Anda di halaman 1dari 24

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Encephalitis

DI SUSUN OLEH :
Cyndi Cantika Nur (P00320019009)
Sitti Marhamah Wildan (P00320019040)
Sukma Ydurwati (P00320019044)
Selli Silvia Margareta (P00320019039)
Mira Tamrin (P00320019020)
Rahma Wati (P00320019033)
Resky Yusuf (P00320019036)
Muh. Nur Resky (P00320019025)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KENDARI
D III KEPERAWATAN
TAHUN 2020
Definisi encephalitis
Radang otak atau ensefalitis adalah peradangan yang terjadi pada jaringan
otak yang dapat menyebabkan gejala gangguan saraf. Gejala gangguan saraf yang
ditimbulkan dapat berupa penurunan kesadaran, kejang, atau gangguan dalam
bergerak.

Insiden encephalitis

Data epidemiologi menunjukan bahwa kasus ensefalitis dapat terjadi pada semua
usia, namun paling banyak terjadi pada anak-anak dengan insiden sedikit lebih
banyak pada laki-laki dibanding perempuan. Prognosisnya tergantung pada virulensi
virus dan status kesehatan pasien.

Global

Insidensi ensefalitis dilaporkan berkisar 3,5-7,4 per 100.000. Ensefalitis menyerang


orang-orang dari segala usia, namun dilaporkan lebih sering pada populasi anak.
Meskipun kedua jenis kelamin terpengaruh, sebagian besar penelitian menunjukkan
sedikit dominasi pada laki-laki.[10]

Di negara tropis, insidensi ensefalitis dilaporkan sebesar 6,34 per 100.000 orang.

Sekitar 7 per 100.000 orang dirawat di rumah sakit karena ensefalitis di Amerika
Serikat sepanjang tahun 2005--2015.

Pada tahun 2015, ensefalitis diperkirakan mempengaruhi 4,3 juta orang dan
mengakibatkan 150.000 kematian di seluruh dunia[11]
Indonesia

Belum ada data epidemiologi nasional mengenai ensefalitis di Indonesia.

Mortalitas

Mortalitas ensefalitis tergantung pada virulensi virus dan status kesehatan pasien.
Usia ekstrem (<1 tahun atau >55 tahun), pasien imunokompromais, dan riwayat
kelainan neurologis dikaitkan dengan luaran yang lebih buruk.

Ensefalitis akibat virus herpes simpleks yang tidak diobati memiliki mortalitas 50-
75%, dan hampir semua yang selamat atau terlambat mendapat perawatan memiliki
gangguan motorik dan gangguan mental jangka panjang

Etiologi/penyebab encephalitis

Sebagian besar radang otak disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi virus dapat
langsung menyerang otak atau disebut radang otak primer, namun juga dapat berasal
dari organ tubuh lain lalu menyerang otak atau disebut radang otak sekunder.

Jenis virus yang dapat menyebabkan radang otak antara lain:

 Virus herpes simpleks, penyebab penyakit herpes di mulut dan herpes genital,
serta herpes pada bayi.
 Virus Varicella zoster, penyebab cacar air dan herpes zoster.
 Virus Epstein-Barr, penyebab penyakit mononukleosis.
 Virus penyebab penyakit campak (measles), gondongan (mumps), dan rubela.
 Virus dari hewan, seperti rabies dan virus nipah.
Infeksi virus ini dapat menular, tetapi penyakit ensefalitis sendiri tidak menular.
Selain virus, radang otak juga dapat disebabkan oleh bakteri atau jamur.

Radang otak atau ensefalitis lebih rentan terjadi pada seseorang dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita HIV atau orang yang mengonsumsi
obat imunosupresif.

Manifestasi klinis encephalitis

Ensefalitis atau radang otak diawali dengan gejala ringan yang menyerupai flu,
seperti demam, sakit kepala, muntah, tubuh terasa lelah, serta nyeri otot dan sendi.
Seiring perkembangannya, radang otak dapat menimbulkan gejala yang lebih serius,
seperti:

 Demam hingga lebih dari 39oC.


 Linglung.
 halusinasi
 Emosi tidak stabil.
 Gangguan bicara, pendengaran, atau penglihatan.
 Kelemahan otot.
 Kelumpuhan pada wajah atau bagian tubuh tertentu.
 Kejang.
 Penurunan kesadaran.

