Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah gangguan yang sangat umum, yang
mewakili gangguan endokrin-metabolik paling umum pada wanita usia reproduksi. Saat
ini terdapat empat fenotipe SOPK: 1) hiperandrogenisme + oligo-anovulasi + morfologi
ovarium polikistik; 2) hiperandrogenisme + oligo-anovulasi; 3) hiperandrogenisme +
morfologi ovarium polikistik; dan 4) oligo-anovulasi + morfologi ovarium polikistik,
masing-masing dengan kesehatan jangka panjang dan implikasi metabolisme yang
berbeda. Dokter harus jelas menentukan fenotipe pasien ketika membuat diagnosis
SOPK. Sindrom ovarium polikistik adalah poligenik kompleks yang diturunkan, yang
merupakan gangguan multifaktorial. Kelainan patofisiologi pada sekresi gonadotropin,
folikulogenesis ovarium, steroidogenesis, sekresi insulin, dan fungsi jaringan adiposa,
telah digambarkan pada SOPK. Wanita dengan SOPK memiliki peningkatan risiko
untuk intoleransi glukosa dan diabetes mellitus tipe 2; serosis hati dan sindrom
metabolik; hipertensi, dislipidemia, trombosis vaskular, masalah serebrovaskular, dan
masalah kardiovaskular; subfertilitas dan komplikasi obstetri; endometrium atypia atau
karsinoma, dan keganasan ovarium; dan mood serta gangguan psikoseksual. Evaluasi
pasien yang diduga menderita SOPK termasuk riwayat menyeluruh dan pemeriksaan
fisik, penilaian untuk adanya hirsutisme, ultrasonografi ovarium, dan pemeriksaan
hormonal untuk mengkonfirmasi hiperandrogenisme dan oligo-anovulasi yang
diperlukan dan untuk mengeksklusi gangguan yang serupa atau mirip. Keputusan terapi
pada SOPK tergantung pada fenotipe pasien, perhatian, dan tujuan, dan harus fokus
pada 1) menekan dan menghalangi sekresi androgen dan kerjanya, 2) peningkatan status
metabolik, dan 3) peningkatan fertilitas. Namun, meskipun kemajuan yang signifikan
dalam memahami patofisiologi dan diagnosis gangguan ini selama 20 tahun terakhir,
gangguan ini kurang terdiagnosis dan disalahpahami oleh banyak praktisi.
(Obstet Gynecol 2018; 132: 321-36).
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah gangguan yang sangat umum, yang
mewakili gangguan endokrin-metabolik yang paling umum pada wanita usia reproduksi.
Laporan medis konkrit pertama mengenai SOPK dalam literatur medis kontemporer
adalah laporan seminar dari Stein dan Leventhal,1 yang pertama kali menggambarkan
serangkaian pasien dengan trias ovarium polikistik, hirsutisme, dan oligo-amenore,
secara klinis menghubungkan apa yang sebelumnya tampak tidak berhubungan. Namun,
meskipun terdapat kemajuan yang signifikan dalam memahami patofisiologi dan
diagnosis gangguan ini selama 20 tahun terakhir, gangguan ini masih kurang
terdiagnosis dan disalahpahami oleh banyak praktisioner.2 Baru-baru ini, terjadi
peningkatan minat mengenai SOPK untuk penjelasan masalah endokrin-metabolik atau
mengenali fenotip yang berbeda dari gangguan tersebut. Lebih lanjut, jelas bahwa
komunitas dokter perlu untuk menjadi lebih teredukasi, berpengetahuan, dan lebih
waspada mengenai gangguan yang sangat luas ini. Berikut adalah review definisi,
presentasi klinis, epidemiologi, morbiditas terkait, genetika, patofisiologi, diagnosis,
dan pengobatan SOPK.
DEFINISI
Terdapat tiga kriteria diagnostik untuk SOPK yang digunakan saat ini3 (Tabel 1).
