Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

P2A1 USIA 34 TAHUN POST SCTP + MIOMEKTOMI ATAS INDIKASI


OLIGOHIDRAMNION BERAT DAN MULTIPEL MIOMA UTERI

Pembimbing
dr. Setya Dian Kartika, Sp.OG

Disusun oleh :
Bara Kharisma G4A016136
Rizka Dwi Wahyuni G4A016109
Khoirunnisa Fajar Iriani Puarada G4A015160
Emma Puspadhini G4A015161

SMF ILMU KANDUNGAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Presentasi Kasus :

P2A1 usia 34 tahun post SCTP + Miomektomi atas indikasi


oligohidramnion berat dan multipel mioma uteri

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di Bagian Obstetri dan
Ginekologi Program Profesi Dokter di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Disusun oleh :
Bara Kharisma G4A016136
Rizka Dwi Wahyuni G4A016109
Khoirunnisa Fajar Iriani Puarada G4A015160
Emma Puspadhini G4A015161

Purwokerto, 2017
Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Setya Dian Kartika, Sp. OG


I. PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban


sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia
gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes
(PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm
premature rupture of membranes (PPROM) (POGI, 2016).
Masalah KPD memerlukan perhatian yang lebih besar, karena prevalensinya
yang cukup besar dan cenderung meningkat. Kejadian KPD aterm terjadi pada sekitar
6,46-15,6% kehamilan aterm dan PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari
semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar2. PPROM merupakan
komplikasi pada sekitar 1/3 dari semua kelahiran prematur, yang telah meningkat
sebanyak 38% sejak tahun 1981 (POGI, 2016).
Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang mengalami
KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi berat, bahkan fetus/ neonatus
akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait KPD preterm yang lebih
besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami kematian. Persalinan prematur
dengan potensi masalah yang muncul, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat in
utero merupakan komplikasi yang umum terjadi. KPD preterm berhubungan dengan
sekitar 18-20% kematian perinatal di Amerika Serikat (POGI, 2016).
Oligohidramnion adalah suatu keadaan yang ditandai dengan jumlah cairan
amnion kurang dari 500 ml. Pada kejadian oligohidramnion prognosisnya lebih buruk
daripada polihidramnion, serta akan lebih buruk jika terjadi pada trimester 2 dan 3
kehamilan. Oligohidramnion biasa disebabkan karena pertumbuhan janin terhambat
(PJT), KPD, postterm, dan kelainan kongenital.
Oligohidramnion terjadi pada 4% kehamilan di Amerika Serikat. Kejadian
ini meningkatkan kematian perinatal sejumlah 56,5 kematian per 1000 kehamilan
dengan oligohidramnion. Angka mortalitas oligohidramnion yang tinggi terjadi akibat
kurangnya cairan amnion dapat membuat tekanan pada perut janin sehingga gerak
diafragma janin terbatas. Selain itu kurangnya cairan amnion yang masuk dan keluar
paru-paru janin dapat menyebabkan hipoplasi jaringan paru janin.
Leiomyoma atau mioma uteri atau fibroid uteri adalah tumor jinak yang
muncul karena pertumbuhan berlebihan sel-sel otot polos dan jaringan ikat uterus.
Mioma uteri banyak dijumpai pada wanita usia produktif yaitu sebanyak 20-25%,
kejadian lebih tinggi pada usia >35 tahun yaitu mencapai 40%. Mioma uteri
dilaporkan dengan adanya gejala perdarahan pervaginam (73%), pembesaran perut
bagian bawah (58,4%), dismenore (18,2%), dan keluhan infertilitas (7,3%). Kasus
mioma uteri menjadi penting karena kadar Hb rata-rata penderita mioma uteri turun
10,9 g/dL dan 37% diantaranya menerima transfusi darah. Sembilan puluh satu persen
penderita miomat uteri menjalani terapi berupa histerektomi total.
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. M
Umur : 33 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan terakhir : SMA
Alamat : Karang Gayam RT 03/02 Lumbir
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Nama Suami : Tn. N
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Karang Gayam RT 03/02 Lumbir
Agama : Islam
Tanggal masuk RSMS : 12 Desember 2017
Nomor CM : 02033160

