Anda di halaman 1dari 8

STEMI

Pengertian
Infark Miokard Akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari spectrum
sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil.
Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung adalah suatu
keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehingga sel otot jantung
mengalami kematian. Proporsi penyakit ini meningkat dari tahun ke tahun sebagai penyebab
kematian. Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan bahwa kematian karena penyakit
kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner adalah sebesar 26,4%1. Sindrom koroner akut
lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial
Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI).
Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG
Epidemiologi
STEMI lebih sering terjadi pada laki-laki (81,9%) daripada perempuan (18,1%).
Penelitian yang dilakukan Viktor Culic menunjukkan bahwa infark miokard akut lebih sering
terjadi pada laki-laki (70,8%) dibandingkan pada perempuan. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Sonia dkk. dalam sebuah studi INTERHEART, laki-laki (74,9%) lebih banyak yang mengalami
infark miokard daripada perempuan (25,1%). Santoso mengemukakan bahwa laki-laki lebih
berisiko terhadap penyakit ini daripada perempuan, dan ketika menopause perempuan menjadi
sama rentannya dengan laki-laki. Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen.
Usia rerata laki-laki (53 tahun) yang mengalami STEMI cenderung lebih muda daripada
perempuan (63 tahun). Barbara H. dkk.menyatakan bahwa perempuan yang mengalami infark
miokard akut berusia lebih tua daripada laki-laki (74,9 vs 68). Stangl dkk. juga mengemukakan
bahwa sebelum berusia 40 tahun, perbandingan penyakit jantung antara laki-laki dan perempuan
adalah 8 : 1, dan setelah usia 70 tahun perbandingannya adalah 1 : 1. Insidens puncak manifestasi
klinik penyakit jantung pada laki-laki adalah usia 50-60 tahun, sedangkan pada perempuan
adalah usia 60-70 tahun. Penyakit jantung pada perempuan terjadi sekitar 10-15 tahun lebih
lambat daripada laki-laki dan risiko meningkat setelah menopause.
Etiologi
a. Faktor penyebab
1. Suplai oksigen kejantung berkurang yang disebabkan oleh:
- Faktor Pembuluh Darah (Artherosklerosis, Spasme, Arteritis)
- Faktor sirkulasi (Hipotensi, stenosis aorta, insufisiensi)
- Faktor darah (Anemia, Hipoksemia, Polisitemia)
2. Curah jantung yang meningkat
Misalnya, aktifitas, emosi, makan yang terlalu banyak, anemia, hipertiroidisme.
3. Kebutuhan oksigen Miokard meningkat pada:

Kerusakan miokard, hipertrofi miokard, hipertensi diastole.


b. Faktor Predisposisi
1. Faktor biologis yang tidak dapat diubah
- Usia lebih dari 40 tahun
- Jenis kelamin (Angka kejadian pada pria lebih tinggi dibanding wanita)
- Hereditas
- Ras
2. Factor risiko yang dapat diubah
- Mayor: Hiperlipidemia, hipertensi, perokok berat, DM, obesitas, diet tinggi lemak
jenuh.
- Minor: Aktifitas fisik, pola kepribadian tipe A (emosiona;, agresif ambisius,
kompetitif)
Patofisiologi
Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan
terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti
secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam dan menyebabkan nekrosis miokard
transmural.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh
factor-faktor seperti merokok, hiertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptup atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus
mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokoknstriktor lokal yang poten).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Factor
VII dan X diaktifasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh thrombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
Manifestasi Klinik

Nyeri dada yang khas,


Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial
Sifat nyari : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk,
rasa diperas dan dipelintir.
- Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
-

Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.


Factor penetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas, dan lemas.

Diagnosis
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang
berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama
troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA,
prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.
Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar
jantung. Riwayat infark miokard sebelumnya, serta factor-faktor risiko antara lain hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga.
Pemeriksaan Fisis
-

Cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah)


Ekstremitas pucat disertai keringat dingin
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
S4 dan S3 gallop,
Penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksal bunyi jantung kedua
Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik atipikal yang bersifat sementara
Peningkatan suhu 38oC dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.

Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram
Elevasi segmen ST
Petanda (biomarker) kerusakan Jantung
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin
(cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial.
Penatalaksanaan
Pasien dari IGD/UGD dengan SKA dikirim ke ICCU/CVC untuk penatalaksanaan selanjutnya
yaitu sebagaimana penatalaksanaan STEMI/IMA yakni sebagai berikut:
Umum
1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2) Pantau tanda vital: setiap jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau sesuai dengan
kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau > 110 kali/mnt; tekanan darah
< 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi nafas < 8 kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
3) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat tidur dan
mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.

4) Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung (kompleks
karbohidrat 50-55% dari kalori, monounsaturated dan unsaturated fats < 30% dari
kalori), termasuk makanan tinggi kalium (sayur, buah), magnesium (sayuran hijau,
makanan laut) dan serat (buah segar, sayur, sereal).
5) Medika mentosa :
o Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika saturasi
oksigen arteri rendah (< 90%)
o Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap lima
menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau Tramadol
25-50 mg intravena. Nitrat sublingual/patch, intravena jika nyeri berulang dan
berkepanjangan.
6) Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa:
o Tujuan: door to needle time < 30 menit, door to dilatation < 60 mnt.
o Rekomendasi:
Elevasi ST > 0,1 mV pada dua atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi <12 jam, usia < 75
tahun; Blok cabang berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard
akut.
Dosis obat-obat trombolitik:
Streptokinase: 1,5 juta UI dalam 1 jam; Aktivator plasminogen jaringan
(tPA): bolus 15 mg, dilanjutkan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam
jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit.
7) Antitrombotik :
- Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
- Heparin direkomendasi pada:
o Pasien yang menjalani terapi revaskularisasi perkutan atau bedah.
o Diberikan intravena pada pasien yang menjalani terapi reperfusi dengan
alteplase: dosis yang direkomendasikan 70 UI/kgBB bolus pada saat mulai
infus alteplase, dilanjutkan lebih dari 48 jam terbatas hanya pada pasien
dengan risiko tinggi terjadi tromboemboli sistemik atau vena.
o Diberikan intravena pada infark non-Q.
o Diberikan subkutan (SK) 2 x 7500 UI (heparin intravena merupakan
trombolitik yang tidak ada kontraindikasi heparin). Pada pasien fibrilasi
atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus di ventrikel kiri.
o Diberikan intravena pada pasien yang mendapat terapi obat-obat
trombolitik non-selektif (streptokinase, anisreplase, urokinase) yang
merupakan risiko tinggi terjadinya emboli sistemik seperti di atas.
Keterangan: heparin direkomendasikan ditunda sampai 4 jam dan pada
saat itu diperiksa aPTT. Heparin mulai diberikan jika aPTT < 2 kali
kontrol (sekitar 70 detik), kemudian infus dipertahankan dengan target
aPTT 1,5-2 kali kontrol (infus awal sekitar 1000 UI/jam). Setelah 48 jam

dapat dipertimbangkan diganti heparin subkutan, warfarin, atau aspirin


saja.
8) Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
9) Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
10) Terapi tambahan:
Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi.
Dapat diberikan pada kondisi akut dan jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Inhibitor ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi,
riwayat infark miokard. Antagonis kalsium: diltiazem pada IMA non-Q.
Komplikasi
o Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan noninfark. Proses ini disebut remodeling
ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark.
o Gangguan Hemodinamik
Gangguan pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal
pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
o Syok Kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk, sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai
penyakit arteri koroner multivesel.
o Infark Ventrikel Kanan
Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferoposterior menunjukkan sekurang-kurangnya
nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Infark ventrikel kanan secara klinis menyebabkan
tanda gagal ventrikel kanan yang berat dengan atau tanpa hipotensi.
o Aritmia Pasca STEMI
- Ekstrasistol Ventrikel
- Takikardi Ventrikel
- Fibrilasi Ventrikel
- Fibrilasi Atrium
- Aritmia Supraventrikular
- Asistol Ventrikel
- Bradiaritmia dan Blok

Prognosis
Terdapat beberapa system untuk menentukan prognosis pasca IMA :
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti paru,
dan syok kardiogenik.
Tabel. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas
Definisi
I
Tak ada tanda gagal jantung kongestif
II
+ S3 dan/atau ronki basah
III
Edema paru
IV
Syok kardiogenik

Mortalitas (%)
6
17
30-40
60-80

Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan pulmonary


capillary wedge pressure (PCWP).
Tabel. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut
Klas
Indeks Kardiak (L/min/m2)
PCWP (mmHg)
I
>2,2
< 18
II
>2,2
> 18
III
< 2,2
< 18
IV
< 2,2
>18

Mortalitas (%)
3
9
23
51

TIMI risk score adalah system prognostic paling akhir yang menggabungkna anamnesis
sederhana dan pemeriksaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi
trombolitik.

NSTEMI
Pengertian
Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) merupakan oklusi sebagian dari arteri
koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST
pada EKG.
Epidemiologi
Etiologi
Patofisiologi
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang dipeberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena

thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali
dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti
lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi fakto
jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung rupture mempunyai konsentrasi ester kolesterol
dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi rupture plak dapat dijumpai sel
makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan
mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan meransang
pengeluaran hsCRP di hati.
Manifestasi Klinik
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan nyeri angina tetapi lebih intensif dan
berlangsung lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin
(Irmalita, 1996).
Angina pektoris adalah jeritan otot jantung yang merupakan rasa sakit pada dada akibat
kekurangan pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada dada sentral atau
retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Faktor
pencetus yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi berlebihan dan terkadang
sesudah makan. Hal ini karena kegiatan tersebut mencetuskan peningkatan kebutuhan oksigen.
Namun, sakit dada juga sering timbul ketika pasien sedang beristirahat (Hanafiah, 1996).
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.
Pasien terus menerus mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk menemukan
posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan
berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin (Antman, 2005).
Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis normal atau sedikit meningkat
(Irmalita, 1996). Pulsasi arteri karotis melemah karena penurunan stroke volume yang dipompa
jantung (Antman, 2005). Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat
nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah
menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan
darah kembali normal (Irmalita, 1996).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya
juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang
disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung.
Diagnosis
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan elevasi
segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-normalization, atau tanpa
perubahan EKG saat presentasi.
Untuk menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST 0,5 mm
di V1-V3 dan 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST

tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI.
Inversi gelombang T yang simetris 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI
(Tedjasukmana, 2010).
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan
Komplikasi
Prognosis

Anda mungkin juga menyukai