Meskipun terdapat perbedaan kecil dalam skema diagnostik kriteria ini, secara
keseluruhan menggunakan fitur yang sama. Pemeriksaan berdasarkan kriteria ini
menunjukkan bahwa dua kriteria (Rotterdam 2003 dan Androgen Excess 2006 & PCOS
Society) merupakan ekspansi pertama (kriteria National Institutes of Health 1990)
(Tabel 1). Kriteria National Institutes of Health 1990 mendefinisikan dua fenotipe:
fenotipe A (hiperandrogenisme + oligo-anovulasi + morfologi ovarium polikistik) dan
fenotipe B (hiperandrogenisme + oligo-anovulasi, tetapi bukan morfologi ovarium
polikistik). Fenotipe A sering disebut SOPK fenotipe “komplit”, dan kedua fenotipe A
dan B sering disebut sebagai SOPK “klasik”. Androgen Excess 2006 & PCOS Society
dan kriteria Rotterdam 2003 mencakup fenotipe tambahan, fenotipe C
(hiperandrogenisme + morfologi ovarium polikistik, tetapi tanpa oligo-anovulasi), yang
disebut SOPK “ovulasi”. Akhirnya, kriteria Rotterdam 2003 memperkenalkan fenotipe
SOPK keempat, fenotipe D (oligo-anovulasi + morfologi ovarium polikistik, tanpa
hiperandrogenisme), sering disebut SOPK “nonhiperandrogenik” (Tabel 1). Pada tahun
2012, National Institutes of Health Consensus Conference Panel merekomendasikan
bahwa Rotterdam 2003 digunakan tetapi dengan syarat fenotipe SOPK spesifik
teridentifikasi.4
Semua definisi untuk SOPK memiliki eksklusi sistematis gangguan yang serupa atau
mirip. Pada pasien dengan bukti disfungsi ovulasi, penyebab umum lainnya dari oligo-
anovulasi harus dieksklusi seperti disfungsi tiroid dan hiperprolaktinemia dengan
mengukur thyroid-stimulating hormone dan prolaktin (Kotak 1). Pada pasien dengan
bukti kelebihan androgen, 21- hidroksilase (aktivitasnya ditentukan oleh P450c21 dan
dikodekan oleh CYP21A2) hiperplasia adrenal nonklasik yang kurang baik harus
dieksklusi dengan pengukuran dari kadar 17-hidroksiprogesteron basal, diperoleh pada
fase folikuler (preovulasi) dan sebaiknya pada pagi hari.5 Pasien dengan screeninng
kadar 17-hidroksiprogesteron lebih besar dari 2 ng / mL (200 ng / dL) harus menjalani
tes stimulasi hormon adrenokortikotropik akut (lihat Diagnosis- Uji hormonal). Sindrom
Cushing, neoplasma sekresi androgen, dan gangguan resistensi insulin yang parah
(misalnya, hyperandrogenic- insulin resistance-acanthosis nigricans [sindrom HAIRAN]
atau sindrom lipodistrofi) dapat dieksklusi dengan tes yang sesuai bila dicurigai secara
klinis (Kotak 1 dan di bawah).
NIH, National Institutes of Health; ESHRE, European Society for Human Reproduction
& Embryology; ASRM, American Society of Reproductive Medicine; AE-PCOS,
Androgen Excess & PCOS; HA, hiperandrogenisme klinis atau biokimia atau keduanya;
OA, oligo-anovulasi; PCOM, polycystic ovarian morphology.
* PCOM didefinisikan sebagai setidaknya satu ovarium dengan volume ovarium yang
lebih besar dari 10 cm3 (atau 10 mL) atau peningkatan antral follicle count (AFC), yaitu
dapat divisualisasikan sebagai kista pada korteks dengan ukuran ovarium 2-9 mm, atau
keduanya. Meskipun penelitian yang lebih lama menunjukkan bahwa AFCS dari 12 atau
lebih besar (menilai keseluruhan bukan hanya potongan sebagian cross-sectional
ovarium) diindikasikan PCOM, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa
diagnostik AFC mungkin sebanyak 18. Lihat teks untuk data lebih lanjut.
