Anda di halaman 1dari 37

RESPONSI

ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE

Oleh:

Arsya Al Ayubi 135070101111042


Melissa 135070108121008

Pembimbing:

dr. Ardian Rizal, Sp.JP (K)

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN VASKULER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2017

1
DAFTAR ISI

Cover ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ................................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Definisi ................................................................................................. 3
2.2 Epidemologi .......................................................................................... 4
2.3 Etiologi .................................................................................................. 4
2.4 Klasifikasi .............................................................................................. 6
2.5 Patofisiologi........................................................................................... 8
2.6 Diagnosis ............................................................................................ 11
2.6.1 Anamnesis...................................11
2.6.2 Pemeriksaan fisik.....................11
2.6.3 Pemeriksaan penunjang.......12
2.7 Manajemen ......................................................................................... 15
2.7.1. Oksigenasi ................................................................................ 15
2.7.2 Pasien kongesti paru tanpa syok ................................................ 16
2.7.3 Pasien dengan hipotensi, hipoperfusi atau syok.17
BAB 3 LAPORAN KASUS .............................................................................. 19
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................... 37
BAB 5 KESIMPULAN ..................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA.41

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jantung merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sangat vital bagi
kelangsungan hidup manusia. Tanpa kerja jantung yang optimal, darah tidak bisa
terpompa ke seluruh bagian tubuh manusia, menyebabkan sel-sel tubuh
manusia tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk tetap
hidup dan berfungsi seperti biasa. Apabila ini terjadi, manusia tidak akan bisa
hidup seperti biasa.
Gagal jantung secara umum selalu menjadi salah satu penyebab kematian
nomor satu setiap tahunnya, bersamaan dengan penyakit kardiovaskuler lain
seperti penyakit jantung koroner, hipertensi dan stroke. Berdasarkan diagnosis
dokter prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13%
atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis
dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.
Gagal jantung bukan merupakan kumpulan dari gejala-gejala kegagalan
kerja jantung yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi. Gagal jantung
dapat terjadi secara akut dan kronis. Proses kronis gagal jantung diawali dengan
penyebab gagal jantung yang lama kelamaan membuat kerja jantung semakin
memburuk. Gagal jantung kronis ditandai dengan gejala-gejala gagal jantung
yang semakin lama semakin memburuk. Gagal jantung akut merupakan gejala
gagal jantung yang muncul tiba-tiba dan dapat menyebabkan kematian apabila
tidak ditangani dengan baik. Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru
tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal
jantung kronis yang dikenal dengan istilah Acute Decompensated Heart Failure
(ADHF) (Yancy et al, 2013).

3
Untuk mendiagnosis ADHF, dokter perlu menggali riwayat medis,
melakukan pemeriksaan fisik, dan juga pemeriksaan penunjang. Menurut SKDI
2012, gagal jantung akut memiliki tingkat kompetensi 3B, yang berarti dokter
umum mampu menegakkan diagnosis klinis dan memberikan terapi awal pada
keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien, serta diharapkan mampu melakukan rujukan
yang tepat bagi penanganan pasien selanjutnya (Konsil Kedokteran Indonesia,
2012).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) ?
2. Bagaimana patofisiologi dari Acute Decompensated Heart Failure
(ADHF)?
3. Bagaimana cara mendiagnosis Acute Decompensated Heart Failure
(ADHF) ?
4. Bagaimana manajemen yang tepat bagi pasien yang terdiagnosis Acute
Decompensated Heart Failure (ADHF) ?

1.3 Tujuan
1. Memahami definisi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
2. Memahami patofisiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
3. Memahami cara mengenali dan mendiagnosis Acute Decompensated
Heart Failure (ADHF)
4. Memahami manajemen Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
yang tepat

1.4 Manfaat
1. Dapat memberikan informasi terpadu mengenai ADHF
2. Dapat menjadi referensi untuk mendiagnosis serta melakukan
penatalaksanaan ADHF bagi tenaga kesehatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gagal jantung merupakan ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolic jaringan dan organ, dan merupakan stadium akhir dari sebagian
besar penyakit jantung. Gagal jantung meliputi banyak sistem organ dan
merupakan penyakit yang bersifat progresif. Apabila kemampuan kontraksi
jantung terganggu, aliran darah sistemik akan berkurang, dan kongesti darah
dapat terjadi pada sirkulasi vena paru (Kim & Banasik, 2013). Gagal jantung
bisa terjadi secara akut maupun kronis. Gagal jantung yang bersifat akut
dapat memiliki manifestasi klinis yang diklasifikasikan menjadi 6 macam;
salah satunya adalah ADHF (Mebazaa, Gheorghiade, Zannad, & Parrillo,
2008).
ADHF merupakan singkatan dari Acute Decompensated Heart
Failure. ADHF dapat didefinisikan sebagai gagal jantung dengan onset tanda
dan gejala yang relatif cepat dan ringan, namun tidak memenuhi kriteria syok
kardiogenik, edema pulmonal, atau krisis hipertensi (Mebazaa, Gheorghiade,
Zannad, & Parrillo, 2008). Gagal jantung akut merupakan penyebab
terbanyak dan mematikan dari kegawatan napas akut. Sindrom klinis ADHF
ditandai dengan adanya dispnea, secara umum berhubungan dengan
akumulasi cairan yang cepat dalam interstisial paru dan ruang alveoli, yang
merupakan akibat dari tekanan pengisian jantung yang meningkat secara
akut (edema pulmonal kardiogenik) (Ware & Matthay, 2005).

