MORBUS HANSEN
Disusun oleh :
Nandi Rusnandi (1102013208)
Pembimbing :
2020
0
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Ny. A
Umur : 44 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : kampung harapan baru RT 03/12
Status pernikahan : Menikah
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis, Selasa tanggal 18 agustus 2020
Keluhan Utama : kedua kaki tidak bisa digerakan pada kedua tungkai
bagian kanan dan kiri sejak 1 hari SMRS
1
meminum obat kusta sejak 3 bulan yang lalu dan pasien menghentikan
pengobatannya sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan rutin mandi 2 kali sehari, tetapi saat baju basah, pasien
tidak langsung mengganti baju yang kering. Pasien mengatakan dirinya tinggal di
kawasan yang cukup padat penduduk, pada lingkungan tempat tinggal tidak ada
tetangga yang menderita keluhan atau penyakit kulit seperti pada pasien, pada
anggota keluarga juga tidak ada yang mengalami keluhan atau penyakit kulit seperti
pada pasien. Pasien mengatakan dirinya tidak ada riwayat bepergian ke luar kota.
2
IV. STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi : Regio Kruris Dextra
Efloresensi : terdapat erosi hiperpigmentasi.multipel,numular-plakat.difus-
sirkumskrip,dengan krusta eritema
Gambar 1. Gambaran lesi pada bagian tungkai bagian bawah sebelah kanan
Gambar 2. Gambaran lesi pada bagian tungkai bagian bawah sebelah kanan
3
Lokasi : Regio Antebrachii Anterior dan Posterior dextra
4
Pemeriksaan fisik pada Morbus Hansen:
Sensibilitas
Rasa raba : Hipoestesi (-)
Rasa nyeri : Hipoalgesia (-)
Perbedaan suhu: Tidak dilakukan
Akromia : Hipopigmentasi (+)
Anhidrosis : Tidak dilakukan
N. Aurikularis magnus : Pembesaran (-/-), nyeri (-/-)
N. Ulnaris : Pembesaran (-/-), nyeri (-/-)
N. Poplitea lateralis : Pembesaran (-/-), nyeri (-/-)
N. Tibialis posterior : Pembesaran (-/-), nyeri (-/-)
Claw hand (-/-), Wrist drop (-/-), Foot drop (-/-), Lagoftalmus (-/-),
Claw toes (-/-), Mengatupkan bibir (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Hasil
Hemoglobin LL 5.1 g/dl
Hematokrit LL 17 %
Leukosit H 29.6 10^3/ul
Eritrosit L 2.12 10^3/Ul
Trombosit H 765 10^3/ul
Basophil 0%
Eosinofil L 0%
Netrofil H 90 %
Limfosit L 7%
NLR H 12.86
Monosit 3 mm/jam
Laju Endap Darah H 40 mm/jam
5
Lengan kiri : BTA (+)
Tungkai kanan : BTA (+)
Tungkai kiri : BTA (+)
VI. RESUME
Pasien perempuan, Ny. A, 44 tahun, datang ke IGD RSUD bekasi dengan
keluhan kedua kaki tidak bias digerkan sejak 1 hari SMRS.terasa lemah pada seluruh
tubuh dan 6 bulan yang lalu timbul bercak kemerahan pada kedua tungkai dan kedua
tangan sebelah kanan dan kiri . Bercak kemerahannya berbentuk tidak teratur.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 124/79 mmHg, nadi 90 x/menit, pernapasan 20x/menit,
suhu afebris. Pemeriksaan dari kepala sampai ekstremitas dalam batas normal.
Dari hasil pemeriksaan dermatologis, pada regio kruris dextra dan sinistra
didapatkan hasil efloresensi berupa gambaran makula hiperpigmentasi ukuran
numular-plakat berbatas tegas dengan adanya krusta eritema , pada regio antebrachii
anterior dan posterior sinistra dan dextra didapatkan hasil efloresensi berupa
gambaran makula hiperpigmentasi ukuran numular-plakat berbatas tegas. Didapatkan
hipoestesi pada rasa raba, hipoalgesia pada rasa nyeri, dan hiperpigmentasi pada lesi
tersebut.
IX. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
Meminum obat sesuai dosis yang diberikan dan.