Kotak 1. Uji Hormonal dan Imaging pada Evaluasi Sindrom Ovarium Polikistik
Uji hormonal
Uji Hormonal untuk mendeteksi atau mengkonfirmasi hiperandrogenisme:
o Total dan T bebas, terutama pada pasien dengan bukti jelas hiperandrogenisme
klinis
o DHEAS, A4, atau keduanya meningkatkan deteksi hyperandrogenemia sekitar
15-20%
Uji hormonal untuk mendeteksi atau mengkonfirmasi disfungsi ovulasi:
o P4 hari ke 22-24 dari siklus untuk mendeteksi ovulasi pada pasien hirsutisme
eumenorrheic
o AMH untuk menilai peningkatan jumlah folikel antral
Uji hormonal untuk mengeksklusi gangguan yang serupa atau mirip:
o TSH pada semua pasien untuk menyingkirkan disfungsi tiroid
o Prolaktin pada semua pasien untuk menyingkirkan hiperprolaktinemia
o 17-hidroksiprogesteron basal pada fase folikuler dan di pagi hari pada semua
pasien untuk mengeksklusi 21-OH-defisiensi NCAH
o Uji stimulasi ACTH akut seperti yang ditunjukkan oleh hasil 17-
hidroksiprogesteron basal untuk mendiagnosa 21-OH- defisiensi NCAH
o OGTT untuk insulin dan glukosa sebagai indikasi klinis untuk mengeksklusi
sindrom resistensi insulin berat (sindrom HAIRAN atau sindrom lipodistrofi)
o Urine selama dua puluh empat jam bebas kortisol atau kortisol setelah tes
supresi deksametason semalam, sebagai indikasi klinis untuk mengeksklusi
sindrom Cushing
Imaging
Ultrasonografi pelvis pada semua pasien untuk menilai morfologi ovarium,
ketebalan endometrium, dan patologi panggul lainnya
CT atau MRI Adrenal, sebagai indikasi klinis untuk mengeksklusi neoplasma
adrenal
CT atau MRI Hipofisis, sebagai indikasi klinis untuk mengeksklusi neoplasma
hipofisis atau sellar
EPIDEMIOLOGI
Studi pertama yang menggambarkan prevalensi SOPK pada populasi yang tidak terpilih
di Amerika Serikat bagian selatan dan diterbitkan pada 1998.6 Sejak itu, sejumlah studi
telah melaporkan prevalensi SOPK yang mempengaruhi antara 5 dan 20% (1/20 sampai
1/5) dari wanita usia reproduksi, tergantung pada definisi yang digunakan.7 Dari semua
penelitian, dan meskipun terdapat variasi dalam metodologi, prevalensi SOPK yang
ditetapkan oleh kriteria National Institutes of Health 1990 relatif seragam, antara 5 dan
10%, sedangkan prevalensi SOPK oleh Androgen Excess 2006 & PCOS Society adalah
rentang 10-15% dan SOPK pada Rotterdam 2003 berkisar antara 5-20%.8 Secara
menyeluruh, prevalensi SOPK dalam suatu populasi tidak terkait dengan tingkat
obesitas pada populasi itu,8 menunjukkan bahwa SOPK bukan merupakan konsekuensi
dari epidemik obesitas modern.
PRESENTASI KLINIS
Sindrom ovarium polikistik adalah sindrom klinis, yaitu, kumpulan tanda dan gejala,
termasuk hiperandrogenisme klinis atau biokimia, oligoanovulasi, dan morfologi
ovarium polikistik, yang kami definisikan sebagai berikut.
