PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Pembuatan laporan kasus ini ditujukkan untuk mengetahui lebih jelas
mengenai penegakkan diagnosa dan penanganan kasus sindrom koroner akut,
sebagai salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapatkan perhatian khusus
di Indonesia. Serta sebagai pemenuhan tugas internship di RS. Wisma
Prashanti, Tabanan, Bali.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
dengan oklusi arteri koroner parsial umumnya tidak terlihat gambaran elevasi
segmen ST, tetapi dapat terjadi perubahan sugestif iskemia lainnya pada
gambaran elektrokardiogram (misal; depresi segmen ST, inversi gelombang T).
pasien dengan gambaran tersebut diklasifikasikan mengalami Angina Pektoris
Tidak Stabil / Unstable Angina Pectoris (UAP) atau non-elevasi segmen ST
(IMA-NEST), tergantung dari apakah mereka mengalami luka pada
miokardium, yang terlihat dari enzim jantung (elevasi enzim troponin).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner, sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi dinamis juga dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang),
serta disritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran, dan fungsi
ventrikel) 3.
3
B. Epidemiologi Sindrom Koroner Akut di Indonesia
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa
secara nasional terdapat 0,5% prevalensi penyakit jantung koroner yang
didiagnosis dokter. Prevalensi tersebut paling tinggi di provinsi Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, DKI Jakarta dan Aceh 4.
4
C. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut
5
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST akut (IMA-EST)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini membutuhkan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner
perkutan primer. Diagnosis IMA-EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pectoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan
bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil
peningkatan biomarka jantung 3.
6
D. Penegakkan Diagnosis Sindrom Koroner Akut
D.1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapularis, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten (>20 menit), keluhan
mungkin tidak berkurang dengan istirahat maupun pemberian nitrogliserin.
Pada pasien yang memiliki riwayat angina stabil, gejala tidak nyaman pada
dada yang mengarah ke SKA biasanya lebih berat dibandingkan pasien yang
baru mengalami gejala SKA. Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop 3.
1. Pria
2. Diketahui mempunyai riwayat penyakit aterosklerosis non-koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
7
4. Mempunyai faktor resiko: umur, hipertensi, merokok, dyslipidemia,
diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifikasikan
sebagai risiko tinggi, risiko sedang, atau risiko rendah menurut National
Cholesterol Education Program (NCEP) 1,2.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
segera setelah sampai di Unit Gawat Darurat, kurang lebih dalam waktu 10
menit sejak kedatangan. Sadapan V34 dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah pada
iskemia dinding inferior 6.
8
suplai oksigen yang konstan untuk menghasilkan energi. Pada keadaan
penyempitan pembuluh darah koroner, akan terjadi penurunan aliran darah
(iskemia) dan daerah yang mengalami iskemia tentunya tidak dapat membentuk
energy untuk repolarisasi., sehingga arah gelombang T akan bergerak menjauh
meninggalkan daerah iskemia. Pada EKG, keadaan iskemia tersebut bisa dilihat
berupa aanya inversi gelombang T maupun depresi segmen ST, tergantung
beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG. Diduga iskemia miokard, jika
depresi segmen ST ≥ 0,5 mm (setengah kotak kecil) terletak dibawah garis
baseline (garis isoelektrik) dan 0,04 detik dari J point, serta dijumpai pada dua
atau lebih sadapan yang berhubungan . sedangkan inversi gelombang T
dianggap bermakna jika dalamnya ≥ 0,2 mV (lebih dari dua kotak kecil) 6.
Pada uji latih jantung dengan beban (misalnya treadmill test), jika
terdapat depresi segmen ST tipe horizontal atau downslope sebesar 1 mm dan
80 milidetik (0,08 detik) dari J point, maka disebut respon iskemia positif 6.
9
Contoh EKG iskemia miokard
10
karakteristik tertentu sesuai waktu dan kejadian selama infark. Jika elevasi
segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark miokard, maka harus
dipikirkan adanya aneurisma ventrikel 6.
11
Menentukan lokasi infark miokard
12
C.4. Pemeriksaan Biomarka Jantung
13
C.5. Pemeriksaan Invasif (angiografi koroner)
14
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes biomarka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan
sebagai berikut: non kardiak, angina stabil, kemungkinan SKA, dan definitif
SKA (gambar 1) 3.
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau non-diagnostik, dan
3. Biomarka jantung normal.
1. Angina tipikal
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk IMA-EST,
depresi ST, atau inversi T yang diagnostic sebagai keadaan iskemia miokard,
atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan biomarka jantung.
15
E. Diagnosis Banding 2,7
1. Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung
(stenosis dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai
perubahan EKG dan peningkatan marka jantung menyerupai pasien IMA-
NEST.
2. Miokarditis dan pericarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada,
perubahan EKG, peningkatan biomarka jantung, dan gangguan gerak
dinding jantung menyerupai pasien IMA-NEST.
3. Diagnosis banding non-kardiak yang mengancam jiwa, seperti infark
pulmonal, trauma tumpul dada, diseksi aorta.
4. Diagnosis banding non-kardiak lainnya seperti GERD, nyeri
muskuloskeletal, serangan panik, dll.
Terapi awal adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja
“kemungkinan SKA”atau “SKA”atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/ atau biomarka jantung 2,8.
1. Tirah baring
2. Pengukuran saturasi oksigen perifer
a. Oksigen 4L/ menit diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2
<90%) atau PaO2 <60 mmHg
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan Sao2 ≥ 90%
3. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual lebih cepat.
16
4. Penghambat reseptor adenosine difosfat (ADP)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien IMA-
EST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP
yang dianjurkan adalah clopidogrel).
5. Nitrogliserin (NTG) spray / tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri
tidak hilang dengan 1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai
maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak
responsive dengan 3 terapi NTG sublingual. Bila tidak tersedia, dapat
digantikan dengan isosorbid dinitrat.
6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsive dengan 3 dosis sublingual NTG.
17
Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST
(IMA-EST)
A. Epidemiologi IMA-EST
Secara global, sindrom koroner akut merupakan penyebab tersering
kasus kematian dan frekuensi nya terus meningkat. Walaupun, di Eropa, sudah
terjadi penurunan mortalitas SKA selama tiga decade. Angka kejadian SKA di
Eropa saat ini mencapai 1,8 juta kematian per tahun, atau 20% dari penyebab
kematian di Eropa, dengan berbagai variasi kasus di setiap negara. 8
Insiden kasus IMA-EST dan IMA-NEST mengalami peningkatan dan
penurunan secara berurutan. Insiden STEMI terendah di Eropa ditemukan di
Swedia, yaitu 58 dari 100.000 kasus per tahun (data 2015). Di negara Eropa
lainnya, secara umum insiden STEMI ditemukan kisaran 43-144 per 100.000
kasus per tahun. Tidak jauh berbeda dengan insiden kasus di Amerika Serikat,
terjadi penurunan insiden dari 133 per 100.000 kasus per tahun (1999) menjadi
50 per 100.000 kasus per tahun (2008). Menurut studi, terdapat kasus yang
persisten ditemui pada IMA-EST, yaitu relatif lebih sering terjadi pada usia
lebih muda dan pada laki-laki 8.
Mortalitas pada pasien IMA-EST dipengaruhi oleh beberapa faktor,
meliputi usia dan jenis kelamin, kelas KILIP, waktu terapi dini (dan
keterlambatan penanganan awal), ketersediaan alat emergensi (dalam kasus ini
IKP), riwayat penyakit meliputi; infark miokard, diabetes mellitus, gagal ginjal,
penyakit jantung koroner, serta fungsi ventrikel kiri (ejection frection) 8.
Angka kejadian sindrom koroner akut mencapai tiga sampai empat kali
lebih tinggi pada pasien pria dibandingkan wanita (dibawah usia 60 tahun).
Tetapi diatas usia 75 tahun, lebih banyak ditemukan kasus pada pasien wanita.
Pada pasien wanita lebih sering dijumpai gejala-gejala atipikal, sehingga perlu
untuk meningkatkan kewaspadaan kasus infark miokard pada pasien wanita.
18
Pasien wanita juga memiliki resiko lebih tinggi terjadinya komplikasi
perdarahan pada proses PCI, sehingga beberapa studi mengindikasikan
intervensi dan terapi reperfusi yang lebih sedikit diberikan pada pasien wanita
8,9
.
B. Penanganan Kegawatdaruratan
19
V1-V3, bersamaan dengan ditemukan gambaran ST elevasi pada sadapan V7-
V9, diidentifikasi sebagai infark miokard posterior.
20
Penting untuk ditandai bahwa ditemukannya (dugaan) LBBB baru, tidak
mengestimasi terjadinya kasus IMA-EST di kemudian hari.
Pasien dengan IMA dan blok cabang berkas kanan (RBBB) memiliki
prognosis buruk. Ditemukan kesulitan dalam mendiagnosis iskemia transmural
pada pasien dengan manifestasi klinis nyeri dada dan gambaran RBBB. Oleh
karena itu, strategi PCI primer (angiografi koroner darurat dan PCI bila
diindikasikan) harus dipertimbangkan ketika terjadi gejala iskemia persisten
selama ditemukan RBBB.
21
yang harus mendapatkan strategi PCI segera pada pasien dengan gejala
menetap infark miokard.
Penanganan nyeri merupakan hal utama dan penting, tidak hanya untuk
kenyamanan pasien tetapi karena rasa nyeri berhubungan dengan aktivasi
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan kerja pompa
jantung. Analgesik tersering yang diberikan pada kondisi tersebut adalah titrasi
opioid intravena (misal; morfin). Namun, penggunaan morfin dihubungkan
dengan uptake (serapan) yang lama, onset kerja yang terlambat, dan
mengurangi efek agen antiplatelet oral (misal clopidogrel, ticagrelor, dan
prasurgel), yang dapat menyebabkan kegagalan terapi inisiasi pada individu .
22
peningkatan cedera/kerusakan miokardium. Oleh karena itu, pemberian
oksigen rutin tidak direkomendasikan ketika SaO2 ≥ 90%.
23
C. Keterlambatan penanganan IMA-EST
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien IMA-EST harus mencatat dan mengawasi segala penundaan
yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas
berikut ini 2 :
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama≤ 10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolysis ≤ 30 menit
b. Untuk IKP primer ≤ 90 menit (IKP primer tersedia), ≤120 menit
(bila pasien perlu ditansfer ke IKP primer.
24
D. Terapi Reperfusi
25
kasus infark miokardium berulang, dan menurunkan risiko stroke dibandingkan
fibrinolitik. Namun, pada beberapa kasus yang tidak memungkinkan segera
dilakukannya PCI primer, manajemen fibrinolitik harus diinisiasi secepatnya
(10 menit dari diagnosis STEMI)
Strategi Reperfusi
Waktu absolut dari diagnosis IMA-EST ke reperfusi IKP (wire crossing) adalah
120 menit. Jika diperkirakan lebih dari 120 menit, strategi reperfusi yang dipilih
adalah fibrinolitik. Injeksi bolus fibrinolitik harus dilakukan dalam 10 menit
dari diagnosis IMA-EST ditegakkan. Setelah pemberian fibrinolitik, pasien
dirujuk ke RS dengan fasilitas IKP..
26
Rescue PCI diindikasikan terhadap kasus gagal terapi fibrinolitik
(misal; resolusi segmen ST <50% dalam 60-90 menit pasca administrasi
fibrinolitik), atau terjadi instabilitas hemodinamik, perburukan iskemia, dan
nyeri dada persisten, walaupun sesuai algoritma akan tetap diindikasikan
strategi PCI rutin setelah tindakan fibrinolisis berhasil (2-24 jam setelah
fibrinolisis).
27
Intervensi Koroner Perkutan Primer
Intervensi koroner perkutan (IKP) primer merupakan IKP emergensi
dengan balloon, stent, atau alat lainnya, yang dikerjakan pada arteri infark
(infart-related artery/IRA) tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. Bila pasien
tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet ganda (DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, lebih disarankan drug-eluting
stents (DES) dari pada bare metal stents (BMS).
28
2. Clopidogrel (dosis loading 600 mg, dosis pemeliharaan 75 mg perhari), bila
ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan.
Terapi Fibrinolitik
29
kontraindikasi relative (TIA dalam 6 bulan terakhir, pemakaian antikoagulan
oral)
30
E. Terapi jangka panjang IMA-EST
Perubahan gaya hidup dan faktor resiko 9
1. Stop merokok
2. Diet, alkohol, dan kontrol berat badan
3. Aktivitas fisik sesuai rehabilitasi jantung
4. Kontrol tekanan darah
5. Kepatuhan terapi
Terapi antitrombotik
1. Aspirin
Aspirin direkomendasikan pada semua pasien dengan IME-EST. untuk
pencegahan jangka panjang, aspirin dosis rendah (75-100 mg)
diindikasikan karena efek anti iskemik yang sama dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit 9
2. Dual Antiplatelet Therapy (DAPT) dan Terapi kombinasi
antitrombotik
DAPT direkomendasikan selama 12 bulan. Proteksi gaster dengan PPI
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saliran cerna dan
pasien dengan risiko perdarahan, seperti lansia, penggunaan antikoagulan
oral, penggunaan NSAID 9.
Beta-blockers
31
Terapi penurunan profil lipid
Terapi ini perlu segera dimulai sedini mungkin, dengan intensitas tinggi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial. Profil lipid perlu di re-evaluasi
kembali dalam 4-6 minggu setelah IMA, untuk mengetahui pencapaian
target.Terapi optimal bila konsentrasi LDL-C mencapai <1,8 mmol/L (70
mg/dl) atau setidaknya penurunan 50% dari kadar normal 1,8-3,5 mmol/L
ACE-Inhibitor
ACE-inhibitor direkomendasikan pada pasien dengan gangguan LVEF (≤
40%) atau yang mengalami gagal jantung pada fase awal, pasien gagal ginjal
dan diabetes. Apabila pasien tidak toleran dengan ACE-I, dapat digantikkan
dengan angiostensin II receptor blocker (ARB) 9.
32
F. Komplikasi IMA-EST
1. Disfungsi miokardium
Disfungsi ventrikel kiri dapat terjadi selama fase akut dan subakut IMA-
EST. hal ini dapat terjadi transien atau persisten, tergantung dari durasi
sikemia dan terapi reperfusi. Perbaikan fungsi ventrikel biasanya mengikuti
keberhasilan reperfusi miokardium dini, tetapi berlangsung selama
beberapa minggu namun tidak selalu terjadi 10.
1.1 Disfungsi ventrikel kiri
Merupakan konsekuensi yang paling sering terjadi akibat IMA-EST,
dan masih menjadi penyebab independen mortalitas. Hal ini semakin
diperberat dengan adanya aritmia, disfungsi katup. Diagnosis
ditegakkan melalui ekokardiografi 10.
1.2 Aneurisma ventrikel kiri
Kurang dari 5% pasien yang mengalami infark miokardium transmural
besar, mengalami remodeling menjadi aneurisma ventrikel kiri.
Diagnosis biasanya ditegakan setelah terjadi gagal jantung, yang
mungkin memerlukan terapi bedah 10.
1.3 Thrombus ventrikel kiri
Pembentukan thrombus merupakan komplikasi yang cukup sering
terjadi pada pasien dengan infark miokard segmen anterior. Setelah
diagnosis ditegakkan, terapi antikoagulan oral harus dikonsumsi selama
6 bulan dengan diikuti reevaluasi ekokardiografi. Pasien
dipertimbangkan beresiko perdaeahan sehingga perlu tambahan terapi
antiplatelet 10.
1.4 Regurgitasi katup mitral sekunder
Merupakan komplikasi yang terjadi terlambat. Ketika ventrikel kiri
mengalami remodeling / dilatasi, otot papilaris menjadi regang dan
berpindah, sehingga menyebabkan dilatasi annulus katup mitral. Hal ini
33
menyebabkan leaflet menjadi kaku selama proses sistolik, dan tidak
dapat menutup sempurna menyebabkan regurgitasi. 10
2. Gagal Jantung
2.1 Manifestasi Klinis
Edema Paru
Dapat terjadi mulai dari derajat ringan-sedang (KILIP kelas 2)
sampai derajat berat (KILIP kelas 3), membaik segera dengan
terapi medis dan reperfusi, atau berlangsung menjadi gagal
jantung kronik, yang diterapi sesuai guideline gagal jantung
kronik 9.
Hipotensi
Kriteria tekanan darah sistolik <90 mmHg, yang terjadi akibat
disfungsi ventrikel kiri atau ventrikel kanan, penurunan curah
jantung, gangguan ritme jantung, disfungsi katup, maupun terapi
farmakologi yang berlebihan. Pasien bisa datang tanpa gejala
hingga penurunan kesadaran atau sinkop. Bila berlansung lama,
hipotensi mencetuskan disfungsi ginjal akut maupun komplikasi
sistemik lainnya 9.
Syok Kardiogenik
Kriteria syok kardiogenik meliputi ; hipotensi persisten (TDs
<90mmHg), takikardia saat istirahat, perubahan status
mental/kesadaran, oliguria, dan penurunan perfusi perifer (akral
dingin, sianosis, CRT <2”) 10
.
34
BAB III
LAPORAN KASUS
CATATAN MEDIS PASIEN
Pasien datang ke IGD RS Wisma Prashanti dengan keluhan nyeri dada kiri (terasa berat
seperti tertimpa beban) sejak 3 jam sebelum datang ke rumah sakit (pukul 03.00 wita).
