Anda di halaman 1dari 30

UJIAN KASUS

PSORIASIS

Penguji :
dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK

Disusun oleh :
Doni Kristiyono G4A015050

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SODIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

UJIAN KASUS
PSORIASIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


DiBagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui dan dipersentasikan


Pada tanggal Maret 2017

Disusun oleh :
Doni Kristiyono G4A015050

Purwokerto, Maret 2017


Mengetahui,

Penguji

dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga laporan presentasi kasus dengan
judul Psoriasis Vulgaris ini dapat diselesaikan.
Laporan presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di Kepaniteraan
Klinik SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Penulisan presentasi kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:

1. dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK selaku dosen penguji;


2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto;
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis;
4. Rekan-rekan co-assisten Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin dari FK Unsoed;
5. Seluruh pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menyusun tugas
ini.
Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih
memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang. Semoga
laporan presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam
maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Maret 2017

Penulis

3
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 58 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Status : Menikah
Alamat : Banjarnegara
No CM : 00922542

B. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 3 Maret 2017 di poli kulit
RSMS
1. Keluhan Utama:
Kulit mengelupas di seluruh tubuh semenjak 1 minggu terakhir
2. Keluhan Tambahan:
Bercak kemerahan dan menebal di area yang gatal, kulit mengelupas
dan rontok saat baju dibuka.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli kulit RSMS dengan keluhan kulit
mengelupas di bagian dada, punggung, ke dua tangan, dan pada
bagian pantat. Keluhan dirasakan semakin memberat terutama
semenjak 1 mingu terakhir. Pasien mengatakan keluhan ini muncul
semenjak 4 tahun yang lalu, namun pasien membaik dengan
pengobatan. Pasien mengatakan proses pengobatan sempat tidak rutin
karena faktor biaya, sehingga saat ini kembali kumat.
Pasien juga mengatakan mengalami rasa gatal pada bagian
tubuh yang mengelupas dan muncul bercak kemerahan pada kulitnya.
Apabila melepas baju, pasien mengatakan kulitnya kering dan ambrol.
Keluhan dirasakan semakin meberat semenjak 1 minggu yang lalu.
Pasien mengatakan kondisi cukup membaik dengan pengobatan dari
dokter.
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan yang sama (+) 4 tahun yang lalu pertama
muncul
Riwayat Hipertensi (-)

4
Riwayat DM (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Alergi (-)
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat keluhan yang sama (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Alergi (-)

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 3 Maret 2017

D. Status Generalis
Keadaan umum : Baik dan tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
a. Tekanan Darah: 140/90 mmHg
b. Nadi : 80 x/menit
c. Suhu : 36,8oC
d. Rr : 20 x/menit
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Kepala : Mesochepal, rambut hitam dan sebagian berwarna
putih, distribusi merata.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : Tidak hiperemis
Thorax : Simetris, retraksi (-)
a. Jantung : BJ I II reguler, murmur (-), Gallop (-)
b. Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal
KGB : Tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

E. Status Dermatologikus:

5
Lokasi : Rego Thoracal Lokasi : Regio antebrachial sinistra

UKK : plak eritematosa multipel, UKK : plak eritematosa multipel,


multiformis, disertai dengan skuama multiformis, disertai dengan
kasar berwarna putih mengkilat seperti skuama kasar berwarna putih
mika mengkilat seperti mika

Lokasi : Regio Antebrachii Dextra Lokasi : Regio Scapular

UKK : plak eritematosa multipel, UKK : plak eritematosa multipel,


multiformis, disertai dengan skuama multiformis, disertai dengan skuama
berwarna putih mengkilat seperti mika berwarna putih mengkilat seperti mika

Lokasi : Regio Gluteal

6
UKK : plak eritematosa polimorfik dengan skuama halus mengkilat seperti mika

F. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

G. Resume
Tn. K usia 58 tahun datang dengan keluhan kulit mengelupas dan
boersisik di seluruh tubuh. Keluhan dirasakan semakin memberat semenjak
1 minggu terakhir. Sebelumnya, pasien pernah mengalami keluhan yang
sama pertamakali semenjak 4 tahun yang lalu. Pasien tidak rutin kontrol ke
dokter kulit dikarenakan masalah biaya, sehingga kambuh. Pasien juga
mengeluhkan bagian kulit menjadi berwarna kemerahan, tebal, dan gatal.
Pasien mengatakan apabila membuka baju, kulitnya menjadi ambrol. Pasien
mengatakan keluhan gatal membaik setelah meminum obat dari dokter.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien nampak
baik. Dari pemeriksaan dermatologi, didapatkan plak eritematosa dengan
ukuran berfariasi, multipel, multiformis, dengan skuama putih mengkilat
seperti mika di regio thoracal, anterobrachial, dextra et sinistra, scapular,
lumbal dan gluteal,
.
H. Diagnosis Kerja
Psoriasis

7
I. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Numular
2. Neurodermatitis
3. Tinea Korporis
4. Parapsoriasis

J. Pemeriksaan Anjuran
Histopatologi
Ditemukan adanya parakeratosisi dan akantosis. Pada stratum
spinosusm terdapat kelompok leukosit. Pada sub epidermis terdapat
papilomatosis dan vasodilatasi.

K. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
MTX tablet 2,5 mg diberikan 3x/minggu selama 14 hari
Hari sabtu jam 7 malam ( 1x1)
Hari Minggu jam 7 pagi ( 1x1)
Hari minggu jam 7 malam (1 x 1)
Asam folat tablet 5mg 1 kali per hari
Curcuma tab 1 kali per hari
Antihistamin : Cetirizin tab 10mg 1 kali per hari
Topikal:
- Desoxymethason tube II
- Asam salisilat 3%
- LCD 5% da in pot, dioles 2 kali sehari
- Soft U derm II
- Vaseline albumin ad 200 gram
2) Edukasi pasien :
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang dideritanya
Menyarankan untuk menghindari faktor-faktor yang mencetuskan
kekambuhan penyakit (menghindari stress)
Menjelaskan untuk teratur dan taat kontrol dan konsumsi obat, salep
untuk pengobatan penyakitnya
Menjaga higienitas kulit
L. Prognosis

8
1) Quo ad vitam : ad bonam
2) Quo ad functionam : dubia ad bonam
3) Quo ad kosmeticum : dubia ad malam
4) Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya adalah autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan , disertai
fenomena tetesan lilin, auspitz, dan kobner (Djuanda, 2008).
Psoriasis vulgaris yang paling sering ditemukan pada kurang lebih 90%
pasien. Plakat eritematosa, berbatas tegas, berskuama dan tersebar simetris

9
merupakan gambaran khas,terdapat di daerah ekstensor ekstermitas (terutama
siku dan lutut),skalp,lumbosakral bawah,bokong dan genital. Lesi kecil
maupun besar dapat meluas dan berkonfluens membentuk plakat atau plakat
lebih besar sehinga membentuk gambaran khas (James, et.al., 2006)

B. Epidemiologi
Studi epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi
psoriasis berkisar antara 0,6 sampai 4,8%. Prevalensi psoriasis bervariasi
berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Terdapatnya variasi prevalensi
psoriasis berdasarkan wilayah geografis dan etnis menunjukkan adanya
peranan lingkungan fisik ( psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah
beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya
terhadap perkembangan psoriasis. Di Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada
kurang lebih 2% populasi dengan ditemukannya jumlah kasus baru sekitar
150,000 per tahun. Insidensi yang rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya
Jepang (Langley, et.al., 2005).
Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.
Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih
sering terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang
meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis,
ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda (<2 0 tahun)
prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria
(Gudjonsson dan Elder, 2008).
Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi saat
lahir dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset usia
psoriasis mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena
biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan
rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa penelitian
berskala besar telah menunjukkan bahwa usia rata-rata penderita psoriasis
episode pertama yaitu berkisar sekitar 15-20 tahun, dengan usia tertinggi
kedua pada 55-60 tahun. Sementara penelitian lainnya misalnya studi
prevalensi psoriasis di Spanyol, Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa

10
terdapat penurunan prevalensi psoriasis dengan meningkatnya usia (Neimann,
et.al. 2006).

C. Etiopatogenesis
Penyebab penyakit psoriasis belum diketahui meskipun telah dilakukan
penelitian dasar dan klinis secara intensif. Diduga merupakan interaksi antara
faktor genetik, sistem imunitas, dan lingkungan (Schon dan Boehncke, 2005).
1. Faktor Genetik
Bila orangtua tidak menderita psoriasis maka risiko mendapat psoriasis
sebesar 12%, sedangkan bila salah satu orang tua menderita psoriasis maka
risiko terkena psoriasis meningkat menjadi 34-39%. Berdasarkan awitan
penyakit dikenal dua tipe yaitu (Schon dan Boehncke, 2005):
a. Psoriasis tipe I dengan awitan dini dan bersifat familial.
b. Psoriasis tipe II dengan awitan lambat dan bersifat nonfamilial.
Hal lain yang menyokong adanya faktor genetik adalah bahwa psoriasis
berkaitan dengan HLA. Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17,
Bw57 dan Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw2,
sedangkan psoriasis. Pada analisa Human Leukocyte Antigen (HLA) yang
spesifik dalam suatu populasi, didapatkan bahwa suseptibilitas terhadap
psoriasis berhubungan dengan Major Histocompatibility Complex (MHC)
klas I dan II pada atau dekat dengan kromosom 6 dan lainnya berada di
kromosom 17. Lokus Psoriasis Susceptibilitas 1 (PSORS1) dianggap lokus
yang terpenting untuk suseptibilitas psoriasis. Hal ini disebabkan PSORS1
berkaitan lebih dari 50% kasus psoriasis. Lokus suseptibilitas lainnya berada
pada kromosom 17q25 (PSORS2), 4q43 (PSORS3), 1q (PSORS4), 3q21
(PSORS5), 19p13 (PSORS6) dan 1p (PSORS7). Pada onset awal yang
merupakan psoriasis tipe I diperoleh hubungan dengan HLA-Cw6, HLA-B57,
dan HLA-DR7. Sedangkan pada onset lanjutan yang merupakan tipe 2
didapatkan gambaran HLA-Cw2 menonjol. Individu yang memiliki HLA-
B17 dan HLA-B13 memiliki kemungkinan untuk menderita psoriasis 5 kali
lebih banyak dari individu normal ( Barker, 2001; Schon dan Boehncke,
2005).

11
2. Faktor Imunologik
Defek genetik pada psoriasis dapat diekspresikan pada salah satu dari
ketiga jenis sel yaitu limfosit T, sel penyaji antigen (dermal) atau keratinosit.
Keratinosit psoriasis membutuhkan stimuli untuk aktivasinya. Lesi psoriasis
umumnya ditemukan limfosit T di dermis yang terutama terdiri atas limfosit T
CD4 dengan sedikit limfositik dalam epidermis. Sedangkan pada lesi baru
pada umumnya lebih didominasis oleh sel limfosit T CD8. Pada lesi psoriasis
terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya bertambah. Sel Langerhans juga
berperan dalam imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis
dimulai dengan adanya pergerakan antigen baik endogen maupun eksogen
oleh sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat, hanya
3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari (Gaspari; 2006).
3. Faktor Pencetus
Faktor pencetus dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor lokal dan faktor
sistemik (Gudjonsson dan Elder, 2008) :
a. Faktor pencetus lokal terjadinya psoriasis antara lain trauma, paparan
sinar ultraviolet, dan lokasi atau posisi anatomis. Berbagai trauma baik
fisik, kimiawi, bedah, infeksi dan peradangan dapat memperberat atau
mencetuskan lesi psoriasis. Lesi psoriasis yang berbentuk plakat dan
terjadi pada tempat trauma disebut dengan Fenomena Koebner. (Schon
dan Boehncke, 2005; Gudjonsson dan Elder, 2008).

12
b. Sedangkan faktor pencetus sistemik antara lain: infeksi, obat, konsumsi
alkohol, stres, endokrin, dan infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan terjadinya
psoriasis vulgaris. Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi
sebagai superantigen yang dikemudian hari akan meningkatkan aktivasi
sel limfosit T, makrofag, sel Langerhans, dan keratinosis. Infeksi
tenggorokan yang disebabkan oleh spesies Streptococcus -hemoliticus
juga sering dikaitkan dengan eksaserbasi psoriasis. Beberapa obat yang
dapat mencetuskan perkembangan lesi psoriasis antara lain: NSAID,
lithium, ACE inhibitor, gemfribosil, dan -blocker (Ashcroft, et.al., 2000).
Mekanisme eksaserbasi psoriasis akibat obat-obatan lainnya belum
diketahui. Konsumsi alkohol juga dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis
walaupun mekanismenya belum diketahui. Hubungan antara stres dan
eksaserbasi psoriasis belum terlalu jelas namun diduga karena mekanisme
neuroimunologis. Psoriasis dilaporkan akan bertambah buruk dengan
timbulnya stres yaitu pada 30-40% kasus. Pada saat periode
premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh. Angka kejadian
psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan diduga
peranan dari faktor endokrin. Psoriasis pada penderita HIV lebih berat
karena terjadi defisiensi sistem imun (Gudjonsson dan Thorarinsson,
2003).