Hiperandrogenisme Klinis
Tanda klinis yang paling umum dari hiperandrogenisme adalah hirsutisme atau
kehadiran rambut terminal berlebihan seperti laki-laki. Rambut terminal mengacu pada
rambut yang tumbuh lebih besar dari 5 mm (bila tidak dipotong), medullasi (memiliki
inti pusat dari keratinosit padat), dan sering memiliki bentuk dan pigmen. Atau, rambut
vellus merupakan rambut yang tidak mengalami medullasi, lebih lembut, umumnya
kurang dari 5 mm, dapat tidak berpigmen, dan memiliki bentuk yang seragam. Pola
seperti laki-laki mengacu pada pertumbuhan rambut di area di mana pria umumnya
memiliki pertumbuhan rambut terminal. Secara klinis, tingkat pertumbuhan rambut
terminal seperti pria pada daerah yang dinilai menggunakan skala visual, yaitu skor
Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi.9 Skor Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi
diperoleh dengan menetapkan skor 0 (tidak ada rambut terminal terlihat) sampai skor 4
(pertumbuhan rambut terminal konsisten dengan laki-laki normal) pada sembilan area
tubuh (bibir atas, dagu dan leher, dada atas, perut bagian atas, perut bagian bawah,
punggung atas, punggung bawah, lengan atas, dan paha) dan kemudian menjumlahkan
skor (Gambar. 1). Beberapa ketentuan untuk menilai Skor Ferriman-Gallwey yang
dimodifikasi harus dipertimbangkan (Kotak 2). Sebuah atlas warna telah diterbitkan
untuk membantu dalam menilai Skor Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi.9
Bagian terakhir dari definisi hirsutisme terletak pada istilah “kelebihan”. Sebanyak apa
rambut terminal yang seperti pria pada area tubuh wanita? Sebagian besar pengamat
mencatat bahwa skor lebih besar dari 95 persentil penduduk harus dianggap berlebihan,
dilaporkan cutoff Skor Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi dari 6, 7, 8, atau bahkan
10. Namun, terdapat sedikit alasan biologis atau medis yang menunjukkan persentil
lima keatas dari populasi dianggap sebagai abnormal.
Untuk menentukan abnormal dalam hal pertumbuhan rambut terminal pada wanita,
kami melakukan sebuah studi besar pada wanita kulit hitam dan putih.10 Menggunakan
analisis cluster dan gejala yang berhubungan, data kami menunjukkan bahwa skor
Ferriman-Gallwey yang dimodifikasi dengan skor 3 atau lebih didefinisikan abnormal.
Sebuah penelitian di Cina Han menemukan nilai cutoff yang sebanding dengan
menggunakan pendekatan yang serupa.11 Jadi, meskipun Skor Ferriman-Gallwey yang
dimodifikasi skornya 6 atau lebih besar dapat digunakan untuk mendefinisikan
hirsutisme signifikan, skor 3 atau lebih dapat menentukan tubuh terminal abnormal atau
pertumbuhan rambut wajah yang harus dievaluasi. Konsisten dengan fakta ini, dalam
sebuah studi terpisah, Souter et al12 menemukan bahwa lebih dari 50% wanita dengan
jumlah minimal kelebihan pertumbuhan rambut terminal (yaitu, Skor Ferriman-Gallwey
yang dimodifikasi 1-5) mengalami gangguan hiperandrogenik. Akibatnya, bahkan
wanita dengan derajat minimal kelebihan pertumbuhan rambut terminal tubuh dan
wajah, atau bahkan mereka yang dilaporkan memiliki rambut berlebih, harus dievaluasi
untuk kelebihan androgen. Tingkat hirsutisme merupakan indikator tingkat keparahan
disfungsi metabolik.13 Tanda-tanda klinis lain dari hiperandrogenisme termasuk akne
dan alopecia. Namun, akne dengan tidak adanya hirsutisme merupakan tanda terbaik
yang tidak dapat diandalkan untuk kelebihan androgen.14 Demikian juga, mayoritas
wanita dengan alopecia (difus dan sagital) tidak memiliki hyperandrogenisme.14
Hiperandrogenisme Biokimia
Hiperandrogenisme juga dapat ditentukan oleh bukti konsentrasi androgen berlebih
dalam sirkulasi. Namun, deteksi hyperandrogenemia tidak sesederhana kelihatannya,
dan berbagai peringatan harus diingat (Kotak 3). Pentingnya menggunakan alat tes yang
paling sensitif dan seakurat mungkin, terutama spektrometri massa atau immunoassay
berkualitas tinggi setelah ekstraksi dan kromatografi.
