Anda di halaman 1dari 48

RESPONSI

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh:
Alfian Dwi Sukma 150070200011169
Fatma Rahmalia Izzati 150070200011209
Pande Made Praskita 160070201111011

Pembimbing:
dr. Herwindo Pudjo B., Sp.PD

LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab multifaktorial,


dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul sebagai
konsekuensi dari penyakit lain atau sebagai faktor risiko terhadap penyakit lain.
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin
(protein pengikat oksigen) berada dibawah nilai normal yang menyebabkan
darah tidak dapat mengikat oksigen sebanyak yang diperlukan oleh tubuh
(Riyanti et al, 2008).

Tidak adekuatnya pengikatan oksigen akibat anemia memberi efek


berkurangnya pasokan oksigen dalam tubuh yang akan memberi gejala lemah,
pusing, sesak nafas, konsentrasi yang buruk dan mengganggu aktivitas harian.
Berbagai kondisi dapat menyebabkan anemia, seperti penurunan produksi sel
darah merah yang terjadi pada kasus defisiensi vitamin B12, folat dan besi,
juga pada penyakit inflamasi kronikdan gangguan primer pada sumsum tulang.
Kehilangan darah dan peningkatan destruksi sel darah merah juga menjadi salah
satu penyebab anemia.World Health Organization (WHO) menetapkan batas
normal nilai hemoglobin yaitu 13 g/dL untuk laki-laki dan 12 g/dL untuk
perempuan. Hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan nilai hemoglobin
dibawah nilai normal menunjukkan kondisi anemia (Boutou et al, 2012; Weiss,
2007).

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya


penyediaan besi untuk eritropoesis, akibat hilangnya cadangan besi (depleted iron
store) yang mengakibatkan penurunan pembentukkan hemoglobin (Bakta et al.,
2014).Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan tahap defisiensi besi yang paling
parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan
saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit
yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).

1
Defisiensi besi mempengaruhi lebih dari 2 milyar penduduk dunia, dan
anemia defisiensi besi sendiri merupakan penyebab tertinggi anemia berdasarkan
laporan di 187 negara selama periode 1990 hingga 2010 dan berdasarkan survey
yang dilakukan pada penduduk yang berisiko tinggi seperti wanita muda dan anak-
anak pra sekolah. Program pencegahan anemia telah menurunkan prevalensi
anemia defisiensi besi secara global, akan tetapi prevalensi anemia defisiensi besi
masih cukup tinggi di Afrika Tengah, Afrika Barat, dan Asia Tenggara. Estimasi
prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia sebesar 2 kali lipat dari prevalensi anemia
defisiensi besi (Longo et al., 2015).

Responsi ini membahas kasus Anemia Defisiensi Besi yang bertujuan


sebagai pembelajaran mengenai definisi,etiologi, faktor resiko, patofisiologi,
diagnosis, penatalaksanaannya.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anemia adalah suatu keadaan kadarhemoglobin (Hb) dalam darah kurang


dari normal,berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dankehamilan. Sebagian
besar anemia disebabkan olehkekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat
besi,asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukansel-sel darah merah.
Anemia bisa juga disebabkanoleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi cacing
tambang (Khaidir M, 2007).

Dalam Killip et al. (2007), anemia didefinisikan berdasarkan kadar Hb sesuai


kelompok umur, jenis kelamin dankehamilan seperti yang tampak pada Tabel 1.

Tabel 1. Definisi Anemia Berdasarkan Kadar Hb (Killip, 2007)

Defisiensi besi merupakan penyebab anemia tertinggi di dunia. Defisiensi


besi sendiri didefinisikan sebagai penurunan kadar besi total dalam tubuh sebelum
terjadinya anemia, atau dengan kadar besi erythroid yang normal (Longo, 2015).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, akibat hilangnya cadangan besi (depleted iron store) yang
mengakibatkan penurunan pembentukkan hemoglobin (Bakta et al., 2014).Anemia
defisiensi besi (ADB) merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang
ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi

3
transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang
menurun (Abdulmuthalib, 2009).

2.2 Epidemiologi

Defisiensi besi mempengaruhi lebih dari 2 milyar penduduk dunia, dan


anemia defisiensi besi sendiri merupakan penyebab tertinggi anemia berdasarkan
laporan di 187 negara selama periode 1990 hingga 2010 dan berdasarkan survey
yang dilakukan pada penduduk yang berisiko tinggi seperti wanita muda dan anak-
anak pra sekolah. Program pencegahan anemia telah menurunkan prevalensi
anemia defisiensi besi secara global, akan tetapi prevalensi anemia defisiensi besi
masih cukup tinggi di Afrika Tengah, Afrika Barat, dan Asia Tenggara. Estimasi
prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia sebesar 2 kali lipat dari prevalensi anemia
defisiensi besi (Longo et al., 2015).

Di Indonesia sendirimenurut data Depkes RI (2006), prevalensi anemia


defisiensi besi pada remaja puteriyaitu 28% (Hayati, 2010), dan dari Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, menyatakan bahwa
prevalensianemia defisiensi besi pada balita 40,5%,ibu hamil 50,5%, ibu nifas
45,1%, remajaputri 10-18 tahun 57,1%, dan usia 19-45tahun 39,5%. Dari semua
kelompok umurtersebut, wanita memiliki resiko palingtinggi untuk menderita anemia
terutamaremaja putri (Isniati, 2007).

Prevalensi defisiensi besi di mana tidak terdapat fortifikasi besi dilaporkan


40% pada anak-anak usia pra-sekolah, 30% pada wanita menstruasi, dan 38% pada
wanita hamil. Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan kebutuhan tubuh akan besi
secara fisiologis pada tahapan kehidupan tertentu dan bergantung pada jenis
kelamin (Longo, 2015).

2.3 Patofisiologi

2.3.1 Distribusi Besi dalam Tubuh

4
Gambar 2.1 Distribusi Besi Pada Tubuh (Andrews, 1999)

Pada kondisi seimbang, 1 hingga 2 miligram besi masuk dan keluar dari
tubuh setiap harinya. Besi yang diperoleh dari makanan diabsorbsi melalui enterosit
duodenum, kemudian memasuki sirkulasi darah dengan berikatan dengan
transferrin. Sebagian besar besi dalam tubuh bergabung dengan hemoglobin dalam
precursor erythroid dan eritrosit matur. Sekitar 10 hingga 15 persen berada di serat
otot (dalam myoglobin) dan pada jaringan lain (pada enzim dan cytochrome). Besi
disimpan pada sel parenkim hepar dan makrofag retikuloendotelial. Makrofag
tersebut menyediakan sebagian besar besi yang masih dapat digunakan dari

5
degradasi hemoglobin pada sel darah merah yang sudah tua dan mengembalikan
dengan transferrin untuk transportasi ke sel (Andrew, 1999).

