ditemui pada IMA-EST, yaitu relatif lebih sering terjadi pada usia
lebih muda dan pada laki-laki 8.
Mortalitas pada pasien IMA-EST dipengaruhi oleh beberapa faktor,
meliputi usia dan jenis kelamin, kelas KILIP, waktu terapi dini (dan
keterlambatan penanganan awal), ketersediaan alat emergensi (dalam kasus ini
IKP), riwayat penyakit meliputi; infark miokard, diabetes mellitus, gagal ginjal,
penyakit jantung koroner, serta fungsi ventrikel kiri (ejection frection) 8.
Angka kejadian sindrom koroner akut mencapai tiga sampai empat kali
lebih tinggi pada pasien pria dibandingkan wanita (dibawah usia 60 tahun).
Tetapi diatas usia 75 tahun, lebih banyak ditemukan kasus pada pasien wanita.
Pada pasien wanita lebih sering dijumpai gejala-gejala atipikal, sehingga perlu
untuk meningkatkan kewaspadaan kasus infark miokard pada pasien wanita.

18
Pasien wanita juga memiliki resiko lebih tinggi terjadinya komplikasi
perdarahan pada proses PCI, sehingga beberapa studi mengindikasikan
intervensi dan terapi reperfusi yang lebih sedikit diberikan pada pasien wanita
8,9
.
B. Penanganan Kegawatdaruratan

B.1 Penegakan Diagnosis Dini

Penegakan diagnosis IMA-EST harus segera dilakukan pertama kali pasien


datang, berdasarkan gejala yang konsisten dengan iskemia miokardium (nyeri
dada persisten) dan tanda (12 sadapan EKG). Petunjuk pentingnya meliputi
riwayat penyakit jantung koroner dan penjalaran nyeri dada kiri ke leher,
rahang bawah, atau lengan kiri. Beberapa pasien menunjukkan gejala yang
kurang kuat seperti napas pendek, mual/muntah, lemas, berdebar-debar, atau
pingsan. Berkurangnya rasa nyeri setelah pemberian nitrogliserin (glyceryl
trinitrate) dapat menyesatkan dan tidak direkomendasikan untuk menjadi salah
satu penegakan diagnosis. Pada kasus dimana gejala nyeri dada membaik
setelah pemberian nitrogliserin, penegakan dianosa dari gambaran EKG harus
diperoleh 8,9.
Elevasi segmen ST (diukur pada J point) yang dipertimbangkan sugestif
terhadap proses oklusi arteri koroner antara lain meliputi: elevasi segmen ST
pada minimal dua sadapan berturutan ;
 ≥ 2,5 mm pada pria usia < 40 tahun
 ≥ 2 mm pada pria usia ≥ 40 tahun
 ≥ 1,5 mm pada wanita, di sadapan V2-V3 dan/atau
 ≥ 1 mm di sadapan lainnya (tanpa adanya tanda LV / hipertrofi
ventrikel kiri atau LBBB / blok cabang berkas kiri)
Pada pasien dengan infark miokardium inferior (sadapan II, III, avF),
direkomendasikan untuk merekam sadapan precordial jantung kanan (V3R dan
V4R) untuk mencari elevasi segmen ST, seiring untuk mengidentifasi infark
ventrikel kanan. Demikian juga, apabila gambaran ST depresi pada sadapan

19
V1-V3, bersamaan dengan ditemukan gambaran ST elevasi pada sadapan V7-
V9, diidentifikasi sebagai infark miokard posterior.

Interpretasi EKG dapat menjadi lebih sulit dan membutuhkan


tatalaksana dan triase yang lebih segera apabila terdapat gambaran seperti
berikut :

Blok Cabang Berkas Kiri (LBBB). Pada gambaran LBBB, penegakan


IMA melalui EKG sulit dilakukan, namun tetap mungkin ditegakkan apabila
didapatkan abnormalitas segmen ST. Pasien dengan manifestasi klinis
mengarah ke proses berlangsungnya iskemia miokardium dan gambaran EKG
ditemukan LBBB, harus ditatalaksana serupa dengan pasien IMA-EST, tanpa
memperhatikan apakah LBBB juga ditemukan pada EKG pasien sebelumnya.

20
Penting untuk ditandai bahwa ditemukannya (dugaan) LBBB baru, tidak
mengestimasi terjadinya kasus IMA-EST di kemudian hari.

Pasien dengan IMA dan blok cabang berkas kanan (RBBB) memiliki
prognosis buruk. Ditemukan kesulitan dalam mendiagnosis iskemia transmural
pada pasien dengan manifestasi klinis nyeri dada dan gambaran RBBB. Oleh
karena itu, strategi PCI primer (angiografi koroner darurat dan PCI bila
diindikasikan) harus dipertimbangkan ketika terjadi gejala iskemia persisten
selama ditemukan RBBB.

Ventricular pacing. Ritme yang dihasilkan oleh pacemakaer dapat


menghambat perubahan segmen ST, sehingga dibutuhkan angiografi segera
untuk memastikan diagnosis dan terapi inisiasi.