Higienitas diri terutama bagian bercak agar tetap kering
Medikamentosa :
6
Rimfapisin 600 mg
Ofloksasin 400 mg
Minoksiklin 100 mg
X. PROGNOSIS
7
TINJAUAN PUSTAKA
MORBUS HANSEN
I. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi granulomatosa kronik, dan penyebabnya ialah
mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali saraf pusat.1
Penyakit kusta disebut juga sebagai penyakit Lepra atau penyakit Hansen disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama
antara 2–3 minggu. Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 9 hari di luar tubuh manusia.
Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih
dari 5 tahun.2
II. Epidemiologi
Cara penularan belum diketahui, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah cara inhalasi, sebab M.
Leprae masih dapat hidup dalam droplet setelah beberapa hari. Masa tunasnya sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata – rata 3-5 Tahun.1
Pada populasi yang diteliti, penyakit kusta lebih sering terjadi pada laki- laki
dibandingkan wanita sebesar 2:1. Usia rata-rata dari dimulainya penyakit lebih muda pada
pasien dengan tipe tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa, tetapi secara umum
dimulai apda usia kurang dari 35 tahun, bagaimanapun, usia tidak menjadi jaminan seseorang
tidak terkena kusta.
Situasi kusta di Indonesia sejak tahun 2007- 2011 menunjukkan adanya peningkatan
kasus baru yang mengindikasikan bahwa penyakit kusta masih menjadi masalah di Indonesia.
Kasus baru pada tahun 2007 berjumlah 21.430 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2008
dengan 21.538 kasus, namun menurun pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus. Tahun
8
2010 menunjukkan penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741
kasus, dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai
23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum menunjukkan tidak ada perubahan yang
berarti terkait situasi penyakit kusta di Indonesia, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa
penyakit kusta di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan.3
Target prevalensi kusta sebesar <1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk).
Dengan demikian prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2015 yang sebesar 0,79 per
10.000 penduduk telah mencapai target program. Pada tahun 2015 dilaporkan 17.202 kasus
baru kusta dengan 84,5% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan
menurut jenis kelamin, 62,7% penderita baru kusta berjenis kelamin laki-laki dan sebesar
37,3% lainnya berjenis kelamin perempuan.2
III. Etiologi
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae. Dimana mycobacterium ini
adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel
lilin yang merupakan ciri dari spesies mycobacterium, dengan ukuran 3-8µm x 0,5µm.
Biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) atau gram positif. Bakteri ini tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
bakteri tahan asam.4
IV. Transmisi
Cara transmisi dari M. leprae adalah dari kulit dan mukosa nasal. Studi kasus kusta
menggambarkan bahwa banyak organisme berada di dermis profunda, dan tidak ada BTA
yang ditemukan di epidermis, tetapi dapat ditemukan bersamaan dengan sekresi kelenjar
sebasea.3
Kuman ini menular kepada manusia melalui kontak lansung dengan penderita dan
melalui saluran penrapasan, bakteri ini berkembang biak dalam waktu 2-3 minggu,
pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari diluar tubuh manusia
kemudian kuman membelah dalam jangka waktu 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata
dua hingga ima tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Setelah lima
tahun, tanda seseorang menderita kusta mulai muncul, antara lain, kulit mengalami bercak
putih, merah, rasa, kesemutan bagian anggota tubuh hingga tak berfungsi sebagaimana
9
mestinya. Penatalaknsanaan kasus yang buruk dapat menyebabkan kusta menjadi progresif,
menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata.4
V. Patofisiologi
M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan
sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagaipenyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1
Basil dari M. Leprae yang masuk kedalam tubuh melalui traktus respiratorius dan
menembus system retikuloendotelial, lalu kuman akan bermigrasi ke jaringan saraf dan
masuk ke dalam sel schwann yang merupakan target utamanya, dan dapat pula ditemukan
pada sel otot, endotel dan pembuluh darah. Setelah masuk kedalam sel sel targetnya, kuman
lepra akan mulau berkembang biak secara perlahan (12-14 hari untuk satu kuman berubah
menjadi dua ) di dalam sel yang dihancurkannya, lalu kuman ini akan mencari sel yang belum
di infeksi, sampai fase ini seseorang yang terinfeksi masih belum merasakan gejala yang
jelas.5
Bersamaan dengan multifikasi bakteri, imunitas tubuh akan berespon, seperti limfosit
dan histiosit akan menyerang kuman pada jaringan yang terinfeksi dimana akan terbentuk sel
granul akubat proses imunitas tubuh sehingga saraf tertekan dan menyebabkan pembesaran
pada saraf (edema) lalu pada fase ini seseorang yang terinfeksi akan merasakan adanya gejala
klinis yang jelas berupa anastesi, alopesia, anhidrosis, atrofia, akromia.5
Gambar no. 2
Patogenesis Kusta1
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan
saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya
kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman
kusta.