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri perut
2. Keluhan Tambahan
Tidak bisa BAB dan Kentut
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Umum RS Margono Soekaryo rujukan dari
Puskesmas Lumbir pada tanggal 12/12/17 pukul 11.44 WIB dengan anemia,
sakit perut, perut membesar , tidak bisa BAB dan tidak bisa kentut. Di IGD
Umum pasien di diagnosis dengan Ileus. Pasien di konsulkan ke bagian
Obsgyn pukul 21.50 WIB dengan susp KET.
Pasien mengeluhkan nyeri perut pada seluruh lapaang perut terutama
bagian bawah perut. Nyeri perut sudah 2 minggu sebelum masuk rumah sakit
dan dirasakan terus menerus dan bertambah berat. Nyeri dirakan semakin
memberat jika pasien bergerak , dan sedikit berkurang jika sedang beristirahat.
Selain itu pasien mengeluhkan perut nya membesar dari 2 minggu yang lalu
dan dirasakan semakin hari semakin membesar. Tadi pagi ketika di perjalanan
pasien sempat pingsan. Pasien juga mengeluhkan keluar darah dari jaln lahir
tetapi hanya sedikit sejak 1 mnggu yang lalu, pasien mengira itu hanya darah
mens biasa. Pasien juga tidak bisa BAB dan tidak bisa kentut sejak 1 minggu
yang lalu. 2 minggu yang lalu pasien di rawat di RSUD Banyumas selama 1
minggu dengan keluhan yang sama. Saat ini pasien mengeluhkan badan terasa
lemas.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit Jantung : disangkal
Penyakit Paru : disangkal
Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
Penyakit Ginjal : disangkal
Penyakit Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat tumor kandungan : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit Jantung : disangkal
Penyakit Paru : disangkal
Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
Penyakit Ginjal : disangkal
Penyakit Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat tumor kandungan : disangkal
6. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 12 tahun
b. Lama haid : + 5 hari
: tidak teratur,
c. Siklus haid 1x/bulan
d. Dismenore : tidak ada
e. Jumlah darah haid : sedikit (Flek)
7. Riwayat Menikah
Pasien menikah sebanyak 1x. Pernikahan sudah berlangsung selama 16 tahun.
8. Riwayat Obstetri
G3P2A0
Anak 1 : Perempuan/ 14 tahun/ Spontan/ Bidan/ 3200 gram
Anak 2 : Laki-laki/ 9 tahun/ Spontan/ Bidan/ 3600 gram
Anak 3 : Hamil ini
9. Riwayat KB
Pasien menggunakan kontrasepsi Pil ( Tidak teratur)
10. Riwayat Ginekologi
Riwayat Operasi : tidak ada
Riwayat kuret : tidak ada
Riwayat keputihan : tidak ada
Riwayat perdarahan pervaginam : tidak ada
11. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai
buruh. Kesan sosial ekonomi keluarga adalah golongan menegah ke bawah.
Pasien menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS-PBI)
dalam masalah kontrol kehamilan dan persalinan. Pasien tidak memiliki
riwayat merokok. Sebelum pasien sakit, biasanya pasien makan 3 kali sehari,
konsumsi makanan bergizi seperti ikan, daging dan sayuran kurang. Pasien
jarang berolahraga. Riwayat konsumsi obat-obatan disangkal.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak lemah
Kesadaran : Compos Mentis/ E4M6V5
Vital Sign : Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 120 x/m
Respirasi : 28 x/m

Suhu : 37.0oC
Tinggi badan : 154 cm
Berat badan : 65 kg
IMT/Status gizi : 35,2 (Obesitas grade II)

1. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
normal, isokor, diameter 3/3 mm
Telinga : discharge -/- deformitas -/-
Hidung : discharge -/-, nafas cuping hidung -/-
Mulut : sianosis (-), lidah kotor -/-
b. Pemeriksaan leher
Trakea : deviasi trakea (-)
Glandula Tiroid : tidak teraba
Limfonodi Colli : tidak teraba
c. Pemeriksaan thoraks
1) Paru
Inspeksi : Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercosta (-
), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri
Ketertinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar vesikuler +/+ , SuaraTambahan -/-
2) Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS
ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, ST -/-
d. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (+/+), sianosis (-/-)
Inferior : Edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (+/+), sianosis (-/-)

2. Status Lokalis
a. Abdomen

Inspeksi : cembung (+) , Venektasi spider nevi (-), Striae (-)

Palpasi : TFU tidak teraba, NT (+)


Perkusi : Pekak (+) , undulasi (+)
Auskultasi : BU (+) menurun,

b. Genitalia
c. Pemeriksaan dalam (VT) :
Inspeksi vulva-uretra : tenang
Dinding vagina : licin
Cervix : tidak ada pembukaan
Cavum dauglas menonjol (+)
Nyeri goyang portio (+)
L/D : -
D. Pemeriksaan Laboratorium
12 Desember 2017
Hb : 4,1 g/dL (L)
Leu: 32560 U/L (H)
Ht : 14 % (L)
Erit : 1.6 x 106/ UL
Trombo : 318000
PT : 11.2 detik
APTT : 28.6 detik (L)

E. Diagnosis
G3P2A0 usia 33 tahun hamil 6 minggu dengan KET , Anemia

F. Tata Laksana
1. Pro Laparatomi Eksplorasi Cito
2.
G. Follow Up
Kamis, 17 Agustus 2017
Ruang : Flamboyan
S: A: P:
Keluar air rembes G3P1A1 usia 34 tahun Konservatif
hamil 31 minggu janin Infus RL 20 tpm
O: tunggal hidup intrauterin Inj. Dexametason 6 mg/12
KU/Kes : Baik/CM presentasi kepala jam IM
TD : 110/70 mmHg punggung kiri dengan Inj. Vitamin C 1x1 amp
N : 82 x/m KPD 1 hari PO Eritromisin 500 mg/6
RR : 20 x/m jam
S : 36,2oC His
: tidak ada
Pengeluaran air dari jalan
lahir (+)
DJJ 130 x/m

Jumat, 18 Agustus 2017


Ruang : Flamboyan
Pukul 09.00
S: A: P:
Keluar air rembes G3P1A1 usia 34 tahun Konservatif
hamil 31 minggu janin Infus RL 20 tpm
O: tunggal hidup intrauterin Inj. Dexametason 6 mg/12
KU/Kes : Baik/CM presentasi kepala jam IM
TD : 110/70 mmHg punggung kiri dengan Inj. Vitamin C 1x1 amp
N : 87 x/m KPD 2 hari PO Eritromisin 500 mg/6
RR : 20 x/m jam

