Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anemia Nutrisional

Anemia nutrisional didefinisikan sebagai kondisi dimana kadar hemoglobin

dibawah kadar normal setiap individu akibat kekurangan satu atau lebih nutrisi yang

diperlukan untuk hemopoiesis, dimana konsentrasi hemoglobin dapat dikoreksi dengan

meningkankan jumlah nutrisi yang di absorpsi.[2]

Berikut dapat dilihat pada gambar tabel 1 kadar hemoglobin yang dapat dikatakan

anemia menurut WHO (2001). Berdasarkan kadar hemoglobin juga, anemia

dikelompokan kedalam beberapa kelompok yaitu : bukan anemia, anemia ringan, anemia

sedang dan anemia berat.[3]


B. Epidemiologi Anemia Nutrisional

Menurut database global WHO (2008) didapatkan angka prevalensi tertinggi

anemia pada anak usia pre-sekolah yaitu 47,4% dan angka paling rendah ditemukan pada

orang dewasa melalui survey yang diadakan tahun 1993 sampai 2005. Dari hasil survey

yang dilakukan didapatkan juga angka prevalensi anemia 25,4% pada anak usia

sekolah.[1]

Anemia nutrisional merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling banyak

dijumpai di seluruh dunia, mempengaruhi sekitar 2 miliyar penduduk, terutama pada

negara berkembang dengan defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia

nutrisional. Beberapa studi menunjukan bahwa 50% dari semua anemia diakibatkan

defisiensi besi.[2]

Defisiensi besi dan anemia yang dihasilkan akibat defisiensi besi tersebut,

merupakan suatu masalah kesehatan penting yang mempengaruhi lebih dari 3,5 miliyar

orang di negara berkembang, mengurangi vitalitas pada kelompok usia muda dan tua,

serta mempengaruhi kerusakan perkembangn kognitif anak. Anemia pada umumnya

merukan defisiensi yang tersembunyi karena hanya terdapat beberapa gejala saja yang

terlihat.[3]

Prevalensi anemia defisiensi besi pada balita di Indonesia berdasarkan penelitian

yang pernah dilakukan didapatkan angka sekitar 25-35% sedangkan berdasarkan SKRT

tahun 1992 didapatkan angka prevalensi anemia defisiensi besi sebesar 55,5% pada balita

di Indonesia.[4]
C. Etiologi Anemia Nutrisional

Istitlah anemia nutrisional digunakan untuk mendefinisikan semua kondisi

patologis yang menyebabkan kadar hemoglobin dalam darah rendah dibawah nilai

normal, akibat kekurangan satu atau beberapa nutrisi. Nutrisi utama yang terlibat dalam

sintesis hemoglobin adalah zat besi, asam folat dan vitamin B12.[3]

Dalam dunia kesehatan masyarakat, defisiensi zat besi atau kekurangan zat besi

sejauh ini merupakan penyebab utama anemia nutrisional di seluruh dunia. Defisiensi

asam folat lebih jarang ditemukan kasusnya dan sering di observasi bersamaan dengan

defisiensi zat besi, sedangkan untuk kasus defisiensi vitamin B12 lebih jarang lagi

ditemukan.[2, 3]

Defisiensi zat besi merupakan penyebab yang paling sering dijumpai, namun

bukan merupakan satu – satunya penyebab anemia. Penyebab lain anemia yaitu infeksi

kronik, beberapa penyakit malaria, penyakit hemoglobinopati herediter dan defisiensi

asam folat.[3]

Gangguan kognitif, berkurangnya kapasitas fisik dan penurunan imunitas

biasanya berhubungan dengan anemia defisiensi besi. Pada kasus berat, kapasitas untuk

menjaga suhu tubu tetap normal juga berkurang. Selain itu, anemia berat merupakan

kasus yang mengancam nyawa. Pada tabel 1 dapat dilihat WHO telah membagi anemia

menjadi beberapa golongan kriteria berdasarkan kadar hemoglobin.[3]

D. Anemia Defisiensi Besi

1. Pengertian[4]
Istilah anemia defisiensi besi digunakan untuk menggambarkan anemia

yang disebabkan oleh defisiensi zat besi yang diperlukan untuk sintesis

hemoglobin.