11
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf
tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf
perifer yang menebal.
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan
jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi
dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu,
suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi
bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan,
dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping
telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung,
pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Zona spektrum kusta menurut Ridley dan Jopling ini menjadi dasar untuk klasifikasi
kusta lainnya yang lebih sederhana dan dapat dilihat pada tabel 1.1
12
Tabel 1. Klasifikasi Kusta1
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi pausibasilar (PB) dan
multibasilar (MB). Yang termasuk dalam PB adalah tipe TT dan BT, sedangkan yang
termasuk dalam MB adalah tipe BB, BL, dan LL. Batasan bakterioskopis untuk tipe PB dan
MB adalah dengan pemeriksaan indeks bakteri (IB), dimana tipe PB memiliki IB kurang dari
2+ dan tipe MB memiliki IB lebih dari atau sama dengan 2+. Pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan klasifikasi kusta menurut WHO untuk kepentingan pengobatan (lihat tabel no. 2).
Tipe PB adalah kusta dengan pemeriksaan BTA dengan hasil negatif pada kerokan jaringan
kulit, sedangkan tipe MB adalah kurta dengan pemeriksaan BTA hasil positif. Puskesmas di
Indonesia menggunakan klasifikasi menurut WHO sebagai patokan dalam diagnosis dan
penatalaksanaan dari kusta. Adapun manifestasi klinis dari masing-masing klasifikasi dapat
dilihat pada tabel no 3 dan 4.1
13
Tabel 4. Manifestasi Klinis Kusta Tipe MB1
VII. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien yang mendasari datangnya
pasien mencari pertolongan. Perlu ditanyakan kapan waktu timbulnya bercak atau kelainan
yang dirasakan oleh pasien. Perlu juga diitanyakan apakah ada anggota keluarga atau orang
serumah yang menderita keluhan yang sama, dan adanya riwayat kontak dengan penderita
kusta. Adanya riwayat pengobatan sebelumnya juga perlu ditanyakan untuk menilai
kepatuhan berobat dan kemungkinan resistensi pengobatan.6
Pemeriksaan Fisik
14
cukup dan sumber cahaya terletak oblik. Pemeriksaan dermatologis dilakukan secara
sistematis mulai dari kepala hingga ke ujung kaki dan memperhatikan serta mencatat setiap
kelainan kulit yang ditemukan, serta kelainan struktural dan anatomis yang didapatkan.
Pemeriksaan dermatologis juga mencakup pemeriksaan raba pada kulit yang dicurigai dengan
menggunakan kapas yang ujungnya dilancipkan, dan dibandingkan dengan kulit yang sehat.6
Pemeriksaan neurologis untuk kusta dilakukan untuk mencari tahu adanya kerusakan
saraf perifer akibat infeksi dari Mycobacterium leprae yang biasanya terjadi pada N.
auricularis magnus, N. facialis, N. radialis, N. medianus, N. peroneus communis, dan N.
tibialis posterior. Adapun fungsi dari masing-masing saraf tersebut dapat dilihat pada tabel 5.6
Fungsi
Saraf
Motorik Sensorik Otonom
Auricularis Kulit belakang
-
magnus telinga
Menutup kelopak
Facialis -
mata
Kulit telapak tangan
Jari manis dan jari daerah jari
Ulnaris
kelingking kelingking dan Mempersarafi
separuh jari manis kelenjar keringat,
Kulit telapak tangan
kelenjar minyak, dan
Ibu jari, jari daerah ibu jari, jari
pembuluh darah
Medianus telunjuk, dan jari telunjuk, jari tengah,
tengah dan separuh jari
manis
Peroneus
Pergelangan kaki -
communis
Tibialis posterior Jari-jari kaki Kulit telapak kaki
Pemeriksaan pada saraf tepi dilakukan dengan palpasi tekanan ringan sehingga tidak
menyakitkan pasien, dan bertujuan untuk mengetahui adanya penebalan saraf, simetrisitas
ukuran dan perabaan saraf, serta adanya nyeri pada saraf. Pemeriksaan yang wajib dilakukan
adalah pada N. ulnaris, N. peroneus communis, dan N. tibialis posterior.6
15
Pemeriksaan Penunjang
Terdapat tiga kelompok besar dalam pemeriksaan penunjang untuk lepra, yaitu
pemeriksaan bakterioskopis, pemeriksaan histopatologis, dan pemeriksaan serologis.1
Pemeriksaan bakterioskopis
16
yang menilai penggunaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mengkuantifikasikn DNA
dari Mycobacterium leprae dalam suatu sampel jaringan. Korelasi antara perhitungan dengan
PCR dan metode langsung memberikan nilai keakuratan mencapai 98%.7
Pemeriksaan histopatologis
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat
kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik (lihat gambar no. 3). Didapati pula adanya sel
Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.1
Gambar 3.