S : 36,3oC
His : tidak ada
Pengeluaran air dari jalan
lahir (+)
DJJ 141 x/m
Pukul 18.00 dilakukan pemeriksaan USG sebagai evaluasi setelah pematangan paru,
dengan hasil sebagai berikut :
Biometri Janin
BPD : 7,48 cm
HC : 28,45 cm
AC : 26,53 cm
FL : 5,83 cm
EFW : 1602 gram + 240,39 gram
AVG : 30 minggu 2 hari
DJJ : 148,15 x/m
Kesan : Plasenta implantasi di corpus anterior meluas ke SBR tidak menutupi OUI
grade II. Liquor amnii kesan habis.
Gambar 1-5. Hasil USG dan interpretasi USG

A:
G3P1A1 usia 34 tahun hamil 31 minggu dengan oligohdramnion berat pro SCTP
CITO
P:
SCTP CITO >> Pukul 22.53 dilakukan SCTP dengan laporan operasi sebagai
berikut :

Gambar 6. Laporan operasi CITO


Dokumentasi Operasi :

Gambar 7-8. Dokumentasi operasi menunjukkan multipel myoma uteri

A:
P2A1 usia 34 tahun post SCTP + Miomektomi atas indikasi oligohidramnion berat
dan multipel mioma uteri

P:
Infus RL 20 tpm+ 20 IU oksitosin kecepatan 20 tpm
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam IV
Inj. Cefazolin 1 gram/12 jam IV
Inj. Kalnex 500 mg/8 jam IV
PO Misoprostol 3 tablet
PO Metil ergometrin 3x1 tab
PO Asam folat 2x1
PO Sulfas ferosus 2x1
Tunda diet sampai sadar penuh dan peristaltik normal
Tidur bantal tinggi 24 jam pertama
Evaluasi kontraksi uterus dan perdarahan pervaginam
Cek darah rutin post operasi

Sabtu, 19 Agustu 2017


Ruang : HCU Maternal
S: A: P:
Tidak ada keluhan P2A1 usia 34 tahun post Inf RL+drip oksitosin 10
BAB (-) SCTP + Miomektomi atas IU
ASI (-) indikasi oligohidramnion Inj Cefazolin 2x1 gram IV
O: berat dan multipel mioma Inj Kalnex 3x500 mg
KU/Kes : Baik/CM uteri H+1 Inj Ketorolac 3x30 mg
TD : 110/70 mmHg PO asam mefenamat 3x1
N : 86 x/m PO adfer 2x1
RR : 20 x/m DC-UT Balance cairan
S : 37oC Diuresis 500 cc/5jam
TFU 2 jari di bawah Mobilisasi bertahap
uterus, kontraksi keras Pengawasan KU, N, PPV,
BAK : DC PPV TFU, BAK, BAB
(+) Pemeriksaan
Lab Hb : 8,5
g/dL (L) Ht : 26 % (L) AT : 303.000/uL
AL : 21.770 U/L (H) AE : 3,0 juta /uL (L)
Minggu, 20 Agustus 2017
S: A: P:
Nyeri post op (-) P2A1 usia 34 tahun post Klindamisin 2x300 mg
BAK (+) dengan selang SCTP + Miomektomi atas Asam mefenamat 3x500
BAB (-) indikasi oligohidramnion mg
ASI (-) berat dan multipel mioma Asam folat 2x1
uteri H+2 Sulfas ferosus 2x1
O: Aff DC
KU/Kes : Baik/CM Aff infus
TD : 120/70 mmHg
N : 87 x/m
RR : 20 x/m
S : 36,3oC
Status lokalis : kassa +,
rembes -, nyeri tekan -,
TFU 2 jari di bawah
pusat, PPV minimal

Senin, 21 Agustus 2017


S: Nyeri post op (-) A: P:
BAK (+) tanpa selang, P2A1 usia 34 tahun post Klindamisin 2x300 mg
BAB (+), ASI (+) sedikit SCTP + Miomektomi atas Asam mefenamat 3x500
O: KU/Kes : Baik/CM indikasi oligohidramnion mg
TD : 130/70 mmHg berat dan multipel mioma Metilergometrin 3x1
N : 87 x/m RR : 20 x/m uteri H+3 Asam folat 2x1
S : 36,3oC Sulfas ferosus 2x1
Status lokalis : kassa +, Boleh pulang
rembes -, nyeri tekan -,
TFU 2 jari di bawah
pusat, PPV minimal
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. KETUBAN PECAH DINI


1. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban
sebelum terjadinya persalinan. KPD aterm atau dalam istilah bahasa inggris
dikenal sebagai premature rupture of membrane (PROM) adalah pecahnya
ketuban sebelum masuk inpartu pada atau setelah usia kehamilan 37 minggu,
sedangkan KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes
(PPROM) adalah pecahnya kulit ketuban secara spontan sebelum usia
kehamilan 37 minggu (Cunningham et al., 2014; POGI, 2016).
2. Etiologi dan Faktor Risiko (Cunningham et al., 2014; POGI, 2016)
a. Infeksi intrauterine
b. Riwayat infeksi menular seksual
c. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
d. Riwayat persalinan prematur
e. Perdarahan pervaginam
f. Distensi uterus (kehamilan multipel, polihidramnion)
g. Serviks pendek (<25 mm)
h. Status sosioekonomi rendah
i. IMT ≤ 19.8
j. Defisiensi nutrisi
k. Merokok

