Anda di halaman 1dari 22

1

PRESENTASI KASUS

“Drug – induced pemphigus”

Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh:

Putri Rahmawati Utami

G4A016113

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2017
2

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul :


“Drug – induced pemphigus”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :

Putri Rahmawati Utami

G4A016113

Disetujui dan disahkan:


Tanggal Juni 2017

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


3

I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. Agus Tomo
2. Usia : 39 tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status : menikah
5. Agama : Islam
6. Suku : Jawa

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Muncul lenting-lenting berwarna kemerahan di seluruh tubuh.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto dengan keluhan muncul lenting-lenting kemerahan di
seluruh badan. Keluhan dirasakan sejak 6 bulan sebelum datang ke poli kulit
dan kelamin RSMS. Lenting-leniting tersebut terasa sakit, dan mebaik ketika
diberi salep. Awalnya pasien meminum obat DM yaitu metformin
dikarenakan gula darahnya tinggi. Setelah itu mulailah muncul lenting lenting
kemerahan yang awalnya hanya berada di tangan, namun akhirnya merembet
hingga hampir selurah tubuh pasien. Tak lama setelah itu pasien kembali ke
poli penyakit kulit dengan keluhan badan terasa lemas dan lenting-lenting
makin banyak, akhirnya dokter di poli kulit RSMS memutuskan untuk pasien
di rawat inapkan. Karena kondisi menurun, maka pasien dirawat inapkan dan
dilakukan foto rontgen. Hasil dari foto rontgen menunjukkan bahwa pasien
menderita TB paru, akhirnya pasien diberikan obat OAT untuk mengobati TB
paru nya. Tak lama setelah diberi obat TB, pasien dipulangkan karena lenting-
lenting pada tubuhnya membaik. Setelah meminum OAT kurang lebih 10
4

hari, muncul lenting-lenting kembali dan ini lebih parah dari sebelumnya,
lenting-lenting muncul dengan ukuran lebih besar dari sebelumnya, merata
diseluruh tubuh dan mudah pecah. Akhirnya pasien dibawa ke IGD RSMS
untuk mendapatkan penanganan segera.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mengalami penyakit serupa diakui, Riwayat alergi obat diakui
(antalgin, ciprofloxacin), Riwayat demam sebelumnya disangkal, Riwayat
batuk lama disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien mempunyai riwayat menderita keluhan yang sama dan pada
keluarganya di akui meiliki riwayat alergi (makanan seperti udang, ikan laut,
telur, debu, maupun obat-obatan).
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di rumah dengan seorang istri. Pasien memiliki 3 orang
anak yang sedang mondok di pesantren. Kesehariannya pasien merupakan
seorang pegawai swasta biasa.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis / GCS E4M6V5
c. Vital Sign
1) TD : 130/80 mmHg
2) Nadi : 86 x/menit, isi dan tegangan cukup
3) RR : 20 x/menit
4) Suhu : 37° C

d. Antropometri
1) Tinggi badan : 160 cm
2) Berat badan : 50 kg
5

3) Status gizi : 19,53 (Normoweight)


e. Status Generalis :
1) Kepala : Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata
2) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
3) Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-/-)
4) Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
5) Mulut : Mukosa bibir dan mulut kering, krusta +, sianosis (-)
6) Tenggorokan : T1 – T1 tenang , tidak hiperemis
7) Thorax : Simetris, retraksi (-)
8) Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), gallop (-)
9) Paru : SD vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-)
10) Abdomen : Supel, datar, BU (+) normal, hepar/lien ttb
11) Ekstremitas : Akral hangat, edema (+/+/+/+), sianosis (-)
2. Status Dermatologis
a. Lokasi : Regio facialis, regio brachialis dextra-sinistra, regio
cruris dextra-sinistra, regio thorakalis, regio abdominalis, regio manus dan
palmaris.
b. Efloresensi : makula hiperpigmentasi berbatas tegas dengan
ekskoriasi, generalisata.
6

Gambar 1.1 Ujud kelainan kulit berupa makula hiperpigmentasi berbatas


tegas dengan ekskoriasi, generalisata (Sumber: Dokumentasi pribadi).

D. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap, GDS, GDP, GD2PP, kimia klinik, elektrolit.

E. Resume
Pasien atas nama Tn. AT berusia 39 tahun datang dengan lenting-lenting
kemerahan sejak awal meminum obat metformin sekitar 6 bulan sebelum datang
ke poliklinik kulit dan kelamin RSMS. Keluhan bertambah memberat ketika
pasien dinyatakan mengidap TB paru dan meminum obat OAT. Keluhan lenting-
lenting menjadi makin membesar dan mudah pecah. Akhirnya keluarga pasien
memutuskan untuk membawa pasien ke IGD RSMS untuk mendapatkan
penanganan.
7

Riwayat keluhan serupa sebelumnya diakui pasien. Riwayat pada keluarga


memiliki keluhan serupa diakui pasien. Pasien sebelumnya pernah memiliki alergi
obat, yaitu antalgin dan antibiotik ciprofloxacin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan wujud kelainan kulit berupa makula
hiperpigmentasi berbatas tegas dengan ekskoriasi, generalisata.

F. Diagnosis Kerja
Drug – induced pemphigus

G. Diagnosis Banding
1. Pemphigoid bullosa
2. Eritematosa multiformis
3. Dermatitis herpetiformis

H. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Penjelasan mengenai penyakit, berupa penyebab, pengobatan, dan respon
terapi.
b. Penjelasan mengenai komplikasi penyakit.
c. Penjelasan untuk menghentikan konsumsi obat yang mencetuskan alergi.
2. Non Medikamentosa
a. Infus NaCl 0,9% 20 tpm
3. Medikamentosa
a. Sistemik
1) Inj ranitidin 2x1 amp
2) Inj difenhidramin 2x1 amp
3) Inj Metylprednisolon 62,5 mg
b. Topikal
1) Acdat cream 1 tube
2) Soft u derm 1 tube
8

3) Desoksimetason krim 1 tube

I. Rencana Tindakan
Pro debridement

J. Prognosis
1. Quo ad vitam : Ad malam
2. Quo ad fungtionam : Ad malam
3. Quo ad sanationam : Ad malam
4. Quo ad kosmetikum : Ad malam
9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Drug induced pemphigus merupakan variasi pemphigus yang berkedudukan
kuat. Sejak tahun 1950an, bukti telah berkembang bahwa obat dapat
menyebabkan atau memperparah pemfigus. Asal obat harus dipertimbangkan
pada setiap pasien baru dengan pemfigus. Pemfigus merupakan kelainan
autoimun berupa bulla atau vesikel di kulit ataupun mukosa, berasal dari lapisan
suprabasal epidermis dan disebabkan oleh proses akantolisis, secara
imunopatologi terdapat imunglobulin yang menyerang sel keratinosit. Pemfigus
dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu pemfigus vulgaris dan pemfigus
foliaceus. Pada pemfigus vulgaris, bulla muncul dari lapisan suprabasal
epidermis, sedangkan pada pemfigus foliaceus, bulla muncul pada lapisan
granulosum (Scott, 2017; Stanley, 2008; William, 2016).

B. Etiologi
Obat merupakan penyebab utama pemfigus. Dibutuhkan anamnesis
menyeluruh sehingga bisa menemukan obat penyebabnya. Diagnosis pemfigus
yang disebabkan obat sangat menantang. Pasien sering terpapar beberapa obat,
dan beberapa obat mungkin memiliki masa laten berkepanjangan antara paparan
dan onset penyakit. Pelepasan interferon-gamma in vitro (IFN-gamma) dari tes
limfosit telah terbukti sebagai nilai diagnostik dalam reaksi kulit akibat obat
(drug-induced skin reaction) (Golberg & Harman, 2015).
Sementara di masa lalu kebanyakan kasus drug induced pemphigus
dikaitkan dengan penisilinamin, berbagai obat lain telah terlibat dalam beberapa
dekade terakhir (lihat tabel 2.1). Beberapa obat ini diperkirakan menginduksi
pemfigus melalui mekanisme imunologi yang sama dengan yang ditemukan pada
pemfigus idhiopatik. Obat lain dipostulasikan sehingga menyebabkan
acantholysis secara langsung, melalui proses biokimia. Kombinasi kedua
mekanisme tersebut mungkin terlibat dalam banyak kasus drug induced
10