Disfungsi ovulasi
Oligo-ovulasi umumnya terdeteksi dari lamanya siklus menstruasi (yaitu, waktu antara
episode perdarahan vagina). Berdasarkan data epidemiologi yang lebih lama, 15 oligo-
anovulasi dapat didefinisikan sebagai siklus menstruasi lebih dari 35 hari, yang pada
gilirannya diubah menjadi 10 atau kurang dari 10 siklus per tahun. Beberapa peneliti
lebih suka menggunakan definisi oligo-anovulasi yaitu delapan siklus atau kurang per
tahun, yang setara dengan siklus yang lebih lama dari 45 hari panjangnya. Namun, tidak
semua presentasi oligo-anovulasi terbukti secara klinis oligo-amenore. Pada beberapa
wanita, disfungsi ovulasi akan muncul sebagai perdarahan menstruasi yang sering
(polymenorrhea), sedangkan pada pasien lain mungkin muncul dengan siklus bulanan
“biasa” (yaitu, eumenorrhea).16 Faktanya, 40% wanita dengan hirsutisme yang
mengakui mereka eumenorrhea, ternyata oligo-anovulatori.14 Seperti pada hirsutisme,13
keparahan disfungsi menstruasi secara langsung berhubungan dengan kadar resistensi
insulin.16
Disfungsi Metabolik
Mayoritas pasien dengan SOPK menunjukkan resistensi insulin kronis.21 Namun,
meskipun adanya kemampuan untuk menghasilkan insulin lebih dalam menghadapi
resistensi insulin, pasien dengan SOPK memproduksi insulin kurang dari derajat
resistensi insulin mereka, hal ini menunjukkan tingkat relatif disfungsi β sel. Sebagai
hasil dari resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia suboptimal, pasien dengan
SOPK memiliki peningkatan risiko gangguan toleransi glukosa dan diabetes mellitus
tipe 2. Bahkan, pasien dengan SOPK, lima sampai tujuh kali lipat lebih mungkin untuk
menderita diabetes mellitus tipe 2 dari pada populasi kontrol wanita berdasarkan usia.22
Selain itu, mereka memiliki peningkatan risiko sindrom metabolik, sebuah kompleks
tanda dan gejala yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes
mellitus tipe 2. Prevalensi sindrom metabolik pada SOPK, bergantung pada
penentuannya, tampak dua kali lebih beresiko pada SOPK untuk mengalami steatosis
makrovaskuler hepatik yang juga disebut penyakit perlemakan hati non-alkoholik.
Penyakit perlemakan hati non-alkoholik, bila tidak diobati, dapat menyebabkan
abnormalitas fungsi hati, steatohepatis, sirosis dan jarang menyebabkan karsinoma
hepatoseluler.
Kotak 3. Peringatan untuk Menilai Biokimia
Hiperandrogenisme
Setidaknya satu nilai androgen yang abnormal diperlukan untuk mendiagnosa
hyperandrogenemia.
Total dan T bebas harus selalu dinilai.
o Penilaian DHEAS dan A4 adalah opsional dan dapat mengidentifikasi tambahan
15-20% wanita sebagai hyperandrogenemic.
Kualitas, spesifisitas, dan sensitivitas alat uji sangat penting.
o Total T harus diuji menggunakan baik RIA kualitas tinggi setelah ekstraksi
sampel dan kromatografi kolom atau spektrometri massa setelah ekstraksi
sampel.
o T bebas harus dinilai menggunakan dialisis equilibrium, ultrafiltrasi, atau
pengendapan amonium sulfat atau disajikan sebagai rasio total T untuk SHBG
(yaitu, FAI).
Rentang normatif harus dikembangkan menggunakan definisi “super-kontrol” atau
analisis cluster dalam populasi yang lebih besar.
Nilai cutoff dipilih untuk tes androgen harus mempertimbangkan frekuensi latar
belakang gangguan.
Kadar androgen bervariasi pada usia dan lain-lain (misalnya, DHEAS) memerlukan
penggunaan rentang normatif tergantung usia.
Pada pasien yang sudah hirsutisme, pengukuran androgen yang bersirkulasi sedikit
membantu untuk evaluasi mereka.
Kadar androgen, berbeda dengan presentasi klinis, adalah prediktor yang buruk
untuk neoplasma pada sekresi androgen.
Pada kebanyakan remaja, tingkat androgen biasanya akan berada dalam kisaran
dewasa setelah usia 14 tahun.