3. Patogenesis dan Patofisiologi


Pathogenesis PPROM terkait erat dengan peningkatan apoptosis
komponen seluler kulit ketuban dan peningkatan protease di ketuban dan kulit
ketuban. Kekuatan kulit ketuban dipengaruhi oleh matriks ekstraseluler dan
kolagen amniotic (tipe I dan tipe III) yang diproduksi oleh sel mesenkim.
Matriks metalloproteinase (MMP) adalah enzim yang berperan dalam
degradasi kolagen, terdiri atas MMP-1, MMP-2, MMP-3 dan MMP-9. Protein
ini dihambat oleh tissue inhibitors of matrix metalloproteinase (TIMPs).
Karena itu, peningkatan MMP dan penurunan TIMPs yang mempengaruhi
kekuatan kulit ketuban adalah dasar pathogenesis ketuban pecah dini
(Cunningham et al., 2014).
Infeksi adalah penyebab paling sering terjadinya PPROM. Pada saat
terjadi infeksi bakteri, endotoksin bakteri atau TNF-alfa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme lain akan memicu pelepasan fetal fibronectin (fFN) oleh sel
epitel kulit ketuban. Molekul fFN akan berikatan dengan Toll-like receptor
(TLR) 4 yang akan memicu aktifnya kaskade pembentukan prostaglandin E
(PGE2) dan peningkatan aktivitas MMP-1, MMP-2, dan MMP-9. Proses ini
terus berlanjut dan disertai dengan penurunan TIMPs sehingga akan
menginduksi apoptosis, degradasi kolagen sehingga berujung pada lemahnya
kulit ketuban (Cunningham et al., 2014).
4. Diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan ketuban
pecah dini meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia
kehamilan, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal (POGI, 2016).
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan
yang keluar, usia kehamilan, taksiaran persalinan, riwayat KPD
sebelumnya, dan faktor-faktor risiko lainnya. Pemeriksaan dalam dengan
vaginal toucher perlu dihindari untuk mengurangi risiko infeksi. Jika
memang sangat diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan inspekulo untuk
melihat kondisi servikovaginal dan sekaligus mengambil sampel untuk
kultur cairan vagina. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah
janin (pada presentasi bukan kepala), menilai dilatasi dan pendataran
serviks, mendapatkan sampel dan diagnosis KPD secara visual
(Cunningham, 2014).
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak
diperlukan lagi pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Jika diagnosis tidak dapat dikonfirmasi, dapat dilakukan tes pH dari
forniks posterior vagina (pH cairan amnion biasanya 7,1-7,3 sedangkan
pH sekret vagina 4,5-6).
b. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis
untuk menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan
amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya
abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat
maka kecurigaan akan ketuban pecah dini sangat besar, walaupun
normalnya volume cairan amnion tidak menyingkirkan diagnosis (POGI,
2016).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Jika diagnosis KPD masih belum jelas setelah menjalani
pemeriksaan fisik, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu (Mercer,
2003; POGI, 2016):
1) Nitrazine test, yaitu sebuah pemeriksaan dengan menggunakan kertas
lakmus yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika pH dalam vagina naik
(basa), lakmus merah akan berubah menjadi biru, maka nitrazine test
positif. Nitrazine test bias positif palsu jika terdapat darah, semen,
antiseptik alkalis atau adanya bacterial vaginosis. Kadar pH vagina
perempuan hamil sekitar 4,5, dan jika ada cairan ketuban akan naik
menjadi 7,1 – 7,3.

2) Uji fern, yaitu dengan cara mengambil mucus serviks dan dikeringkan
di gelas objek untuk selanjutnya diamati dengan mikroskop
pembesaran rendah. Adanya gambaran seperti daun pakis
menunjukkan uji fern positif. Uji ini digunakan sebagai uji konfirmasi
nitrazine test. Sampel diambil di fornix posterior atau fornix lateral
untuk menghindari mucus serviks, yang juga mungkin memberikan
hasil positif palsu.

Gambar 9. Hasil uji fern positif

5. Tatalaksana
Komplikasi perinatal berubah secara signifkan seiring dengan
meningkatnya usia kehamilan. Terdapat beberapa konsensus dasar mengenai
manajemen dasar PPROM. Yaitu: 1) Usia kehamilan harus ditetapkan atas
dasar riwayat klinis (HPHT dan pemeriksaan USG; 2) Ibu dengan PROM
harus dievaluasi untuk kemungkinan adanya kemajuan persalinan,
korioamnionitis, solusio plasenta dan infeksi intrauterine; 3) Ibu dengan
infeksi HSV atau HIV tidak boleh diterapi secara konservatif. 4) Profilaksis
terhadap infeksi streptokokus grup B direkomendasikan pada gravida dengan
persalinan preterm, kecuali sudah didapatkan hasil kultur negatif. 5) Jika
terapi ekspektatif atau konserfatif akan dilakukan, sebainya pasien dirujuk ke
Rumah Sakit dengan fasilitas yang mencukupi. Terdapat dua manajemen
dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan konserfatif.
Manajemen konserfatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa
intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif
mengintervensi persalinan (Cunningham et al., 2014, POGI, 2016).
Gambar 10. Algoritma tatalaksana pada ketuban pecah dini (Mercer, 2003)
a. Konservatif
Sampai saat ini, belum ada pendekatan terapi yang terbukti lebih
superior untuk meningkatan hasil perinatal. Risiko terapi konservatif
antara lain adalah kelainan neurologis pada bayi, oligohidramnion dan
infeksi (Cunningham, 2014).
1) Korioamnionitis
Korioamnionitis sangat berisiko untuk terjadi pada ibu dengan ketuban
pecah dini lama. Jika koriamnionitis terjadi, maka perlu dinilai
kematangan serviks untuk persiapan persalinan pervaginam. Selain itu,
perlu dinilai suhu (>38o C), leukositosis, fetal takikardia, nyeri uterus,
dan discharge vaginal tidak berbau. Ibu hamil dengan korioamnionitis
memiliki risiko untuk terjadi sepsis, sindrom distress respirasi, kejang
onset akut, perdarahan intraventrikuler dan periventricular
leukomalasia (Cunningham, 2014).

