Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang
diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia in merupakan bentuk anemia yang paling sering
ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya
merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di negara yang
sedang berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein
hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di
Indonesia anemia defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping
kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium.
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam penyimpanan dan
pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam
metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme yang dalam
bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian, kekurangan besi mempunyai dampak yang
merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh,
menurunkan konsentrasi belajar dan mengurangi aktivitas keria
Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi pada bayi dan anak.
Hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinya, sehingga koreksi terhadap
penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan.
Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak diperlukan 0,8-1,5 mg
Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan. Banyaknya Fe yang diabsorpsi dari makanan
sekira 10% setiap hari, sehingga untuk nutrisi yang optimal diperlukan diet yang mengandung Fe
sebanyak 8-10 mg Fe perhari.
Fe yang berasal dari susu ibu diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal dari susu sapi
sehingga bayi yang mendapat ASI lebih sedikit membutuhkan Fe dari makanan lain. Sedikitnya
macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun pertama kehidupan menyebabkan
sulitnya memenuhi jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet bayi harus mengandung
makanan yang diperkaya dengan Fe sejak usia 6 bulan.
Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf yaitu diperlukan
dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis dan metabolisme saraf. Kekurangan
zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Besi
juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan
kemampuan bekerja terutama pada remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan
maka akan meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi.

Sumber : Permono BH, Sutaryo, Ugrasena I. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2006. (1)

Fitriany J, Saputri AI. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous Vol 4 No. 2. 2018. (2)

DEFINISI
Anemia didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin lebih dari 2 standar deviasi di bawah nilai
referensi rata-rata untuk populasi sehat usia dan jenis kelamin yang cocok. Ambang batas
hemoglobin WHO yang digunakan untuk mendefinisikan anemia pada kelompok umur yang
berbeda adalah

(3) DeBenoist B, McLean E, Egli I, et al. Worldwide Prevalence of Anemia 1993-2005: WHO
Global Database on Anemia. Geneva: World Health Organization.2008.

anak 6 bulan sampai 5 tahun: 11 g/dl;

anak 5–12 tahun: 11,5 g/dl;

anak 12–15 tahun: 12 g/dl;

wanita tidak hamil: 12 g/dl;

ibu hamil: 11 g/dl; Dan

pria ≥15 tahun: 13 g/dl.

Kekurangan zat besi adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan zat besi yang cukup untuk
mempertahankan fungsi fisiologis normal. Ini didefinisikan sebagai penurunan besi tubuh total
atau, dalam beberapa kasus, dengan kadar feritin serum <12 mg/l pada anak-anak sampai 5 tahun
dan <15 mg/l pada anak-anak 5 tahun dan lebih tua. Meskipun kadar feritin serum berguna dalam
menentukan defisiensi besi, definisi ini dapat dipertimbangkan hanya jika kondisi lain yang
dapat memengaruhi kadar feritin (yaitu peradangan atau penyakit hati) tidak ada. Untuk anak-
anak kurang dari 5 tahun dengan infeksi bersamaan, konsentrasi feritin serum <30 mg/l
mencerminkan cadangan besi yang berkurang (

(4) World Health Organization. Serum ferritin concentrations for the assessment of iron status
and iron deficiency in populations. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva:
World Health Organization. 2011.

(5) Roganović J, Starinac K. Iron Deficiency Anemia in Children [Internet]. Current Topics in
Anemia. InTech; 2018. Available from: http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.69774

Anemia Defisiensi Besi adalah anemia yang disebabkan kurangnya ketersediaan zat besi di
dalam tubuh sehingga menyebabkan zat besi yang diperlukan untuk eritropoesis tidak cukup. Hal
ini ditandai dengan gambaran eritrosit yang hipokrom-mikrositer, penurunan kadar besi serum,
transferrin dan cadangan besi, di sertai peningkatan kapasitas ikat besi /total iron binding
capacity (TIBC)

(6) Laposata M. Disease of Red blood Cell. dalam The Diagnosis of Disease in The clinical
laboratory. Mc Groww Hill Medical. hlm. 218-9)

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak
praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak
perempuan 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia
1 – 2 tahun diketahui kekurangan besi, 3 % menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di
Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki
sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. Berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan di indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun
1992 prevalensi ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%. Hasil survai rumah tangga
tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah menderita ADB.