pemphigus. Drug induced pemphigus dapat dibagi secara luas dalam dua kategori:
obat thiol dan non-thiol (Golberg & Harman, 2015).
Tabel 2.1 Obat-obat yang terlibat dalam pemphigus (Golberg & Harman, 2015)

C. Epidemiologi
Lebih dari 200 kasus drug induced pemphigus telah dilaporkan, dengan
penicillamine terhitung hampir 50%. Pada pasien yang memakai penisilin selama
lebih dari 6 bulan, diperkirakan 7% mengembangkan pemfigus. Sebagian besar
seri kasus dalam literatur belum melaporkan ras dari pasien dengan drug induced
pemphigus. Sejumlah laporan dari Israel tentang drug induced pemphigus yang
terjadi pada orang Yahudi asal Ashkenazi menunjukkan dominasi etnik. Sebuah
studi baru-baru ini yang mengevaluasi mengenai epidemiologi pemfigus di
wilayah Mediterania di Turki menemukan dominasi perempuan (rasio antara laki-
laki dan perempuan, 1: 1.4). Drug induced pemphigus bisa terjadi pada usia
berapapun. Dalam kasus yang dilaporkan, usia pasien berkisar dari dekade ketiga
sampai dekade kesembilan (Scott, 2017).
11

D. Patomekanisme
Semua jenis pemfigus disebabkan oleh kelainan autoimunitas (reaksi
hipersensitivitas tipe- II.). Pada pasien pemfigus, sistem imunnya salah dalam
mengenali salah satu protein spesifik dalam sel kulit dan membran mukosa,
sehingga dikenal sebagai benda asing. Obat merupakan penyebab utama
pemfigus, namun, biasanya lebih dari satu faktor pemicu ditemukan pada pasien
pemfigus. Kelompok struktur kimia dalam obat dapat menimbulkan proses
biokimiawi dan mencetuskan terjadinya drug-induced pemphigus. Berikut
diantaranya (Brenner & Golberg, 2011) :
1. Radikal sulfhidril (thiol atau -SH); seperti penisilamin, captopril, enalapril
sodium thiomalate
2. Fenol; seperti aspirin, rifampin, levodopa, heroin
3. Non-thiol non-fenol; seperti penisilin, cefalosporin, NSAID, ACEI, CCB,
glibenclamid, difirone
Obat-obatan thiol dapat berinteraksi dengan desmoglein 1 atau desmoglein 3
sehingga meningkatkan antigenisitas dan menimbulkan produksi autoantibodi,
dan menyebabkan perubahan akantholitik pada kulit. Desmoglein adalah protein
yang berperan dalam adhesi sel terutama di epidermis dan membran mukosa.
Secara umum, mekanisme yang terjadi berupa inhibisi enzim agregasi keratinosit,
gangguan adhesi sel akibat ikatan thiol-sistein dan aktivatsi enzim preteolitik
(aktivtor plasminogen). Desmoglein membentuk semacam lem yang melekatkan
sel kulit agar tetap intak. Ketika antibodi menyerang desmoglein, akan merusak
hubungan interselular dan hilangnya adhesi antar sel, sehingga kulit menjadi
seperti tidak melekat. Perluasan dari terpisahnya sel ini secara umum berbanding
lurus dengan titer perluasan antibodi pemfigus. Antibodi pemfigus sekali
berikatan dengan antigen target akan mengaktifkan enzim preteolitik intraselular
atau kelompok enzim yang beraksi pada kompleks desmosome-tenofilamen
(Brenner & Golberg, 2011; Stanley & Amagal, 2006; Scully, 2002).
Selain itu, obat-obatan fenol mampu menginduksi akantolisis melalui
pelepasan sitokin (TNF alfa, IL-1) dari keratinosit, dan berpartisipasi dalam
12

regulasi dan sintesis komplemen dan protease seperti aktivator plasminogen. Pada
obat-obatan non-thiol non-fenol seperti penisilin dan piroxicam memiliki
kandungan sulfur yang mungkin dapat dimetabolisme secara in vivo (Brenner &
Golberg, 2011).

E. Manifestasi Klinis
Penyakit yang disebabkan oleh obat jenis thiol biasanya disertai dengan
temuan klinis seperti pemphigus foliaceus. Eritem, bersisik, krusta ditemukan
pada tubuh. Terkadang vesikel superfisial dan bula juga ditemukan, namun
biasanya sudah ruptur. Lesi pada daerah oral tidak terjadi. Pemphigus yang
disebabkan oleh obat non thiol biasanya muncul sebagai pemphigus vulgaris.
Bula lunak dan erosi terjadi pada kulit yang terlihat normal, dan terjadi juga pada
mukosa oral (Venugopal & Murrel, 2011).

F. Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis drug-induce pemphigus didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis kita mencari
faktor resiko berupa riwayat konsumsi obat-obatan baik oral maupun topikal.
Pada pemeriksaan fisik kita dapat menjumpai lesi berupa bula diatas kulit yang
normal, dapat juga diatas kulit eritematosa atau bahkan urtikaria. Lesi biasa
ditemukan pada ekstremitas atas dan eksremitas bawah. Pada pemeriksaan
penunjang dapat ditemukan peningkatan eosinofil darah dan peningkatan jumlah
reseptor IL-6. Pada pemeriksaan histologi dapat ditemukan pelepuhan
subepidermal, vesikel intraepidermal dan nekrosis keratinosit (Stavropaulos et al,
2013).
13

Gambar 2.1 Klinis drug – induced pemphigus


Manifestasi klinis yang umum ditemukan pada drug-induced pemphigus
telah dirangkum pada tabel 2.2 (Stavropaulos et al, 2013).
Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Drug-Induced Pemphigus
14

G. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit kulit vesikobulosa yang
bersifat kronik dan residif, dengan ruam yang bersifat polimormik terutama
berupa vesikel yang tersusun berkelompok dan simetris pada permukaan
ekstensor siku, lutut, bokong dan punggung disertai rasa gatal inflamasi
(Emiliano dan Marzia, 2015). Dermatitis herpetiformis dikenal berhubungan
dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE) atau celiac disease (CD) yang
diyakini berperan penting pada patogenesisnya. Terdapat lebih dari 90%
pasien terbukti sensitif terhadap gluten, dimulai dari limfositosis intraepitel
jejunum sampai atrofi total vili usus halus (Widyastuti et al, 2014). Penyakit
ini dapat mengenai anak dan orang dewasa, dengan keadaan umum pasien
yang baik. Gambaran histopatologi dermatitis herpetiformis menunjukkan
letak vesikel atau bula di subepidermal dengan akumulasi neutrofil dan
terkadang dapat terlihat eosinofil tanpa diikuti faktor-faktor inflamasi
(Emiliano dan Marzia, 2015).