Pada bayi dan anak-anak, gejala radang otak yang muncul bersifat umum, sehingga
tidak mudah disadari karena menyerupai gejala penyakit lain. Gejala yang dapat
muncul adalah:
 Mual dan muntah
 Nafsu makan menurun
 Tubuh anak terlihat kaku
 Muncul tonjolan pada bagian ubun-ubun kepala
 Rewel dan sering menangis

Patofisiologi

Patofisiologi ensefalitis berbeda tergantung etiologinya. Penyebab yang paling


sering ditemukan adalah virus herpes simpleks (HSV) :

1. Ensefalitis Virus

Sebagian besar kasus ensefalitis herpes simpleks diduga berkaitan dengan reaktivasi
virus yang dorman di ganglia trigeminal, kemudian menyebabkan reaksi inflamasi
yang menimbulkan manifestasi klinis seperti kejang, penurunan kesadaran, atau
kelumpuhan saraf kranial.

Arbovirus juga bisa menyebabkan ensefalitis. Inokulasi arbovirus terjadi


melalui gigitan nyamuk atau kutu. Sementara, virus rabies dapat masuk dan
menyebabkan ensefalitis melalui gigitan hewan yang terinfeksi atau paparan cairan
sekresi hewan. Beberapa virus lain yang bisa menyebabkan ensefalitis adalah virus
varicella-zoster (VZV) dan cytomegalovirus (CMV).

Secara umum, virus bereplikasi di luar sistem saraf pusat dan masuk ke otak
secara hematogen atau melalui perjalanan sepanjang jalur saraf. Begitu melewati
sawar darah-otak, virus memasuki sel-sel saraf, menyebabkan gangguan fungsi sel,
gangguan perivaskular, perdarahan, dan respons inflamasi difus.
2. Ensefalitis Autoimun

Pada ensefalitis autoimun, terbentuk antibodi yang menyerang antigen


permukaan neuron. Antibodi yang berkaitan dengan ensefalitis autoimun antara lain
N-methyl D-aspartate (NMDA) receptor antibody encephalitis, leucin-rich glioma
inactivated 1 antibody encephalitis, anti-Hu, anti-MA, dan anti glutamic acid
decarboxylase.[1] Ensefalitis reseptor NMDA adalah bentuk autoimun yang paling
umum, dan disertai oleh teratoma ovarium pada 58% wanita yang terkena.

Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan cairan serebraspinal

Warna dan jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200 sel dengan dominasi
sel limfosit. Protein agak meningkat sedangkan glucose dalam batas normal.

 Pemeriksaan EEG

Memperlihatkan proses inflamasi yang di fuse “bilateral” dengan activitas rendah

 Thorax photo

Adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum mengalami encefalitis (Muttaqin,


2011, hal. 181)

 Darah tepi : leukosit meningkat

 Ctscan untuk melihat kedaan otak

 Pemeriksan virus
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

1. Identitas

Encefalitis menyerang semua umur, namun infeksi simtomatis paling sering


terjadi pada anak-anak berusia 2 tahun hingga 10 tahun dan pada kelompok gariatri
(usia lebih dari 60 tahun) (Rampengan, 2016, hal. S12).

2. Status kesehatan saat ini

 Keluhan utama

Demam, gejala menyertai flu, perubahan tingkat kesadaran, sakit kepala letargi,
mengantuk, kelemahan umum, aktifitas kejang (Kyle & Carman, 2012, hal. 559-560).

 Alasan masuk rumah sakit

Biasanya ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri


tenggorokan, nyeri ektrim dan pucat, kemudian diikuti tanda insefalitis berat
ringannya tergantung dari trisbusi dan luas lesi pada neuron (Ridha, 2014, hal. 336).

 Riwayat penyakit sekarang

Faktor riwayat penyakit yang sangat penting diketahui karena untuk mengetahui
jenis kuman penyebab. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul
seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien
encefalitis biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari infeksi
dan peningkatan TIK. Keluhan gejala awal yang sering adalah sakit kepala dan
demam. Sakit kepala disebabkan encefalitis yang berat dan sebagi akibat iritasi
selaput otak. Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan
penyakit (Muttaqin, 2011, hal. 178).

