Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

TONSILITIS

Disusun Oleh :
Yolan Sri Widiastuti (09310084)
Yayu Nurhalimah (09310214)
Pembimbing :
dr. Yonki Kornel., Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD 45 KUNINGAN
2014
TONSILITIS
A. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Cincin waldayer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil

faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band
dinding faring/Gerlachs tonsil).

Gambar 1.

Gambar 2.

Tonsila palatina merupakan tonsil yang berpasangan, umumnya berbentuk


bulat seperti telur dan terletak di dinding lateral orofaring. Dengan pertumbuhan
yang berlebihan pada tonsil dapat memperpanjang ukuran tonsil sampai ke
nasofaring, sehingga terjadi insufisiensi velopharyngeal (VPI) atau sumbatan
hidung. Selain itu, tonsil akan memperluas ukurannya ke dalam laryngopharynx
atau yang dikenal sebagai ruang nafas posterior antara pangkal lidah dan dinding
faring posterior, sehingga terjadi pola tidur obstruktif (mendengkur) dan gangguan
pernapasan.
Secara anatomi dapat terjadi hubungan dengan penyakit lain seperti dari
tuba estachius / otitis media dan sinus. Tetapi, infeksi tonsil dan adenoid sering
muncul dengan gejala yang sama.

B. Etiologi
Bakteri aerob
Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS)
Groups B, C, F, streptococcus

Haemophilus influenza (type b and nontypeable)


Streptococcus pneumoniae
Streptococcus epidermidis
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Hemophilus parainfluenza
Neisseria sp.
Mycobacteria sp.
Lactobacillus sp.
Diphtheroids sp.
Eikenella corrodens
Pseudomonas aeruginosa
Escherichia coli
Helicobacter pylori
Chlamydia pneumoniae
Bakteri Anaerob
Bacteroides sp.
Peptococcus sp.
Peptostreptococcus sp.
Actinomycosis sp.
Microaerophilic streptococci
Veillonella parvula
Bifidobacterium adolescences
Eubacterium sp
Lactobacillus sp.
Fusobacterium sp.
Bacteroides sp.
Porphyromonas asaccharolytica
Prevotella sp.
Virus
Epstein-Barr
Adenovirus
Influenza A and B
Herpes simplex
3

Respiratory syncytial
Parainfluenza
Others
Mycobacterium (atypical nontuberculous)
Candida albicans

C. Klasifikasi
1. Tonsilitis akut
Tonsilitis viral
Tonsilitis bakterial
2. Tonsilitis membranosa
Tonsilitis difteri
Angina Plaut vincent (stomatitis ulsero membranosa)
3. Tonsilitis kronik
Beberapa konsep yang harus dipahami untuk mengetahui tonsilitis
akut dan kronik :
Adanya infeksi polymicrobial
Meningkatkan kehadiran mikroorganisme penghasil beta-laktamase
Peran bakteri anaerob
Peran konsentrasi antigen bakteri
Peran Haemophilus influenzae dan laktamase beta lainnya memproduksi

mikroorganisme
Pentingnya obstruksi crypt mengakibatkan bakteri stasis dan pembentukan

infeksi kronis
Gangguan dalam homeostasis bakteri normal bergeser dari commensals

patogen potensial
Peran mediator inflamasi
Pentingnya flora normal seperti Streptococcus oralis dalam mencegah

kolonisasi dengan mikroorganisme patogen


Terbatas penggunaan kultur bakteri untuk menentukan secara akurat
bakteri penyebab tonsil yang kronik.

1. Tonsilitis Akut
Tonsilitis Viral
Etiologi : Epstein Barr Virus, hemofilus influenza
Gejala klinis : mirip seperti common cold, rasa nyeri pada tonsil
Pemeriksaan fisik : tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
Terapi : istirahat, minum cukup, analgetik, antivirus diberikan jiga gejala
tampak berat.
4

Gambar 3.
Tonsilitis Bakterial
Etiologi : grup A Streptokokus beta hemolitikus, pneumokokus,
Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes.
Gejala klinis : awalnya mengeluh rasa kering di tenggorok. Kemudian
berubah menjadi rasa nyeri di tenggorok dan rasa nyeri saat menelan.
Makin lama rasa nyeri ini semakin bertambah nyeri sehingga anak menjadi
tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai referred pain ke
sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia) tersebut tersebar
melalui nervus glossofaringeus (IX).
Keluhan lainnya berupa demam yang suhunya dapat sangat tinggi sampai
menimbulkan kejang pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan
lesu dan nafsu makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut.
Suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan
panas. Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor
ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang
hebat (ptialismus).
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan tonsilitis akut ditemukan tonsil yang
udem, hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan tonsil
baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Ismus fausium
tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga

tampak udem dan hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di


belakang angulus mandibula terlihat membesar dan ada nyeri tekan.
Terapi : antibiotik spektrum luas seperti penicillin, eritromisin, antipiretik
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

Gambar 4.