Gambar 2.2 Bula dan vesikel berkelompok di atas kulit yang eritem (Jami,
2017)
2. Pemfigoid Bullosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dimana pada
15

pemeriksaan imunopatologi ditemukan C3 pada epidermal basement


membrane zone. Etiologinya adalah autoimun dan dapat terjadi pada semua
usia terutama orang tua. Keadaan umum pasien baik dengan kelainan klinis
berupa bula atau vesikel berdinding tegang disertai eritema dan predileksinya
pada ketiak, lengan bangian fleksor, dan lipat paha. Apabila bula pecah, dapat
terjadi erosi yang luas tetapi tidak menimbulkan lesi yang baru seperti pada
pemphigus vulgaris (drug induce phemvigus) dan angka kematian kasus ini
lebih redah dibandingkan pemphigus vulgaris (drug induce phemvigus)
(Wiryadi, 2011).

Gambar 2.3 Pemfigoid bulosa (Surekha, 2013)

3. Eritematosa Multiformis
Eritema multiforme adalah penyakit inflamasi akut pada kulit dan
mukosa yang menyebabkan berbagai bentuk lesi akibat deposit
imunokompleks. Etiologinya belum jelas, tetapi ada beberapa faktor yang
diduga berperan yaitu obat-obatan golongan sulfa, penisilin, analgesik, dan
antipiretik. Kelainan ini timbul cepat dengan gejala prodromal dalam 48 jam.
Erythema mutiforme biasanya diderita oleh dewasa muda usia 20-40 tahun
dan dominan diderita oleh laki-laki. Umumnya terkait dengan infeksi saluran
16

pernafasan atas akut sebelumnya, infeksi virus herpes simpleks (HSV), atau
infeksi mycoplasma pneumonia (Neil, et al., 2008 & Sterry, et al., 2006).
Secara klinis erythema mutiforme ditandai oleh adanya berbagai lesi,
termasuk lesi-lesi kulit yang khas seperti iris atau target (sasaran) predileksi
pada ekstremitas, telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada glans penis.
Lesi patognomonik adalah lesi target pada kulit yang terdiri dari bula
dikelilingi oleh edema dan eritema. Lesi pada eritema multiforme lebih besar,
tidak teratur, lebih dalam, biasanya berdarah, dan dapat terjadi pada semua
mukosa mulut. Lesi pada bibir khas berbentuk lesi yang ditutupi krusta merah
kehitaman (Neil, et al., 2008 & Sterry, et al., 2006).

Gambar 2.4 Lesi Target Pada Eritema Multiforme (Breathnach, 2004)

Gambar 2.5 Erythema Multiforme (Revuz, 2008)


17

H. Penatalaksanaan
Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien dengan drug induced
pemphigus adalah menghentikan semua obat yang dapat menjadi pemicu
terjadinya pemphigus. Namun, tidak semua pasien dapat pulih begitu saja dengan
penarikan obat. Selain menghindari obat yang memicu, pasien juga membutuhkan
terapi kortikosteroid dan terapi imunosupresi (Scott, 2017).
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan untuk pasien yang tidak
membaik setelah dilakukan penghentian obat pencetus. Drug induced
pemphigus merupakan penyakit autoimun, sehingga pengobatan
imunosupresan dan imunomodulator sangan menguntungkan (Scott, 2017).
a. Prednison
Prednison merupakan lini pertama pada kasus drug induced
pemphigus. Obat ini bekerja menurunkan inflamasi dengan cara melawan
peningkatan permeabilitas vaskular dan supresi aktivitas PMN. Prednison
juga bekerja menstabilisasi membran lisosom dan menekan produksi
antibodi dan limfosit (Scott, 2017).
Terapi menggunakan kortikosteroid sistemik dimulai dari dosis awal
yang tinggi yaitu prednison 100-200mg/hari diberikan setiap hari hingga
terjadi perbaikan klinis. Saat ini, perlu juga digunakan kombinasi dengan
antibiotik kloramfenikol untuk mencegah infeksi sekunder akibat lepuhan.
Dosis akan diturunkan secara perlahan hingga dosis pemeliharaan yaitu
40-50 mg/hari agar tidak terjadi relaps. Selain itu, untuk mengatasi efek
samping akibat penggunaan steroid dapat dilakukan terapi kombinasi
adjuvan (obat sitostatik) berupa azatioprin, siklofosfamid, metotreksat,
dan mikofenolat mofetil (Mahadewi et al, 2014). Selain penggunakan
sitostatik, penggunaan ranitidin sebagai golongan antihistamin H2 juga
berguna untuk mencegah peningkatan produksi asam lambung. Ranitidin
dapat mengatasi efek samping penggunaan kortikosteroid yang berupa
stres ulser (Syuhar, 2014).
18