2.2 Epidemiologi
Secara global, penyakit tidak menular penyebab kematian nomor satu
setiap tahun salah satunya adalah gagal jantung. Berdasarkan diagnosis
dokter, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar
0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/gejala, sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068
orang. Berdasarkan dokter, estimasi penderita penyakit jantung terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak

5
54.826, sedangkan Utara penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 144
orang (0,02%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita
penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak
96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit ditemukan di
Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu sebanyak 945 orang (0,1%). Penderita
penyakit jantung koroner, gagal jantung dan stroke banyak ditemukan pada
kelompok umur 45-54 tahun, 55-64 tahun dan 65-74 tahun. Namun demikian,
berdasarkan diagnosis/gejala, penyakit gagal jantung cukup banyak pula
ditemukan pada penduduk kelompok umur 15-24 tahun. Penderita penyakit
jantung dan gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter maupun
diagnosis/gejala diperkirakan lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2014).

2.3 Etiologi
ADHF bisa merupakan onset baru gagal jantung, atau eksaserbasi
akut dari gagal jantung kronis yang sudah stabil sebelumnya. Oleh karena itu,
salah satu etiologinya diperkirakan adalah ketidakpatuhan minum obat gagal
jantung yang dapat menyebabkan overload cairan. Namun, penyebab lain
ADHF yang lebih berbahaya harus dipertimbangkan terlebih dahulu seperti (a)
progresivitas penyebab mendasar gagal jantung, (b) kondisi komorbid yang
memperparah gagal jantung, (c) konsumsi substansi berbahaya, (d) aritmia
baru atau rekuren, (e) kehamilan pada wanita usia reproduksi, lalu terakhir (f)
ketidakpatuhan konsumsi obat (Rahko, 2014).
Progresivitas penyakit mendasar gagal jantung harus ada dalam
diagnosis banding ADHF. Sindrom koroner akut dapat menyebabkan gejala
gagal jantung yang memburuk tanpa adanya nyeri dada yang bermakna.
Hipertensi juga dapat menyebabkan ADHF. Harus digali lebih dalam apakah
pasien meminum obat hipertensinya dengan benar, ataukah pasien
mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat meningkatkan tekanan
darahnya. Progresivitas penyakit katup atau penyakit jantung kongenital juga
bisa menjadi penyebab ADHF (Rahko, 2014).
Eksaserbasi penyakit komorbid juga dapat menyebabkan ADHF.
Beberapa komorbid yang dapat menyebabkan ADHF meliputi penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), diabetes mellitus (DM), dan penyakit kolagen

6
pembuluh darah. Adanya stresor baru seperti infeksi, penyakit tiroid, operasi
atau trauma juga dapat menyebabkan pasien stabil menjadi tidak stabil
(Rahko, 2014).

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi ADHF didasarkan pada klasifikasi oleh New York Heart
Association (NYHA) dan American Heart Association (AHA). Klasifikasi
berdasarkan New York Heart Association mengklasifikasikan gagal jantung
berdasarkan kemampuan pasien beraktivitas. New York Heart Association
membagi klasifikasinya dalam 4 kelas, yaitu: (NYHA, 1994)
Kelas I: Tidak ada keterbatasan aktivitas
Kelas II: Sedikit keterbatasan dalam aktivitas fisik yang bisa dilakukan
orang normal; apabila dilakukan, akan menyebabkan kelelahan, palpitasi,
dyspnea, atau nyeri dada; gejala menghilang dengan istirahat
Kelas III: Keterbatasan aktivitas fisik bermakna; aktivitas ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi, dyspnea, atau nyeri dada; gejala
menghilang saat beristirahat
Kelas IV: Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas fisik apapun tanpa
gejala gagaI jantung atau nyeri dada bahkan saat beristirahat, dengan
peningkatan keparahan gejala apabila melakukan aktivitas fisik

Klasifikasi gagal jantung oleh American Heart Association dibagi


menjadi 4 stadium, dan didasarkan pada adanya perubahan pada struktur
jantung dan adanya gejala gagal jantung yang muncul. Klasifikasi American
Heart Association dapat dilihat pada Tabel 2.1.

2.5 Patofisiologi
Kondisi ADHF merupakan disfungsi jantung yang disertai dengan
disfungsi vaskulatur sistemik dan pulmonal, yang pada akhirnya mengarah
pada abnormalitas hemodinamik akut yang berat. Penyebabnya tidak
sepenuhnya diketahui, namun beberapa fenomena yang tergeneralisasi
diperkirakan terlibat (aktivasi neurohormonal, proses inflamasi, stres oksidatif).
Pada tingkat miokard, ketiga fenomena tersebut mempercepat disfungsi
miokard dan perubahan struktural, seperti hipertrofi kardiomiosit, apoptosis

7
Tabel 2.1. Klasifikasi Gagal Jantung oleh American Heart Association.

Stadium Deskripsi Contoh Keterangan


Pasien dengan penyakit arteri Pasien dengan faktor risiko untuk memiliki
Memiliki risiko tinggi gagal jantung, coroner, hipertensi, atau gagal jantung
tidak ada perubahan structural diabetes mellitus tanpa fungsi
A
jantung maupun gejala gagal ventrikel kiri yang terganggu,
jantung hipertrofi ventrikel kiri, atau Tidak berhubungan dengan klasifikasi
distorsi ruang geometris NYHA

Pasien yang asimtomatik


Terdapat gangguan struktural
namun memiliki hipertrofi Berhubungan dengan klasifikasi NYHA
B jantung namun tidak memiliki gejala
ventrikel kiri dan/atau fungsi kelas I
gagal jantung
ventrikel kiri terganggu

Sebagian besar pasien gagal jantung


Pasien dengan gangguan berada pada stadium ini
Terdapat gangguan struktural struktur jantung yang diketahui
C
jantung dan gejala gagal jantung disertai dengan sesak dan
mudah lelah Berhubungan dengan klasifikasi NYHA
kelas I, II, III and IV