2. Etiologi[3, 4, 5]

Penyebab anemia berdasarkan umur :

a) Bayi di bawah umur 1 tahun

Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir

kembar.

b) Anak berumur 1-2 tahun

 Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan

tambahan (hanya minum susu)

 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun

 Malabsorbsi

 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi

parasit dan divertikulum Meckeli.

c) Anak berumur 2-5 tahun

 Masukan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe-

heme

 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun.

 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi

parasit dan divertikulum Meckeli.

d) Anak berumur 5 tahun – masa remaja


Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit

dan poliposis.

e) Usia remaja – dewasa

Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

Faktor penyebab terjadinya anemia defisiensi besi sangat dipengaruhi oleh

kemampuan absorpsi, kurangnya asupan gizi yang mengandung besi, kebutuhan

besi yang meningkat dan jumlah besi yang hilang.

a) Peningkatan kebutuhan secara fisiologis

Pada anak usia 1 tahun, yang merupakan periode pertumbuhan cepat dan

masa remaja, kebutuhan zat besi akan meningkat sehingga angka insiden

anemia defisiensi besi tinggi. Berat badan bayi akan meningkat 3 kali dan

massa hemoglobin akan mencapai 2 kali lipat dalam sirkulasi pada bayi

umur 1 tahun disbanding saat lahir. Selain itu menstruasi dapat pula

menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi akibat kehilangan darah

lewat menstruasi.

b) Kurangnya besi yang diabsorpsi

Kurangnya besi yang diabsorbsi dapat diakibatkan masukan besi dari

makanan yang tidak adekuat atau malabsorbsi besi. Pada tahun pertama

kehidupannya, seorang bayi membutuhkan makanan yang mengandung besi.

Bayi cukup bulan dapat menyerap sekitar 200 mg besi selama 1 tahun

pertama yang akan digunakan untuk pertumbuhannya. Angka kejadian

anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan pada bayi yang

mengkonsumsi susu formula dibandingkan yang mendapat ASI eksklusif.


Keadaan yang menyebabkan malabsorpsi besi banyak dijumpai pada anak

gizi kurang dengan mukosa ususnya yang sudah mengalami perubahan

akibat berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui

bagian atas usus halus dimana tempat penyerapan utama besi heme dan non

heme terjadi.

c) Perdarahan

Kehilangan darah akibat perdarahan akan mempengaruhi status besi dalam

tubuh karena kehilangan 1 ml darah akan mengakibatkan tubuh kehilangan

besi sebanyak 0,5 mg. Kehilangan darah 3 – 4 ml/hari dapat menyebabkan

anemia.

d) Iatrogenic Blood Loss

Pengambilan darah vena untuk pemeriksaan laboratorium yang terlalu

banyak atau sering memiliki risiko menderita anemia defisiensi besi

3. Patofisiologi[3,4]

Keseimbangan negative besi yang berlangsung lama dan menetap akan

menyebabkan cadangan besi terus berkurang sehingga terjadi anemia defisiensi

besi.

a) Tahap Pertama

Tahap ini disebut ion depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan

berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin

dan fungsi protein besi lainnya masih normal namun pada keadaan ini

terjadi peningkatan absorbs besi non-heme. Feritin serum menurun


sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi

masih normal.

b) Tahap Kedua

Tahap kedua dikenal istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited

erythrophoiesis. Pada tahap kedua ini didapatkan suplai besi yang tidak

cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

didapatkan nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun

sedangkan nilai TIBC (total ion binding capacity) dan FEP (free erythrocyte

porphyrin) meningkat

c) Tahap Ketiga

Tahap ketiga disebut sebagai iron deficiency anemia. Tahap ini terjadi

apabila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga

menyebabkan penurunan kadar hemoglobin. Gambaran darah tepi yang

didapatkan pada tahap ini adalah mikrositosis dan hipokromik yang

progresif.

4. Gejala Klinis[1,4, 5]

Gejala klinis pada anemia defisiensi besi sering tidak disadari oleh penderita

karena terjadi secara perlahan dan sifatnya tidak spesifik. Diagnosis biasanya

ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu penurunan kadar

feritin atau saturasi transferin serum dan kadar besi serum.

Gejala umum yang sering terjadi adalah pucat. Gejala lain yang dapat timbul

akibat kekurangan besi adalah penurunan aktivitas kerja dan penurunan daya

tahan tubuh terhadap infeksi. Kekurangan zat besi di dalam otot jantung
menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Anak yang

menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat

menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang

penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi

Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang

kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-

shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.

Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan

dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat,

lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah.

Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus

ADB.

3. Pemeriksaan Laboratorium[1, 4, 6]

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menegakan diagnosis

anemia defisiensi besi meliputi:

 Pemeriksaan darah rutin seperti kadar Hb, PCV, leukosit, trombosit

 Pemeriksaan indeks eritrosit

 Morfologi darah tepi

 Pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, FEP, feritin)

 Pemeriksaan apus sumsum tulang.

Pemeriksaan pertama yang penting dilakukan untuk menentukan adanya

anemia dan memutuskan apakah pemeriksaan lanjut diperlukan atau tidak adalah

pemeriksaan kadar Hb dan atau PCV. Pada anemia defisiensi besi, didapatkan
nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan

kadar hemoglobin. Gambaran morfologi darah tepi yang didapatkan keadaan

hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel

pensil, sel target, ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).

Pada anemia defisiensi besi dapat disertai trombositosis atau

trombositopenia. Trombositosis dapat terjadi pada pasien anemia dengan

perdarahan, sedangkan trombositopenia dihubungkan dengan anemia berat.

Pada pemeriksaan status besi diperoleh kadar Fe serum menurun sedangkan TIBC

meningkat. Pemeriksaan Fe serum dilakukan untuk menentukan jumlah besi yang

terikat pada transferin, sedangkan pemeriksaan TIBC dilakukan untuk mengetahui

jumah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. Saturasi transferin dapat

membantu untuk mengetahui gambaran suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan

merupakan penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan

cadangan besi dalam tubuh.

Saturasi transferin merupakan perbandingan antara Fe serum dan TIBC yang

dapat diperoleh dengan cara membagi nilai Fe serum yang didapat dengan TIBC

yang diperoleh kemudian dikalikan 100%. Jika didapatkan saturasi transferin <

16% maka hal ini menunjukan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung

eritropoisis. Diagnosis anemia defisiensi besi dapat ditegakan apabila kadar

saturasi transferin < 7%, sedangkan kadar 7 – 16% dapat dipakai untuk diagnosis

anemia defisiensi besi apabila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau

pemeriksaan lainnya.
Pemeriksaan kadar FEP (Free Erythrocyte Protoporphyrin) untuk

mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsung tulang. Pada anemia

defisiensi besi didapatkan nilai FEP > 100% ug/dL eritrosit. Meningkatnya nilai

FEP disertai kadar saturasi transferin merupakan tanda anemia defisiensi besi

yang progresif. Pemeriksaan feritin serum dapat memberitahu jumlah cadangan

besi dalam tubuh. Dikatakan terjadi penurunan jumlah cadangan besi apabila

kadar feritin < 10 – 12 ug/L. Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat

ditemukan gambaran khas yaitu hyperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya

hemosiderin.

6. Diagnosis[1, 4]

Ada beberapa kriteria diagnosis yang digunakan untuk menegakan diagnosis

anemia defisiensi besit, yaitu kriteria diagnosis menurut WHO dan menurut Cook

dan Monsen.

a) Kriteria Diagnosis Anemia Defisiensi Besi Menurut WHO

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

2. Konsentrasi Hb eritrosit rata – rata < 31% (N: 32-35%)

3. Kadar Fe serum < 50 ug/dL (N: 80-180 ug/dL)

4. Saturasi Transferin < 15 % (N: 20-50%)

b) Kriteria Diagnosis Anemia Defisiensi Besi Menurut Cook dan Monsen

1. Anemia hipokrom mikrositik

2. Saturasi Transferin < 16%

3. Nilai FEP > 100 ug/dL eritrosit

4. Kadar feritin serum < 12 ug/dL


Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (saturasi transferin,

feritin serum dan FEP) harus dipenuhi.

Lanzkowsky menyimpulkan bahwa anemia defisiensi besi dapat diketahui

melalui:

1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi

dengan kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun

RDW (Red cell Distribution Width) > 17%

2. FEP meningkat

3. Feritin serum menurun

4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, Saturasi Transferin < 16%

5. Respon terhadap pemberian preparat besi

 Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian

besi

 Kadar hemoglobin meningkat rata –rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV

meningkat 1% per hari

6. Sumsum tulang

 Tertundanya maturasi sitoplasma

 Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi

berkurang

Cara lain untuk menentukan diagnosis anemia defisiensi besi adalah dengan

trial pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui ada atau

tidak anemia defisiensi besi subklinis dengan cara melihat respon hemoglobin
terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini dianggap sangat mudah, praktis,

sensitif dan lebih ekonomis terutama pada anak yang memiliki risiko tinggi

menderita anemia defisiensi besi. Apabila melalui pemberian preparat besi dengan

dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terdapat peningkatan kadar hemoglobin

1-2 g/dL maka dapat ditegakan diagnosis anemia defisiensi besi.

7. Penatalaksanaan[3, 4]

Sampai usia 6 bulan, bayi dengan berat badan normal, cukup bulan dan yang

lahir dari ibu yang sehat serta yang mendapat ASI eksklusif mempunyai cukup

banyak besi ng didapatkan dari cadangan besi tubuh dan ASI. Cadangan besi pada

anak akan berkurang dan akan semakin menipis setelah usia anak diatas 6 bulan.

Tambahan zat besi diperlukan karena kandungan zat besi yang ada didalam ASI

sudah tidak cukup untuk memenuhi tingginya kebutuhan zat besi pada masa

pertumbuhan anak usia 6 – 24 bulan.

Bayi dan anak yang tidak mendapatkan asupan besi yang adekuat akan

mengalami kegagalan fungsi kognitif yang akan mempengaruhi kemampuan anak

untuk belajar dan kemampuan untuk menerapkan apa yang sudah dipelajari.

Suplemen zat besi yang diberikan setelah usia 2 tahun tidak dapat memperbaiki

kegagalan fungsi kogfinitif yang sudah terjadi.

Bayi dengan berat badan lahir rendah, bayi premature dan bayi yang lahir

dari ibu yang memiliki riwayat anemia memerlukan tambahan zat gizi sejak usia 2

bulan untuk meningkatkan cadangan zat besi serta untuk memenuhi kebutuhan

besi yang meningkat pada masa pertumbuhan. Bayi yang tidak mendapat ASI

eksklusif dapat juga diberikan tambahan zat besi untuk mengkompensasi zat besi
yang tidak didapatkan melalui ASI. Anak dengan malnutrisi berat dan anemia

memerlukan perhatian khusus.

Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi selain memberikan preparat besi

sebagai terapi pengganti adalah mengetahui faktor yang menyebabkan anemia dan

mengatasinya. Pemberian preparat besi dapat dilakukan baik secara peroral

maupun parenteral. Preparat besi oral yang tersedia berupa ferous glukonat,

fumarat dan suksinant namun pada umumnya preparat ferous sulfat adalah

preparat yang paling sering digunakan karena harganya lebih murah. Respon

pengobatan didapatkan pada dosis 4 – 6 mg besi elemental/kgBB/hari yang

dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada di dalam garam ferous.

Garam ferous sulfat sendiri mengandung 20% besi elemental.

Dosis obat yang terlalu besar tidak memberikan efek penyembuhan yang

lebih cepat, sebaliknya akan menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan.

Absorpsi besi yang terbaik sebenarnya adalah saat lambung dalam keadaan

kosong diantara dua waktu makan. Namun hal ini akan menimbulkan efek

samping pada saluran cerna, sehingga untuk mengatasi hal tersebut, pemberian

preparat besi dapat diberikan saat makan atau segera setelah makan meskipun

akan menurunkan absorbsi obat sekitar 40% – 50%. Preparat besi oral terbagi

menjadi 2 – 3 dosis sehari dan harus terus diberikan selama 2 bulan setelah

anemia teratasi

Penatalaksanaan anemia defisiensi besi (secara parenteral) selain pemberian

preparat besi dapat berupa transfusi darah meskipun jarang diperlukan. Transfusi

darah hanya diberikan pada keadaan anemia berat. Transfusi tidak perlu dilakukan
secepatnya karena apabila diberikan terlalu cepat dapat menyebabkan

hipervolemia dan dilatasi jantung. Tranfsusi yang diberikan adalah PRC (Packed

Red Cells) dan dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk

menaikan kadar hemoglobin sampai tingkat aman sembari menunggu respon

tubuh terhadap pemberian preparat besi. Pada umumnya, pada penderita anemia

berat dengan kadar hemoglobin < 4 g/dL hanya diberikan PRC sebanyak 2-3

ml/kgBB per satu kali pemberian disertai pemberian diuretik seperti furosemid.

Pada anak dengan gagal jantung yang nyata pemberian transfuse tukar

menggunakan PRC yang segar dapat dipertimbangkan.

Pada umumnya upaya pencegahan kekurangan zat besi untuk mencegah

terjadinya anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan cara meningkatkan

konsumsi besi yang berasal dari sumber alami misalnya hewani yang mudah

diserap, banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin A dan

vitamin C serta dapat pula mengkonsumsi suplementasi besi.

E. Anemia Megaloblastik

1. Pengertian[7, 8]

Anemia megaloblastik merupakan anemia dengan gambaran makrositik

yang ditandai dengan peningkatan ukuran sel darah merah. Peningkatan sel darah

merah dapat disebabkan oleh abnormalitas hematopoisis dengan karakteristik

dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel myeloid serta eritroid akibat gangguan

sintesis DNA.

Pada akhir abad ke – 19 ditemukan bahwa terdapat tipe anemia yang

berhubungan dengan ukuran sel darah merah yang melebihi ukuran normalnya
sehingga anemia tipe ini disebut anemia makrositik. Pada anemia tipe makrositik

dapat dilihat prekusor sel darah merah yang abnormal pada aspirasi sumsum

tulang. Sel megaloblast ini dikatakan berbeda dari prekusor sel darah merah

normoblast lainnya akibat ukurannya yang lebih besar dan nukleus yang tidak

terdiferensiasi secara sempurna. Pada penelitian terbaru, akhirnya terlihat jelas

bahwa anemia megaloblastik ini disebabkan oleh defisiensi asam folat atau

vitamin B12.

Pada umumnya sel – sel yang diserang adalah sel – sel yang relative

mempunyai pergantian yang cepat seperti prekusor hematopoitik dalam sumsum

tulang dan epitel mukosa saluran cerna. Peningkatan ukuran sel darah merah

terjadi akibat pembelahan sel yang berjalan lamban namun perkembangan

sitoplasma berjalan normal. Pertumbuhan inti dan sitoplasma yang tidak sejajar

merupakan salah satu tanda kelainan morfologi utama yang dapat ditemukan pada

sumsum tulang.

2. Etiologi[7]

Sekitar 95% kasus anemia megaloblastik pada anak disebabkan oleh

defisiensi asam folat dan vitamin B12, meskipun anemia megaloblastik dapat juga

disebabkan gangguan metabolisme, namun hal ini sangat jarang. Asam folat dan

vitamin B12 merupakan kofaktor yang dibutuhkan dalam sinstesis nucleoprotein

sehingga kekurangan asam folat dan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan

sintesis yang selanjutnya akan mempengaruhi RNA dan protein.


a) Defisiensi Asam Folat

Asam folat banyak terkandung dalam berbagai jenis makanan, seperti

sayuran hijau, buah maupun jeroan. Asam folat diabsorbsi di usus kecil dan

terdapat dalam sirkulasi enterohepatik. Fungsi utama asam folat adalah

untuk memberikan unit 1 karbon seperti gugus metil dan formil ke berbagai

senyawa organic dan dikarenakan tubuh kita tidak memproduksi asam folat

sehingga asupan asam folat harus didapatkan dari diet.

Folat yang berada dalam bentuk alamiah atau poliglutamat kurang

diabsorbsi secara efisien dibandingkan bila berada dalam bentuk

monoglutamat (asam folat). Aktivitas konjugasi folat pada brush border usus

akan membantu konversi poliglutamat menjadi monoglutamat sehingga

dapat meningkatkan absorbsi. Tubuh kita memiliki cadangan folat yang

terbatas sehingga pada umumnya anemia megaloblastik dapat terjadi setelah

2 – 3 bulan diet bebas folat.

Kekurangan asam folat dapat disebabkan asupan yang kurang baik hal

itu diakibatkan kemiskinan atau kurang pengetahuan atau cara memasak,

gangguan absorbsi, kebutuhan yang meningkat seperti pada keadaan

keganasan, hipermetabolisme atau pada penyakit sirosis hepatis, serta

gangguan metabolisme asam folat dan peningkatan ekskresi.

b) Defisiensi Vitamin B12

Vitamin B12 didapatkan dari kobalamin yang terdapat pada makanan,

dengan sumber utama yang dari hewani. Sama halnya dengan asam folat,
vitamin B12 tidak mampu mensintesis vitamin B12 sehingga dibutuhkan

asupan melalui diet. Vitamin B12 dilepaskan ke lambung dalam suasana

asam dan bergabung dengan protein R serta faktor intrinsik (FI) melewati

duodenum. Setelah melewati duodenum, protease pankreas akan memecah

protein R yang kemudian akan diabsorbsi di ileum distal melalui reseptor

spesifik untuk faktor intrinsik kobalamin.

Asupan vitamin B12 yang dianjurkanoleh WHO-FAO tahun 1989

yaitu bayi 0,1 ug/hari dan dewasa 1,0 ug/hari. Di dalam plasma, vitamin

B12 atau kobalamin akan berikatan dengan transkobalamin II (TC-II) yang

merupakan protein transport yang akan membawa vitamin B12 ke hati,

sumsum tulang dan jaringan tempat penyimpanan lainnya.

Berbeda dengan persedian asam folat yang terbatas, pada anak besar

dan remaja memiliki persediaan vitamin B12 untuk 3 – 5 tahun. Akan tetapi,

pada bayi yang lahir dari ibu dengan persediaan vitamin B12 yang rendah,

manifestasi klinis defisiensi vitamin B12 dapat timbul pada usia 4 – 5 bulan

pertama kehidupan.

Kekurangan vitamin B12 dapat disebabkan oleh asupan yang kurang

seperti diet yang kurang mengandung vitamin B12 atau defisiensi pada ibu

yang menyebabkan defisiensi vitamin B12 pada ASI, gangguan absorbsi

akibati kegagalan faktor intrinsik atau kegagalan absorbsi pada usus kecil,

serta gangguan transport dan metabolisme vitamin B12


3. Patofisiologi[7, 8]

Sintesis DNA normal memerlukan pasokan metiltetrahidrofolat dan vitamin

B12 yang adekuat. Fungsi metiltetrahidrofolat adalah memberikan gugus metil

kepada vitamin B12 sehingga membantu metabolisme metionin. Selanjutnya

tetrahidrofolat (FH4) akan membangkitkan sintesis purin dan pirimidin serta

produksi timidilat yang akan digunakan untuk sintesis DNA.

Absorbsi vitamin B12 di ileum memerlukan faktor intrinsik (FI) yaitu

glikoprotein yang disekresi lambung dimana FI akan mengikat 2 molekul

kobalamin. Jika terdapat defisiensi vitamin B12 atau kobalamin maka dapat

menyebabkan defisiensi metionin intraselular yang kemudian akan menghambat

pembentukan folat tereduksi dalam sel. Kekurangan folat intrasel akan

menurunkan prekusor timidilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA.

Sebelum diabsorbsi, asam folat (pteroylglutamic acid) harus diubah menjadi

bentuk monoglutamat terlebih dahulu. Bentuk folat yang tereduksi yaitu

tetrahidrofolat (FH4) merupakan koenzim aktif. Defisiensi folat akan

menyebabkan penurunan FH4 intrasel yang selanjutnya akan mengganggu sintesis

timidilat dan mengganggu sintesis DNA.

4. Gejala Klinis[7, 8]

Gejala klinis yang paling sering ditemukan adalah berupa pucat, mudah

lelah dan anoreksia. Gejala klinis pada umumnya timbul perlahan – lahan. Gejala

yang ditemukan pada bayi dapat berupa iritabel, gagal mencapai berat badan yang
cukup dan diare kronis, sedangakan gejala yang dapat ditemukan pada anak yang

lebih besar lebih mengarah kepada jenis defisiensi yang menyebabkan anemia.

Defisiensi asam folat sering ditemukan pada kasus kwashiolor, marasmus

atau sprue. Pada anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12 selain gejala

yang tidak spesifik seperti lemah, lelah, gagal tumbuh atau iritabel juga

ditemukan gejala pucat, glositis, muntah, diare dan ikterus, terkadang dapat pula

dijumpai gejala neurologis seperti hipotonia, kejang dan parestesia.

5. Diagnosis[7, 8]

Diagnosis anemia megaloblastik, baik akibat defisiensi asam folat atau

defisiensi vitamin B12 dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

serta hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.

a) Anamnesis

Pada anamnesis yang dilakukan kepada pasien atau keluarga pasien perlu

dicari informasi seperti gejala anemia yang dirasakan, faktor etiologi atau

faktor predisposisi seperti diare, riwayat pemakaian obat – obatan tertentu

seperti antibiotik, antikonvulsan serta perlu ditanyakan apakah terdapat

gejala gangguan saluran pencernaan sepeto malabsorpsi dan diare.

b) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pada anemia megaloblastik dapat ditemukan tanda –

tanda anemia seperti konjungtiva anemis, kemudian juga dapat ditemukan


ikterus ringan, lemon yellow skin, glositis, stomatitis, purpura dan

neuropati.

c) Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan kadar MCV untuk anemia megaloblastik akibat defisiensi

asam folat maupun defisiensi vitamin B12 didapatkan gambaran berupa

anemia makrositik yaitu ditemukan kadar MCV > 100 fL. Gambaran

hematologis anemia megaloblasik karena defisiensi folat ditemukan identik

dengan anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12.

 Pemeriksaan Pada Anemia Megaloblastik Akibat Defisiensi Asam Folat

Pada anemia megaloblastik akibat defisiensi asam folat dapat ditemukan

anisositosis dan poikilositosis, retikulositopenia dan sel darah merah berinti

dengan morfologi megaloblastik. Kadar besi dan vitamin B12 serum

didapatkan normal atau meningkat, kadar LED juga dapat dilihat meningkat

jelas. Sumsum tulang ditemukan hiperselular karena terdapat hiperplasia

eritroid. Pada defisiensi kronis dapat disertai trombositopenia dan

neutropenia, neutrofil besar – besar dengan nukleus hipergementasi serta

kadar asam folat serum menurun.

 Pemeriksaan Pada Anemia Megaloblastik Akibat Defisiensi Vitamin

B12

Pada anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12 didapatkan kadar

vitamin B12 < 100 pg/ml dengan kadar besi dan asam folat serum dapat
normal atau meningkat. Kadar LDH didapatkan meningkat, hal ini

menandakan adanya eritropoisis yang tidak efektif. Selain itu pada

pemeriksaan kadar bilirubin dapat ditemukan peningkatan 2 -3 mg/dL. Pada

pemeriksaan tes Schilling dengan cara radiolabeleled B12 absorption test

akan menunjukkan absorbsi kobalamin yang rendah akan menjadi normal

setelah pemberian faktor intrinsik lambung.

6. Penatalaksanaan[7]

a) Tatalaksana Anemia Defisiensi Asam Folat

Keberhasilan pengobatan anemia defisiensi asam folat bergantung pada

koreksi terhadap defisiensi asam folatnya, menghilangkan etiologi yang

mendasarinya serta meningkatkan asupan akan asam folat. Terapi awal

dimulai dengan pemberian asam folat dosis 0,5 – 1 mg/hari yang dapat

diberikan baik secara peroral maupun parenteral. Respon klinis dapat

terlihat dari perbaikan nafsu makan dan keadaan umum tampak membaik.

Pada keadaan diagnosis yang belum pasti atau masih meragukan dapat

dilakukan tes diagnostic dengan pemberian preparat asam folat dosis 0,1

mg/ hari selama 1 minggu. Pemberian dosis lebih dari 0,1 mg dapat

memperbaiki anemia defisiensi vitamin B12 namun dapat pula

memperburuk kelainan neurologis yang menyertainya.

b) Tatalaksana Anemia Defisiensi Vitamin B12

Pemberian vitamin B12 1 mg diberikan secara parenteral dan pada

umumnya memberikan respon yang baik. Pemberian peroral mungkin dapat

berhasil pada dosis tinggi namun tidak dianjurkan karena ketidakpastian


absorbsinya. Pada diagnosis yang masih meragukan, pemberian vitamin B12

dosis rendah dapat dilakukan sebagai tes terapeutik, namun hal ini masih

diragukan. Setelah pemberian vitamin B12 harus dilakukan pemantauan

selama 2 minggu jika terdapat perbaikan pemberian vitamin B12 dilanjutkan

seumur hidup dengan cara pemberian injeksi 1 mg vitamin B12 setiap bulan.

Anda mungkin juga menyukai