Nyeri dirasakan menjalar ke pungung kiri seperti ditusuk, terasa ke rahang bawah serta
lengan kiri. Sesak napas disangkal, berdebar-debar disangkal, pasien mengeluh mual
dan keringat berlebih. Awalnya nyeri saat pasien sedang berjalan menuju kamar mandi
Nyeri tersebut tidak berkurang dengan istirahat. Pasien meminta pertolongan tetangga
untuk diantar ke rumah sakit, sehingga pasien baru tiba di rumah sakit pukul 06.00
wita.
Pasien mengatakan keluhan ini sudah pernah dirasakan sebelumnya (kurang lebih 1
bulan lalu), tetapi nyeri dada sebelumnya hanya sebentar (<10 menit) dan hilang
35
dengan istirahat.. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol, diabetes mellitus
tidak terkontrol. Riwayat penyakit dalam keluarga tidak diketahui.
Pasien perokok aktif sejak lama (± usia 20 tahun), setengah bungkus per hari. Pasien
mengkonsumsi kopi setiap hari (tiga gelas dalam sehari). Kedua kebiasaan tersebut
diakui pasien untuk menambah semangat saat bertani, meskipun sudah usia lansia.
Faktor resiko PJK : Laki-laki, usia ≥75 tahun, Hipertensi dan DM tidak terkontrol
Observasi pasien
Ruang : IGD RS Wisma Prashanti
Pukul : 07.00 wita
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : lemah
Kesadaran pasien : komposmentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 220 / 120 mmHg
Nadi : 72 x / menit (regular, kuat angkat, isi cukup)
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu tubuh : 36,40 c
Saturasi oksigen : 91 %
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 170 cm
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(+/+), reflek cahaya (+/+)
Leher : JVP R+2 cmH2O
Thorax : Inspeksi = simetris fusiformis
36
Palpasi = VF simetris
Perkusi = sonor di kedua lapang paru
Auskultasi = Cor (S1 S2 reguler, gallop -, murmur -)
Pulmo (BND vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-)
Abdomen : Inspeksi = Tampak datar
Auskultasi = Bising usus normal
Palpasi = Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi = Timpani, asites (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2, edema (-), sianosis (-)
Gambaran EKG
37
38
Interpretasi EKG
Sinus ritme, QRS rate 60x/menit
QRS axis : normoaxis, P wave (+) normal,
QRS duration : 0,08 detik, PR interval : 0,12
ST elevasi : lead V3, V4
Gelombang Q patologis : lead V4
Kesan : Sinus ritme + IMA-EST segmen anterior
39
Foto X-Ray Thorax
40
Data Pengamatan Kondisi Pasien
41
Observasi Ruang : ICU Ruang : ICU
Pasien Pukul : 11.00 wita Pukul : 15.00 wita
S Pasien mengeluh nyeri (terutama di VISITE dr. Sutarmawan, Sp.JP
bagian punggung kiri),
42
Observasi Ruang : ICU Ruang : ICU
Pasien Pukul : 19.15 wita Pukul : 19.30 wita
S penurunan kesadaran Pasien tidak mengalami ROSC
O KU : Tampak buruk. Kesadaran : Koma GCS E1 V1 M1. Arteri carotis communis : tidak
(E1 V1 M1) teraba. Pupil : midriasis total 5/5(mm).
TD : tidak teraba, Ekstremitas : akral dingin, CRT >2”, sianosis
Nadi : arteri carotis communis tidak
teraba, EKG : Asistole
RR : 18 x/menit,
SpO2 : tidak terdeteksi
Pupil : midriasis, isokor 4mm/4mm,
RCL -/-, RCTL -/-
Ekstremitas : akral dingin, CRT<2”
EKG : Pulseless Electricity Activity
43
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
A. Penegakkan Diagnosis
Maka sesuai dengan kriteria, pasien didiagnosis sebagai Infark Miokard Akut
dengan Elevasi Segmen ST (IMA-EST).
B. Tatalaksana IMA-EST
Tatalaksana kegawatdaruratan sudah dilakukan sesuai guideline IMA-EST,
meliputi :
Penanganan hipoksia : pasien diberikan O2 melalui nasal kanul sebesar
4 Lpm
Pemberian DAPT : pasien diberikan loading aspirin 3 tablet (240 mg),
sesuai dosis literature yaitu 160-320 mg dan memberitahu pasien untuk
mengunyah tablet. Serta pemberian clopidogrel 4 tablet (300 mg) sesuai
dengan literature.