Disfungsi Vaskular
Prevalensi resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan inflamasi subakut kronis
menunjukkan peningkatan risiko fungsi vaskular yang abnormal. Akibatnya, pasien
dengan SOPK memiliki risiko lebih besar untuk hipertensi, masalah serebrovaskular,
dan deep vein thrombosis.22 Atau, meskipun wanita dengan SOPK menunjukkan
disfungsi pembuluh darah koroner, beberapa data yang ada menunjukkan peningkatan
23,24
insiden, atau risiko, kejadian kardiovaskular (misalnya, infark miokard). Apakah
SOPK mencegah kejadian kardiovaskular, dalam menghadapi faktor risiko lain, masih
belum jelas.
Keganasan
Kombinasi oligo-anovulasi dan hiperinsulinemia menyebabkan pasien dengan SOPK
memiliki peningkatan risiko untuk hiperplasia endometrium dan karsinoma.22
Akibatnya, biopsi endometrium harus dipertimbangkan pada pasien SOPK dengan
riwayat jangka panjang oligo-anovulasi yang tidak diobati, terutama jika ketebalan
endometrium pada ultrasonografi meningkat. Pasien dengan SOPK juga mungkin
memiliki peningkatan risiko untuk ovarium, tetapi tidak kanker payudara.22
Komplikasi reproduksi
Kebanyakan pasien dengan SOPK mengalami oligoanovulasi, yang menyebabkan
subfertilitas terkait dengan disfungsi ovulasi.22 Setelah kehamilan, wanita dengan SOPK
tidak menunjukkan peningkatan risiko keguguran, meskipun tampaknya memiliki
peningkatan risiko untuk berbagai komplikasi obstetri termasuk hipertensi akibat
kehamilan, diabetes gestasional, dan makrosomia.22,25
Akhirnya, hal serupa telah digambarkan pada populasi Han Cina dan keturunan Eropa,
29
menunjukkan bahwa gangguan tersebut mungkin setidaknya sudah berusia 60.000
tahun. Sindrom ovarium polikistik merupakan paradoks evolusi yang jelas, gangguan
yang menyebabkan subfertilitas (kelemahan evolusi) dan tampaknya telah bertahan
selama ribuan tahun, memiliki prevalensi yang relatif sama di seluruh dunia (dalam
populasi yang diteliti sejauh ini), dan mempengaruhi sampai satu perlima dari seluruh
manusia. Meskipun ada kemungkinan bahwa SOPK memberikan beberapa keuntungan
evolusioner pada wanita kuno dan komunitas mereka, hal ini lebih mungkin bahwa
evolusi SOPK telah didorong oleh mekanisme evolusi adaptif, termasuk pergeseran
genetik yang dihasilkan dari efek serial buruk dan keseimbangan populasi yang
disebabkan dari pemilihan antagonis seksual.30
PATOFISIOLOGI
Meskipun diskusi menyeluruh tentang topik yang kompleks ini melebihi batas ulasan
ini, ada sejumlah patofisiologi PCOS pada umumnya yang dapat dibahas, dengan fokus
pada defek utama yang diamati dan interaksinya (Gbr. 2).
DIAGNOSIS
Faktor yang paling penting dalam diagnosis PCOS adalah kesadaran dokter,
pengetahuan, dan perhatian terhadap kemungkinan diagnosis. Sepertiga atau lebih
wanita melaporkan lebih dari 2 tahun dan tiga atau lebih profesional kesehatan sebelum
diagnosis ditegakkan.34
Secara keseluruhan, dua fitur umumnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien
dengan risiko lebih tinggi terhadap PCOS: 1) wanita yang melaporkan, atau memiliki
bukti klinis, kelebihan tubuh atau rambut wajah seperti pria; dan 2) wanita dengan
riwayat ketidakteraturan menstruasi atau oligoamenore. Selanjutnya, diagnosis PCOS
didasarkan pada penilaian status hiperandrogenik mereka, fungsi ovulasi, dan morfologi
ovarium dan pengecualian yang terkait atau menyerupai gangguan.