Pria dewasa umumnya memiliki 35-45 mg besi per kilogram berat badan.
Pada wanita premenopause memiliki penyimpanan besi yang lebih rendah akibat
kehilangan darah melalui menopause. Lebih dari dua per tiga komponen besi di
dalam tubuh berada dalam hemoglobin pada perkembangan precursor erythroid dan
eritrosit. Pengambilan dari besi erythroid bergantung pada proses endositosis
transferrin pada siklus transferrin (Andrews, 1999)

Sebagian besar besi dalam tubuh berada di hepatosit dan makrofag


retikuloendotelial, yang berperan sebagai termpat penyimpanan. Hepar memiliki
akses pertama terhadap nutrisi yang diperoleh dari makanan dan dapat mengambil
sejumlah besi di sirkulasi yang melebihi kapasitas pengikatan plasma transferrin.
Makrofag retikuloendotelial melingkupi sel darah merah yang sudah tua,
mengkatabolisme hemoglobin untuk mengambil besi, dan menyimpan besi ke
transferrin untuk dipergunakan kembali. Proses ini sangat penting mengingat
kebutuhan erythron terhadap besi setiap hari sebanyak 20 mg, sementara
normalnya hanya 1 hingga 2 mg besi masuk ke dalam tubuh setiap harinya melalui
sistem pencernaan (Andrews, 1999).

2.3.2 Mekanisme Absorbsi Besi dalam Pembentukan Hemoglobin

Absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase, yakni fase luminal, fase mucosal, dan
fase korporeal (Bakta et al., 2014).

a. Fase Luminal

Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan
besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi
dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati,
tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah
di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena

6
pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri
(Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.

b. Fase Mukosal

Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan


jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang
sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan
terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif
(teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi
menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2a). Transpor melalui
membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi
masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian
diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses
ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam
kapiler usus.

Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan


apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan
masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan
dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus (Zulaicha,
2009).

7
Gambar 2.2 (a) Transportasi Besi Melalui Epitel Intestinum dan (b) Regulasi
Absorbsi Besi pada Sistem Pencernaan (Andrews, 1999).

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke


basolateral diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada
pada dasar kripta (Gambar 2.2 b). Kemudian pada saat pematangan,
enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif.
Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu,
regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta et al.,
2014).

c. Fase Korporeal

Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki


kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi
transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul
besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan
reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan
sel, terutama sel normoblas (Gambar 2.4).

Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang


dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi
sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam
endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam
endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1,
sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus
kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

8
Gambar 2.3 Siklus Transferrin (Andrews, 1999)

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk


feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan
protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol
dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk
suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi
chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase.
Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin
yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003).

2.3.3 Patogenesis Anemia Defisiensi Besi

Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi
yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut
terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi
anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient

9
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC)
meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan
jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut
sebagai anemia defisiensi besi (Bakta et al., 2014).

2.4 Etiologi

Etiologi anemia defisiensi besi bergantung pada kondisi medis pasien, usia,
penyakit penyerta, dan terapi yang saat ini dijalani oleh pasien. Sebuah hipotesis
menyatakan bahwa penyebab anemia defisiensi besi secara umum adalah
peningkatan kebutuhan besi oleh tubuh akan tetapi tidak dapat dipenuhi oleh proses
absorbsi besi. Sehingga, pasien dengan anemia defisiensi besi dapat mengalami
gangguan intake, gangguan absorbsi besi, penekanan transportasi besi, atau
kehilangan besi secara fisiologis akibat kehilangan darah secara kronis maupun
sekunder terhadap usia reproduktif. Walaupun dengan adanya usaha untuk
menegakkan diagnosis dengan baik, sebanyak 29 hingga 47 persen pasien dengan
anemia defisiensi besi tidak memiliki etiologi yang jelas (Clark SF, 2008).

Penyebab Anemia Defisiensi Besi dalam Khaidir (2007) adalah :

1. Asupan zat besi

Rendahnya asupan zat besi sering terjadipada orang-orang yang


mengkonsumsi bahanmakananan yang kurang beragam dengan
menumakanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangandan sedikit daging,
unggas, ikan yang merupakansumber zat besi. Gangguan defisiensi besi
seringterjadi karena susunan makanan yang salah baikjumlah maupun
kualitasnya yang disebabkan olehkurangnya penyediaan pangan, distribusi
makananyang kurang baik, kebiasaan makan yang salah,kemiskinan dan
ketidaktahuan.

10
2. Penyerapan zat besi

Diet yang kaya zat besi tidaklah menjaminketersediaan zat besi dalam tubuh
karenabanyaknya zat besi yang diserap sangat tergantungdari jenis zat besi
dan bahan makanan yang dapatmenghambat dan meningkatkan penyerapan
besi.

3. Kebutuhan meningkat

Kebutuhan akan zat besi akan meningkatpada masa pertumbuhan seperti


pada bayi, anak-anak,remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhanzat besi
juga meningkat pada kasus-kasuspendarahan kronis yang disebabkan oleh
parasit.

4. Kehilangan zat besi

Kehilangan zat besi melalui saluranpencernaan, kulit dan urin disebut


kehilangan zatbesi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besibasal juga
kehilangan zat besi melalui menstruasi.Di samping itu kehilangan zat besi
disebabkanpendarahan oleh infeksi cacing di dalam usus.

Tabel 2. Etiologi Anemia Defisiensi Besi (Longo, 2015)

11
2.5 Diagnosis

2.5.1 Gambaran Klinis

Secara umum, gejala klinis anemia defisiensi besi agak tidak spesifik dan
seringkali sulit dikenali secara langsung. Namun, dapat terlihat dari tanda-tanda atau
manifestasi fisik defisiensi besi sekunder akibat anemia (Clark, 2008). Gejala umum
anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada
anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini
berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging (Bakta et al., 2014). Salah satu petunjuk klinis yang paling penting
untuk anemia adalah gejala kelelahan kronis (Clark, 2008).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan anemia defisiensi besi menunjukkan


berbagai gejala seperti takikardia, sesak napas, capillary refill time yang buruk,
kelelahan, dan pucat terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta
et al., 2014 dan Clark, 2008).Pasien dengan anemia yang cukup parah juga bisa
menunjukkan gejala gagal jantung (Clark, 2008). Gejala yang khas dijumpai pada
defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah (Bakta et al.,
2014):

a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

12
f. Pica yang merupakan konsumsi barang bukan makanan seperti kotoran
(pagophagia) dan es (geophagia), terutama pada anak-anak dan wanita
hamil.

Temuan klinis tambahan meliputi sklera biru, anyaman esophagus


(esophageal webbing), dan glossitis. Gangguan perilaku juga telah diamati pada
pasien dengan anemia defisiensi besi. Restless Leg Syndrome juga dikaitkan secara
sebagai tanda klinis anemia defisiensi besi, walaupun mekanismenya tidak
sepenuhnya dipahami. Perubahan fisik lainnya yang dapat mempengaruhiKualitas
hidup telah dilaporkan dan mencakup gangguan kinerja fisik dan penurunan aktivitas
fisik, yang dapat mengakibatkan berkurangnya kapasitas, ketahanan, dan produksi
kerja (Clark, 2008).

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Dalam Riswan (2003), beberapa pemeriksaan laboratorium yang digunakan


untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi adalah:

1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia
berkembang, di mana seseorang dikatakan mengalami anemia apabila kada
Hb kurang 13 gram per desiliter pada pria dan kurang dari 12 gram per
desiliter pada wanita (Tabel 1). Akan tetapi pengukuran Hb sendiri tidak
dapat menentukan penyebab anemia.
2. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit dilakukan secara flowcytometri di mana terdapat 3 hal yang
dinilai, yakni
a) Mean Corpuscular Volume (MCV) : MCV merupakan volume rata-rata
eritrosit yang dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel
darah merah, memiliki nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl. MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV
merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah
thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan.

13
b) Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH) :MCH adalah berat hemoglobin
rata-rata dalam satu sel darah merah yang dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg,
mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) :MCHC adalah
konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata yang dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom <
30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan


menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk
inti, sitoplasma sel darah merah.

Gambar 2.4 Gambaran Hapusan Darah Perifer pada Pasien Normal (kiri) dan
Pasien dengan Anemia Hipokromik Mikrositer (kanan)

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel
merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan
nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan

14
zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum
feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda
meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.

5. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan


beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP
naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan
setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah
stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin
rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam
survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

6. Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya
yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah
maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid
artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter
lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.

7. Serum Transferin (Tf)

Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan
besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan
dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit
ginjal dan keganasan.

8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)

Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.

15
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan
suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin
umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status
besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.

Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat
secara khusus oleh plasma.

9. Serum Feritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai
dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat
spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan
besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat
besi.

Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi,


tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena
variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak
pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usiadan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari
pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum
feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik

secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai
usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia
60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis
dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.

16
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi
kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay
(RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

2.5.4 Alur Diagnosis Anemia Defisiensi Besi

Dalam Bakta (2014), terdapat 3 langkah dalam diagnosis anemia defisiensi


besi, yakni menegakkan diagnosis anemia, menegakkan diagnosis anemia defisiensi
besi dan menentukan penyebab defisiensi besi. Secara laboratoris untuk
menegakkan diagnosisanemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua)
dapatdipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasidari kriteria Kerlin et
al) adalah ditemukannya anemia hipokromik mikrositerpada hapusan darah tepi,atau
MCV < 80 fl dan MCHC <31% dengan salah satu daria, b, c, atau d.

a) Dua dari tiga parameter di bawah ini:


- Besiserum<50mg/dl
- TIBC>350mg/d1
- Saturasitransferin: <75%,atau
b) Feritinserum<20mg/l,atau
c) Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl'stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d) Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x200 mgftrari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu diserlai kenaikan kadar hemoglobin lebih
dari2 g/dl.

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yangmenjadi penyebab


defisiensi besi. Tahap ini seringmerupakan proses yang rumit yang memerlukan
berbagaijenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangatpenting untuk
mencegah kekambuhan defisiensi besi sertakemungkinan untuk dapat menemukan
sumber perdarahanyang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik,
sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya (Bakta et al., 2014).

Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencarisumber perdarahan.


Dilakukan anamnesis dan pemeriksaanfisis yang teliti. Pada perempuan masa

17
reproduksianamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perludilakukan
pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasadi Indonesia dilakukan pemeriksaan
feses untuk rnencaritelur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukanpemeriksaan
hapusan langsung (direct smear denganeosin), tetapi sebaiknya dilakukan
pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untukmenentukan
beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringantidaklah serta merta dapat dianggap
sebagai penyebabutama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing
tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau
egg per gram faeces (EPG)>2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.
Dalamsuatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yangnyata antara derajat
infeksi cacing tambang dengancadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini
lebihlemah pada perempuan (Bakta et al., 2014).

Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia)adalah anemia defisiensi


besi yang disebabkan olehkarena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000).
Anemiaakibat cacing tambang sering disertai pembengkakanparotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Padapemeriksaan laboratorium di samping tanda-
tandadefisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia. Padasuatu penelitian di Bali,
anemia akibat cacing tambang dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing
tambangatat 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai (Bakta et
al., 2014)

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapatdilakukan tes darah


samar (occult blood test) pada feses,dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi
saluran cerna atas atau bawah (Bakta et al., 2014).

Gambar 2,5 menunjukkan algoritma diagnosis anemia defisiensi besi dalam


Killip et al. (2007) yang merupakan adaptasi dari petunjuk klinis dengan modifikasi
evaluasi Serum Iron (SI), TIBC, dan Saturasi Trasferin yang direkomendasikan
sebagai tes follow up pada pasien dengan serum ferritin normal sebagai strategi
menekan kebutuhan biopsy sumsum tulang. Apabila hasil tes ini tidak dapat
ditentukan, peningkatan serum reseptor transferrin direkomendasikan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis.
Pemilihan batas level ferritin kurang dari 45 ng/ml atau 45 mcg/L untuk

18
meningkatkan sensitivitas, di mana sebagian besar laboratorium memasukkan 45
ng/mL dalam batas normal (Killip et al., 2007)

Anemia defisiensi besi memiliki baik penyebab fisiologis maupun patoloogis,


di mana penyebab anemia defisiensi besi perlu ditegakkan dengan baik atau dapat
terjadi pengabaian penyakit yang serius. Pada studi populasi dengan lebih dari 700
orang dewasa yang mengidap anemia defisiensi besi, sebanyak 6 persen
terdiagnosis keganasan gastrointestinal. Risiko keganasan ini ditemukan 9 persen
pada pasien dengan usia lebih dari 65 tahun. Akan tetapi, dari 442, wanita
premenopause dengan defisiensi besi tidak ditemukan adanya keganasan (Killip et
al., 2007)

19
Gambar 2.5 Alur Diagnosa Anemia Defisiensi Besi (Killip et al., 2007)

2.6 Diagnosis Banding

Anemia defisiensi besi merupakan anemia mikrositik. Adapun diagnosa


banding dari anemia mikrositik selain anemia defisiensi besi adalah thalassemia,
anemia sideroblastik, anemia akibat penyakit kronis, dan keracunan timbal (jarang
ditemukan pada dewasa). Pasien dengan anemia sideroblastik memiliki saturasi
serum transferrin yang tinggi yang dapat dibedakan dari defisiensi besi.
Membedakan antara anemia defisiensi besi dan anemia akibat penyakit kronis
terkadang cukup sulit, terutama pada masa awal defisiensi besi atau pada kondisi
dengan keduanya. Pada pasien dengan keracunan memiliki tanda seperti pada
keracunan timbal (Killip et al., 2007).

20
Perbedaan antara anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia
akibat penyakit kronis, dan thalassemia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Antara Anemia Defisiensi Besi, Anemia akibat Penyakit Kronik,
Trait Thalassemia, dan Anemia Sideroblastik (Bakta et al., 2014)

Anemia Anemia akibat


Trait Anemia
Defisiens Penyakit
Thalassemia Sideroblastik
i Besi Kronik
Ringan
Derajat Ringan sampai
sampai Ringan Ringan
anemia Berat
Berat
Menurun/Norm
MCV Menurun Menurun Menurun/Normal
al
Menurun/Norm
MCH Menurun Menurun Menurun/Normal
al
Menurun Normal/Meningk Normal/Meningk
Serum Iron Menurun <50
<30 at at
Meningka
TIBC Menurun <300 Normal/ Menurun Normal/ Menurun
t >360
Saturasi Menurun Menurun/Norm
Meningkat>20% Meningkat>20%
Transferrin <15% al 10-20%
Besi
Positif dengan
Sumsum Negatif Positif Positif Kuat
ring sideroblast
Tulang
Protoporfirin Meningka
Meningkat Normal Normal
eritrosit t
Feritin Menurun
Noemal 20-200 Meningkat >50 Meningkat >50
Serum <20
Elektroforesi
Normal Normal HbA2 meningkat Normal
s Hb

2.7 Tatalaksana

Terdapat 2 prinsip dalam tatalaksana anemia defisiensi besi dalam Bakta


(2014), yakni:

1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan


cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi
kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali

21
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekuranganbesi dalam tubuh (iron
replacement therapy).

Terdapat 2 jenis preparat besi yang digunakan, yakni oral dan parenteral.
Preparat besi oral umumnya menjadi pilihan pertama dalam tatalaksana karena
aman, nyaman, dan murah (Longo, 2015). Penyerapan besi sangat bergantung
pada konsumsi diet dan faktor lainnya. Respon sumsum tulang terhadap besi
terbatas pada 20 miligram besi elemental per hari. Peningkatan level hemoglobin
sebesar 1 gram per desiliter (setara dengan 10 gram per liter) seharusnya terjadi
setiap 2 hingga 3 minggu pemberian preparat besi. Akan tetapi, dibutuhkan kurang
lebih 4 bulan hingga penyimpanan besi kembali ke dalam batas normal setelah
kadar hemoglobin terkoreksi (Killip et al., 2007).

Preparat besi oral yang umumnya digunakan adalah ferrous sulfate dengan
dosis 325 mg yang mengandung 65 mg besi elemental, selain itu juga ferrous
gluconate dengan dosis yang sama tetapi mengandung 38 mg besi elemental (Killip
et al., 2007). Dosis yang direkomendasikan adalah 100 hingga 200 miligram besi
elemental per hari untuk dewasa dan 3 hingga 5 miligram per kilogram berat badan
per hari dengan sediaan cair (Longo, 2015). Dalam Bakta (2014) dosis yang
direkomendasikan adalah 3 x 200 mg sulfat ferosus yang diberikan selama 3 sampai
6 bulan, adajuga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadarhemoglobin
normal untuk mengisi cadangan besi tubuh.

Sediaan preparat besi lepas lambat (sustained-release formulations) tidak


direkomendasikan pada pemberian awal karena menurunkan jumlah besi yang
dipresentasikan untuk absorbsi pada villi duodenum (Killip et al., 2007).

Absorbsi gastrointestinal dari besi elemental dapat ditingkatkan dengan


membuat lingkungan yang asam. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian asam
askorbat (seperti vitamin C) secara simultan. Walaupun absorbsi besi lebih cepat
terjadi pada saat kondisi perut kosong, hal ini justru meningkatkan gangguan
pencernaan (mual, muntah) dalam pemberian preparat besi oral (Killip et al., 2007).
Sehingga untuk mengatasinya pemberian preparat dapat diberikan bersamaan
dengan makan atau setelah makan. Selain itu juga dapat dilakukan penurunan dosis
menjadi 3 x 100 mg untuk mengurangi efek samping (Bakta et al., 2014).

22
Makanan yang tinggi kandungan tannate (seperti teh) atau phytate (seperti
sereal) atau obat-obatan yang meningkatkan pH lambung (seperti antasida, proton
pump inhibitors, histamine H2 blockers) dapat menurunkan absorbsi besi sehingga
sebaiknya dihindari. Beberapa pasien memiliki kesulitan dalam absorbsi besi akibat
disolusi pelapis yang kurang baik, sehingga pilihan terbaik adalah dengan
memberikan bentuk cairan. Pemberian laxatives, stool softeners, dan meningkatkan
konsumsi cairan dapat meredakan efek konstipasi pada pemberian preparat besi
oral (Killip et al., 2007).

Pada beberapa kondisi, pemberian preparat besi parenteral dibutuhkan,


seperti pada (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral; (2) kepatuhan terhadap
obat yang rendah;(3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yangdapat
kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besiterganggu, seperti misalnya pada
gastrektomi; (5) keadaandi mana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidakcukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, sepertimisalnya pada hereditary
hemorrhagic telaengiectasia(6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek,
sepertipada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7)defisiensi besi
fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau
anemia akibat penyakit kronik (Bakta et al., 2014)

23
Tabel 4. Indikasi Terapi Besi Parenteral (Longo, 2015)

Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex(mengandung 50 mg


besi/ml), iron sorbitol citric acidcomplex dan yang terbaru adalah iron fenic
gluconatedan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapatdiberikan secara
intramuskular dalam atau intravenapelan. Pemberian secara intramuskular
memberikan rasanyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efeksamping yang
dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, meskipun jarang(0,6%). Efek samping lain
adalah flebitis,sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dansinkop (Bakta et
al., 2014). Formulasi dan dosis preparat besi parenteral lainnya dapat dilihat pada
Tabel YY.

24
Tabel 5. Preparat Besi Parenteral (Longo, 2015)

Dosis preparat besi secara parenteral dihitung dengan menggunakan rumus


sebagai berikut: Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500atau
1000 mg (Bakta et al., 2014). Selain itu juga dapat dihitung dengan rumus
Kebutuhan besi (mg) = 0,3 x BB (dalam pounds) x (100 [Hb actual x 100/Hb
target]) dimana Hb dalam satuan gram per desiliter (Clark SF, 2008).

2.8 Prognosis

Anemia defisiensi besi adalah penyakit yang mudah diobati dengan keluaran
yang baik, tetapi bisa jadi disebabkan oleh kondisi dengan prognosis buruk,
misalnya neoplasia. Prognosis dapat juga diubah oleh komorbiditas, seperti penyakit
jantung koroner. Anemia defisiensi besi kronis jarang menimbulkan kematian, tetapi
jika sudah mencapai derajat sedang, maka akan menciptakan keadaan hipoksia
yang memperburuk kondisi pulmoner dan kardiovaskuler. Kelelahan dan disfungsi
otot juga mengurangi performa kerja otot pada pasien anemia defisiensi besi
(Harper, 2016).

Pada anak-anak, laju pertumbuhan akan melambat dan kemampuan belajar


akan menurun. Anemia defisiensi besi berat pada anak telah dikaitkan dengan IQ
rendah, laju pertumbuhan suboptimal, dan kemampuan belajar rendah (Harper,
2016).

25
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. T

Umur : 19 tahun

JenisKelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Metro no. 10 Blimbing Malang

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Katholik

Pekerjaan : Mahasiswa

No.RM : 11339282

Tanggal MRS : 19 April 2017

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : pingsan

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien pingsan 9 jam sebelum masuk rumah sakit dan dibawa ke


IGD RSSA, tetapi 15 menit kemudian pasien sadar. Pasien juga sempat
pingsan 3 hari lalu.

Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari lalu, demam muncul


ketika siang hari, memburuk pada malam hari, tetapi suhu tubuh pasien
normal pada pagi hari. Saat tidak demam, pasien menggigil dan berkeringat.

26
Pasien sudah minum obat dan suhu tubuh menurun sedikit, tetapi meningkat
lagi tidak lama kemudian.

Pasien juga mengeluh lemas, pusing, dan mual seja 3 hari lalu. Sejak
itu, nafsu makan pasien menurun. Sehari sebelum masuk rumah sakit,
pasien muntah satu kali.

Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati.

Pasien sempat diare selama 3 hari, buang air besar cair 3 kali setiap
hari, tanpa darah atau lendir pada kotorannya, tetapi saat di IGD pasien
sudah tidak diare lagi.

Pasien didiagnosa dengan hipertensi sejak tahun lalu, diberi pil tetapi
tidak diminum rutin dan terakhir minum pil adalah sebelum ia kuliah 2 tahun
lalu. Tekanan darah biasanya terukur 190.

Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah masuk rumah sakit karena malaria
tiga tahun lalu.

Riwayat Pengobatan: Pasien minum obat tekanan darah tinggi, tetapi sudah
berhenti sejak 3 tahun lalu.

Riwayat Alergi : Pasien alergi parasetamol.

Riwayat Penyakit Keluarga : Orang tua dan kakak perempuan pasien yang
pertama menderita hipertensi. Ayah pasien pernah sakit malaria ketika
pasien masih SD.

Riwayat Sosial :Pasien adalah mahasiswa di Malang yang berasal dari NTT.
Pasien memiliki dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Pasien
terakhir berkunjung ke NTT 2 bulan lalu.

3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status Generalis

27
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

GCS : 456

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital : Tensi: 130/80 mmHg

Nadi : 94 x / menit

RR : 24 x / menit

Tax : 36.6C

Kulit : Tidak ada rash, tidak ada luka, tidak ada tumor,
turgor normal

Kepala :

Bentuk : normosefal, simetris,benjolan massa (-)

Ukuran : mesosefal

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Wajah : simetris, deformitas (-), rash (-), sianosis (-)

Mata : konjungtiva : anemis +|+

sklera : ikterik -|-

palpebra : edema -|-

reflek cahaya (+/+), pupil bulat isokor 3mm/3mm

mata cowong (-)nistagmus (-), strabismus (-)

Telinga : bentuk normal, posisi normal, perforasi membrane

timpani (-/-)

Sekret (-/-), massa (-), mastoid: nyeri (-)

28
Hidung : Sekret (-/-),perdarahan (-), hiperemis (-), edema (-)

deviasi septum nasi (-), nyeri tekan (-)

Mulut : mukosa sianosis (-), hiperemis faring (-), hiperemis


tonsil (-),

Ulkus (-), oral candidiasis (-)

Lidah : hiperemis (-), ulkus (-)

Gigi dan Gusi : Perdarahan gusi (-)

Tenggorokan : hiperemis (-)

Leher : trakea normal di tengah, bruit (-), JVP R + 3 cm H2O


(posisi 300)

Thorax :

a. Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi dinding dada (-),


deformitas (-), jaringan parut (-)
b. Palpasi : pembesaran KGB aksila -|-
c. Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba di MCL ICS V sinistra
- Perkusi : batas jantung kiri pada iktus, batas jantung kanan
pada
sternal line dextra
- Auskultasi : bunyi jantung S1S2 normal, reguler, gallop (-), murmur
(-)

d. Paru
- Inspeksi : gerakan dinding dada saat bernafas simetris,
Retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : chest expansion simetris, statis dinamis D = S
stem fremitus:

29
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
- Perkusi :
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
- Auskultasi : laju pernafasan 20 x / menit

Suara Nafas Ronki Wheezing


vesikuler Vesikuler - - - -
vesikuler Vesikuler - - - -
vesikuler Vesikuler - - - -

Abdomen :

a. Inspeksi : kulit abdomen jaringan parut (-), dilatasi vena (-),

peradangan umbilikus (-), rash (-), vena kolateral (-


)spider
nevi (-)
kontur abdomen tampak simetris, benjolan (-
),distended

b. Auskultasi : bising usus (+) N, meteorismus (-), tidak ditemukan


bruit

pada proyeksi aorta abdominalis, arteri renalis, arteri


iliaca,
maupun pada arteri femoralis, friction rub (-).

c. Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen, traubes


space

tympany, shifting dullness (-), liver span 8 cm.

d. Palpasi : soefl, turgor kulit kembali cepat

Hepar : Normal
Lien : Normal

30
Ekstremitas : Akral hangat , edema= | =cyanosis = | = anemis =|
=

Ikterik = | =

Alat kelamin : tidak dievaluasi

Rektum : tidak dievaluasi

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (19-4-2017)

Lab Value

Leukocyte 16.680 4.300-10.000/L

Hemoglobine 9,40 11,0-16,5 g/dl

Hematokrit 32,40 38-42 %

Trombocyte 555.000 150.000-390.000/L

Eritrosit 5,65 4,0-5,0 106/L

SGOT 26 11-41U/L

SGPT 23 10-41U/L

Eusinofil 0,0 0 -4 %

Basofil 0,1 0-1 %

Neutrofil 84,5 51-67 %

Limfosit 10,6 25-33 %

31
Monosit 4,6 2-5,5 %

MCV 57,30 80 - 93 fL

MCH 16,60 27 - 31 pg

Natrium 128 136-145 mmol / L

Kalium 3,10 3,5-5,0 mmol / L

Chlorida 100 98-106 mmol / L

Ureum 15,80 10-50 mg/dL

Creatinine 0,58 0,7-1,5 mg/dL

Albumin 3,38 3,5-5,5 g/dL

RBS 100 <200 mg/dL

Urinalisis (19.4.2017)

Lab Value

Kekeruhan Jernih Jernih

Warna Kuning Kuning

pH 86,5 4,5 - 8,0

32
BJ 1,050 1,010 1,015

Glucose negatif Negatif

Protein +1 Negatif

Ketone negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen Negatif Negatif

Nitrite Negatif Negatif

Leucocyte Negatif Negatif

Darah trace Negatif

10 x

Epithelia 4 1lpf

Cylinder Negatif - / Lpf

Hyaline - 2

Granular - Negatif

40 x

Erythrocyte 2,3 3 hpf

33
Eumorphic -

Dysmprhic -

Bacteria 303,8 23 x 103/mL

Leucocyte 1,5 5 hpf

Evaluasi Hapusan Darah (20.4.2017)

Eritrosit : hipokrom, anisopoikilositosis, tear drop cell (+), eliptosit (+), target
cell (+), double population (+)

Leukosit : kesan jumlah normal

Trombosit : kesan jumlah normal

Kimia Klinik (20.4.2017)

Lab Value
Besi 13 g/dL 49-151 g/dL
TIBC 227 g/dL 250-350 g/dL
Saturasi Transferin 6% 16-45

34
Cue and Clue Problem List Initial Diagosis Planning Planning Therapy Planning
Diagnosis Monitoring

Perempuan/ 19 tahun/ R 28 1.AFI hari ke-3 _ 1.1 malaria Tetes tebal, surface cooling Keluhan
1.2 leptospirosis
Anemnesis:
leukositosis + tetes tipis IVFD NS loading subjektif
anemia 1000 cc Tanda-
Pasien demam sejak 3 hari
dilanjutkan dengan tanda vital
lalu, demam muncul siang
dan malam tetapi tidak NS 20 tpm
muncul di pagi hari. Saat
tidak demam, pasien metamizole 3 x 1 g
menggigil dan berkeringat. iv prn demam
Pasien sudah minum obat
dan suhu tubuh turun sedikit ciprofloxacin 2 x 400
tetapi kemudian naik lagi. mg iv

Pemeriksaan fisik:
Tax 36,6

Conjungtiva anemis (+/+)

Lab (19.4.2017):
Hb 9,40
Leucocyte 16680

Perempuan/ 37 tahun/ R 28 2.1 primer


2.Hipertensi stage diet rendah garam Keluhan
2.2 sekunder
Anemnesis: II PO amlodipin 1 x subjektif
10 mg Tanda-
Pasien terdiagnosa
hipertensi sejak 3 tahun lalu, PO valsartan 1 x tanda vital
diberikan pil tetapi tidak
diminum rutin. Terakhir 80 mg

35
minum obat sebelum masuk
universitas 2 tahun lalu.
Tekanan darah biasanya
terukur sekitar 190

Pemeriksaan fisik:
TD 170/100 mmHg

Perempuan/ 37 tahun/ R28 3. Hiponatremia 3.1 volume - IVFD Ns loading Keluhan


Anamnesis: depletion 1000 cc subjektif
Pasien merasa lemas sejak dilanjutkan dengan Tanda-
3 hari lalu. NS 20 tpm tanda vital

Lab
Na 128

Perempuan/ 37 tahun/R 28 4.anemia 4.1 Defisiensi Blood Konfirmasi diagnosis Keluhan


Anamnesa: hypochromic besi smear, SI, subjektif
Pasien merasa lemas dan microcytair TIBC, Fe Tanda-
pusing sejak 3 hari lalu. tanda vital

Pemeriksaan Fisik:
Konjungtiva anemis +

Pemeriksaan Penunjang:

36
DL 19-4-2017:
Hb 9,4 / MCV 57,6 /
MCH 16,6

Nama Penderita : Nn. T


Tanggal Subjecti Objective Assessment Planning (P)
ve (S) GS & VS Head to toe Lab. & (A) DX Tx Monitorin
Examination Penunjang g&
Lain Edukasi
20/4/17 Lemas, GCS 456 KU: tampak - 1. AFI hari Hapu - bed rest P.Mo:
07.00 demam TD : 110/80 sakit sedang ke-3 + san - diet rendah Subjektif,
berkura mmHg K/L: leukositosis + darah, garam vital
ng N : 88 konjungtiva anemia SI, - IVFD NS 0,9% sign
x/min anemia +/+ 1.1 infection TIBC, 20 tpm
RR : 20 sclera ikterik - 1.1.1 malaria Feritin - intravena:
x/min /- vivax dd , Sat. ciprofloxacin 2 x
Tax : 37,8 Tho: falciparum Transf 400 mg IV
C Cor: Ictus 1.1.2 erin, - intravena:
cordis leptospirosis Tetes antrain 3 x 1 g
invisible, 2. riwayat tebal, prn demam
palpable at hipertensi tetes - intravena
ICS V, MCL 3. tipis omeprazol 1 x 40
Sinistra hiponatremia mg
S1 S2 normal 4. anemia - intravena
m(-) g(-) hipokromik metoclopramid 3
Lung: normositer x 10 mg
v v Rh - - 4.1 defisiensi -per oral
vv -- besi amlodipin 1 x 10
vv -- mg

37
Wh - -
--
--
Abd : BU (+)
Normal, Liver
span 8 cm,
Traubes
space timpani
Ext:
AH (+), ed = =
an = =
21/04/17 Lemas, GCS 456 KU: tampak Evaluasi 1. AFI hari Tetes - bed rest P.Mo:
demam TD : 120/70 sakit sedang Hapusan ke-4 + tebal, - diet rendah Subjek-
berkura mmHg K/L: Darah leukositosis + tetes garam tif, vital
(20.4.17)
ng N : 80x/min konjungtiva anemia tipis - IVFD NS 0,9% sign
Eritrosit:
RR : anemia +/+ hipokrom, 1.1 infection 20 tpm
18x/min sclera ikterik - anisopoikil 1.1.1 malaria - intravena:
Tax : 36,2 /- ositosis, vivax dd ciprofloxacin 2 x
C Tho: tear drop falciparum 400 mg IV
Cor: Ictus cell (+), 1.1.2 - intravena:
cordis eliptosit leptospirosis antrain 3 x 1 g
(+), target
invisible, 2. riwayat prn demam
cell (+),
palpable at double hipertensi - intravena
ICS V, MCL population 3. omeprazol 1 x 40
Sinistra (+) hiponatremia mg
S1 S2 normal Leukosit: 4. anemia - intravena
m(-) g(-) kesan hipokromik metoclopramid 3
Lung: jumlah normositer x 10 mg
normal
v v Rh - - 4.1 defisiensi -per oral
Trombosit:
vv -- kesan besi amlodipin 1 x 10

38
vv -- jumlah mg
Wh - - normal - per oral sulfas
-- Kimia ferosus 1x300 mg
Klinik
--
(20.4.17):
Abd : BU (+) Besi: 13
Normal, Liver g/dL
span 8 cm, TIBC: 227
Traubes g/dL
space timpani Saturasi
Ext: Transferin:
AH (+), ed = = 6%
an = =
22/04/17 Lemas, GCS 456 KU: tampak Tetes 1. AFI hari - - bed rest P.Mo:
demam TD : 120/70 sakit sedang tebal dan ke-5 + - diet rendah Subjek-
berkura mmHg K/L: tetes tipis: leukositosis garam tif, vital
ng N : 80x/min konjungtiva tidak + anemia - IVFD NS 0,9% sign
RR : anemia +/+ ditemukan 1.1 infection 20 tpm
18x/min sclera ikterik - gambaran 2. riwayat - intravena:
Tax : 36,2 /- Plasmodiu hipertensi ciprofloxacin 2 x
C Tho: m 3. 400 mg IV
Cor: Ictus hiponatremia - intravena:
cordis 4. anemia antrain 3 x 1 g
invisible, hipokromik prn demam
palpable at normositer - intravena
ICS V, MCL 4.1 defisiensi omeprazol 1 x 40
Sinistra besi mg
S1 S2 normal - intravena
m(-) g(-) metoclopramid 3
Lung: x 10 mg
v v Rh - - -per oral

39
vv -- amlodipin 1 x 10
vv -- mg
Wh - - - per oral sulfas
-- ferosus 1x300 mg
--
Abd : BU (+)
Normal, Liver
span 8 cm,
Traubes
space timpani
Ext:
AH (+), ed = =
an = =

40
BAB 4
PEMBAHASAN

3.1 Diagnosis
Gejala klinis anemia sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarga, yang ringan diagnosa ditegakkan hanya dari laboratorium.
Gejala yang umum adalah pucat. Pada anemia defisiensi besi dengan kadar 6-10
g/dl terjadi kompensasi kompensasi yang efektif sehingga gejalanya hanya ringan.
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi
seperti: perubahan epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (spoon-shaped nail),
atrofi papila lidah, perubahan mukosa lambung dan usus halus, penurunan aktivitas
kerja, dan termogenesis yang abnormal ditandai dengan ketidakmampuan
mempertahankan suhu tubuh normal saat udara dingin. Daya tahan tubuh juga
menurun karena fungsi leukosit yang abnormal (Goddard et al, 2011).

Pemeriksaan penunjang yang paling sederhana namun sensitif adalah MCV


dan MCH. Penurunan MCV dan MCH merupakan indikator adanya defisiensi besi
jika tidak ada riwayat kelainan darah bawaan. Sementara itu, marker serum yang
paling kuat membuktikan defisiensi besi adalah serum feritin yang menurun (< 12-15
mcg/l). Marker serum lain yang berubah pada anemia defisiensi besi adalah
penurunan saturasi transferin dan besi, sementara parameter yang meningkat
adalah TIBC, zinc protoporfirin sel merah, dan reseptor serum transferin (Goddard et
al, 2011).

Pasien pingsan 9 jam sebelum masuk rumah sakit dan dibawa ke IGD RSSA,
tetapi 15 menit kemudian pasien sadar. Pasien juga sempat pingsan 3 hari lalu.
Pasien juga mengeluh lemas, pusing, dan mual sejak 3 hari lalu. Sejak itu, nafsu
makan pasien menurun. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari lalu, demam
muncul ketika siang hari, memburuk pada malam hari, tetapi suhu tubuh pasien
normal pada pagi hari. Saat tidak demam, pasien menggigil dan berkeringat. Pasien
sudah minum obat dan suhu tubuh menurun sedikit, tetapi meningkat lagi tidak lama
kemudian. Sehari sebelum masuk rumah sakit, pasien muntah satu kali. Pasien
pernah masuk rumah sakit karena malaria tiga tahun lalu.

41
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, tetapi tidak
didapatkan organomegali.

Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan penurunan Hb 9,4 g/dL,


penurunan MCV 57,30 fL, dan penurunan MCH 16,60. Dari ketiga hasil ini, dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami anemia hipokrom mikrositer. Dugaan etiologi
anemia hipokrom mikrositer pada pasien ini adalah infeksi atau kekurangan nutrisi,
didasarkan pada anamnesis adanya demam, riwayat malaria, dan pola makan
pasien yang tidak teratur. Selanjutnya, SI, TIBC, dan saturasi transferin pada pasien
ini diperiksa, dan semua parameter menurun. Hal ini kurang sesuai dengan keadaan
anemia defisiensi besi karena pada anemia defisiensi besi didapatkan SI dan
saturasi transferin yang menurun, tetapi dengan peningkatan TIBC. Pasien juga
dicekkan hapusan darah untuk menilai morfologi sel, selain itu diperiksa pula tetes
tebal dan tetes tipis untuk membuktikan diferensial diagnosis malaria yang mungkin
mendasari anemia hipokrom mikrositer pada pasien. Hasilnya, pada hapusan darah
ditemukan gambaran hipokrom, anisopoikilositosis, tear drop cell, eliptosit, dan
target cell yang merupakan gambaran khas pada anemia defisiensi besi, tetapi tidak
ditemukan parasit Plasmodium pada tetes tebal dan tetes tipis yang mengecilkan
kecurigaan ke arah malaria walau tidak sepenuhnya menghilangkan kemungkinan
tersebut.

Pasien didiagnosis dengan anemia defisiensi besi dengan


mempertimbangkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

3.2 Tatalaksana

Menurut Goddard et al (2011), terapi utama pada pasien anemia defisiensi


besi adalah penggantian besi yang dapat tercapai dengan pemberian sulfas ferosus
2 x 200 mg. Pemberian 1 x 200 mg atau dengan dosis lain yang lebih rendah juga
dapat diberikan bila pasien tidak dapat menoleransi dosis 2 x 200 mg. Transfusi
darah hanya untuk pasien yang masih simtomatis walaupun telah diberikan sulfas
ferosus secara adekuat atau yang terancam jatuh dalam instabilitas vaskuler. Jika

42
satu bulan kemudian, pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil yang normal,
maka pemberian preparat sulfas ferosus dilanjutkan hingga satu tahun kemudian,
dengan pemeriksaan darah lengkap setiap tiga bulan sekali, dan terapi dihentikan
jika pemeriksaan darah lengkap normal.

Pasien mendapatkan terapi sulfas ferosus 1 x 300 mg selama MRS di RSSA


dan setelah KRS, pasien direncanakan untuk kontrol per poli.

43
BAB 5

PENUTUP

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya


penyediaan besi untuk eritropoesis, akibat hilangnya cadangan besi (depleted iron
store) yang mengakibatkan penurunan pembentukkan hemoglobin (Bakta et al.,
2014).Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan tahap defisiensi besi yang paling
parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan
saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit
yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).

Penegakan diagnosis anemia defisiensi besi adalah dari anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang. Dalam anamnesis, gejala anemia
defiseiensi besi yang mungkin ditemukan antara lain gejala anemia non spesifik
seperti kelemahan, toleransi aktivitas berkurang. Pemeriksaan fisik pada pasien
dengan anemia defisiensi besi menunjukkan berbagai gejala seperti takikardia,
sesak napas, capillary refill time yang buruk, kelelahan, dan pucat terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Dapat juga ditemukan koilonychia, atrofi
papil lidah, stomatitis angularis (cheilosis), disfagia, atrofi mukosa gaster, dan pica.
kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasidari kriteria Kerlin et al) adalah
ditemukannya anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi,atau MCV <80
fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari empat kriteria laboratoris.

Pada anemia yang tidak disebabkan perdarahan, dapat dilakukan terapi


penggantian besi. Preparat besi yang digunakan adalah oral dan parenteral.

Dilaporkan pasien berusia 19 tahun yang datang dengan keluhan pingsan


seak 9 jam SMRS dengan keluhan penyerta demam, lemas, dan pucat sejak 3 hari
SMRS disertai riwayat malaria 3 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan
konjungtiva anemis. Parameter lab yang berubah antara lain Hb, MCV dan MCH
menurun, serta SI, TIBC, saturasi transferin yang juga menurun. Pasien semula
dicurigai mengalami anemia karena infeksi malaria, tetapi melalui tetes tebal dan

44
tetes tipis tidak ditemukan adanya parasit, maka selanjutnya pasien ini didiagnosis
dengan anemia defisiensi besi dan diberikan terapi sulfas ferosus 1 x 200 mg.

45
DAFTAR PUSTAKA

Abdulmuthalib, 2009. Kelainan Hematologik. Dalam: Saifuddin, A. B., Rachimhadhi,


T., Wiknjosastro, G.H., penyunting. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo ---
Ed. 4, Cet. 2 --- Jakarta : PT Bina Pustaka, 774-780.

Andrews, Nancy C. Disorders ofIronMetabolism. N Engl J Med1999; 341(26): 1986-


1995.

Bakta, I. M., Suega, K., Dharmayuda, T. G., 2014. Anemia Defisiensi Besi. Dalam:
Sudoyo, A. W., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6 Jilid II.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1127-1137.

Clark, Susan F. Iron Deficiency Anemia. Nutr Clin Pract 2008 23: 128. DOI:
10.1177/0884533608314536.

Goddard, AF., James, MW., McIntyre, AS., Scott, BB. 2011. Guidelines for the
management of iron deficiency anaemia. Gut 60:1309-1316.

Harper, JL. 2016. Iron Deficiency Anemia. Diakses 18 Juni 2017,


http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview#a6.

Isniati. (2007). Wanita Lebih BeresikoTerkena Anemia. 5 Mei 2017.


http://www.pemkomedan.go.id/wanita-lebih-beresiko-terkenaanemia.htm

Khaidir, Masrizal. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat


Andalas, September 2007, II (1): 140-145.
http://dx.doi.org/10.24893/jkma.v2i1.23.

Killip S, Bennett JM, dan Chambers MD. Iron Deficiency Anemia. Am Fam
Physician. 2007 Mar 1;75(5):671-678.

Longo, Dan L (Ed.). Iron-Deficiency Anemia. N Engl J Med 2015; 372:1832-1843


May 7, 2015. http://dx.doi.org/10.1056/NEJMra1401038

46
Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia Harper --- Ed
25 ---Jakarta : EGC.

Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek
Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara.
Diunduh dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-
muhammad%20riswan.pdf. [Diakses Februari 2010].

47

Anda mungkin juga menyukai