Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

ENSEFALITIS

PENYUSUN:
Nurvita Rosidi, S. Ked
K1B1 20 006

PEMBIMBING:
dr. Wa Ode Siti Asfiah Udu, M. Sc., Sp. A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurvita Rosidi, S. Ked

NIM : K1B1 20 006

Judul : Ensefalitis pada Anak

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo pada April 2021.

Kendari, Oktober 2021


Pembimbing

dr. Wa Ode Siti Asfiah Udu, M. Sc., Sp. A


ENSEFALITIS PADA ANAK

Nurvita Rosidi, Wa Ode Asfiah Udu

A. PENDAHULUAN
Ensefalitis merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi.
Ensefalitis merupakan inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan
disfungsi otak baik bersifat difus maupun terlokalisir. Ensefalitis paling
banyak disebabkan oleh karena infeksi virus. Namun, dapat pula disebabkan
oleh infeksi bakteri dan jamur.1
Ensefalitis merupakan sindrom neurologis yang dapat berakibat fatal
bagi anak-anak di seluruh dunia. Hal ini ditandai dengan adanya proses
peradangan pada otak dengan bukti klinis neurologis. Presentasi awal dapat
berupa kejang, sakit kepala, paresis, kehilangan penglihatan, masalah
pendengaran dan perubahan perilaku.2
Ensefalitis merupakan salah satu kondisi yang menantang bagi
seorang dokter untuk mendiagnosis dan penanganan penyakit oleh karena
tingkat keparahan penyakit, banyaknya etiologi penyebab ensefalitis,
kurangnya etiologi yang dapat diidentifikasi dan pilihan pengobatan yang
tidak efektif untuk sebagian besar etiologi ensefalitis. Tanpa mengidentifikasi
agen neurotropik atau analisis jaringan otak, diagnosis ensefalitis hanya
sebatas asumsi dan didasarkan pada gambaran klinis. Pasien ensefalitis dapat
dimanifestasikan dengan temuan pada parenkim otak saja, namun pada
sebagian kasus ensefalitis juga berkaitan dengan inflamasi pada menings
sehingga terjadi tumpang tindih diagnosis berupa meningoensefalitis.3
B. Definisi
Ensefalitis merupakan proses inflamasi pada parenkim otak yang
menyebabkan disfungsi serebral baik yang bersifat difus maupun terlokalisir.
Ensefalitis umumnya merupakan proses akut, tetapi dapat pula berupa
ensefalitis pasca infeksi, penyakit kronik degeneratif atau infeksi virus yang
berjalan lambat.5,1
Ensefalitis terbagi menjadi 2 yaitu ensefalitis primer berupa virus
yang menginfeksi otak dan spinal cord dan juga ensefalitis sekunder yaitu
ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi pada bagian lain dari tubuh yang
kemudian menginfeksi otak. Meskipun secara primer, terjadi inflamasi pada
parenkim otak, namun biasanya selaput menings juga ikut mengalami
inflamasi yang biasa disebut meningoensefalitis.6
C. Epidemiologi
Insidens ensefalitis tahunan yaitu 5 – 10 kasus per 100.000 penduduk
dan lebih sering terjadi pada anak-anak dan orang tua. Di negara-negara
industri, ensefalitis HSV merupakan ensefalitis yang paling sering
terdiagnosis dengan kejadian tahunan 1 kasus per 250.000-500.000 penduduk.
Menurut Jain et al., beberapa penelitian yang dilakukan di India, Kuwait dan
negara-negara Eropa melaporkan prevalensi tinggi enterovirus encephalitis di
daerah endemik mencapai 22%.2
Pada dekade terakhir, sekitar 250.000 pasien didiagnosis ensefalitis
dan yang mengalami rawat inap di rumah sakit sekitar 7 dari 100.000
penduduk pertahun. Dan angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kasus
pada negara lain.6
Virus Japanese Encephalitis merupakan penyebab utama kejadian
penyakit ensefalitis virus di Asia. WHO (2012) menggambarkan bahwa
negara-negara berisiko Japanese Encephalitis ditemukan hampir di seluruh
wilayah Asia antara lain Jepang, Korea, India, Srilanka, dan Indonesia serta
sebagian northern territory di Australia. Seperti di negara-negara lain, di
Indonesia jumlah kasus JE didapatkan melalui surveilans Acute Encephalitis
Syndrome (AES).
Di india utara, virus Japanese Encephalitis merupakan penyebab
terbanyak dideteksi dengan prevalensi 16,2% dan diikuti virus dengue
(10,8%), virus herpes simplex (9,3%) virus measles (8,9%), virus mumps
(8,7%) dan virus varicella zoster (4,4%). (Jain, Paul. 2014)
Insidensi penyakit ensefalitis di negara berkembang termasuk Indonesia
dilaporkan cukup tinggi yaitu sekitar 6,34/100.000 penduduk per tahun. 5,6Data
statistik menunjukkan bahwa sebanyak 31 % dari 214 kasus ensefalitis
disebabkan oleh virus herpes simpleks dan terkena pada anak-anak.16
Di Indonesia, Ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua
umur dengan urutan ke-17 dengan persentase 0,8% setelah malaria. Ensefalitis
merupakan penyakit menular pada semua umur dengan persentase 3,2%.
Sedangkan proporsi Ensefalitis merupakan penyebab kematian bayi pada
umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga yaitu dengan persentase 9,3%.
Proporsi Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu 8,8% dan
merupakan urutan ke-4 yaitu 10,7%.Berdasarkan data di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Fatmawati yang merawat pasien Ensefalitis. Dari 159 data
rekam medik yang berada dipoli saraf bagian neurologi pasien yang menderita
Ensefalitis berjumlah 67 pasien (42%) yang menjalani rawat inap di RSUP
Fatmawati tahun 2012 – 2015.

D. Etiologi
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa).
Organisme menyebabkan ensefalitis melalui salah satu dari dua mekanisme
yaitu: (1) infeksi langsung pada parenkim otak melalui perluasan meningitis,
infeksi sekunder akibat voremia atau penyebaran retrograde melalui saraf
perifer, atau (2) respon pasca-infeksi yang dimediasi oleh kekebalan pada SSP
yang biasanya dimulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
manifestasi klinis infeksi.5
Virus adalah penyebab infeksi utama ensefalitis akut. Umumnya
penyebab ensefalitis akut di Amerika Serikat adalah enterovirus, arbovirus,
dan herpes virus. Penyebab lain ensefalitis yang kurang umum yaitu campak,
virus JC, virus limfositik koriomeningitis (LCMV), rabies, influenza, dan
Japanese ensefalitis. Beberapa etiologi lain yang memungkinkan untuk
terjadinya ensefalitis seperti penyakit prion ( misalnya penyakit Creitzfeldt
Jacob) dan parasit seperti amuba, bartonella henselae, Mycobacterium
tuberculosis, Plasmodium Falciparum dan Mycoplasma pneumoniae.5
Ensefalitis autoimun merupakan penyebab ensefalitis yang relatif
umum dan berhubungan dengan autoantibodi spesifik yang diarahkan ke
antigen otak seperti antibodi reseptor anti N-metil-D-aspartat. Manifestasi
klinis subakut tersering dari ensefalitis autoimun berupa psikologis, disfungsi
kortikal, gangguan gerakan, disfungsi otonom dan kejang.5

Virus Bakteria
 Enteroviruses  Borrelia burgdorferi (Lyme
 Parechoviruses Disease)

 Herpes Simplex Viruses (Types 1  Bartonella henselae (Cat-Scratch


And 2) Disease)

 EBV  Mycoplasma pneumoniae


 Arboviruses (West Nile Virus, St.  Rickettsia rickettsii (Rocky
Louis, Japanese, Lacrosse, Mountain
Powassan And Equine Encephalitis Spotted Fever)
Viruses) Jamur

 Cytomegalovirus  Cryptococcus neoformans


 Human Immunodeficiency Virus  Coccidioides species
 Rabies Virus  Histoplasma capsulatum

 LCMV Parasit

 VZV  Plasmodium Falciparum

 Influenza Virus  Naegleria Fowleri

 Mumps Virus  Acanthamoeba Spp

 Measles Virus
E. Patofisiologi
Virus masuk tubuh pasien melalui beberapa jalan. Tempat permulaan
masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar ke
seluruh tubuh dengan beberapa cara:8
1. Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permulaan selaput lendir) kemudian menyebar ke
organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak di permukaan selaput
lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum
ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian
menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:8
1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang
sedang berkembangbiak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vascular dan paravaskular. Sedangkan virusnya
sendiri sudah tidak ada dalam otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten.
Meskipun kurang dipahami untuk beberapa etiologi, berbagai
mekanisme berkontribusi terhadap ensefalitis. Dua bentuk utama dari
ensefalitis adalah ensefalitis infeksi primer, yang dihasilkan dari invasi
langsung sistem saraf pusat (paling umum grey matter) oleh patogen, dan
ensefalitis yang dimediasi oleh kekebalan tubuh, yang dihasilkan dari
kerusakan SSP dari sistem kekebalan tubuh (paling umum white matter). Virus
dapat menyerang SSP melalui viremia yang kemudian melewati sawar darah-
otak (mis. Arbovirus) atau transpor aksonal retrograde (mis. Virus rabies) dan
menginfeksi neuron yang menyebabkan sitotoksisitas (mis. Virus herpes
simpleks; HSV). Selain itu, patogen dapat menyebabkan peradangan yang
menyebabkan kerusakan jaringan (mis. Virus West Nile; WNV) atau
menyebabkan vasculitis yang mengarah ke iskemia jaringan (mis. Virus
varicella zoster; VZV), atau kombinasi dari mekanisme ini. Atau, patogen
nonneuroinvasiv menginfeksi situs non-SSP (mis. Mycoplasma pneumoniae,
infeksi pernapasan virus influenza), patogen neuroinvasive menginfeksi SSP
(mis. HSV), tumor (mis. Teratoma ovarium), dan berpotensi beberapa
vaksinasi dapat memicu autoimunitas SSP karena untuk respon imun yang
menyimpang terhadap antigen otak. Infeksi virus SSP langsung dan pemicu
penyakit yang diperantarai kekebalan dapat hidup berdampingan, seperti yang
diilustrasikan dengan kasus ensefalitis HSV dengan antibodi reseptor anti-N-
metil-D-aspartat (anti-NMDAR) yang terjadi bersamaan.6

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai
yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga
perlahan-lahan. Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise,
nyeri pada ekstremitas dan pucat. Kemudian diikuti oleh tanda ensefalitis yang
berat ringannya tergantung dari distribusi dan luasnya lesi pada neuron. Gejala-
gejala tersebut berupa pasien gelisah, irritable, screaming attack, perubahan
dalam perilaku, gangguan kesadaran dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia dan paralisis
saraf otak, tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai
meningen. Ruam kulit kadang timbul pada beberapa tipe ensefalitis seperti
enterovirus, varisela zoster. (neurologi idai)

Adapun tingkat keparahan gejala sangat bervariasi dari demam ringan


hingga sakit kepala dan jika terjadi gangguan parah, bisa didapatkan kejang,
koma, defisit neurologis dan kematian. Pada anak, dapat ditemukan gejala
seperti sakit kepala didaerah frontal, hiperestesia. Pada bayi didapatkan
irritable dan letargi sedangkan pada remaja dan dewasa terdapat nyeri
retrobulbar. (tatalaksana masalah penyakit anak dengan kejang).
Gambaran khas meliputi tahap awal demam, sakit kepala, dan muntah
yang berlangsung kurang dari 1 minggu kemudian diikuti dengan kejang, koma
dan defisit neurologis dengan atau tanpa tanda-tanda iritasi meningeal. Pada
kasus yang parah, dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan intrakranial
yang mengancam jiwa, deserebrasi atau koma flaccid. Umumnya, tahap ini
berlangsung 7 sampai 10 hari setelah itu terjadi pemulihan bertahap dengan
atau tanpa gejala sisa.

G. Diagnosis
Diagnosis ensefalitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis, pemeriksaan penunjang.9
1. Anamnesis9
a. Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
b. Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh
nyeri kepala, ensefalopati, kejang, dan kesadaran menurun.
c. Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat
ditemukansejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.
Umumnya pada saat dianamnesis dapat ditemukan gejala demam tinggi
(90%), nyeri kepala (80%), gangguan kejiwaan (70%), kejang (67%),
muntah (46%), kelemahan setempat (33%) dan hilangnya ingatan (24%).
2. Pemeriksaan Fisis9
a. Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma
dan kejang. Kejang dapat berupa status konvulsivus.
b. Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
c. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper
motorneuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus).
Pada
3. Pemeriksaan Neurologis17,18,19,20
a. Pemeriksaan tingkat kesadaran
Pada pasien dengan ensefalitis umumnya terjadi penurunan kesadaran.
Kesadaran pada pasien dapat dinilai melalui pemeriksaan Glasgow
Coma Scale (GCS).
Nilai Pediatric Glasgow Coma Scale
Respon membuka mata
4 Terbuka spontan
3 Mata tebuka dengan rangsangan verbal
2 Mata terbuka dengan rangsangan nyeri
1 Tidak berespon
Respon Verbal
5 Orientasi baik, mengoceh
4 Irritable, menangis
3 Menangis dengan rangsangan nyeri
2 Mengerang dengan rangsangan nyeri
1 Tidak respon
Respon Motorik
6 Gerak spontan, menuruti perintah
5 Dapat melokalisasi nyeri
4 Menarik/fleksi dengan rangsangan nyeri
3 Fleksi abnormal terhadap rangsangan nyeri
2 Ekstensi abnormal terhadap rangsangan nyeri (deserebrasi)
1 Tidak ada respon

Interpretasi :
 Skor minimum = 3, prognosis sangat buruk
 Skor maksimum= 15, prognosis baik
 Skor ≥ 7 kesempatan untuk sembuh besar
 Skor 3-5 berpotensi fatal
 Anak-anak usia dibawah 5 tahun memiliki skor yang lebih rendah
karena pengurangan yang terjadi pada respon motorik dan verbal
b. Inspeksi
Pada saat inspeksi, dapat dilakukan observasi pasien dimulai daerah
rambut dan kepala bayi dapat terlihat ubun-ubun besar membonjol
pada saat menangis, mata cekungm hidrosefalus.
Selain itu kita dapat menilai posisi bayi. Bayi normal akan berbaring
dengan posisi lengan dan tungkai dalam keadaan fleksi sedangkan
tangannya menggenggam. Pada bayi baru lahir tanpa kelainan
neurologis bila diletakkan di meja dalam posisi telungkup maka kepala
akan menempel di meja, kedua tungkai dan lengan dalam keadaan
fleksi dan bokong ke atas. Posisi ini akan berkurang dengan
bertambahnya usia.
Posisi abnormal pada bayi
 Frog posture
 Hemiplegia
 Episthotonus
 Hipotoni
c. Tanda rangsang meningal
Pemeriksaan tanda rangsang menings biasanya dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis meningitis atau kemungkinan terjadinya
meningoensefalitis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa :
 Kaku Kuduk
Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang
sedang berbaring. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan
diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan ini
perhatikan adanya taanan. Bila kaku kuduk positif maka kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
 Tanda Lasegue
Pada pemeriksaan ini pasien yang sedang berbaring diluruskan
(ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat
lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai
yang satu lagi harus selalu dalam berada posisi lurus (ekstensi).
Pada keadaan normal, kita dapat mencapai 70 derajat sebelum
timbulrasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan
tahanan sebelum mencapai 70 derajat maka tanda lasegue positif.
 Tanda Kernig
Penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudur 900. Setelah itu tungkai
bawah diekstensikan ada persendian lutut. Biasanya kita dapat
melakukan ekstensi ini sampai sudut 1350 antara tungkai atas dan
bawah. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencapai
sudut ini, maka tanda kernig positif.
 Tanda Brudzinski I
Tangan pemeriksaan diletakkan di bawah kepala pasien yang
sedang berbaring. Tekukan kepala pasien sejauh mungkin sampai
dagu menyentuh dada. Tangan yang satu lagi diletakkan di dada
pasien untuk mencegah diangkatnya badan pasien sewaktu kepala
difleksikan. Tanda brudzinski I positif jika ditemukan fleksi kedua
tungkai.
 Tanda Brudzinski II
Pasien dalam posisi berbaring, kemudian satu tungkai difleksikan
pada sendi panggul sedangkan tungkai yang satunya dalam posisi
ekstensi (lurus). Bila saat pemeriksaan, tungkai yang lurus ikut
mengalami fleksi maka tanda brudinski II positif.
d. Pemeriksan nervus kranialis
 Wajah Simetris/tidak simetris (N. Facialis (N. VII)).
 Posisi bahu simetris (N. Accessorius (N. XI)).
 Mengikuti benda, Doll’s eye movment(N. Opticus (N. II), N.
Occulomotorius (N. III), N. Trochlearis (N.IV), dan N. Abdusen
(N. VI).
 Refleks cahaya +/+, pupil isokor(N. Opticus (N. II) dan N.
Occulomotorius (N. III).
 Saat menangis - mulut terbuka :
 Posisi uvula dan laring (N. Glossofaringeus (N. IX).
 Posisi lidah ditengah (N. Hipoglossus (N. XII)
 Refleks menghisap baik (N. Facialis (N. VII, N.
Glossofaringeus (N. IX), N. Vagus (N. X) dan N. Hipoglossus
(N. XII).
 Fungsi pendengaran : Semua bayi baru lahir diperiksa
menggunakan Oto Accoustic Emission (OAE). Apabila tidak lulus,
dilakukan pemeriksaan ulangan ditambah pemeriksaan Brainstem
Evoked Response Audiometry (BERA). Pemeriksaan OAE hanya
mengukur kokhlea, sedangkan BERA mengukur kokhlea dan jaras
pendengaran sampai ke batang otak (N. Vestibulokoklearis (N.
VIII).
e. Pemeriksaan motorik
 Bentuk otot
Melakukan penilaian terhadap bentuk otot anak atau bayi, apakah
normal, hipertoni atau hipotoni.
 Tonus otot
Pada anak yang lebih besar dapat dilakukan dengan
meminta anak berbaring dengan santai.Alihkanlah perhatian anak
dengan mengajaknya berbicara.Lakukan fleksi dan ekstensi pada
sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nilai tahanan yang
dirasakan sewaktu menekukkan dan meluruskan tangan.
Sedangkan pada bayi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu respon
traksi, suspensi vertikal, dan suspensi horisontal.
Pemeriksaan respon traksi dilakukan terhadap bayi dalam
posisi supine. Ibu jari pemeriksa diletakkan dalam genggaman
bayi, kemudian kita pegang seluruh telapak tangan bayi. Terhadap
bayi dilakukan elevasi perlahan ke posisi duduk. Dalam keadaan
normal, kepala bayi segera mengikuti dan hanya tertinggal sedikit.
Pada waktu posisi duduk kepala dapat tetap tegak selama beberapa
detik, kemudian jatuh ke depan. Pada waktu dilakukan elevasi bayi
normal memperlihatkan fleksi di siku, lutut, dan pergelangan kaki.
Apabila kepala tertinggal jauh, lengan ekstensi selama tarikan
berarti tidak normal.
Suspensi vertikal dilakukan dengan memegang bayi pada
ketiak, kemudian dilakukan elevasi bayi ke atas lurus. Pada waktu
dilakukan elevasi, kepala tetap tegak sebentar, lengan atas dapat
menjepit tangan pemeriksa dan tungkai tetap fleksi pada lutut,
panggul dan pergelangan kaki. Dalam keadaan abnormal, bayi
tidak dapat menjepit tangan pemeriksa, kepala terkulai, dan dapat
terlihat scissor sign berupa menyilangnya ekstremitas.
Suspensi horisontal dilakukan terhadap bayi dalam posisi
prone. Tangan pemeriksa diletakkan pada toraks, dan dilakukan
elevasi bayi secara horisontal. Pada bayi normal terlihat ekstensi
kepala dengan fleksi anggota gerak untuk menahan gaya berat.
Pada bayi abnormal kepala, badan dan anggota gerak menggantung
lemas atau sebaliknya terlihat ekstensi kepala, batang tubuh dan
ekstremitas berlebihan disertai scissor sign.
 Kekuatan otot
 5 = normal
 4 = mampu lawan gravitasi & tahanan ringan
 3 = mampu lawan gravitasi & tdk tahanan ringan
 2 = gerakan di sendi, tak mampu melawan gravitasi
 1 = gerakan (-), kontraksi otot terasa atau teraba
 0 = tak ada kontraksi sama sekali
Cara lain dapat dilakukan dengan meminta anak duduk di lantai
lalu berdiri, kemudian dinilai apakah anaknya tidak sanggup atau
berdiri sambil merambat pada kakinya atau meminta berlari, jalan
berjinjit, jalan satu kaki.
f. Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan sensorik sulit dilakukan pada bayi dan anak. Pemeriksaan
yang dilakukan berupa sensibilitas kulit, refleks perut, refleks
spinchter, dan refleks genetalia.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Lumbar puncture (LP) atau spinal tap adalah tes yang memungkinkan
dokter untuk mengambil sampel cairan serebrospinal (CSF) yang
mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang dan menguji keberadaan
virus atau antibodi. Semua pasien yang diduga menderita ensefalitis
harus menjalani LP secepat mungkin kecuali ada kontraindikasi yang
jelas. Perlu dilakukan pencitraan otak sebelum dilakukan LP untuk
mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang
merupakan kontraindikasi relatif pada LP.
Adapun kontra indikasi LP yaitu:21
1) Kontraindikasi absolut
 GCS < 8 atau kesadaran memburuk atau berfluktuasi
 Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial: diplopia, respon
pupil abnormal, posisi deserbrasi atau dekortikasi, penurunan
denyut nadi, peningkatan tekanan darah dan napas iregular serta
papiledema.
 Fontanel menonjol disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial
 Infeksi pada permukaan kulit lokasi pungsi
 Penggunaan Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
2) Kontraindikasi relatif
 Syok septik atau gangguan hemodinamik
 Gangguan pernapasan yang signifikan (apnea)
 Tanda-tanda neurologis fokal baru atau kejang
 Kejang dalam 30 menit sebelumnya +/- tingkat kesadaran normal
belum kembali setelah kejang
 Koagulopati (INR >1,4)
 Platelet rendah <50.000
 Penggunaan obat antikoagulan
Tes ini melibatkan melewati jarum, di bawah anestesi lokal, ke dasar
tulang belakang untuk mengumpulkan CSS.9,11, 12
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal atau menunjukkan
abnormalitas ringan sampai sedang:9
- peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
- hitung jenis didominasi sel limfosit
- protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
- glukosa normal.
Tabel 2. Interpretasi cairan serebrospinal13

c. Pemindaian otak, seperti computerized tomography (CT), yang


menggunakan sinar-X atau magnetic resonance imaging (MRI) berdasarkan
magnetic felds, memindai otak secara cross section untuk menunjukkan
menunjukkan gambaran edema otak baik umum maupun fokal dan
membantu menyingkirkan gangguan neurologis lainnya, misalnya tumor
dan stroke otak (kondisi medis di mana suplai darah ke bagian otak
terputus).11
d. Tes darah digunakan untuk memeriksa keberadaan antibodi dan tanda-tanda
infeksi. Tes-tes ini juga dapat membantu mengeksklusi ensefalopati
metabolik yang memberikan manifestasi klinis mirip dengan ensefalitis
seperti gagal hati, gagal ginjal, diabetes melitus, gagal jantung. Dapat
dilakukan pemeriksaan seperti darah rutin untuk melihat jumlah sel darah
putih, limfosit, neutrofil, monosit. Selain itu dapat dilakukan pula
pemeriksaan kimia darah seperti tes fungsi hati, fungsi ginjal, glukosa darah.
Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan BNP (Brain Natriuetic
Peptide) yang merupakan marker rotein spesifik pada jantung.11
e. CT-Scan dan MRI
Digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya edema otak baik
umum maupun fokal. MRI non kontras pada otak merupakan first-line
pemeriksaan pencitraan pada anak dengan suspek infeksi otak. CT-Scan
non kontras merupakan first-line pemeriksaan pada pasien anak dengan
perubahan status mental akut dan suspek infeksi intrakranial karena pada
tes ini dengan cepat dan akurat mengekslusi seluruh kegawatan
neurosurgical akut. Namun, CT-Scan tidak direkomendasikan untuk
mengevaluasi anak dengan ensefalitis (tanpa perubahan status mental akut).
f. Elektroensefalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
sangat penting pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan
gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya didapatkan gambaran
high voltage sharp wave dan slow wave complex pada didaerah temporal
dengan interval regular 2-3 per detik.9
H. Diagnosa Banding
Diagnosis ditegakkan secara presumtif, dengan melihat gejala
neurologis, analisis epidemiologi yang tipikal, bukti infeksi dengan
pemeriksaan CSS, EEG, serta pemeriksaan pencitraan otak. Ensefalitis dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri, Mycoplasma, Ricketsia, jamur, dan parasit,
dapat pula oleh penyakit non infeksi, termasuk penyakit metabolisme
(ensefalopati) seperti sindrom Reye, hipoglikemia, penyakit vaskular kolagen,
obat-obatan, hipertensi, keganasan (tumor otak), Abses otak, abses ekstradural
dan abses subdural.
1. Encepfalopati
Ada banyak kondisi medis yang dapat menghasilkan penyakit
ensefalopati yang mungkin menyerupai ensefalitis virus. Yang paling
menonjol di antaranya adalah infeksi sistemik yang dapat sangat mirip
dengan ensefalitis. Pada pasien yang baru kembali dari luar negeri,
kewaspadaan khusus harus diberikan pada kemungkinan infeksi non-virus
seperti malaria serebral yang dapat dengan cepat berakibat fatal jika tidak
diobati dini. Sejumlah kondisi metabolisme termasuk gagal hati dan ginjal
dan komplikasi diabetes juga dapat menyebabkan kebingungan.
Kemungkinan peran konsumsi alkohol dan obat-obatan harus selalu
dipertimbangkan.14
Walaupun perbedaannya tidak selalu langsung, ada sejumlah petunjuk
yang dapat menunjukkan bahwa pasien memiliki ensefalitis virus infektif
daripada ensefalopati nonviral. Tabel 3 merangkum yang paling penting dari
ini dan menunjukkan perlunya pemeriksaan yang cermat dan biasanya
pencitraan kranial untuk mengecualikan lesi struktural diikuti oleh
pemeriksaan CSF. 14

Tabel 3. Perbedaan antara ensefalitis dan ensefalopati14

2. Meningitis
Meningitis juga dapat dijadikan diagnosis banding dari ensefalitis dimana
meningitis merupakanpenyakit infeksi selaput otak (menings) dan sumsum
tulang belakang yang dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti
virus, bakteri, jamur dan parasit. Manifestasi klinis pada penyakit
meningitis yang menyerang anak berupa demam, kejang, penurunan
kesadaran (pada ensefalitis cenderung penurunan kesadaran yang disertai
dengan perubahan perilaku), muntah, peningkatan tekanan intrakranial,
adanya defisit neurologis, sakit kepala atau nyeri dibagian belakang leher,
spastik, dan tanda rangsang meningeal positif

Tanda Ensefalitis Meningitis


Gejala konstitusional
Demam Ya Ya
Sakit kepala, mual, Ya Ya
muntah, letargi
Fotofobia, kaku leher Tidak Ya
Gangguan neurologi
Kejang Ya Minimal
Paralisis/palsy nervus Ya Tidak
kranialis
Perubahan status Ya Tidak
mental

I. Penatalaksanaan
Jika ensefalitis oleh karena infeksi, maka diberikan sesuai penyebab
yakni,dengan antivirus (melawan virus), antibiotik (melawan bakteri) atau
obat antijamur (terhadap jamur). Penting bahwa obat harus diberikan segera.
Beberapa obat yang berbeda dapat diberikan sekaligus.

Bila kejang dapat diberi diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV perlahan-


lahandengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,dengan
dosis maksimal 20 mg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin
secara intravena dengan dosisawal10-20mg/kg/kalidengankecepatan1
mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12jam setelah dosis awal.Bila
dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif.11
Paracetamol 10 mg/kgBB diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5
kalidapat diberikan pada saat pasien demam. Apabila didapatkan tanda
kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi deksametason 1 mg/kgBB/kali
dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari. Pemberian
deksametason tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial yang
meningkat atau keadaan umum telah stabil. Peningkatan tekanan intrakranial
juga dapat diberikan manitol 0,5-1 mg/kgBB/kali selama 30 menit setiap 6 – 8
jam. atau furosemid 1 mg/kg/kali.
Jika pada pemeriksaan didapat pemeriksaan rangsang meningeal
positif, kemungkinan terjadi meningoensefalitis, maka dapat diberikan
antibiotik. Pada bayi dan anak-anak dapat diberikan sefalosporin generasi 3
yaitu ceftriaxon 50mg/kgbb IV dan Vancomycin 15mg/kgbb IV. Pada
neonatus dan lansia dapat diberikan ampicilin 2g/6 jam IV ditambah
ceftriaxon 2gr/12 jam IV dan Vancomycin 15mg/kgbb/12jam.23,24,25,26
Asiklovir adalah obat antivirus yang paling sering digunakan. Ini
efektif terhadap virus herpes simpleks. Asiklovir biasanya diberikan tiga
kali sehari dengan infus langsung ke dalam pembuluh darah. Pemberian
asiklovir intravena empiris (20 mg/kg/dosis setiap 8 jam untuk usia <3 bulan
dan 10 mg/kg/dosis setiap 8 jam untuk usia >3 bulan. Pengobatan dengan
acyclovir biasanya dihentikan selama 14-21 hari dan d ihentikan setelah hasil
negatif dari LP.11
Terapi kortikosteroid dapat diberikan sebelum atau bersamaan dengan
dosis pertama antibiotik yang dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas secara bermakna. Dexamethasone dapat diberikan dengan dosis
10mg/6jam IV selama 4 hari atau 2mg/kgBB/6 jam IV.
Jika ensefaltis autoimun, perawatan bertujuan untuk memodifikasi
fungsi sistem kekebalan tubuh. Ini termasuk obat-obatan seperti:
 Kortikosteroid (obat untuk meredakan peradangan). Diberikan metil-
prednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam selama 3-5 hari dan
dilanjutkan prednison oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari
 Imunoglobulin intravena (IVIG) yang merupakan produk darah yang
diberikan ke vena dalam bentuk infus.
 Exchange Pertukaran Plasma (plasmapheresis), yang berarti bahwa
sebagian darah seseorang diambil dari vena, bagian plasma darah - yang
mengandung antibodi - dipisahkan dan diganti dengan plasma baru dan
ini dimasukkan kembali ke dalam vena.11
Terapi yang segera diberikan memberikan peluang bagus untuk pemulihan
pada sebagian besar anak-anak. Ketika mereka membaik sering ada
pengurangan jumlah antibodi dalam darah ketika dilkakukan tes diulang.
Beberapa obat memiliki efek samping potensial tetapi juga manfaat penting
karena dapat mengurangi peradangan otak. Risiko bahaya dari salah satu
dari efek samping ini kecil dibandingkan dengan manfaat yang diberikan
pada pasien dengan ensefalitis autoimun. 11

Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke


Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi
spastisitas, serta mencegah kontraktur. Gejala sisa yang sering ditemukan
adalah gangguan penglihatan, palsi serebral, epilepsi, retradasi mental
maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan
tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke
departemen terkait (Rehabilitasi Medik, mata dll) sesuai indikasi.
Gambar. Algoritma untuk manajemen dasar ensefalitis akut.11
J. Komplikasi
Mayoritas pasien yang menderita ensefalitis terus mengalami
setidaknya satu komplikasi, terutama pasien usia lanjut, pasien yang memiliki
gejala koma, dan individu yang tidak menerima pengobatan pada tahap awal.
Meskipun menggunakan obat antivirus, kejadian gejala sisa tetap tinggi dan
kekambuhan dapat terjadi. Tingkat kematian pada ensefalitis virus non-herpes
dapat berkisar dari sangat rendah (misalnya, ensefalitis EBV) hingga sangat
tinggi (misalnya, ensefalitis equine timur). Ensefalitis rabies bersifat fatal.
Angka kematian pada HSE yang tidak diobati sekitar 70% dan kurang dari 3%
akan kembali ke fungsi normal. Dalam analisis retrospektif pasien dengan
diagnosis HSE, hanya 16% dari pasien yang tidak diobati yang selamat.
Sejumlah komplikasi sekunder juga dapat timbul selama ensefalitis virus akut,
seperti peningkatan tekanan intrakranial; infark serebral; trombosis vena
serebral; sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak sesuai; pneumonia
aspirasi; perdarahan saluran cerna bagian atas; infeksi saluran kemih; dan
koagulopati intravaskular diseminata. Sekuel akhir dari ensefalitis virus sangat
tergantung pada usia pasien, etiologi ensefalitis, dan tingkat keparahan episode
klinis. Epilepsi, anomie persisten, afasia, defisit motorik, dan keadaan
amnestik kronis yang mirip dengan psikosis Korsakoff telah dilaporkan dari
pasien HSE parah. Sindrom ekstrapiramidal (Parkinsonisme) sebagai sekuel
lanjut dari ensefalitis virus pertama kali dikenali setelah epidemi ensefalitis
virus influenza yang ditandai oleh sindrom ophthalmoplegic somnolent dan
kelelahan (ensefalitis lethargica atau penyakit von Economo). Hampir
sepertiga dari semua anak-anak dengan ensefalitis Jepang akan mati dan
hampir 75% dari anak-anak yang selamat dengan sekuele neurologis,
termasuk retardasi mental, epilepsi, kelainan perilaku (kepribadian ompulif
obsesif), bicara dan gangguan gerakan ekstrapiramidal (parkinsonian).
Sindrom kelelahan yang berkepanjangan dan persisten, mialgia, gugup,
gangguan konsentrasi, dan malaise pasca-operasi diakui dengan baik setelah
ensefalitis virus (sindrom kelelahan kronis postviral).15
K. Prognosis
Prognosis ensefalitis tergantung pada virulensi virus dan status
kesehatan pasien. Pada pasien ensefalitis dengan usia <1 tahun atau >55 tahun,
gangguan kekebalan tubuh dan memiliki gangguan neurologis dikaitkan
dengan prognosis yang buruk. 1
HSE yang tidak diobati memiliki angka mortalitas 50-75% dan
hampir semua pasien yang tidak dioati atau terlambat pengobatan memiliki
cacat motorik dan mental jangka panjang. Angka mortalitas pada HSE yang
diobati rata-rata 20%, dan hasil neurologis berhubungan dengan kecacatan
neurologis yang ada pada saat pemberian dosis pertama asiklovir atau agen
antivirus lainnya. Sekitar 40% pasien yang sembuh dari HSE memiliki
prognosis seperti ketidakmampuan belajar minor hingga mayor, gangguan
memori, kelainan neuropsikiatri, epilepsi, defisit kontrol motorik halus dan
disartria.1
Prognosis pada arbovirus, japanese ensefalitis dan Eastern Equine
Encephalitis mirip dengan prognosis pada HSE yang tidak diobati, dengan
angka mortalitas yang tinggi dan morbiditas berat seperti retardasi mental,
hemiplegia, dan kejang. Terdapat infeksi arbovirus lain yang mneyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang rendah seperti st louis ensefalitis dan WNE
dengan angka mortalitas sekitar 2-20% tetpi angka ini ditemukan jauh lebih
tinggi pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun. Gejala sisa jangka panjang
pada ensefalitis St. Louis berupa gangguan perilaku, kehilangan ingatan dan
kejang. 1
Pada Western Equine Encephalitis (WEE) memiliki angka mortalitas
dan morbiditas yang lebih sedikit meskipun dapat dijumpai prognosis berupa
keterlambatan perkembangan, kejang dan kelumpuhan yang kadang dapat
terjadi pada anak-anak dan parkinsonisme postensefalitik dapat terjadi pada
orang dewasa. Pada California Ensefalitis bisanya dikaitkan dengan penyakit
ringan dan dapat sembuh total. Namun pada sebagian pasien dengan penyakit
berat, 25% pasien mengalami disfungsi neurologis fokal. Tingkat mortalitas
akibat WEE dan LAC kurang dari 5 %.1
PIE sekunder akibat campak memiliki angka kematian 40%, dan
menyebabkan gejala sisa neurologis. Pada VSVE angka mortalitas sebesar
15% pada pasien dengan imun yang kompeten dan angka mortalitas hampir
mencapai 100% pada pasien yang mengalami penurunan imun. Mortalitas
untuk EBV 8% dan angka mortalitas 12%.1
L. Pencegahan
Pencegahan untuk ensefalitis arboviral adalah dengan menghindari
paparan nyamuk. Tidak ada vaksin yang digunakan di Amerika Serikat untuk
pencegahan infeksi arboviral atau untuk enterovirus kecuali untuk
poliomielitis. Rabies dapat dicegah dengan vaksinasi praeksposur atau
posteksposur. Ensefalitis influenza dapat dicegah dengan menggunakan
vaksinasi influenza. Sindrom Reye dapat dicegah dengan menghindari
penggunaan aspirin atau senyawa yang mengandung aspirin untuk anak-anak
dengan demam serta penggunaan vaksin varicella dan influenza. Japanese
ensefalitis dapat dicegah dengan pemberian vaksin japanese ensefalitis.
Asiklovir adapat diberikan untuk neonatus yang lahir dari ibu dengan lesi
herpes genital aktif pada saat persalinan5
M. Tatalaksana Jangka Panjang
Pada pasien pasca ensefalitis, terdapat angka morbiditas yang cukup
signifikan sehingga membutuhkan tatalaksana jangka panjang untuk
memperbaiki morbiditasnnya. Pasien pasca ensefalitis umumnya mengalami
perubahan prilaku yang drastis seperti agresif, mudah tersinggung, dapat pula
terjadi gangguan emosional dan presepsi, perubahan kognitif, dan gangguan
neurologis.

Langkah pertama dalam perawatan pasien postensefalitik adalah


memastikan bahwa terdapat perawatan medis yang memadai untuk tatalaksana
gejala sisa yang terjadi pada pasien pasca ensefalitis. Selain fasilitas
dibutuhkan pula tenaga medis yang kompeten. Tindak lanjut neurologis pada
pasien pasca ensefalitis perlu dilakukan, mengingat sekuele neurologi pasca
ensefalitis dapat berupa epilepsi. Tindak lanjut psikiatri juga penting dilakukan
pada pasien pasca ensefaliti, untuk melihat gangguan afek dan perilaku pada
pasien yang kemugkinan disebabkan oleh kerusakan amiglada atau perubahan
perfusi pada area frontal. Evaluasi neuropsikiatri berfungsi untuk
mengidentifikasi gangguan emosional pasien yang sedang terjadi (anxietas,
depresi, psikosis) atau gangguan perilaku (agitasi, agresi dan disinhibisi) dan
juga memberikan tatalaksana psikofarmakologi. Terapi yang diberikan pada
pasien yang mengalami gangguan neuropsikiatri dapat berupa benzodiazepin
(agitasi, tidur), antipsikotik (psikosis dan agitasi), antikonvulsan (penstabil
suasana hati) dan juga antridepresan, stimulan dan kolinesterase inhibitor.
Modalitas lain seperti Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) dapat
dipertimbangkan untuk diberikan mengingat terapi ini cukup efektis untuk
menangani pasien depresi yang resisten dengan terapi. 15

Untuk tatalaksana epilepsi pada pasien pasca ensefalitis dapat diberikan


vigabatrin. Pada penelitian didapatkan efikasi penggunaan vigabatrin dalam
mengontrol spasme epilepsi sekitar 26-60%. Pemberian ACTH dosis rendah
juga dapat menjadi terapi pertama dalam tatalaksana epilepasi dengan respon
pengobatan antara 36,7-87% dan pada 10 penelitian didapatkan respon
pengobatan ACTH dosis rendah sekitar 61%. Dan pada penelitian lain
didapatkan 80% pasien mengalami perbaikan dengan pemberian ACTH dosis
rendah. Namun, pada pasien dengan riwayat ensefalitis virus memiliki respon
pengobatan yang buruk. Pada pasien dengan drug resistent epilepsi, dapat
diberikan stimulasi nervus vagus sebagai terapi alternatif. Berdasarkan
penelitian pemberian terapi stimulasi nervus vagus dapat menurunkan
frekuensi kejang >50%.16

Komponen penting lain dalam perawatan jangka panjang pada pasien


pasca ensefalitis adalah penilaian fungsi kognitif. Gangguan kognitif dapat
ditemukan pada 94% pasien pasca ensefalitis, dimana dapat ditemukan
gangguan kognitif pada fungsi eksekutif, memori dan bahasa. Terapi
rehabilitasi kognitif sangat dibutuhkan pada pasien pasca ensefalitis. Adapun
terapi yang diberikan berupa pengajaran strategi kompensasi untuk masalah
dengan organisasi, perencanaan, penyelesaian tugas dan mengintegrasikan atau
mengatasi berbagai aliran input sensorik serta pengkodean memori dan strategi
pengambilan seperti asosiasi semantik verbal dan asosiasi citra visual. Selain
itu, dapat juga digunakan teknologi terkini untuk terapi kognitif seperti
penggunaan smartphone, tablet dan komputer yang diisi dengan aplikasi
pengingat tugas untuk melatih memori dan pengingat pemberian medikasi,
selain itu dapat juga diisi dengan permainan yang dapat melatih fungsi kognitif
pada pasien. Terapi wicara juga dibutuhkan untuk mengatasi afasia residual
selain itu terapi okupasi juga dapat membantu dispraxia residual. Terapi
farmakologi juga dapat diberikan untuk meningkatkan perhatian, konsentrasi
dan penyelesaian tugas berupa stimultan, weakfulness promoting agents
(modafinil, armodafinil) dan terapi prodopaminergik lainnya (bupropion,
amantadine). 15

DAFTAR PUSTAKA

1. Howes DS. Encephalitis.2018.[Internet] Medscape. Diakses pada 12 Maret


2021. Avaliable from https://emedicine.medscape.com/article/791896-
overview #showall
2. Coelho AF, Chaves JF. Childhood Encephalitis: What’s New. J Pediatr
Neonatal Care. 2019;9(5):134-7.
3. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles And Practice Of Pediatric
Infectious Disease Fifth Edition. Elsevier Health Sciences; 2012. p.1561,
1579-81
4. Faller A, Schuenke M, Schuenke G. The Central And Peripheral Nervous
Systems. In :The Human Body - An Introduction To Structure And Function.
New York : Thieme ; 2004. p. 538-53
5. Marcdante KJ. Kliegman RM. Nelson Essesntial of Peiatrics Eight Edition.
Elseiver Health Sciences. 2018. p.1017 – 23
6. Venkatesman, Arun. Epidemiology and Outcomes of Encephalitis. Wolter
Klower Health. 2015. p. 277 – 82
7. World Health Organization. Japanese Encephalitis. 2019. Diakses 14 Maret
2020. Available from
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/japanese-encephalitis
8. Tursinawati,Y., Tajally, A., Kartikadewi, A., Setiawan, NTK. Buku Ajar
Sistem Saraf. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.
2015. p. 10-3
9. Pudjiadi AH. Hegar B. Handryastuti S Dkk.Pedoman Pelayanan Medis
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI. 2009. Hal 67 – 9
10. Taslim, SS. Pemeriksaan Neurologi pada Anak dan Bayi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. 2009. p. 1-35
11. Encephalitis Society. Encephalitis In Children. A Guide. Encephalits Society
2017. p7 -15
12. Meisadona, G., Soebroto, AD., Estiasari, R. Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis. 2015: 42(1): 15-9
13. Kirkham FJ. Guidelines For The Management Of Encephalitis In Children.
Developmental Medicine& Child Neurology. 2013 Feb: 55(2):107-10.
14. Puca E, Stroni G, Muco E. et al. Acute Encephalitis; A Short Review and
Problems in Daily Practice for Clinicians. Smgebook. 2017. P1-15
15. Harder, JA., Mariano, TY. The Importance of Comprehensive
Neuropsychiatruc Care in the Postencephalitic Patient. Future Neurology.
2018: 13(4): 173-6
16. Wan, L., Li, Z., Sun, Y., dkk. Clinical Characteristic and Treatment Outcomes
of Pediatric Patient Postencephalitic Epilepsy Characterized by Epileptic
Spasm. SeizureL European Journal of Epilepsy 84. 2021. p. 116-21.
17. Sylviningrum, Thianti. Modul Skill Lab A Jilid I: Pemeriksaan Glasgow
Coma Scale (GCS) dan Paediatric Coma Scale (PCS). Laboratorium
Keterampilan Klinik Program Pendidikan Dokter Universitas Soedirman.
Purwokerto.
18. Dimyati, Yazid. Pemeriksaan Neurologis Praktis pada Bayi dan Anak.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara-RS H. Adam Malik: Medan.
19. Saharso, D., Herjana, A. Y., Erny. Pemeriksaan Neurologis Pada Bayi dan
Anak. Lokakarya Tumbuh Kembang Anak. Surabaya. 2005.
20. Lumbantobing. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. FKUI.
Jakarta. 2014. P 17-20.
21. Sundari, PA., Susilawathi, NM., Sudewi, AAR. Peran CT Sken Kepala Pada
Meningitis Usia Dewasa: Stuid 125 Kasus di RSUP Sanglah Denpasar.
National Scientific Meeting Stroke-Neurointervention-Neurorestoration in
Conjuction With Banten 1st Continuing Neurology Education (CNE). Bali.
2016.
22. Beaman, MH. Community-Acquired Acute Meningitis and Encephalitis: A
Narrative Review. Western Diagnostic Pathology. Perth. 2018. P. 449-54.
23. Treister, AK dan Koerner, IP. Pharmacologic Treatment of Meningitis and
Encephalitis in Adult Patient. Indian Society of Neuroanesthesiology and
Critical Care. Amerika Serikat. 2019. Vol 6(2) p 145-52.
24. Sapra, H dan Singhai, V. Managing Meningoencephalitis in Indian ICU.
Indian Journal of Critical Care Medicine. India. 2019. P 124-8.
25. Fraley, CE., Pettersson, DR., Nolt, D. Encephalitis in Previously Healthy
Children. American Academic of Pediatric: Pediatrics in Review. 2021. P 68-
77
26. Alokaili, DA., Salih, MA., Somily, AM. Laboratory Diagnosis of
Encephalitis: New Insights into Areas of Uncertainty. Journal of Nature and
Science of Medicine. Arab Saudi. 2020. 3(1) p 1-7.

Anda mungkin juga menyukai