Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan komplikasi yang

membahayakan dari demam rematik. Katup-katup jantung tersebut rusak karena

proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi tenggorokan yang

disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus tipe A yang bisa

menyebabkan demam rematik. Kurang lebih 39% pasien dengan demam

rematik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup,

gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung rematik

yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi

yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit

jantung rematik masih menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian

katup pada orang dewasa di Amerika Serikat. Menurut Hudak dan Gallo

(1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh

kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang,

seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan

beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri

sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung

rematik adalah gagal jantung kongestif.

Menurut laporan WHO Expert Consultation Geneva 29 Oktober - 1

November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan, sekitar 7,6/100.000

penduduk di Asia Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang dan


1
0,5/100.000 penduduk di negara maju menderita penyakit jantung rematik. Data

mengenai kejadian PJR di Indonesia tidak tersedia secara lengkap dan akurat.

Data yang ada kebanyakan disampaikan dalam bentuk data di rumah sakit atau

unit kesehatan, dan sukar dicari data secara nasional. Umumnya data terakhir

yang tercatat berasal dari tahun 1990an.

Penelitian yang dilakukan oleh Suciadi 4 di Kota Bandung, dari 4.682

pasien yang menjalani pemeriksaan ekokardiografi dalam tiga belas bulan di

Rumah Sakit Hasan Sadikin didapatkan pasien penyakit jantung reumatik

sebesar 108 orang dengan 84 pasien adalah perempuan. Penelitian yang

dilakukan oleh Dali di India menyatakan distribusi dari bermacam-macam lesi

katup ini terjadi secara tunggal dan kombinasi. Katup mitral paling sering

terlibat pada penyakit jantung remautik dari gambaran ekokardiografi, stenosis

mitral merupakan lesi tersering yaitu 90%. Komplikasi tersering adalah fibrilasi

atrium.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma di India, penyakit

jantung reumatik merupakan penyebab utama dari fibrilasi atrium di India

dengan insidensi 41 dari 94 kasus (43,61%). Fibrilasi atrium pada penyakit

jantung reumatik lebih sering terjadi pada perempuan (72,72%). Insidensi

fibrilasi atrium meningkat seiring dengan peningkatan derajat keparahan dari

stenosis katup.

Fibrilasi atrium merupakan keadaan klinis tersering dari aritmia. Fibrilasi

atrium merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia yang

prevalensinya meningkat secara cepat di negara berkembang seperti Brazil,


2
Cina, India, dan Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Indonesia (PERKI) menyatakan fibrilasi atrium merupakan aritmia yang paling

sering ditemui dalam praktik sehari-hari. Dari hasil studi yang dilakukan Borse

di Ahmedabad, dari 103 pasien fibrilasi atrium, dilatasi atrium kiri terjadi pada

59 pasien (57,28%). Menurut Framingham Heart Study dan Cardiovascular

Health Study, peningkatan ukuran diameter atrium kiri dapat meningkatkan

kejadian fibrilasi atrium.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mendiagnosa Rheumatic Heart Disease pada pasien ini?

2. Apa penyebab Atrial Fibrilasi pada pasien ini?

3. Bagaimana mendiagnosa Atrial Fibrilasi pada pasien ini?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosa Rheumatic Heart Disease pada

pasien ini.

2. Untuk mengetahui apa penyebab Atrial Fibrilasi pada pasien ini

3. Untuk mengetahui bagaimana mendiagnosa Atrial Fibrilasi pada pasien ini.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS

a) Nama : Tn. Y.B

b) Jenis kelamin : Laki-laki

c) Usia : 20 tahun

d) Tanggal lahir : 05/08/1998

e) Alamat : Wamena

f) RM : 413908

g) Jaminan : KPS

h) Ruangan : Ruang Penyakit Dalam Pria (RPDP)

i) Tanggal masuk RS : 28/11/2018

j) Tanggal periksa : 28/11/2018

k) Tanggal Keluar RS : 05/12/2018

2.2. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Nyeri dada kiri

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD dok II dengan membawa surat rujukan dari

RSUD Wamena dengan diagnosis sementara RHD+ AF+ CHF FC III-

IV.

Pasien mengeluhkan nyeri dada kiri ± 1 bulan, terasa seperti

terbakar, dirasakan tiap malam, durasi ± 2 jam. Sesak (+), DOE (+),
4
ortopneu (+), PND (+), Pasien mengeluhkan sesak dan tubuhnya terasa

lemas dan cepat lelah. Sesak tidak dipengaruhi oleh suhu ataupun cuaca

tapi sangat dipengaruhi oleh aktifitas. Pasien mengeluh cepat lelah dan

lemas saat aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Pasien merasa lebih

nyaman jika kepala agak ditinggikan saat berbaring. Pasien juga

mengeluhkan dadanya terasa berdebar-debar. Mual (-), muntah (-),

keringat (-), BAK teh (-), BAB dempul (-), demam (+) ± 1 bulan, batuk

sesekali (+) tidak berlendir, pilek (-), kel. telinga (-/-), BAK tidak sakit.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit jantung sebelumnya (+). Pasien pernah berobat ke

poliklinik RSUD dok II, pada 21/03/2016 dan didiagnosis dengan

 RHD MR berat + MS ringan + AR

 PHT moderate

 Disfungsi diastolik grade II

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kelainan jantung dalam keluarga disangkal.

Riwayat Hipertensi disangkal.

E. Riwayat Alergi

Riwayat alergi disangkal.

F. Riwayat Sosial Ekonomi dan lingkungan

Rokok (-), OAT (-), ARV (-), penggunaan kayu bakar (+).

5
G. Riwayat Penggunaan Obat

Selama ini OS meminum obat furosemid 1 x 40 mg (P.O), Captopril 3 x

6.25 (P.O), Aspilet 1 x 80 mg (P.O), Spironolakton 1 x 25 mg (P.O).

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum

Tampak sakit sedang.

 Kesadaran

GCS: E4V5M6, kesadaran: composmentis

 TTV

HR : 98x/m Irreguler, kuat angkat

RR : 28x/m

TD :120/80 mmHg

SpO2 : 97 % Spontan

SB : 36.5 oC

 Kepala :

a. Mata : CA (-/-), SI (+/+),

b. Hidung : Sekret hidung -/-,

c. Telinga : Sekret telinga -/-,

d. Mulut : OC (-/-), tonsil tidak hiperemis,

e. Leher : JVP ( ) 5+3

6
 Thoraks : Simetris, ikut gerak nafas

a. Cor : Iktus cordis tampak, kuat angkat, teraba di SIC VI 2

cm lateral linea midclavicula sinistra. BJ S1/S2 ireguler,

murmur sistolik diastolik (+), murmur sistolik trikuspid.

b. Pulmo : SN Vesikuler (+/+), rh (+/+) minimal basah halus

dibagian basal, wh (-/-).

 Abdomen : Datar, BU (+) Normal, timpani, NT (-), Hepar

3 JBAC, lien tidak teraba.

 Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2”, edema pitting (-/-).

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Laboratorium

Hasil Laboratorium tertanggal (28/11/2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


DARAH RUTIN
Hemoglobin H 15.2 g/dL 11,0 – 14,7 g/dL

Eritrosit H 5.79 x 106/uL 3,68-5,46 x 106/uL


Leukosit H 8,59 x 103/uL 3,37-8,38 x 103/uL
Hematokrit H 46,8 % 35,2-46,7 %
Trombosit 195 1400 – 400 x 103/uL
KARBOHIDRAT    

Glukosa Darah Sewaktu 130 mg/dL <=140 mg/dL

FUNGSI GINJAL
BUN 18,0 mg/dL 7,0 – 18,0 mg/dL
Kreatinin 0,82 mg/dl <= 0,95 mg/dL

7
Natrium darah 142,30 mEq/L 135 – 148 mEq/L
Kalium darah 3,73 mEq/L 3,50-5,30 mEq/L
Cl darah H 107,10 mEq/L 98 – 106 mEq/L
Calcium ion L 1,13 mEq/L 1,15-1,35 mEq/L
KOAGULASI
PT H 12.2 detik 10,2 – 12,1 detik
APTT 25,5 detik 24,8 – 34,4 detik
KIMIA DARAH
Bilirubbin Total H 4,65 mg/dL 0,20-1,000 mg/dL
Bilirubbin Indirek H 1,99 mg/dL 0,00- 0,70 mg/dL
Bilirubbin Direk H 2,66 mg/ dL <= 0,2 mg/dL
SGOT H 48,8 U/L <= 40 U/L
SGPT H 50,9 U/L <= 40 U/L
Albumin 4,3 g/dL 3,5- 5,2 g/dL

Hasil laboratorium tertanggal 03/12/2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

SEROLOGI

ASTO Negatif < 200 IU/mL

KIMIA DARAH

8
Bilirubbin Total H 4,26 mg/dL 0,20-1,000 mg/dL

Bilirubbin Indirek H 2,14 mg/dL 0,00- 0,70 mg/dL

Bilirubbin Direk H 2,11 mg/ dL <= 0,2 mg/dL

SGOT H 40,8 U/L <= 40 U/L

SGPT H 44,8 U/L <= 40 U/L

 Pemeriksaan EKG

Tertanggal 28/11/2018

Kesan: AF, deviasi aksis ke kanan, LVH

Kesan: AF, LVH, defiasi aksis ke kanan.

 Pemeriksaan Radiologi

Rontgen tertanggal 28/11/2018

9
a

b
c

19
Cor: CTR : ×100 % = 67%, Kesan : Cardiomegali
28

Pulmo : kesan: tampak infiltrat di basal paru kanan

2.5. PLANNING

 Cek LFT, PT/APTT

 Rencana suntik BP/IM

2.6. DIAGNOSIS KERJA

 AF

 RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP

2.7. TATALAKSANA

10
 IVFD NS 1000ml/24jam, minum 800cc/24jam

 Inj. Furosemid 1 amp/12 jam

 Spironolakton 50 mg/12 jam

 Inj. Digoksin 1 amp/ 24 jam (ekstra)  lanjut oral

 Inj. Digoksin 1 amp/24jam

 Aspilet 80mg/12 jam (P.O)

 ISDN tab 5 mg/ 12 jam (P.O)

 Simarc 2mg 1x1 malam (P.O)

 Inj. Heparin (invicolt) 3x4000unit (3x0.8cc) S.C

2.8. PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

2.9. FOLLOW UP

29-11-2018
S : Nyeri dada kiri berkurang, sesak berkurang
O Kesadaran : compos mentis,

TD: 110/80 mmHg, N: 77 x/m ireguler , R: 20 x/m, SB: 36,8

C, SpO2: 98%


K/L: CA (-/-), SI (+/+)

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

Cor: Iktus cordis tampak, kuat angkat, S1/S2 irreguler, murmur

sistolik diastolik (+)

11
Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-)

Eks: edema (-)

Lab: Hb: 15,2 g/dL, Ht: 46.0%, WBC: 8.59 103/uL,

GDS: 130, BUN: 18, Cre: 0.95, PT/APTT: 12.2/25.5


A :  AF

 RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect Kongestif Liver

 Suspect CAP
P :  IVFD NS 1000ml/24jam, oral 800cc/24jam

 Inj. Furosemid 1 amp/12 jam

 Inj. Digoksin 1 amp/24jam  ganti tab 1 x 1

 Inj. Heparin (invicolt) 3x4000unit SC (3x0.8cc) H-I

 Spironolakton 50 mg/12 jam P.O

 Aspilet 80mg/12 jam P.O

 ISDN tab 5 mg/ 12 jam P.O

 Simarc 2mg 1x1 malam P.O

30-11-2018
S : Nyeri dada kiri berkurang, sesak berkurang
O Kesadaran : compos mentis,

TD: 110/80 mmHg, N: 66 x/m ireguler , R: 20 x/m, SB: 36,7 C,

12
SpO2: 99% spontan
K/L: CA (-/-), SI (+/+), JVP 5 + 1.5cm

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

Cor: Iktus cordis tampak, kuat angkat,teraba di ICS VI 2 cm

lateral midclavicula line (S), BJ I-II irreguler, murmur sistolik

diastolik (+)

Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-),hepar 2 JBAC, limpa tidak teraba

Eks: edema (-) Akral hangat (+)

Input: 1800

Output: 2028

BC: -282
A :  AF

 RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP
P :  IVFD NS 1000ml/24jam, oral 800cc/24jam

 Inj. Furosemid 2x1 A  oral 2 x 1 tab

 Inj. Heparin (invicolt) 3x4000unit SC (3x0.8cc) (H-II)

 Spironolakton 2x 50 mg P.O  2x 25 mg P.O

 Digoksin tab 0.25 mg/ 24 jam P.O  1 x 1 tab P.O

 Azitromisin 1 x 500mg P.O (H-I)

13
 Aspilet 80mg/12 jam P.O

 ISDN tab 5 mg/ 12 jam P.O

 Simarc 2 mg/ 24 jam malam

 Cek ASTO

01-12-2018
S : Nyeri dada kiri berkurang, sesak berkurang
O Kesadaran : compos mentis,

TD: 120/80 mmHg, N:71 x /m ireguler , R: 21 x/m, SB: 36,7 C,

SpO2: 98% spontan


K/L: CA (-/-), SI (+/+), JVP 5 + 1.5cm

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

Cor: Iktus cordis tampak, kuat angkat,teraba di ICS VI 2 cm

Lateral midclavicula line (S), BJ I-II irreguler murmur sistolik

diastolik (+)

Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-), hepar 2 JBAC, limpa tidak teraba

Eks: edema (-) Akral hangat (+)

Input : 1800 cc

Output: 1932 cc

BC: -132 cc
:  AF

A  RHD MR MS TR

 CHF

14
 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP
P :  IVFD NS 1000ml/ 24jam, oral 800cc/ 24jam

 Inj. Heparin (invicolt) 3x4000unit SC (3x0.8cc) (H-III)

 Azitromisin tab 500mg 1x1 P.O (H-II)

 Furosemid tab 40 mg 2x1 P.O

 Spironolakton tab 25mg 2x1 P.O

 Digoksin tab 0.25 mg 1x1 P.O

 Aspilet tab 80mg 2x1 P.O

 ISDN tab 5 mg 2x1 P.O

 Simarc 2mg 1x1 malam P.O

 Infus Venflon

 Cek ASTO senin

 Mobilisasi

02-11-2018
S : Nyeri dada kiri berkurang, sesak berkurang
O Kesadaran : compos mentis,

TD: 120/80 mmHg, N: 20 x/m ireguler , R:20 x/m, SB: 36,7 C,

SpO2: 99% spontan


K/L: CA (-/-), SI (+/+), JVP 5 + 1.5cm

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

Cor: Iktus cordis tampak, kuat angkat,teraba di ICS VI 2 cm

15
Lateral midclavicula line (S), BJ I-II irreguler, murmur sistolik

diastolik (+)

Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-), hepar 2 JBAC, limpa tidak teraba

Eks: edema (-) Akral hangat (+)

Lab: Hb: 15,2 g/dL, Ht: 46.0%, WBC: 8.59 103/uL,

GDS: 130, BUN: 18, Cre: 0.95, PT/APTT: 12.2/25.5

Bilirubin: Total: 4.65, indirek 1.99, direk 2.66

SGPT/SGOT: 50.9/48.8

Input : 1800 cc

Output: 1932 cc

BC: -132 cc

:  AF

A  RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP
P :  Inj. Heparin (invicla) 3x4000U S.C 3x0.8 H-IV

 Furosemid tab 40 mg 2x1 P.O

 Spironolakton tab 25mg 2x1 P.O

 Digoksin tab 0.25 mg 1x1 P.O

 Azitromisin tab 500mg 1x1 P.O H-III

16
 Aspilet tab 80mg 2x1 P.O

 ISDN tab 5 mg 2x1 P.O

 Simarc 2mg 1x1 malam P.O

 Cek ASTO senin, mobilisasi

03-11-2018
S : Nyeri dada kiri berkurang, sesak berkurang
O Kesadaran : compos mentis,

TD: 110/70 mmHg, N: 72 x/m ireguler , R: 18 x/m, SB: 36,7 C,

SpO2: 99% spontan


K/L: CA (-/-), SI (+/+),

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

Cor: Iktus cordis tampak, kuat angkat,teraba di ICS VI 2 cm

Lateral midclavicula line (S), BJ I-II irreguler, murmur

sistolik diastolik (+)

Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-), hepar 2 JBAC, limpa tidak teraba

Eks: edema (-) Akral hangat (+)

Lab: ASTO (negatif)

BUN: 18, Cre: 0.95, PT/APTT: 12.2/25.5

Bilirubin: Total: 4.25, indirek 2,14, direk 2.11

SGPT/SGOT: 40.8/44.0

Input : 1800 cc

Output: 1932 cc

17
BC: -132 cc
:  AF

A  RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP
P : 1. Infus : venflon

2. Oral: 2000-2500 ml

3. Ijn. Heparin (Inviclot) 3x4000 U 3x0.8 S.C H-V

4. Furosemid tab 40 mg 2x1 P.O

5. Spironolakton tab 25mg 2x1 P.O

6. Digoksin tab 0.25 mg 1x1 P.O

7. Azitromisin tab 500mg 1x1 P.O H-IV

8. Aspilet tab 80mg 2x1 P.O

9. ISDN tab 5 mg 2x1 P.O

10. Simarc 2mg 1x1 malam P.O

11. Mobilisasi

04-11-2018
S : Sesak (-), Nyeri dada (-)
O Kesadaran : compos mentis,

TD: 110/70 mmHg, N: 72 x/m, R: 21 x/m, SB: 36,8 C, SpO2:

99% spontan
K/L: CA (-/-), SI (+/+), JVP 5 + 1.5cm

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

18
Cor: BJ I-II irreguler, murmur sistolik diastolik (+)

Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-)hepar 2 JBAC, limpa tidak teraba

Eks: edema (-) Akral hangat (+)


:  AF

A  RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP
P :  Minum 2000-2500

 Invicolt 3x4000 U SC H-V STOP

 Furosemid tab 40 mg 2x1 P.O  3 x 1 tab

 Spironolakton tab 25mg 2x1 P.O

 Digoksin tab 0.25 mg 1x1 P.O

 Azitromisin tab 500mg 1x1 P.O H-V

 Aspilet tab 80mg 2x1 P.O  1 x 1 tab

 ISDN tab 5 mg 2x1  stop

 Simarc 2mg 1x1 malam

 Valsartan tab 40 mg 2x1 P.O

 Mobilisasi

05-11-2018
S : Sesak (-), nyeri dada (-)
O Kesadaran : compos mentis,

19
TD: 100/70 mmHg, N: 78 x/m ireguler , R: 22 x/m, SB: 36,7 C,

SpO2: 99% spontan


K/L: CA (-/-), SI (+/+),

Tho: Simetris, ikut gerak nafas

Cor: BJ I-II irreguler, murmur sistolik (+)

Pulmo: SN Vesikuler (+/+)

Abd: Supel, NT (-)

Eks: edema (-) Akral hangat (+)

Input: 2000 cc

Output: 2075 cc

BC: -75 cc
:  AF

A  RHD MR MS TR

 CHF

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP
P :  Asupan oral 2500ml/24jam

 Furosemid tab 40 mg 3x1 P.O

 Spironolakton tab 25mg 2x1 P.O

 Digoksin tab 0.25 mg 1x1 P.O

 Azitromisin tab 500mg 1x1 H-VI P.O

 Aspilet tab 80mg 2x1 stop

 Simarc tab 2mg 1x1 malam P.O

20
 Valsartan tab 40 mg 2x1 P.O

 Mobilisasi

21
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Penyakit Jantung Rematik

3.1.1. Definisi

Penyakit jantung rematik merupakan kelainan katup jantung yang

menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama

mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup

trikuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal (Julius W, 2016:

138).

3.1.2. Epidemiologi

Demam Rematik Akut merupakan penyebab utama penyakit jantung

didapat pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang

dengan keadaan sosio ekonomi rendah dan lingkungan buruk. Keterlibatan

jantung menjadi komplikasi terberat dari DRA dan menyebabkan

morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Setiap tahunnya rata-rata

ditemukan 55 kasus dengan demam reumatik akut (DRA) dan Penyakit

Jantung Rematik. Diperkirakan prevalensi PJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8

anak sekolah 5-15 tahun (Julius W, 2016: 138). Dengan 60% dari 470.000

kasus DRA pertahun akan menambah jumlah kejadian PJR yang 15 juta

jiwa. Penderita PJR akan berisiko untuk kerusakan jantung akibat infeksi

berulang dari DRA dan memerlukan pencegahan. Morbiditas akibat gagal

jantung, stroke dan endokarditis sering pada penderita PJR dengan sekitar

1.5% penderita rheumatic carditis akan meninggal pertahun. DRA dan PJR
22
diperkirakan berasal dari respon autoimun, tetapi patogenesa pastinya

belum jelas. Di seluruh dunia DRA diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak

anak dan dewasa muda. 90.000 akan meninggal setiap tahunnya. Mortalitas

penyakit ini didunia adalah sebesar 1-10% (Julius W, 2016: 138).

3.1.3. Diagnosa

Penegakkan diagnosa menurut Kriteria PERKI Tahun 2016 untuk

diagnosis Demam Rematik & Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan

revisi kriteria Jones) yaitu:

 Episode pertama demam rematik

Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor + bukti infeksi

GAS.

 Demam rematik berulang pada pasien tanpa penyakit jantung rematik.

Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 1 kriteria minor tanpa

sequele penyakit jantung rematik.

 Demam rematik berulang pada pasien dengan penyakit jantung rematik.

Memenuhi 2 kriteria minor + bukti infeksi GAS + sequel penyakit

jantung rematik sebelumnya.

 Rematik chorea dan rematik karditis. Demam rematik dapat ditegakkan

tanpa bukti infeksi/kriteria lainnya.

 Lesi katup kronik pada penyakit jantun rematik (pasien datang pertama

kali dengan lesi katup mitral dengan/atau tanpa lesi katup aorta).

23
Kriteria Jones

Tabel 1: Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic


Fever
Sumber: Premana P. Penyakit Jantung Rematik. 2018: 5.

Karditis dapat dibagi menjadi karditis ringan, karditis sedang dan

karditis berat. Dikatakan karditis ringan adalah apabila diragukan adanya

kardiomegali, karditis sedang apabila terdapat kardiomegali ringan dan

karditis berat adalah apabila didapatkan adanya kardiomegali yang nyata

atau gagal jantung (Julius W, 2016: 141).

Pemanjangan interval PR pada EKG merupakan salah satu kriteria

minor dari demam rematik. Nilai normal batas atas interval PR untuk usia

3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20

24
detik. Interval PR yang memanjang biasanya menunjukkan adanya

keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan

meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG

ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval PR yang

memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya

karditis rematik (Julius W, 2016: 141).

Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik

standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung

adanya infeksi Streptococcus. Titer ASTO dapat dijumpai pada sekitar 70%

sampai 80% kasus demam rematik akut (Julius W, 2016: 141).

3.1.4. Tatalaksana

1. Tata Laksana Umum: Tirah baring

Pasien harus tirah baring, dilanjutkan dengan mobilisasi bertahap

yang lamanya tergantung pada kondisi jantungnya:

Tabel 2: Tata laksana umum (Tirah baring)


Sumber: Firdaus Isman, Panduan Praktik Klinis (PPK)dan Clinical
Pathway (CP) Penyakit jantung dan Pembuluh darah, 2016: 218

2. Eradikasi

Berikan antibiotik untuk eradikasi kuman GAS, sebagai pencegahan

primer demam rematik.


25
 Benzatin penisilin :1,2 juta U IM (BB <27 Kg: 600.000 U IM).

 Phenoxymethil Penicillin (Penicilin V) selama 10 hari. Dewasa

dan remaja: 750- 1000 mg/hari dibagi 2-4 dosis. Anak: 500 -750

mg/hari dibagi 2-3 dosis,

 Amoxicilin: 25-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maximal

750-1000 mg/ hari) selama 10 hari.

Bila alergi Penicillin dapat diberikan:

 Cephalosporin spektrum sempit (cephalexin, cefadroxil) per-oral

dengan dosis bervariasi selama 10 hari

 Clindamycin 20 mg/KgBB/hari per-oral dibagi 3 dosis (maksimal

1.8 gram/hari) selama 10 hari.

 Azithromycin 12 mg/KgBB per-oral sekali sehari (maksimal 500

mg) selama 5 hari,

 Clarithromycin 15 mg/KgBB/hari per-oral dibagi dalam 2dosis

(maksimal 500 mg), selama 10 hari.

Kultur diulang 2-7 hari pasca selesai pemberian antibiotik.

3. Anti radang untuk karditis dan polyarthritis migrans

 Prednison: 2 mg/KgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) selama 2

minggu, kemudian di sapih 20- 25% tiap minggu, atau

 Salisilat: 100 mg/KgBB dibagi 4-5 dosis (maksimal 6 g/hari)

selama 2 minggu, kemudian 60-70 mg/KgBB/hari selama 3 –6

minggu.

26
4. Gagal jantung

 Tempat perawatan

a) Gagal jantung berat dirawat di ruang rawat intensif

b) Gagal jantung sedang dirawat di ruang rawat intermediate

c) Gagal jantung ringan dirawat di ruang rawat biasa

 Lama perawatan dan mobilisasi tergantung kondisi jantung

 Restriksi cairan dan diet rendah garam

 Obat-obatan anti gagal jantung: diuretik, ACE-I +/- digoxin

 Bila terdapat efusi perikard yang berakibat tamponade maka

perlu dilakukan punksi perikard.

5. Chorea

Chorea dapat hilang sendiri setelah tirah baring dan eradikasi

kuman GAS; bila perlu diberikan pengobatan simptomatik dengan

clorpromazin, diazepam atau haloperidol.

6. Tindakan intervensi bedah dan non bedah

Jarang dilakukan pada keadaan akut, kecuali bila gagal diatasi

dengan medika mentosa. Intervensi sebaiknya dilakukan 3 (tiga)

bulan setelah demam rematik dinyatakan reda.

7. Antibiotik untuk Prevensi Sekunder

 Benzathine Benzylphenicilin 1,2 juta U IM (untuk BB <27 Kg,

600.000 U IM) setiap 3-4 minggu atau

27
 Phenoxymethil Penicillin (Penicilin V) 2 x 250 mg

 Bila alergi Penicillin dapat diberikan: Sulfadiazine 1 gram/hari

(BB >30 Kg), 500 mg/ hari (BB < 30Kg) atau Erythromycin 2 x

250mg

Tabel 3: Pemberian Antibiotik untuk Prevensi Sekunder


Sumber: Firdaus Isman, Panduan Praktik Klinis (PPK)dan Clinical
Pathway (CP) Penyakit jantung dan Pembuluh darah, 2016: 221

3.2. Fibrilasi Atrium

3.2.1. Definisi

Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan

aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi

mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya

konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi)

yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang

28
normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan

seringkali cepat.

3.2.2. Patofisiologi

Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling

yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses

remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan

deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium

menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di

atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan

terjadinya FA.

Sistem saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga

memiliki peran yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui

peningkatan Ca2+ intraselular oleh sistem saraf simpatis dan pemendekan

periode refrakter efektif atrium oleh sistem saraf parasimpatis (vagal).

Setelah munculnya FA, perubahan sifat elektrofisiologis atrium, fungsi

mekanis, dan ultra struktur atrium terjadi pada rentang waktu dan dengan

konsekuensi patofisiologis yang berbeda. Sebuah studi melaporkan

terjadinya pemendekan periode refrakter efektif atrium pada hari-hari

pertama terjadinya FA. Proses remodelling elektrikal memberikan kontribusi

terhadap peningkatan stabilitas FA selama hari-hari pertama setelah onset.

Mekanisme selular utama yang mendasari pemendekan periode refrakter

adalah penurunan (down regulation) arus masuk kalsium (melalui kanal tipe-
29
L) dan peningkatan (up-regulation) arus masuk kalium. Beberapa hari

setelah kembali ke irama sinus, maka periode refrakter atrium akan kembali

normal.

Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu

(trigger) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat

dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme

reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat.

Meskipun demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau

muncul bersamaan.

 Mekanisme fokal

Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-

daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena

cava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista

terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall

(8,2%), dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal

mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena

pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan

melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode

refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi

serat miosit.

Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu

yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada

atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan
30
pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi

konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA

persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar

di seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi

atau konversi ke irama sinus.

 Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)

Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya

konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar

melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama

kali dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan

oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling

bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi

banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh

karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang,

sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang

siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet

mandiri untuk melanggengkan FA.

31
Gambar 1: Mekanisme elektrofisiologis FA. A. Mekanisme fokal: fokus/pemicu
(tanda bintang) sering ditemukan di vena pulmoner. B. Mekanisme reentri mikro:
banyak wavelet independen yang secara kontinu menyebar melalui otot-otot atrium
dengan cara yang kacau. AKi: atrium kiri, AKa: atrium kanan, VP: vena pulmoner,
VKI: vena kava inferior, VKS: vena kava superior
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:6

3.2.3. Klasifikasi

Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu

presentasi dan durasinya, yaitu:

1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang

pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang

durasi atau berat ringannya gejala yang muncul.

2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48

jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari.

3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari

atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.

32
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan

hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.

5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh

dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak

digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka

FA masuk ke kategori FA persisten lama.

Gambar 2: Klasifikasi FA menurut waktu presentasinya. Fibrilasi atrium


dapat mengalami progresivitas dari paroksismal menjadi persisten, persisten
lama atau permanen. Seluruh tipe FA tersebut dapat merupakan presentasi
awal atas dasar riwayat sebelumnya.
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:13

Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan

oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan

menurut ciri-ciri dari pasien:

33
 FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular

lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas

anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60

tahun.

 FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik

mitral, katup jantung protease atau operasi perbaikan katup mitral.

 FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi

pemicu FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis,

miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit

paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan

penyakit katup disebut FA valvular.

Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel interval RR maka FA dapat

dibedakan menjadi.

1. FA dengan respon ventrikel cepat: Laju ventrikel >100x/ menit

2. FA dengan respon ventrikel normal: Laju ventrikel 60-100x/ menit

3. FA dengan respon ventrikel lambat: Laju ventrikel <60x/ menit

3.2.4. Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan

minimal yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai

pelengkap. Pada panduan ini, rekomendasi yang diberikan dapat disesuaikan

dengan tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait.

34
Gambar 3: Evaluasi minimal yang dapat dilakukan di layanan kesehatan primer dan
Sekunder
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:18

35
Gambar 4: Evaluasi tambahan yang dapat dilakukan di layanan kesehatan primer,
sekunder, dan tersier.
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:19

36
A. Anamnesis

Spektrum presentasi klinis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik

hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%

episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation). Beberapa

gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:

a. Palpitasi: Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan

genderang, gemuruh guntur,atau kecipak ikan di dalam dada.

b. Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik

c. Presinkop atau sinkop

d. Kelemahan umum, pusing

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas

(Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda

vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisik juga

dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.

 Hemodinamik dapat stabil atau tidak stabil,

 Denyut nadi tidak teratur,

 Denyut nadi dapat lambat, jika disertai dengan kelainan irama

block,

 Jika hemodinamik tidak stabil dengan denyut yang cepat sebagai

kompensasi, maka terdapat tanda2 hipoperfusi (akral dingin, pucat).

C. Pemeriksaan Laboratorium

37
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain.

 Darah lengkap (anemia, infeksi)

 Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)

 Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai

pencetus FA)

 Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki

asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretic tersebut

meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan

menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.

 D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)

 Fungsi tiroid (tirotoksikosis)

 Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)

 Uji toksikologi atau level etanol

D. EKG

Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:

 Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang

melebihi 160-170x/menit.

 Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar) setelah

siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)

 Preeksitasi

 Hipertrofi ventrikel kiri

 Blok berkas cabang

38
 Tanda infark akut/lama

Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan

QRS dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.

E. Foto Thoraks

Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang-kadang dapat

ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau

vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia).

F. Ekokardiografi

Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam

mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah

modalitas terpilih untuk tujuan ini.

 Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk:

 Evaluasi penyakit jantung katup

 Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding

 Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel

 Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)

 Evaluasi penyakit pericardial

 Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk:

 Trombus atrium kiri (terutama di AAK)

 Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus

ditunda)

39
G. Monitoring Holter atau event recording

Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan

diagnosis FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam

pada EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis

obat dalam kendali laju atau kendali irama.

H. Studi Elektrofisiologi

Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi mekanisme

takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan situs ablasi kuratif.

3.2.5. Tata Laksana

A. Hemodinamik Stabil

 Kendali Laju Fase Akut

Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang

dapat mengontrol respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis

kanal kalsium non-dihidropiridin oral. Antagonis kanal kalsium non-

dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan fungsi sistolik

ventrikel yang masih baik.

Digoksin atau amiodaron direkomendasikan untuk mengontrol laju

ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung atau adanya hipotensi.

Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I

(propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang

menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan

40
preeksitasi karena dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target

laju jantung adalah 80-100 kpm. 41 Rekomendasi obat intravena yang

dapat digunakan pada kondisi akut dapat dilihat di tabel.

Tabel 4: Terapi intravena untuk kendali fase lanjut


Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:46

 Kendali Irama Fase Akut

Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan

gangguan hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang mengalami

hemodinamik tidak stabil akibat FA harus segera dilakukan kardioversi

41
elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Pasien yang masih simtomatik

dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju telah

optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia

intravena atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia

intravena pasien harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia

akibat obat, disfungsi nodus sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau

blok atrioventrikular. Obat intravena untuk kardioversi farmakologis yang

tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi dengan amiodaron

terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.

 Kendali Laju Jangka Panjang

 Metoprolol 2x50-100 mg po

 Bisoprolol 1x5-10 mg po

 Atenolol 1x25-100 mg po

 Propanolol 3x10-40 mg po

 Carvedilol 2x3,125-25 mg po

 CCB: Verapamil 2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat)

 Digoksin 1x0,125-0,5 mg po

 Amiodaron 1x100-200 mg po

 Diltiazem 3x30 sampai 1x200 mg po (lepas lambat)

 Kendali Irama Jangka Panjang

Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom.

Strategi ini dipilih pada pasien yang masih mengalami simtom meskipun

42
terapi kendali laju telah dilakukan secara optimal. Pilihan pertama untuk

terapi dengan kendali irama adalah memakai obat antiaritmia. Pengubahan

irama FA ke irama sinus (kardioversi) dengan menggunakan obat paling

efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA. Kardioversi

farmakologis kurang efektif pada FA persisten.

Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung

akibat FA untuk memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik,

atau FA sekunder akibat kelainan yang telah dikoreksi (iskemia,

hipertiroid). Kondisi klinis yang dapat mempengaruhi tingginya rekurensi

FA antara lain ukuran atrium kiri >50 mm, durasi FA >6 bulan, gagal

jantung dengan NYHA >II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri

(Ejection Fraction (EF) <40%), disfungsi nodus sinoatrial, dan riwayat

kardioversi sebelumnya (1-2 kali dalam 2 tahun sebelumnya).

Beberapa obat antiaritmia untuk mengubah irama ke sinus juga

memiliki efek samping dan seringkali membutuhkan perawatan di rumah

sakit untuk inisiasinya. Keberhasilan kardioversi farmakologis juga tidak

terlalu tinggi. Obat antiaritmia yang ada di Indonesia untuk kardioversi

farmakologis adalah amiodaron dan propafenon. Namun amiodaron dalam

penggunaan jangka panjang mempunyai efek toksik.

Propafenon tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit

jantung koroner atau gagal jantung sistolik. Efektivitas obat antiaritmia

untuk mengembalikan irama ke sinus hanyalah untuk mengurangi namun

43
tidak menghilangkan kekambuhan FA. Obat antiaritmia tidak jarang

mempunyai efek pro-aritmia dan efek samping lainnya di luar jantung.

Diagram 1: Pilihan obat antiaritmia untuk kardioversi farmakologis. ACEI:


AngiotensinConverting Enzyme Inhibitor, ARB: Angiotensin II Receptor
Blocker, PJK: Penyakit JantungKoroner, GJK: Gagal Jantung Kongestif
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:53

B. Hemodinamik Tidak Stabil

Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi kendali irama. Keberhasilan

tindakan ini pada FA persisten mencapai angka 80-96%,89 dan sebanyak 23%

44
pasien tetap sinus dalam waktu setahun dan 16% dalam waktu dua tahun.

Amiodaron adalah antiaritmia yang paling kuat mencegah terjadinya rekurensi

FA setelah keberhasilan kardioversi. Kebanyakan rekurensi FA terjadi dalam

3 bulan pascakardioversi. Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi

atau rekurensi FA adalah berat badan, durasi FA yang lebih lama (>1-2

tahun), gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi

atrium kiri, penyakit jantung rematik, dan tidak adanya pengobatan dengan

antiaritmia.

45
Diagram 2: Kardioversi pada pasien dengan FA. FA: fibrilasi atrium,
ETE: ekokardiografi transesofageal
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:55

C. Pemberian terapi pencegahan stroke

Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu berkisar

1,5% pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5%

pada kelompok usia 80 sampai 89 tahun. Sedangkan rerata insiden stroke

dan emboli sistemik lain adalah 5% (berkisar 3-4%). Oleh karena itu,

penting sekali mengidentifikasi pasien FA yang memiliki risiko tinggi stroke

dan tromboemboli. Akan tetapi pada praktik sehari-hari yang lebih penting

justru identifikasi pasien FA yang benar-benar risiko rendah mengalami

stroke agar risiko yang tidak perlu akibat pemberian antikoagulan dapat

dihindari. Terapi antitrombotik tidak direkomendasikan pada pasien FA yang

berusia <65 tahun dan FA sorangan karena keduanya termasuk benar-benar

risiko rendah dengan tingkat kejadian stroke yang sangat rendah.

Dengan demikian panduan stratifikasi risiko stroke pada pasien FA

harus bersikap lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke yang

umum sehingga akan mencakup seluruh spektrum pasien FA. Skor

CHA2DS2-VASc mencakup faktor-faktor risiko umum yang sering

ditemukan pada praktik klinik sehari-hari. CHA2DS2-VASc masing-masing

hurufnya merupakan awal dari kata tertentu yaitu Congestive heart failure,

Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes melitus, Stroke history (skor

2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex Category

46
(female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko stroke, tetapi

yang dimaksud dengan huruf ‘C” pada skor CHA2DS2VASc adalah adanya

disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular Ejection

Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan

rawat inap tanpa memandang nilai fraksi ejeksi.

Keputusan pemberian tromboprofilaksis perlu diseimbangkan dengan

risiko perdarahan akibat antikoagulan, khususnya perdarahan intrakranial

yang bersifat fatal atau menimbulkan disabilitas. Skor HAS-BLED yang

merupakan kependekan dari Hypertension, Abnormal renal or liver function,

history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan

antithrombotic Drugs and alcohol telah divalidasi pada banyak studi kohor

berkorelasi baik dengan perdarahan intrakranial. Evaluasi risiko perdarahan

pada setiap pasien FA harus dilakukan dan jika skor HAS-BLED ≥3 maka

perlu perhatian khusus, pengawasan berkala dan upaya untuk mengoreksi

faktor-faktor risiko yang dapat diubah. Skor HAS-BLED tidak digunakan

untuk melakukan eksklusi pemakaian antikoagulan tetapi sebagai panduan

sistematis dalam menaksir risiko perdarahan dan memikirkan faktor-faktor

risiko yang dapat dikoreksi seperti tekanan darah yang belum terkontrol,

penggunaan aspirin atau non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAIDs),

dsb. Hal yang penting untuk diperhatikan bahwa pada skor HAS-BLED yang

sama, risiko perdarahan intrakranial dan perdarahan mayor lain dengan

pemberian aspirin atau warfarin sama saja. Penggabungan skor CHA2DS2-

47
VASc dan HAS-BLED sangat bermanfaat dalam keputusan

tromboprofilaksis pada praktik sehari-hari.

Diagram 3. Pemilihan terapi antikoagulan AKB: antikoagulan oral baru,


AVK: antagonis vitamin K, garis padat: pilihan terbaik, garis putus-putus:
pilihan alternatif
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:33

3.3. Fibrilasi Atrium pada Pasien Gagal Jantung

48
Pada dasarnya tata laksana FA pada pasien dengan gagal jantung tidak

berbeda dengan tata laksana FA pada subset lainnya. Tetapi obat antagonis

kanal kalsium yang memiliki sifat inotropik negatif sebaiknya dihindari. Untuk

kendali laju jantung pada FA sebaiknya menggunakan obat penyekat beta dan

bila perlu dapat ditambahkan digitalis. Amiodaron adalah satu-satunya obat

kendali irama yang dapat digunakan untuk pengobatan jangka panjang pada

pasien dengan gagal jantung kelas fungsional III dan IV. Pada kondisi gagal

jantung akut, pilihan terapinya adalah kendali laju dengan pemberian

digitalisasi cepat berupa digoksin 0,25-0,5 mg intravena (0,01-0,03

mg/kgBB/hari). Pemberian dengan bolus selama 2 menit yang diencerkan

dalam 10 cc larutan isotonis. Bila laju jantung belum terkontrol, bolus digoksin

dapat diulang 4 jam setelah pemberian pertama dengan dosis maksimal 1,5 mg

per 24 jam.

49
Tabel 5: Rekomendasi pengobatan FA pada gagal jantung
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:60

3.4. Fibrilasi Atrium pada Pasien dengan Kelainan Katup

Kelainan katup sering menimbulkan FA. Fibrilasi atrium paroksismal maupun

permanen merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi dini pada kelainan

katup. Tata laksana FA pada kelainan katup umumnya hanya dapat dilakukan

kendali laju, karena kendali irama sering sulit dilakukan terutama bila ukuran

atrium kiri dari ekokardiografi >45mm.

Upaya kendali irama pada pasien stenosis mitral dapat dilakukan dengan

kardioversi elektrik setelah kelainan katup dikoreksi dengan Baloon Mitral

Valvuloplasty (BMV) ataupun operasi. Risiko terjadinya tromboemboli

meningkat sehingga indikasi untuk terapi antikoagulasi oral sebaiknya dimulai

dini. Kelainan katup dengan FA merupakan indikasi untuk pemberian

antikoagulan oral jenis AVK (warfarin, Coumadin).

50
Tabel 6: Rekomendasi pengobatan FA pada kelainan katup
Sumber: Yuniadi Y dkk. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 2014:53
BAB IV

PEMBAHASAN

Laki-laki, usia 20 tahun dengan keluhan utama nyeri dada kiri seperti terbakar

yang dirasakan ± 1 bulan, dirasakan tiap malam, durasi ± 2 jam yang bertambah hebat

sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Berdasarkan hasil anamnesis, sejak 3 minggu sebelum masuk Rumah Sakit,

pasien mengeluh nyeri dada. Nyeri dirasakan terutama saat berjalan jauh > 500 meter

atau saat bermain bola. Nyeri berkurang ketika beristirahat. Bersamaan dengan nyeri,

pasien juga mengeluhkan rasa sesak dan berdebar-debar pada dada kiri.

Riwayat penyakit jantung sebelumnya (+). Pasien pernah berobat ke poliklinik

RSUD dok II pada 21/03/2016 dan didiagnosis dengan RHD dan dikatakan terdapat

kelainan katup oleh dr SpJP.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit

sedang, kesadaran compos mentis, gizi baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi

98x/menit irregular, isi dan tegangan cukup, pernapasan 28 kali per menit, suhu

36,6ºC. Pada leher, ditemukan JVP (5+3) cm H2O, pada pemeriksaan pulmo

ditemukan adanya ronkhi basah halus pada kedua basal paru. Pada pemeriksaan

jantung ictus cordis terlihat, kuat angkat, dan teraba pada 2 cm lateral linea

midclavicula sinistra setinggi ICS VI, BJ I-II ireguler Murmur sistolik diastolik (+).

51
Pada pemeriksaan abdomen, abdomen terlihat datar, hepar teraba 2 JBAC,

tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba. Tidak ditemukan

nyeri tekan pada seluruh abdomen.

Pada pemeriksaan ektremitas tidak didapatkan adanya edema tungkai.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan SGOT dan SGPT,

Bilirubin, ASTO (-).

Diagnosis pasien

 AF Atrial Fibrilasi

 RHD (Rheumatic Heart Disease) MS MR TR

 CHF (Congestive Heart Failure)

 Suspect kongestif liver

 Suspect CAP

 Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama yang membawa

pasien datang ke RSUD DOK 2 adalah nyeri dada sebelah kiri yang disertai

dengan sesak.

 Keluhan dan gejala nyeri dada dapat bersumber dari jantung maupun selain

jantung. Nyeri dada disebut dengan istilah angina, sebenarnya lebih tepat

disebut dengan rasa tidak nyaman di dada karena tidak selalu dipersepsikan

sebagai nyeri oleh pasien. Keluhan ini biasanya dihubungkan dengan PJK

namun dapat juga disebabkan oleh berbagai hal seperti pneumonia, pericarditis,

GERD, atau nyeri otot dada.

52
Menurut American Family Physician, sensasi sesak nafas subjektif atau

yang disebut dyspnea secara umum dapat disebabkan oleh adanya kelainan

pulmonari, kardiak, kardopulmoner, dan non kardiopulmoner. Sesak nafas

pulmoner disebabkan oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi

dari dalam paru-paru, seperti pada kasus asma. Sesak nafas kardiak disebabkan

oleh karena adanya kelainan ataupun gangguan fungsi dari jantung misalnya

pada kasus gagal jantung, sedangkan sesak nafas kardiakpulmoner disebabkan

oleh karena adanya gangguan pada paru-paru maupun jantung seperti pada

kasus penyakit paru obstruktif kronik dengan hipertensi pulmonal dan cor-

pulmonal. Sesak nafas non kardiakpulmoner berasal dari organ lain selain

jantung dan paru-paru, seperti misalnya pada kondisi asidosis pada kasus gagal

ginjal.

Sebagian besar kasus sesak nafas disebabkan oleh penyakit kardiak dan

pulmoner. Kedua penyakit tersebut dapat dengan segera diidentifikasi dengan

anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya dan pemeriksaan fisik secara teliti.

Sesak nafas yang berkaitan dengan penyakit jantung biasanya dipicu oleh

aktivitas fisik karena kegagalan pompa jantung untuk mengkompensasi

kebutuhan yang meningkat dan dikenal dengan istilah Dyspnue D’effort. Gejala

tersebut didapatkan pada pasien kasus ini. Hal ini menunjukan bahwa sesak

nafas pada pasien ini disebabkan oleh karena adanya kelainan struktur maupun

fungsi pada jantung.

 Penyakit jantung rematik merupakan kelainan katup jantung yang menetap

akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup
53
mitral (75%), aorta (25%) jarang mengenai katup tricuspid dan tidak pernah

menyerang katup pulmonal. Pada pasien didapatkan kelainan katup berupa

mitral regurgitasi, mitral stenosis, dan trikuspid regurditasi.

Penegakan diagnosa penyakit jantung rematik dapat menggunakan kriteria

Jones. Pasien didiagnosis penyakit jantung reumatik berdasarkan ditemukannya

kelainan katup berupa (MR MS dan TS) serta riwayat RHD dan yang

didiagnosis oleh dr SpJP di RS Dok 2. Juga adanya riwayat peningkatan LED

dan didiukung oleh adanya bukti infeksi Streptococcus dengan ditemukannya

hasil ASTO (+) pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 21/03/2016.

Untuk eradikasi kuman Streptococcus group A (GAS)-haemolitic diberikan

Azithromycin 1x500 mg 5 hari selama perawatan dan dilanjutkan sebagai terapi

oral lanjutan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma di India, penyakit

jantung reumatik merupakan penyebab utama dari fibrilasi atrium di India

dengan insidensi 41 dari 94 kasus (43,61%). Pada penyakit jantung rematik,

otot katup jantung mengalami kerusakan yang mengakibatkan gangguan

pengisian ventrikel sehingga diameter atrium kiri membesar akibatnya muncul

gelombang ektopik cepat yang tidak beraturan.

 Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi

atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis

atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi

gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi

amplitudo, bentuk dan durasinya.


54
Pasien dapat mengeluhkan adanya palpitasi (diekspresikan oleh pasien

sebagai: pukulan genderang, gemuruh guntur,atau kecipak ikan di dalam dada),

mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik, presinkop atau

sinkop, kelemahan umum, pusing.

Pada pasien ditemukan tanda-tanda Atrial Fibrilasi berupa palpitasi (pasien

mengeluh adanya pukulan gendering di dalam dada kiri), mudah lelah saat

beraktivitas fisik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan denyut nadi yang tidak

teratur, dan ditambah dari pemeriksaan EKG dimana ditemukan tiadanya

konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang

bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya.

Kondisi hemodinamik pasien stabil sehingga terapi yang diberikan berupa

Digoxin 1x0,025 mg. Pengobatan lain yang diberikan pada pasien ini, Aspilet

2x80 mg, ISDN 2x5mg, Simarc 1x2mg, dan injeksi Heparin 3x 4000U.

Setelah perawatan 7 hari pasien dipulangkan. Pengobatan yang diberikan

pada pasien ini menunjukan respon yang baik selama perawatan di Rumah

Sakit. Saat pulang, pasien diberi obat oral yang terdiri dari furosemid 2x40 mg,

Spironolakton 2x25 mg, Digoxin 1x0,025 mg, Valsartan 1x80 mg, dan Simarc

1x2 mg dan Azithromycin 1x 500 mg . Pemberian obat-obat tersebut sudah

tepat, sesuai dengan penjelasan diatas.

Selain pengobatan, edukasi kepada pasien juga penting dilakukan untuk

mencegah terjadinya perburukan penyakit. Pada pasien ini dilakukan edukasi

agar kontrol ke dokter setiap 4 minggu. Aktivitas yang berlebihan pada gagal

jantung perlu dibatasi, namun pasien tidak perlu tirah baring total di tempat
55
tidur. Menurut AHA, aktivitas sehari-hari dapat tetap dilakukan dan terbukti

dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.

KESIMPULAN

Penegakan diagnosa penyakit jantung rematik dapat menggunakan kriteria Jones.

Pada pasien didiagnosis penyakit jantung reumatik berdasarkan ditemukannya

kelainan katup berupa (MR MS dan TS) serta riwayat RHD dan yang didiagnosis

oleh dr SpJP di RS Dok 2. Juga adanya riwayat peningkatan LED dan didiukung oleh

adanya bukti infeksi Streptococcus dengan ditemukannya hasil ASTO (+) pada

pemeriksaan lab pada 21/03/2016.

AF yang dialami pasien merupakan komplikasi dari PJR. Diagnosa AF di

tegakan berdasarkan keluhan palpitasi (pasien mengeluh adanya pukulan gendering di

dalam dada kiri), mudah lelah saat beraktivitas fisik. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan denyut nadi yang tidak teratur, dan ditambah dari pemeriksaan EKG

dimana ditemukan tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh

gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya.

Pengobatan yang telah diberikan pada pasien ini menunjukan respon yang baik

setelah dilakukan evaluasi selama perawatan.

56
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus I dkk. 2016. Panduan Praktis Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP)

Penyakit Hantung dan Pembuluh Darah. Edisi Pertama.

Rampengan S. 2014. Buku Praktis Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Hal 104-115

Mustakim M. 2014. Congestive Heart Failure et Causa Rheumatic Heart Desease.

Jurnal Agromed Unila 2014; 1(2):119-125

Julius W. 2016. Penyakit Jantung Reumatik. Jurnal Medula Unila |Volume 4: Nomor

3, Hal: 138-144

Yuniadi Y dkk. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan Dokter

Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

57

Anda mungkin juga menyukai