Non-diagnostik EKG. Beberapa pasien dengan sumbatan koroner akut


dapat menghasilkan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST, dikarenakan
gambaran terlihat sangat awal setelah onset gejala (pada kasus tertentu, perlu
dicari gambaran gelombang T hiperakut, yang mungkin dapat mendahului
elevasi segmen ST). Penting untuk mengulang rekaman EKG atau memantau
perubahan dinamik segmen ST. Sebagai tambahan, perlu menjadi perhatian
bahwa beberapa pasien dengan sumbatan arteri koroner akut dan proses infark
miokardium, seperti sumbatan arteri koroner sirkumflexa, sumbatan vena graft,
atau sumbatan cabang utama arteri koroner sinistra, tidak menghasilkan
gambaran elevasi segmen ST sehingga tidak dilakukan terapi reperfusi,
mengakibatkan timbulnya sumbatan yang lebih luas dan perburukan prognosis.
Sehingga, dengan memperluas rekaman EKG dengan sadapan V7-V9 dapat
mengidentifikasi beberapa kasus tersebut. Pada setiap kasus, dugaan proses
infark miokard merupakan indikasi strategi PCI primer, walaupun pada pasien
tanpa elevasi segmen ST. Pada tabel 3, terdapat data gambaran EKG atipikal

21
yang harus mendapatkan strategi PCI segera pada pasien dengan gejala
menetap infark miokard.

Infark Miokard Posterior. Pada infark miokard akut posterior, sering


berhubungan dengan region arteri sirkumflexa sinistra, dijumpai depresi
segmen ST ≥ 0,5 mm pada sadapan V1-V3 sebagai gambaran dominan. Hal
tersebut harus ditatalaksana seperti IMA-EST. Penambahan sadapan dinding
posterior dada [elevasi sadapan V7-V9 ≥ 0,5 mm (≥ 1 mm pada pria, usia 40
tahun)] direkomendasikan untuk mendereksi elevasi segmen ST konsisten pada
infark miokar posterior.

Obstruksi cabang utama arteri koroner kiri. Gambaran EKG ≥ 1 mm


pada delapan atau lebih sadapan permukaan (ST depresi inferolateral), diikuti
dengan elevasi segmen ST pada sadapan avR dan/atau V1, mengindikasikan
adanya iskemia multivessel atau obstruksi cabang utama arteri koroner kiri,
terutama apabila pasien mengalami kompensasi gangguan hemodinamik.

B.2. Penanganan rasa nyeri, kesulitan bernapas, dan kecemasan pasien

Penanganan nyeri merupakan hal utama dan penting, tidak hanya untuk
kenyamanan pasien tetapi karena rasa nyeri berhubungan dengan aktivasi
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan kerja pompa
jantung. Analgesik tersering yang diberikan pada kondisi tersebut adalah titrasi
opioid intravena (misal; morfin). Namun, penggunaan morfin dihubungkan
dengan uptake (serapan) yang lama, onset kerja yang terlambat, dan
mengurangi efek agen antiplatelet oral (misal clopidogrel, ticagrelor, dan
prasurgel), yang dapat menyebabkan kegagalan terapi inisiasi pada individu .

Oksigen diindikasikan pada pasien hipoksia dengan saturasi oksigen


(SaO2) < 90%. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hiperoksia dapat
membahayakan pasien dengan infark miokard non-komplikata, kiranya akibat

22
peningkatan cedera/kerusakan miokardium. Oleh karena itu, pemberian
oksigen rutin tidak direkomendasikan ketika SaO2 ≥ 90%.

Kecemasan adalah respon wajar terhadap rasa nyeri dan persoalan


sekitar infark miokardium. Terapi penenang golongan sedang (misal:
benzodiazepine) perlu dipertimbangan pada kasus kecemasan pasien.

23
C. Keterlambatan penanganan IMA-EST
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien IMA-EST harus mencatat dan mengawasi segala penundaan
yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas
berikut ini 2 :
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama≤ 10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolysis ≤ 30 menit
b. Untuk IKP primer ≤ 90 menit (IKP primer tersedia), ≤120 menit
(bila pasien perlu ditansfer ke IKP primer.

Tujuan layanan di faskes adalah untuk mengurangi keterlambatan antara kontak


medis pertama dan diagnosis IMA-EST sampai < 10 menit. Kontak medis
pertama (KMP) adalah waktu ketika pasien mulai dinilai oleh dokter,
paramedic, perawat atau personel layanan medis darurat (LMD) terlatih
lainnya. Diagnose IMA-EST adalah waktu dimana diagnose IMA-EST
ditegakkan berdasarkan EKG pasien dengan gejala-gejala iskemia dan
2
merupakan waktu nol (time zero) untuk memulai terapi yang sesuai .
Komponen waktu iskemik, keterlambatan untuk memulai tatalaksana, dan
pemilihan strategi reperfusi dapat dilihat pada gambar:

24
D. Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan


untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau left bundle branch block (LBBB). Sedangkan
pada right bundle branch block (RBBB) dengan gejala-gejala iskemia yang
persisten, harus tetap dipertimbangkan IKP primer. Dalam menentukan terapi
reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar
yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, pilih terapi fibrinolysis.

PCI primer (tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya) merupakan strategi


reperfusi terpilih pada pasien IMA-EST dalam 12 jam onset munculnya gejala,
dapat dilaksanakan secepatnya (120 menit dari diagnosis STEI, gambar 2 dan
3) oleh tim yang berpengalaman. Tim tersebut meliputi spesialis jantung dan
kardiovaskular intervensi, didukung oleh staff medis terlatih. Studi klinis
menunjukkan bahwa PCI primer lebih menurunkan mortalitas, menurunkan

25
kasus infark miokardium berulang, dan menurunkan risiko stroke dibandingkan
fibrinolitik. Namun, pada beberapa kasus yang tidak memungkinkan segera
dilakukannya PCI primer, manajemen fibrinolitik harus diinisiasi secepatnya
(10 menit dari diagnosis STEMI)
Strategi Reperfusi
Waktu absolut dari diagnosis IMA-EST ke reperfusi IKP (wire crossing) adalah
120 menit. Jika diperkirakan lebih dari 120 menit, strategi reperfusi yang dipilih
adalah fibrinolitik. Injeksi bolus fibrinolitik harus dilakukan dalam 10 menit
dari diagnosis IMA-EST ditegakkan. Setelah pemberian fibrinolitik, pasien
dirujuk ke RS dengan fasilitas IKP..

26
Rescue PCI diindikasikan terhadap kasus gagal terapi fibrinolitik
(misal; resolusi segmen ST <50% dalam 60-90 menit pasca administrasi
fibrinolitik), atau terjadi instabilitas hemodinamik, perburukan iskemia, dan
nyeri dada persisten, walaupun sesuai algoritma akan tetap diindikasikan
strategi PCI rutin setelah tindakan fibrinolisis berhasil (2-24 jam setelah
fibrinolisis).

Terdapat kesepakatan global bahwa strategi PCI primer harus juga


diindikasikan terhadap pasien dengan onset gejala >12 jam yang dibuktikan
dengan; (1) bukti EKG terdapat proses iskemia, (2) nyeri dada yang masih
berlangsung atau rekuren dan perubahan gambaran EKG, (3) nyeri dada yang
masih berlangsung atau rekuren, disertai tanda gagal jantung, syok, aritmia
malignan.

27
Intervensi Koroner Perkutan Primer
Intervensi koroner perkutan (IKP) primer merupakan IKP emergensi
dengan balloon, stent, atau alat lainnya, yang dikerjakan pada arteri infark
(infart-related artery/IRA) tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. Bila pasien
tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet ganda (DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, lebih disarankan drug-eluting
stents (DES) dari pada bare metal stents (BMS).

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi


antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP
sesegera mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena.
Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat
reseptor ADP yang dapat digunakan, antara lain :

1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 90 mg dua kali


sehari), atau

28
2. Clopidogrel (dosis loading 600 mg, dosis pemeliharaan 75 mg perhari), bila
ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan.

Terapi Fibrinolitik

Terapi fibrinolisis direkomendasikan dalam 12 jam setelah onset gejala,


apabila IKP primer tidak dapat dilakukan dalam 120 menit sejak diagnosis
IMA-EST ditegakkan, dan apabila tidak terdapat kontraindikasi.
Kontraindikasi meliputi absolut (Stroke hemoragik, stroke iskemik 6 bulan
terakhir, perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan terakhir, diseksi aorta), dan

29
kontraindikasi relative (TIA dalam 6 bulan terakhir, pemakaian antikoagulan
oral)

Agen yang spesifik Terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase)


lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Pasien harus diberikan terapi aspirin oral. Clopidogrel
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin.

30
E. Terapi jangka panjang IMA-EST
Perubahan gaya hidup dan faktor resiko 9
1. Stop merokok
2. Diet, alkohol, dan kontrol berat badan
3. Aktivitas fisik sesuai rehabilitasi jantung
4. Kontrol tekanan darah
5. Kepatuhan terapi

Terapi antitrombotik

1. Aspirin
Aspirin direkomendasikan pada semua pasien dengan IME-EST. untuk
pencegahan jangka panjang, aspirin dosis rendah (75-100 mg)
diindikasikan karena efek anti iskemik yang sama dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit 9
2. Dual Antiplatelet Therapy (DAPT) dan Terapi kombinasi
antitrombotik
DAPT direkomendasikan selama 12 bulan. Proteksi gaster dengan PPI
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saliran cerna dan
pasien dengan risiko perdarahan, seperti lansia, penggunaan antikoagulan
oral, penggunaan NSAID 9.