Populasi seluas mungkin bagi para praktisi yang paling tertarik dengan morbiditas
reproduksi PCOS akan diidentifikasi menggunakan kriteria Rotterdam 2003 (Tabel 1).
Namun, terlepas dari kriteria mana yang dipilih untuk diagnosis, dokter harus jelas
bahwa mereka juga harus menentukan fenotipe (A-D) yang dimiliki pasien, karena
masing-masing dikaitkan dengan risiko yang berbeda untuk metabolisme dan
morbiditas lainnya. Berikut ini kami memerincikan evaluasi pasien yang diduga
menderita PCOS.
Tes Hormon
Penilaian hormon yang bersirkulasi pada pasien dengan dugaan PCOS dilakukan untuk
tiga tujuan: 1) untuk mengkonfirmasi atau menunjukkan hiperandrogenisme, 2) untuk
mengkonfirmasi atau menunjukkan disfungsi ovarium, dan 3) untuk mengecualikan
yang menyerupai atau meniru gangguan (Kotak 1). Dari catatan, deteksi
hiperandrogenemia paling berarti pada pasien tersebut tanpa bukti klinis
hiperandrogenisme yang jelas; jika penilaian androgen digunakan untuk evaluasi pasien
yang diduga PCOS, tes yang digunakan harus memiliki kualitas dan sensitivitas
terbesar. Juga seperti yang ditunjukkan sebelumnya, hingga 40% pasien dengan
hirsustisme eumenorea memiliki oligo-anovulasi ketika dinilai dengan hati-hati.14 Cara
paling sederhana untuk mengevaluasi oligoanovulasi pada pasien-pasien ini adalah
memperoleh kadar progesteron pada hari ke 22-24 siklus (sedikit lebih lambat dari
biasanya untuk pemantauan ovulasi untuk mendeteksi ovulasi yang terlambat), lebih
disukai pada lebih dari satu siklus (Kotak 1).
Selain itu, berbagai peneliti telah menyarankan penggunaan anti-müllerian hormone
alih-alih ultrasonografi transvaginal untuk menilai keadaan ovarium sehingga
peningkatan anti-müllerian hormone mencerminkan adanya peningkatan jumlah folikel
preantral.31 Namun, data saat ini menunjukkan bahwa penggunaan anti-müllerian
hormone untuk diagnosis PCOS masih memerlukan pertimbangan ultrasonografi
transvaginal ovarium.35 Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk menentukan
karakteristik uji anti-müllerian hormone yang optimal, nilai batas, dan kekuatan
prediksi dari anti-müllerian hormone dalam diagnosis PCOS.
Meskipun sebagian besar gangguan yang mirip atau menyerupai dikecualikan untuk
evaluasi klinis, beberapa dari ini perlu dikecualikan atau didiagnosis dengan tes
hormonal yang lebih spesifik. Yang utama di antaranya adalah gangguan tiroid,
hiperprolaktinemia, dan hiperplasia adrenal non-klasik, yang dikecualikan dengan
pengukuran thyroid-stimulating hormone, prolaktin, dan 17-hidroksiprogesteron,
masing-masing.
Hiperplasia adrenal non-klasik yang diakibatkan oleh defek pada CYP21A2
mempengaruhi antara 1 dan 10% wanita hirsustisme, tergantung pada etnis, dan
merupakan satu-satunya gangguan autosom-resesif manusia yang paling umum.
Meskipun the American College of Obstetricians and Gynecologists’ 2018 Practice
Bulletin on PCOS merekomendasikan skrining untuk hiperplasia adrenal non-klasik
dengan 17-hidroksiprogesteron hanya pada wanita yang merupakan anggota kelompok
yang berisiko lebih tinggi untuk hiperplasia adrenal non-klasik,36 data lain menunjukkan
bahwa diagnosis dini dan pengobatan kortikosteroid dapat meningkatkan hasil
reproduksi.37 Oleh karena itu, semua wanita dengan tanda, gejala, atau keluhan
hiperandrogenik, terlepas dari tingkatannya, harus diskrining untuk hiperplasia adrenal
non-klasik. Praktisi harus mencatat bahwa tidak mungkin untuk mendiagnosis atau
bahkan mengasumsikan diagnosis hiperplasia adrenal non-klasik secara klinis38 dan
penilaian 17-hidroksiprogesteron adalah wajib.