Gambar 11. Angka morbiditas akut janin berdasarkan usia kehamilan

Gambar 12. Angka morbiditas kronik janin berdasarkan usia kehamilan


2) Antibiotik
Pemberian antibiotik memberikan beberapa manfaat, antara lain adalah
sebagai berikut: 1) Penurunan angka korioamnionitis, 2) Penurunan
angka sepsis, 3) Peningkatan usia kehamilan lebih dari 7 hari. 4)
Penurunan kejadian sindrom distress respirasi, enterocolitis
nekrotikans, dan permsalahan yang lebih kompleks (Cunningham,
2014).
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan untuk mempercepat pematangan paru.
Jumlah pemberian yang direkomendasikan adalah sebanyak satu seri
pada usia kehamilan 24-32 minggu. Sampai saat ini, belum ada
konsensus untuk usia kehamilan 32-34 minggu dan koprtikosteroid
tidak direkomendasikan pada usia kehamilan di bawah 24 minggu
(Cunningham, 2014). Berikut ini adalah tatalaksana yang
direkomendasikan pada persalinan dengan ketuban pecah dini
(Cunningham, 2014):
1) Usia kehamilan kurang dari 24 minggu
i. Konseling pasien
ii. Terapi konservatif (ekspektatif) atau induksi persalinan
iii. Antibiotic jika tidak ada kontraindikasi
iv. Antibiotic Profilaksis untuk streptokokus grup B
v. Kortikosteroid satu seri
2) Usia kehamilan 24 minggu sampai genap 31 minggu
i. Terapi konservatif (ekspektatif)
ii. Antibiotik jika tidak ada kontraindikasi
iii. Antibiotic Profilaksis untuk streptokokus grup B
iv. Kortikosteroid satu seri
v. Tokolitik
3) Usia kehamilan 32 minggu sampai genap 33 minggu
i. Terapi konservatif (ekspektatif), kecuali jika diketahui sudah
terjadi pematangan paru
ii. Antibiotic jika tidak ada kontraindikasi
iii. Antibiotic Profilaksis untuk streptokokus grup B
iv. Kortikosteroid
4) Usia kehamilan lebih dari 34 minggu
i. Persiapkan persalinan, biasanya dengan induksi persalinan
ii. Antibiotic profilaksis streptokokus grup B
b. Aktif
Pada kehamilan >37 minggu, dan skor bishop kurang dari 5, lakukan
pematangan serviks dengan misoprostol 25 mikrogram pervaginam setiap
6 jam maksimal 4 kali. Jika skor bishop lebih dari 5, induksi dengan drip
oksitosin 5 IU mulai 8 tpm, ditingkatkan sebanyak 4 tpm setiap 15 menit,
maksimal 20 tpm. Jika gagal, dilakukan seksio sesaria. Jika ada tanda-
tanda infeksi, berikan antibiotik dosis tinggi dan akhiri persalinan
(Cunningham, 2014).

1. Komplikasi (Prawirohardjo, 2013; POGI, 2016)

a. Infeksi maternal (endomyometritis, korioamnionitis, sepsis)


b. Persalinan preterm
c. Oligohidramnion
d. Infeksi neonatal
e. Hipoksia janin karena kompresi tali pusat
f. Deformitas janin
g. Sindrom distress pernapasan
h. Perdarahan intraventrikel
i. Gangguan neurologi janin
B. OLIGOHIDRAMNION
1. Definisi
Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang
dari normal yaitu kurang dari 500 mL. Norwitz (2001) mendefinisikan
oligohidramnion bila pada pemeriksaan ultrasonografi diketahui total volume
cairan amnion kurang dari 300mL, hilangnya kantong vertikel tunggal yang
berukuran 2 cm atau AFI kurang dari 5 cm pada kehamilan aterm atau kurang
dari 5 tahun persentil sesuai usia kehamilan.
2. Etiologi
Penyebab pasti terjadinya oligohidramnion masih belum diketaui.
Namun oligohidramnion dapat terjadi karena peningkatan absorbsi atau
kehilangan cairan (seperti pada ketuban pecah dini) dan penurunan produksi
dari cairan amnion (seperti pada kelainan ginjal kongenital, ACE inhibitor,
obstruksi uretra, insufisiensi uteroplasenta, infeksi kongenital dan NSAID)
(Norwitz 2001).
Beberapa keadaan yang berhubungan dengan oligohidramnion antara
lain (Chamberlain, 1997) :
a. Pada janin : kelainan kromosom, hambatan pertumbuhan, kematian,
kehamilan postterm
b. Pada plasenta : solusio plasenta
c. Pada ibu : hipertensi, preeklamsia, diabetes dalam kehamilan
Pengaruh obat : NSAID, ACE inhibitor
3. Penegakan Diagnosis
Tanda dan gejala klinis dari oligohidramnion adalah, pada saat
inspeksi uterus terlihat lebih kecil dan tidak sesuai dengan usia kehamilan
yang seharusnya. Ibu yang sebelumnya pernah hamil dan normal, akan
mengeluhkan penurunan gerakan janin. Saat dilakukan palpasi abdomen,
uterus akan teraba lebih kecil dari ukuran normal dan bagian-bagian janin
mudah diraba. Dapat terjadi presentasi bokong. Pada pemeriksaan auskultasi,
denyut jantung janin sudah terdengar lebih dini dan lebih jelas, ibu merasa
nyeri di perut pada setiap gerakan janin, persalinan lebih lama dari biasanya,
saat timbul his akan terasa sakit sekali, bila ketuban pecah, air ketuban akan
sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar (Norwitz 2001).
4. Patofisiologi
Pecahnya membran adalah penyebab paling umum dari
oligohidramnion. Namun karena cairan ketuban terutama adalah urine janin di
paruh kedua kehamilan, tidak adanya produksi urin janin atau penyumbatan
pada saluran kemih janin dapat juga menyebabkan oligohidramnion. Janin
yang menelan cairan amnion, yang terjadi secara fisiologis, juga mengurangi
jumlah cairan.
Pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada perokok
dan saat terjadi infeksi terjadi perlemahan pada ketahanan selaput hingga
pecah. Pada kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag. Pada saat
kelahiran leukosit akan masuk ke dalam cairan amion sebagai reaksi terhadap
peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-1B, tetapi pada persalinan
preterm IL-1B akam ditemukan. Hal ini berkaitan dengan terjadinya infeksi
(Prawirohardjo, 2009).
Pada insufisiensi plasenta dapat terjadi hipoksia janin. Hipoksia
janin yang berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi darah.
Salah satu dampaknya adalah terjadi penurunan alirah darah ke ginjal,
produksi urin berkurang, dan terjadilah oligohidranmion (Prawirohardjo,
2009).
5. Tatalaksana
Pada pasien dengan oligohidramion disarankan untuk tirah baring dan
hidrasi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi cairan ketuban dengan
meningkatkan ruang intravaskular ibu. Pada oligohidramnion dapat dilakukan
amnioninfusion profilaktik dengan salin, ringer laktat, atau glukosa 5% dapat
dilakukan untuk mencegah deformitas kompresi dengan penyakit paru
hipoplastik dan juga untuk memperpanjang usia kehamilan (Chamberlain,
1997).
Amnioninfusion adalah pemberian infuse normal salin 0,9% ke dalam
uterus selama persalinan untuk menghindari kompresi pada tali pusat atau
untuk melarutkan mekonium yang bercampur dengan cairan amnion.
Amnioninfusion dilakukan dengan menggunakan intrauterine pressure
catheter (IUPC). Prosedur melakukannya yaitu (Chamberlain, 1997) :
a. Menghubungan kantong cairan infuse ke IV tubing
b. Flush tubing untuk menghindari masuknya udara ke dalam uterus
c. Menjelaskan kepada pasien bahwa prosedur infuse tidak akan
menyakitkan. Insersi IUPC mungkin akan tidak nyaman
d. Menyiapkan sarung tangan steril, lubrikan, IUPC, dan kabel
e. Atur IUPC pada tekanan nol atmosfer
f. Setelah IUPC dimasukkan, nilai tonus uterus saat pasien istirahat pada sisi
kiri, kanan, dan punggung lalu rekam
g. Pasang IV tubing pada AMNIO port di IUPC
h. Bolus dengan 250-600 ml, 250 ml akan menghasilkan 6 cm kantung
cairan amnion
i. Gunakan infuse pump setelah bolus, maintenance cairan 150-180 ml per
jam, yang paling sering digunakan adalah 180 ml per jam.
Interpretasinya dikatakan hasilnya positif jika didapati penurunan
keparahan deselerasi, mekonium berkurang viskositasnya dan warnanya lebih
cerah. Sedangkan dikatakan negatif jika terjadi peningkatan tonus uterus saat
istirahat dan tidak ada peningkatan pola DJJ (Chamberlain, 1997).
Jika kehamilam post term cara persalinannya adalah dengan induksi atau
seksio sesarea. Jika mekonium dijumpai selama, terapi amnioinfusion untuk
mengurangi resiko gawat janin dan aspirasi prenatal.
C. MIOMA UTERI
1. Definisi
Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos
yang ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari
sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Mioma uteri
juga dikenal dengan sebutan fibromioma uteri, uterine fibroid, atau leiomioma
uteri (Baziad, 2003; Cunningham, 2012).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan
diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan
sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel
neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom lengan
12q13-15. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor, di samping
faktor predisposisi genetik, adalah estrogen, progesteron dan human growth
hormone (Spies, 2009).
a. Estrogen
Beberapa ahli dalam penelitiannya menemukan bahwa pada otot rahim
yang berubah menjadi mioma ditemukan reseptor estrogen yang lebih banyak
daripada otot rahim normal. Mioma uteri dijumpai setelah menarke.
Seringkali terdapat pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan
terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan
pengangkatan ovarium. Adanya hubungan dengan kelainan lainnya yang
tergantung estrogen seperti endometriosis (50%), perubahan fibrosistik dari
payudara (14,8%), adenomyosis (16,5%) dan hiperplasia endometrium
(9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium
dan wanita dengan sterilitas. 17B hidroxydesidrogenase: enzim ini mengubah
estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktivitas
enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah
reseptor estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
b. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron
menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
c. Hormon pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon
yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat
pada periode ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari
leiomioma selama kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik
antara HPL dan Estrogen. Beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor
predisposisi terjadinya mioma uteri,, yaitu (Cunningham, 2012):
1) Umur
Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan
sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling
sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.
2) Paritas
Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil,
tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma
uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah
kedua keadaan ini saling mempengaruhi.
3) Faktor ras dan genetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan
mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada
wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.
4) Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan
mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, dan mengalami
regresi setelah menopause.
5) Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi
hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada
pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh
estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti
peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal
dan insulin-like growth factor yang distimulasi oleh estrogen. Anderson
dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh
estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium normal dan
mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih
kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang
bermakna setelah menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada
itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan
setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.
6) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh
enzim aromatease di jaringan lemak (Djuwantono, 2005). Hasilnya terjadi
peningkatan jumlah estrogen tubuh yang mampu meningkatkan prevalensi
mioma uteri (Parker, 2007).
3. Diagnosis
a. Gejala subjektif
Pada umumnya kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan
padapemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu.
Timbulnya gejala subjektif dipengaruhi oleh: letak mioma uteri, besar
mioma uteri, perubahan dankomplikasi yang terjadi.Gejala subjektif pada
mioma uteri (Sylvia dan Loraine, 2006) :
1) Perdarahan abnormal, merupakan gejala yang paling umum
dijumpai.Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah:
menoragia, dan metrorargia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
perdarahan ini antara lain adalah: pengaruh ovarium sehingga terjadilah
hiperplasia endometrium, permukaan endometrium yang lebih luas dari
pada biasa, atrofi endometrium, dan gangguan kontraksi otot rahim
karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga
tidak dapat menjepit pembuluh darah yangmelaluinya dengan
baik.Akibat perdarahan penderita dapat mengeluh anemis karena
kekurangan darah, pusing, cepat lelah, dan mudah terjadi infeksi.
2) Rasa nyeri, gejala klinik ini bukan merupakan gejala yang khas tetapi
gejalaini dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang
mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada
pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan dan
pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat
menyebabkan juga dismenore.
3) Tanda penekanan, Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat
miomauteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan
poliuria, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter
dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat
menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan
pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan
nyeri panggul.
b. Gejala objektif
Gejala Objektif merupakan gejala yang ditegakkan melalui diagnosa
ahlimedis. Gejala objektif mioma uteri ditegakkan melalui (Manuaba,
2003) :
1) Pemeriksaan Fisik.
Pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan Abdomend an
pemeriksaan pelvik. Pada pemeriksaan abdomen, uterus yang besar
dapatdipalpasi pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan
tetap, area perlunakan memberi kesan adanya perubahan degeneratif.
Pada pemeriksaan Pelvis, serviks biasanya normal, namun pada
keadaan tertentu mioma submukosa yang bertangkai dapat
mengakibatkan dilatasi serviks dan terlihatpada ostium servikalis.
Uterus cenderung membesar tidak beraturan dannoduler. Perlunakan
tergantung pada derajat degenerasi dan kerusakanvaskular. Uterus
sering dapat digerakkan, kecuali apabila terdapat keadaanpatologik
pada adneksa.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Temuan laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini
disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan
zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoeitin yang
pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan
antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan
mioam terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan
balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoetin
ginjal.
b) Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal
terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa
yang paling besar baik diobservasi melalui ultrasonografi
transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran
ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur
maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-
fokus hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik
ditandai adanya daerah yang hipoekoik.
c) Hiteroskopi
Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri
submukosa, jika tumornya kecil serta bertangkai. Tumor tersebut
sekaligus dapat diangkat.
d) MRI
Sangat akurat dalam menggambarkan jumlah, ukuran, dan lokasi
mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai
massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium
normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat
dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma submukosa. MRI dapat
menjadi alternatif ultrasonografi pada kasus-kasus yang tidak dapat
disimpulkan.
4. Tatalaksana
Sebanyak 55% dari semua kasus mioma uteri tidak membutuhkan suatu
pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil
dan tidak menimbulakan gangguan. Walaupun demikian mioma uteri
memerlukan pemantauan setiap 3-6 bulan. Tatalaksana mioma uteri harus
memperhatikan usia, paritas, kehamilan, konservasi fungsi reproduksi,
keadaan umum, gejala yang ditimbulkan, lokasi, dan ukuran tumor. Bila
kondisi pasien sangat buruk perlu dilakukan perbaikan nutrisi, suplementasi
zat esensial, maupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau
gejala abdomen akut, perlu disiapkan tindakan bedah cito untuk
menyelamatkan pasien (Sarwono, 2011).
a. Terapi hormonal
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki gejala klinis mioma uteri.
Tujuan pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan
jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis
sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi
pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi
hormonal yang lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron
akan mengurangi gejala pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma
uteri (Budi, 2005).
b. Terapi pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of
obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of
Reproductive Medicine (ASRM) adalah (Budi, 2005):
1) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
2) Sangkaan adanya keganasan.
3) Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
4) Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi
tuba.
5) Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.
6) Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
7) Anemia akibat perdarahan.
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa
pengangkatan uterus. Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang
ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan
histerektomi. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma
submukosum dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Apabila miomektomi
ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan
akan terjadi kehamilan adalah 30-50%
2) Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah
tindakan terpilih.11 Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar
30% dari seluruh kasus. Histerektomi dilakukan apabila didapati
keluhan menorhagia, metrorhagia, keluhan obstruksi pada traktus
urinarius dan ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.6
Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal (laparotomi),
vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi. Histerektomi
perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal
hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomy (STAH).
Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
STAH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar
seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung
kemih dan rektum. Namun dengan melakukan STAH kita
meninggalkan serviks, di mana kemungkinan timbulnya karsinoma
serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada
pangkal vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret vagina dan
perdarahan paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien
yang menjalani STAH (Gerlinger et al, 2012).
IV. MASALAH DAN PEMBAHASAN

