Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ENSEFALITIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Neurologi


Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Oleh :
EGI L. V. SIHOMBING
DJUSTIELA KARRANG
FITRI NURDIANA
JULIEN IRMAWATY
MELATI M. Y. PRASETYO

Pembimbing:
dr. Nelly Y. Tan Rumpaisum, Sp.S

SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan, diterima dan disetujui oleh penguji, Referat dengan


judul “ENSEFALITIS” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya pada SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.
Yang dilaksanakan pada :
Hari :
Tanggal :
Tempat :

Menyetujui
Penguji/Pembimbing

dr. Nelly Y. Tan Rumpaisum, Sp.S

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................2
2.1. Definisi.......................................................................................................2
2.2. Epidemologi...............................................................................................2
2.3. Etiologi......................................................................................................3
2.4. Patofisiologi...............................................................................................7
2.5. Diagnosis....................................................................................................9
2.6. Diagnosis Banding...................................................................................15
2.7. Komplikasi...............................................................................................15
2.8. Tatalaksana...............................................................................................15
2.9. Pencegahan...............................................................................................19
2.10. Prognosis..................................................................................................19
BAB III PENUTUP..............................................................................................20
3.1. Kesimpulan..............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Infeksi susunan saraf pusat atau ensefalitis, secara umum dapat diartikan
sebagai terjadinya proses inflamasi pada sel parenkim otak. Sindroma
ensefalitis bisa bersifat akut atau sub akut berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu, sedang yang kronis bisa berlangsung bertahun-tahun.1
Ensefalitis adalah suatu peradangan parenkim otak, muncul sebagai
disfungsi neuropsikologi difus dan/atau fokal. Meskipun terutama
melibatkan otak, meninges juga sering ikut terlibat (meningoencephalitis).
Dari epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis,
meskipun pada evaluasi klinis keduanya bisa hadir, dengan tanda-tanda dan
gejala peradangan meningeal, seperti fotofobia, sakit kepala, atau leher
kaku. Meskipun gangguan bakteri, jamur, dan autoimun dapat menghasilkan
ensefalitis, sebagian besar kasus disebabkan oleh virus.2
Secara umum angka kematian ensefalitis masih cukup tinggi, demikian
pula dengan gejala sisa yang terjadi. Salah satu factor yang berpengaruh
terhadap tingginya angka mortalitas dan morbiditas ini adalah masalah
diagnosis untuk mencari virus penyebab. Insiden ensefalitis adalah 1 kasus
per 200.000 populasi di Amerika Serikat, virus herpes simpleks (HSV)
menjadi penyebab paling umum.1,2
Standar diagnosis untuk suatu ensefalitis hingga kini adalah identifkasi
agen penyebab. Harus diakui dibanding kuman, mencari penyebab virus ini
memang relatif lebih sulit. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor antara
lain: pemeriksaan laboratorium yang lebih rumit dan minimnya sumber daya
manusia dibelakang pemeriksaan yang rumit tersebut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.
2.1. DEFINISI
Dalam keadaan normal Susunan Saraf Pusat (SSP) terlindung dengan
baik terhadap serangan dari organisme yang dapat menyebabkan radang,
dan kebanyakan peradangan pada SSP merupakan komplikasi yang tidak
lazim dari infeksi yang didapat sehari-hari. Salah satu peradangan dari SSP
adalah ensefalitis yang merupakan inflamasi pada otak (Encephalon).
Ensefalitis virus adalah peradangan pada ensefalon yang penyebabnya
berasal dari virus disertai oleh disfungsi sistem saraf pusat. adapun disfungsi
sistem saraf pusat tersebut menyebabkan terjadinya kejang berulang, defisit
neurologis fokal, dan penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan
oleh infeksi virus menyebabkan kerusakan parenkim bervariasi dari ringan
sampai dengan sangat berat.3
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk
sekunder.Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan
sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus
pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.3

2.2. EPIDEMIOLOGI
Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Dalam sebuah
studi dari Finlandia, kejadian ensefalitis virus pada orang dewasa adalah 1,4
kasus per 100.000 orang per tahun. Herpes Simplex Virus adalah organisme
yang paling sering diidentifikasi sebagai penyebab (16%), diikuti oleh
Varicella Zooster Virus (5%), dan virus influenza A (4%).2
Menurut statistik dari 214 ensefalitis, 54% (115 orang) dari penderita
ensefalitis adalah anak-anak. Virus yang paling sering ditemukan adalah
virus herpes simpleks (31%).4

2
Kasus ensefalitis herpes simpleks sekitar 2.000 kasus terjadi di Amerika
Serikat, dan merupakan 10% dari seluruh kasus ensefalitis di negara
tersebut. Sekitar 30 sampai 70 persen berakhir fatal, dan tidak sedikit yang
berakhir dengan kecacatan neurologis. Insidensi tertinggi terjadi pada usia
neonatus, 5-30 tahun, dan di atas 50 tahun, dengan masa inkubasi 4-6 hari.5
Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan,
Korea, China, Thailand, Malaysia, sampai ke Indonesia serta India.
Diperkirakan ada 35.000 kasus Japanese encephalitis di Asia setiap tahun.
Angka kematian berkisar 20-30%. Anak usia 1-15 tahun paling sering
terinfeksi.6

2.3. ETIOLOGI
Penyebab ensefalitis yang paling sering adalah infeksi karena virus.
Beberapa contoh termasuk:
a. Herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2)
b. Selain virus herpes: varicella zoster virus (VZV), cytomegalovirus
(CMV), Epstein-Barr (EBV), virus herpes manusia 6 (HHV6)
c. Adenovirus
d. Influenza A
e. Enterovirus c, virus polio
f. Campak, gondongan dan virus rubella
g. Rabies
h. Arbovirus misalnya, Ensefalitis Jepang B, St Louis Ensefalitis virus,
West Nile ensefalitis virus, Timur, Barat, dan Virus ensefalitis equine
Venezuela,
i. Bunya viruses misalnya, La Crosse strain virus California
j. Reoviruses misalnya, Colorado tick fever virus
k. Arenaviruses misalnya, virus choriomeningitis limfositik.
l. Retrovirus misalnya Human Immunodeficiency Virus.7

3
4
Penyebab ensefalitis yang lainnya adalah :
a. Bakteri
b. Parasit
c. Fungus
d. Riketsia.14

Ensefalitis Supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.

Ensefalitis Siphylis
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan
tubuh umumnya sewaktu kontak seksual.

Ensefalitis karena parasit


a. Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral.
b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan
gejala-gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun.
c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika
berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan
meningoencefalitis akut.
d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus
mukosa dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh
badan. Larva dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam
ventrikel dan parenkim otak.

5
Ensefalitis karena fungus
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans,
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor
mycosis.

Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. 14

Ensefalitis mempunyai dua bentuk, yang dikategorikan oleh


dua cara virus dapat menginfeksi otak:
a. Ensefalitis primer. Hal ini terjadi ketika virus langsung menyerang otak
dan saraf tulang belakang. Hal ini dapat terjadi setiap saat (ensefalitis
sporadis), sehingga menjadi wabah (epidemik ensefalitis).
b. Ensefalitis sekunder. Hal ini terjadi ketika virus pertama menginfeksi
bagian lain dari tubuh kemudian memasuki otak.
Berikut ini adalah beberapa penyebab yang lebih umum pada ensefalitis:
1. Virus Herpes
Beberapa virus herpes yang menyebabkan infeksi umum juga dapat
menyebabkan ensefalitis. Ini termasuk: Herpes sipleks virus. Ada 2 jenis
virus herpes simpleks (HSV) infeksi. HSV Tipe 1 (HSV-1) lebih sering
menyebabkan cold sore lepuh demam sekitar mulut. HSV tipe 2 (HSV-2)
lebih sering menyebabkan herpes genital. HSV-1 merupakan penyebab
dari ensefalitis sporadis yang fatal di Amerika Serikat, tetapi juga langka
ditemukan.
2. Virus Varicela Zooster
Virus ini dapat menyebabkan ensefalitis pada orang dewasa & anak-
anak namun cenderung ringan
3. Virus Epstein-Bar
Biasanya tidak menimbulkan gejala yang berat, tetapi pada sejumlah
kasus dapat berakibat fatal.

6
2.4. PATOFISIOLOGI
Infeksi virus pada sistem saraf pusat dapat melalui beberapa cara:
1. Invasi langsung melalui barier anatomi.
Scalp, tengkorak dan duramater membentuk barrier yang efektif
terhadap infeksi yang langsung dari lingkungan sekitar. Infeksi dengan
jalan langsung biasanya karena trauma atau akibat luka operasi.
2. Transport axonal oleh neuron dari perifer.
Neuron dapat menjadi jalan lalu lintas dari dan ke “Cell Body” dan
sistem transpor antegrade dan retrograde, misalnya transpor retrograde
yang cepat rata-rata 200-300 mm/hari, misalnya pada virus herpes
simpleks dan varisela zozter ditransportasinya dari replikasi di kulit dan
mukosa oleh serabut sensorik ke akar saraf dorsalis.
3. Jalan masuk dari traktus respiratorius melewati epitel olfaktorius.
Cara masuk organism pada mukosa olfaktorius melalui proses apical
dari sel reseptor saraf yang menonjol keluar di tepi epitel sebagai
“olfactory rads”, sehingga partikel diletakkan pada mukosa olfaktorius
dapat diambil oleh vesikel pinositik dan ditransportasikan ke bulbus
olfaktorius.
4. Infeksi melalui pembuluh darah melewati endothelium kapiler atau epitel
pleksus choroideus. 3
Bila kuman patogen masuk ke sistem saraf akan terjadi perlawanan unik.
Otak tidak memiliki sistem intrinsik untuk menghasilkan antibodi, tidak
mempunyai sistem limfatik yang baik, dan hanya mempunyai sedikit sel
fagosit. Sawar darah otak (BBB) yang mencegah masuknya kuman, juga
menghambat masuknya leukosit dan bahan-bahan terapeutik. Kurangnya
antigen “Histocompatibility complex” membatasi keefektifan dari respon
imun seluler. Hal-hal tersebut membuat system saraf pusat menjadi tempat
untuk infeksi yang bersifat laten. Organisme yang masuk ke otak tidak
semua dapat mempengaruhi SSP. Virus dapat mengenai hampir semua sel
neuron, tepai tergantung pula pada macam virusnya. Beberapa virus hanya
menyerang sel-sel neurogen yang menyebabkan nyeri kepala, panas, dan
kaku kuduk. Sedangkan virus yang lain menyerang neuron dan sel glia yang

7
menyababkan fokal infeksi di otak, seperti halnya Herpes Simpleks
ensefalitis pada orang dewasa.3
Infeksi yang disebabkan oleh virus menyebabkan respon sel
moninuklear. Komponen dasar dari reaksi imunologis terdiri dari sel T, sel
B dan antigen presenting cells (sel seperti makrofag dan sel dendritik) yang
berada di jaringan limfoid perifer. Fase awal aktifasi sel T terjadi di perifer,
mungkin di limfo nodi di dekat tempat masuknya virus dan replikasi virus.
Di dalam SSP, sel T dapat menstimulais untuk menghasilkan sitokin.
Sitokin akan merangsang proliferasi sel dan diferensiasi dan melepaskannya
ke SSP selama terjadinya keradangan. Kemampuan sel T di dalam SSP yang
berinteraksi dengan antigen presenting cell menyebabkan munculnya
antigen MMC kelas II (CD4-T) atau di dalam sel yang terinfeksi timbul pula
antigen MMC kelas I (CD8+ T). baik antigen kelas I dan II secara normal
ada di SSP. Keduanya dapat timbul pada microglia dana kadang-kadang di
sel endothelial, oligodendrosit, dan artrosit pada waktu terjadinya infeksi
virus. Pada minggu ke-2 dari peradangan sel B menjadi komponen yang
penting dari peradangan lokal karena sel B menghasilkan immunoglobulin.
Antiibodi yang terdapat pada SSP normal berasal dari serum dan kadar dari
IgA dan IgG yang berada di cairan serebrospinal berkisar 0,2-0,4% dari
kadar dalam plasma. IgM juga dijumpai meskipun kadarnya lebih rendah
karena masuknya protein ke dalam cairan serebrospinal tergantung dari
ukuran dan muatannya. Produksi intratekal antibodi terhadap organisme
yang menyebabkan radang adalah keadaan umum yang dijumpai pada
infeksi virus pada SSP.3
Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi
intraceluler inclusion bodies, peradangan otak dan medulla spinalis serta
edema otak. Juga terdapat peradangan pada pembuluh-pambuluh darah
kecil, thrombosis dan proliferasi astrosit dan microglia. Neuron-neuron yang
rusak dimakan oleh makrofag atau mikroglia, disebut sebagai neuronofagia
yaitu sesuatu yang khas bagi ensefalitis primer. Didalam medulla spinalis,
virus menyebar melalui endoneurium dalam ruang intersisial pada saraf-

8
saraf seperti yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks. Pada ensefalitis
sel-sel neuron dan glia mengalami kerusakan.
Kerusakan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
a. Invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang
berproliferasi aktif
b. Reaksi jaringan saraf terhadap antigen-antigen virus.

2.5. DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Ensefalitis dapat merupakan bagian dari penyakit sistemik seperti
varisela atau measles dengan sendirinya manifestasi awalnya adalah
gejala dari penyakit awalnya. Bila ensefalitis tidak merupakan bagian
dari penyakit virus yang sistemik maka kemungkinan dapat dijumpai
keluhan yang mendahului sindroma neurologi yang berupa nyeri kepala,
kelemahan atau malaise, mialgia, keluhan gangguan saluran nafas bagian
atas dan demam. Dapat dijumpai adanya mual, muntah dan kaku kuduk.
Pengaruh langsung pada otak ditandai dengan letargi, kebingungan, atau
stupor yang dapat menjurus ke koma. Bila penderita tidak mengalami
gangguan tingkat kesadaran dapat dijumpai kebingungan, halusinasi dan
disorientasi dan dapat pula terjadi kejang, baik fokal maupun kejang
umum, dan gejala-gejala/tanda-tanda gangguan neurologi lain seperti
hemiplegic, nistagmus, ataksia, anisokoria, disfasia, diplopia, disartria
dan hemianopsia. Gejala-gejala tersebut dapat disebabkann oleh karena
kenaikan intracranial yang meningkat dan atau akibat herniasi serebri
dari pada akibat pengaruh langsing dari virus. Karena terutama
menyerang bangtang otak, maka dapat terjadi gangguan dapa reflek pupil
dan oculovestibular. Gangguan pada pernafasan dan saraf cranial dapat
pula terjadi. Terjadinya ataksia, tremor, dan gangguan koordinasi dapat
disebabkan oleh karena disfungsi pada jaras penghubung serebelum. Bila
infeksi terjadi pada mielum , terjadi pula paraplegia, gangguan rasa raba
dan juga gangguan spingter. Sedangkan gangguan pada sel cornu anterior

9
dapat menyebabkan kelumpuhan flaksid, hipotonia dan hilangnya reflek
tendon tanpa adanya gangguan sensorik.3
Gejala trias ensefalitis adalah demam, kejang dan kesadaran menurun.
Gejala-gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-
masing kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat
4 jenis bentuk manifestasi kliniknya yaitu :
 Bentuk asimtomatik: gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala
ringan atau demam tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan
parestesi juga berlangsung sepintas saja. Diagnosis hanya ditegakkan
atas pemeriksaan CSS.
 Bentuk abortif: Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak
tinggi dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti
infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.
 Bentuk fulminan: bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang
berakhir dengan kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri
kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat
gelisah dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam.
Kematian biasanya terjadi dalam 2-4 hari akibat kelainan bulbar atau
jantung
 Bentuk khas ensefalitis: bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal
nyeri kepala ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama
beberapa hari. muncul tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig
positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul
bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran
menyebabkan koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum,
hemiparesis, gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi,
gangguan bicara, dan gangguan mental.
Pada ensefalitis herpes simpleks gejala berlangsung akut selama
beberapa hari. Dua keadaan klinis ensefalitis HSV yaitu 1) Sindrom
meningitis aseptik; disebut aseptik karena hasil kultur negatif, sebagian
besar disebabkan virus, Sindrom ini menandakan keterlibatan meninges

10
pada ensefalitis HSV, umumnya disebut meningoensefalitis; dan 2)
Sindrom Ensefalitis Akut yang umum terlihat pada ensefalitis HSV.
Sindrom Aseptic Meningitis, antara lain:
a. Demam 38-40 °C, biasanya akut.
b. Nyeri kepala - biasanya lebih berat dibandingkan nyeri kepala saat
demam sebelumnya.
c. Fotofobia dan nyeri pada gerakan bola mata.
d. Kaku kuduk sebagai pertanda rangsang meningeal, biasanya tidak
terdeteksi pada fase awal.
e. Pemeriksaan Kernig dan Brudzinski sering negatif pada meningitis
viral. Gejala sistemik infeksi virus, seperti radang tenggorokan, mual
dan muntah, kelemahan tubuh, rasa pegal punggung dan pinggang,
konjungtivitis, batuk, diare, bercak kemerahan (eksantema).
f. Jika disertai penurunan kesadaran serta perubahan kualitas kesadaran,
mungkin ke arah diagnosis ensefalitis.
g. Pemeriksaan LCS (Liquor Cerebrospinalis): nilai glukosa normal, dan
pleositosis limfositik.5
2. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pemeriksaan cairan serebrospinal. Hendaknya dilakukan secara hati-
hati, karena infeksi yang terjadi di SSP dapat menyebabkan edema
otak yang menyebabkan kenaikan tekanan intrkranial sehingga
pengambilan dapat menyebabkan herniasi otak. Hasil pemeriksaan
berupa: Warna jernih, terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200 sel
dengan dominasi sel mononuklear. Protein agak meningkat sedangkan
glukosa dalam batas normal.

11
b. Pemeriksaan EEG. Biasanya dijumpai kelainan non spesifik.
Memperlihatkan proses inflamasi yang difuse “bilateral” dengan
aktivitas rendah.
c. Brain Imaging. Adanya kelainan fokal didaerah temporal mungkin
dapat dijumpai akibat adanya HSE, tetapi sayangnya tidak dijumpai
pada awal penyakit. Gambaran kalsifikasi intrakranial mungkin dapat
disebabkan oleh karena cytomegalovirus atau toxoplasmosis, tapi
mungkin juga gambaran dari tuberculosis atau sistiserkosis.
d. Pemeriksaan virus. Ditemukan virus pada CNS didapatkan kenaikan
titer antibodi yang spesifik terhadap virus penyebab.3

12
Gambar 1. Brain imaging berupa MRI dari ensefalitis herpes simpleks. Terlihat
keterlibatan dari lobus temporal.8

Gambar 2. Brain imaging berupa MRI dari ensefalitis herpes simpleks.


A. tampak keterlibatan bilateral dari lobus temporal medial dan region orbitofrontal
kanan (panah).
B. gambaran normal sebagai pembanding.10

13
Gambar 3. Algoritma Liverpool Tahun 2007 Investigasi Dan Terapi
Ensefalitis Viral.12

14
2.6. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari ensefalitis antara lain:
 Infeksi CNS yang lain: meningitis, cerebritis, abcess
 Tumor : karsinoma, lymphoma
 Subdural hematoma
 Penyakit pembuluh darah (stroke)1

2.7. KOMPLIKASI
a. Susunan saraf pusat: kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik,
penglihatan dan pendengaran.
b. Sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat
terlibat secara menetap
c. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi.
d. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi
mental karena kerusakan SSP berat.

2.8. TATALAKSANA
a. Terapi Umum:
1. Tirah baring total.
2. Bila diperkirakan infeksi akibat enterovirus hendaknya hygiene
perorangan diperhatikan.
3. Nyeri kepala dan panas yang tinggi perlu penanganan dengan
pemberian antipiretik untuk dapat diberikan parasetamol.
4. Jika terdapat kenaikan intracranial dapat dilakukan:
 Kepala penderita dielevasi ± 300
 Batasi pemberian cairan
 Lakukan hiperventilasi sampai PCO2 mencapai 25 mmHg
 Berikan:

15
 Manitol  diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB
selama 30-60 menit, diulang setiap 8-12 jam.Gliserol, melalui
pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian
sari jeruk, dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama
 Deksametason  0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3
dosis.
5. Bila kejang, dapat diberikan:
 Phenytoin
 Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu
diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus
selama 3 menit.

Gambar 4. Algoritma Kejang Akut dan Status Konvulsi.5

6. Memperbaiki homeostatisdan pemberian oksigen.3


b. Pengobatan khusus.
1. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etiologi bakteri diberikan
antibiotik parenteral. Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus

16
herpes simplek adalah Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30
mg/kgbb per hari selama 10 hari.
2. Interferon
Zat ini menghambat replikasi virus. Dapat diberikan secara
intravena, intratekhal atau intraventrikuler pada rabies.

Gambar 5. Pilihan terapi pada ensefalitis virus. 12

3. Terapi sesuai etiologinya:


 Ensefalitis supurativa
 Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
 Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
 Ensefalitis syphilis
 Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari
 Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat +
probenesid 4 x 500mg oral selama 14 hari.
 Bila alergi penicillin :
 Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari

17
 Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
 Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu
 Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.
 Ensefalitis virus
 Pengobatan simptomatis
 Analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg
 Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.
 Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan
penyebab herpes zoster-varicella.
 Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari
atau 200 mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari.
 Ensefalitis karena parasit
 Malaria serebral
 Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam
hingga tampak perbaikan.
 Toxoplasmosis
 Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
 Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
 Spiramisin 3 x 500 mg/hari
 Amebiasis
 Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
 Ensefalitis karena fungus
 Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali
minimal 6 minggu
 Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.
 Riketsiosis serebri
 Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari
 Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.
4. Pemantauan pasca rawat :
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengelihatan,
palsi serebral, epilepsy, retardasi mental maupun gangguan perilaku.

18
Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh – kembang, jika
terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai
indikasi.
c. Non farmakologis
1. Fisioterapi dan upaya rehabilitative
2. Makanan tinggi kalori protein

2.9. PENCEGAHAN
1. Imunisasi, seperti MMR atau HiB
2. Status gizi juga harus baik
3. Melindungi diri dari organisme vektor. Vektor utama nyamuk Culex
dengan memusnahkan nyamuk dewasa dan tempat pembiakannya.
Operasi Seksio sesaria pada ibu dengan infeksi HSV.4,5,7,9

2.10. PROGNOSIS
Perjalanan penyakit pada ensefalitis tergantung dari macam virus, umur
penderita dan keadaan umum penderita. Infeksi in utero sering
mempengaruhi pertumbuhan otak dan menyebabkan gejala sisa atau sekuel
yang permanen seperti gangguan motorik dan mental, kebutaan, tuli dan
epilepsi. Warren dan Mettews menyebutkan gejala sisa neurologi berkisar
antara 5-75% pada penderita yang terserang Japanese encephalitis dan HSE
terutama pada anak-anak. Mortalitas akibat infeksi virus cukup tinggi.
Rabies dapat mencapai 100%, HSE 40-75%, Japanese encephalitis 10-40%,
measles 10-20%, varisela 10-30%, Mumps < 1%.4
Prognosis sukar diramalkan tergantung pada kecepatan dan ketepatan
pertolongan dan penyulit yang muncul.
1. Sembuh tanpa gejala sisa
2. Sembuh dengan gangguan tingkah laku/gangguan mental
3. Kematian bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita

19
BAB 3
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
1. Ensefalitis virus adalah peradangan pada ensefalon yang penyebabnya
berasal dari virus. Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi virus
menyebabkan kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai dengan
sangat berat.
2. Ensefalitis virus dapat disebabkan oleh berbagai macam virus antara lain:
Herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), Selain virus herpes: varicella
zoster virus (VZV), cytomegalovirus (CMV), Epstein-Barr (EBV),dan
lain-lain.
3. Infeksi virus pada sistem saraf pusat dapat melalui beberapa cara invasi
langsung melalui barier anatomi, transport axonal oleh neuron dari
perifer, jalan masuk dari traktus respiratorius melewati epitel olfaktorius,
dan infeksi melalui pembuluh darah melewati endothelium kapiler atau
epitel pleksus choroideus.
4. Gejala trias ensefalitis adalah demam, kejang dan kesadaran menurun.
Gejala-gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-
masing kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain.
5. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan cairan serebrospinal, pemeriksaan
EEG, brain imaging, dan pemeriksaan virus.
6. Pengobatan ensafilitis viral terdiri dari pengobatan umum bertujuan
untuk merawat keadaan umum penderita seoptimal mungkin dikatakan
memperbaiki dan mengurangi mortalitas pada penderita dengan
ensefalitis akut, pengobatan khusus bertujuan untuk mengeliminasi agen
penyebab, dan rehabilitasi.
7. Prognosis sukar diramalkan tergantung pada kecepatan dan ketepatan
pertolongan dan penyulit yang muncul. Faktor yang mempengaruhi
antara lain: Sembuh tanpa gejala sisa, sembuh dengan gangguan tingkah
laku/gangguan mental dan kematian bergantung pada etiologi penyakit
dan usia penderita.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Machfoed, Moh Hasan. 2000. Infeksi Virus Susunan Saraf Pusat dan
Beberapa Masalah Diagnosis. Surabaya, Aksona 0854-7815: 12-19.
2. Gondim, Francisco de Assis Aquino. 2011. Viral Encephalitis. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/1166498-overview#showall [7
November 2020]
3. Poerwadi, Troboes. 1992. Encephalitis. Surabaya, Aksona VI: 3-19.
4. Mardjono, Mahar, Prof, dr. 2004. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian
Rakyat.
5. Parinding, Imanuel Taba. 2012. Diagnosis dan Tata Laksana Ensefalitis
Herpes Simpleks. CDK-193/ vol. 39 no. 5: 355-357.
http://www.kalbemedical.org/Portals/6/11_193Diagnosis%20dan%20Tata
%20Laksana%20Ensefalitis%20Herpes%20Simpleks.pdf[7 November 2020]
6. Maha, Masri Sembiring. Japanese Encephalitis. CDK-193/ vol. 39 no. 5:
349-350.http://www.kalbemedical.org/Portals/6/09_193Japanese
%20Encephalitis.pdf [7 November 2020]
7. Kennedy. 2004. Viral Encephalitis: Causes, Differential Diagnosis, And
Management. J Neurol Neurosurg Psychiatry 75: i10–i15.
http://jnnp.bmj.com/content/75/suppl_1/i10.full.pdf[7 November 2020]
8. McQuillen, Daniel P. Craven, Donald E. dan Jones, H. Royden Jr.
2012.Netter’s Neurology 2nd Edition. Philadelpia: Elsevier
9. Suharso, Darto. 2005. Ensefalitis Herpes Simpleks. Surabaya. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair RSU dr. Soetomo.
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ed4ayk-pkb.pdf[7 November 2020]
10. Ferrari1, Sergio et al. 2009. Viral Encephalitis: Etiology, Clinical
Features, Diagnosis and Management. The Open Infectious Diseases Journal
3: 1-12. http://benthamscience.com/open/toidj/articles/V003/1TOIDJ.pdf[7
November 2020]
11. Iqbal, Kiki Mohammad. Ritarwan, Kiking. dan Zein, Umar. Ensefalitis
pada Infeksi HIV. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40, No. 1: 67-73.

21
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19070/1/mkn-mar2007-
40%20(9).pdf[7 November 2020]
12. Solomon , Tom. Hart, Ian J. Beeching , Nicholas J. 2007. Viral
Encephalitis: A Clinician’s Guide. Pract Neuro l7:288–305.
http://www.encephalitis.info/images/iPdf/Research2/algorithmTomSolomon.
pdf[7 November 2020]
13. Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart: Thieme.
14. Fransisca SK. Ensefalitis. Diakses pada tanggal 7 November 2020 dari:
http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/ensefalitis2.pdf
15. Faller A, Schuenke M, Schuenke G. The central and peripheral nervous
systems. In : The human body - an introduction to structure and function.
New York : Thieme ; 2004. p.538

22
23

Anda mungkin juga menyukai