Skrining untuk hiperplasia adrenal non-klasik dapat dilakukan dengan menggunakan
fase folikuler basal (lebih disukai pagi) 17-hidroksiprogesteron. Jika nilai skrining
melebihi 2 ng/mL (200 ng/dL), pasien harus menjalani uji stimulasi hormon
adrenokortikotropik akut 1-24 dengan 17-hidroksiprogesteron yang diukur sebelumnya
(untuk memastikan respons) dan 30–90 menit setelahnya. Kadar setelah stimulasi dari
17-hidroksiprogesteron lebih besar dari 10 ng/mL (1.000ng/dL) umumnya menunjukkan
hiperplasia adrenal non-klasik (walaupun kadang-kadang heterozigot untuk mutasi
CYP21A2 akan menunjukkan kadar kelainan ini), sedangkan kadar di atas 15 ng/mL
(1.500 ng/dL atau lebih besar) hampir pasti menunjukkan hiperplasia adrenal non-
klasik. Meskipun penilaian genetik CYP21A2 dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis serta menilai jenis defek pembawa, hal tersebut tidak boleh digunakan untuk
menskrining hiperplasia adrenal non-klasik.
Akhirnya, walaupun secara hipotetis defek dari HSD3B2 dan CYP11B1, menentukan
aktivitas 3β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 11β-hidroksilase, masing-masing, dapat
mengakibatkan hiperplasia adrenal non-klasik, beberapa pasien non-remaja dengan
defek ini telah dijelaskan dan beberapa masih dalam ketiadaan terhadap ambiguitas
genital.39,40 Dengan demikian, dan bertentangan dengan defisiensi 21-hidroksilase
hiperplasia adrenal non-klasik, skrining rutin untuk 3β-hidroksisteroid dehidrogenase
dan defisiensi 11-hidroksilase hiperplasia adrenal non-klasik tidak dianjurkan.
Tes Lainnya
Kebutuhan untuk tes hormonal lainnya (misalnya, urin 24 jam untuk bebas kortisol atau
tes supresi deksametason semalam) dan pencitraan (misalnya,madrenal) akan ditentukan
oleh presentasi klinis (Kotak 1).
Beberapa peringatan harus disebutkan. Pada pasien yang tidak mengejar konsepsi dan
yang dalam kontrasepsi hormonal tidak dikontraindikasikan, pengobatan dengan
kontrasepsi oral kombinasi harus menjadi bagian dari terapi awal. Kontrasepsi oral
kombinasi menekan sekresi gonadotropin dan produksi androgen ovarium, mengatur
perdarahan vagina, dan melindungi endometrium. Walaupun kontrasepsi oral dapat
meningkatkan derajat resistensi insulin, dilakukan dengan sederhana.47 Beberapa pasien
mungkin mengalami trombosis vena dalam (DVT) dan kejadian trombotik lainnya saat
menggunakan kontrasepsi oral, walaupun tidak jelas apakah risikonya lebih tinggi pada
PCOS dibandingkan pada pasien lain dengan massa tubuh yang serupa pada kontrasepsi
oral.47
Pada pasien yang tidak mentolerir kontrasepsi oral, pertimbangan dapat diberikan
kontrasepsi transdermal kombinasi atau kontrasepsi progestin saja. Atau, beberapa
pasien mungkin memilih untuk pemberian progestogen siklik, yang akan melindungi
endometrium dan meminimalkan risiko hiperplasia endometrium, tetapi tidak menekan
produksi androgen. Penekanan produksi androgen ovarium oleh analog gonadotropin-
releasing hormone kerja panjang mungkin diperlukan pada kasus tertentu, terutama
pada pasien yang jarang dengan tingkat insulin yang sangat tinggi (misalnya, sindrom
hiperandrogenik-resisten insulin-akantosis nigrikans).48 Pasien juga mungkin
mengalami pengurangan dalam androgen yang bersirkulasi sekunder akibat penurunan
berat badan atau terapi insulin sensitizer (lihat “Meningkatkan Status Metabolik”).