Pasien pada stadium ini harus diberi


dukungan sirkulasi secara mekanis,
mendapatkan infus inotropik terus menerus,
Pasien yang memiliki gejala dilakukan prosedur untuk menghilangkan
Gagal jantung refrakter yang bermakna saat beristirahat cairan, atau mendapatkan transplantasi
D
membutuhkan intervensi spesialis meski sudah diberi terapi medis jantung atau prosedur lain
secara maksimal
Berhubungan dengan pasien klasifikasi
NYHA kelas IV

kardiomiosit, penurunan kontraktilitas miokard, hambatan pada keresponsifan


kardiomiosit terhadap stimulasi beta-adrenergik, pertumbuhan, fibrosis, dan
remodelling fibroblas (Ponikowski & Jankowska, 2015).
Gagal jantung akut juga ditandai dengan disfungsi endotel
menyeluruh. Disfungsi ini bisa terjadi karena ketidakseimbangan
neurohormonal, inflamasi, dan stres oksidatif dalam sirkulasi dan sel endotel,
yang secara klinis dapat menyebabkan: (A) hipoperfusi miokard, aliran
koroner yang menurun serta disfungsi iskemik; (B) kekakuan vaskuler yang
meningkat serta distensibilitas arteri yang terganggu semakin memperparah
kerusakan miokard; (C) vasokonstriksi pada sirkulasi sistemik maupun
pulmonal, menyebabkan peningkatan afterload ventrikel kiri dan kanan; (D)
peningkatan dorongan simpatis dan pelepasan katekolamin terkait endothelin;
dan (E) disfungsi renal. (Ponikowski & Jankowska, 2015)

8
2.6 Diagnosis
Gagal jantung akut merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa,
sehingga panduan terkini untuk manajemen gagal jantung akut
merekomendasikan bahwa diagnosis dan inisiasi pengobatan harus dilakukan
sesegera mungkin, secara optimal pada 30-60 menit pertama setelah masuk
rumah sakit (Arrigo, Parissis, & Akiyama, 2016).
2.6.1 Anamnesis
Evaluasi awal klinis pasien harus membantu (i) memeriksa keparahan
gagal jantung akut (ii) mengkonfirmasi diagnosis gagal jantung akut, dan (iii)
mengidentifikasi faktor presipitasi AHF. Pada anamnesis, kita dapat
mengkonfirmasi diagnosis gagal jantung akut dan mengidentifikasi faktor
presipitasi AHF (Arrigo, Parissis, & Akiyama, 2016).
Konfirmasi diagnosis gagal jantung secara global dilakukan dengan
cara menilai gejala gagal jantung dengan skor Framingham, seperti yang
tertera pada tabel 2.2. Konfirmasi diagnosis gagal jantung dilakukan apabila
terdapat 2 kriteria mayor pada pasien, atau terdapat 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor pada pasien.

Tabel 2.2. Kriteria Framingham untuk Diagnosis Gagal Jantung.


Mayor Minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea atau Edema pergelangan kaki bilateral
ortopnea
Distensi vena leher Efusi pleura
Ronkhi (>10 cm dari basal paru) Batuk malam hari
Edema paru akut Dispnea saat beraktivitas
Gallop S3 Hepatomegali
Penurunan berat badan >4,5 kg setelah Takikardia >120x/menit
pengobatan CHF
Tekanan vena sentral >16 cm H2O Penurunan berat badan >4,5 kg karena
Ekokardiografi: disfungsi ventrikel kiri gagal jantung namun faktor selain
pengobatan CHF dapat mengakibatkan
penurunan berat badan ini

9
Identifikasi faktor presipitasi dilakukan dengan cara anamnesis lengkap
faktor-faktor yang mungkin dapat mempresipitasi terjadinya ADHF. Faktor-
faktor tersebut tercakup dalam tabel 2.3 (Rahko, 2014).

Tabel 2.3 Faktor Presipitasi untuk ADHF (Rahko, 2014)


Perkembangan penyakit
Iskemia miokard
Aritmia
Malfungsi pacemaker
Ketidakpatuhan medis atau nutrisi
Obat-obatan terlarang
Alkohol
Kondisi komorbid lainnya

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pasien harus berfokus pada adanya kongesti yang
dapat mendukung diagnosis ADHF. Kongesti sisi kiri dapat menyebabkan
dispnea, batuk, takipnea, adanya suara napas tambahan (ronkhi, wheezing)
dan hipoksia. Kongesti sisi kanan dapat menyebabkan peningkatan berat
badan, edema perifer bilateral, penurunan pengeluaran urine, nyeri abdomen,
mual dan muntah, distensi vena jugularis, refluks hepatojugular, asites,
hepatomegali, dan ikterus (Arrigo, Parissis, & Akiyama, 2016).
Adanya tanda-tanda hipoperfusi mengindikasikan keparahan dan
dapat berupa hipotensi, takikardi, lemah nadi, kebingungan, tegang, lelah,
ekstremitas dingin berkeringat, penurunan produksi urin, dan angina karena
iskemia miokard (Arrigo, Parissis, & Akiyama, 2016). Namun, karena
keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas tanda dan gejala gagal jantung akut,
evaluasi klinis juga harus mengintegrasikan hasil dari pemeriksaan
penunjang.

