Disusun oleh:
Fatimah Alhabsyie
10 777 002
Pembimbing:
dr. Nur Hidayat, Sp. KK
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA DAN UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2016
STATUS PASIEN
BAGIAN KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA PALU
I. Identitas Pasien
1. Nama : Ny. R
2. Umur : 33 Tahun
3. Jenis Kelamin : Wanita
4. Agama : Islam
5. Tanggal masuk poli : 29 Februari 2016
II. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Bentol-bentol kemerahan di wajah, punggung,
dan kedua lengan.
5. Riwayat pengobatan :
Pasien pernah melakukan pengobatan 3 tahun yang lalu di puskesmas dekat
rumah akan tetapi pasien belum mendapatkan pengobatan dikarenakan hasil
laboratorium SGOT dan SGPT pasien tinggi sehingga obat tidak diberikan.
Gambar 1. plak yang eritematus dan batas jelas pada region mandibula dextra
Gambar 2.
Gambar 3
tampak beberapa macula
hipopigmentasi berbatas tegas,
dengan tepi yang eritem. Tampak
plak yang eritematous, batas jelas,
dan beberapa papul-papul.
Gambar 4
tampak beberapa macula hipopigmentasi berbatas tegas, dengan tepi yang eritem.
Tampak plak yang eritematous, batas jelas, dan beberapa nodul-nodul.
V. Resume
Pasien, wanita 33 tahun datang ke poliklinik RSUD UNDATA dengan keluhan
Bentol-bentol kemerahan dikulit dirasakan pada area wajah, punggung, kedua
lengan dan kedua tungkai. Hal dirasakan sejak 3 tahun yang lalu memberat 6
bulan terkahir. Kurang lebih 3 tahun yang lalu pasien mengeluh timbul bercak
kemerahan yang meninggi awalnya timbul seukuran uang logam. Kemudian lesi
bertambah banyak dan semakin lama semakin meluas. Pasien juga mengeluh
sering merasa panas dan nyeri pada lesi dan terkadang jika pasien terbentur benda
persendiaan terasa sangat nyeri. Beberapa lesi pada bagian punggung mengalami
perubahan warna dari bercak merah menjadi berwarna putih dengan tepi yang
kemerahan dan tidak merasa. Pasien juga mengeluh gatal jika keringat.
Riwayat pengobatan :
Pasien pernah melakukan pengobatan 3 tahun yang lalu di puskesmas dekat
rumah akan tetapi pasien belum mendapatkan pengobatan dikarenakan hasil
laboratorium SGOT dan SGPT pasien tinggi sehingga obat tidak diberikan.
IX. Penatalaksanaan :
1. Non-medikamentosa
a. Edukasi pasien :
- informasi tentang penyakit pasien
- pengobatan membutuhkan waktu yang lama dan kepatuhan yang tinggi.
- bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana
misalnya memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam atau
hangat, memakai sepatu untuk melindungi kaki yang terkena, dan
memakai kacamata.
- selain itu diajarkan cara perawatan kulit sehari-hari dimulai dengan
memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan
kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering.
b. Diet bebas
c. Bed rest
2. Medikamentosa :
a. Terapi kusta tipe MB
Minum didepan petugas
- Rifampisin 600 mg/bulan
- DDS 100 mg/bulan
- Clofazimine 300 mg/bulan
Pengobatan harian : (selama 12-18 bulan)
- DDS 100 mg/hari
- Clofazimine 50 mg/hari
b. Kortikosteroid
- Prednison 40 mg selama 2 minggu
c. Analgetik
- Asam mefenamat 500 mg, 3x1
d. Antipiretik
- Paracetamol 500 mg, 3x1
X. Prognosis :
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Quo ad kosmetikan : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Pendahuluan
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India, kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil,
terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Ternyata terdapat berbagai deskripsi mengenai penyakit ini
sangat kabur, apabila disbanding kusta yang kita kenal sekarang.
Kata kusta juga dikenal dengan Lepra atau Morbus Hansen. Penyakit ini adalah
suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan Mycobaterium Leprae,
mikroorganisme yang mempunyai predileksi pada kulit dan saraf. Karakteristik
penyakit ini secara klinis terdiri dari tiga tanda cardinal: lesi kulit hipopigmentasi atau
eritematosa yang disertai hilangnya sensasi sensoris/anesthesia, penebalan saraf
perifer dan BTA postif pada apusan kulit atau material biopsy.
Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke
seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulai Melanesia termasuk Indonesia
diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap Negara
maupun dalam Negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan spisode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul,
terminology dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Menenai patofisiologinya
yang belum jelas itu akan diterangkan secara imunologik.
Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang merupakan
yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta imun patologik, dan reaksi kusta
ini tergolong didalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang
tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu :
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL,
berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya
ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibody (IgM,
IgG) + komplemen kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi
fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan
terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit
kompleks imun, oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka
antibodi dapat terbentuk. Ternyata bahwa kadar immunoglobulin penderita kusta
lepromatosa lebih tinggi dari pada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada
tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL
lebih banyak dari pada saat pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena kuman kusta
yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan
antibody, serta mengaktifkan sestem komplemen. Kompleks imun tersebut terus
beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis,
dan neuritis akut, dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari
ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya
dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT
< TI), sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama
dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor
pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman
M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umunya terjadi pada tempat-tempat
kuman M. leprae berada, yang pada saraf dan kulit, umunya terjadi pada pengobatan
6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak,
oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah
diterngkan terdahulu bahwa yang menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta
yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kea rah TT dan LL dengan
mengikuti naik turunya SI, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS
pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe kearah TT dengan disertai
peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Geala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative
simgkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritematous, lesi makula menjadi
infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrate dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak
perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut
penting diperhatikan, karena sangat menetukan pemberian pengobatan korikosteroid,
sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.
Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan
lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi lepra
nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini penting
membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidaknya diagnosis
reaksi atas dasar lesi, ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau
ENL, jika tidak ada berarti non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff, K., Lowell, A., Stephen, I., Barbara, A., Amy, S., David, J. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine Seventh Edition. The McGraw-Hill: New
York. 2008
2. Wolff, K., Richard, A. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology Sixth Edition. The McGraw-Hill: New York. 2009
3. Sulistyaningrum S.K, Nilasari H, Effendi E.H. Penggunaaan Asam Salisilat
dalam Dermatologi. Journal Indonesia Medical Association. Volume: 62, Nomor
7. 2012
4. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Six
Edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2011