(Fitriany J, Saputri AI. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous Vol 4 No. 2. 2018.)

ETIOLOGI

Etiologi Anemia defisiensi besi secara umum dibagi 4:

(7) Kurniati I. Anemia Defisiensi Besi (Fe). JK Unila Vol 4 No 1. 2020.)

a. Diet atau Asupan Zat Besi yang kurang

Setiap hari zat besi dari tubuh yang diekskresikan melalui kulit dan epitel usus sekitar 1 mg maka
diimbangi asupan zat besi melalui diet sekitar 1 mg untuk menjaga keseimbangan asupan dan
ekskresi yang berguna untuk kebutuhan produksi eritrosit. Asupan besi yang rendah pada diet
yang tidak adekuat dapat menyebabkan cadangan besi berkurang, sehingga proses eritropoesis
akan berkurang.

b. Kebutuhan yang meningkat

Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak,
remaja, kehamilan dan menyusui. Pada anak-anak terutama yang mendapat susu formula
kebutuhan zat besi meningkat karena sedikit mengandung besi.

c. Gangguan penyerapan

Diet yang kaya zat besi tidak menjamin ketersediaan zat besi di dalam tubuh karena banyaknya
zat besi yang dapat diserap sangat tergantung dari kondisi atau makanan yang dapat menghambat
maupun yang mempercepat penyerapan besi. Penyerapan besi sangat tergantung dengan adanya
asam lambung yang membantu mengubah ion ferri menjadi ion ferro. Gangguan penyerapan besi
dapat dijumpai pada pasien dengan sindrom malabsorbsi seperti gastrectomy, gastric bypass,
celiac disease.

d. Kehilangan darah kronis


Pada perempuan kehilangan zat besi sering karena menstruasi yang banyak dan lama atau
kondisi seperti tumor fibroid maupun malignan uterin. Selain itu, pendarahan melalui saluran
cerna bisa disebabkan ulkus, gastritis karena alkohol atau aspirin, tumor, parasit dan hemoroid

Berdasarkan sumber lainnya, kekurangan besi dapat disebabkan oleh :

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis

a. Pertumbuhan

Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja kebutuhan
besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1
tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali
lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun
berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali
dibanding saat lahir.

b. Menstruasi

Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan darah lewat
3
menstruasi.

2. Kurangnya besi yang diserap

a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat

Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang banyak
mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun
pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat
ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi
yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu
formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya
1
10% besi yang dapat diabsorpsi.

Pada
bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI lebih berisiko tinggi terkena
3
anemia defisiensi besi.

b. Malabsorpsi besi

Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami perubahan secara
histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering
disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus,
tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan

Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya ADB. Kehilangan
darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat
mengakibatkan keseimbangan negatif besi.

Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus peptikum,
karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non
steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang
usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.

4. Transfusi feto-maternal

Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada akhir masa
fetus dan pada awal masa neonatus.

5. Hemoglobinuria

Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan. Pada Paroxismal
Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari.

6. Iatrogenic blood loss

Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko untuk
menderita ADB

7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis

Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan
berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan
kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.

8. Latihan yang berlebihan

Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja perempuan dan
17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak
tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada
50% pelari.

FAKTOR RISIKO

5.1. Faktor risiko perinatal

Selama periode intrauterin, satu-satunya sumber zat besi adalah zat besi yang melewati plasenta.
Sebagian besar bayi sehat memiliki simpanan besi sekitar 80 mg/kg, dan 2/3 dari total besi
terikat dalam molekul hemoglobin. Konsentrasi hemoglobin normal adalah 15–17 g/dl. Bayi
yang sehat memiliki zat besi tubuh yang cukup untuk 5-6 bulan pertama kehidupan [22, 23]. Ada
beberapa kondisi yang dapat mengurangi simpanan zat besi saat lahir atau dapat bertindak
melalui mekanisme lain, sehingga meningkatkan risiko pengembangan ADB selama bulan-bulan
pertama kehidupan. Kondisi ini adalah defisiensi besi ibu, prematuritas, pemberian
erythropoietin untuk anemia prematuritas, perdarahan janin-ibu, sindrom transfusi kembar-
kembar, kejadian hemoragik perinatal lainnya, dan asupan zat besi yang tidak mencukupi selama
awal masa bayi. Penjepitan tali pusat yang tertunda (sekitar 120-180 detik setelah melahirkan)
dapat meningkatkan jumlah zat besi dan secara signifikan mengurangi risiko ADB [24].

(8) Lönnerdal B, Georgieff MK, Hernell O. Developmental physiology of iron


absorption, homeostasis and metabolism in the healthy term infant. The Journal of
Pediatrics. 2015

(9) Özdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Turk
Pediatri Arsivi. 2015

(10) Rheenen P. Less iron deficiency anaemia after delayed cord-clamping. Paediatrics
and International Child Health. 2013.

Kekurangan zat besi selama kehamilan meningkatkan risiko kekurangan zat besi pada masa bayi.
Sebuah studi dari Kumar et al. menunjukkan bahwa zat besi dalam sampel darah tali pusat
berkorelasi dengan kadar hemoglobin dan feritin ibu [25]. Kandungan zat besi dalam ASI
berkurang pada ibu dengan anemia berat, namun normal pada ibu dengan anemia ringan atau
sedang. Direkomendasikan untuk menerapkan suplementasi zat besi selama kehamilan pada
populasi dengan prevalensi ADB ibu yang tinggi. Penting juga untuk menyediakan berbagai
jenis makanan yang diperkaya zat besi untuk wanita hamil yang berisiko mengalami IDA [26].

Prematuritas merupakan salah satu faktor risiko ADB karena bayi prematur memiliki total
volume darah yang lebih kecil saat lahir dibandingkan bayi cukup bulan yang sehat, penurunan
konsentrasi feritin, penyerapan gastrointestinal yang buruk, dan peningkatan kehilangan darah
melalui proses mengeluarkan darah [27]. Zat besi sebagian besar terakumulasi selama trimester
ketiga kehamilan yang lebih pendek pada bayi prematur. Ada juga peningkatan risiko
kekurangan zat besi setelah penggunaan erythropoietin untuk pencegahan dan pengobatan
anemia prematur [23].

Perdarahan janin-ibu kronis dan twin-twin transfusion syndrome (TTTS) dapat mengurangi
simpanan zat besi dan menyebabkan anemia pada bayi cukup bulan atau prematur. Sejumlah
kecil darah janin (<0,1 ml) umumnya ditemukan dalam sirkulasi ibu. Penyebab peningkatan
kehilangan darah janin ke dalam sirkulasi ibu terlihat sebagai akibat trauma, solusio plasenta,
atau mungkin spontan dan idiopatik. Manifestasi perdarahan janin-ibu tergantung pada jumlah
dan kecepatan kehilangan darah [28]. TTTS adalah komplikasi yang jarang terjadi pada kembar
monokorionik (atau kehamilan multipel yang lebih tinggi). Ini adalah hasil dari transfusi darah
dari satu kembar (donor) ke kembar lainnya (penerima) melalui anastomosis vaskular plasenta.
Kembar donor lebih kecil dan sering anemia, dan kembar resipien sering pletorik dengan
perbedaan hemoglobin lebih besar dari 5 g/dl. Stadium lanjut TTTS memiliki angka kematian
60-100%, dan janin yang bertahan hidup berisiko mengalami gangguan jantung, neurologis, dan
perkembangan yang parah [29].

Faktor diet

Pemberian makan dan semua aspek diet sangat penting pada masa bayi dan kanak-kanak awal
karena dapat sangat memengaruhi perkembangan ADB. Ada banyak faktor makanan yang dapat
mempengaruhi metabolisme besi. Faktor yang paling umum adalah asupan zat besi yang buruk,
penurunan penyerapan zat besi, konsumsi susu sapi yang tidak dimodifikasi sebelum usia 12
bulan, dan kehilangan darah usus karena kolitis yang diinduksi protein susu sapi [30].

Asupan zat besi yang buruk pada masa bayi biasanya terjadi ketika bayi diberi susu formula bayi
atau makanan transisi yang tidak diperkaya dengan zat besi. Dalam studi dari Chili, prevalensi
ADB lebih tinggi pada bayi yang diberi susu formula tanpa zat besi (20%), jauh lebih rendah
pada bayi yang diberi susu formula yang diperkaya zat besi (0,6%), dan sedang pada bayi yang
diberi ASI (15 %) [31]. Dalam studi lain, peningkatan prevalensi ADB pada masa bayi diamati
pada bayi yang diberi susu sapi nonformula > 600 ml atau lebih setiap hari atau > 6 kali
menyusui per hari [32]. Jumlah zat besi dalam ASI tertinggi selama bulan pertama kehidupan,
namun secara bertahap menurun pada periode berikutnya. Jumlah ini bervariasi di antara
individu. Pola makan ibu tidak mempengaruhi jumlah zat besi dalam ASI.

Penyerapan zat besi usus tergantung pada bentuk zat besi dalam makanan. Makanan sumber zat
besi heme, seperti ikan, daging, dan unggas, memiliki bioavailabilitas zat besi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sumber zat besi nonheme, seperti buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian.
Ada juga berbagai komponen makanan yang mempengaruhi penyerapan zat besi usus. Vitamin C
meningkatkan penyerapan zat besi dari roti, sereal, buah-buahan, dan sayuran (zat besi nonheme)
tetapi memiliki sedikit efek pada penyerapan zat besi heme. ADB adalah masalah umum pada
anak-anak yang mengikuti diet vegetarian. Penyerapan usus besi dan besi besi dihambat oleh
tanin dalam berbagai jenis teh, makanan kaya fosfat, oksalat, karbonat, dan fitat (biji dan biji-
bijian). Heme murni diserap dengan buruk karena heme berpolimerisasi menjadi makromolekul.
Globin mencegah pembentukan polimer heme yang tidak larut sehingga tetap tersedia untuk
penyerapan. Peptida dari globin yang terdegradasi berikatan dengan besi dan mencegah
polimerisasi dan pengendapan besi. Berbagai bentuk zat besi dapat diserap lebih baik bila
diberikan bersamaan (yaitu bayam dengan daging).

Salah satu faktor risiko terpenting untuk ADB adalah pengenalan awal susu sapi yang tidak
dimodifikasi (nonformula). Ini meningkatkan risiko kehilangan darah usus pada bayi
dibandingkan dengan susu formula atau ASI, terutama karena kolitis [33]. Asupan harian 720 ml
atau lebih susu sapi pada anak prasekolah dikaitkan dengan peningkatan risiko kekurangan zat
besi. Alasannya adalah konsentrasi zat besi yang rendah dalam susu sapi, bioavailabilitas zat besi
yang rendah, dan kemungkinan peningkatan kehilangan darah usus [34]. Sutcliffe dkk.
melaporkan peningkatan risiko kekurangan zat besi pada anak-anak dengan pemberian susu
botol lanjutan dibandingkan dengan anak-anak dengan pemberian susu cangkir pada usia 2-3
tahun, terutama karena volume susu sapi yang lebih besar dalam pemberian susu botol [35].
16 Morino GS, Cinelli G, Di Pietro I, Papa V, Spreghini N, Manco M. NutricheQ
Questionnaire assesses the risk of dietary imbalances in toddlers from 1 through 3 years
of age. Food & Nutrition Research. 2015

Penyakit pencernaan

Zat besi diserap terutama di seluruh duodenum. Malabsorpsi zat besi gastrointestinal terjadi pada
penyakit yang mempengaruhi bagian usus ini, termasuk penyakit celiac, penyakit Crohn,
giardiasis, dan reseksi usus kecil proksimal. Pada anak-anak, anemia sekunder akibat
malabsorpsi zat besi, asam folat, dan vitamin B12 merupakan komplikasi umum dari penyakit
celiac, dan skrining lebih lanjut dengan antibodi transglutaminase jaringan sangat dianjurkan
[36]. Kondisi yang menyebabkan kehilangan darah gastrointestinal juga terkait dengan
kekurangan zat besi. Ini termasuk kolitis yang diinduksi protein susu sapi, penyakit radang usus
(IBD), tukak duodenum / lambung, dan penggunaan kronis obat antiinflamasi nonsteroid atau
aspirin. Kekurangan zat besi terjadi pada sekitar 60-80% pasien dengan IBD. Anemia penyakit
kronis, defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat, dan hemolisis berkontribusi terhadap
perkembangan anemia pada pasien IBD [37, 38].

17 Goldberg ND. Iron deficiency anemia in patients with inflammatory bowel disease.
Clinical and Experimental Gastroenterology. 2013

METABOLISME ZAT BESI

Perkembangan metabolisme besi dalam hubungannya dengan homeostasis besi dapat dimengerti
dengan baik pada dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti
pada orang dewasa.
Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang penting
dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang
berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses katabolisme.
Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan,
susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat selular.

Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan,
bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh orang
dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat
besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau
hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2%
sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung besi sekitar 0,5 gram.

Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk non
heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang
diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan)
besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung
ataupun zat makanan yang dikonsumsi.
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks
transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan
dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi
bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak dikat oleh apoferitin
akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk transferin serum.

Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum
sampai pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus penyerapannya semakin berkurang. Besi
dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks
senyawa besi inorganik (feri/Fe3+) yang oleh pengaruhi asam lambung, vitamin C, dan asam
amino mengalami reduksi menfadi bentuk fero (Fe 2+). Bentuk fero ini kemudian diabsorpsi oleh
sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk fero ini mengalami oksidasi menjadi bentuk feri
yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan
ke dalam peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan didalam plasma ion
fero direoksidasi kembali menjadi bentuk feri yang kemudian berikatan dengan 1 globulin
membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita ADB. Transferin
berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa
dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.

Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit (retikulosit) yang
selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin dengan
heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur  120 hari fungsinya kemudian
menurun dan selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami
proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selaniutnya biliverdin akan direduksi meniadi
bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus seperti di atas atau
akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.

Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam askorbat,
daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang
mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kuning telur,
polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antasid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi
penyerapan zat besi.
Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim-proteosa.
Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan masuk ke dalam sel mukosa
usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan
porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini akan mengalami siklus seperti di atas.
Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah larut,
tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang
tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemo-siderin ditemukan
terutama dalam sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini
akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh.
Apabila pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan
cadangan besi untuk mempertahankan kadar Hb.
PATOFISIOLOGI

Perkembangan anemia defisiensi besi terdiri 3 tahap:


a. Tahap pertama: Kekurangan besi (deplesi besi)
Ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non
heme.
Secara umum pada tahap ini tidak menunjukkan gejala, pada tahap ini persediaan besi di
sumsum tulang berkurang. Feritin serum akan menurun akibat meningkatnya penyerapan zat besi
oleh mukosa usus sebagai kompensasinya hati akan mensintesis lebih banyak transferin sehingga
akan terjadi peningkatan TIBC. Pada keadaan ini tidak menyebabkan anemia (CBC normal) dan
morfologi eritrosit normal, distribusi sel darah merah biasanya masih normal.1

b. Tahap kedua
Disebut juga dengan iron deficient erythropoietin atau iron limited eythropoiesis dimana suplai
besi tidak cukup untuk menunjang eritropoesis. Pada tahap ini kandungan hemoglobin (Hb) pada
retikulosit mulai menurun, hal ini merefleksikan omset dari eritropoiesis yang kekurangan besi.
Tetapi karena sebagian besar eritrosit yang bersirkulasi merupakan eritrosit yang diproduksi saat
ketersediaan besi masih adekuat, maka total pengukuran Hb masih dalam batas normal, anemia
masih belum tampak. Akan tetapi Hb akan terus mengalami penurunan, Red Blood Cell
distribution Widths (RDW) akan meningkat karena mulai ada eritrosit yang ukurannya lebih
kecil dikeluarkan oleh sumsum tulang. Serum iron dan feritin akan menurun, TIBC dan
transferin akan meningkat. Reseptor transferrin akan meningkat pada permukaan sel-sel yang
kekurangan besi guna menangkap sebanyak mungkin besi yang tersedia. Seperti pada tahap
pertama, pada tahap kedua ini juga bersifat subklinis, sehingga biasanya tidak dilakukan
pemeriksaan laboratorium.

c.Tahap ketiga
Disebut juga sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.

Tahap ini anemia defisiensi besi menjadi jelas, nilai Hb dan hematokrit (Ht) menurun, karena
terjadi deplesi pada simpanan dan transport besi maka prekursor eritrosit tidak dapat berkembang
secara normal. Eritrosit kemudian akan menjadi hipokromik dan mikrositik. Pada tahap ini
terjadi eritropoesis inefektif akibat kurangnya cadangan besi dan transport besi. Pasien akan
menunjukkan tanda-tanda anemia dari yang tidak spesifik hingga tanda-tanda anemia berat.

Tahap 3
Tahap 1 Tahap 2
Hemoglobin menurun jelas
normal sedikit menurun
(mikrositik/hipokrom)

Cadangan besi (mg) <100 0 0


Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40
TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410
Saturasi transferrin
20-30 <15 <10
(%)
Feritin serum (ug/dl) <20 <12 <12
Sideroblas (%) 40-60 <10 <10
FEP (Ug/dl sel darah
>30 >100 >200
merah)
MCV normal normal menurun

Pada tahap deplesi besi di sumsum tulang, gambaran darah tepi masih dalam batas normal. Pada
tahap defisiensi besi kadar Hb mulai berkurang tapi gambaran eritrosit masih normal. Oksigenasi
yang berkurang akibat anemia menyebabkan kebutuhan eritropoetin yang besar dan merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, Peningkatan jumlah lekosit pada anemia defisiensi
besi sangat jarang terjadi, paling sering dijumpai nilai Mean Corpuscular volume (MCV) yang
rendah dari eritrosit. Pada morfologi darah tepi dijumpai anisositosis dan poikilositosis (target
sel). Nilai feritin serum yang rendah merupakan diagnosis untuk defisiensi besi, tapi kadang
beberapa kasus nilai feritin serum masih dijumpai normal, Feritin serum dapat meningkat pada
kondisi inflamasi akut. Serum besi yang rendah dapat ditemui pada beberapa penyakit, sehingga
serum besi, transferrin tidak bisa menjadi indikator yang tetap untuk defisiensi besi. Khasnya
bila serum besi berkurang maka TIBC di serum juga akan meningkat. Rasio besi dan TIBC
kurang dari 20% ditemukan pada tahap defisiensi besi tapi akan meningkat pada tahap anemia
defisiensi besi. Soluble Transferrin reseptor (sTfR) akan dilepaskan oleh prekursor erythroid dan
meningkat pada tahap defisiensi besi. Rasio yang tinggi antara TfR terhadap ferritin bisa
memprediksi defisiensi besi karena ferritin merupakan nilai diagnosis yang kecil.7 Pemantauan
respon hematologi untuk terapi dengan pemberian suplemen besi, biopsi sumsum tulang hanya
dilakukan untuk konfirmasi dalam menegakkan diagnosa defisiensi besi.7

MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita dan
keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan laboratorium saia. Gejala
yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme
kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun < 5 g/dl
gejala iritabel dan anoreksia akan mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlaniut dapat
terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-kadang pada kadar Hb <
3-4 g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan kompensasi, sehingga beratnya
gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb. Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi
tidak menunjukkan gejala dan baru terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan.

4
Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah:

1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan
mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.

Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang paling mengkhawatirkan
adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu menurunnya fungsi intelektual, terganggunya fungsi
motorik dapat muncul lebih dahulu sebelum anemia terbentuk. Telah banyak penelitian
dilakukan mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan uji kognitif. di Guatemala
terhadap bayi berumur 6-24 bulan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan skor mental dan skor
motoric antara kelompok anak dengan anemia defisiensi besi dan dengan anak normal. Penelitian
juga dilakukan terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris yang menunjukkan bahwa anak dengan
anemia defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih rendah terhadap uji oddity learning jika
dibandingkan kelompok kontrol. Terdapat bukti bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat
menetap walaupun dengan penanganan, sehingga pencegahan menjadi sangat penting. Pica,
keinginan untuk mengkonsumsi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna, atau pagofagia, keinginan
untuk mengkonsumsi es batu merupakan gejala sistemik lain dari defisiensi besi. Pica dapat
menyebabkan pengkonsumsian bahan-bahan mengandung timah sehingga akan menyebabkan
plumbisme.

18

Roberts, I. Nelson’s textbook of pediatrics 20th edition. 2017.

DIAGNOSIS

Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorium yang dapat mendukung schubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.

Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB :

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :


1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <11% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl (N:80-180 ug/dl)
4. Saturasi transferrin (ST) <15% (N:20-50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen :

1. Anemia hipokrom mikrositik


2. Saturasi transferrin <15%
3. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit
4. Kadar ferritin serum <12 ug/dl

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, ferritin serum dan FEP) harus
dipenuhi

Lanskowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui :

1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV
MCH dan MCHC yang menurun

Red cell distribution width (RDW) >17%

2. FEP meningkat
3. Ferritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16%
5. Respons terhadap pemberian preparate besi

- Retikulositosis mencapai puncak pada hari 5-10 setelah pemberian besi


- Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat 1% hari

6. Sumsum tulang

- Tertundanya maturasi sitoplasma


- Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang

Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparate besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respon
hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitif dan
ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian
preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl
maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom
mikrositik. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama
dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya
adalah lead poisoning/keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana untuk
membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang
meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah
merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat diperoleh
dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < 13 menunjukkan
talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor didapatkan
basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar НbА2.
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom normositik,
tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis
disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan
TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin
normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor
transferin/transferrin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia
karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TR normal karena pada
inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan
rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.

Pemeriksaan lab ADB Talasemia minor Anemia peny. Kronis


MCV   N,
Fe serum  N 
TIBC  N 
Saturasi transferrin  N 
FEP  N N,
Ferritin serum  N 

TATALAKSANA

Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80 – 85% penyebab ADB dapat
diketahui dengan penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat
dilakukan secara oral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama efektifnya
dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang
tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat dipenuhi secara peroral
karena ada gangguan pencernaan.

a. pemberian preparat besi

Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat tersedia
berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena
harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous suksinat diabsropsi
sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).

Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg besi elemental/kgBB/hari.


Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferous. Garam
ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan
meninmbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan
yang lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua
waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi
hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan
meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis
sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan
kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada
penderita teratasi.

Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan
laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini

Waktu setelah pemberian besi Respons


12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular, keluhan
subyektif berkurang, nafsu makan bertambah
36-48 jam Respon awal dari sumsum tulang, hiperplasia
eritroid
48-72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5 – 7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat sementara dapat dihindari dengan
meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.

b. Pemberian besi parenteral

Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat
menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb
1
tidak lebih baik dibandingkan peroral.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ ml.
Dosis dihitung berdasarkan :
Dosis besi mg = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5

c. Transfusi darah

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang
sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia
berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat
menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan
dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu
respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya
diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik
seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian
9
transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.

PENCEGAHAN

Tindakan penting yang dapat dilakukan untuk mencegah kekurangan besi pada masa awal
kehidupan:

- Meningkatkan penggunaan ASI eksklusif


- Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun sehubungan dengan risiko terjadinya
perdarahan saluran cerna yang tersamar pada beberapa bayi
- Memberikan makanan bayi yang mengandung besi serta makanan yans kaya dengan
asam askorbat (jus buah) pada saat memperkenalkan makanan padat (usia 4-6 bulan)
- Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan
- Pemakaian PASI (susu formula) yang mengandung besi

Upaya umum untuk pencegahan kekurangan besi adalah dengan cara :


1. Meningkatkan konsumsi Fe
Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami terutama sumber hewani yang mudah diserap.
Juga perlu peningkatan penggunaan makanan yang mengandung vitamin C dan A.
2. Fortifikasi bahan makanan
Dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan senyawa besi kedalam makanan
sehari-hari.
3. Suplementasi
Tindakan ini merupakan cara yang paling tepat untuk menanggulangi ADB di daerah yang
prevalensinya tinggi.

PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai
berikut:
- Diagnosis salah
- Dosis obat tidak adekuat
- Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluwarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti: infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
- Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada ulkus
peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)

Anda mungkin juga menyukai