2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu mengevaluasi
pasien dengan gagal jantung akut adalah pemeriksaan serum natriuretik

10
peptida, meliputi B-type NP (BNP), amino-terminal pro-B-type NP (NT-
proBNP) dan mid-regional pro-atrial NP (MR-proANP) menunjukkan akurasi
tinggi dan nilai prediksi negatif yang bagus dalam membedakan gagal jantung
akut dari penyebab nonjantung dispnea akut.
Namun, peningkatan kadar NP tidak secara otomatis mengkonfirmasi
diagnosis gagal jantung akut, karena ia masih berhubungan dengan berbagai
macam penyebab jantung maupun non-jantung; di antaranya adalah fibrilasi
atrial, umur, dan gagal ginjal yang merupakan faktor paling penting dalam
interpretasi pengukuran NP.

2.7 Manajemen
2.7.1 Oksigenasi
Pengawasan saturasi oksigen arteri diperlukan dan terapi oksigen
direkomendasikan untuk pasien-pasien gagal jantung akut yang saturasi
oksigennya < 90% atau PaO2 < 60 mmHg (European Society of Cardiologists,
2016). Oksigen diberikan melalui nasal kanul (4 lpm). Ventilasi non-invasif
(mengacu pada semua modalitas yang membantu ventilasi tanpa penggunaan
ETT, tetapi menggunakan face mask) lebih efektif untuk memperbaiki gejala.
Ventilasi non-invasif dengan positive end-expiratory pressure harus
dipertimbangkan secepatnya pada pasien dengan edema pulmonal
kardiogenik akut dan gagal jantung hipertensi karena dapat memperbaiki
fungsi ventrikel kiri dengan menurunkan afterload ventrikel kiri (Katritsis et al.,
2013). Intubasi diperlukan pada pasien-pasien dengan gagal napas
(hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis) yang tidak bisa ditatalaksana secara
non-invasif (European Society of Cardiologists, 2016).

11
Gambar 2.1 Algoritma Tatalaksana Gagal Jantung Akut (European Society of
Cardiologists, 2016).

Klasifikasi klinis lain yang relevan dan digunakan secara luas untuk
menggolongkan ADHF dikembangkan oleh Stevenson dkk. Sistem ini berfokus
pada keparahan penyakit ketimbang penyebab gagal jantung. Sistem ini
mengelompokkan pasien berdasarkan ada atau tidaknya hipoperfusi (cold vs
warm) dan kongesti saat istirahat (wet vs dry). Pasien dengan profil klinis A
(warm and dry) memiliki tingkat kematian setelah 6 bulan sebesar 11%,
dibandingkan tingkat kematian 40% pada profil C (cold and wet), yang
menunjukkan bahwa profil klinis ini berpengaruh signifikan pada prognosis
(Joseph et al., 2009).

12
Profil A mengindikasikan hemodinamik normal, gejala kardiopulmoner
mungkin disebabkan oleh faktor lain. Profil B dan C adalah tipikal pasien dengan
edema pulmoner akut. Pasien-pasien dengan profil B memiliki paru-paru basah,
tetapi dengan jaringan yang masih terperfusi baik. Profil C berada dalam
keadaan yang lebih buruk karena selain temuan kongestif juga ditemukan
vasokonstriksi sistemik bermakna. Sementara itu, profil L tidak mencerminkan
perkembangan dari tingkatan sebelumnya. Perfusi rendah pada pasien
disebabkan oleh cardiac output yang rendah tanpa tanda kongesti. Pasien pada
profil L bisa jadi mengalami deplesi volume (Lilly, 2016).
Tujuan terapi pasien pada gagal jantung akut adalah menormalkan
tekanan pengisian ventrikel dan mengembalikan perfusi jaringan adekuat.
Penggolongan profil pasien dapat memandu terapi. Pasien profil B mungkin
membutuhkan terapi diuretik dan/atau vasodilator untuk mengatasi edema
pulmoner akut. Profl C mungkin membutuhkan tambahan inotropik untuk
memperbaiki perfusi. Pasien Profil L bisa jadi membutuhkan tambahan cairan.
Pada profil A, diperlukan analisis menyeluruh untuk menggali penyebab
munculnya gejala di luar gagal jantung (Lilly, 2016).

Gambar 2.2 Profil Hemodinamik Pasien Gagal Jantung Akut (Lilly, 2016)

2.7.2 Pasien kongesti paru tanpa syok


- Diuretika loop (IV) direkomendasikan untuk mengurangi sesak nafas,
dan kongesti. Gejala, urin, fungsi renal dan elektrolit harus diawasi
secara berkala selama penggunaan diuretika IV
- Pemberian Oksigen dosis tinggi direkomendasikan bagi pasien
dengan saturasi perifer < 90% atau PaO2 < 60 mmHg, untuk
memperbaiki hipoksemia

13
- Profilaksis tromboemboli direkomendasikan pada pasien yang belum
mendapat antikoagulan dasn tidak memiliki kontraindikasi terhadap
antikoagulan, untuk menurunkan risiko deep vein thrombosis dan
emboli paru
- Pemberian ventilasi non invasive (CPAP, dll) harus dipertimbangkan
bagi pasien dengan edema paru dan pernafasan > 20x/ menit untuk
mengurangi sesak nafas, mengurangi hiperkapnia dan asidosis.
- Opium (IV) harus dipertimbangkan terutama bagi pasien yang gelisah,
cemas atau distress untuk menghilangkan gejala-gejala tersebut dan
mengurangi sesak nafas.
- Pemberian nitrat (IV) harus dipertimbangkan bagi pasien edema/
kongesti paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak
memiliki stenosis katup mitral dan atau aorta, untuk menurunkan
tekanan baji kapiler paru dan resistensi vascular sistemik. Nitrat juga
dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti.
- Infus sodium nitroprusid dapat dipertimbangkan bagi pasien edema/
kongesti paru dengan tekanan darah sistolik > 110 mmHg, yang tidak
memiliki stenosis katup mitral dan atau aorta, untuk menurunkan
tekanan baji kapiler paru dan resistensi vascular sistemik. Nitrat juga
dapat menghilangkan dispnoe dan kongesti.
- Obat inotropic TIDAK direkomendasikan kecuali pasien mengalami
hipotensi ( tekanan darah sistolik < 85 mmHg ), hipoperfusi atau syok,
dikarenakan faktor keamanannya (bisa menyebabkan aritmia
atrial/ventricular, iskemia miokard dan kematian) (PERKI, 2015).