Beta-blockers

Pada pasien yang menjalankan fibrinolysis, injeksi beta-blocker IV


dapat menurunkan insiden aritmia ventrikel malignan akut, walaupun belum
ada bukti efek klinis jangka panjang. Berdasarkan studi kasus, administrasi
metoprolol IV diikuti dengan beta-blocker oral perlu dipertmbangkan pada
pasien dengan gagal ginjal dan disfungsi ventrikel kiri (LVEF ≤ 40%) 9.

31
Terapi penurunan profil lipid
Terapi ini perlu segera dimulai sedini mungkin, dengan intensitas tinggi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial. Profil lipid perlu di re-evaluasi
kembali dalam 4-6 minggu setelah IMA, untuk mengetahui pencapaian
target.Terapi optimal bila konsentrasi LDL-C mencapai <1,8 mmol/L (70
mg/dl) atau setidaknya penurunan 50% dari kadar normal 1,8-3,5 mmol/L
ACE-Inhibitor
ACE-inhibitor direkomendasikan pada pasien dengan gangguan LVEF (≤
40%) atau yang mengalami gagal jantung pada fase awal, pasien gagal ginjal
dan diabetes. Apabila pasien tidak toleran dengan ACE-I, dapat digantikkan
dengan angiostensin II receptor blocker (ARB) 9.

32
F. Komplikasi IMA-EST
1. Disfungsi miokardium
Disfungsi ventrikel kiri dapat terjadi selama fase akut dan subakut IMA-
EST. hal ini dapat terjadi transien atau persisten, tergantung dari durasi
sikemia dan terapi reperfusi. Perbaikan fungsi ventrikel biasanya mengikuti
keberhasilan reperfusi miokardium dini, tetapi berlangsung selama
beberapa minggu namun tidak selalu terjadi 10.
1.1 Disfungsi ventrikel kiri
Merupakan konsekuensi yang paling sering terjadi akibat IMA-EST,
dan masih menjadi penyebab independen mortalitas. Hal ini semakin
diperberat dengan adanya aritmia, disfungsi katup. Diagnosis
ditegakkan melalui ekokardiografi 10.
1.2 Aneurisma ventrikel kiri
Kurang dari 5% pasien yang mengalami infark miokardium transmural
besar, mengalami remodeling menjadi aneurisma ventrikel kiri.
Diagnosis biasanya ditegakan setelah terjadi gagal jantung, yang
mungkin memerlukan terapi bedah 10.
1.3 Thrombus ventrikel kiri
Pembentukan thrombus merupakan komplikasi yang cukup sering
terjadi pada pasien dengan infark miokard segmen anterior. Setelah
diagnosis ditegakkan, terapi antikoagulan oral harus dikonsumsi selama
6 bulan dengan diikuti reevaluasi ekokardiografi. Pasien
dipertimbangkan beresiko perdaeahan sehingga perlu tambahan terapi
antiplatelet 10.
1.4 Regurgitasi katup mitral sekunder
Merupakan komplikasi yang terjadi terlambat. Ketika ventrikel kiri
mengalami remodeling / dilatasi, otot papilaris menjadi regang dan
berpindah, sehingga menyebabkan dilatasi annulus katup mitral. Hal ini

33
menyebabkan leaflet menjadi kaku selama proses sistolik, dan tidak
dapat menutup sempurna menyebabkan regurgitasi. 10
2. Gagal Jantung
2.1 Manifestasi Klinis
 Edema Paru
Dapat terjadi mulai dari derajat ringan-sedang (KILIP kelas 2)
sampai derajat berat (KILIP kelas 3), membaik segera dengan
terapi medis dan reperfusi, atau berlangsung menjadi gagal
jantung kronik, yang diterapi sesuai guideline gagal jantung
kronik 9.
 Hipotensi
Kriteria tekanan darah sistolik <90 mmHg, yang terjadi akibat
disfungsi ventrikel kiri atau ventrikel kanan, penurunan curah
jantung, gangguan ritme jantung, disfungsi katup, maupun terapi
farmakologi yang berlebihan. Pasien bisa datang tanpa gejala
hingga penurunan kesadaran atau sinkop. Bila berlansung lama,
hipotensi mencetuskan disfungsi ginjal akut maupun komplikasi
sistemik lainnya 9.
 Syok Kardiogenik
Kriteria syok kardiogenik meliputi ; hipotensi persisten (TDs
<90mmHg), takikardia saat istirahat, perubahan status
mental/kesadaran, oliguria, dan penurunan perfusi perifer (akral
dingin, sianosis, CRT <2”) 10
.

