Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang
dari normal. Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi
oleh pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Khumaidi
(1989) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi tingginya prevalensi
anemia gizi besi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi rendah meliputi
pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta kesehatan pribadi di lingkungan
yang buruk. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih dari 50 % kasus
anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan
zat gizi besi.
Selain itu penyebab anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang
meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan
infeksi parasit (cacing). Di negara berkembang seperti Indonesia penyakit kecacingan masih
merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia gizi besi, karena diperkirakan cacing
menghisap darah 2-100 cc setaip harinya.
Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan,
baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan
gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat menurunkan prestasi belajar,
olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi besi akan menurunkan daya tahan
tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.
Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia yang telah dilakukan selama ini
ditujukan pada ibu hamil, sedangkan remaja putri secara dini belum terlalu diperhatikan.
Agar anemia bisa dicegah atau diatasi maka harus banyak mengkonsumsi makanan yang kaya
zat besi. Selain itu penanggulangan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan
pencegahan infeksi cacaing dan pemberian tablet Fe yang dikombinasikan dengan vitamin C.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anemia
Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal, berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan kehamilan. Batas normal dari kadar
Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel berikut :
Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dl)
Anak – anak 6-59 bulan 11,0
5-11 tahun 11,5
12-14 tahun 12,0
Dewasa Wanita >15 tahun 12,0
Wanita hamil 11,0
Laki-laki >15 tahun 13,0

Sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial
(zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Anemia
bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi cacing tambang.
Klasifikasi Anemia
Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin
yang dikandungnya.
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah
hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu :
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan gangguan sintesis
DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan peningkatan luas
permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi,
gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan
kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan, penyakit-
penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi A
yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia yang
paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Diperkirakan
sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya merupakan
anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di negara yang sedang
berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein
hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di
Indonesia anemia defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping
kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium.
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam
penyimpanan dan pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang
berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter dan proses katabolisme
yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian, kekurangan besi
mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak,
menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan mengurangi aktivitas
kerja.
Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi pada bayi
dan anak. Hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang mendasarinyaa, sehingga
koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari pengobatan.
Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak diperlukan
0,8-1,5 mg Fe yang harus diabsorbsi setiap hari dari makanan. Banyaknya Fe yang diabsorpsi
dari makanan sekira 10% setiap hari, sehingga untuk nutrisi yang optimalnya diperlukan diet
yang mengandung Fe sebanyak 8-10 mg Fe perhari.
Fe yang berasal dari susu ibu diabsorpsi secara lebih efisieil daripada yang berasal
dari susu sapi sehingga bayi yang mendapat ASI lebih sedikit membutuhkan Fe dari makanan
lain. Sedikitnya macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun pertama
kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi jumlah yang diharapkan, oleh karena itu diet
bayi harus mengandung makanan yang diperkaya dengan Fe sejak usia 6 tahun.
Epidemiologi
Prevalens ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah
dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar
5,5%, anak praremaja 2,696 dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika Serikat sekitar
6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang
9% gadis remaja di Amerika Serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemeia, sedangkan
pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas.
Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini
mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi ADB pada
anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalensi ADB pada anak balita di
Indonesia adalah 553%.
Metabolisme zat besi
Perkembangan metabolisme besi dalam hubungannya dengan homeostasis besi dapat
dimengerti dengan baik pada dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan mengalami hal yang
sama seperti pada orang dewasa.
Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses
katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem
saluran pencenaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat
selular.
Jumlah zat besi yang diserap olehtubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan,
bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh
orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang
67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin
atau hemosiderin dan 3% dalanl bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07% sebagai transferin
dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung besi sekitar 0,5 gram.
Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam
bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu
menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar
10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan
besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi.
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk
kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam sel
mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalaln lumen usus.
Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi
yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan
apotransferin membentuk transferin serum.
Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui rnukosa usus halus, terutama di
duodenum sampai pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus penyerapannya semakin
berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalanl bentuk senyawa besi non heme
berupa kompleks senyawa besi inorganik (feri/Fe" ) yang oleh pengaruh asam lambung,
vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe".). Bentuk fero ini
kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk fero ini mengalami
oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin.
Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi
bentuk fero dan didalam plasma ion fero direoksidasi kembali menjadi bentuk feri. Yang
kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan
meningkat pada penderita ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya
didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk
disimpan sebagai cadangan besi tubuh.
Di dalaln sumsum tulang sebagian besi dilepaskan kc dalam eritrosit (retikulosit) yang
selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin
dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur + 120 hari fungsinya
kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin
mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan
direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti
siklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas
eritropoisis.
Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam
askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis
makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitat, beras,
kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, clan obat-obatan (antasid, tetrasiklin dan kolestiramin)
akan mengurangi penyerapan zat besi.
Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan
enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalanli oksidasi menjadi hemin yang akan masuk
ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim oksigenase
menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutllya ion feri bebas ini akan mengalalni siklus
seperti di atas.
Didalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah
larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah
hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin.
Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum
tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam
tubuh. Apabila pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilitas besi
dan cadangan besi untuk mempertahankan kadar Hb.
Status besi pada bayi baru lahir
Bayi Baru Lahir (BBL) cukup bulan di dalam tubuhnya mengandung besi 65-90
mg/kgBB. Bagian terbesar (sekitar 50 mg/kgBB) merupakan massa hemoglobin, sekitar 25
mg/kgBB sebagai cadangan besi dan 5 mg/kgBB sebagai mioglobin dan besi dalam jaringan.
Kandungan besi BBL ditentukan oleh berat badan lahir dan massa Hb.
Bayi cukup bulan dengan berat badan lahir 4000 gr mengandung 320 mg besi,
sedangkan bayi kurang bulan mengandung besi kurang dari 50 mg. Konsentrasi Hb pada
pembuluh darah tali pusat bayi cukup bulan adalah 13,5-20,1 gr/dL.
Kontraksi uterus selama menit pada waktu persalinan menyebabkan darah plasenta
yang melalui tali pusat ke janin bertambah sekitar 87 %. Perpindahan tersebut menambah
jumlah volume darah 20 ml/kgBB. Pemotongan tali pusat yang terlalu cepat setelah
persalinan akan mengurangi kandungan besi sekitar 15-30 %, sedangkan bila ditunda selama
menit dapat menambah jumlah volume sel darah merah sekitar 58%.
Setelah dilahirkan terjadi perubahan metabolisme besi pada bayi. Selama 6-8 minggu
terjadi penurunan yang sangat drastis dari aktivitas eritropoesis sebagai akibat dari kadar
oksigen yang meningkat, sehingga terjadi penurunan kadar Hb. Karena banyak zat besi yang
tidak dipakai, maka cadangan besi akan meningkat. Selanjutnya terjadi peningkatan aktivitas
eritropoesis disertai masuknya besi ke sumsum tulang. Berat badan bayi bertambah dua kali
lipat tanpa mengurangi cadangan besi. Pada bayi cukup bulan keadaan tersebut dapat
berlangsung sekitar 4 bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan hanya 2-3 bulan. Setelah
melewati masa tersebut kemampuan bayi untuk mengabsorbsi besi akan sangat menentukan
dalam mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Pada bayi cukup bulan untuk
mendapatkan jumlah besi yang cukup harus mengarbsopsi 200 mg besi selama 1 tahun
pertama agar dapat mempertahankan kadar Hb yang normal yaitu 11 gr/dL. Bayi kurang
bulan harus mampu mengarbsopsi 2-4 kali dari jumlah biasa. Pertumbuhan bayi kurang bulan
jauh lebih cepat dibandingkan dengan bayi cukup bulan sehingga cadangan besinya lebih
cepat berkurang. Untuk mencukupi kebutuhan besi, bayi cukup bulan membutuhkan 1 mg
besi/kgBB/hari, sedangkan BBLR memerlukan 2 mg besi/kgBB/hari dengan dosis maksimal
15 mg/kgBB/hari. Bayi dengan BBL <1000 gr membutuhkan suplementasi besi 4
mg/kgBB/hari, BBL 1000-1500 gram memerlukan 3 mg/kgBB/hari, BBL 1500-2000 gram
memerlukan 2 mg/kgBB/hari. Pemberian suplementasi tersebut dilanjutkan sampai usia 1
tahun. Oelh karena pada masa tersebut terjadi peningkatan ketergantungan besi dari makanan,
maka bila tidak terpenuhi akan menimbulkan risiko terjadinya ADB. Prevalensi ADB paling
tinggi terjadi pada usia 6 bulan – 3 tahun karena pada masa ini cadangan besi sangat
berkurang. Pada bayi kurang bulan ADB bahkan dapat terjadi mulai usia 2-3 bulan.
Etiologi
Terjadinya ADB sangat di tentukan oleh kemampuan arbsorpsi besi, yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan :
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja
kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada
bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat,
pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3kali dibanding saatlahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah kehilangan
darah lewat menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang
banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi selama
1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang
mendapat ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini
disebabkan besi yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi,
sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsropsi.
Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI lebih berisiko tinggi
terkena anemia defisiensi besi.
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi
parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan yang cukup
besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat
melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1
ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg)
dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran
cerna, milk induced enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan
menghisap darah dari pembuluh darah submukosausus.
4. Transfusifeto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pada
akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan.
Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-rata 1,8
– 7,8 mg/hari.
6. Iatrogenicbloodloss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko untuk menderita ADB
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang
hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat
menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga1,5–3g/dl dalam 24jam.
8. Latihan yangberlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40% remaja
perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran
cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan
berat terjadi pada 50% pelari.
Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap defisiensi besi, yaitu
:
Hemoglobin Tahap 1 normal Tahap 2 sedikt Tahap 3 menurun
menurun jelas
(mikrositik/hipokrom)
Cadangan besi < 100 0 0
Fe serum Normal <60 <40
TIBC 360-390 >390 >410
Saturasi Transferin 20 – 30 <15 <10
Feritin serum <20 <12 <12
Sideroblas 40 – 60 <10 <10
FEP >30 >100 >200
MCV Normal Normal Menurun

a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein
besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme.
Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan
besi masih normal.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi
transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP)
meningkat.
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai irondeficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar
Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada
tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
Manifestasi Klinis
Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan gejala dan baru
terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan. Gejala khas dari anemia
defisiensi besi adalah :
1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga miripdengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan mengkilap
yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah.
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.
Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang paling
mengkhawatirkan adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu menurunnya fungsi intelektual,
terganggunya fungsi motorik dapat muncul lebih dahulu sebelum anemia terbentuk. Telah
banyak penelitian dilakukan mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan uji kognitif.
di Guatemala terhadap bayi berumur 6-24 bulan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan skor
mental dan skor motoric antara kelompok anak dengan anemia defisiensi besi dan dengan
anak normal. Penelitian juga dilakukan terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris yang
menunjukkan bahwa anak dengan anemia defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih
rendah terhadap uji oddity learning jika dibandingkan kelompok kontrol. Terdapat bukti
bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat menetap walaupun dengan penanganan, sehingga
pencegahan menjadi sangat penting. Pica, keinginan untuk mengkonsumsi bahan-bahan yang
tidakdapat dicerna, atau pagofagia, keinginan untuk mengkonsumsi es batu merupakan gejala
sistemik lain dari defisiensi besi. Pica dapat menyebabkan pengkonsumsian bahan-bahan
mengandung timah sehingga akan menyebabkan plumbisme.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai hematologi dan
biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya simpanan besi pada jaringan.
Penurunan ini akan ditunjukkan melalui menurunnya serum ferritin, sebuah protein yang
mengikat besi dalam tubuh sebagai simpanan. Kemudian jumlah serum besi akan menurun,
kapasitas pengikatan besi dari serum (serum transferrin) akan meningkat, dan saturasi
transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring dengan menunrunnya simpanan, besi dan
protoprofirin akan gagal untuk membentuk heme. Free erythrocyte protoporphyrins (FEP)
terakumulasi, dan kemudian sintesis hemoglobin terganggu. Pada titik ini, defisiensi besi
berlanjut menjadi anemia defisiensi besi. Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada
tiap sel, sel merah menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering tampak
beriringan dengan berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular
hemoglobin (MCH). Perubahan variasi ukuran sel darah merah terjadi dengan digantikkannya
sel normositik dengan sel mirkositik, variasi ini ditunjukkan dari peningkatan red blood cell
distribution width (RDW). Jumlah sel darah merah juga akan berkurang. Jumlah persentase
retikulosit akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan menunjukkan sel
darah merah yang hipokrom dan mikrositik dengan variasi sel yang tetap. Bentuk sel darah
elips atau seperti cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan reseptor transferrin dan
berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosit mendukung terhadap penegakkan diagnosis.
Jumlah sel darah putih normal, trombositosis juga sering tampak. Trombositopenia
terkadang muncul pada defisiensi besi yang sangat berat, sehingga akan menimbulkan sebuah
kerancuan dengan gangguan pada sumsum tulang. Pemeriksaan pada feses untuk melihat
perdarahan pada sistem gastrointestinal harus selalu dilakukan untuk eksklusi perdarahan
sebagai penyebab defisiensi besi.
Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan anemia mikrositer dengan
peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal, dan jumlah platelet yang meningkat
atau normal. Pemeriksaan laboratorium lainnya, seperti penurunan ferritin, penurunan serum
besi, dan peningkatan kapasitas pengikatan besi total, biasanya belum dibutuhkan kecuali
terdapat anemia berat yang membutuhkan penegakan diagnosis cepat, terdapat komplikasi
ataupadaanemia yang tidak memberikan respon terhadap terapi besi.

Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering
tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50ug/dl (N:80–180ug/dl)
4. Saturasi transferin <15% (N;20–50%)
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >100 ug/dl
4. Kadar feritin serum <12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP harus
dipenuhi)
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH,dan MCHC yang menurun.
2. Red cell distribution width (RDW) >17%
3. FEP meningkat
4. Feritin serum menurun
5. Feserum menurun, TIBC meningkat, ST <10%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5–10 setelah pemberian besi
b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCV mengkat 1%/hari.
7. Sumsum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma
b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat
besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitif dan
ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian
preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 – 4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2
mg/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.
Diagnosis Banding
Penyebab alternatif paling sering dari anemia mikrositer adalah thalassemia α atau β
dan hemoglobinopati, yaitu hemoglobin E dan C. Karakteristik talasemia yang paling sering
muncul adalah menurunnya jumlah sel darah merah namun dengan jumlah RDW normal atau
meningkat sedikit. Keracunan timbal dapat menyebabkan anemia mikrositer namun lebih
sering terjadi anemia defisiensi besi menyebabkan pica yang kemudian menyebabkan
keracunan timbal.
Tabel perbandingan nilai laboratorium
Pemeriksaan Anemia defisiensi Thalasemia α atau β Anemia penyakit
besi kronis
Hemoglobin Turun Turun Turun
MCV Turun Turun Normal – turun
RDW Naik Normal Normal – naik
RBC Normal Normal – naik Normal – turun
Serum feritin Turun Normal Naik
Total Iron Binding Naik Normal Turun
Capacity
Transferin saturation Turun Normal Turun
FEP Naik Normal Naik
Transferin receptor Naik Normal Naik
Reticulocyte Turun Normal Normal – turun
hemoglobin
concentration

Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya
serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80 – 85% penyebab ADB
dapat diketahui dengan penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe
dapat dilakukan secara oral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama
efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada
penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat
dipenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
a. Pemberian preparat besi
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.
Preparat terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai
adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous
fumarat, dan ferous suksinat diabsropsi sama baiknya.Untuk bayi tersedia preparat
besi berupa tetes(drop).
Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg besi
elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang
ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak
20%. Dosis obat yang terlalu besar akan menimbulkan efek samping pada saluran
pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.Absropsi besi
yangterbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi
dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun
akan mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis
sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan
meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratasi.
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini
Waktu setelah pemberian besi Respons
12-24 jam Penggantian enzim besi intraselular,
keluhan subyektif berkurang, nafsu makan
bertambah
36-48 jam Respon awal dar isumsum tulang,
hiperplasia eritroid
48-72 jam Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5–7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal.
Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan
kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.
1 Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ ml.
Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi 9mg= BB(9kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia
yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon terapi. Koreksi
anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena
dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara
perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil
menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <
4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian disertai
pemberian diuretik seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.
PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti : infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin
B12,asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada ulkus
peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).
ANEMIA MEGALOBLASTIK
Definisi
Anemia megaloblastik adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh gangguan
sintesis DNA. Sel terutama yang terkena adalah sel yang pertukarannya (turn over) cepat,
terutama sel prekursor hematopoetik dan sel epitel gastro-intestinal.
Anemia makrositik diklasifikasikan sebagai megaloblastik dan non-megaloblastik,
berdasarkan ada tidaknya gangguan sintesis DNA globin. Anemia megaloblastik terjadi
akibat gangguan sintesis DNA, namun sintesis RNA tetap berlangsung sehingga terjadi
penimbunan komponen sitoplasma pada sel yang sedang bermitosis yang berakibat
pembentukan sel yang lebih besar daripada normal, dua ko-faktor yang terpenting dalam hal
ini adalah asam folat dan vitamin B12. Komposisi asam folat terdiri dari cincin protein yang
terikat dengan asam paraamino benzoate (PABA) dan berkonjugasi dengan glutamat. Asam
folat bersifat essensial karena manusia tidak dapat membentuknya secara endogen. Asam
folat terdapat dalam sayuran berdaun hijau, buah-buahan keluarga sitrus (jeruk, tomat),
kacang-kacangan dan produk hewan (hati ayam, hati sapi). Defisiensi asam folat terjadi jika
kebutuhan folat meningkat tidak terpenuhi, bila asupan folat tidak mencapai yang
direkomendasikan dan bila ekskresi meningkat. Keadaan medis yang dapat meningkatkan
kebutuhan folat atau mengakibatkan peningkatan ekskresi pada anak adalah :
1. Malabsorpsi
2. Dialisis ginjal
3. Penyakit hati