2.7.3 Pasien dengan hipotensi, hipoperfusi atau syok


- Kardioversi elektrik direkomendasikan bila aritmia ventricular atau
atrial dianggap sebagai penyebab ketidakstabilan hemodinamik, untuk
mengembalikan irama sinus dan memperbaiki kondisi klinis pasien
- Pemberian inotropic (IV) harus dipertimbangkan pada paien dengan
hipotensi (tekanan darah sistolik < 85 mmHg) dan atau hipoperfusi
untuk meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan memperbaiki
perfusi perifer. EKG harus domonitor secara kontinu karena inotropic
dapat menyebabkan aritmia dan iskmia miokardial

14
- Levosimendan (IV) atau penghambat fosfodiesterase dapat
dipertimbangakn untuk mengatasi efek penyekat beta bila dipikirkan
bahwa penyekat beta sebagai penyebab hipoperfusi. EKG harus
dimonitor karena obat ini bisa menyebabkan aritmia dan atau iskemia
miokardial dan juga obat ini mempunyai efek vasodilator sehingga
tekanan darah juga harus dimonitor.
- Vasopesor (mis. Dopamine atau norepinefrin) dapat
dipertimbangakan bagi pasien yang mengalami syok kardiogenik.
EKG harus dimonitor karena obat ini dapat menyebabakan aritmia
dan atau iskemia miokardial.
- Alat bantu sirkulasi mekanik untuk sementara juga harus
dipertimbangalan pada pasien yang mengalami perburukan kondisi
dengan cepat sebelum evalusi klinis dan diagnostik lengkap dapat
dikerjakan (PERKI, 2015)

15
20

BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas
Nama : Tn. AC
Usia : 63 tahun
Tanggal lahir : 22-06-1954
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Jalan Rakartini Kemantren RT01/02 Jabung
Malang
Agama : Islam
Suku : Jawa
Nomer Register : 11153427/1733192

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis dari anak pasien pada hari
Rabu tanggal 1 November 2017.
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh sesak nafas yang
memberat swaktu pasien lagi kontrol di poli 4 jam sebelum dibawa ke UGD.
Sebelumnya pasien mengeluh sesak nafas yang sudah dirasakan sejak kurang
lebih 1 minggu yang lal. Keluhan sesak nafas memberat dengan aktivitas dan
tidak berkurang dengan istirahat. Pasien merasa ngongsrong saat jalan kurang
lebih 100meter. Sesak nafas dirasakan sampai membuat pasien gelisah dan
sering berdebar. Pasien sering terbangun malam hari karena sesak dan pasien
tidur dengan 2 bantal. Sesak disertai dengan rasa berdebar di dada, terutama
saat bangun tidur pagi hari. Pasien juga mengeluhkan adanya bengkak di kedua
kaki..
Pasien megeluh mual sejak 1 minggu yang lalu tetapi tidak disertai
dengan muntah. Pasien mengalami penurunan berat badan disebabkan
mualnya. Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada dan riwayat syncope
sebelumnya. Tidak terdapat riwayat keringan malam. Pasien mengatakan tidak
terdapat penurunan badan yang signifikan dalam beberapa waktu.
21

Riwayat nyeri tenggorokan dan demam akhir-akhir ini disangkal, riwayat


diabetes mellitus, disangkal. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol sejak 1 tahun yang lalu dengan tekanan darah tinggi yang paling tinggi
adalah 170mmHg.
Riwayat Penyakit dahulu :
Pasien mempunyai riwayat penyakit jantung koroner dan pernah
dipasang dan disarankan bypass pada tahun 2014..

Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak membawa print out DCA tetapi obat yang diminum pada saat
ini adalah Captopril,Farsorbid dan obat lainnya lupa.

Riwayat Keluarga
Riwayat Hipertensi dari isteri pasien. Riwayat Diabetes Mellitus tidak ada.

III. Pemeriksaan Fisik (1 November 2017)


Keadaan Derajat sakit : tampak sakit sedang
Umum Kesan gizi : kesan gizi cukup
GCS : 456
Tanda-tanda Tekanan Darah : 120/80 mm.Hg
vital Nadi : 76 x/menit
RR : 24 x/menit
Temp. axilla : 36,8C
SpO2 : 99% dengan nc 2lpm
Kepala Wajah : simetris, deformitas (-), rash (-), sianosis (-).
Mata : anemis (-), ikterik (-)
Leher Inspeksi : asimetris, edema (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran
tiroid (-)
JVP R+3 cm H2O
Thorax Jantung
Ictus invisible palpable di ICS V 3 cm lateral MCL Sinistra S1,
S2 ireguler, murmur (-), gallop (-)
22

Paru-paru
Gerakan dinding dada simetris, retraksi(-)
RR: 24 x/menit, regular
Suara Nafas :
vesicular vesicular
bronchovesikular bronchovesikular
bronchovesikular bronchovesikular

Rhonki - - Wheezing - -
+ + - -
+ + - -
Abdomen Jaringan parut (-), dilatasi vena (-), rash (-), massa (-),
meteorismus (-)
Soefl, bising usus (+) normal
Hepar dan lien ttb
Ascites (-), Shifting Dullnes (-)
Ekstremitas Pemeriksaan Atas Bawah
Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral Hangat Hangat Hangat Hangat