2. Tonsilitis membranosa
Tonsilitis difteri
Etiologi : Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu
suatu bakteri gram positis pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas
yang dapat menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila
terinfeksi bakteriofag.
Gejala klinis dibagi menjadi 3 golongan :

Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan


suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,

badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan


Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle,
uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat
saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan

membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai


sapi( bull neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.

Gambar 5.

Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini


akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosa : Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran


klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan

bawahmembran

semu

dan

didapatkan

kuman

Corynebacterum diphteriae.
Terapi : Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Anti Diphteria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva 14 dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
7

fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit


terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10
dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif
bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi. Bila tes
kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung
pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari tiap 6-8 jam pada kasus berat

Tonsilitis septik
Etiologi : streptococcus hemolitikus yang terdapat pada susu sapi

Angina Plaut Vincent


Etiologi : bakteri spirochaeta atau triponema pada pasien dengan defisiensi
vitamin C.
Gejala : demam sampai 39oC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri
dimulut, hipersalivasi, gogo dan gusi mudah berdarah.

Pemeriksaan fisik : mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran


putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau, dan kelenjar submandibula membesar.

Terapi : antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, konsumsi vitamin C


dan b kompleks, serta menjaga higiene mulut.
3. Tonsilitis kronik
Definisi : Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang
merupakan

bagian dari cincin Waldeyer. Tonsilitis Kronis merupakan

keradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan


dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan
tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar
serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Etiologi : Streptokokus beta hemolitikus grup A, Pneumokokus,
Streptokokus viridian

dan

Streptokokus

piogenes,

Stafilokokus,

Hemophilus influenza, namun terkadang ditemukan bakteri golongan gram


negatif.
Faktor predisposisi :
1. Rangsangan kronis (rokok, makanan)
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
4. Alergi (iritasi kronis dari alergen)
5. Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripti tonsil


.Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripti akan
melebar, ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus
(akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan). Proses ini
meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan
jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar submandibula.
Gejala klinis : adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang
mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan
berbau.

Gambar 6.

Gambar 7.

Pemeriksaan fisik :
Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan
ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh
eksudat yang purulen atau seperti keju.
Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadangkadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang
hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.

10

Gambar 8.
Ukuran tonsil dibagi menjadi :
T0 : Post tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis
paramedian (pilar

posterior)

T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median


T4 : Sudah melewati garis median
D. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya,
sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan
datang, akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau
virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis. Kuman
menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli
morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi
bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan detritus disebut
tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi
tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya

11

sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat menyebabkan


kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah di dalam
daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit,
sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat
pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental.
Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Bila
bercak

melebar, lebih

besar

lagi

sehingga

terbentuk

membran

(Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses

semu
radang

berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh
detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.

12

Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran


nafas bagian atas akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring
kemudian menyebar melalui sistem limfa ke tonsil. Adanya bakteri dan
virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan
infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya
udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada
faring serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil
sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam
tinggi bau mulut serta otalgia.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa
tonsilitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
1. Leukosit : terjadi peningkatan
2. Hemoglobin : terjadi penurunan
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
F. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan

medis

termasuk

pemberian

antibiotika

penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk


membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral).
13

2. Tindakan Operatif
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang
diusulkan oleh Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi).
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina
seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris
bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada jaringan sekitarnya
seperti uvula dan pilar.

Gambar 9
Indikasi untuk dilakukan tonsilektomi yaitu :
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery :
Indikasi absolut :

Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis

Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi

Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia


menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar

14

.
Obstruktif Tonsillar Hiperplasia
Indikasi relatif

Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam
setahun meskipun dengan terapi yang adekuat

Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis
tidak responsif terhadap terapi media

Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang


resisten terhadap antibiotik betalaktamase

Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

G. Prognosis
Gejala tonsillitis akibat radang biasanya menjadi lebih baik sekitar 2 atau 3
hari setelah pemberian antibiotik. dapat berulang hingga menjadi kronis
bila factor predisposisi tidak dihindari.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsillitis, dan hipertrofi adenoid.
Buku ajar Ilmu kesehatan Telinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher.
Edisi 6. Balai penerbit FK UI. Jakarta 2008.
2. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi
keenam. Balai
Penerbit FKUI. 2007: 222
3. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang.
2011.

16

4. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2001
5. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi.
Jakarta : EGC ; 1997
6. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed.
8. Jakarta : EGC; 2001.
7. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made
Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999

17

Anda mungkin juga menyukai