Obat-obatan yang dapat menghambat penggunaan folat antara lain obat-obatan anti-
konvulsan, sulfasalazine, metotreksat dan barbiturat. Ko-enzim B12 dan asam folat
diperlukan untuk sintesis timidilat dan purin, dengan demikian defisiensi vitamn B12 yang
disebabkan oleh defisiensi faktor intrinsik (diproduksi oleh sel parietal lambung) yang
diperlukan untuk absorpsi disebut juga anemia pernisiosa. Defisiensi vitamin B12 terjadi
karena asupan yang kurang misalnya pada vegetarian yang tidak mengkonsumsi produk
hewan atau gangguan absorpsi misalnya pada kelainan lambung atau usus halus. Kadang kala
satusatunya gejala kelainan usus halus ini adalah penurunan fungsi kognitif ringan sedangkan
anemia dan demensia muncul kemudian.
Etiologi
Hampir seluruh kasus anemia megaloblastik pada anak (95%) disebabkan oleh
defisiensi asam folat atau vitamin B12, yang disebabkan oleh gangguan metabolisme sangat
jarang. Keduanya merupakan kofaktor yang dibutuhkan dalam sintesis nukleoprotein,
keadaan derisiensi tersebut akan menyebabkan gangguan sintesis DNA dan selanjutnya akan
mempengaruhi RNA dan protein.
Penyebab anemia megaloblastik :
A. Defisiensi asam folat
 Asupan yang kurang : kemiskinan, ketidaktauan, faddism, cara pemasakan,
pemakaian susu kambing, malnutrisi, diet khusus untuk fenilketonuria,
prematuritas, pasca cangkok sumsum tulang (CST)
 Gangguan arbsorpsi (kongenital dan didapat)
 Kebutuhan yang meningkat (percepatan pertumbuhan, anemia hemolitik
kronis, oenyakit keganasan, keadaan hipermetabolisme, penyakit kulit
ekstensif, sirosis hepatis, pasca CST
 Gangguan metabolisme asam folat (kongenital dan didapat)
 Peningkatan ekskresi : dialisis kronis, penyakit hati, penyakit jantung
B. Defisiensi B12
 Asupan kurang : diet kurang mengandung vitamin B12, defisiensi pada ibu
yang menyebabkan defisiensi vit B12 pada ASI
 Gangguan arbsorpsi : kegagalan sekresi faktor intrinsik, kegagalan arbsorpsi di
usus kecil.
 Gangguan transport vitamin B12 (kongenital dan didapat)
 Gangguan metabolisme vitamin B2
C. Lain – lain :
 Gangguan sintesis DNA kongenital
 Gangguan sintesis DNA didapat
Keadaan lain yang berhubungan dengan anemia megaloblastik adalah defisiensi
asam askorbat, tokoferol dan tiamin.
Patofisiologi
Beberapa bentuk anemia dapat terjadi akibat gangguan Absobsi atau metabolism folat
atau kobalamin (Vit. B12). Akibatnya sintesis DNA akan dihambat dan siklus sel jadi
diperlambat selama eritropoesis. Namun sintesis ,hemoglobin di sitoplasma berlangsung terus
dan tidak mengalami perubahan sehingga ukuran eritroblast membesar (megaloblast) serta
menjadi terlalu besar, dan eritrosit yang oval akan masuk kedalam darah (Megalosit : MCV >
100fL). Pembentukan granulosit dan megakariosit juga terganggu. Di samping penundaan
proloferasi, anemia juga dicetuskan oleh kerusakan dini megaloblast di sumsum tulang
(peningkatan eritropoesis yang tidak efisien) dan juga karena pemendekan masa hidup
megalosit yang masuk dalam darah.
Folat, metabolit folat N5, N10 –metil-tetra-hidrofolat diperlukan untuk sintesis
deoksitimidilat, merupakan satu-satunya sumber timin, yang selanjutnya diperlukan untuk
sintesis DNA. Jadi, defisiensi folat akan menghambat sintesis DNA. Defisiensi folat terutama
mempengaruhi kecepatan pembentukan pada sel yang berproliferasi cepat, Misalnya pada
eritropoesis pada pembentukan tumor. Kebutuhan folat selama 2-4 bulan di simpan di Hati.
Folat banyak di temukan di dalam makanan dalam bentuk pteroilpoliglutamat; residu
glutamate yang berlebihan harus terlebih dahulu dipecahkan sebelum dapat diserap usus
halus bagian atas dalam bentuk pteroilmonoglutamat. N5 metiltetrahidrofolat merupakan
substrat untuk pembentukan tetrahidrofolat yang selanjutnya di bentuk mukosa usus halus.
Pada tahap ini, metal-kobalamin sangat diperlukan. Dari tetraidrofolat akan terbentuk
N5,N10-metilidrofolat, akan bersama dengan dengan deoksiuridilat akan dimetabolisme
melalui kerja timidilat-sintase menjadi deoksitimidilat dan 7,8-dihidrofolat akhirnya,
tetraidrofolat yang digunakan akan terbentuk kembali dari 7,8-dihidrofolat. Gangguan
Absorbsi atau metabolism folat.
Berikut akan menghambat sintesis DNA, dan juga Eritropoesis :
1. Asupan Folat yang sedikit dari makanan (< 50µg/hari, pemasakan yang lama merusak
folat)
2. Kebutuhan yang meningkat (kehamilan)
3. Malabsorbsi, misalnya penyakit usus halus atau penghambatan pembawa folat oleh
metatotreksat.
4. Atau penghambatan pembawa folat oleh metatokresat
5. Dedisiensi kobalamin
6. Penghambatan timidilat sintase oleh metabolit flurourasil, yaitu flourdeoksiuridilat.
7. Penghambatan dihidrofolat reduktase oleh aminopterin atau metotreksat, yang
afinitasnya terhadap enzim 100 kali lebih tinggi daripada substrat alami 7,8-
dihidrofolat.
8. Karena penghambatan metabolism folat juga menghentikan pertumbuhan tumor, obat-
obatan flourourasil, metotreksat, dan aminopterin digunakan sebagai kemotrapi
sitostatik. Efek sampingnya teradap eritropoesis biasanya tidak diharapkan sehingga
sering kali dibatasi.
9. Kobalamin (Vitamin B12) pada manusia harus diambil dari makanan (kebutuhan 3-5
µg/hari). Sekitar seribu kali dari jumlah tersebut disimpan di dalam hati. Kobalamin
terikat oleh protein yang berbeda dan diangkut kedalam tubuh dari makanan ke
tempat kerjanya, dalam bentuk metilkobalamin yang berperan sebagai koenzim
dimetilisasi N5-metiltetraidrofolat.