Pemeriksaan Histopatologis8
Pemeriksaan serologis
17
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta yang dapat
dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Agglutination).1
VIII. Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
Medikamentosa
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak1948 dan di Indonesia
digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan
rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO menambahkan 3 obat alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin. Pengobatan dengan multi drug treatment (MDT)
untuk MB adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan dalam pengawasan, DDS 100 mg setiap
hari, dan Klofazimin 300 mg setiap bulan dalam pengawasan selama 24-36 bulan dengan
syarat berhenti yaitu bakterioskopis negatif. MDT untuk PB adalah Rifampisin 600 mg
setiap bulan dalam pengawasan dan DDS 100 mg setiap hari selama 6-9 bulan.1
DDS (Dapson)
DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat berupa tablet
warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat bakteriostatik yaitu
menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis: dewasa 100 mg/hari, anak-anak
1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa anemia hemolitik.1
18
Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap obat
ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakah obat harus
distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau makan, mual, muntah.
Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala vertigo, penglihatan kabur, sulit
tidur, gangguan kejiwaan.1
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi,
tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau
setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.1
Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai
obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama
terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson dan Hastings. Efek samping
yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like
syndrome, dan erupsi kulit.1
Klofazimin
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3
antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu
200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu
kasus dibuktikan pada tahun 1982.1
Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada
sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah
dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat
19
warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit. Pigmentasi bersifat
reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang
hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus.
Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.1
Ofloksasin
Minosiklin
Klaritromisin
IX. Komplikasi
Mycobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan
saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik dan otonom.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman
kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.
Kerusakan saraf pada penderita kusta meliputi:
20
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa (anestesi).
Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada
kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah
kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan berakibat
buta.
X. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan
gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan
kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat
menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat
pengobatan, pada saat pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reaksi kusta paling
sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Reaksi tipe 1 mempunyai ciri khas yaitu timbulnya inflamasi akut dari lesi kulit atau
saraf ataupun keduanya. Reaksi kusta tipe 1 mempunyai onset cepat sering berulang dan
dapat merusak saraf. Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV
dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi tipe 1 diperantarai oleh
21
mekanisme imunitas seluler. Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline
(BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat
terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan
terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya
perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi
akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil. Infeksi Mycobacterium
leprae (M. leprae) dapat memicu ekspresi MYC kelas II pada permukaan sel. Hal ini akan
memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi dengan mediasi sitokin seperti TNF. Pada
dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil
hasilnya dapat terjadi upgrading/ reversal ataupun downgrading. reaksi tipe 1 ini diartikan
reaksi reversal karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan
pengobatan sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun
teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta subpolar, jauh lebih sering terjadi
pada bentuk BB sehingga disebut reaksi borderline. Reaksi ini ditandai dengan lesi yang
bertambah aktif dan/atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Lesi hipopigmentasi
menjadi eritema lesi makula menjadi infiltrat dan lesi meluas.10
Gejala berupa perubahan lesi kulit ataupun saraf akibat peradangan karena antigen M.
leprae terdapat pada saraf dan kulit khususnya sel Schwan dan makrofag. .Manifestasi lesi
kulit berupa kemerahan bengkak nyeri dan panas. Pada saraf dapat terjadi neuritis dan
gangguan fungsi saraf seperti kehilangan kemampuan sensorik dan motorik. Gejala konstitusi
umumnya lebih ringan dibanding reaksi tipe 2. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
reaksi tipe 1 dimulai dalam 12 bulan setelah dimulainya terapi. 11
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Reaksi tipe
2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral. Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL
Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL.Umumnya terjadi pada 1-2 tahun
setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat
pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan
22
kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III
menurut Coomb & Gel.
Manifestasi kulit reaksi tipe 2 berupa lesi eritema luas, nodul inflamasi, dan papul
superfisial atau dalam. Ulkus, nekrosis, pustule,dan bulae juga ditemukan. Neuritis dapat
terjadi sebagai bagian dari reaksi tipe 2 namun neuritis pada reaksi tipe 2 tidak seberat pada
reaksi tipe 1. Reaksi tipe 2 dapat diikuti gejala sistemik seperti demam tinggi, edema perifer
dan proteinuria transien.10
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen
yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk
kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan
dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan
bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari
aktivasi komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4 dan IL-10 (respon tipeTh-2)
serta peningkatan sitokin INF gamma dan TNF alfa produksi antibody limfosit B sebanyak
15%-50%.
Reaksi tipe 2 sering timbul dengan gejala lesi menjadi lebih eritema, mengkilap,
sebagian kecil berupa nodul atau plakat dengan ukuran bermacam – macam, namun pada
umumnya kecil. Lesi terdistribusi bilateral dan simetris terutama di daerah tungkai bawah,
wajah, lengan, dan paha dapat muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala
yang berambut, aksila, lipatan paha, dan perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi, dan
ulserasi, disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan
keterlibatan organ lain sepeSti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan kelenjar limfe. ENL dapat
terjadi diam-diam namun mematikan, terutama pada mata.11
23
pamar dan plantar, pinna, bilateral
biasanya unilateral.
Sistemik Hanya pada pasien MB Ya
Mekanisme Reaktivasi dari respon imun Humoral dan cell mediated
cell-mediated
Histopatologi Granuloma epiteloid Mononuclear dan inflitrasi
PMN
Temuan lab Hanya pada pasien MB Ya
Terapi Prednisone 1mg/kg/hari Thalidomide 100-300mg/hr
atau Prednisone 1mg/kg/hari
Median nerve
Radial Nerve
Wrist drop
Hilangnya sensasi di atas dorsum tangan
Kaki
24
Lateral popliteal nerve
Foot drop
Hilangnya sensasi di atas dorsum kaki dan kaki bagian bawah
Claw toes
Hilangnya sensasi dan berkeringat di atas telapak kaki
Wajah
Facial Nerve : Lagophtalmos
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono
K, Indriatmi W, penyunting. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015: h. 87-102.
2. Budijanto D, Yudianto, Hardhana B, Soenardi TA, penyunting. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2016: h. 175-9.
3. Kamal M, Martini S. Kurangnya konseling dan penemuan kasus secara pasif
mempengaruhi kejadian kecacaran kusta tingkat II di kabupaten sampan. Jurnal
Berkala Epidemiologi. 2015: 3 (3): 290-303.
4. Anonim. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. Kusta. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2015: h. 1-7.
5. Srivastava RK. Training manual for medical officer. New Delhi: Ministry of Health
and Family Welfare; 2012: p. 12-21, 88-110.
6. Aditama TY. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2014: h. 75-8, 117-9.
7. Truman RW, Andrews K, Robbins NY, Adams LB, Krahenbuhi JL, Gillis TP.
Enumeration of Mycobacterium leprae using real-time PCR. PLOS Neglected
Tropical Diseases. 2008: 2 (11): 1-8.
8. Scollard DM. Pathogenesis and pathology of leprosy. Baton Rouge: National
Hansen’s Disease Program; 2017: p. 2.
9. Degang Y, Akama T, Hara T, Tanigawa K, Ishido Y Gidoh M, et.al. Clofazimine
modulates the expression of lipid metabolism proteins in Mycobacterium leprae-
infected macrophages. PLOS Neglected Tropical Diseases. 2012: 6 (12): 1-8.
10. Vionni, Arifputra J. Reaksi Kusta. CDK-242. 2016: 43(7).h. 501-4.
11. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook's Textbook of dermatology. 8th ed.
West Sussex: Wiley Blackwell; 2016.p.32.12-32.14.
12. Nery JAC, Duppre NC, Sales AM, Jardim MR. Contribution to diagnosis and
management of reactional states : a practical approach. Annais Brasillian
Dermatology. 2006; 81(4): p 367-75.
26