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum tanda-tanda


inpartu. Pada pasien ini, terjadi pengeluaran air ketuban pada usia kehamilan preterm
yaitu usia kehamilan 31 minggu sehingga disebut sebagai preterm premature rupture
of membrane (PPROM) karena terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
Penyebab yang paling mungkin menyebabkan PPROM pada pasien ini adalah infeksi
yang mungkin bisa didapatkan dari faktor higienitas yang kurang dari pasien. Pada
pasien dilakukan terapi konservatif dengan pertimbangan usia kehamilan yang belum
memasuki pasa aterm.
Oligohidramnion adalah keadaan air ketuban kurang dari 500 ml atau
pada pemeriksaan ultrasonografi diketahui cairan amnion kurang dari 300 ml,
hilangnya kantong vertikel tunggal yang berukuran 2 cm atau AFI kurang dari 5 cm
pada kehamilan aterm yang bisa disebabkan karena ketuban pecah dini. Pada pasien
ini mengalami ketuban pecah dini dan menunjukkan cairan amnion kesan habis
sehingga pasien ini didiagnosis mengalami oligohidranion. Keputusan dilakukan
terminasi kehamilan diambil dengan pertimbangan janin intrauterin dengan cairan
amnion yang sedikit akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Mioma uteri didiagnosis berdasarkan gejala subjektif dan gejala objektif.
Pasien dalam kasus ini tidak memiliki gejala subjektif yang jelas. Gejala objektif
yang ditemukan pada pasien kasus terlihat intraoperatif sectio caesarea ditemukan
tumor nodular multipel ireguler dan imobil di uterus pasien. Sehingga pada pasien ini
ditegakkan diagnosis multipel mioma uteri dan dilakukan tindakan berupa
miomektomi.
V. KESIMPULAN

1. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, dibagi menjadi
PROM dan PPROM
2. Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal
yaitu kurang dari 500 mL. Norwitz (2001) mendefinisikan oligohidramnion bila
pada pemeriksaan ultrasonografi diketahui total volume cairan amnion kurang dari
300mL, hilangnya kantong vertikel tunggal yang berukuran 2 cm atau AFI kurang
dari 5 cm pada kehamilan aterm
3. Mioma uteri adalah tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polis yang ditemukan
pada rahim atau uterus.
4. Pasien pada kasus terdiagnosis PPROM karena mengalami keluarnya air ketuban
pada usia kehamilan 30 minggu+6 hari
5. Pasien terdiagnosis oligohidramnion setelah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
6. Terminasi kehamilan dilakukan dengan pertimbangan oligohidramnion berat
7. Multipel mioma uteri ditemukan pada pasien durante operatif sectio caesarea
kemudian dilakukan tindakan miomektomi
Daftar Pustaka

Baziad, A. 2003. Pengaruh hormon seks terhadap genitalia dan ekstragenitalia.


Endokrinologi genikologi edisi kedua. Jakarta : Media Aesculapius FKUI, ; 131
– 132.Chamberlain, G. 1997. Obstetrics by 10 Teachers, 16th ed. Oxford
University press. P 13-14.
Cunningham, F. G., et al. 2012. Williams Gynaecology. New York : McGraw Hill.
Cunningham, F. G., et al. 2014. Williams Obstetrics 24th Edition. New York:
McGraw Hill.
Goodwin, S dan Spies, T. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697

Hadibroto, Budi. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.38 (3):
254-259. Mercer, B.M. 2003. Preterm Premature Rupture of the Membranes.
Obstetric and Gynecologic

Manuaba B.G. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetric dan Ginekologi Edisi
Kedua. Jakarta: EGC.

Norwitz, ER. Schorge, JO. 2001. Obstetrics and Gynecology at a Glance. Blackwell
science. P 102-103

POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia). 2016. Ketuban Pecah Dini.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Himpunan Kedokteran
Fetomaternal.

Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu Kebidanan edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka.

Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Sylvia,A., dan Lorraine, M. S. 2006. “Gangguan Sistem Reproduksi”.


Pathophysiology: Clinical Concepts od Disease Processes . Edisi.6. Jakarta:
EGC.

Zimmermann, Bernuit, Gerlinger, et al. 2012. “Prevalence, Symtoms and


Management of Uterine Fibroids: an International Internet-Based Survey”.

Anda mungkin juga menyukai