Penyebab defisiensi Kobalamin yang mungkin adalah :


1. Asupan yang sangat kurang (diet vegetarian yang ketat)
2. Defisiensi factor intrinsic (IF) (pada gastritis atrofi) diperlukan untuk pengikatan dan
absorbsi kobalamin. IF dilumen usus halus akan dilepaskan dari ikatannya dengan
protein saliva.
3. Persaingan untuk kobalamin dan pemecahan IF oleh bakteri (blind-loop Syndrome).
Atau cacing pita yang besar di usus.
4. Kehilangan(congenital, setelah reseksi) atau peradangan ileum terminalis, yaitu
tempat penyerapan kobalamin.
5. Kelainan Transkobalamin II (TC II), yang berperan untuk transport kobalamin di
plasma dan pengambilannya dalam sel.
6. Oleh karena besarnya cadangan kobalamin didalam hati, munculnya gejala defisiensi
kobalamin (anemia pernisiosa, gangguan neurologis) hanya terjadi setelah
penghentian asupan yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Gejala Klinis
1. Pada Defisiensi Kobalamin : Gangguan Neurologis
2. Pada gangguan gastrointestinal dapat timbul gejala : kehilangan nafsu makan,
penurunan berat badan, mual dan sembelit. Pasien Mungkin diikuti sariawan dan sakit
pada lidah.
3. Tanda-Tanda Anemia
4. Gangguan Neurologis : parastesi tangan dan kaki, kehilangan memori selanjutnya jika
keadaan memberat dapat mempengaruhi gaya berjalan, kebutaan akibat atropi
N.Optikus dan Gangguan Kejiwaan

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. Pemeriksaan Defisiensi As. Folat
3. Pemeriksaan Defisiensi Kobalamin
4. Pemeriksaan Serum Besi
5. LDH dan Bilirubin Indirect
6. Histopatologi

Diagnosis
Temuan makrositosis yang bermakna (volume korpuskula rerata (MCV) > 110 fL)
mengisyaratkan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis adalah hemolisis,
penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme dan anemia aplastik. Apusan darah
memperlihatkan anisitosis mencolok dan poikilositosis, disertai makrovalosit, yaitu, eritrosit
yang mengalami hemoglobinisasi penuh, besar, oval dan khas untuk anemia megaloblastik.
Beberapa stippling basofilik ditemui, dan kadang – kadang ditemukan pula sel darah merah
yang berinti. Pada turunan sel darah putih, neutrofil memperlihatkan hipersegmentasi
nucleus. Temuan ini sangat khas sehingga ditemukan sebuah sel dengan nucleus enam lobus
atau lebih mengharuskan kita harus mencurigai adanya anemia megaloblastik. Sumsum
tulang tampak hiperseluler dengan penurunan rasio myeloid/ertitroid dan peningkatan besi.
Anemia megaloblastik ditandai oleh eritropoesis yang tidak efektif.
Pada evaluasi pasien anemia megaloblastik, perlu ditentukan apakah terdapat
defidiensi vitamin spesifik dengan mengukur kadar kobalamin dan folat serum. Rentang
normal kobalamin dalam serum adalah 200 sampai 900 pg/mL, nilai yang lebih rendah dari
pada 100 pg/mL mengindikasikan defisiensi bermakna klinis. Bila defisiensi kobalamin telah
dipastikan, maka patogenesisnya dapat diketahui dengan melakukan uji schheling.
Diagnosis Banding
1. Anemia Defisiensi Besi
2. Makrositosis
3. Anemia Penyakit Kronis

Terapi
1. Kobalamin 1000 mcg parenteral selama 2 Minggu, dengan gangguan neurologis 1000
mcg setiap hari selama 2 minggu, kemudian selama 2 minggu sampai 6 bulan dan
1000 mcg kobalamin untuk pasien dengan hemofilia.
2. As. Folat (1-5 mg) secara oral dan diberikan secara paerenteral dengan dosis yang
sama
3. Terapi Folat 1 mg/hari harus diberikan selama periode kehamilan
4. Sindroma Blind-loop ditangani dengan antibiotic
Defisiensi asam folat:
asupan yang kurang :
1. gangguan absorpsi (kongenital dan didapat)
2. kebutuhan yang meningkat (percepatan pertumbuhan, anemia hemolitik kronis,
penyakit keganasan, keadaan hipermetabolisme, penyakit kulit ekstensif, sirosis
hepatis, pasca CST
3. gangguan metabolisme asam folat (kongenital dan didapat)
4. peningkatan ekskresi: dialisis kronis, penyakit hati, penyakit jantung
5. Defisiensi vitamin B12:

asupan kurang:
1. diet kurang mengandung vitamin B12
2. defisiensi pada ibu yang menyebabkan defisiensi vit B12, pada ASI
3. gangguan absorpsi: kegagalan sekresi faktor intrinsik,
4. kegagalan absorpsi di usus kecil
5. gangguan transport vitamin B12 (kongenital dan didapat)
6. gangguan metabolisme vitamin k

Lain-lain:
1. gangguan sintesis DNA kongenital
2. gangguan sintesis DNA didapat

metabolisme asam folat :


Sebagian besar asam folat dari makanan masuk dalam bentuk poliglutamat. Absorpsi
terjadi di sepanjang usus halus, terutama di duodenum dan jejunum proximal dan 50-80%
diantaranya dibawa ke hati dan sumsum tulang. Folat diekskresi melalu empedu dan urin. Di
mukosa usus halus, poliglutamat dari makanan dihidrolisis oleh enzim pteoril
poliglutamathidrolase menjadi monoglutamat yang kemudian mengalami reduksi/metilasi
sempurna menjadi 5 metil tetrahidrofolat (5-metil THF). Metal THF masuk kedalam sel dan
mengalami demetilasi dan konjugasi. Dengan bantuan enzim metal transferase, 5 metil THF
akan melepaskan gugus metilnya menjadi tetrahidrofolat (THF). Metilkobalamin akan
memberikan gugus metal tersebut kepada homo-sistein untuk membentuk asam amino
metionin.
Patofisiologi asam folat
Asam folat dibutuhkan dalam pembentukkan unsure Thymedine dari asam nukleat.
Berkurangnya asam folat akan menyebabkan pembentukan/sintesis DNA terhalang sehingga
menghalangi pematangan inti sel. Di pihak lain, sintesis RNA dan protein dapat berlangsung
terus. Akibatnya ialah terjadinya ketidakseimbangan dalam pertumbuhan eritrosit; komponen
sitoplasma (terutama Hb) disintesa dalam jumlah banyak sedang proses
pemisahan/pembelahan sel terhalang.
Anemia megaloblastik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya perubahan
abnormal dalam pembentukkan sel darah merah, sebagai akibat adanya ketidaksesuaian
antara pematangan inti dan sitoplasma pada seluruh sel seri myeloid dan eritroid.
Gejala klinis
Tanpa manisfestasi neurologis, rasa lelah progressif, sesak nafas, palpitasi,
kelemahan, glositis, nausea, anorexia, sakit kepala, rasa mau pingsan, irritabilitas, mudah
lupa, ikterus ringan.
Terapi
Suplemen asam folat 1-5 mg perhari atau secara parenteral. Jika pasien tersebut
menderita kombinasi defisiensi asam folat dan vitamin B12 maka pemberian asam folat saja
dapat memperberat disfungsi neurologisnya.
Anemia Defisiensi Vitamin B12
Merupakan gangguan autoimun karena tidak adanya intrinsik faktor (IF) yang
diproduksi di sel parietal lambung sehingga terjadi gangguan absorbsi vit B 12.

Etiologi dan fakor resiko


1. Tidak adanya intrinsik faktor
2. Gangguan pada mukosa lambung, ileum dan pankreas
3. Tidak adekuatnya intake vit B12,tapi asam folat banyak
4. Obat-obatan yang mengganggu diabsorpsi dilambung (azothioprine, 5 FU, hidroksi
urea, phenytoin, kontrasepsi oral)
5. Obat- obatan yang merusak ileum (neomisin,metformin)
6. Kerusakan absorpsi (neoplasma, penyakit gastrointestinal, pembedahan reseksi illium.

Patofisiologi
Defisiensi vit B12 dan asam folat diyakini akan menghambat sintesis DNA untuk
replikasi sel termasuk SDM sehingga bentuk, jumlah dan fungsinya tidak sempurna.
Instrinsik faktor (IF) berasal dari sel-sel lambung yang dipengaruhi oleh pencernaan protein
(glukoprotein), IF akan mengalir ke ileum untuk membantu mengabsorpsi Vit B12. Vit B12
juga berperan dalam pembentukan myelin pada sel saraf sehingga terjadinya defisiensi akan
menimbulkan gangguan neurologi.
Manifestasi Klinik
1. Hb, hematokrit, SDM rendah
2. Anemia
3. BB menurun, nafsu makan menurun, mual, muntah
4. Distensi abdomen, diare, konstipasi.
5. Gangguan neurologi (parestesia tangan dan kaki, depresi, gangguan kognitif dan
hilang memori)

Terapi
Penyuntikan vitamin B12 sejak dini, pemberian besi dan asam folat bersamaan
dengan vitamin B12 untuk mencegah anemia defisiensi besi, tirah baring hingga kadar
hemoglobin naik, transfuse darah, pemberian digoxin, diuretic, penerapan diet rendah
natrium, pemberian antibiotik untuk melawan infeksi.
REFERENSI
1. Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
Türk Pediatri Arşivi,50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337
2. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan
Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri,4(2), 2–5.
3. Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA PENYAKIT
KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F ( Determination of iron
deficiency in chronic disease anemia by therole of sTfR-F index ).Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory,2(1), 9–15.
4. Endang, W. (2013). IDAI-ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI DAN ANAK.
Retrieved February 28, 2016, from http://idai.or.id/artikel/seputar-
kesehatananak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak
5. Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, & Hendarto, A.
(2011). Suplementasi Besi Untuk Anak.Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Oehadian, A. (2012). Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing Medical
Education,39(6), 407–412.
7. Gejala Anemia Sideroblastik, Penyebab Dan Pencegahannya | Gejala Penyebab Dan
Cara Mengatasi. (2014). Retrieved February 28, 2016, from
http://www.referensisehat.com/2014/12/gejala-anemia-sideroblastik-penyebab.html
8. Irawan, H. (2013). Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak.CDK-205,40(6), 422–
425.
9. Medlinux. (2007).Anemia Pada Anak ~ Seputar Kedokteran. Retrieved February 28,
2016, from http://medlinux.blogspot.co.id/2007/09/anemia-pada-anak.html
10. Silbernagl, Stefan.,Lang, Florian. 2014. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
11. Sudoyo, Aru W, Setiyohhadi, Bambang, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam
Volume II. Jakrata : Penerbit Buku Kedokteran FK UI
12. Isselbacher, Braunwald, dkk.2015. Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
13. Kowalak. 2017. Buku Ajar PATOFISIOLOGI. Jakarta : EGC
REFERAT

ANEMIA DEFISIENSI BESI DAN ANEMIA MEGALOBLASTIK

Disusun oleh :

Saddam Fadhli (1102011250)

Pembimbing : dr.H.Bambang Suharto, Sp.A, MHKes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSUD ARJAWINANGUN

2019

Anda mungkin juga menyukai