3. Riwayat penyakit terdahulu

 Riwayat penyakit sebelumnya

Pada kasus encephalitis, pasien biasanya akan mempunyai gejala di sebabkan


virus sebelum penyakit yang sekarang. Virus memasuki sistem syaraf pusat via aliran
darah dan melalui reproduksi. Terjadi radang diarea, menyebabkab kerusakan pada
neuron (Digiulio, 2014, hal. 230)

 Riwayat penyakit keluarga

Pada pasien encefalitis tidak ada riwayat penyakit keluarga, namun pengkajian
pada anak mungkin didapatkan riwayat menderita penyakit yang disebabkan oleh
virus influenza, varicella, adenovirus,kokssakie, atau parainfluenza, infeksi bakteri,
parasit satu sel, cacing fungus, riketsia (Muttaqin, 2011, hal. 180)

 Riwayat pengobatan

Semua pasien dengan kecurigaan encefalitis HSV sebaiknnya diterapi dengan


asiklovir IV (10mg/kg setiap 8 jam) selama menunggu hasil pemeriksaan dignostik.
Pasien dengan diagnostik ensefalitis HSV yang dikonfirmasi PCR sebaiknya
mendapat minimum serial terapi selam 14 hari. Perlu dipertimbangkan pemeriksaan
ulang PCR LCS setelah terapi asiklovir diselesaikan , pada pasien dengan PCR LCR
untuk HSV yang tetap positif setelah menyelesaikan pengobatan terapi standart,
sebaiknaya diberikan selama 7 hari terapi tambahan, diikuti dengan pemeriksaan PCR
LCS ulang. Tetapi asiklovir juga memberikn manfaat pada kasus encephalitiss karena
EBV dan VZV. Belum ada terapi terkini untuk ensefalitis enterovirus, perotitis,
epidemika, atau measles. Ribavirin intravena (15-25mg/kg perhari yang diberikan
dalam dosis terbagi 3) mungkin bermanfaat untuk encefalitis arbovirus yang berat
karena encefalitis california(LaCrosse). Encephalitis CMV sebaiknnya diterapi
dengan gansiklovir, foscarnet, atau kombinasi dari kedua obat inin, codovofir dapat
memberikan alternatif untuk pasien yang tidak memberi respons. Belum ada terapi
yang terbukti untuk encefalitis WNV, sekelompok kecil pasien pernah di terapi
dengan interferon, ribavirin, oligonukleotida antisense yang spesifik WNV, dan
preparat imunoglobin intravena asal israeli yang mengandung antibodi titer yang
tinggi (Harrison, 2013, hal. 172-173).

4. Pemeriksaan fisik

 Kesadaran

Perubahan tingkat kesedaran, aphasia, hemiparesis, ataksia, nystagmus, paralisis


kuler, kelemahan pada wajah (widagdo, suharyanto, & aryani, 2013, hal. 137).

 Tanda tanda vital

Pemeriksaan dimulai dengan pemeriksaan tanda-tanda vital. Pada klien encefalitis


biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 39-40 derajad celsius.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.
Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi sistem pernafasan sebelum
mengalami encefalitis. TD biasanya normal atau meningkat berhubungan dengan
tanda tanda peningkan TIK (Muttaqin, 2011, hal. 181).

5. Body sistem

 Sistem pernapasan
Biasanya terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peningkatan frekuensi penapasan yang sering didapatkan pada klien
encefalitis yang disertai adanya gangguan sistem pernafasan. Palpasi biasanya taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan encefalitis berhubungan akumulasi sekret dari penurunan
kesadaran (Muttaqin, 2011, hal. 161)

 Sistem kardiovaskuler

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok) hipovolemik yang


sering terjadi pada klien encefalitis. (Muttaqin, 2011, hal. 181)

 Sistem persyarafan

Pemeriksaan syaraf karnial

Syaraf I fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien encefalitis.

Syaraf II tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema


mungkin didapatkan pada encefalitis superatif disertai abses serebri dan efusi
subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK

Syaraf III,IV,dan VI Pemeriksaan fungsi reaksi pupil pada klien encefalitis yang
tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanda kelainan. Pada tahap lanjut
encefalitis yang menggangu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi
pupil akan di dapatkan, dengan alasan yang tidak diketahui, klien encefalitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif berlebihan pada cahaya.

Syaraf V pada klien encefalitis di dapatkan paralisis pada otot sehingga menggangu
proses mengunyah

Syaraf VII persepsi pengcapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral
Syaraf VIII tidak di temukannya tuli konduktif dan tuli persepsi

Syaraf IX dan X kemampuan menelan kurang baik sehingga menggangu pemenuhan


nutrisi via oral

Syaraf XI tidak ada atrofi otot sternokloidormastoideus dan trapezius. Adanya usaha
dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.

Syaraf ke XII lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecap normal (Muttaqin, 2011, hal. 182).

 Sistem perkemihan

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya di dapatkan kekurangan nya


volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfungsi dan
penurunan curah jantung ke ginjal (Muttaqin, 2011, hal. 183).

 Sistem pencernaan

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.


Pemenuhan nutrisi pada klien encefalitis menurun karena anoreksia dan adanya
kejang (Muttaqin, 2011, hal. 183)

 Sistem integumen

Perlu dilakukan pencegahan terjadinya dekubitus untuk pasien yang dirawat


dalam jangka panjang maupun pada pasien sembuh dengan defisit
neurologis (Rampengan, 2016, hal. S19)

 Sistem muskuloskletal

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas


klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak
dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2011, hal. 183)
 Sistem endokrin

Tidak ada gangguan pada sistem endokrin, indra pengencap normal (Muttaqin, 2011,
hal. 182)

 Sistem reproduksi

Ensefalitis berat yang luas sering terjadi pada neonatus yang lahir pervaginam
dari wanita dengan infeksi genital VHS primer aktif (Kumar, Abbas, & Aster, 2015,
hal. 814)

 Sistem pengindraan

Fungsi penciuman biasanya tidak ada kelainan pada klien encefalitis. lidah
simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap
normal (Muttaqin, 2011, hal. 182)

 Sistem imun

Encefalitis dapat terjadi akibat komplikasi penyakit pada masa kanak-kanak


seperti campak, gondong atau cacar air. Maka pentingnya memperbarui status
imunisasi anak seperti vaksin rabies pasca-pajanan anak yang digigit oleh binatang
yang diduga gila (Kyle & Carman, 2012, hal. 560)

1. Penatalaksanaan

 Isolasi bertujuan mengurangi stimulus/rangsangan dari luar dan sebagai


tindakan pencegahan.

 Terapi antibiotik sesuai hasil kultur


 Bila ensephalitis di sebabkanoleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara
signifikan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV enchepalitis.
Acyclovir diberikan tergantung keadaan pasien.

 Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan, jenis dan jumlah cairan yang
diberikan tergantung keadaan pasien.

 Mengontrol kejang obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas


kejang. Obat yang diberikan ialah valium dan atau luminal. Valium dapat
diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/ kgBB/kali. Bila 15 menit belum
teratasi/kejang lagibila diulang dengan dosis yang sama. Jika sudah diberikan
2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan dosis
5mg/kgBB/24jam.

 Mempertahankan ventilasi, bebaskan jalan napas, berikan o2 sesuai kebutuhan


(2-3 l/menit).

 Penatalaksanaan shoock septik

 Untuk mengatasi hiperpireksia, dapat diberikan kompres pada permukaan


tubuh atau dapat juga diberikan antipiretikum seperti asetasol atau
parasetamol apbila keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral
(Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 191).

2. Diagnosa keperawatan

3. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan edema serebral/


penyumbatan aliran darah.

Definisi : Berisiko mengalami penurunan sirkuladi darah ke otak

Factor resiko
 Keabnormalan masa protrombin dan atau masa tromboplastin parsial

 Penurunan kinerja ventrikel kiri

 Aterosklerosis aorta

 Diseksi arteri

 Fibrilasi atrium

 Tumor otak

 Stenosis karotis

 Miksoma atrium

 Aneurisma serebri

 Koagulopati (mis anemia sel sabit )

 Dilatasi kardiomiopati

 Cedera kepala

 Hipertensi

 Neoplasma otak

Kondisi Klinis Terkait

 Stroke

 Cedera kepala

 Aterosklerotik aortic

 Diseksi arteri
 Hipertensi

 Fibrilasi atrium

 Miksoma atrium

 Neoplasma otak

 Stenosis mitral

 Infeksi otak (mis meningitis, esefalitis, abses serebri)

(PPNI, 2017 , pp. 51 – 52)

1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler

Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri

Penyebab

 Kerusakan integritas struktur tulang

 Perubahan metabolisme

 Ketidakbugaran fisik

 Penurunan kendali otot

 Kekakuan sendi

 Nyeri Kecemasan

 Gangguan kognitif

 Efek agen farmakologis

 Malnutrisi
Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif

Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas

Objektif

 Kekuatan otot menurun

 Rentang gerak ( ROM ) menurun

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

 Nyeri saat bergerak

 Enggan melakukan pergerakan

 Merasa cemas sat bergerak

Objektif

 Sendi kaku

 Gerakan tidak terkoordinasi

 Gerakan terbatas

 Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait

 Stroke

 Cedera medulla Spinalis


 Trauma

 Fraktur

 Osteoarthritis

 Ostemalasia

 Keganasan (PPNI, 2017 , pp. 124 – 125 )

1. Resiko trauma fisik berhubungan dengan kejang

Definisi : respon maladaptif yang berkelanjutan terhadap kejadian trauma

Penyebab

 Bencana alam

 Peperangan

 Riwayat perilaku kekerasan

 Kecelakan

 Saksi pembunuhan

Gejala dan Tanda Mayor

 Mengungkapkan secara berlebihan atau menghindari pembicaran kejadian


trauma

 Merasa cemas

 Teringat kembali kejadian traumatis

 Teringat kembali kejadian traumatis

Objektif
 Memori masa lalu tergangu

 Mimpi buruk berulang

 Ketakutan berulang

 Menghindari aktivitas, tempat atau orang yang membangkitkan kejadian


trauma

Gejala dan Tanda Minor

Subjektif

 Tidak percaya pada orang lain

 Menyalahkan diri sendiri

Objektif

 Minat berinteraksi dengan orang lain menurun

 Konfusi atau disosiasi

 Gangguan interpretasi realitas

 Sulit berkonsentrasi

 Waspada berlebihan

 Pola hidup terganggu

 Tidur terganggu

Kondisi Klinis Terkait

 Korban kekerasan

 Post traumatic stess disorder (PTSD)


 Korban bencana alam

 Korban kekerasan seksual

 Korban peperangan

 Cedera multipel ( kecelakaan lalu lintas) (PPNI T. , 2017, hal. 226-227)

3. Interverensi

Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan edema serebral/


penyumbatan aliran darah.

 Tujuan dan kriteria hasil(Wilkinson, 2016, hal. 444)

1. Menunjukkan status sirkulasi yang dibuktikan oleh indikator (sebutkan 1-5


gangguan ekstrem, berat, ringan atau tidak ada penyimpangan dari rentang
normal). Tekanan darah sistolik dan distolik.

2. Menunjukkan perfusi jaringan cerebral yang dibuktikan oleh indikator


(sebutkan 1-5 gangguan ekstrem, berat, ringan atau tidak ada penyimpangan
dari rentang normal). :

Tekanan intrakranial

Tekanan darah distolik dan diastolik

1. Menunjukkan perfusi jaringan cerebral yang dibuktikan oleh indikator


(sebutkan 1-5 gangguan ekstrem, berat, ringan atau tidak ada) :

Angitasi

Bising karotis
Gangguan reflek neurologis

Muntah

 Intervrensi NIC(Wilkinson, 2016, hal. 444)

Aktivitas keperawatan

1. Pantau tanda-tanda vital suhu tubuh, tekanan darah, nadi dan pernapasan

2. Pantau TIK dan respons neurologis pada pasien terhadap aktivitas


keperawatan

3. Pantau tekanan perfusi serebral

4. Perhatikan perubahan pasien sebagai respons terhadap stimulus

Aktivitas kolaboratif (Wilkinson, 2016, hal. 444-445)

1. Perhatiakan parameter hemodinamika (misalnya, tekanan arteri sistemik)


dalam rentang yang dianjurkan

2. Berikan obat-obatan untuk meningkatkan volume intrvaskuler, sesuai progam

3. Induksi hipertensi untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, sesuai


progam

4. Tinggikan bagian kepala tempat tidur 0 sampai 45 derajad, bergantung pada


kondisi pasien dan progam dokter

Penyuluhan untuk pasien/ keluarga (Wilkinson, 2016, hal. 447)

1. Ajarkan kepada pasien atau keluarga tentang menghindari suhu ekstrim

2. Pentingnya mematuhi progam diet dan medikasi

3. Melaporkan tanda dan gejala yang mungkin perlu dilaporkan


4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler

 Tujuan dan kriteria hasil (Wilkinson, 2016, hal. 268)

1. Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator (sebutkan 1-5


gangguan ekstrem, berat, ringan atau tidak mengalami gangguan)

Keseimbangan

Koordinasi

Performa posisi tubuh

Pergerakan sendi dan otot

Berjalan

Bergerak dengan mudah

 Interverensi NIC(Wilkinson, 2016, hal. 269)

Aktivitas keperawatan

1. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan keehatan di rumah dan kebutuhan


terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama

2. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas


(misalnya, tongkat, walker, kruk, atau kursi roda)

3. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses perpindah ( mis, dari tempat tidur ke
kursi)

Aktifitas kolaboratif (Wilkinson, 2016, hal. 271)


1. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik/ okupasi jika diperlukan (mis, untuk
memastikan ukuran dan tipe kursi roda yang sesuai untuk pasien)

Penyuluhan untuk pasien/ kelurga (Wilkinson, 2016, hal. 271)

1. Ajarkan pasien dalam latihan untuk meningkatkan kekuatan tubuh bagian


atas, jika diperlukan

2. Ajarkan bagaimana menggunakan kursi roda, jika diperlukan

3. Resiko trauma fisik berhubungan dengan kejang

 Tujuan dan kriteria hasil

1. Menunjukkan perilaku keamanan pribadi, yang dibuktikan oleh (sebutkan 1-5


tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu) :

Menyimpan makan untuk meminimalkan kerusakan makanan

Menggunakan sabuk keselamatan dengan benar

Menggunakan instrumen dan mesin secra tepat

Menghindari perilaku beresiko tinggi

Menghindari merokok di tempat tidur

 Interverensi NIC

Aktivitas keperawatan

1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien berdasarkan tingkat fungsi fisik,


kognitif dan riwayat perilaku sebelumnya

2. Identifikasi bahaya keamanan di lingkungan (yaitu fisik, biologi dan kimia)

Penyuluhan untuk pasien/keluarga


1. Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan keamanan spesifik
terhadap area yang beresiko

2. Berikan materi pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan strategi


pencegahan trauma

3. Berikan informasi tentang bahaya lingkungan dan ciri-cirinya

Aktivitas kolaboratif

1. Rujuk pada kelas pendidikan di komunitas (mis, RJP, pertolongan pertama,


atau kelas renang)

2. Bantu pasien saat berpindah ke lingkungan yang lebih aman (mis, perujukan
terhadap bantuan tempat tinggal)

 
DAFTAR PUSTAKA

Digiulio, M. (2014). Keperawatan medical bedah. jogjakarta: Rapha Plubishing.

Harrison. (2013). Harrison Neurologi. Tanggerang Selatan: KARISMA Publising


Group.

Kumar, V., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Buku ajar aptologi Robbins. Singapore:
Elsevier.

kumar, v., Abbas, A., & Aster, J. (2015). Buku ajar patoligi Robbins. Singapore:
Elseveir.

Kyle, T., & Carman, S. (2012). Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.

Lestari, R., & Putra, A. E. (2017). Jurnal makah kedokteran Andalas. Sumatra:


Fakultas Kedokteran Andalas.

Muttaqin, A. (2011). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan keperawatan praktis. Jogjakarta:


Mediaction.

PPNI, T. P. (2017 ). standar Diagnosis Keperawatan Indonesia . Jakarta Selatan :


PPNI .

Rampengan, N. (2016). Jurnal Biomedik (JBM). Manado: Fakultas Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai