Oleh:
Alfian Dwi Sukma 150070200011169
Fatma Rahmalia Izzati 150070200011209
Pande Made Praskita 160070201111011
Pembimbing:
dr. Herwindo Pudjo B., Sp.PD
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Defisiensi besi mempengaruhi lebih dari 2 milyar penduduk dunia, dan
anemia defisiensi besi sendiri merupakan penyebab tertinggi anemia berdasarkan
laporan di 187 negara selama periode 1990 hingga 2010 dan berdasarkan survey
yang dilakukan pada penduduk yang berisiko tinggi seperti wanita muda dan anak-
anak pra sekolah. Program pencegahan anemia telah menurunkan prevalensi
anemia defisiensi besi secara global, akan tetapi prevalensi anemia defisiensi besi
masih cukup tinggi di Afrika Tengah, Afrika Barat, dan Asia Tenggara. Estimasi
prevalensi defisiensi besi di seluruh dunia sebesar 2 kali lipat dari prevalensi anemia
defisiensi besi (Longo et al., 2015).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
3
transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang
menurun (Abdulmuthalib, 2009).
2.2 Epidemiologi
2.3 Patofisiologi
4
Gambar 2.1 Distribusi Besi Pada Tubuh (Andrews, 1999)
Pada kondisi seimbang, 1 hingga 2 miligram besi masuk dan keluar dari
tubuh setiap harinya. Besi yang diperoleh dari makanan diabsorbsi melalui enterosit
duodenum, kemudian memasuki sirkulasi darah dengan berikatan dengan
transferrin. Sebagian besar besi dalam tubuh bergabung dengan hemoglobin dalam
precursor erythroid dan eritrosit matur. Sekitar 10 hingga 15 persen berada di serat
otot (dalam myoglobin) dan pada jaringan lain (pada enzim dan cytochrome). Besi
disimpan pada sel parenkim hepar dan makrofag retikuloendotelial. Makrofag
tersebut menyediakan sebagian besar besi yang masih dapat digunakan dari
5
degradasi hemoglobin pada sel darah merah yang sudah tua dan mengembalikan
dengan transferrin untuk transportasi ke sel (Andrew, 1999).
Pria dewasa umumnya memiliki 35-45 mg besi per kilogram berat badan.
Pada wanita premenopause memiliki penyimpanan besi yang lebih rendah akibat
kehilangan darah melalui menopause. Lebih dari dua per tiga komponen besi di
dalam tubuh berada dalam hemoglobin pada perkembangan precursor erythroid dan
eritrosit. Pengambilan dari besi erythroid bergantung pada proses endositosis
transferrin pada siklus transferrin (Andrews, 1999)
Absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase, yakni fase luminal, fase mucosal, dan
fase korporeal (Bakta et al., 2014).
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan
besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi
dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati,
tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah
di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena
6
pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri
(Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
7
Gambar 2.2 (a) Transportasi Besi Melalui Epitel Intestinum dan (b) Regulasi
Absorbsi Besi pada Sistem Pencernaan (Andrews, 1999).
c. Fase Korporeal
8
Gambar 2.3 Siklus Transferrin (Andrews, 1999)
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi
yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh
penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut
terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi
anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient
9
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC)
meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan
jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut
sebagai anemia defisiensi besi (Bakta et al., 2014).
2.4 Etiologi
Etiologi anemia defisiensi besi bergantung pada kondisi medis pasien, usia,
penyakit penyerta, dan terapi yang saat ini dijalani oleh pasien. Sebuah hipotesis
menyatakan bahwa penyebab anemia defisiensi besi secara umum adalah
peningkatan kebutuhan besi oleh tubuh akan tetapi tidak dapat dipenuhi oleh proses
absorbsi besi. Sehingga, pasien dengan anemia defisiensi besi dapat mengalami
gangguan intake, gangguan absorbsi besi, penekanan transportasi besi, atau
kehilangan besi secara fisiologis akibat kehilangan darah secara kronis maupun
sekunder terhadap usia reproduktif. Walaupun dengan adanya usaha untuk
menegakkan diagnosis dengan baik, sebanyak 29 hingga 47 persen pasien dengan
anemia defisiensi besi tidak memiliki etiologi yang jelas (Clark SF, 2008).
10
2. Penyerapan zat besi
Diet yang kaya zat besi tidaklah menjaminketersediaan zat besi dalam tubuh
karenabanyaknya zat besi yang diserap sangat tergantungdari jenis zat besi
dan bahan makanan yang dapatmenghambat dan meningkatkan penyerapan
besi.
3. Kebutuhan meningkat
11
2.5 Diagnosis
Secara umum, gejala klinis anemia defisiensi besi agak tidak spesifik dan
seringkali sulit dikenali secara langsung. Namun, dapat terlihat dari tanda-tanda atau
manifestasi fisik defisiensi besi sekunder akibat anemia (Clark, 2008). Gejala umum
anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada
anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini
berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging (Bakta et al., 2014). Salah satu petunjuk klinis yang paling penting
untuk anemia adalah gejala kelelahan kronis (Clark, 2008).
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
12
f. Pica yang merupakan konsumsi barang bukan makanan seperti kotoran
(pagophagia) dan es (geophagia), terutama pada anak-anak dan wanita
hamil.
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia
berkembang, di mana seseorang dikatakan mengalami anemia apabila kada
Hb kurang 13 gram per desiliter pada pria dan kurang dari 12 gram per
desiliter pada wanita (Tabel 1). Akan tetapi pengukuran Hb sendiri tidak
dapat menentukan penyebab anemia.
2. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit dilakukan secara flowcytometri di mana terdapat 3 hal yang
dinilai, yakni
a) Mean Corpuscular Volume (MCV) : MCV merupakan volume rata-rata
eritrosit yang dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel
darah merah, memiliki nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl. MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV
merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah
thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan.
13
b) Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH) :MCH adalah berat hemoglobin
rata-rata dalam satu sel darah merah yang dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg,
mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
c) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) :MCHC adalah
konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata yang dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom <
30%.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Gambar 2.4 Gambaran Hapusan Darah Perifer pada Pasien Normal (kiri) dan
Pasien dengan Anemia Hipokromik Mikrositer (kanan)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel
merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan
nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan
14
zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum
feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda
meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit
protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya
yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah
maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid
artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter
lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan
besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan
dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit
ginjal dan keganasan.
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
15
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan
suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin
umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status
besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering
dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat
secara khusus oleh plasma.
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai
dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat
spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan
besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat
besi.
secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai
usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia
60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis
dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.
16
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi
kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay
(RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
17
reproduksianamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perludilakukan
pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasadi Indonesia dilakukan pemeriksaan
feses untuk rnencaritelur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukanpemeriksaan
hapusan langsung (direct smear denganeosin), tetapi sebaiknya dilakukan
pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untukmenentukan
beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringantidaklah serta merta dapat dianggap
sebagai penyebabutama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing
tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau
egg per gram faeces (EPG)>2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.
Dalamsuatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yangnyata antara derajat
infeksi cacing tambang dengancadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini
lebihlemah pada perempuan (Bakta et al., 2014).
18
meningkatkan sensitivitas, di mana sebagian besar laboratorium memasukkan 45
ng/mL dalam batas normal (Killip et al., 2007)
19
Gambar 2.5 Alur Diagnosa Anemia Defisiensi Besi (Killip et al., 2007)
20
Perbedaan antara anemia defisiensi besi, anemia sideroblastik, anemia
akibat penyakit kronis, dan thalassemia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan Antara Anemia Defisiensi Besi, Anemia akibat Penyakit Kronik,
Trait Thalassemia, dan Anemia Sideroblastik (Bakta et al., 2014)
2.7 Tatalaksana
21
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekuranganbesi dalam tubuh (iron
replacement therapy).
Terdapat 2 jenis preparat besi yang digunakan, yakni oral dan parenteral.
Preparat besi oral umumnya menjadi pilihan pertama dalam tatalaksana karena
aman, nyaman, dan murah (Longo, 2015). Penyerapan besi sangat bergantung
pada konsumsi diet dan faktor lainnya. Respon sumsum tulang terhadap besi
terbatas pada 20 miligram besi elemental per hari. Peningkatan level hemoglobin
sebesar 1 gram per desiliter (setara dengan 10 gram per liter) seharusnya terjadi
setiap 2 hingga 3 minggu pemberian preparat besi. Akan tetapi, dibutuhkan kurang
lebih 4 bulan hingga penyimpanan besi kembali ke dalam batas normal setelah
kadar hemoglobin terkoreksi (Killip et al., 2007).
Preparat besi oral yang umumnya digunakan adalah ferrous sulfate dengan
dosis 325 mg yang mengandung 65 mg besi elemental, selain itu juga ferrous
gluconate dengan dosis yang sama tetapi mengandung 38 mg besi elemental (Killip
et al., 2007). Dosis yang direkomendasikan adalah 100 hingga 200 miligram besi
elemental per hari untuk dewasa dan 3 hingga 5 miligram per kilogram berat badan
per hari dengan sediaan cair (Longo, 2015). Dalam Bakta (2014) dosis yang
direkomendasikan adalah 3 x 200 mg sulfat ferosus yang diberikan selama 3 sampai
6 bulan, adajuga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadarhemoglobin
normal untuk mengisi cadangan besi tubuh.
22
Makanan yang tinggi kandungan tannate (seperti teh) atau phytate (seperti
sereal) atau obat-obatan yang meningkatkan pH lambung (seperti antasida, proton
pump inhibitors, histamine H2 blockers) dapat menurunkan absorbsi besi sehingga
sebaiknya dihindari. Beberapa pasien memiliki kesulitan dalam absorbsi besi akibat
disolusi pelapis yang kurang baik, sehingga pilihan terbaik adalah dengan
memberikan bentuk cairan. Pemberian laxatives, stool softeners, dan meningkatkan
konsumsi cairan dapat meredakan efek konstipasi pada pemberian preparat besi
oral (Killip et al., 2007).
23
Tabel 4. Indikasi Terapi Besi Parenteral (Longo, 2015)
24
Tabel 5. Preparat Besi Parenteral (Longo, 2015)
2.8 Prognosis
Anemia defisiensi besi adalah penyakit yang mudah diobati dengan keluaran
yang baik, tetapi bisa jadi disebabkan oleh kondisi dengan prognosis buruk,
misalnya neoplasia. Prognosis dapat juga diubah oleh komorbiditas, seperti penyakit
jantung koroner. Anemia defisiensi besi kronis jarang menimbulkan kematian, tetapi
jika sudah mencapai derajat sedang, maka akan menciptakan keadaan hipoksia
yang memperburuk kondisi pulmoner dan kardiovaskuler. Kelelahan dan disfungsi
otot juga mengurangi performa kerja otot pada pasien anemia defisiensi besi
(Harper, 2016).
25
BAB 3
LAPORAN KASUS
Nama : Nn. T
Umur : 19 tahun
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Katholik
Pekerjaan : Mahasiswa
No.RM : 11339282
3.2 Anamnesis
26
Pasien sudah minum obat dan suhu tubuh menurun sedikit, tetapi meningkat
lagi tidak lama kemudian.
Pasien juga mengeluh lemas, pusing, dan mual seja 3 hari lalu. Sejak
itu, nafsu makan pasien menurun. Sehari sebelum masuk rumah sakit,
pasien muntah satu kali.
Pasien sempat diare selama 3 hari, buang air besar cair 3 kali setiap
hari, tanpa darah atau lendir pada kotorannya, tetapi saat di IGD pasien
sudah tidak diare lagi.
Pasien didiagnosa dengan hipertensi sejak tahun lalu, diberi pil tetapi
tidak diminum rutin dan terakhir minum pil adalah sebelum ia kuliah 2 tahun
lalu. Tekanan darah biasanya terukur 190.
Riwayat penyakit dahulu: Pasien pernah masuk rumah sakit karena malaria
tiga tahun lalu.
Riwayat Pengobatan: Pasien minum obat tekanan darah tinggi, tetapi sudah
berhenti sejak 3 tahun lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga : Orang tua dan kakak perempuan pasien yang
pertama menderita hipertensi. Ayah pasien pernah sakit malaria ketika
pasien masih SD.
Riwayat Sosial :Pasien adalah mahasiswa di Malang yang berasal dari NTT.
Pasien memiliki dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Pasien
terakhir berkunjung ke NTT 2 bulan lalu.
27
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
GCS : 456
Nadi : 94 x / menit
RR : 24 x / menit
Tax : 36.6C
Kulit : Tidak ada rash, tidak ada luka, tidak ada tumor,
turgor normal
Kepala :
Ukuran : mesosefal
timpani (-/-)
28
Hidung : Sekret (-/-),perdarahan (-), hiperemis (-), edema (-)
Thorax :
d. Paru
- Inspeksi : gerakan dinding dada saat bernafas simetris,
Retraksi dinding dada (-)
- Palpasi : chest expansion simetris, statis dinamis D = S
stem fremitus:
29
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
- Perkusi :
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
- Auskultasi : laju pernafasan 20 x / menit
Abdomen :
Hepar : Normal
Lien : Normal
30
Ekstremitas : Akral hangat , edema= | =cyanosis = | = anemis =|
=
Ikterik = | =
Lab Value
SGOT 26 11-41U/L
SGPT 23 10-41U/L
Eusinofil 0,0 0 -4 %
31
Monosit 4,6 2-5,5 %
MCV 57,30 80 - 93 fL
MCH 16,60 27 - 31 pg
Urinalisis (19.4.2017)
Lab Value
32
BJ 1,050 1,010 1,015
Protein +1 Negatif
10 x
Epithelia 4 1lpf
Hyaline - 2
Granular - Negatif
40 x
33
Eumorphic -
Dysmprhic -
Eritrosit : hipokrom, anisopoikilositosis, tear drop cell (+), eliptosit (+), target
cell (+), double population (+)
Lab Value
Besi 13 g/dL 49-151 g/dL
TIBC 227 g/dL 250-350 g/dL
Saturasi Transferin 6% 16-45
34
Cue and Clue Problem List Initial Diagosis Planning Planning Therapy Planning
Diagnosis Monitoring
Perempuan/ 19 tahun/ R 28 1.AFI hari ke-3 _ 1.1 malaria Tetes tebal, surface cooling Keluhan
1.2 leptospirosis
Anemnesis:
leukositosis + tetes tipis IVFD NS loading subjektif
anemia 1000 cc Tanda-
Pasien demam sejak 3 hari
dilanjutkan dengan tanda vital
lalu, demam muncul siang
dan malam tetapi tidak NS 20 tpm
muncul di pagi hari. Saat
tidak demam, pasien metamizole 3 x 1 g
menggigil dan berkeringat. iv prn demam
Pasien sudah minum obat
dan suhu tubuh turun sedikit ciprofloxacin 2 x 400
tetapi kemudian naik lagi. mg iv
Pemeriksaan fisik:
Tax 36,6
Lab (19.4.2017):
Hb 9,40
Leucocyte 16680
35
minum obat sebelum masuk
universitas 2 tahun lalu.
Tekanan darah biasanya
terukur sekitar 190
Pemeriksaan fisik:
TD 170/100 mmHg
Lab
Na 128
Pemeriksaan Fisik:
Konjungtiva anemis +
Pemeriksaan Penunjang:
36
DL 19-4-2017:
Hb 9,4 / MCV 57,6 /
MCH 16,6
37
Wh - -
--
--
Abd : BU (+)
Normal, Liver
span 8 cm,
Traubes
space timpani
Ext:
AH (+), ed = =
an = =
21/04/17 Lemas, GCS 456 KU: tampak Evaluasi 1. AFI hari Tetes - bed rest P.Mo:
demam TD : 120/70 sakit sedang Hapusan ke-4 + tebal, - diet rendah Subjek-
berkura mmHg K/L: Darah leukositosis + tetes garam tif, vital
(20.4.17)
ng N : 80x/min konjungtiva anemia tipis - IVFD NS 0,9% sign
Eritrosit:
RR : anemia +/+ hipokrom, 1.1 infection 20 tpm
18x/min sclera ikterik - anisopoikil 1.1.1 malaria - intravena:
Tax : 36,2 /- ositosis, vivax dd ciprofloxacin 2 x
C Tho: tear drop falciparum 400 mg IV
Cor: Ictus cell (+), 1.1.2 - intravena:
cordis eliptosit leptospirosis antrain 3 x 1 g
(+), target
invisible, 2. riwayat prn demam
cell (+),
palpable at double hipertensi - intravena
ICS V, MCL population 3. omeprazol 1 x 40
Sinistra (+) hiponatremia mg
S1 S2 normal Leukosit: 4. anemia - intravena
m(-) g(-) kesan hipokromik metoclopramid 3
Lung: jumlah normositer x 10 mg
normal
v v Rh - - 4.1 defisiensi -per oral
Trombosit:
vv -- kesan besi amlodipin 1 x 10
38
vv -- jumlah mg
Wh - - normal - per oral sulfas
-- Kimia ferosus 1x300 mg
Klinik
--
(20.4.17):
Abd : BU (+) Besi: 13
Normal, Liver g/dL
span 8 cm, TIBC: 227
Traubes g/dL
space timpani Saturasi
Ext: Transferin:
AH (+), ed = = 6%
an = =
22/04/17 Lemas, GCS 456 KU: tampak Tetes 1. AFI hari - - bed rest P.Mo:
demam TD : 120/70 sakit sedang tebal dan ke-5 + - diet rendah Subjek-
berkura mmHg K/L: tetes tipis: leukositosis garam tif, vital
ng N : 80x/min konjungtiva tidak + anemia - IVFD NS 0,9% sign
RR : anemia +/+ ditemukan 1.1 infection 20 tpm
18x/min sclera ikterik - gambaran 2. riwayat - intravena:
Tax : 36,2 /- Plasmodiu hipertensi ciprofloxacin 2 x
C Tho: m 3. 400 mg IV
Cor: Ictus hiponatremia - intravena:
cordis 4. anemia antrain 3 x 1 g
invisible, hipokromik prn demam
palpable at normositer - intravena
ICS V, MCL 4.1 defisiensi omeprazol 1 x 40
Sinistra besi mg
S1 S2 normal - intravena
m(-) g(-) metoclopramid 3
Lung: x 10 mg
v v Rh - - -per oral
39
vv -- amlodipin 1 x 10
vv -- mg
Wh - - - per oral sulfas
-- ferosus 1x300 mg
--
Abd : BU (+)
Normal, Liver
span 8 cm,
Traubes
space timpani
Ext:
AH (+), ed = =
an = =
40
BAB 4
PEMBAHASAN
3.1 Diagnosis
Gejala klinis anemia sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarga, yang ringan diagnosa ditegakkan hanya dari laboratorium.
Gejala yang umum adalah pucat. Pada anemia defisiensi besi dengan kadar 6-10
g/dl terjadi kompensasi kompensasi yang efektif sehingga gejalanya hanya ringan.
Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan besi
seperti: perubahan epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (spoon-shaped nail),
atrofi papila lidah, perubahan mukosa lambung dan usus halus, penurunan aktivitas
kerja, dan termogenesis yang abnormal ditandai dengan ketidakmampuan
mempertahankan suhu tubuh normal saat udara dingin. Daya tahan tubuh juga
menurun karena fungsi leukosit yang abnormal (Goddard et al, 2011).
Pasien pingsan 9 jam sebelum masuk rumah sakit dan dibawa ke IGD RSSA,
tetapi 15 menit kemudian pasien sadar. Pasien juga sempat pingsan 3 hari lalu.
Pasien juga mengeluh lemas, pusing, dan mual sejak 3 hari lalu. Sejak itu, nafsu
makan pasien menurun. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari lalu, demam
muncul ketika siang hari, memburuk pada malam hari, tetapi suhu tubuh pasien
normal pada pagi hari. Saat tidak demam, pasien menggigil dan berkeringat. Pasien
sudah minum obat dan suhu tubuh menurun sedikit, tetapi meningkat lagi tidak lama
kemudian. Sehari sebelum masuk rumah sakit, pasien muntah satu kali. Pasien
pernah masuk rumah sakit karena malaria tiga tahun lalu.
41
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis, tetapi tidak
didapatkan organomegali.
3.2 Tatalaksana
42
satu bulan kemudian, pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil yang normal,
maka pemberian preparat sulfas ferosus dilanjutkan hingga satu tahun kemudian,
dengan pemeriksaan darah lengkap setiap tiga bulan sekali, dan terapi dihentikan
jika pemeriksaan darah lengkap normal.
43
BAB 5
PENUTUP
44
tetes tipis tidak ditemukan adanya parasit, maka selanjutnya pasien ini didiagnosis
dengan anemia defisiensi besi dan diberikan terapi sulfas ferosus 1 x 200 mg.
45
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I. M., Suega, K., Dharmayuda, T. G., 2014. Anemia Defisiensi Besi. Dalam:
Sudoyo, A. W., penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6 Jilid II.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1127-1137.
Clark, Susan F. Iron Deficiency Anemia. Nutr Clin Pract 2008 23: 128. DOI:
10.1177/0884533608314536.
Goddard, AF., James, MW., McIntyre, AS., Scott, BB. 2011. Guidelines for the
management of iron deficiency anaemia. Gut 60:1309-1316.
Killip S, Bennett JM, dan Chambers MD. Iron Deficiency Anemia. Am Fam
Physician. 2007 Mar 1;75(5):671-678.
46
Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia Harper --- Ed
25 ---Jakarta : EGC.
Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek
Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara.
Diunduh dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-
muhammad%20riswan.pdf. [Diakses Februari 2010].
47