44
Penanganan nyeri dan hipertensi : pasien diberikan isosorbid dinitrat
(ISDN) 5 mg secara sublingual, dapat diulang bila nyeri masih
berlangsung dengan interval 15 menit (maksimal tiga kali pemberian),
dengan tetap memantau tekanan darah. ISDN diberikan bila TDs >
100mmHg.
Pada pasien ini, nyeri masih berlangsung walaupun sudah pemberian
dosis SL maksimal. Maka sesuai dengan literature dan konsul dokter
penanggungjawab, pasien diberikan ISDN secara intravena (pada kasus
ini drip ISDN 1mg/jam).
Selama observasi, pasien masih mengeluh nyeri setelah pemberian
ISDN intravena. Sesuai literature, untuk mengurangi rasa nyeri dapat
diberikan morphine sulfat intravena 1-5 mg setiap 10-30 menit. Sesuai
dengan konsul dokter penangungjawab, pasien diberikan MO 2mg IV
(bolus pelan).
Pemberian antikoagulan : Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada
terapi antiplatelet secepat mungkin. Pemilihan antikoagulan dibuat
berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia. Enoxaparin (1 mg/kg,
2x/hari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah
apabila fondaparinux tidak tersedia.
Dosis enoxaparin sesuai literature untuk IMA-EST:
Usia ≥ 75 tahun
Tidak bolus intravena
Dosis 0.75 mg/kg SC (waktu paruh 12 jam)
Tidak boleh melebihi 120 mg
45
Terapi Reperfusi
Beta-blockers
Bisoprolol 1 x 5 mg
Terapi penurunan profil lipid [HMG-CoA reductase inhibitors
(statins]
Simvastatin 1 x 20 mg (0-0-1)
46
randomized clinical trials (RCT), melainkan hanya berdasarkan pendapat ahli
yang sebenernya jauh dari bukti evidence. Selain itu, morfin diketahui memiliki
efek samping meliputi hipotensi, bradikardi, dan depresi pernapasan, mungkin
dapat berefek buruk pada dosis tinggi 11.
47
C. Henti jantung mendadak pada pasien IMA-EST
Aritmia ventricular, pulseless electrical activity (PEA), dan asistol dapat
terjadi pada fase awal oklusi koroner akut, menyebabkan kolaps hemodinamik,
dan mengakibatkan “henti jantung mendadak”. Oleh karena meningkatnya
kasus, Europian Society of Cardiology (ESC) 2012 dan American College of
Cardiology Foundation AHA 2013 mengeluarkan guideline yang
merekomendasikan angiografi emergensi dan intervensi PCI pada pasien
STEMI.
Pada kasus ini, pasien mengalami henti jantung mendadak setelah 10
jam perawatan di ICU, pasien mengalami cardiac arrest(arteri carotis communis
tidak teraba) dengan gambaran EKG aritmia tidak shockable (Pulseless
Electricity Activity). Sesuai dengan algoritma penanganan henti jantung non-
shockable, pasien dilakukan RJP 5 siklus + bolus epinephrin 3 amp selama 30
menit, sampai pasien dinyatakan plus 13.
48
DAFTAR PUSTAKA
4. P2PTM Kemenkes RI. Hari Jantung Sedunia 2018; “MY HEART, YOUR
HEART”. Available from: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-
p2ptm/dki-jakarta/hari-jantung-sedunia-2018-my-heart-your-heart {Accesed
15th August 2019}
49
9. European Society of Cardiology (ESC). ESC Guidelines for the
management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-
segment elevation. 2017. Downloaded from
th
http://academic.cup.com/eurheartj/. [accessed 14 August 2019].
11. Duarte GS, Nunes-Ferreira A, Rodrigues DB, Pinto FJ, Ferreira JJ, Costa J,
Caldeira D. Morphine in acute coronary syndrome: systemic-review and
meta-analysis. BMJ Open 2019;9:e025232. DOI:10.1136?bmjopen-2018-
025232. {Accessed 23rd January 2019}
12. Bonin M, Mewton N, Roubille F, et al. Effect and Safety of Morphine use
in Acute Anteror ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. J Am Heart
Assoc. 2019;7:e006833. DOI: 10.1161/JAHA.117.006833.).Downloaded
from http://jaha.ahajournals.org/.{Accessed August 15th 2019}.
13. Low LS, Kern KB. Importance of Coronary Artery Disease in Sudden
Cardiac Death. J Am Heart Assoc. 2015;3:e001339. DOI:
10.1161/JAHA.114.001339.).Downloaded from http://ahajournals.org.{Ac
cessed August 30th 2019}.
50
51