Anemia kekurangan zat besi ialah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya cadangan zat
besi tubuh. Prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia masih sangat tinggi, terutama pada
wanita hamil, anak balita, usia sekolah dan pekerja berpenghasilan rendah. Pada anak-anak
Indonesia angka kejadiannya berkisar 40-50%. Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
melaporkan kejadian anemia defisiensi besi sebanyak 48,1% pada kelompok usia balita dan
47,3% pada kelompok usia anak sekolah.
Faktor utama penyebab anemia adalah asupan zat besi yang kurang. Sebesar dua per tiga zat
besi dalam tubuh terdapat dalam sel darah merah hemoglobin. Faktor lain yang berpengaruh
terhadap kejadian anemia antara lain gaya hidup seperti merokok, minum minuman keras,
kebaisaan sarapan pagi, keadaan ekonomi dan demografi, pendidikan, umur, jenis kelamin,
dan wilayah. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan, pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam
evaluasi penderita anemia. Gejala utama adalah fatigue, nadi teras cepat, gejala dan tanda
keadaanhiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada
anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa
(gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark miokard).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya gejala pucat menahun tanpa disertai adanya
organomegali, seperti hepatomegaly dan splenomegaly.
Pengobatan untuk anemia defisiensi besi melibatkan meliputi:
Terapi kausatif. Bertujuan untuk mengatasi penyebab perdarahan. Terapi kausatif
harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
Terapi suplemen yang mengandung besi. Untuk meningkatkan rendahnya tingkat zat
besi dalam tubuh. Biasanya efektif dan jarang menyebabkan komplikasi.
Makan makanan yang mengandung besi (sayuran berdaun hijau tua, kacang-
kacangan, daging)
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV (PackedCell
Volume), leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, saturasi
morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, transferrin, Free
Erythrocyte Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH akan
menurun, MCHC akan menurun pada keadan berat, dan RDW akan meningkat. Gambaran
morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokrom, mikrositik, anisositik hipokrom biasanya
terjadi pada ADB, infeksi kronis dan thalassemia.
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO. 1
(1). Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.
(2). Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata<31% (N32-35)
(3).Kadar Fe serum <5µg/dl (N:80 - 180µg/dl).
(4). Saturasi transferrin <15% (N: 20- 50%).
ADB pada anak akan memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak, yaitu dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Selain itu berkurangnya kandungan besi dalam tubuh juga
dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke jaringan
berkurang. Masalah yang paling penting yang ditimbulkan oleh defisiensi besi yang
berlangsung lama, adalah menurunkan daya konsentrasi dan prestasi belajar pada anak. Saat
lahir, bayi memiliki Hb dan cadangan zat besi yang tinggi karena zat besi ibu mengalir aktif
melalui plasenta ke janin tanpa perduli status besi sang ibu. Setelah lahir akan terjadi 3 tahap,
yaitu:
1. Usia 6-8 minggu akan terjadi penurunan kadar Hb sampai 11 g/dl, karena eritropoeisis
berkurang dan umur sel darah merah janin memang pendek
2. Mulai umur 2 bulan, Hb akan meningkat sampai 12,5 g/dl, saat ini eritorpoeisis mulai
meningkat dan cadangan besi mulai dipakai (deplesi)
3. Diatas usia 4 bulan cadangan besi mulai berkurang dan dibutuhkan zat besi dari
makanan.
Pada bayi aterm, deplesi jarang terjadi sebelum usia 4 bulan, dan anemia juga jarang terjadi
bila mulai dikenalkan makanan saat usia 4-6 bulan. Tetapi pada bayi premature, deplesi dapat
terjadi pada usia 3 bulan karena pertumbuhan lebih cepat dan cadangan besi memang lebih
sedikit.
Beberapa faktor yang dapat memicu kekurangan zat besi pada manusia adalah status
hematologik ibu hamil, Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), Bayi kembar, Infeksi,
Infestasi parasit.
Sedangkan faktor faktor yang dapat menjadi penyebab kekurangan zat besi pada anak adalah:
1. Pertumbuhan yang cepat
2. Pola makanan. Susu merupakan sumber kalori utama bayi. Zat besi pada ASI
merupakan zat besi yang mudah diserap, tetapi zat besi pada susu formula memiliki
bentuk ikatan non-heme sehingga lebih sulit diserap oleh usus. Pada bayi aterm,
pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan masih dapat memenuhi kebutuhan zat besi
bayi, tetapi tidak bagi bayi premature. Komposisi makanan kita yang lebih banyak
mengandung sereal/serat juga berperan dalam penyerapan zat besi. Besi pada serat
bersifat non-heme dan serat sendiri dapat menghambat penyerapan zat besi.
3. Infeksi. Kuman penyebab infeksi menggunakan zat besi untuk pertumbuhan dan
multiplikasinya. Sehingga anak yang sering infeksi dapat menderita kekurangan zat
besi
4. Perdarahan saluran cerna
5. Malabsorbsi (gangguan penyerapan makanan dalam usus)
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2007, hampir separuh (40-45
persen) dari balita di Indonesia mengalami Anemia Defisiensi Besi. Hal ini menjadi penting
karena ADB mempengaruhi banyak hal terutama kecerdasan seorang anak. Sel darah merah
berfungsi menghantarkan oksigen ke seluruh organ tubuh termasuk otak sehingga penderita
anemia relatif kurang terpenuhi oksigennya. Zat besi juga merupakan mineral penting untuk
perkembangan otak anak dan kekebalan terhadap infeksi.
Bayi dan anak rentan mengalami ADB karena berbagai hal, di antaranya akibat kebutuhan
tubuh akan zat besi yang meningkat seiring dengan percepatan pertumbuhan badan dan
asupan zat besi dari makanan tidak cukup. Selain itu, adanya infeksi parasit seperti cacingan,
infeksi parasit, dan pada anak remaja putri, menstruasi juga dapat menyebabkan ADB.
Parenteral
Indikasi:
1. Adanya malabsorbsi
2. Membutuhkan kenaikan kadar besi yang cepat (pada pasien yang menjalani dialisis
yang memerlukan eritropoetin)
3. Intoleransi terhadap pemberian preparat besi oral