b. Deksametason
Selain prednison, deksametason sebagai kotrikosteroid kuat juga
dapat digunakan untuk pengobatan pemphigus. Obat ini bekerja sebagai
anti inflamasi sehingga mencegah destruksi lebih lanjut pada pasien
(Syuhar, 2014).
2. Imunosupresan
a. Azathioprine
Obat ini bekerja secara antagonis dengan metabolisme purin dan
menghambat sintesis DNA, RNA, dan protein. Hal tersebut dapat
menurunkan proliferasi sel imun, sehingga dapat menurunkan aktivitas
autoimun. Azathioprine dapat digunakan untuk pasien resisten steroid dan
merupakan obat dengan kandungan toksik paling sedikit dibanding
imunosupresan lainnya. Biasanya obat ini dikombinasikan dengan steroid
dosis rendah (Scott, 2017).
b. Siklofosfamid
Obat ini merupatan sebuah alkylating agent yakni obat yang
menghalangi terjadinya pembelahan sel. Siklofosfamid bekerja dengan
mengaktivasi metabolit yang melakukan intervensi terhadap sel normal
dan sel neoplastik. Obat ini cukup efektif untuk mengobati pemfigus,
namun kadar toksik dalam obat ini sangat tinggi (Scott, 2017).

I. Prognosis
Sebelum penggunaan kortikosteroid, kematian terjadi pada 50% penderita
penyakit ini di tahun pertamanya. Sebab kematian bervariasi, dapat berupa sepsis,
kakeksia, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid
membuat prognosis lebih baik. Namun kebanyakan pasien, mengalami remisi
drug-induced pemphigus meskipun obat yang menyebabkan sudah dihentikan
pemberiannya. Kejadian tersebut disebut dengan drug-triggered pemphigus.
Kematian terjadi pada 75% pasien yang tidak mendapat tatalaksana (Djuanda,
2009; Bolognia dkk, 2003, Baroni dkk, 2012).
19

J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada drug-induced pemphigus diantaranya,
yaitu (Tidy, 2015):
1. Infeksi sekunder pada lesi kulit yang akan memperlambat penyembuhan.
2. Sepsis, terutama pada penggunaan kombinasi antara metotreksat dan
kortikosteroid dosis tinggi.
3. Osteoporosis dan insufisiensi adrenal akibat penggunaan kortikosteroid dalam
jangka waktu lama.
4. Gangguan pertumbuhan akibat kortikosteroid.
5. Keganasan seperti leukemia dan limfoma akibat penggunaan imunosupresan.
20

III. KESIMPULAN

1. Drug induced pemphigus merupakan kelainan autoimun berupa bulla atau vesikel
di kulit ataupun mukosa yang disebabkan oleh obat.. Pasien sering terpapar oleh
beberapa jenis obat sehingga dibutuhkan anamnesis menyeluruh untuk bisa
menemukan obat penyebabnya.
2. Penegakkan diagnosis drug-induce pemphigus didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, hal yang dicari
adalah faktor resiko berupa riwayat konsumsi obat-obatan baik oral maupun
topikal. Pada pemeriksaan fisik, lesi yang sering dijumpai adalah bula diatas kulit
yang normal, dapat juga diatas kulit eritematosa atau bahkan urtikaria
3. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat prognosis drug-induce pemphigus
lebih baik. Namun, drug-induce pemphigus mempunyai prognosis yang buruk
apabila sudah terjadi komplikasi berupa infeksi sekunder pada lesi kulit dan
sepsis yang disebabkan penggunaan kombinasi antara metotreksat dan
kortikosteroid dosis tinggi.
21