D. Derajat Keparahan Psoriasis


Banyak cara yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan
psoriasis, namun yang sering digunakan adalah metode Fredriksson T,
Pettersson U (1987) yang telah banyak dimodifikasi oleh peneliti lain.
Psoriasis Area and Severity Index (PASI) adalah metode yang digunakan
untuk mengukur intensitas kuantitatif penderita berdasarkan gambaran klinis
dan luas area yang terkena, cara ini digunakan ntuk mengevaluasi perbaikan
klinis setelah pengobatan. PASI merupakan baku emas pengukuran tingkat
keparahan psoriasis. Beberapa elemen yang diukur oleh PASI adalah eritema,
skuama dan ketebalan lesi dari setiap lokasi di permukaan tubuh seperti
kepala, badan, lengan dan tungkai. Bagian permukaan tubuh dibagi menjadi 4

13
bagian antara lain: kepala (10%), abdomen, dada dan punggung (20%),
lengan (30%) dan tungkai termasuk bokong (40%). Luasnya area yang
tampak pada masing-masing area tersebut diberi skor 0 sampai dengan 6
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
Karakteritis klinis yang dinilai adalah; eritema (E), skuama (S), dan
ketebalan lesi/indurasi (T). Karakteristik klinis tersebut diberi skor sebagai
berikut; tidak ada lesi =0, ringan=1, sedang=2, berat=3 dan sangat berat=4.
Nilai derajat keparahan diatas dikalikan dengan weighting factor sesuai
dengan area permukaan tubuh; kepala = 0,1, tangan/lengan = 0,2, badan =
0,3, tungkai/kaki = 0,4. Total nilai PASI diperoleh dengan cara menjumlahkan
keempat nilai yang diperoleh dari keempat bagian tubuh. Total nilai PASI
kurang dari 10 dikatakan sebagai psoriasis ringan, nilai PASI antara 10-30
dikatakan sebagai psoriasis sedang, dan nilai PASI lebih dari 30 dikatakan
sebagai psoriasis berat (Feldman dan Krueger, 2005).
Tabel 2.1 Lembar Psoriasis and severity index (PASI)

14
Gambar 2.1 Psoriasis Severity Scoring

E. Manifestasi Klinis
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasi yang menjadi
eritroderma. Sebagian pasien mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi scalp,
perbatasan scalp dengan wajah, ekstremitas terutama bagian ekstensor
dibagian siku dan lutut serta daerah lumbo sakral (Djuanda, 2013).

Gambar 2.2 Predileksi Psoriasis


Kelainan kulit terdiri dari bercak-bercak eritema yang meninggi (plak)
dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskripta dan merata pada masa
penyembuhannya seringkali eritema ditengah menghilang dan hanya terdapat
dipinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika serta
transparan (Geng, et.al., 2009).
Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah ,
papul dan berkembang menjadi kemerahan , plak berbatas tegas. Pada pasien
psoriasis dengan kulit gelap, distribusi hampir sama , namun papul dan plak
berwarna keunguan dengan sisik abu-abu (Djuanda, 2013).
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin , auspitz dan kobner.
Kedua fenomena yaitu tetesan lilin dan auspitz dianggap khas sedangkan
fenomena kobner dianggap tidak khas. Fenomena tetesan lilin adalah skuama
yang berupa warnanya menjadi putih pada goresan seperti lilin yang digores,
disebabkan oleh indeks bias. Cara menggoresnya bisa dengan pinggir gelas
alas (Djuanda, 2013).

15
Pada fenomena auspitz tampak serum atau darah bintik bintik yang
disebabkan oleh papilomatosis. Cara melakukan auspitz adalah dengan cara
skuama yang berlapis-lapis itu dikerok dengan ujung gelas alas. Setelah
skuama habis maka pengerokan harus dilakukan dengan pelan-pelan karena
jika terlalu dalam tidak tampak perdarahan yang berupa bintik-bintik
melainkan perdarahan merata (Djuanda, 2013).
Trauma pada kulit penderita psoriasis misalnya trauma akibat garukan
dapat menyebabkan kelainan kulit yang sama dengan psoriasis dan disebut
fenomena koebner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu (Djuanda, 2013).

Tetesan Lilin

Gambar 2.3 Gambaran fenomena tetesan lilin, auspitz sign


dan fenomena koebner

Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sebanyak kira-


kira 50% yang agak khas yaitu yang disebut dengan pitting nail atau nail pit
yang berupa lekukan-lekukan miliar. Kelainan yang tidak khas yaitu kuku
yang keruh , tebal, bagian distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk
dibawahnya (hyperkeratosis subungual), onikodistrofi dan onikolisis
(Djuanda, 2013).

Bercak kekuningan Onkilosis distal


dibawah lempeng kuku 16
Onkidistrofi
Pitting Nail Gambar 2.4 Gambaran Kelainan Kuku pada Psoriasis
Pemeriksaan Histopatologi
Menurut Gudjonsson dan Elder (2012) beberapa perubahan patologis pada
psoriasis yang dapat terjadi pada epidermis maupun dermis adalah sebagai
berikut:
1. Hiperkeratosis adalah penebalan lapisan korneum.
2. Parakeratosis adalah terdapatnya inti stratum korneum sampai
hilangnya stratum granulosum.
3. Akanthosis adalah penebalan lapisan stratum spinosum dengan
elongasi rete ridge epidermis.
4. Granulosit neutrofilik bermigrasi melewati epidermis membentuk
mikro abses munro di bawah stratum korneum.
5. Peningkatan mitosis pada stratum basalis.
6. Edema pada dermis disertai infiltrasi sel-sel polimorfonuklear,
limfosit, monosit dan neutrofil.
7. Pemanjangan dan pembesaran papila dermis.

Gambar 2.5 Gambaran histopatologi Psoriasis Vulgaris

F. Diagnosis
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan histopatologi. Apabila ditemukan fenomena tetesan lilin,

17
fenomena Auzpitz dan fenomena Koebner dapat memberikan diagnosis yang
tepat (Schon dan Boehncke, 2005; Gudjonsson dan Elder, 2012).

G. Diagnosis Banding
Jika gambaran klinisnya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis. Kalau
tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang
tergolong dermatosis eritoskuamosa. Pada diagnosis banding hendaknya
selalu diingat bahwa pada psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas, yakni
skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetesan lilin, dan
fenomena auspitz (Djuanda, 2013).
Dermatitis Numularis (Siregar, 2004; Djuanda, 2013)
Peradangan kulit yang bersifat kronis, ditandai dengan lesi
berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong , berbatas tegas
dengan efloresensi berupa papulovesikel yang biasanya mudah
pecah sehingga basah.
Pasien mengeluh sangat gatal.
Pada tepi plak muncul lesi papulovesikel kecil kemudian
berkonfluens dengan plak tersebut sehingga lesi meluas. Diameter
plak biasanya berukuran 1-3 cm.
Penyembuhan dimulai dari tengah.
Dalam 1-2 minggu lesi memasuki fase kronik berupa plak dengan
skuama dan likenifikasi
Jumlah lesi dapat hanya satu atau multipel, lokalisasi biasanya
punggung kaki, punggung tangan, bagian ekstensor ekstremitas,
bokong dan bahu.
Gambaran histopatologinya, epidermis : berupa hiperkeratosis,
akantosis, edema interselular dan pada dermis terjadi pelebaran
ujung pembuluh darah dan sebukan sel-sel radang limfosit,
monosit.

18
Gambar 2.6 Dermatitis Numularis
Neurodermatitis (Djuanda, 2013)
Peradangan kulit kronis, gatal, sirkumpskrip, ditandai dengan kulit
tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) akibat
garukan atau gosokan berulang-ulang.
Sangat gatal. Rasa gatal biasanya timbul pada waktu tidak sibuk.
Penderita merasa nyaman bila digaruk.
Rasa gatal timbul akibat penyebab yang mendasari, misalnya :
gagal ginjal kronik, hipertiroid, dermatitis atopi, DKA, gigitan
serangga, aspek psikologi, emosi.
Lesi biasanya tunggal, awalnya berupa plak eritomatosa, sedikit
edematosa, lambat laun edema dan eritema menghilang.
Bagian tengah berskuama dan menebal, likenifikasi, ekskoriasi,
skuama, daerah sekitar hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal
tidak jelas.

Gambar 2.7 Neurodermatitis

Tinea Korporis (Siregar, 2004)


Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan
dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah ,
badan , lengan dan tungkai.
Golongan jamur dermatofita yang sering menyebabkan tinea
korporis adalah epidermophyton floccosum atau tinea rubrum.
Efloresensi : lesi berbentuk makula/ plak yang merah/
hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan penyembuhan sentral. Pada
tepi lesi dijumpai papula-papula eritematosa atau vesikel. Pada
perjalanan penyakit yang kronik dapat dijumpai likenifikasi.
Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis.
Pada kerokan kulit dengan KOH 10% dijumpai hifa.

19
Gambar 2.8 Tinea Korporis

Parapsoriasis (Djuanda, 2013)


Penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada umumnya
tanpa keluhan, lesi kulit terutama berupa eritema dan skuama,
berkembang perlahan dan bersifat kronik.
Pada umumnya parapsoriasis dibagi 3 yaitu :
a. Parapsoriasis gutata
Kelainan kulit terdiri atas papul miliar serta lentikular,
eritema dan skuama, dapat hemoragik, kadang-kadang
berkonfluensi dan umumnya simetris.
Predileksi : badan , lengan atas, dan tungkai atas.
b. Parapsoriasis variegata
Kelainan kulit terdir atas skuama dan eritema yang
bergaris-garis. Kelainan terdapat pada badan , bahu, dan
tungkai, bentuknya seperti kulit zebra.
c. Parapsoriasis en plaque
Kelainan kulit terdiri atas bercak eritematosa,
permukaan datar, bulat atau lonjong, diameter + 2,5 cm
dengan sedikit skuama, berwarna merah jambu, coklat
atau agak kuning. Kelainan ini terdapat pada badan dan
ekstremitas. emitas sisi fleksor, selaput lendir, dan alat
kelamin. Pasien biasanya merasa sangat gatal, dan
gejala ini bisa menetap hingga waktu 1-2 tahun. Selain
itu, terdapat pula lesi patognomonik di mukosa, yaitu
papul polygonal, datar dan berkilat, serta kadang
ditemukan delle.

20
Gambar 2.9 Parapsoriasis en palque

H. Tatalaksana
Berikut adalah algoritma tatalaksana psoriasis menurut Dermatological
Society of Malaysia.

21
Menurut dermatological society of Malaysia, secara garis besar,
pengobatan pada psoriasis terdiri dari pengobatan secara topikal, pengobatan
secara sistemik, fototerapi dan biological terapi.

1. Pengobatan secara topikal menurut dermatological society of Malaysia


a. Preparat Ter
Obat topikal yang biasanya digunakan adalah preparat ter, yang
efeknya adalah anti radang. Menurut asalnya preparat ter terbagi
menjadi 3 bagian, yakni berasal dari :
Fosil, misalnya iktiol.
Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski.
Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens
Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektif untuk
psoriasis, yang cukup efektif ialah yang berasal dari batubara dan
kayu. Ter dari batubara lebih efektif dari ter yang berasal dari kayu,
sebaliknya kemungkinan memberikan iritasi juga besar. Pada psoriasis
yang telah menahun lebih baik digunakan ter yang berasal dari
batubara, karena ter tersebut lebih efektif daripada ter yang berasal
dari kayu dan pada psoriasis yang menahun kemungkinan timbulnya
iritasi kecil. Sebaliknya pada psoriasis akut dipilih ter dari kayu,

22
karena jika dipakai ter dari batu bara dikhawatirkan akan terjadi iritasi
dan menjadi eritroderma.
Ter yang berasal dari kayu kurang nyaman bagi penderita karena
berbau kurang sedap dan berwarna coklat kehitaman. Sedangkan
likuor karbonis detergens tidak demikian. Konsentrasi yang biasa
digunakan 2-5%, dimulai dengan konsentrasi rendah, jika ada
perbaikan , konsentrasi dinaikkan. Supaya lebih efektif, maka daya
penetrasi harus dipertinggi dengan cara menambahkan asam salisilat
dengan konsentrasi 3-5%. Sebagai vehikulum harus digunakan salap
karena salap mempunyai daya penetrasi terbaik.
b. Ditrhanol (Atralin)
Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya adalah mewarnai kulit
dan pakaian. Konsentrasi yang digunakan biasanya 0,2-0,8 % dalam
pasta , salep atau krim. Lama pemakaiannya hanya - jam sehari
sekali mencegah iritasi. Penyembuhan dalam 3 minggu. Ditrhanol
biasa digunakan pada psoriasis dengan plak yang lebar dan tebal.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid sangat efektif untuk pengobatan psoriasis dalam
jangka pendek. Namun, apabila digunakan pada lesi yang luas dan
dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan atrofi kulit
dan penyerapan sistrmik. Kortikosteroid potensi lemah digunakan
pada wajah, alat kelamin dan lipatan tubuh. Penggunaan
kortikosteroid potensi kuat tidak boleh melebihi 4 minggu sedangkan
penggunaaan kortikosteroid potensi sangat kuat tidak boleh melebihi 2
minggu.
d. Vitamin D analog
Calcipotriol adalah sintetik vitamin D. Preparatnya berupa salep
atau krim 50mg/g. Perbaikan setalah satu minggu. Efektivitas salep ini
sedikit lebih baik daripada salap betametason 17-valerat. Efek
sampingnya pada 4-20% berupa iritasi , yakni rasa terbakar dan
tersengat , dapat pula terlihat eritema dan skuamasi. Rasa tersebut
akan hilang setelah beberapa hari obat dihentikan.
e. Calcineurin Inhibitor

23
2. Pengobatan secara sistemik menurut dermatological society of Malaysia
a. Metotrexate
Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim dihidrofolat
reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat dan purin. Obat ini
menunjukan hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel
B karena adanya efek hambatan sintesis.
Indikasinya adalah psoriasis vulgaris, psoriasis pustulosa, psoriasis
arthritis dengan lesi kulit dan eritoderma karena psoriasis yang sukar
terkontrol dengan obat standar. Kontraindikasinya adalah bila ada
kelainan hepar, ginjal, sistem hematopoetik, kehamilan, pemyakit
infeksi aktif (misalnya TBC, ulkus peptikum, colitis ulserosa dan
psikosis).
Pada awalnya metotrexate diberikan dengan dosis inisial 5 mg. Jika
tidak terjadi efek yang tidak diinginkan maka MTX diberikan dengan
dosis 3 x 2,5 mg dengan intervak 12 jam selama seminggu dengan
dosis 7,5 mg. Jika tidak ada perbaikan maka dosis dinaikan 2,5 5 mg
per minggu dan biasanya dosisnya 3 x 5 mg akan tampak ada
perbaikan. Cara lain adalah dengan pemberian MTX I.M dosis tunggal
7,5 25 mg. Tetapi dengan cara ini lebih banyak menimbulkan reaksi
sensitivitas dan reaksi toksik.
Setiap 2 minggu dilakukan pemeriksaan hematologi, urin lengkap,
fungsi ginjal dan fungsi hati. Bila jumlah leukosit < 3500 u/l maka
pemberian MTX dihentikan. Bila fungsi hepar baik maka dilakukan
biopsy hepar setiap kali dosis mencapai dosis total 1,5 gram, tetapi
bila fungsi hepar abnormal maka dilakukan biopsy hepar dosis total
mencapai 1 gram.
Efek samping dari penggunaan MTX adalah nyeri kepal, alopecia,
saluran cerna, sumsum tulang, hepar dan lien. Pada saluran cerna
berupa nausea, nyeri lambung, stomatitis ulcerosa dan diare. Pada
reaksi yang hebat dapat terjadi enteritis hemoragik dan perforasi
intestinal. Depresi sumsum tulang menyebabkan timbulnya
leukopenia, trombositopenia, dan anemia. Pada hepar dapat terjadi
fibrosis dan sirosis.
b. Asitretin

24
Asitretin merupakan metabolit aktif etretinat yang utama. Efek
sampingnya dan manfaatnya serupa dengan etretinat. Kelebihannya,
waktu paruh eliminasinya hanya 2 hari, dibandingkan dengan etretinat
yang lebih dari 100 hari. Dosis untuk terapi awal 0,5-1 mg /kg/hari
selama 2-4 minggu.
c. Siklosporin
Siklosporin berikatan dengan siklofilin selanjutnya menghambat
kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent kalsium
dan memengang perananan dalam defosforilasi protein regulatir di
sitosol, yaitu NFATc (Nuclear Faktor of Activated T Cell). Setelah
mengalamo defosdorilasi, NFATc ini mengalami translokasi ke dalam
nukleus untuk mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam
sintesis sitokin , terutama IL-2. Siklosporin juga mengurangi produksi
IL-2 dengan cara meningkatkan ekspresi TGF-B yang merupakan
penghambat kuat aktivasi limfosit T oleh IL-2. Meningkatnya ekspresi
TGF-B diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan
siklosporin.
Efeknya adalah imunosupresif. Dosisnya 1-4 mg/kgbb/hari.
Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksis. Hasil pengobatan untuk
psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi
kekambuhan.
3. Terapi Biologic menurut dermatological society of Malaysia
Obat biologic merupakan obat yang baru dengan efeknya memblok
langkah molekular spesifik yang penting pada patogenesis psoriasis.
Contoh obatnya adalah alefaseb, efazilumab, dan TNF-a antagonis.
4. Fototerapi menurut dermatological society of Malaysia
Fototerapi diindikasikan untuk pasien dengan psoriasis sedang sampai
plak kronis yang parah. Seperti diketahui sinar ultraviolet mempunyai efek
menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan
psoriasis. Cara yang terbaik adalah penyinaran secara alamiah, tetapi
sayang tidak dapat diukur dan jika berlebihan akan memperberat psoriasis.
Karena itu digunakan sinar ultraviolet atrifisial, diantaranya sinar A yang
dikenal dengan UVA. Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau
kombinasi dengan psoralen (8-metoksiosoralen metoksalen) dan disebut

25
PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai
pengobatan cara geockerman.
Dapat juga digunakan UVB untuk pengoabatan psoriasis tipe plak,
gutata, pustular, dan eritroderma. Pada yang tipe pak dikombinasikan
delan salep LCD 5-7% yang dioleskan sehari dua kali. Sebelumsinar
dicuci dahulu. Dosis UVB pertama 12-23 m J menurut tipe kulit,
kemudian dinaikan berangsur-angsur. Diberikan seminggu 3 kali. Target
pengobatan ialah pengurangan 75% skor PASI (Psoriasis Area dan
Severity Index). Hasil baik dicapai 73.3% kasus terutama tipe plak.

I. Prognosis
Psoriasis tidak menyebabkan kematian tetapi menganggu kosmetik karena
perjalanan penyakitnya bersifat kronik dan residif (Siregar, 2004).

26
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis psoriasis vulgaris didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan


fisik terhadap status dermatologis pasien, yaitu didapatkan hasil pasien mengeluh
gatal-gatal dirasakan di kedua siku dan di kedua kaki. Gatal dirasakan sudah
bertahun-tahun dan hilang timbul atau kambuh-kambuhan. Jika gatal menyerang,
pasien sering menggaruk dengan keras akibat garukan ini kulit pasien seringkali
menjadi luka. Daerah yang gatal berbentuk plak eritem berbatas tegas disertai
dengan skuama tebal berlapis-lapis. Pasien mengaku bahwa saat ini sedang
banyak pikiran.
Hasil anamnesis pada pasien ini sesuai dengan Adhi Juanda pada Ilmu
Penyakit Kulit FKUI bahwa :

1. Penderita mengeluh gatal, rasa gatal memang tidak terus menerus, biasanya
pada waktu tidak sibuk, bila muncul sulit ditahan untuk tidak digaruk.
2. Keluhan timbul dipengaruhi oleh aspek psikologis atau stress sebagai faktor
pencetus.
Dari pemeriksaan status dermatologis ini sesuai dengan Adhi Juanda pada
Ilmu Penyakit Kulit FKUI:

1. Tempat predileksinya pada ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta


lutut.

27
2. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama tebal diatasnya. Skuama berlapis-lapis , kasar dan berwarna putih
seperti mika serta transparan.

Prognosis untuk penyakit psoriasis vulgaris tidak menyebabkan kematian tetapi


menganggu kosmetik karena perjalanan penyakitnya bersifat kronik dan residif

BAB IV
KESIMPULAN

1. Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya adalah autoimun, bersifat


kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan , disertai
fenomena tetesan lilin, auspitz, dan kobner
2. Pada pasien Tn. K, pencetus terjadinya gatal dikarenakan stress emosional
atau saat banyak beban pikiran.
3. Terapi psoriasis vulgaris dengan menggunakan obat sistemik dan obat
topikal.

28
DAFTAR PUSTAKA

Barker,J.N. 2001.Genetic Aspect of psoriasis. Clinical and Experimental


Dermatology Journal (26) 321-325
Dermatological society of Malaysia. 2013. Management of Psoriasis Vulgaris.
Malaysia : Putra Jaya
Djuanda, A. 2013.Psoriasis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran FK UI
Feldman, S.R. dan Krueger, G.G. 2005. Psoriasis Assessment Tools in Clinical
Trials. Journal of American Academy of Dermatology (64): ii65
ii68
Gaspari, A.A. 2006. Innate and Adaptive Immunity and the Patophysiology of
Psoriasis. Journal of American Academy of Dermatology (53): 94-
100
Geng, A., Mcbean, J., Zeikus, P.S. 2009. Psoriasis. Dermatology for Skin of
Color. New York : Graw Hill
Gudjonsson, J.E. dan Thorarinsson, A.M. 2003. Streptococcal Throat Infections
and Excerbation of Chronic Plaque Psoriasis: a prospective study.
British Journal of Dermatology (149):530-400
Gudjonsson, J.E. dan Elder, J.T. 2012. Psoriasis. Dermatology in General
Medicine Edisi 7. New York : McGraw-Hill
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2006. Psoriasis. Andrews Disease of
the Skin Clinical Dermatology 10th. Philadelphia: Saunders Elsevier
Langley, R., Krueger, G., Griffiths, C. 2005. Psoriasis: epidemiology, clinical
features, and quality of life. British Journal of Dermatology ( 64):
18- 23.

29
Neimann, A., Porter, S., Gelfand, J. 2006. The epidemiology of psoriasis.
Expert Revition Dermatology (1) : 63-75
Schon, M.P. dan Boehncke, W.H. 2005.Psoriasis. New England Journal of
Medicine (18): 1899-1909
Siregar, R.S. 2004. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC

30

Anda mungkin juga menyukai