34
BAB III
LAPORAN KASUS
CATATAN MEDIS PASIEN

Nama pasien : Tn. I.K.S


Usia : 75 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Br. Dinas Belimbing, Pupuan
Agama : Hindu
No. RM : 100210
Tanggal masuk: 16 Agustus 2019 (06.00 WITA)

Keluhan utama : Nyeri dada

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke IGD RS Wisma Prashanti dengan keluhan nyeri dada kiri (terasa berat
seperti tertimpa beban) sejak 3 jam sebelum datang ke rumah sakit (pukul 03.00 wita).
Nyeri dirasakan menjalar ke pungung kiri seperti ditusuk, terasa ke rahang bawah serta
lengan kiri. Sesak napas disangkal, berdebar-debar disangkal, pasien mengeluh mual
dan keringat berlebih. Awalnya nyeri saat pasien sedang berjalan menuju kamar mandi
Nyeri tersebut tidak berkurang dengan istirahat. Pasien meminta pertolongan tetangga
untuk diantar ke rumah sakit, sehingga pasien baru tiba di rumah sakit pukul 06.00
wita.

Rriwayat penyakit dahulu :

Pasien mengatakan keluhan ini sudah pernah dirasakan sebelumnya (kurang lebih 1
bulan lalu), tetapi nyeri dada sebelumnya hanya sebentar (<10 menit) dan hilang

35
dengan istirahat.. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus
tidak terkontrol. Riwayat penyakit dalam keluarga tidak diketahui.

Riwayat kebiasaan pasien :

Pasien perokok aktif sejak lama (± usia 20 tahun), setengah bungkus per hari. Pasien
mengkonsumsi kopi setiap hari (tiga gelas dalam sehari). Kedua kebiasaan tersebut
diakui pasien untuk menambah semangat saat bertani, meskipun sudah usia lansia.

Faktor resiko PJK : Laki-laki, usia ≥75 tahun, Hipertensi dan DM tidak terkontrol

Observasi pasien
Ruang : IGD RS Wisma Prashanti
Pukul : 07.00 wita
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : lemah
Kesadaran pasien : komposmentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 220 / 120 mmHg
Nadi : 72 x / menit (regular, kuat angkat, isi cukup)
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu tubuh : 36,40 c
Saturasi oksigen : 91 %
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 170 cm
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+), reflek cahaya (+/+)
Leher : JVP R+2 cmH2O
Thorax : Inspeksi = simetris fusiformis

36
Palpasi = VF simetris
Perkusi = sonor di kedua lapang paru
Auskultasi = Cor (S1 S2 reguler, gallop -, murmur -)
Pulmo (BND vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-)
Abdomen : Inspeksi = Tampak datar
Auskultasi = Bising usus normal
Palpasi = Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi = Timpani, asites (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2, edema (-), sianosis (-)

Gambaran EKG

37
38
Interpretasi EKG
 Sinus ritme, QRS rate 60x/menit
 QRS axis : normoaxis, P wave (+) normal,
 QRS duration : 0,08 detik, PR interval : 0,12
 ST elevasi : lead V3, V4
 Gelombang Q patologis : lead V4
Kesan : Sinus ritme + IMA-EST segmen anterior

39
Foto X-Ray Thorax

Interpretasi foto X-Ray thorax :


 Cardiomegaly
 Dilatasi dan elongasi aorta
 Tampak penebalan hilus kanan (limfadenopathy dextra)
 Pulmo kesan normal
Diagnosis Kerja : IMA-EST segmen anterior
Tatalaksana kegawatdaruratan
1. Oksigenasi dengan nasal kanul O2 4 Lpm -> observasi SpO2 naik 97%,
2. Loading aspilet (kunyah) 3 tablet,
3. Loading clopidogrel 4 tablet (per oral),
4. ISDN tab 5 mg (sublingual)
5. observasi nyeri dan tekanan darah
6. Konsultasi via telepon (dr. Wayan Sutarmawan, Sp.JP)
 IVFD NaCl life line (12 tpm)
 ISDN 5 mg (sublingual), maksimal 3 kali pemberiaan interval 5-15
menit
 Aspilet 3 x I tab, lanjutkan 1 x I tab
 Clopidogrel 4 x I tab, lanjutkan 1 x 75 mg
 Bisoprolol 1 x 2,5 mg
 Simvastatin 0-0-20 mg/hari
 Lovenox 2 x 0,6 mg subkutan (SC)
 Rawat ruang ICU -> konsultasi dr.Anom, Sp.An

40
Data Pengamatan Kondisi Pasien

Observasi Ruang : ICU Ruang : ICU Ruang : ICU


Pasien Pukul : 09.00 wita Pukul : 09.30 wita Pukul : 09.45
S Pasien berteriak Pasien masih mengeluh Pasien mengeluh nyeri dada
mengeluh nyeri dada, nyeri, terasa di punggung kiri kembali muncul
terasa berat. belakang, nyeri di bagian menusuk sampai ke
dada kiri sudah punggung belakang,
berkurang
O KU= lemah, KU : Lemah KU : Lemah,
Kesadaran : CM, Kesadaran:CM, Kesadaran : CM,
VAS 8/10 VAS 8/10 VAS 8/10
TD : 120/83 mmHg, TD : 119/80 mmHg, TD : 115/85 mmHg,
Nadi : 73 x.m, Nadi : 72x/m, Nadi : 72x/m,
RR : 20 x/m, RR : 23 x/m, RR : 23 x/m,
SpO2 : 98% (O2 4 SpO2 : 98% (O2 4Lpm) SpO2 : 98% (O2 4Lpm)
lpm) EKG monitor : ST EKG monitor : ST elevasi lead
EKG monitor : ST elevasi lead V3, V4 V3, V4
elevasi lead V3, V4

A IMA-EST segmen IMA-EST segmen IMA-EST segmen anterior


anterior anterior
P ISDN 5 mg SL ISDN 5mg SL Konsul dr.Sutarmawan, Sp.JP
(pemberian ke-2) (pemberian ke-3, (09.50 wita)
Observasi dosis maksimal)  Drip ISDN
nyeri dan tanda-tanda Observasi nyeri & TTV 1mg/jam
vital  Observasi tanda
vital
Konsul dr.Anom, Sp.An
 Terapi
mengikuti dpjp
 Advice :
persiapkan
injeksi
morphine bila
nyeri tidak
berkurang

41
Observasi Ruang : ICU Ruang : ICU
Pasien Pukul : 11.00 wita Pukul : 15.00 wita
S Pasien mengeluh nyeri (terutama di VISITE dr. Sutarmawan, Sp.JP
bagian punggung kiri),

O KU : Tampak lemah. Kesadaran : CM, KU :tampak lemah. Kesadaran : CM, VAS


VAS 8 / 10 8 / 10
TD : 106/73 mmHg, TD : 113/81 mmHg,
Nadi : 74 x/m (regular, kuat angkat, isi Nadi : 82 x/m,
cukup), RR : 19x/m,
RR : 23 x/m , SpO2 : 99% (O2 4 Lpm) SpO2 : 98% (O2 4Lpm)
EKG monitor : ST elevasi lead V3, V4 EKG monitor : ST elevasi lead V3, V4

A IMA-EST segmen anterior IMA-EST segmen anterior


Hypertensive Heart Disease

P Konsul dr.Sutarmawan, Sp.JP Instruksi dr.Sutarmawan, Sp.JP


 Injeksi morphine 2 mg IV (bolus  Morphine IV 2 mg bolus pelan ->
pelan) dapat diulang / 10 menit bila masih
 Observasi nyeri dan tanda vital nyeri
 Besok cek lab GDP, GD2PP, profil
lipid
 Bila kondisi stabil, besok pindah
ruangan.

42
Observasi Ruang : ICU Ruang : ICU
Pasien Pukul : 19.15 wita Pukul : 19.30 wita
S penurunan kesadaran Pasien tidak mengalami ROSC

O KU : Tampak buruk. Kesadaran : Koma GCS E1 V1 M1. Arteri carotis communis : tidak
(E1 V1 M1) teraba. Pupil : midriasis total 5/5(mm).
TD : tidak teraba, Ekstremitas : akral dingin, CRT >2”, sianosis
Nadi : arteri carotis communis tidak
teraba, EKG : Asistole
RR : 18 x/menit,
SpO2 : tidak terdeteksi
Pupil : midriasis, isokor 4mm/4mm,
RCL -/-, RCTL -/-
Ekstremitas : akral dingin, CRT<2”
EKG : Pulseless Electricity Activity

A IMA-EST segmen anterior + Cardiac IMA-EST segmen anterior + Cardiac Arrest


Arrest
P Mulai RJP, Oksigen bag, observasi Pasien dinyatakan plus (+)
monitor KIE keluarga
Konsul dr. Sutarmawan, Sp.JP ->
tatalaksana algoritma cardiac
arrest (non-shockable)
 RJP 2 menit
 Epinefrin tiap 3-5 menit
 Observasi monitor -> non-
shockable
 Ulangi siklus

43
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

A. Penegakkan Diagnosis

Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang yang didapatkan dari pasien, antara lain :

 Anamnesis : nyeri dada spesifik persisten ± 3 jam SMRS, tidak


berkurang dengan istirahat, tidak berkurang dengan pemberian
nitrogliserin selama di RS
 Faktor resiko : Laki-laki, usia ≥ 75 tahun, perokok aktif, riwayat
hipertensi dan diabetes mellitus tidak terkontrol
 Interpretasi EKG : elevasi segmen ST lead V3, V4 (segmen anterior),
rontgen thoraks : kardiomegali
 Dalam kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan enzim jantung karena
keterbatasan fasilitas

Maka sesuai dengan kriteria, pasien didiagnosis sebagai Infark Miokard Akut
dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST).

B. Tatalaksana IMA-EST
Tatalaksana kegawatdaruratan sudah dilakukan sesuai guideline IMA-EST,
meliputi :
 Penanganan hipoksia : pasien diberikan O2 melalui nasal kanul sebesar
4 Lpm
 Pemberian DAPT : pasien diberikan loading aspirin 3 tablet (240 mg),
sesuai dosis literature yaitu 160-320 mg dan memberitahu pasien untuk
mengunyah tablet. Serta pemberian clopidogrel 4 tablet (300 mg) sesuai
dengan literature.

44
 Penanganan nyeri dan hipertensi : pasien diberikan isosorbid dinitrat
(ISDN) 5 mg secara sublingual, dapat diulang bila nyeri masih
berlangsung dengan interval 15 menit (maksimal tiga kali pemberian),
dengan tetap memantau tekanan darah. ISDN diberikan bila TDs >
100mmHg.
 Pada pasien ini, nyeri masih berlangsung walaupun sudah pemberian
dosis SL maksimal. Maka sesuai dengan literature dan konsul dokter
penanggungjawab, pasien diberikan ISDN secara intravena (pada kasus
ini drip ISDN 1mg/jam).
 Selama observasi, pasien masih mengeluh nyeri setelah pemberian
ISDN intravena. Sesuai literature, untuk mengurangi rasa nyeri dapat
diberikan morphine sulfat intravena 1-5 mg setiap 10-30 menit. Sesuai
dengan konsul dokter penangungjawab, pasien diberikan MO 2mg IV
(bolus pelan).
 Pemberian antikoagulan : Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada
terapi antiplatelet secepat mungkin. Pemilihan antikoagulan dibuat
berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia. Enoxaparin (1 mg/kg,
2x/hari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah
apabila fondaparinux tidak tersedia.
Dosis enoxaparin sesuai literature untuk IMA-EST:
Usia ≥ 75 tahun
 Tidak bolus intravena
 Dosis 0.75 mg/kg SC (waktu paruh 12 jam)
 Tidak boleh melebihi 120 mg

Usia < 75 tahun

 Dosis loading 30 mg IV bolus satu kali, ditambah dengan


1mg/kg SC satu kali
 Dosis pemeliharaan 1 mg/kg (waktu paruh 12 jam)

45
Terapi Reperfusi

Pada kasus ini, waktu keterlambatan pasien menuju faskes non-IKP


yaitu jam sejak onset gejala muncul. Penegakan diagnosis dilakukan dalam 10
menit di IGD RS Wisma Prashanti. Dikarenakan lokasi faskes IKP primer tidak
tercapai dalam kurun waktu 120 menit, maka terapi reperfusi yang seharusnya
dipilih adalah fibrinolsis. Namun, pada kasus ini tidak dilakukan terapi
fibrinolisis

Pemberian terapi jangka panjang SKA

Untuk mengurangi insidens risiko henti jantung / Major Adverse Cardiac


Arrest (MACE) dan meningkatkan kelangsungan hidup jangka panjang,
diperlukan beberapa terapi tambahan. Sesuai dengan literature, pada laporan
kasus ini, dokter penanggungjawab juga memberikan terapi-terapi meliputi :

 Beta-blockers
Bisoprolol 1 x 5 mg
 Terapi penurunan profil lipid [HMG-CoA reductase inhibitors
(statins]
Simvastatin 1 x 20 mg (0-0-1)

Efek dan Keamanan Penggunaan Morfin pada IMA-EST

Morfin sebagai terapi analgetik pada sindrom koroner akut sudah


digunakan secara global dan direkomendsikan dalam guideline kardiologi. Hal
tersebut dikaitkan dengan efek morfin dalam menurunkan tekanan darah,
menurunkan denyut jantung, dan meredakan kecemasan pasien, sehingga
mampu menurunkan kebutuhan oksigen miokardium, ditambah lagi beberapa
studi membuktikan bahwa morphine (secara umum opioid) dipertimbangkan
sebagai terapi utama dan paling efektif terhadap tatalakasana nyeri akut.
Meskipun demikian, guideline mengenai terapi morfin tidak berdasarkan

46
randomized clinical trials (RCT), melainkan hanya berdasarkan pendapat ahli
yang sebenernya jauh dari bukti evidence. Selain itu, morfin diketahui memiliki
efek samping meliputi hipotensi, bradikardi, dan depresi pernapasan, mungkin
dapat berefek buruk pada dosis tinggi 11.

Pada pasien IMA, beberapa medikasi yang berpengaruh penting


terhadap mortalitas dan morbiditas diberikan secara bersamaan, ,dengen
demikian meningkatkan potensi risiko interaksi antar obat. Dalam 3 tahun
terakhir, studi menemukan interaksi morfin-antiplatelet ternaya memberikan
hasil akhir yang buruk terhadap pasien. Interaksi obat dapat terjadi akibat
interaksi farmakokinetik meliputi laju absorbs, siklus metabolic, transportasi
obat melewati membrane dan ikatan protein. Opioid menwarkan efektivitasnya
yang tinggi dalam mengurangi nyeri, tetapi aktivitas terapeutiknya berkurang
oleh karena efek samping gastrointestinal. Opioid menurunkan motilitas traktus
gastrointestinal dan menurunkan sekresi usus baik melalui susunan saraf pusat
maupun reseptor perifer di saluran cerna tersebut. Hal ini juga menimbulkan
efek mual dan muntah pada pasien, berdasarkan hipotesa bahwa opioid dosis
rendah dapat mengaktifkan reseptor opioid mu (µ) di chemoreseptor trigger
zone (CTZ) sehingga menstimulasi muntah 12.

Opioid mencetuskan disfungsi usus, yang juga menjadi efek samping


lainnya, sehingga menurunkan atau memperlambat absorbsi dan menurunkan
kadar puncak konsentrasi obat oral. Pada kasus ini, injeksi morfin
memperlambat konsentrasi maksimal clopidogrel dalam plasma, menurunkan
aktivitas metabolic clopidogrel. Sebagai hasil akhirnya, adminstrasi morfin
memperlambat absorpsi clopidogrel dan memperlambat penghambatan
agregasi platelet. Efek yang sama juga ditimbulkan terhadap interaksi morfin
dan P2Y12 inhibitor (prasugrel dan ticagrelor) 12 .

47
C. Henti jantung mendadak pada pasien IMA-EST
Aritmia ventricular, pulseless electrical activity (PEA), dan asistol dapat
terjadi pada fase awal oklusi koroner akut, menyebabkan kolaps hemodinamik,
dan mengakibatkan “henti jantung mendadak”. Oleh karena meningkatnya
kasus, Europian Society of Cardiology (ESC) 2012 dan American College of
Cardiology Foundation AHA 2013 mengeluarkan guideline yang
merekomendasikan angiografi emergensi dan intervensi PCI pada pasien
STEMI.
Pada kasus ini, pasien mengalami henti jantung mendadak setelah 10
jam perawatan di ICU, pasien mengalami cardiac arrest(arteri carotis communis
tidak teraba) dengan gambaran EKG aritmia tidak shockable (Pulseless
Electricity Activity). Sesuai dengan algoritma penanganan henti jantung non-
shockable, pasien dilakukan RJP 5 siklus + bolus epinephrin 3 amp selama 30
menit, sampai pasien dinyatakan plus 13.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Makki N, Brennan Theresa M, Girotra S. Acute Coronary Syndrome. J


Intensive Care Med.2013 00(0) 1-15

2. Anderson David R..Core Curiculum for the Cardiovascular Clinician


.American College of Cardiology. Acute Coronary Syndromes: Review and
Update. USA.2016

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Aku Edisi Keempatt. 2018.
http://www.inaheart.org/upload/file/Buku-ACS-2018.pdf {Accessed 27th
May 2019}

4. P2PTM Kemenkes RI. Hari Jantung Sedunia 2018; “MY HEART, YOUR
HEART”. Available from: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/dki-jakarta/hari-jantung-sedunia-2018-my-heart-your-heart {Accesed
15th August 2019}

5. Hewins K. In: Acute Coronary Syndrome Summit. NSTE-ACS Guidelines


Overview. Chicago 2016. p 1-47.

6. Dharma S. Cara Mudah Membaca EKG. BAB IV Gambaran EKG pada


Iskemis, Injuri, dan Infark Miokard. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2017.

7. Society of Cardiology (ESC). ESC Guidelines for the European


management of acute coronary syndrome in patients presenting without
persistent ST-segment elevation. 2016. Downloaded from
http://academic.cup.com/eurheartj/article-abstract/373/2672/2466000.
[Accessed 14th August 2019].

8. Tunuguntls A. .Interventional Cardiology .Nebraska Heart Institute.. Acute


Coronary Syndromes & Thrombolytics: Lincoln, USA. 2016

49
9. European Society of Cardiology (ESC). ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation. 2017. Downloaded from
th
http://academic.cup.com/eurheartj/. [accessed 14 August 2019].

10. European Society of Cardiology (ESC). ESC Guidelines for the


management of acute coronary syndrome in patients presenting without
persistent ST-segment elevation-Web Addenda. 2016. Downloaded from
http://academic.cup.com/eurheartj/ . [accessed 14th August 2019].

11. Duarte GS, Nunes-Ferreira A, Rodrigues DB, Pinto FJ, Ferreira JJ, Costa J,
Caldeira D. Morphine in acute coronary syndrome: systemic-review and
meta-analysis. BMJ Open 2019;9:e025232. DOI:10.1136?bmjopen-2018-
025232. {Accessed 23rd January 2019}

12. Bonin M, Mewton N, Roubille F, et al. Effect and Safety of Morphine use
in Acute Anteror ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. J Am Heart
Assoc. 2019;7:e006833. DOI: 10.1161/JAHA.117.006833.).Downloaded
from http://jaha.ahajournals.org/.{Accessed August 15th 2019}.

13. Low LS, Kern KB. Importance of Coronary Artery Disease in Sudden
Cardiac Death. J Am Heart Assoc. 2015;3:e001339. DOI:
10.1161/JAHA.114.001339.).Downloaded from http://ahajournals.org.{Ac
cessed August 30th 2019}.

50
51

Anda mungkin juga menyukai