Anemis

Ikterik

Edema + +
23

IV. Pemeriksaan Penunjang


EKG (1 November 2017)

Rate : 75 x/menit
Rhythm : Sinus
Axis :
Frontal Axis: Normal; Horizontal Axis: Normal
P wave : Normal
QRS complex :
ST segment : normal
T wave : normal
Kesimpulan : - Sinus

V. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium (1 November 2017)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Complete Blood Count
Haemoglobin 13,50 g/dL 13,4 17,7
Eritrosit 4,50 106/ L 4,0 5,0
Leukosit 11.09 103/ L 4,7 11,3
Hematokrit 39,90 % 38 42
Trombosit 197 3
10 / L 142 424
MCV 88,70 fL 80 - 93
MCH 30,00 pg 27 31
24

MCHC 33,80 g/dL 32 36


RDW 16,40 % 11,5 14,5
HitungJenis :
Eosinofil 6,9 % 04
Basofil 0,9 % 01
Neutrofil 63,1 % 51 67
Limfosit 16,1 % 25 33
Monosit 13,0 % 25

PPT
-Pasien 11,40 Detik 9,3-11,4
-INR 1,10 0,6-1,30
APTT
-Pasien 26,20 Detik 24,8-34,4

Kimia Klinik
SGOT 32 U/L 0 40
SGPT 47 U/L 0 41
GDS 101 mg/dL <200
Albumin 3,41 g/dL 3,5 5,5
Faal Ginjal
Ureum 76,00 mg/dL 16,6-48,5
Kreatinin 2,08 mg/dL <1,2

Elektrolit (1 Nov 2017)

Natrium 132 Mmol/L 136-145


Kalium 4,93 Mmol/L 3,50-5,0
Klorida 113 Mmol/L 98-106
25

BGA (3 NOVEMBER 2017)


Temp 37,0 C

PH 7,53 7.35-7.45

PCO2 25,6 35 45 mmHg

PO2 103,6 80 100 mmHg

HCO3 25,4 21 28 m mol/L

O2 sat Art 98,3 > 95 %

BE 1,0 (-3) - (+3) m mol/L

Kesimpulan : respiratorik alkalosis terkompensasi sempurna


26

FotoThoraxParu (1 November2017)

Position: AP simetris, KV cukup


Soft tissue: Normal
Bone: Intak, tidak tampak lesi litik/blastik/garis fraktur
ICS : normal
Trachea: di tengah
Hilus: D : normal
S : normal
COR: Site : normal
Size: CTR 66%
Shape: normal
27

Hemidiaphragm:
D: dome shaped
S: dome shaped
Costophrenico angle:
D: lancip
S : ditutupi opasitas
Pulmo :
D :Ditemukan infiltrate di lapang bawah paru kanan
S :Ditemukan infiltrat pada lapang bawah paru kiri
Tampak opasitas di hemithoraks kanan yang menutupi sinus costofrenicus kiri
Conclusion :
Pneumonia
Cardiomegali dengan aorta sklerosis

V. Diagnosis Kerja
1. ADHF prec factor poor compliance
2. HF st C FC III dt CAD
3. Stable CAD
4. Dyspepsia Syndrome

VI. Rencana Diagnosis


1. Echocardiography
2. EKG serial
3. GD1/GD2PP, HbA1C, Lipid profile, UA

VII. RencanaTerapi:
1. O2 2 lpm nasal canule
2. Total fluid 1500 cc/24hours : IVFD NaCl 0,9% 500 cc/day & Oral
1000cc/24hours
3. Inj Furosemid 10mg/ jm
4. Inj. Lansoprazole 1x 30mg IV
5. ASA 0-0-80mg
6. CPG 75mg-0-0
7. Atorvastatin 0-0-40mg
28

8. Captopril 3x 12,5 mg
9. Diazepam 0-0-2mg
10. Laxadin 0-0-CI

VIII. Rencana Monitoring:


1. Tanda-tanda vital
2. Keluhan Umum
3. Urin output

IX. Rencana Edukasi


1. Menjelaskan tentang diagnosis, rencana pemeriksaan lanjutan, dan prognosis
penyakit.
POMR

Cue & Clue Problem list Initial Diagnosis Planning diagnosis Planning Treatment Planning monitoring

Mr AC/Male/ 63 yo ADHF prec factor Echocardiography O2 2 lpm nasal canule Subjective


Vital sign
Anamnesis poor compliance GD1/GD2PP
Urine Output
Hba1c Total fluid 1500
-Sesak nafas dirasakan sejak
Lipid profile cc/24hours : IVFD NaCl Pedu :
1 minggu llalu yang
Penyakit
memberat saat kontrol di poli- Ur/Cr 0,9% 500 cc/day & Oral Terapi
Pasien sering merasa
SE 1000cc/24hours Prognosis
ngongsrong
Komplikasi
ECG serial
- DOE (+), PND (+),
FH Inj Furosemid 10mg
- Edema (+) Foto thorax Captopril 3x 12,5mg
Laxadin 0-0-CI
- Sesak nafas dirasakan
sampai membuat pasien
gelisah

- PF:

Tekanan Darah :
120/80 mm.Hg
Nadi:
76 x/menit regular kuat
RR: 24 x/menit
T.axilla:36.8 C

SpO2 : 99% dengan NC 2lpm


K/L : JVP R+3 cm H2O

- Cor : Ictus invisible


palpable di ICS V 2 cm
lateral MCL Sinistra
S1, S2 reguler, murmur (-),
gallop (-)
- Paru : Ronkhi pada paru
;apang bawah kanan dan
kiri.
Lab:

-SGOT 32

-SGPT47

ECG:

CXR :

-Pneumonia

-Cardiomegali
Tn A/ 67 tahun 2. HF Stg C Fc III dt Echocardiography O2 2 lpm nasal canule Subjective
CAD GD1/GD2PP Vital sign
Anamnesis Hba1c Urine Output
Lipid profile Total fluid 1500
-Sesak nafas dirasakan sejak Ur/Cr Pedu :
1 minggu llalu yang SE cc/24hours : IVFD NaCl Penyakit
memberat saat kontrol di poli- ECG serial Terapi
FH 0,9% 500 cc/day & Oral Prognosis
Pasien sering merasa
1000cc/24hours Komplikasi
ngongsrong

- DOE (+), PND (+),


Inj Furosemid 10mg
- Edema (+) Captopril 3x 12,5mg
Laxadin 0-0-CI
- Sesak nafas dirasakan
sampai membuat pasien Diazepam 0-0-2mg
gelisah

- PF:

Tekanan Darah:
120/80 mm.Hg
Nadi:
76 x/menit regular kuat
RR:
24 x/menit
T.axilla:
36.8 C

SpO2 : 99% dengan NC 2lpm


K/L : JVP R+3 cm H2O

- Cor : Ictus invisible


palpable di ICS V 2 cm
lateral MCL Sinistra
S1, S2 reguler, murmur (-),
gallop (-)
- Paru : Ronkhi pada paru
;apang bawah kanan dan
kiri.
ECG:

CXR :

-Pneumonia

-Cardiomegali
Tn A/ 67 tahun 3. Stable CAD Echocardiography ASA 0-0-80mg Subjective
GD1/GD2PP Vital sign
Anamnesis Hba1c Atorvastatin 0-0-40mg
Lipid profile Pedu :
-Sesak nafas dirasakan sejak Ur/Cr Laxadin 0-0-CI Penyakit
1 minggu llalu yang SE
ECG serial Terapi
memberat saat kontrol di poli- Prognosis
Pasien sering merasa Komplikasi
ngongsrong

- DOE (+), PND (+),

- Edema (+)

- Sesak nafas dirasakan


sampai membuat pasien
gelisah

- PF:

Tekanan Darah:
120/80 mm.Hg
Nadi:
76 x/menit regular kuat
RR:
24 x/menit
T.axilla:
36.8 C

SpO2 : 99% dengan NC 2lpm


K/L : JVP R+3 cm H2O

- Cor : Ictus invisible


palpable di ICS V 2 cm
lateral MCL Sinistra
S1, S2 reguler, murmur (-),
gallop (-)
- Paru : Ronkhi pada paru
;apang bawah kanan dan
kiri.

Tn A/ 67 tahun 4. Dyspepsia Inj. Lansoprazole 1x Subjective


Syndrome Vital sign
Anamnesis
30mg IV
Pedu :
Penyakit
-Pasien megeluh mual sejak Terapi
1 minggu yang lalu Prognosis
Komplikasi
-Pasien mengalami
penurunan berat badan
disebabkan mualnya.
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis gagal jantung akut didasarkan oleh cepatnya onset atau


perburukan dari gejala dan/atau tanda gagal jantung. Konfirmasi gagal jantung
akut dan penyebabnya membutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang, yaitu
EKG, biomarker, dan ekokardiografi (European Society of Cardiologists, 2016).
Pasien mengeluh sesak nafas yang sudah dirasakan sejak kurang lebih
1 minggu yang lalu, memberat sejak waktu pasien lagi kontrol di poli jantung.
Sesak memberat dengan aktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien
merasa ngongsrong saat jalan kurang lebih 100 meter. Sesak nafas dirasakan
sampai membuat pasien gelisah dan sering berdebar. Pasien sering terbangun
malam hari karena sesak dan pasien tidur dengan 2 bantal.
Kecurigaan penyakit yang mendasari gagal jantung akut ini ada pada
sesak nafas yang tidak lama (< 2 minggu) memberat. Gejala sesak napas yang
dirasakan pasien termasuk dalam gejala gagal jantung akut yang tipikal
(European Society of Cardiologists, 2016). Pasien menyangkal adanya riwayat
diabetes mellitus, yang memperkecil kemungkinan pasien mengalami gagal
jantung karena penyakit jantung koroner. Tidak terdapat dugaan adanya penyakit
jantung bawaan yang muncul.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan nadi 75 kali per menit dan
pernafasan 24 kali per menit yang sesuai dengan keluhan utama pasien. Ictus
cordis teraba di 3 cm lateral MCL ICS V sinistra menandakan terjadinya
pembesaran jantung yang normalnya berada di MCL ICS V sinistra. Pembesaran
jantung pada gagal jantung terjadi karena pada kondisi gagal jantung, jantung
tidak dapat memompakan darah yang cukup untuk kebutuhan jaringan sehingga
jantung bekerja lebih kuat dengan cara meregang untuk meningkatkan
kontraktilitasnya. Ronkhi paru bilateral pada lapang bawah paru kanan dan kiri
menandakan adanya kongesti sampai ke organ paru akibat dari gangguan
pompa jantung.
Pasien juga mengeluhkan adanya edema bilateral pada tungkai.
Angiotensin II menyebabkan retensi natrium dan air melalui mekanisme
multiple penahanan air oleh ginjal termasuk efek langsung pada tubular.
Hormon ini juga menstimulasi pusat haus sehingga memicu pelepasan
vasopressin dan aldosterone yang dapat menyebabkan disregulasi garam
dan homeostasis cairan. Disregulasi ini akan menyebabkan terjadinya
penimbunan cairan sehingga terjadi edema tungkai bilateral.

Gambaran EKG 1 November 2017 pada pasien ini adalah irama sinus
dengan rate 75x/menit. Sementara itu, gambaran x-ray menunjukkan
kardiomegali dengan pinggang jantung yang menghilang yang memperkuat
bahwa pasien terkena HF dan gambaran paru terdapat infiltrat luas yang dapat
merupakan akibat dari gagal jantung itu sendiri.

Untuk menangani pasien dengan benar, pasien terlebih dahulu harus


digolongkan berdasarkan perfusi darah ke jaringan dan adanya kongesti pada
pasien. Pada pasien ini, didapatkan akral pasien masih hangat, nadi pasien
masih kuat reguler, serta GCS pasien masih 456. Hal ini menandakan perfusi ke
jaringan yang masih bagus, sehingga pasien masih tergolong dalam profil
warm. Apabila pasien masih tergolong warm, tidak ada penanganan untuk
perfusinya. Pasien mengalami peningkatan JVP dan terdapat ronkhi paru
bilateral, menandakan adanya kongesti pada pasien. Apabila terdapat kongesti
pada pasien, pasien tergolong wet. Maka, yang harus dilakukan adalah
memberikan diuretik yang bertujuan untuk menghilangkan gejala kongesti dan
menurunkan preload. Pada pasien ini, diberikan dosis 20 mg intravena diberikan
2 kali.

Setelah kongesti tertangani dan kontraktilitas diperbaiki, diberikan


vasodilator untuk mengurangi afterload yang sekaligus akan mengurangi beban
kerja jantung. Pasien mendapatkan captopril dosis awal 3 x 12,5 mg per oral
yang menghambat pembentukan vasokonstriktor angiotensin II. Inisiasi dini ACE-
i dapat memiliki efek untuk menurunkan remodelling otot ventrikel kiri yang
terbebani cairan dan penggunaannya bersamaan dengan diuretik dapat
menurunkan gejala kongestif secara cepat dan menurunkan angka kematian
akibat henti jantung mendadak (European Society of Cardiologists, 2016).
Diazepam juga diberikan karena pasien merasa gelisah.

Penanganan suportif lain yang diperoleh pasien adalah oksigenasi.


Rekomendasi oksigenasi ditujukan pada pasien-pasien dengan saturasi oksigen
< 90% (European Society of Cardiologists, 2016). Pasien ini memperoleh terapi
oksigen NRBM 10 lpm dan saturasinya mencapai 97% setelah itu.
BAB V

KESIMPULAN

1. Diagnosis Gagal Jantung didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang menurut kriteria Framingham. Pengklasifikasian
secara klinis gagal jantung akut berdasarkan 6 tipe gagal jantung akut
menurut The European Society of Cardiology guidelines.

2. Gejala gagal jantung, yakni nafas pendek yang tipikal saat istirahat/saat
aktivitas, tanda retensi cairan, dan adanya gangguan struktur atau fungsional
jantung.

3. ADHF (Acute Decompensated Heart Failure) merupakan kejadian klinis


kompleks yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

4. Penatalaksanaan awal yang diberikan adalah oksigen, diuretik, vasodilator,


agen inotropik dan profilaksis tromboembolisme.
5. Penyebab gagal jantung adalah rusak atau berkurangnya massa otot jantung
karena iskemi akut atau kronik, peningkatan resistensi vaskuler karena
hipertensi, atau karena takiaritmia (fibrilasi atrial).

39
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2015. Answer by Heart : Cardiovascular Condition.


Arrigo, M., Parissis, J., & Akiyama, E. (2016). Understanding acute heart failure:
pathophysiology and diagnosis . European Heart Journal Supplements ,
18 (Supp G), G11-18.

Dickstein K., et al. 2008. Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. European Journal of Heart Failure.

European Society of Cardiologists. 2016. Guidelines for the Diagnosis and


Treatment of Acute and Chronic Heart Failure. European Heart Journal
37:2129-2200.

Gheorghiade M et al. 2005. Acute heart failure syndromes: current state and
framework for future research. AHA. 112: 3958-3968.

Konsil Kedokteran Indonesia, 2012. Standar Kompetensi Dokter


Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

Kim, S. D., & Banasik, J. L. (2013). Heart Failure and Dysrhythmias: Common
Sequelae of Cardiac Diseases. Dalam L. E. Copstead, & J. L. Banasik,
Pathophysiology (5th ed ed., hal. 408-420). Missouri: Elsevier Saunders.

Lepage, S., 2008. Acute decompensated heart failure. Canadian Journal of


Cardiology, 24, pp.6B-8B.

Mann DL.,2007.Pathophysiology of heart failure In: Libby P, Bonow RO, Mann


DL, Zipes DP [edt.]. Braunwald Heart Disease A Textbook of
Cardiovascular Medicine. 8thed. USA: Elsevier Saunders.Philadelphia.

Mebazaa, A., Gheorghiade, M., Zannad, F. M., & Parrillo, J. E. (2008). Acute
Heart Failure. London: Springer-Verlag.

PERKI. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Edisi 1. Jakarta: 2015.


Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2014, September 24). Situasi
Kesehatan Jantung. Info DATIN , hal. 1-8.

Ponikowski, P., & Jankowska, E. A. (2015). Pathogenesis and Clinical


Presentation of Acute Heart Failure. Rev Esp Cardiol , 68 (4), 331-337.

Schoen FJ. Heart Failure. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and cotran
pathologic basis of disease. USA: Elsevier, Inc.; 2005.p. 560-3
Siswanto, B.B., 2012. Accurate diagnoses, evidence based drugs, and new
devices (3 Ds) in heart failure. Medical Journal of Indonesia, 21(1), p.52.

39
40
41

Anda mungkin juga menyukai