DAFTAR PUSTAKA

Baroni, A., Russo, T., Faccenda, F., dan Piccolo, V. 2012. Amoxicilin/Clavulanic
Acid-Induced Pemphigus Vulgaris: Case Report. Acta Dermatovenerologica
Croatica. 20 (2): 108-111.
Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., & Rapini, R.P. 2003. Dermatology. Spanyol: Mosby.
Breathnach, S.M. 2004. Drug Reactions. In : Burns, T., Breathnach, S., Cox, N.,
Griffiths, C., editors. Rook's Textbook Of Dermatology 7th Ed. USA: Blackwell.
Brenner, S., Goldberg, I. 2011. Drug-Induced Pemphigus. Clinics in Dermatology;
29: 455 – 457.
Djuanda, A. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Emiliano, A., Mirrza, C. 2015. The Diagnosis And Treatment Of Dermatitis
Herpetiformis. Clicinal, Cosmetic, And Investigation Dermatology. 8: 257 –
265.
Golberg, O. & Harman, K.E. 2015. Drug-Induced Pemphigus. In : Katsambas, A.D.,
Lotti, T.M., Dessinioti, C. & D'Erme, A.M. eds. European Handbook of
Dermatological Treatments. Leicester: Springer Berlin Heidelberg.
Jami, L.M. 2017. Dermatitis Herpetiformis. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1062640-overview (diakses 9 Juni
2016).
Mahadewi, R., IGK D., et Luh M. 2014. Pemphigus Vulgaris in Woman. Vol 3 no 8
(2014): e-jurnal medika udayana.
Neil, H.S., Sandra, R.K., Lori, S. 2008. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Wolff, K.,
Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilcrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., editors.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 7th Ed. New York: Mc Graw
Hill.
Revuz, L.A. 2008. Drug Reactions. In: Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., Rapini, R.P.,
editors. Dermatology 2nd Ed. USA: Mosby.
Scott, D. 2017. Drug Induced Pemphigus Treatment and Management. Tersedia di
http://emedicine.medscape.com/article/1063684-treatment (Diakses pada 10
Juni 2017).
Scully. C. 2002. Pemphigus Vulgaris: Updates an Etiopathogenesis Oral
Manifestation and Management. Crit Rev Oral Biol Med: 13(5).
22

Stanley, J.R. 2008. Pemphigus. In : Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine


7th Ed. New York: Mc Graw Hill.
Stanley J.R., Amagai, M. 2006. Pemphigus Bullous Impetigo, and The
Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. N Engl J Med; 355(17): 1800 – 1810.
Stavropaulos, P.G., Soura, E., Antoniou, C. 2013. Drug-Induced Pemphigoid.
European Academy of Dermatology and Venerology.
Sterry, W. 2006. Thieme Clinical Companions Dermatology. USA: Thieme.
Surekha. 2013. Bullous Phemfigoid. Available at http://diseasespictures.com/bullous-
pemphigoid/ (diakses pada 9 Juni 2017).
Syuhar, M. 2014. A 56 years old Man with Pemphigus Vulgaris. J Medula Unila |
Volume 3 Nomor 2 | Desember 2014.
Tidy, C. 2015. Pemphigus. Tersedia di “https://patient.info/in/doctor/pemphigus”
(Diakses tanggal 10 Juni 2017).
Venugopal, S.S., Murrell, D.F. 2011. Diagnosis and clinical features of pemphigus
vulgaris. Dermatol Clin. 29(3): 373 – 380.
Widyastuti, S., Sari N., Rinawati, W., Wardhana M., Swastika Adiguna, M. 2014.
Terapi Dapson Pada Dermatitis Herpetiformis. MDVI 41(4): 169.
William, V. 2016. Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana. CDK – 247;
43(12): 905-908.
Wiryadi, B.E. 2011. Dermatosis Vesikobulosa Kronik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai