Anda di halaman 1dari 50

DEPARTEMEN NEUROLOGI

TUGAS NEUROINFEKSI
FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2023
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ENSEFALITIS

DISUSUN OLEH:
Primitha Yulianti
C155222004

SUPERVISOR
dr. Mimi Lotisna, Sp.S (K)

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
BAB 6 ENSEFALITIS
CAROL GLASER DAN ARUN VENKATESAN

Ensefalitis merupakan salah satu sindrom yang paling menantang bagi dokter untuk
ditangani. Pasien sering mengalami kondisi kritis, dan terdapat banyak etiologi potensial.
Meskipun pemeriksaannya cukup lengkap, etiologi hanya diidentifikasi pada 40% sampai
70% kasus. Bahkan ketika penyebabnya teridentifikasi, mungkin tidak ada pengobatan yang
efektif (1-3). Tingkat kematian bervariasi secara substansial di seluruh studi dan berkisar dari
3% sampai 15% (4,5). Frekuensi gejala sisa, termasuk gangguan kognitif dan motorik serta
kejang, juga bervariasi; beberapa seri kasus melaporkan kecacatan parah pada 20% hingga
40% pasien (4,6,7). Tidak mengherankan, mengingat tingkat keparahan penyakit serta
kerumitan diagnosis dan manajemen klinis, biaya perawatan kesehatan yang besar dikaitkan
dengan ensefalitis.
Istilah ensefalitis umumnya mengacu pada radang parenkim otak. Namun, tanpa
identifikasi agen neurotropik atau konfirmasi peradangan pada jaringan otak, diagnosis
ensefalitis bersifat dugaan dan hanya berdasarkan gambaran klinis. Secara klinis, pasien
dengan ensefalitis sering mengalami demam, sakit kepala, dan perubahan status mental.
Kejang atau defisit neurologis fokal juga dapat terjadi. Pada prinsipnya, perubahan status
mental membedakan ensefalitis dari meningitis tanpa komplikasi karena gejala meningitis
biasanya meliputi demam, sakit kepala, dan kaku kuduk tetapi tidak memiliki disfungsi
neurologis global atau fokal. Namun dalam praktiknya, perbedaan antara kedua entitas ini
tidak selalu terlihat jelas, dan dalam deskripsi infeksi sistem saraf pusat (SSP) dengan
perubahan status mental akibat agen seperti enterovirus, rabies, virus West Nile atau virus
herpes, istilah ensefalitis atau meningoensefalitis sering diterapkan secara luas.
Berbeda dengan ensefalitis, ensefalopati mengacu pada penyakit otak yang menyebar
yang menyebabkan perubahan fungsi; ciri klinis ensefalopati adalah keadaan mental yang
berubah. Banyak kondisi termasuk disfungsi mitokondria atau metabolisme, toksin, trauma,
gizi buruk, atau kekurangan oksigen atau aliran darah ke otak dapat menyebabkan
ensefalopati.
Bab ini berfokus terutama pada pejamu (host) imunokompeten dan patogen di
Amerika Utara yang menyebabkan ensefalitis atau sindrom yang menyerupai ensefalitis.
Selain itu, banyak pasien dengan ensefalitis juga mengalami peradangan meningeal, sehingga
menunjukkan tumpang tindih antara ensefalitis dan meningoensefalitis. Untuk tujuan bab ini,
istilah ensefalitis dan meningoensefalitis digunakan secara bergantian. Daerah lain dari SSP
mungkin terpengaruh secara bervariasi, termasuk medulla spinalis (myelitis), akar saraf
(radiculitis), dan saraf (neuritis).

UMUM: AGEN ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI


Meskipun istilah ensefalitis sering digunakan bersamaan dengan etiologi virus, banyak
infeksi lain dan entitas tidak menular dapat menyebabkan ensefalitis atau gejala menyerupai
ensefalitis. Insiden ensefalitis bervariasi di seluruh dunia dan bergantung pada populasi yang
diteliti, wilayah geografis, ketersediaan vaksin untuk beberapa penyebab ensefalitis, dan
perbedaan dalam penetapan kasus dan kegiatan surveilans. Di daerah tropis di dunia,
perkiraan kejadian ensefalitis minimum adalah 6,3 per 100.000 (8). Di dunia Barat, kejadian
berkisar antara 0,7 dan 13,8 per 100.000 (8-10). Sebagian besar laporan menemukan kejadian
ensefalitis lebih tinggi pada kelompok usia anak dibandingkan pada orang dewasa. Sebagai
contoh, sebuah studi di Inggris pada pasien rawat inap dengan ensefalitis selama periode 10
tahun menunjukkan kejadian keseluruhan 1,5 per 100.000 penduduk, dengan taksiran 2,8 per
100.000 pada anak-anak, dan 8,7 per 100.000 pada bayi (11). Taksiran yang agak lebih tinggi
pada anak-anak dilaporkan di Finlandia (8,8 per 100.000 dari tahun 1973 sampai 1987) (12)
dan di Slovenia (6,7 per 100.000 dari tahun 1979 sampai 1991) (13).
Epidemiologi ensefalitis merupakan proses yang dinamis. Di negara-negara di mana
vaksin banyak digunakan untuk infeksi campak (measles), parotitis (mumps), rubella, dan
varicella, kejadian ensefalitis akibat virus ini menurun (14,15). Namun, terdapat semakin
banyak patogen yang baru muncul dan juga muncul kembali seperti virus Nipah, enterovirus
71, Balamuthia mandrillaris, European tick-borne encephalitis virus (TBEV-Eu), virus
Hendra, Baylisascaris procyonis, dan virus Chandipura yang dapat menyebabkan ensefalitis.
Selain itu, beberapa agen saat ini diidentifikasi di daerah yang sebelumnya tidak endemik di
dunia. Paling terkenal adalah virus West Nile, yang telah memperluas wilayah geografisnya
dari Afrika ke Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Timur Tengah, Asia Barat, dan Australia
(16). Virus Chikungunya adalah salah satu contoh mencolok lain dari virus yang telah
menyebar dari asalnya di Afrika ke hampir 40 negara termasuk sejumlah negara yang
berdekatan dengan Samudra Hindia: Pulau La Reunion, Madagascar, Maldives, Seychelles,
dan India (17).
Meningkatnya penemuan penyebab autoimun tertentu, seperti yang nanti akan dibahas
dalam bab ini, juga memiliki dampak yang luar biasa pada pemahaman kita tentang
epidemiologi ensefalitis.

PENYEBAB INFEKSIUS: GAMBARAN KLINIS DAN EPIDEMIOLOGI KHUSUS

Virus

Terdapat banyak kasus ensefalitis virus yang merupakan komplikasi tidak biasa dari infeksi
umum, seperti infeksi herpesvirus atau enterovirus, atau kondisi yang dapat diprediksi dari
patogen langka seperti virus rabies atau virus lymphocytic choriomeningitis (LCM).
Manifestasi klinis dari ensefalitis bervariasi dan mencerminkan tingkat keterlibatan otak,
faktor pejamu (host), dan patogenisitas bawaan dari agen penyebab. Sebagian besar pasien
dengan ensefalitis mengalami sakit kepala dan demam, diikuti dengan perubahan status
mental. Kejang, perubahan perilaku, gangguan kognitif, afasia, hemiparesis, dan tanda-tanda
neurologis fokal lainnya dapat terlihat. Arbovirus sering dikaitkan dengan disfungsi SSP
global atau menyeluruh, sedangkan agen seperti herpes simplex encephalitis biasanya
menghasilkan manifestasi fokal. Meskipun ada tumpang tindih yang signifikan dalam
presentasi klinis dari berbagai agen dan diagnosis jarang dapat ditetapkan atas dasar klinis
saja, gambaran yang paling khas dan/atau karakteristik dari beberapa penyebab disorot pada
bagian berikut.

Herpes Simplex Virus (HSV)


Herpes virus adalah virus DNA berkapsul yang merupakan salah satu penyebab paling umum
dari infeksi pada manusia. Setidaknya delapan jenis herpesvirus diketahui menginfeksi
manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) merupakan salah satu penyebab tersering
ensefalitis sporadis di dunia (lihat Bab 9 dan 10). Epidemiologi dan gambaran klinis infeksi
herpes SSP neonatal berbeda dari anak-anak dan orang dewasa dan tidak tercakup dalam bab
ini. Insiden herpes simplex encephalitis (HSE) yang disebabkan oleh HSV-1 diperkirakan 4
per 1.000.000 (11,18). HSE bertanggung jawab atas 10% hingga 20% kasus ensefalitis
dewasa (3,19). HSE lebih jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa;
dalam kelompok besar lebih dari 300 pasien ensefalitis anak selama periode 12 tahun, hanya
5% yang disebabkan oleh HSE. Pada kelompok usia pediatrik, HSE seringkali merupakan
hasil dari infeksi primer, sedangkan sebagian besar infeksi HSE pada orang dewasa
merupakan hasil dari reaktivasi HSV. Yang penting untuk diketahui, keberadaan herpes
labialis tidak memiliki spesifisitas diagnostik untuk kausalitas ensefalitis tetapi berfungsi
sebagai penanda infeksi HSV.
Presentasi klinis yang khas untuk HSE meliputi perubahan status mental (97%),
demam (90%), dan sakit kepala (81%) (20). Temuan neurologis umum lainnya termasuk
perubahan kepribadian (85%), afasia (40%), ataksia (40%), hemiparesis (38%), defisit saraf
kranial (32%), dan kejang (31%) (4,21). Anak-anak lebih cenderung memiliki keterlibatan
ekstratemporal sebagaimana dimanifestasikan oleh gejala klinis serta neuroimaging atau
pencitraan saraf (22).
Tidak seperti HSV-1, HSV-2 lebih cenderung menyebabkan ensefalitis diseminata dan
umumnya tidak terlokalisasi ke daerah frontal temporal dan inferior otak (23). Sebagian besar
infeksi HSV-2 SSP neurologis hadir dengan meningitis limfositik. Meningitis, ensefalitis, dan
myelitis yang berulang juga dapat terjadi.
HSV-1 dan HSV-2 juga dapat menyebabkan ensefalitis batang otak. Tinjauan literatur
komprehensif baru-baru ini tentang ensefalitis batang otak yang disebabkan oleh HSV
mengidentifikasi 24 kasus: 79% disebabkan oleh HSV-1 dan 29% disebabkan oleh HSV-2
(24). Tanda yang paling menonjol adalah manifestasi neuro-oftalmologis; ini terlihat pada
lebih dari 80% pasien dan termasuk di antaranya yaitu nistagmus, gangguan gerakan mata,
anisocoria, ptosis, oscillopsia, atau gerakan spasmodik (24). Defisit kranial lainnya,
perubahan mental, ataksia, dan temuan traktus kortikospinal (misalnya hiperrefleksia) juga
ditemukan. Meskipun tidak umum, quadriplegia juga ditemukan pada beberapa (19%) pasien
(24).
Varicella-Zoster Virus (VZV)
Kedua infeksi primer dengan varicella-zoster virus (VZV) dan reaktivasi endogen (herpes
zoster) dapat menyebabkan ensefalitis (25) (lihat Bab 10). Manifestasi yang paling khas dari
ensefalitis yang disebabkan oleh VZV pada anak-anak adalah ataksia serebelum akut
(misalnya nistagmus, disartria, dan ataksia), yang biasanya terjadi 1 minggu setelah onset
ruam (26). Ensefalitis terkait VZV, yang pernah menjadi penyebab utama ensefalitis pada
anak-anak, kini jauh lebih jarang terjadi karena meluasnya penggunaan vaksin VZV (27).
Namun, ensefalitis terkait VZV relatif umum pada orang dewasa, dan kejadiannya
menyaingi HSE (28-31). Gejala klinis pada orang dewasa berbeda dari pada anak-anak dan
termasuk disfungsi otak yang meluas, kejang, kelumpuhan saraf kranial, dan tanda-tanda
neurologis fokal lainnya (4,32). Adanya ruam varicella yang difus atau ruam vesikuler pada
distribusi dermatom dapat menjadi petunjuk penting untuk mendiagnosis ensefalitis VZV.
Akan tetapi, secara khusus, sebanyak 44% pasien kekurangan temuan kutaneus atau pada
kulit, suatu kondisi yang disebut herpes sine zoster atau preeruptive varicella (32-36).
Meskipun patofisiologi ensefalitis terkait VZV masih belum jelas, beberapa kasus tampaknya
disebabkan oleh vaskulopati pembuluh darah sedang dan besar (25).

Epstein-Barr Virus (EBV)


Epstein-Barr virus (EBV), herpesvirus lain, paling sering dikaitkan dengan "mononukleosis"
tetapi juga dapat menyebabkan beberapa sindrom neurologis yang berbeda termasuk
meningitis aseptik, sindrom Guillain-Barré, Bell palsy, transverse myelitis, serebelitis, dan
ensefalitis (37,38) (lihat Bab 12). Sebagian besar komplikasi neurologis akibat EBV terjadi
selama infeksi primer, biasanya pada masa kanak-kanak. Yang penting untuk diketahui,
banyak pasien dengan ensefalitis terkait EBV tidak memiliki gejala mononukleosis klasik
(39,40). Dalam serangkaian kasus dari 216 pasien ensefalitis pediatrik di Kanada, 21 pasien
(9,7%) diidentifikasi dengan ensefalitis terkait EBV (40). Dari jumlah tersebut, hanya satu
pasien yang memiliki gejala mononukleosis klasik; sebagian besar lainnya memiliki gejala
demam nonspesifik (81%) dan sakit kepala (66%) (40). Kejang terjadi pada hampir separuh
pasien (48%) (40). Beberapa individu dengan ensefalitis terkait EBV mengalami mikropsia,
makropsia, dan/atau distorsi ukuran. Pola gambar tubuh dan objek yang tidak biasa ini
disebut sebagai "Alice in Wonderland syndrome" (41). Terdapat laporan sporadis dalam
literatur bahwa reaktivasi infeksi EBV kronis pada orang dewasa dapat menyebabkan
manifestasi neurologis, termasuk ensefalitis (42).

Human Herpes Virus 6 and 7


Human herpes virus-6 (HHV-6), penyebab utama roseola infantum pada anak kecil, telah
diidentifikasi sebagai agen penyebab 10% hingga 20% dari kejang demam dan juga kadang-
kadang dikaitkan dengan ensefalitis (43,44) (lihat Bab 13). Beberapa studi ensefalitis pada
anak-anak telah mengidentifikasi HHV-6 sebagai agen penyebab, dengan kejadian ensefalitis
HHV-6 berkisar antara 1% hingga 11% kasus (45-49). Dalam sebuah penelitian terhadap
sembilan anak dengan infeksi SSP terkait HHV-6, ditemukan gambaran klinis yang khas
termasuk demam, gastroenteritis, ruam, kejang, dan ataksia (50). Serangkaian kasus lain
melaporkan tiga pasien anak dengan rhombencephalitis terkait HHV-6; manifestasi klinis
termasuk ensefalopati, kejang, ataksia, dan mioklonus (51). HHV-7, sebuah herpesvirus yang
baru-baru ini ditemukan, kadang-kadang dikaitkan dengan roseola dan biasanya didapatkan
dalam beberapa tahun pertama kehidupan. Studi terbaru dari Inggris menunjukkan bahwa
HHV-7 mungkin merupakan penyebab penting kejang demam dan ensefalitis pada anak kecil
(52).

Enterovirus dan Parechovirus


Enterovirus (EV) adalah picornavirus RNA rantai tunggal (single-stranded) yang kecil dan
tidak berkapsul. Mirip dengan infeksi herpesvirus, infeksi EV sangat umum, dan komplikasi
neurologis, termasuk ensefalitis, merupakan komplikasi langka dari infeksi EV. Karena
infeksi EV sering terjadi pada anak-anak, mereka merupakan penyebab utama dari ensefalitis
pada anak-anak dan bertanggung jawab atas 10% hingga 15% kasus ensefalitis yang
etiologinya teridentifikasi (53). Secara umum, EV menyebabkan penyakit klinis yang lebih
ringan daripada banyak penyebab ensefalitis lainnya. Dalam California Encephalitis Project,
pasien ensefalitis terkait EV memiliki manifestasi yang lebih ringan, termasuk frekuensi
koma yang lebih rendah dan durasi rawat inap yang lebih pendek dibandingkan dengan agen
lain (54). Infeksi SSP dengan EV-71 merupakan pengecualian penting untuk penurunan
keparahan EV (55,56). Selain menyebabkan kelumpuhan atau paralisis flaksid akut (alias
polio-like syndrome), EV-71 juga dikaitkan dengan bentuk khusus ensefalitis yang awalnya
ditemukan di Taiwan dan Malaysia (55,57). Sebagian besar kasus terjadi pada anak kecil
(kurang dari 5 tahun), dengan karakteristik ruam pada tangan, kaki, dan mulut bersama
dengan ataksia, nistagmus, mioklonus, dan kelumpuhan okulomotor (55). Tanda dan gejala
neurologis yang dominan termasuk mioklonus (68%), muntah (53%), dan ataksia (35%) (57).
Banyak kematian terkait dengan EV-71 disebabkan oleh edema paru dan perdarahan, yang
dianggap sebagai akibat dari ketidakstabilan otonom akibat lesi di medula dan medulla
spinalis (58,59). Wabah sporadis yang melibatkan sejumlah besar kasus ensefalitis terkait EV-
71 telah diamati di antara anak-anak kecil di Eropa dan Asia selama beberapa dekade terakhir
(60-62).
Klasifikasi ulang dari EV sebelumnya, echovirus 21 dan echovirus 22, menghasilkan
genus human parechovirus (HPeV). Echovirus 21 dan 22 saat ini masing-masing
diklasifikasikan sebagai HPeV-1 dan HPeV-2. Setidaknya 12 serotipe HPeV telah
dideskripsikan hingga saat ini; hampir semua telah dikaitkan dengan ensefalitis, biasanya
pada anak di bawah usia 2 tahun (63,64). Kluster dari infeksi SSP terkait HPeV-3 telah
dilaporkan (65). Anak kecil dan bayi dengan ensefalitis terkait HPeV mengalami demam,
kejang, mudah marah, masalah makan, dan ruam (66). Frekuensi relatif dari ensefalitis terkait
HPeV tidak diketahui, terutama karena tes atau pemeriksaan HPeV baru tersedia belakangan
ini.
Arbovirus
Arbovirus, virus yang ditularkan oleh vektor arthropoda, merupakan penyebab ensefalitis
yang telah diketahui dengan baik. Sebagian besar penyakit neurologis yang ditemukan pada
manusia disebabkan oleh tiga keluarga arbovirus: Togaviridae, Flaviviridae, dan
Bunyaviridae (lihat Bab 15).
West Nile virus (WNV), sebuah flavivirus, pertama kali terdeteksi di Belahan Barat
pada tahun 1999 di New York City dan dengan cepat menyebar ke seluruh Amerika Utara
dari Atlantik ke pantai Pasifik dan ke Meksiko dan Kanada. Ini merupakan penyebab paling
umum dari ensefalitis terkait arbovirus di Amerika Serikat (67). Kebanyakan orang yang
terinfeksi WNV akan mengalami infeksi subklinis (70% sampai 80%) atau penyakit demam
(20% sampai 30%). Kurang dari 1% orang yang terinfeksi mengembangkan penyakit
neuroinvasif West Nile atau West Nile neuroinvasive disease (WNND), yang meliputi
meningitis, ensefalitis, dan/atau kelumpuhan atau paralisis flaksid akut.
WNND lebih sering terjadi pada individu yang lebih tua, dengan kejadian 1,35 per
100.000 pada orang berusia 70 tahun atau lebih dibandingkan dengan 0,05 per 100.000 pada
orang yang berusia di bawah 10 tahun (67). Faktor risiko lain untuk WNND meliputi jenis
kelamin laki-laki, hipertensi, diabetes, penyakit ginjal, dan imunosupresi (68,69). Presentasi
karakteristik WNND meliputi perubahan status mental atau kelesuan dengan atau tanpa
gangguan gerakan (tremor, Parkinsonism, atau mioklonus). Kelumpuhan atau paralisis flaksid
akut juga merupakan gambaran infeksi WNV dan dapat terlihat bersamaan dengan ensefalitis
atau dapat terjadi sendiri-sendiri (70,71).
Meskipun jumlah kasus WNND telah jauh melampaui jumlah kasus akibat arbovirus
lain dalam beberapa tahun terakhir, arbovirus lain di Amerika Serikat menyebabkan wabah
musiman dan kasus penyakit neurologis sporadis. Ini termasuk La Crosse virus (LACV),
eastern equine encephalitis virus (EEEV), Powassan virus (POWV), dan St. Louis
encephalitis virus (SLEV). Pada tahun 2012, lebih dari 2.500 kasus WNND diakui di
Amerika Serikat dibandingkan dengan 78 kasus LAC (71 neuroinvasif), 15 kasus EEE
(semua neuroinvasif), 7 kasus POW (semua neuroinvasif), dan 2 kasus SLE (1 neuroinvasif)
(72).
LACV, terutama ditemukan di wilayah Midwestern, pertengahan Atlantik, dan
Tenggara Amerika Serikat bagian atas, merupakan penyebab paling umum kedua dari infeksi
SSP terkait arbovirus di Amerika Serikat. Tidak seperti WNV, sebagian besar kasus LACV
neuroinvasif terjadi pada populasi anak-anak daripada pada orang dewasa; pada tahun 2012,
86% kasus terjadi di bawah usia 20 tahun (73).
Di luar Amerika Serikat, arbovirus lain mendominasi. Japanese encephalitis virus
(JEV) merupakan penyebab paling umum dari ensefalitis yang ditularkan oleh nyamuk di
seluruh dunia. Diperkirakan 50.000 kasus penyakit klinis JEV terjadi setiap tahun, terutama
pada anak-anak di bawah usia 10 tahun di Asia, Asia Selatan (Pakistan timur), dan Asia
Tenggara (74-76).
Mirip dengan banyak arbovirus lainnya, sebagian besar infeksi JEV tidak
menunjukkan gejala, dengan kurang dari 1% infeksi yang mengarah ke penyakit klinis.
Ketika gejala muncul, ensefalitis merupakan presentasi yang paling umum. Setelah gejala
demam yang khas termasuk sakit kepala dan muntah, terjadi perubahan status mental, kejang,
defisit neurologis fokal, dan gangguan gerakan. Mirip dengan pasien dengan WNV, mereka
yang terkena JEV juga dapat mengembangkan kelumpuhan atau paralisis flaksid akut (77).
Di Eropa, tick-borne encephalitis virus (TBEV), flavivirus lain, merupakan penyebab
paling umum dari ensefalitis terkait arbovirus (78). Ia juga ditemukan di Cina dan Jepang.
Serupa dengan WNV, penyakit neuroinvasif lebih sering terjadi pada populasi yang lebih tua
(79). Meningkatnya jumlah kasus telah diakui dalam beberapa tahun terakhir sebagai hasil
perbaikan dalam diagnostik dan pelaporan kasus serta peningkatan kegiatan rekreasi di
daerah yang penuh kutu (80). Di Eropa dan Rusia, terdapat rata-rata 8.755 kasus yang
dilaporkan per tahun dari tahun 1990 hingga 2007 dibandingkan dengan rata-rata 2.755 kasus
per tahun dari tahun 1976 hingga 1989 (81). TBEV dicirikan oleh tiga subtipe yang berbeda:
European (TBEV-Eu), Siberian (TBEV-Sib), dan Far Eastern (TBEV-Fe). Subtipe TBEV-Eu
beredar terutama di Eropa Barat, Tengah, Utara, dan Timur; TBEV-Sib beredar terutama di
bagian Asia Rusia; dan TBEV-Fe beredar terutama di Cina, Jepang, dan Rusia Timur.
Spektrum klinis penyakit berkisar dari meningitis ringan hingga meningoensefalitis berat
dengan atau tanpa kelumpuhan (82). Pada individu yang terinfeksi oleh subtipe TBEV-Eu,
penyakitnya sering bifasik, dengan tahap pertama ditandai dengan demam, kelelahan, malaise
umum, sakit kepala, dan nyeri tubuh. Selama fase kedua penyakit, manifestasi klinis berkisar
dari meningitis ringan hingga ensefalitis berat, dengan atau tanpa myelitis dan kelumpuhan.
Kejang jarang terjadi. Penyakit yang terkait dengan subtipe TBEV-Fe adalah yang paling
parah, dengan kematian kasus mencapai 20% hingga 40% dan tingkat gejala sisa neurologis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan subtipe lainnya (82).
Meskipun JEV diketahui menyebabkan lebih banyak kasus ensefalitis daripada virus
yang dibawa oleh nyamuk lainnya di seluruh dunia, virus dengue merupakan arbovirus paling
umum yang menginfeksi manusia dan menyebabkan sekitar 390 juta infeksi setiap tahun
(83). Infeksi dengue biasanya menyebabkan demam dengue, demam berdarah dengue, dan
sindrom syok dengue. Tidak seperti kebanyakan arbovirus yang disebutkan di atas,
manifestasi neurologis dari dengue secara tradisional dianggap sebagai akibat dari
ensefalopati daripada ensefalitis. Namun, deteksi RNA virus dengue di jaringan otak, isolasi
virus di cairan serebrospinal atau cerebrospinal fluid (CSF), dan adanya antibodi CSF
spesifik dengue yang menunjukkan sintesis intratekal telah dijelaskan dalam penelitian
terbaru dan sangat memperlihatkan potensi neuroinvasif dari dengue (84-86).
Rabies
Virus rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang diketahui dan dianggap
paling mematikan dari semua penyakit menular (lihat Bab 17). Jumlah kasus ensefalitis
terkait rabies di Amerika Serikat telah menurun drastis dari rata-rata 100 atau lebih kasus per
tahun sebelum tahun 1940 menjadi hanya 2 sampai 3 kasus per tahun (87). Meskipun rabies
jarang terjadi di Amerika Serikat, diperkirakan 50.000 kasus rabies terjadi setiap tahunnya di
seluruh dunia; sebagian besar diperoleh melalui kontak dengan anjing gila (88). Di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin, program pengendalian hewan rabies dan profilaksis pasca pajanan
masih terbatas. Sebuah laporan baru-baru ini dari 49 kasus rabies di Amerika Serikat, dari
tahun 1995 hingga 2011, mengidentifikasi 10 kasus diimpor dan 39 kasus didapat di Amerika
Serikat; dari kasus yang didapat di Amerika Serikat, satu dikaitkan dengan strain rakun
rabies, dan sisanya karena paparan kelelawar. Masa inkubasi umumnya antara 20 hingga 60
hari tetapi dapat berkisar dari beberapa hari hingga beberapa tahun (89). Parestesia di lokasi
gigitan merupakan gejala unik dari rabies dan bisa menjadi petunjuk penting untuk diagnosis.
Sekitar 80% kasus rabies pada manusia berkembang menjadi bentuk ensefalitis (“furious”)
yang ditandai dengan perilaku yang tidak biasa, agitasi ekstrim, hidrofobia, delirium, dan
kejang. Kasus-kasus lainnya mengembangkan bentuk paralitik ("dumb") yang ditandai
dengan kelumpuhan asenden diikuti oleh kebingungan dan koma. Pasien umumnya memiliki
dominasi satu bentuk, tetapi banyak juga individu terinfeksi yang memiliki komponen kedua
bentuk tersebut.

Virus Lymphocytic Choriomeningitis (LCM)


Virus lymphocytic choriomeningitis (LCM) adalah Old World arenavirus yang dapat
diperoleh dari tikus rumah, hamster, dan marmot yang terinfeksi. Manusia terinfeksi virus
LCM ketika air liur aerosol, sekresi pernapasan, atau urin dari hewan pengerat atau debu
yang terkontaminasi virus terhirup atau mungkin tertelan. Infeksi lebih sering terjadi pada
bulan-bulan musim dingin ketika hewan pengerat bermigrasi ke dalam ruangan (90). Insiden
LCM tidak diketahui tetapi tampaknya telah menurun secara substansial dalam beberapa
dekade terakhir karena perbaikan perumahan, yang mengakibatkan lebih sedikit kontak
antara tikus rumah dan manusia. Namun, kemungkinan kasus tersebut terus terjadi namun
tidak disadari (91). LCM sering mengakibatkan penyakit bifasik dengan fase awal demam,
anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, mual, dan muntah. Beberapa hari kemudian, gejala SSP
dapat terjadi dengan meningitis atau ensefalitis. Manifestasi ekstra-SSP juga dapat hadir,
termasuk orchitis, parotitis, arthritis, atau alopecia (92,93).

Virus Hendra
Virus Hendra adalah paramyxovirus yang pertama kali dikenali di Hendra, Australia di mana
ia dikaitkan dengan wabah penyakit pernapasan dan neurologis pada kuda dan manusia pada
tahun 1994. Reservoir alami virus ini diperkirakan adalah flying fox (kelelawar dari genus
Pteropus). Virus ini ditularkan dari kelelawar ke kuda dan kemudian menular ke manusia
akibat kontak langsung dengan kuda yang terinfeksi. Lebih dari 60 kematian kuda dan 4
manusia telah dilaporkan (94). Tingkat kematian yang tinggi dari infeksi ini pada kuda dan
manusia, serta spesies reservoir yang besar, menggarisbawahi potensi virus ini, dan virus
serupa lainnya, untuk muncul dan menyebabkan wabah penyakit yang parah. Penyakit
manusia akibat virus Hendra ditandai dengan gejala menyerupai influenza yang sering diikuti
oleh ensefalitis akut. Sebuah sindrom neurologis berulang atau kambuhan juga telah
ditemukan dalam beberapa individu (94).
Virus Nipah
Virus Nipah, paramyxovirus lain yang muncul, pertama kali dikenali pada tahun 1999 dan
terkait dengan wabah ensefalitis di kalangan peternak babi di Malaysia. Virus ini juga
menyebabkan wabah di Singapura, Australia, Bangladesh, dan India (95–97). Infeksi manusia
dapat berkisar dari infeksi tanpa gejala hingga ensefalitis fatal. Ketika penyakit neurologis
terjadi, individu sering mengalami penyakit yang menyerupai influenza yang diikuti dengan
pusing, rasa kantuk yang berlebihan, dan perubahan kesadaran.

Virus Campak
Infeksi virus campak (measles) menyebabkan ensefalitis akut pada sekitar 1 dari 1.000 kasus,
sering mengakibatkan cedera otak permanen (lihat Bab 8). Meskipun penularan campak telah
diberantas di Amerika Serikat pada tahun 2000, penyakit ini masih merupakan infeksi umum
di sebagian besar dunia. Selain ensefalitis akut, campak dikaitkan dengan subacute sclerosing
panencephalitis (SSPE), suatu bentuk ensefalitis yang lamban, progresif, dan seringkali fatal
yang biasanya terjadi 7 hingga 12 tahun setelah infeksi awal dan biasanya menyerang anak-
anak berusia antara 10 dan 14 tahun (98,99). Riwayat vaksinasi campak sebelumnya tidak
menghalangi diagnosis SSPE karena infeksi campak yang tidak diketahui dapat terjadi pada
usia dini sebelum imunisasi. Hal ini didukung oleh studi molekuler yang telah
mengidentifikasi virus campak tipe liar (bukan virus tipe vaksin) dari spesimen otak kasus
SSPE (100). Gambaran klinis awal SSPE meliputi perubahan kepribadian dan perilaku,
kelesuan, penurunan prestasi sekolah, dan hiperaktif. Manifestasi neurologis yang lebih
menonjol seperti afasia, kesulitan berjalan, dan gerakan tak sadar (misalnya tremor, sentakan
mioklonik, dan koreoatetosis) kemudian terjadi. Pada tahap akhir, kerusakan neurologis yang
mengakibatkan keadaan vegetatif terjadi pada sebagian besar pasien yang terkena (99).

Bakteri

Sementara banyak kasus ensefalitis menular memiliki etiologi virus, penyebab bakteri
penting untuk dipertimbangkan dalam diagnosis baik sebagai "peniru (mimicker)" ensefalitis
atau sebagai penyebab ensefalitis yang sebenarnya. Sebagai contoh, Neisseria meningitidis
dan Streptococcus pneumoniae tidak menyebabkan ensefalitis semata tetapi dapat
menyebabkan manifestasi klinis yang tidak dapat dibedakan dari ensefalitis. Kebingungan
mental, mengantuk, kejang, dan koma merupakan manifestasi yang tidak biasa dari
meningitis bakteri N. meningitidis dan S. pneumoniae (lihat Bab 24).
Mycobacterium tuberculosis
Meskipun meningitis merupakan bentuk neurotuberculosis yang paling umum,
Mycobacterium tuberculosis adalah penyebab utama ketiga dari ensefalitis dalam penelitian
di Perancis yang diidentifikasi pada 15% kasus (101). Di Inggris, dari tahun 2005 hingga
2006, M. tuberculosis adalah agen penyebab pada 12% kasus ensefalitis dengan penyebab
yang teridentifikasi (29). Secara analog, dalam studi multisenter mengenai ensefalitis di
Taiwan, M. tuberculosis merupakan penyebab paling umum ketiga ensefalitis pada pasien
anak dan dewasa (31). Dari 20 pasien dengan ensefalitis terkait M. tuberculosis yang dirujuk
ke California Encephalitis Project (CEP) antara tahun 1998 dan 2005, banyak yang memiliki
kesamaan dengan pasien yang menderita ensefalitis virus, termasuk demam (75%),
perubahan kesadaran (65%), perubahan kepribadian (45 %), dan halusinasi (16%) (102).
Karena basis otak sering terkena M. tuberculosis, tanda-tanda yang merujuk pada saraf
kranial sering terlihat bersamaan dengan demam, sakit kepala, mudah marah, dan mengantuk.
Iritasi meningeal difus atau yang meluas juga dapat mengakibatkan gangguan resorpsi CSF
disertai hidrosefalus (lihat Bab 29).

Listeria monocytogenes
Tidak seperti S. pneumoniae dan N. meningitidis yang jarang menyebabkan infeksi parenkim
otak, Listeria monocytogenes memiliki tropisme untuk parenkim otak itu sendiri serta
meninges (103). Manifestasi system saraf pusat (SSP) yang paling umum dari listeriosis
adalah meningitis yang terisolasi, tetapi sekitar 10% pasien datang dengan ensefalitis batang
otak, ensefalitis, cerebritis difus, atau abses di korteks serebral atau medulla spinalis (104).
Dalam penelitian di Perancis yang dikutip sebelumnya, L. monocytogenes merupakan etiologi
paling umum keempat yang teridentifikasi (101). Faktor risiko yang dilaporkan pada penyakit
SSP terkait Listeria termasuk jenis kelamin laki-laki, imunosupresi, penyakit kronis, dan usia
lanjut (35,105-108). Sebaliknya, tinjauan mendalam tentang rhombencephalitis terkait
Listeria menemukan bahwa kondisi tersebut dilaporkan terutama pada orang dewasa setengah
baya yang sehat dan nonimunosupresi dan memengaruhi kedua jenis kelamin secara setara
(109).
Secara klinis, perjalanan penyakit bifasik dapat terlihat; suatu prodromal nonspesifik
yang berlangsung beberapa hari merupakan tipikal fase pertama. Prodromal itu sendiri mirip
dengan banyak penyakit virus dengan gejala demam, sakit kepala, mual, dan muntah, tetapi
durasi prodromal lebih lama pada penyakit SSP terkait Listeria dibandingkan dengan virus.
Fase kedua ditandai dengan kelumpuhan saraf kranial asimetris progresif, tanda-tanda
serebelar (misalnya ataksia atau dismetria), hemiparesis, dan perubahan tingkat kesadaran
(109).

Treponema palidum
Treponema pallidum, penyebab sifilis, merupakan infeksi bakteri lain yang berpotensi
dikacaukan dengan etiologi virus SSP. Sifilis, juga dikenal sebagai "peniru hebat (great
mimicker)", bisa sulit dikenali; hal ini terutama berlaku untuk tanda dan gejala neurologis.
Manifestasi neurologis dapat terjadi selama setiap tahap infeksi dan termasuk sifilis
meningeal, sifilis meningovaskular, neurosifilis paretik, dan tabes dorsalis (lihat Bab 38).

Spesies Borrelia
Borrelia burgdorferi, agen penyebab penyakit Lyme, terutama endemik di Amerika Serikat
bagian timur, meskipun reservoir juga terdapat di negara bagian Barat Tengah dan Barat Laut
Pasifik. Khususnya, jangkauan geografis meluas. Penyakit Lyme dapat memengaruhi sistem
saraf tepi dan pusat; Keterlibatan SSP biasanya ditandai dengan meningitis, meskipun
ensefalitis jarang terjadi (lihat Bab 39).

Rickettsia

Infeksi riketsia juga dapat menyebabkan ensefalitis. Dari penyakit riketsia, Rocky Mountain
spotted fever (RMSF) dan tifus epidemik paling sering dikaitkan dengan manifestasi
neurologis (110). Pada pasien dengan RMSF, sakit kepala hebat disertai kegelisahan, mudah
marah, kebingungan, dan delirium sering terjadi. Gangguan neurologis umum atau fokal
termasuk vertigo, kejang, hemiparesis, dan ataksia juga dapat terjadi (111). Dalam sebuah
penelitian terhadap 92 anak yang dirawat di rumah sakit dengan RMSF di Amerika Serikat
bagian tenggara dan selatan tengah dari tahun 1990 hingga 2002, 33% mengalami perubahan
status mental, 18% fotofobia, 17% kejang, dan 10% koma (112). Gejala oftalmik termasuk
fotofobia, konjungtivitis, peteki dari konjungtiva bulbar, eksudat dan pembengkakan vena
retina, papilledema, dan kelumpuhan okular sering ditemukan (113,114). Gangguan
pendengaran akut sementara juga dapat terjadi (115). Komplikasi neurologis serupa juga
telah ditemukan pada infeksi rickettsial lainnya, walaupun umumnya tidak begitu parah (116)
(lihat Bab 27).

Parasit dan Amoeba yang Hidup Bebas (Free-Living Amoeba)

Sejumlah parasit dapat menyebabkan ensefalitis melalui invasi langsung ke otak. Helminthes
termasuk berbagai ascaris, cacing tambang, Gnathostoma spinigerum, Angiostrongylus
cantonensis, Spirometra spp., Alaria spp., dan lain-lain dapat menyebabkan larva migrans,
yang mengacu pada migrasi berkepanjangan dan persistensi larva cacing dalam jaringan
manusia (117,118). Larva migrans terbagi menjadi visceral larva migrans (VLM), ocular
larva migrans (OLM), neural larva migrans (NLM), dan cutaneous larva migrans larva
migrans larva migrans larva migrans (CLM) berdasarkan sistem organ yang terlibat (118).
VLM dan NLM biasanya merupakan penyakit masa kanak-kanak, menyerang anak-anak usia
1 hingga 8 tahun.

B. procyonis, cacing gelang ascaris yang umum pada rakun, menyebabkan ensefalitis
eosinofilik pada manusia dan hewan lainnya. Kondisi ini paling sering diidentifikasi pada
anak-anak dan, meskipun jarang, sering mengakibatkan penyakit yang parah dan fatal. B.
procyonis terjadi pada rakun di Amerika Utara, Eropa, dan sebagian Asia (119). Lebih dari
90% rakun remaja terinfeksi di beberapa wilayah di Amerika Serikat (118). Manusia
terinfeksi dengan menelan telur cacing gelang dalam kotoran rakun, melalui tanah atau air
yang terkontaminasi dengan kotoran rakun, atau melalui tangan yang terkontaminasi. Anak
kecil sangat rentan terhadap infeksi karena kecenderungan mereka untuk memasukkan
kotoran dan benda lain ke dalam mulut mereka.

Cacing neurotropik penting lainnya yang terkait dengan ensefalitis eosinofilik atau
meningitis termasuk spesies G. spinigerum dan Angiostrongylus. Gnathostomiasis, paling
sering disebabkan oleh nematoda G. spinigerum, merupakan penyebab myeloencephalitis
eosinofilik. G. spinigerum endemik di Asia Tenggara dan semakin dikenal di Amerika Tengah
dan Selatan (120,121). Sebagian besar kasus dikaitkan dengan konsumsi bebek, katak, ular,
ayam, atau ikan mentah atau setengah matang. Waktu rata-rata dari konsumsi makanan yang
terinfeksi hingga munculnya gejala mungkin beberapa minggu hingga beberapa bulan (122).
Gejala awal yang umum mungkin termasuk episode sporadis dari cutaneous larva migrans
(CLM) ("creeping erruption") dengan nyeri lokal dan pruritus. Ketika keterlibatan SSP
terjadi, hal itu dapat menyebabkan nyeri radikuler atau sakit kepala yang tiba-tiba.
Kelumpuhan ekstremitas dan hilangnya kontrol kandung kemih juga dapat terjadi (123).
Kelainan saraf kranial juga ditemukan. Gejala intermiten dapat terjadi selama 10 hingga 15
tahun setelah paparan karena larva berumur panjang (124).

A. cantonensis, cacing paru-paru tikus, merupakan penyebab utama meningitis


eosinofilik manusia di seluruh dunia, dan meskipun banyak kasus sembuh sendiri, bentuk
penyakit yang parah bisa terjadi (125,126). Angiostrongylus spp. telah dilaporkan di
Louisiana dan Hawaii serta Pasifik Selatan, Asia, Australia, dan Caribbean (127,128).
Manusia terinfeksi dengan menelan larva tahap ketiga di host perantara moluska (misalnya
siput, kepiting, udang air tawar) atau sayuran yang terkontaminasi. Setelah tertelan, larva
menembus dinding usus dan mencapai SSP melalui aliran darah. Penyakit klinis sering terdiri
dari sakit kepala parah, fotofobia, tanda meningeal (meningeal sign), hiperestesia, dan
parestesia. Koma, kelumpuhan ekstremitas, dan kejang terlihat pada kondisi penyakit yang
parah (125,126). Konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan retina, ablasio retina, atau
kebutaan dapat terjadi jika mata terinfeksi (129,130) (lihat Bab 46).

Amoeba yang hidup bebas (free-living amoeba) ada di mana-mana, dan beberapa
telah dikaitkan dengan penyakit manusia. Penyebab ensefalitis umumnya dibagi menjadi dua
entitas klinis: (a) meningoensefalitis amoeba primer karena Naegleria fowleri (juga dikenal
sebagai "amoeba pemakan otak"), dan (b) ensefalitis amoeba granulomatosa.

Meningoensefalitis amoeba primer atau primary amebic meningoencephalitis (PAM)


adalah penyakit fulminan yang terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Penyakit ini telah
dilaporkan di Australia, Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Di Amerika Serikat,
sebagian besar kasus berkembang di bagian selatan negara itu, di mana kondisi air hangat
lebih mungkin ditemui. Biasanya, manusia terinfeksi N. fowleri saat berenang atau mencuci
di air tawar hangat yang mengandung amoeba. Kasus baru-baru ini terkait dengan
penggunaan pot “neti” di mana air keran yang terkontaminasi N. fowleri terlibat sebagai
sumber infeksi juga telah ditemukan (131). Timbulnya PAM biasanya dalam 2 sampai 3 hari
setelah paparan, dan gejala yang dialami termasuk sakit kepala parah, demam, leher kaku,
mual, muntah, diplopia, kejang, perubahan perilaku, dan koma (132-135). Distorsi rasa atau
bau juga bisa menjadi gambaran klinis (136,137). Tingkat fatalitas kasus sangat tinggi; dari
111 kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat antara tahun 1962 dan 2008, hanya satu orang
yang selamat (131).

Dua amoeba berbeda yang terkait erat menyebabkan ensefalitis granulomatosa:


Acanthamoeba spp. dan B. mandrillaris. Ensefalitis granulomatosa terkait Acanthamoeba
merupakan penyakit kronis oportunistik yang mungkin memiliki periode prodromal beberapa
minggu hingga beberapa bulan. Faktor predisposisi acanthamebiasis termasuk pengobatan
steroid, kondisi autoimun, transplantasi organ, kemoterapi, terapi radiasi, alkoholisme, dan
kehamilan (134,138). Sejumlah kecil kasus ensefalitis granulomatosa terkait Acanthamoeba
telah dijelaskan pada anak-anak imunokompeten. Gambaran klinis infeksi Acanthamoeba
pada SSP bervariasi tetapi biasanya memiliki presentasi subakut hingga kronis dengan
demam, sakit kepala, kejang, perubahan kepribadian, kelesuan, atau kebingungan.
Kelumpuhan saraf kranial, tanda meningeal (meningeal sign), atau hemiparesis dapat terlihat
pada pemeriksaan fisik (138). Anak-anak yang terinfeksi Acanthamoeba telah menunjukkan
sakit kepala, leher kaku, muntah, perilaku abnormal, demam, ataksia, dan kejang tonik-klonik
(139-141).

Ketika pertama kali dideskripsikan, B. mandrillaris dianggap sangat langka, tetapi


laporan terbaru menunjukkan bahwa agen ini mungkin lebih umum daripada yang diketahui
sebelumnya (142-145). Gejala ensefalitis granulomatosa terkait Balamuthia termasuk
demam, sakit kepala, muntah, ataksia, hemiparesis, kejang tonik-klonik, kelumpuhan saraf
kranial (saraf kranial ketiga dan keenam), dan diplopia (146). Otitis media telah mendahului
timbulnya ensefalitis granulomatosa terkait Balamuthia dalam beberapa kasus pediatrik
(146,147). Hidrosefalus berkembang dalam banyak kasus (147,148). Menariknya, dua
laporan kasus independen yang melibatkan pasien ensefalitis terkait Balamuthia
menggambarkan aneurisma SSP yang terkait (149,150) (lihat Bab 45).

Jamur

Meskipun infeksi SSP oleh jamur tidak menyebabkan ensefalitis dengan sendirinya dan
sering bermanifestasi sebagai meningitis dan abses, beberapa pasien datang dengan gejala
menyerupai ensefalitis. Penyakit-penyakit ini lebih sering terjadi pada individu dengan
gangguan kekebalan, tetapi infeksi neurologis oleh jamur dapat terlihat pada individu dengan
imunokompeten. Penyebab jamur penting dari infeksi SSP di Amerika Serikat termasuk
Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, dan Blastomyces
dermatitidis. Cryptococcus gattii adalah infeksi jamur yang muncul di Amerika Serikat,
khususnya di Barat Laut Pasific, dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk
memengaruhi pejamu (host) normal daripada Cryptococcus neoformans (151) (lihat Bab 40).
Agen Lainnya

Ratusan agen infeksi lainnya telah dikaitkan dengan ensefalitis, tetapi frekuensi dan
signifikansinya tidak diketahui. Hal ini terutama terjadi ketika agen nonneurotropik
ditemukan pada pasien dengan ensefalitis, terutama ketika agen tersebut diidentifikasi di luar
SSP. Misalnya, Mycoplasma pneumoniae adalah salah satu infeksi yang paling sering
didiagnosis pada anak dengan ensefalitis (lihat Bab 25). Namun, signifikansi hubungan ini
tidak jelas, terutama karena sebagian besar diagnosis didasarkan pada antibodi imunoglobulin
M (IgM) positif terhadap M. pneumoniae. M. pneumoniae merupakan patogen yang ada di
mana-mana, dan terdapat latar belakang kejadian infeksi akut yang tinggi. Selain itu, ada
banyak keterbatasan pengujian serologi Mycoplasma (152). Contoh serupa lainnya dari agen
nonneurotropik yang terlibat sebagai agen penyebab termasuk parvovirus B19, rotavirus, dan
human metapneumovirus (153-155).

Meskipun hubungan virus influenza dan ensefalitis didokumentasikan lebih baik dan
lebih diterima daripada parvovirus B19, rotavirus, atau human metapneumovirus, mekanisme
influenza menyebabkan penyakit neurologis kurang dipahami. Ensefalitis terkait influenza
atau Influenza-associated encephalitis (IAE) dan ensefalopati biasanya ditandai dengan
penyakit neurologis progresif cepat. Kasus telah dijelaskan secara sporadis dan mengikuti
pola influenza musiman, dengan penyakit yang biasanya terjadi selama musim dingin di
daerah beriklim sedang. IAE lebih sering terjadi pada populasi anak dibandingkan pada orang
dewasa. Bukti invasi saraf oleh influenza jarang terlihat; kasus-kasus ini lebih baik dicirikan
sebagai ensefalopati daripada ensefalitis. Banyak kasus IAE, khususnya ensefalopati
nekrotikans akut atau acute necrotizing encephalopathy (ANE), telah dilaporkan dari Jepang,
tetapi kasus ensefalitis dan ensefalopati telah dilaporkan di seluruh dunia, termasuk Amerika
Serikat (156,157). Beberapa laporan kasus dan rangkaian kasus menggambarkan penyakit
neurologis yang terkait dengan pandemic virus influenza H1N1, termasuk
ensefalitis/ensefalopati (158-160).

Demikian pula, penyakit neurologis yang terkait dengan Bartonella seringkali


merupakan ensefalopati daripada ensefalitis. Cat-scratch disease (CSD), yang sering
disebabkan oleh Bartonella henselae, biasanya merupakan infeksi yang sembuh sendiri yang
berhubungan dengan demam, limfadenopati regional, dan malaise. Seperti namanya, banyak
orang yang terkena dampak dari kontak dengan kucing, seringkali anak kucing. Presentasi
atipikal dapat terjadi terutama pada anak-anak dan dewasa muda dan individu dengan
gangguan kekebalan. Dalam rangkaian kasus dari 130 kasus CSD di Jepang, 19 pasien (15%)
mengalami ensefalopati (161). Meskipun limfadenopati merupakan tanda dari CSD, hal ini
tidak selalu terjadi pada kasus ensefalopati (161). Neuroretinitis juga bisa menjadi
karakteristik terkait (162).
ENSEFALOMIELITIS DISEMINATA AKUT (ACUTE DISSEMINATED
ENCEPHALOMYELITIS)
Insiden dari acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) diperkirakan mencapai 0,4
hingga 0,8 per 100.000 dan menyumbang 10% hingga 15% kasus ensefalitis di Amerika
Serikat (163-165). Kondisi ini lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa,
dan banyak kasus ADEM memiliki pemicu yang dapat diidentifikasi seperti penyakit atau
vaksinasi baru-baru ini. Gejala neurologis biasanya berkembang 2 sampai 4 minggu setelah
pemicu dengan perkembangan gejala yang cepat (165). Sebelum meluasnya penggunaan
vaksin untuk penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin di Amerika Serikat, campak
(measles) dan parotitis (mumps) adalah pemicu umum dari ADEM. Di wilayah dunia di mana
vaksin banyak digunakan untuk mencegah campak dan parotitis, seperti Amerika Serikat dan
Kanada, infeksi saluran pernapasan atas sekarang menjadi pemicu ADEM yang paling sering
diidentifikasi.
ADEM memengaruhi beberapa daerah otak dan medulla spinalis dan ditandai dengan
timbulnya ensefalopati yang cepat bersamaan dengan defisit neurologis multifokal. Hingga
tiga perempat pasien dengan ADEM akan mengalami perubahan status mental, sedangkan
kejang terjadi pada 10% hingga 35% pasien (165). Defisit motorik (misalnya hemiparesis
akut), ataksia, penurunan kemampuan verbal atau mutisme, neuropati kranial, dan gangguan
kemih sering terjadi (166). Pemulihan dapat sempurna, meskipun defisit residual dapat terjadi
pada 30% pasien.

ETIOLOGI NONINFEKSI
Terdapat pengetahuan yang berkembang bahwa kondisi yang dimediasi kekebalan
mengakibatkan sebagian besar kasus ensefalitis. Ensefalitis anti-N-methyl-d-aspartate
receptor (NMDAR), ensefalitis terkait antibodi neuronal yang relatif baru dikenal, patut
mendapat perhatian khusus karena frekuensi sindrom yang tampaknya tinggi. Dalam
California Encephalitis Project, frekuensi ensefalitis anti-NMDAR melampaui entitas virus
tunggal mana pun dalam populasi anak-anak dan juga berkontribusi pada kasus di masa
dewasa (167).
Secara klinis, ensefalitis anti-NMDAR ditandai dengan perilaku abnormal, kejang,
dan gangguan gerakan diikuti dengan penurunan tingkat kesadaran dan ketidakstabilan
otonom dan mungkin berhubungan dengan teratoma ovarium (168). Yang penting untuk
diketahui, perkembangan gejala prodromal berupa sakit kepala, demam ringan, atau penyakit
seperti virus nonspesifik sebelum timbulnya gejala neurologis pada banyak pasien mungkin
awalnya mengarahkan diagnosis ensefalitis menular atau infeksius, daripada autoimun (168).
Penyebab penting lain dari ensefalitis yang dimediasi kekebalan adalah ensefalitis
anti-voltage-gated potassium channel (VGKC). Pasien biasanya berusia lebih dari 50 tahun,
hadir dengan gejala ensefalitis limbik (disfungsi memori, perubahan perilaku, dan kejang)
dan hiponatremia, dan jarang memiliki neoplasma yang mendasarinya. Meskipun antibodi
pada awalnya dianggap mengenali reseptor VGKC, penelitian selanjutnya telah menunjukkan
bahwa target autoimunitas biasanya adalah antigen yang berbeda (yaitu, LGI1 atau CASPR2)
yang terkait erat dengan kompleks VGKC (168,169). Beberapa antibodi lain juga terkait
dengan ensefalitis limbik, termasuk yang mengenali glutamic acid decarboxylase (GAD),
reseptor AMPA, dan reseptor γ-aminobutyric acid (GABAb). Antibodi onconeural intraseluler
terkait dengan kondisi paraneoplastik (misalnya anti-Hu, Yo, Ma2, CV2, amphiphysin,
CRMP5, dan lain-lain) juga perlu dipertimbangkan (170).

PATOLOGI
Mengingat banyak etiologi yang berbeda dari ensefalitis, patologi sangat bervariasi dan
tergantung tidak hanya pada etiologi yang mendasari tetapi juga tingkat keparahan infeksi.
Histologi karakteristik pasien dengan ensefalitis virus termasuk peradangan sel mononuklear
perivaskular, fagositosis neuron, dan nodul mikroglial. Gambaran histopatologis yang khas
terlihat pada beberapa infeksi virus; badan inklusi intranuklear kadang terlihat pada herpes
simplex dan varicella zoster, sedangkan badan Negri (inklusi sitoplasma eosinofilik)
ditemukan di dalam sel Purkinje dan patognomonik untuk rabies (Gambar 6.1).
EV, parechovirus, herpesvirus, arbovirus, dan rabies memiliki potensi neurotropik
yang cukup besar di mana virus secara langsung menyerang SSP dan terutama memengaruhi
substansia grisea otak. Virus lain, seperti virus campak (measles) dan rubella, terutama
memengaruhi substansia alba otak dengan memicu reaksi autoimun dan mengakibatkan
ensefalitis pascainfeksi (misalnya ADEM). Gejala yang tidak dapat dibedakan dari ensefalitis
virus dapat dilihat pada pasien dengan meningitis bakteri dan infeksi rickettsia dimana
vaskulitis terkait dan elaborasi dari toksin dapat menyebabkan disfungsi SSP. Respons
inflamasi yang intens terhadap jamur, amoeba yang hidup bebas (free-living amoeba), dan
parasit juga dapat menyebabkan disfungsi SSP.
Organisme memasuki SSP melalui rute yang berbeda. Sebagian besar masuk melalui
aliran darah, seperti kasus EV, HPeV, dan arbovirus serta beberapa bakteri, rickettsia, dan
agen jamur (171). Setelah agen mencapai SSP, sawar darah-otak ditembus melalui plexus
choroideus atau melalui endotelium vaskular (172).
Mekanisme yang diusulkan untuk masuk ke otak amoeba bervariasi menurut
organisme. Sebagai contoh, Balamuthia diperkirakan masuk ke SSP melalui rute hematogen,
dengan amoeba memasuki aliran darah baik dari paru-paru atau dari lesi kulit. Naegleria, di
sisi lain, memasuki saluran hidung dan langsung meluas ke SSP dengan menembus mukosa
olfaktori, memasuki pleksus saraf submukosa, bermigrasi di sepanjang saraf olfaktori, dan
melintasi lempeng lamina cribriformis. Mekanisme masuk yang berbeda melalui transpor
akson yang menghasilkan rute intraneuronal digunakan oleh beberapa virus seperti rabies dan
HSV-1.
Di dalam SSP, patogen sering menargetkan sel-sel tertentu dan, tergantung pada
wilayah otak yang terkena, manifestasi klinis bervariasi terjadi (173). Agen dengan predileksi
spesifik pada area seperti batang otak (misalnya, EV-71 dan Listeria) dapat menyebabkan
dekompensasi cepat dengan koma atau gagal napas. Ensefalitis terkait herpes simplex secara
khas memengaruhi lobus temporal dan menyebabkan perdarahan dan lesi nekrotikan (174)
(Gambar 6.2).
WNND memiliki kecenderungan untuk pada substansia grisea dari batang otak dan
medulla spinalis, tetapi serebelum, lobus temporal, ganglia basal, dan thalamus juga dapat
terpengaruh (175). Memang, banyak flavivirus neuroinvasif seperti JEV, TBEV, dan WNV
memiliki predileksi untuk daerah otak tertentu, termasuk daerah yang penting untuk kontrol
motorik (thalamus, ganglia basal, batang otak, dan sel tanduk atau horn cells anterior dari
medulla spinalis) (176).
Dalam kasus lain, agen infeksi tidak selalu menginfeksi neuron. Sel-sel nonneuronal,
seperti oligodendroglia, dapat terinfeksi, dengan hasil demielinasi (177). Atau, infeksi dapat
menyebabkan perubahan kekebalan yang mengakibatkan kerusakan. Ensefalitis terkait EBV,
misalnya, mungkin merupakan akibat dari fenomena imunologi daripada invasi saraf akut.
Biasanya ada penundaan (delay) 1 hingga 3 minggu dalam timbulnya gejala neurologis
setelah infeksi EBV akut (40). Selanjutnya, virus itu sendiri seringkali tidak ditemukan di
CSF (40). Dalam sebuah kohort dari lima pasien ensefalitis terkait EBV dengan demielinasi
SSP, empat memiliki gejala prodromal selama 2 minggu atau lebih dan EBV tidak terdeteksi
oleh polymerase chain reaction (PCR) di CSF (40). Sebaliknya, perkembangan gejala
neurologis baik tanpa adanya, atau dalam beberapa hari setelah onset prodromal dengan
adanya, EBV di CSF menunjukkan invasi langsung. Dalam seri pediatrik yang dikutip
sebelumnya, salah satu pasien tersebut memiliki EBV yang terdeteksi oleh PCR di jaringan
otak, menunjukkan bahwa invasi langsung ke otak dapat terjadi pada beberapa kasus.
Virus seperti influenza diketahui berhubungan dengan manifestasi SSP, tetapi
mekanisme yang menyebabkan tanda dan gejala neurologis tidak dipahami dengan baik.
Kurangnya deteksi virus pada sebagian besar kasus IAE di SSP sangat menunjukkan
patogenesis yang berbeda; sejumlah mekanisme potensial telah digunakan, termasuk produksi
sitokin proinflamasi yang berlebihan, disfungsi endotel vaskular, dan disregulasi mitokondria
(178).
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Listeria dapat dikaitkan dengan ensefalitis
atau meningitis murni. Secara patologis, reaksi supuratif terlihat pada bentuk meningitis,
sedangkan respon granulomatosa terlihat pada bentuk meningoensefalitis (104).
Agen rickettsia menyerang dan berkembang biak dalam sel endotel vaskular,
menyebabkan vaskulitis baik di dalam maupun di luar SSP (179,180). Vaskulitis di pembuluh
kecil di otak menyebabkan iritasi meningeal dengan infiltrat mononuklear perivaskular. Lesi
patologis karakteristik dalam SSP termasuk nodul glial multifokal dan mikroinfark dari
arteriolar (181).
Pada meningitis bakteri yang diobati sebagian dan pada meningitis tuberkulosis dan
jamur, peradangan meningeal basilar kronis dapat menyebabkan eksudat subarachnoid,
menyebabkan obstruksi reabsorpsi CSF dengan akibat hidrosefalus komunikans dan
kelumpuhan saraf kranial. Vaskulitis SSP juga dapat menyebabkan infark dan defisit
neurologis fokal.
N. fowleri, amoeba yang hidup bebas (free-living amoeba), menyebabkan
penghancuran substansia grisea dan penghancuran bulbus olfactorius dengan meningitis
purulen dan edema otak yang parah (182). Pada infeksi SSP terkait Balamuthia dan
Acanthamoeba, reaksi granulomatosa terjadi pada area yang terkena termasuk serebri,
serebelum, dan batang otak, di mana amoeba menghasilkan lesi nekrotik hemoragik. Sel
raksasa berinti banyak, nekrosis fokal, dan perdarahan terlihat pada histopatologi otak. Dalam
beberapa kasus, lembaran besar amoeba dapat ditemukan di area perivaskular jaringan otak
(Gambar 6.3).
B. procyonis dan nematoda lain yang menyerang SSP menyebabkan kerusakan oleh
migrasi larva SSP, dengan histologi menunjukkan peradangan dan nekrosis dengan ruang
seperti "jalur (track)". Temuan patologis kasus fatal menunjukkan nekrosis dan peradangan
atau inflamasi dengan eosinofil, makrofag, limfosit, dan sel plasma terkonsentrasi pada
substansia alba periventrikular dan leptomeninges di jaringan otak. Karakteristik dari infeksi
NLM/Baylisascaris ialah banyaknya eosinofil dan granula eosinofil yang mengelilingi jalur
migrasi nematoda dan pembuluh darah (183).

GAMBAR 6.1 Ensefalitis terkait rabies. Sel


Purkinje di serebelum dengan eosinofilik, inklusi
intra-sitoplasma (badan Negri).
(Sumber dari Dr. Andrew Bollen, Universitas
California, San Francisco.)

GAMBAR 6.2 Herpes simplex encephalitis.


Ensefalitis terkait herpes simplex tipe 1 dengan
perdarahan dan nekrosis lobus temporal kanan.
(Sumber dari Dr. Andrew Bollen, Universitas
California, San Francisco.)
GAMBAR 6.3 Histopatologi dari infeksi B. mandrillaris: (A) Jaringan otak diwarnai dengan
hematoxylin dan eosin (x100) menunjukkan B. mandrillaris. Perhatikan bahwa organisme B.
mandrillaris ini mungkin disalahartikan sebagai limfosit atau makrofag. (B) Pembesaran
yang lebih tinggi (x1000) menunjukkan trofozoit B. mandrillaris di jaringan otak, beberapa
dengan nukleolus tunggal (panah putus-putus) atau nukleolus ganda (panah tebal).
(Sumber dari Dr. Govinda Visvesavara, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit.)

PENDEKATAN DIAGNOSTIK PADA PASIEN DENGAN ENSEFALITIS


Identifikasi dari etiologi spesifik, bahkan jika tidak ada pengobatan yang tersedia, penting
untuk melakukan konseling pada pasien dan keluarga, profilaksis pasca pajanan potensial dari
kontak, dan intervensi kesehatan masyarakat lainnya. Selain itu, identifikasi agen tertentu
dapat menyebabkan penarikan atau penghentian agen antimikroba yang tidak perlu dan
mengurangi pengujian lebih lanjut. Pengetahuan tentang keterbatasan pengujian atau
pemeriksaan, pemilihan tes yang tepat, dan waktu pengambilan sampel sangat penting untuk
diagnosis yang optimal.
Penilaian menyeluruh terhadap pajanan yang menyoroti kontak penyakit, pajanan
pekerjaan, pajanan vektor dan hewan, aktivitas di luar ruangan, dan konsumsi harus
dipastikan. Riwayat perjalanan baru-baru ini (misalnya untuk arbovirus) dan jarak jauh
(misalnya rabies, jamur) merupakan hal yang penting untuk diketahui. Setiap penyakit
pernapasan, gastrointestinal, atau ruam yang baru atau sedang terjadi harus diselidiki.
Berdasarkan informasi ini, pengujian khusus dapat dilakukan (Tabel 6.1 dan 6.2) (184).
Hitung darah lengkap atau complete blood count (CBC), tes fungsi ginjal, kadar
enzim hati, dan pemeriksaan koagulasi harus dimasukkan dalam evaluasi pasien dengan
dugaan ensefalitis. Roentgen thorax awal juga harus dilakukan karena infiltrat fokal sugestif
dari patogen tertentu (misalnya infeksi jamur atau mikobakteri) dan dapat mengarah pada
studi diagnostik lainnya (misalnya bronkoskopi). Pemeriksaan mata menyeluruh oleh dokter
mata dapat mengidentifikasi nematoda yang bermigrasi yang akan sangat mempersempit
perbedaannya.
Kecuali terdapat kontraindikasi khusus, pungsi lumbal atau lumbar punction (LP)
dengan analisis cairan serebrospinal (CSF) (jumlah sel dengan analisis diferensial,
konsentrasi glukosa dan protein) dan pengukuran tekanan pembukaan (opening pressure)
harus dilakukan (185). Glukosa perifer simultan juga harus diukur dan sangat penting pada
pasien diabetes karena apa yang tampak sebagai glukosa CSF "normal" mungkin sebenarnya
rendah jika rasio CSF terhadap glukosa serum tidak dipertimbangkan (102). Sampel CSF
harus segera dianalisis, terutama karena neutrofil terdegradasi dalam beberapa jam (186).
Selain itu, jika jumlah sel CSF dilakukan oleh penghitung sel otomatis, eosinofil dapat
disalahartikan sebagai neutrofil. Identifikasi eosinofil yang akurat paling baik dilakukan
dengan pewarnaan Giemsa atau Wright dari CSF (128). Identifikasi pita oligoklonal CSF,
mewakili sintesis antibodi intratekal, merupakan temuan nonspesifik tetapi dapat membantu
menguatkan etiologi infeksi atau inflamasi.
Profil CSF menawarkan petunjuk diagnostik penting tentang apakah pasien memiliki
etiologi menular (infeksius) atau tidak menular (noninfeksius) dan, dalam bidang infeksi,
apakah penyebabnya mungkin virus, bakteri, jamur, atau parasit. Profil CSF pada sebagian
besar pasien ensefalitis virus menunjukkan pleositosis sel mononuklear CSF, dengan jumlah
sel berkisar antara 10 hingga 200 mg/dL. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pleositosis bisa tidak ada atau mungkin ada peningkatan neutrofil di awal perjalanan.
Meskipun banyak buku teks menyebutkan bahwa leukosit polymorphonuclear (PMN) dapat
mendominasi 24 jam pertama infeksi SSP oleh virus dan memperlihatkan bahwa peralihan ke
sel mononuklear terjadi setelah jangka waktu tersebut, ada penelitian yang menunjukkan
bahwa PMN mungkin masih mendominasi jauh melampaui periode 24-jam ini (187). Oleh
karena itu, pengulangan LP beberapa hari setelah LP pertama mungkin berguna (188,189).
Pada ensefalitis virus, protein CSF umumnya meningkat tetapi biasanya kurang dari 100
mg/dL, sedangkan kadar glukosa hampir selalu normal dengan beberapa pengecualian
penting (misalnya LCM dan parotitis (mumps); Tabel 6.3).
Seperti yang diuraikan sebelumnya, infeksi virus terkadang dapat dikaitkan dengan
dominasi neutrofilik; namun, ketika pleositosis neutrofilik diamati, terutama dalam kasus di
mana jumlah sel darah putih atau white blood cell (WBC) CSF lebih dari 1.000 sel/mm3,
protein lebih dari 100 mg/dL, atau kadar glukosa CSF kurang dari 2/3 kadar serum, entitas
nonvirus harus sangat dipertimbangkan. Untuk sebagian besar bakteri patogen, CSF
menunjukkan WBC 1.000 hingga 5.000 sel/mL dengan dominasi neutrofil (80% hingga
95%), glukosa kurang dari 40 mg/dL pada lebih dari separuh kasus, dan kadar glukosa CSF
kurang dari 2 /3 kadar serum. Pada infeksi jamur, pleositosis limfositik sedang biasanya
ditemukan bersamaan dengan peningkatan protein dan glukosa CSF yang rendah.
Eosinofil dalam CSF menunjukkan adanya infeksi cacing (misalnya B. procyonis,
Angiostrongylus spp., dan G. spinigerum). Eosinofil juga dapat dilihat pada pasien dengan
neurococcidiomycosis atau neuro-Mycobacterium tuberculosis. Pada pasien dengan PAM,
CSF biasanya mengandung jumlah sel CSF yang sangat tinggi dengan dominasi neutrofil,
sedikit penurunan konsentrasi glukosa, dan peningkatan kandungan protein (75 hingga 970
mg/dL). Amoeba kadang-kadang dapat dilihat pada preparat basah cairan spinal
(139,140,190). Pada pasien dengan infeksi Balamuthia pada SSP, peningkatan WBC CSF
sering terlihat bersamaan dengan peningkatan protein yang ringan hingga peningkatan yang
mencolok (>1.000 mg/dL) dan glukosa normal atau sedikit menurun.
Meskipun biopsi otak pada dugaan ensefalitis telah menjadi kurang umum,
pemeriksaan jaringan otak masih bermanfaat karena keterbatasan metode molekuler dan
serologis. Penggunaan target biopsi baru-baru ini ditunjukkan oleh laporan dari 16 pasien
dengan penyakit pada SSP yang tidak terdiagnosis di mana biopsi otak mendeteksi abses
bakteri (6), toksoplasmosis (3), HSV (1), infeksi Aspergillus (2), dan infeksi M. tuberculosis
(2). Biopsi juga dapat sangat membantu untuk diagnosis entitas tidak menular seperti
vaskulitis pembuluh darah kecil dan limfoma intravaskular (191). Otopsi harus didorong
untuk menentukan penyebab kematian pada pasien yang meninggal dengan ensefalitis yang
tidak dapat dijelaskan.
Selain pemeriksaan yang dilakukan secara akut, tabung serum ekstra dengan penutup
merah harus diambil selama fase akut penyakit dan dilakukan untuk pemeriksaan serologi
selanjutnya. Serum konvalesen harus dikumpulkan pada 10 hingga 21 hari kemudian.
Demikian pula, cairan spinal ekstra juga harus dibekukan untuk pengujian di masa
mendatang. Peringatan khusus mengenai pengujian atau pemeriksaan diuraikan dalam Tabel
6.3 dan agen terpilih diuraikan dalam bagian berikut.

TABEL 6.1 ALGORITMA DIAGNOSTIK UNTUK EVALUASI AWAL ENSEFALITIS


PADA ORANG DEWASA

Studi Rutin
CSF
Kumpulkan setidaknya 20 mL cairan, jika memungkinkan; bekukan setidaknya 5–10 mL
cairan, jika memungkinkan
Tekanan pembukaan (opening pressure), jumlah sel darah putih dengan diferensial, jumlah
sel darah merah, protein, glukosa
Pewarnaan gram dan kultur bakteri
HSV-1/HSV-2 PCR (jika tes tersedia, pertimbangkan IgG dan IgM HSV CSF sebagai
tambahan)
PCR VZV (sensitivitas mungkin rendah; jika tes tersedia, pertimbangkan IgG dan IgM VZV
CSF sebagai tambahan)
PCR enterovirus
Antigen kriptokokus dan/atau pewarnaan tinta India
Pita oligoklonal dan indeks IgG
VDRL
Serum
Kultur darah rutin
Serologi HIV (pertimbangkan RNA)
Pemeriksaan treponema (RPR, tes treponema spesifik)
Pegang serum akut dan kumpulkan serum konvalesen 10-14 hari kemudian untuk
pemeriksaan antibodi berpasangan
Pencitraan
Neuroimaging atau pencitraan saraf (MRI lebih disukai daripada CT, jika tersedia)
Pencitraan thorax (rontgen dan/atau CT thorax)
Neurofisiologi
EEG
Cairan/Jaringan Lain
Ketika gambaran klinis dari keterlibatan ekstra-SSP terlihat, kami merekomendasikan
pemeriksaan tambahan (misalnya biopsi lesi kulit, bronchoalveolar lavage dan/atau biopsi
endobronkial pada pasien dengan pneumonia/lesi paru, PCR/kultur swab tenggorok pada
pasien dengan penyakit saluran pernapasan atas, kultur feses pada penderita diare); lihat juga
di bawah.
TABEL 6.1 ALGORITMA DIAGNOSTIK UNTUK EVALUASI AWAL ENSEFALITIS
PADA ORANG DEWASA (lanjutan)

Studi Kondisional
Faktor Pejamu (host)
Imunokompromais—PCR CMV, PCR HHV-6/HHV-7, PCR HIV (CSF); serologi dan/atau
PCR Toxoplasma gondii; pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis; pemeriksaan jamur;
pemeriksaan WNV
Faktor Geografis
Afrika—malaria (apusan darah), trypanosomiasis (apusan darah/CSF, serologi dari serum dan
CSF), tes dengue
Asia—pemeriksaan Japanese encephalitis virus, pemeriksaan dengue, malaria (apusan darah),
pemeriksaan virus Nipah (serologi dari serum dan CSF; PCR, imunohistokimia, dan isolasi
virus di laboratorium BSL4 juga dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis)
Australia—pemeriksaan virus ensefalitis Murray Valley, pemeriksaan virus Kunjin,
pemeriksaan Australian bat Lyssavirus (ABLV)

Eropa—tick-borne encephalitis virus (TBEV) (serologi); jika Eropa selatan, pertimbangkan


pemeriksaan WNV, pemeriksaan virus Toscana

Amerika Tengah dan Selatan—pemeriksaan dengue, malaria (apusan darah), pemeriksaan


WNV, pemeriksaan Venezuelan equine encephalitis

Amerika Utara—pemeriksaan arbovirus yang sesuai secara geografis (misalnya WNV,


Powassan, La Crosse, virus Venezuelan equine encephalitis, Lyme [serum ELISA dan
Western blot])
Musim dan Paparan
Musim panas/musim gugur—pemeriksaan penyakit arbovirus dan tick-bornea

Kucing (terutama jika disertai kejang, CSF paucicellular)—antibodi Bartonella (serum),


evaluasi oftalmologis

Paparan kutu—pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui kutu (tick-borne)a

Paparan gigitan hewan/kelelawar—pemeriksaan rabies

Berenang atau menyelam di air tawar hangat atau irigasi hidung/sinus—Naegleria fowleri
(CSF wet mount dan PCR)
Tanda dan Gejala Spesifik

Karakteristik psikotik atau gangguan gerakan—antibodi anti-NMDAR (serum, CSF);


pemeriksaan rabies; skrining untuk keganasan, penyakit Creutzfeldt-Jakob

TABEL 6.1 ALGORITMA DIAGNOSTIK UNTUK EVALUASI AWAL ENSEFALITIS


PADA ORANG DEWASA (lanjutan)

Tanda dan Gejala Spesifik

Gejala limbik yang menonjol—pemeriksaan ensefalitis limbik autoimun; PCR HHV-6/HHV-


7 (CSF); skrining untuk keganasan
Dekompensasi cepat (terutama dengan riwayat gigitan hewan atau perjalanan sebelumnya ke
daerah endemik rabies)—pemeriksaan rabies
Gejala pernapasan—serologi Mycoplasma pneumoniae dan PCR tenggorok (jika positif,
lakukan PCR CSF); pemeriksaan virus saluran pernapasan
Kelumpuhan atau paralisis flaksid akut—pemeriksaan arbovirus, pemeriksaan rabies
Parkinsonism—pemeriksaan arbovirus, serologi Toxoplasma
Lesi kulit yang tidak sembuh—pemeriksaan Balamuthia mandrillaris, Acanthamoeba

Temuan Laboratorium
Peningkatan transaminase—serologi rickettsia, pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui
kutu (tick-borne)a
Protein CSF >100mg/dL, atau glukosa CSF <2/3 glukosa perifer, atau pleositosis limfositik
dengan onset gejala subakut—pemeriksaan M. tuberculosis, pemeriksaan jamur
Protein CSF >100 mg/dL atau glukosa CSF <2/3 glukosa perifer dan dominasi neutrofilik
dengan onset gejala akut dan penggunaan antibiotik baru-baru ini—PCR CSF untuk
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis
Eosinofilia CSF—pemeriksaan M. tuberkulosis, pemeriksaan jamur, antibodi Baylisascaris
procyonis (serum), pemeriksaan Angiostrongylus cantonensis dan Gnathostoma sp.
RBC dalam CSF—pemeriksaan Naegleria fowleri
Hiponatremia—antibodi anti-VGKC (serum); pemeriksaan M.tuberkulosis

RBC, red blood cell (sel darah merah); VDRL, Venereal Disease Research Laboratory (laboratorium penelitian
penyakit kelamin); RPR, rapid plasma regain (reagen plasma cepat); EEG, electroencephalogram
(elektroensefalogram); CMV, cytomegalovirus (sitomegalovirus).
a
Pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui kutu (tick-borne disease testing) harus disesuaikan dengan
wilayah geografis tertentu dan biasanya terdiri dari serologi (yaitu Borrelia, Ehrlichia, Rickettsia sp.,
Anaplasma phagocytophilum, TBEV) dan PCR darah (Ehrlichia, Anaplasma).
Data dari Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC, dkk. Case definitions, diagnostic algorithms, and priorities in
encephalitis: consensus statement of the International Encephalitis Consortium. Clin Infect Dis.
2013;57(8):1114–1128.

TABEL 6.2 ALGORITMA DIAGNOSTIK UNTUK EVALUASI AWAL ENSEFALITIS


PADA ANAK

Studi Rutin
CSF

Kumpulkan sedikitnya 5 mL cairan, jika memungkinkan; bekukan cairan yang tidak terpakai
untuk pemeriksaan tambahan
Tekanan pembukaan (opening pressure), jumlah sel darah putih (WBC) dengan diferensial,
jumlah sel darah merah (RBC), protein, glukosa
Pewarnaan gram dan kultur bakteri
HSV-1/HSV-2 PCR (jika pemeriksaan tersedia, pertimbangkan IgG dan IgM HSV CSF
sebagai tambahan)
PCR enterovirus

Serum
Kultur darah rutin
Serologi EBV (IgG dan IgM VCAdan EBNA IgG)
IgM dan IgG Mycoplasma pneumoniae
Pegang serum akut dan kumpulkan serum konvalesen 10-14 hari kemudian untuk
pemeriksaan antibodi berpasangan

Pencitraan
Neuroimaging atau pencitraan saraf (MRI lebih disukai daripada CT, jika tersedia)

Neurofisiologi
EEG
Cairan/Jaringan Lain
PCR M. pneumoniae dari sampel tenggorok
PCR dan/atau kultur enterovirus dari tenggorok dan feses
Ketika gambaran klinis dari keterlibatan ekstra-SSP terlihat, kami merekomendasikan
pemeriksaan tambahan (misalnya biopsi lesi kulit, bronchoalveolar lavage dan/atau biopsi
endobronkial pada pasien dengan pneumonia/lesi paru, PCR/kultur swab tenggorok pada
pasien dengan penyakit saluran pernapasan atas, kultur feses pada penderita diare); lihat juga
di bawah.
Studi Kondisional
Faktor Pejamu (host)
Usia di bawah 3 tahun—PCR parechovirus (CSF)
TABEL 6.2 ALGORITMA DIAGNOSTIK UNTUK EVALUASI AWAL ENSEFALITIS
PADA ANAK (lanjutan)

Faktor Pejamu (host)


Imunokompromais—PCR CMV, PCR HHV-6/HHV-7, PCR HIV (CSF); antigen kriptokokus;
serologi Toxoplasma gondii dan/atau PCR; pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis;
pemeriksaan jamur; pemeriksaan WNV

Faktor Geografis
Afrika—malaria (apusan darah), trypanosomiasis (apusan darah/CSF, serologi dari serum dan
CSF), tes dengue
Asia—pemeriksaan Japanese encephalitis virus, pemeriksaan dengue, malaria (apusan darah),
pemeriksaan virus Nipah (serologi dari serum dan CSF; PCR, imunohistokimia, dan isolasi
virus di laboratorium BSL4 juga dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis)
Australia—pemeriksaan virus ensefalitis Murray Valley, pemeriksaan virus Kunjin,
pemeriksaan Australian bat Lyssavirus (ABLV)

Eropa—tick-borne encephalitis virus (TBEV) (serologi); jika Eropa selatan, pertimbangkan


pemeriksaan WNV, pemeriksaan virus Toscana

Amerika Tengah dan Selatan—pemeriksaan dengue, malaria (apusan darah)


Amerika Utara—pemeriksaan arbovirus yang sesuai secara geografis (misalnya WNV,
Powassan, La Crosse, virus eastern equine encephalitis, Lyme [serum ELISA dan Western
blot])
Musim dan Paparan
Musim panas/musim gugur—pemeriksaan penyakit arbovirus dan tick-bornea

Kucing (terutama jika disertai kejang, CSF paucicellular)—antibodi Bartonella (serum),


evaluasi oftalmologis

Paparan kutu—pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui kutu (tick-borne)a

Paparan gigitan hewan/kelelawar—pemeriksaan rabies

Berenang atau menyelam di air tawar hangat atau irigasi hidung/sinus—Naegleria fowleri
(CSF wet mount dan PCR)
Tanda dan Gejala Spesifik
Perilaku abnormal (misalnya amukan, agitasi, agresi), karakteristik psikotik, kejang, atau
gangguan gerakan—antibodi anti-NMDAR (serum, CSF), pita oligoklonal, indeks IgG,
pemeriksaan rabies

Perubahan perilaku diikuti oleh kejang/sentakan mioklonik—IgG campak (measles) (CSF


dan serum)
TABEL 6.2 ALGORITMA DIAGNOSTIK UNTUK EVALUASI AWAL ENSEFALITIS
PADA ANAK (lanjutan)

Tanda dan Gejala Spesifik

Ruam vesikular—PCR VZV dari CSF (sensitivitas mungkin rendah; jika pemeriksaan
tersedia, pertimbangkan IgG dan IgM CSF), IgG dan IgM VZV dari serum
Dekompensasi cepat (terutama dengan riwayat gigitan hewan atau perjalanan sebelumnya ke
daerah endemik rabies)—pemeriksaan rabies
Gejala pernapasan—pencitraan thorax (rontgen dan/atau CT scan thorax), pemeriksaan virus
saluran pernapasan, PCR Mycoplasma pneumoniae (CSF)
Kelumpuhan atau paralisis flaksid akut—pemeriksaan arbovirus, pemeriksaan rabies
Parkinsonism—pemeriksaan arbovirus, serologi Toxoplasma
Lesi kulit yang tidak sembuh—pemeriksaan Balamuthia mandrillaris, Acanthamoeba
Gejala limbik yang menonjol—pemeriksaan ensefalitis limbik autoimun, PCR HHV-6/HHV-
7 (CSF)

Temuan Laboratorium
Jika serologi EBV menunjukkan infeksi akut, lakukan PCR EBV (CSF)
Peningkatan transaminase—serologi rickettsia, pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui
kutu (tick-borne)a
Protein CSF >100mg/dL, atau glukosa CSF <2/3 glukosa perifer, atau pleositosis limfositik
dengan onset gejala subakut—pemeriksaan M. tuberculosis, pemeriksaan jamur, pemeriksaan
Balamuthia mandrillaris
Protein CSF >100 mg/dL atau glukosa CSF <2/3 glukosa perifer dan dominasi neutrofilik
dengan onset gejala akut dan penggunaan antibiotik baru-baru ini—PCR CSF untuk
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis
Eosinofilia CSF—pemeriksaan M. tuberkulosis, pemeriksaan jamur, antibodi Baylisascaris
procyonis (serum), pemeriksaan Angiostrongylus cantonensis dan Gnathostoma sp.
Hiponatremia—pemeriksaan M.tuberkulosis
Serologi M. pneumoniae atau PCR tenggorok positif—PCR M. pneumonia (CSF)
RBC, red blood cell (sel darah merah); VCA, viral capsid antigen (antigen kapsul virus); EBNA, Ebstein-Barr
nuclear antigen (antigen nucleus Ebstein-Bar); EEG, electroencephalogram (elektroensefalogram); CMV,
cytomegalovirus (sitomegalovirus).
a
Pemeriksaan penyakit yang ditularkan melalui kutu (tick-borne disease testing) harus disesuaikan dengan
wilayah geografis tertentu dan biasanya terdiri dari serologi (yaitu Borrelia, Ehrlichia, Rickettsia sp.,
Anaplasma phagocytophilum, TBEV) dan PCR darah (Ehrlichia, Anaplasma).
Diadaptasi dari Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC, dkk. Case definitions, diagnostic algorithms, and priorities
in encephalitis: consensus statement of the International Encephalitis Consortium. Clin Infect Dis.
2013;57(8):1114–1128.
TABEL 6.3 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK UNTUK ENSEFALITIS INFEKSIUS
DENGAN FOKUS PADA PATOGEN YANG DITEMUKAN PADA INDIVIDU
IMUNOKOMPETEN DI AMERIKA SERIKAT

Studi Diagnostik yang Temuan Laboratorium; Keterbatasan dan


Agen
Direkomendasikan Peringatan
Virus Banyak infeksi virus SSP menyebabkan
pleositosis CSF ringan (biasanya dengan
dominasi sel monositik tetapi PMN dapat
mendominasi, terutama di awal perjalanan
penyakit); Protein CSF normal hingga sedikit
meningkat (<100 mg/dL) dan glukosa normal
Adenovirus  CSF, saluran pernapasan, PCR  Patogen dengan potensi neurologis yang
atau kultur jaringan otak tidak diketahui
 Pemeriksaan PCR CSF jarang positif

Arbovirus Serologi merupakan pemeriksaan  PCR sering negatif karena stadium viremia
terbaik untuk sebagian besar akut sering selesai pada saat presentasi
arbovirus: IgM CSF, IgM dan klinis
IgG serum (serum berpasangan  PCR dapat membantu pada pejamu (host)
jika memungkinkan) untuk virus imunokompromais atau sangat awal dalam
tertentu seperti yang disarankan perjalanan klinis penyakit
berdasarkan geografi:  IgG CSF untuk arbovirus spesifik biasanya
 West Nile virus (WNV) tidak membantu karena integritas sawar
 Virus serogroup California darah-otak dapat terganggu; Kontaminasi
(misalnya La Crosse virus darah CSF dapat menyebabkan hasil positif
[LACV]) palsu untuk IgM dan IgG.
 Eastern equine encephalitis  IgM dapat bertahan selama beberapa bulan
virus (EEEV) dan terkadang >1 tahun; lebih mungkin
 Powassan virus (POWV) bertahan dalam serum, tetapi persistensinya
 St. Louis encephalitis virus juga telah ditemukan dalam CSF
(SLEV)  Reaktivitas silang serologis antara
 Western equine encephalitis arbovirus dari keluarga yang sama
virus (WEEV) (antibodi WNV, SLEV, dan POWV yang
bereaksi silang; misalnya individu dengan
infeksi dengue sebelumnya akan
memperlihatkan hasil positif pada
pemeriksaan IgG WNV)
 Antibodi biasanya positif pada awal
presentasi penyakit tetapi jika negatif,
ulangi pada spesimen selanjutnya
 WNV: PMN dapat bertahan di CSF
 WNV: Limfosit reaktif di CSF (misalnya
Mollaret-like cells) juga telah ditemukan
 EEEV: Jumlah leukosit CSF mungkin mirip
dengan meningitis bakterial (misalnya
jumlah mencapai 4.000/mm3 ditemukan)
 Pemeriksaan POWV hanya tersedia di
CDC dan beberapa laboratorium negara
bagian
Cytomegalovirus  PCR CSF  Serologi dapat menimbulkan masalah; IgM
(CMV)a positif palsu tidak jarang terjadi
 PCR: positif palsu (pertimbangkan jika
viral load rendah); CMV di CSF juga
terlihat mungkin karena infeksi laten
 Limfosit atipikal di CSF
Enterovirus (EV)  PCR CSF  Pemeriksaan PCR EV pada CSF saja
 PCR saluran pernapasan mungkin melewatkan infeksi karena EV
 PCR atau kultur feses hanya muncul sementara di CSF;
pemeriksaan area non-SSP (PCR sampel
saluran pernapasan, kultur feses virus)
untuk meningkatkan hasil
Epstein-Barr  PCR CSF  Kedua serologi (serum) dan PCR (CSF)
virus (EBV)  Serum: IgM/IgG anti-VCA, untuk EBV direkomendasikan
anti-EBNA  Sensitivitas rendah heterofil pada anak di
 Heterofil bawah usia 5 tahun
 PCR positif palsu dapat terjadi jika terdapat
sel mononuklear (laten) yang terinfeksi
EBV
 PCR EBV CSF dapat menjadi negatif pada
kasus “asli/sejati(true)” karena waktu LP
(terlambat) atau mekanisme selain invasi
saraf langsung
 Limfosit atipikal di CSF atau darah tepi
konsisten dengan EBV tetapi tidak selalu
ada.
Hepatitis C virus  PCR CSF Patogen dengan potensi neurotropik yang
tidak diketahui
Herpes simplex  PCR CSF  HSV-1 menyebabkan sebagian besar HSE
virus 1 (HSV-1)  Antibodi intratekal jika gejala (di luar periode neonatal)
>1 minggu  ~5% – 10% pasien HSE memiliki formula
CSF normal pada LP pertama, terutama
pada anak-anak
 PCR negatif palsu terjadi; jika secara klinis
dicurigai adanya HSE, pertimbangkan
untuk mengulang pungsi lumbal (LP) di
awal perjalanan penyakit untuk mengulang
PCR HSV CSF dan tes antibodi HSV
intratekal
 Adanya IgG atau IgM dapat
mengindikasikan infeksi SSP; namun,
integritas sawar darah-otak dan
kontaminasi CSF-darah perlu
dipertimbangkan saat menginterpretasikan
hasil
Herpes simplex  PCR CSF  Adanya IgG atau IgM dapat
virus 2 (HSV-2)  Antibodi intratekal jika gejala mengindikasikan infeksi SSP; namun,
>1 minggu integritas sawar darah-otak dan
kontaminasi CSF-darah perlu
dipertimbangkan saat menginterpretasikan
hasil

Human herpes  PCR CSF  Patogen dengan potensi neurologis yang


virus 6 (HHV-6)  (PCR darah kuantitatif jika tidak diketahui
CSF positif untuk menentukan  Tidak semua hasil PCR HHV-6 CSF yang
integrasi kromosom) positif berkorelasi dengan penyakit; bila
positif, penting untuk mempertimbangkan
integrasi kromosom atau infeksi laten
Human herpes  PCR CSF  Frekuensi penyakit SSP yang tidak
virus 7 (HHV-7) diketahui
 Patogen dengan potensi neurologis yang
tidak diketahui; deteksi virus dapat
mewakili penyakit akut tetapi juga bisa
mewakili virus laten
HIV  ELISA dan Western blot (serum
tunggal)
 Plasma dan PCR CSF
Human  PCR saluran pernapasan (NP  Patogen dengan potensi neurologis yang
metapneumovirus atau tenggorok) tidak diketahui
 PCR CSF jarang positif
Virus influenza  Kultur virus saluran pernapasan  PCR CSF jarang positif
A/B  Pemeriksaan antigen virus  PCR pada spesimen saluran pernapasan
saluran pernapasan lebih sensitif dan spesifik daripada tes
 PCR saluran pernapasan (jika antigen
di atas negatif)  Sebagian besar kasus adalah ensefalopati
(dibandingkan dengan ensefalitis).
Virus JCa  PCR CSF  Hasil positif memperkuat diagnosis; hasil
negatif tidak menutup kemungkinan.
Virus  IgM/IgG CSF  Profil CSF dapat menyerupai etiologi
Lymphocytic  IgM/IgG serum bakteri (misalnya, WBC CSF terkadang
choriomeningitis >3.000, dominasi PMN, glukosa rendah
(LCM) dan/atau protein yang sangat tinggi)
 Salah satu dari sedikit virus yang dapat
menurunkan glukosa di CSF
Virus campak  Antibodi CSF  Penyakit SSP terjadi ~1 minggu setelah
(measles)—akut  PCR CSF demam atau ruam
 IgG/IgM serum (sampel serum  PCR measles dan pemeriksaan antibodi
berpasanganb jika (serum dan CSF)
memungkinkan)
 PCR jaringan otak
Virus campak  Antibodi IgG CSF  Masa inkubasi beberapa tahun
(measles)—  Antibodi IgG serum  Karena SSPE merupakan hasil dari infeksi
SSPEc  PCR jaringan otak lama, IgM akan negatif; Kadar IgG di CSF
dan serum sangat tinggi
 PCR measles CFS jarang positif, PCR
jaringan otak positif
 Formula CSF umumnya normal
 Pita oligoclonal ditemukan di CSF
Virus parotitis  PCR atau kultur CSF  Salah satu dari sedikit virus yang dapat
(mumps)  IgM/IgG CSF menyebabkan glukosa rendah di CSF
 IgM/IgG serum (sampel serum
berpasanganb jika
memungkinkan)
 PCR swab tenggorok
Parvovirus B19  IgM Serum  Patogen dengan potensi neurologis yang
 PCR CSF tidak diketahui
Virus rabies Antemortem:  Koordinasikan pemeriksaan dengan
 Antibodi serum departemen kesehatan lokal dan negara
 PCR saliva bagian serta CDC
 PCR biopsi nukal dan DFA  Tes antemortem dimungkinkan; beberapa
 DFA jaringan otak; sampel dan pemeriksaan yang berbeda
Postmortem: penting untuk dijalankan. Pemeriksaan
 Jaringan otak; isolasi virus atau antemortem negatif tidak
deteksi antigen mengesampingkan rabies.
Respiratory  Antigen RSV  Patogen dengan potensi neurologis yang
syncytial virus tidak diketahui
(RSV)  PCR CSF jarang positif
 Profil CSF umumnya normal
Rotavirus  Antigen feses  Patogen dengan potensi neurologis yang
 PCR CSF (tersedia tidak diketahui
pemeriksaan laboratorium  Biasanya anak kecil dengan riwayat diare;
khusus, misalnya CDC) mekanismenya masih tidak jelas
 Profil CSF seringkali normal
Virus Rubella  Serologi  Salah satu virus penyebab glukosa CSF
 Antibodi CSF rendah
Varicella-zoster  PCR CSF  Karena beberapa infeksi SSP terkait VZV
virus (VZV)  Antibodi intratekal jika gejala mengalami reaktivasi, IgM tidak selalu
>1 minggu positif
 IgM/IgG serum  Lesi kulit VZV positif tidak membuktikan
 Lesi kulit: DFA atau PCR etiologi SSP tetapi mungkin sugestif
etiologi
West Nile virus Lihat arbovirus (di atas)
Jamur Infeksi SSP oleh jamur sering dikaitkan
dengan pleositosis CSF dengan dominasi
limfositik, glukosa rendah, dan protein >100
mg/dL. Pemeriksaan antigen dengan
perlakuan "EDTA-heat" dilaporkan
meningkatkan sensitivitas untuk sampel
serum dan CSF. Penyakit SSP yang terisolasi
bisa sulit didiagnosis karena pemeriksaan
yang tidak sensitif.
 Perhatikan lokasi geografis dari infeksi
jamur yang berbeda; pesan antigen untuk
setiap jamur tertentu.
Coccidioides  Kultur CSF (volume besar)  Laporkan pada laboratorium bahwa
spp.c diagnosis coccidiomycosis sedang
dipertimbangkan jika kultur jamur dikirim
Cryptococcus  Antigen spesifik CSF  Eosinofil terkadang terdapat di CSF pada
spp.c pasien coccidiomycosis
Histoplasma  Antibodi spesifik CSF
capsulatum dan  Pemeriksaan CSF dengan
Blastomyces sp.c pewarnaan tinta India (hanya
untuk Cryptococcus)
 Antigen spesifik-serum
 Antibodi spesifik-serum
 Antigen urin (Histoplasma dan
Blastomyces)

Parasit dan amoeba yang hidup bebas (free-living amoeba)


Naegleria fowleri  CSF wet mount  Koordinasikan pemeriksaan dengan
 Histopatologi otak departemen kesehatan lokal dan negara
bagian serta CDC
 Demonstrasi amoeba motil pada CSF wet
mount
 LP sering menunjukkan WBC yang sangat
tinggi (seringkali dominasi PMN), protein
tinggi (>100 mg/dL), dan glukosa rendah
(<50 mg/dL).
Balamuthia  Serologi  Kordinasikan pemeriksaan dengan
mandrillarisc  PCR otak dan/atau CSF departemen kesehatan lokal dan negara
 Histopatologi otak (pewarnaan bagian serta CDC
khusus)  Serologi dan PCR tersedia di laboratorium
khusus (CDC)
 Jaringan otak dapat menunjukkan
meningoensefalitis nekrotik dan
hemoragik.
 LP sering menunjukkan WBC (L atau
PMN) yang tinggi dan protein >100 mg/dL,
menyerupai meningitis tuberkulosis.
Acanthamoeba  Serologi (laboratorium  Koordinasikan pemeriksaan dengan
spp.a,c penelitian) departemen kesehatan lokal dan negara
 PCR otak dan/atau CSF bagian serta CDC
 Histopatologi otak (pewarnaan  Serologi dan PCR tersedia di laboratorium
khusus) khusus
Baylisascaris  Antibodi serum dan CSF  Serologi tersedia di laboratorium khusus
procyonis (CDC)
 Eosinofil hampir selalu ditemukan di CSF
dan CBC
Toxoplasma  Anak yang lebih tua: IgG, IgM,  Seringkali merupakan reaktivasi penyakit,
gondiia dan PCR sehingga IgM mungkin tidak positif; Titer
IgG terus-menerus tinggi
Bakteri
Bartonella  Serologi (IFA)  PCR CSF (jika tersedia) mungkin juga
henselae  PCR kelenjar getah bening berguna untuk dilakukan
 CSF seringkali negatif
Borrelia  Serologi (Western blot dan EIA  Pemeriksaan serum dan CSF untuk antibodi
burgdorferi serial) Borrelia; mungkin tertunda dalam sintesis
 Indeks antibodi CSF intratekal SSP
 PCR CSF jarang positif (berbeda dengan
cairan sinovial) tetapi mungkin berguna
pada beberapa kasus
Brucella spp.  IgG dan IgM CSF  Serologi—lakukan pada CSF dan serum;
 Kultur CSF kultur meningkatkan sensitivitas
 IgG dan IgM serum  PCR tersedia di beberapa tempat penelitian;
sensitivitas tidak diketahui
 IgM positif palsu tidak jarang
Leptospira spp.  IgM dan IgG serum  Jika serologi negatif pada serum akut,
 Kultur urin pemeriksaan penting untuk diulangi pada
serum konvalesen
Listeria  Kultur bakteri rutin pada CSF  Kultur CSF untuk Listeria yang relatif
monocytogenes dan darah tidak sensitif
 Kultur CSF multipel mungkin  Profil CSF tidak selalu terlihat seperti
dapat membantu bakteri, yaitu dapat normal atau hanya
memiliki beberapa ratus leukosit dengan
dominasi limfosit; glukosa dan protein
mungkin normal
 Pemeriksaan antibodi Listeria CSF juga
dapat membantu karena deteksi antibodi
CSF dapat mengindikasikan infeksi SSP
Mycobacterium  Pemeriksaan langsung, PCR,  PCR CSF adalah alat yang tidak sensitif
tuberculosis kultur, smear AFB untuk mendeteksi M. tuberculosis SSP;
 Kultur saluran pernapasan penting untuk memeriksa beberapa sampel
sangat sugestif  M. tuberculosis SSP harus dipertimbangkan
pada pasien dengan pleositosis limfositik
(namun dominasi neutrofilik masih dapat
terjadi), protein CSF >100 mg/dL, dan
glukosa CSF <50 mg/dL.
Mycoplasma  PCR dari NP atau spesimen  Patogen dengan potensi neurologis yang
pneumoniae saluran pernapasan lainnya tidak diketahui
 IgM serum  Lakukan PCR pada sampel saluran
 IgG serum berpasangan pernapasan, serologi pada serum akut atau
konvalesen
 PCR CSF jarang positif
 Titer IgG tunggal tidak membantu.
Treponema  VDRL CSF  VDRL spesifik CSF tetapi FTA-ABS CSF
pallidum  PCR serum dengan konfirmasi lebih sensitif
FTA-ABS
Rickettsia Pada pasien dengan infeksi rickettsia,
leukosit perifer rendah, trombosit rendah, dan
peningkatan liver function tests (LFTS)
sering muncul
Anaplasma  Morula pada leukosit  Jika serologi negatif pada serum akut,
phagocytophilum (granulosit) penting untuk melakukan pemeriksaan
 PCR whole blood ulang pada serum konvalesen (serokonversi
 Serologi IgG/IgM (serumb dapat terjadi beberapa minggu setelah
berpasangan jika onset)
memungkinkan)
Coxiella  Serologi pada sampel serum  Kegunaan PCR Coxiella burnetii di CSF
burnetiid berpasangan tidak diketahui
Ehrlichia  Morula pada leukosit (monosit)  Jika serologi negatif pada serum akut,
chaffeensis  PCR whole blood penting untuk melakukan pemeriksaan
 IgG/IgM serum (serumb ulang pada serum konvalesen (serokonversi
berpasangan jika dapat terjadi beberapa minggu setelah
memungkinkan) onset)
Ehrlichia ewingii  Morula pada leukosit  Jika serologi negatif pada serum akut,
(granulosit) penting untuk melakukan pemeriksaan
 PCR whole blood ulang pada serum konvalesen (serokonversi
 IgG/IgM serum dapat terjadi beberapa minggu setelah
onset)
Rickettsia spp.  Serologi (IFA)  Jika serologi negatif pada serum akut,
 Biopsi kulit yang ruam—PCR penting untuk melakukan pemeriksaan
atau pewarnaan ulang pada serum konvalesen (serokonversi
imunohistokimia dapat terjadi beberapa minggu setelah
onset)
NP, nasopharyngeal (nasofaring); DFA, direct fluorescent antibody; EDTA, ethylenediaminetetraacetate; CBC,
complete blood count (hitung darah lengkap); EIA, enzyme immunoassay; AFB, acid-fast bacilli (basil tahan
asam); VDRL, Venereal Disease Research Laboratory (Laboratorium Penelitian Penyakit Kelamin); FTA-ABS,
fluorescent treponemal antibody-absorption; PMN, polymorphonuclear cells (sel polimorfonuklear).
a
Menyebabkan ensefalitis terutama pada neonatus dan/atau hospes dengan imunokompromais.
b
Pemeriksaan harus dilakukan pada serum akut dan kemudian ketika serum akut dan konvalesen tersedia.
c
Biasanya muncul sebagai penyakit kronis subakut.
Data dari Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC, dkk. Case defi nitions, diagnostic algorithms, and priorities in encephalitis:
consensus statement of the International Encephalitis Consortium. Clin Infect Dis. 2013;57(8):1114–1128.

PEMERIKSAAN DARI ETIOLOGI TERPILIH


Pemeriksaan Virus
Studi khusus untuk agen virus sering menggunakan pengujian atau pemeriksaan molekuler.
Pemeriksaan molekuler dengan amplifikasi asam nukleat (misalnya, PCR) memberikan hasil
yang lebih tepat waktu dan biasanya lebih sensitif dibandingkan dengan kultur untuk infeksi
virus pada SSP (116,192,193). Namun, keterbatasan pemeriksaan ini sering tidak diketahui
oleh dokter, khususnya hasil negatif palsu dan positif palsu seperti yang dibahas pada bagian
berikut untuk agen tertentu. Pemeriksaan untuk sintesis antibodi intratekal dari patogen
spesifik seperti arbovirus dan herpesvirus dapat menjadi tambahan yang berguna untuk
diagnosis, terutama pada stadium akhir dari penyakit (lihat pembahasan berikut).
Pada pasien dengan gejala pernapasan sebelumnya atau yang terjadi secara
bersamaan, kultur virus dari saluran pernapasan harus dilakukan di awal pemeriksaan di
rumah sakit untuk mengoptimalkan pemulihan virus. Ketika agen tertentu seperti influenza
atau virus lain dicurigai tetapi kultur virusnya negatif, tes PCR khusus agen juga harus
dilakukan. Demikian pula, jika ada riwayat diare sebelumnya atau terjadi bersamaan, kultur
feses untuk virus dan, mungkin, bakteri patogen harus dilakukan. Pada anak-anak, kultur
virus pada feses dan/atau PCR EV harus dilakukan secara rutin untuk meningkatkan deteksi
EV, terlepas dari adanya diare.

Herpesvirus
Tes diagnostik pilihan untuk HSE adalah pemeriksaan asam nukleat (PCR) DNA HSV-1 dari
CSF. Jika pengujian dari LP pertama negatif dan HSE masih dicurigai (misalnya, keterlibatan
lobus temporal terlihat pada neuroimaging atau pencitraan saraf), LP kedua harus dilakukan
dalam 24 hingga 48 jam karena sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa PCR HSV
dapat negatif palsu, terutama di awal perjalanan penyakit dan pada kelompok usia anak
(22,189). Untuk HSE, antibodi intratekal dapat dilakukan sebagai pelengkap pemeriksaan
molekuler, dan ini mungkin sangat membantu dalam menegakkan diagnosis di kemudian
hari. Sintesis antibodi IgG spesifik HSV intratekal seringkali dapat dideteksi dalam 10 hingga
14 hari setelah timbulnya penyakit (194).
Seperti disebutkan di bagian klinis dan epidemiologi, spektrum klinis infeksi SSP
yang terkait dengan HSV-2 seringkali berbeda dengan HSV-1. Pengujian atau pemeriksaan
molekuler CSF untuk keberadaan asam nukleat merupakan metode yang paling dapat
diandalkan untuk diagnosis HSV-2; pemeriksaan antibodi intratekal dapat digunakan sebagai
tambahan seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk HSV-1.
Karena ensefalitis terkait VZV merupakan salah satu penyebab paling umum dari
ensefalitis pada orang dewasa, pemeriksaan VZV harus dilakukan pada semua pasien dewasa,
dengan atau tanpa lesi kulit. Pemeriksaan harus mencakup PCR VZV CSF dan antibodi VZV
CSF (195). Meskipun deteksi antibodi VZV di CSF bisa lebih sensitif dibandingkan dengan
PCR, sintesis intratekal mungkin tertunda seminggu atau lebih setelah timbulnya gejala
neurologis (196,197). Dalam kejadian tap traumatis, membedakan sintesis antibodi intratekal
dengan kontaminasi darah dari CSF dapat dicapai dengan perhitungan indeks antibodi (198).
Untuk diagnosis ensefalitis terkait EBV, pemeriksaan serologi dan molekuler
direkomendasikan (40). Viral load kuantitatif dapat membantu, karena viral load yang tinggi
mendukung adanya infeksi SSP yang signifikan, sedangkan PCR positif yang rendah di CSF
dapat mewakili virus laten dan mungkin hanya temuan insidental (199,200). Sebaliknya,
tidak adanya PCR positif dalam pemeriksaan serologi EBV akut tidak mengesampingkan
infeksi akut, dan PCR negatif mungkin merupakan hasil dari waktu LP (yaitu, setelah virus
dibersihkan dari CSF) atau mungkin mencerminkan suatu mekanisme selain infeksi langsung.
Tes PCR CSF direkomendasikan untuk diagnosis HHV-6 dan HHV-7; namun, temuan
PCR CSF positif untuk HHV-6 atau HHV-7 belum tentu setara dengan diagnosis ensefalitis
terkait HHV-6 atau HHV-7. Hal ini karena DNA HHV-6 dapat hadir dalam jaringan otak
normal dan HHV-6 dapat diidentifikasi dalam CSF sebagai "pengamat (bystander)" insidental
daripada penyebab infeksi (201). Selain itu, integrasi kromosom harus dianggap sebagai
alasan potensial pada PCR positif di CSF. Jika PCR HHV-6 CSF positif diperoleh, evaluasi
HHV-6 dalam darah harus dilakukan untuk membedakan antara integrasi kromosom dan
infeksi akut (48).

Enterovirus dan Parechovirus


Pemeriksaan PCR pada CSF dan spesimen tenggorok harus dilakukan; jika hanya CSF yang
diuji, diagnosis mungkin terlewatkan. Misalnya, dalam wabah EV-71 di Amerika Serikat,
PCR EV di CSF positif hanya 5 (31%) dari 16 kasus, sedangkan pemeriksaan PCR spesimen
tenggorok positif secara seragam (202,203). Karena EV dapat dikeluarkan dalam tinja atau
feses selama berminggu-minggu setelah infeksi, kultur feses untuk EV dapat meningkatkan
hasil diagnostik; untuk alasan yang sama, feses positif memberikan kesan sugestif, tetapi
tidak mengonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan parechovirus harus dipertimbangkan pada
semua anak di bawah usia 3 tahun dengan kisaran sampel biologis yang sama yang diuji
sebagai EV. Parechovirus hanya dapat dideteksi dengan tes PCR khusus parechovirus.

Arbovirus
Pada sebagian besar arbovirus, pemeriksaan serologis CSF dan serum lebih disukai daripada
pemeriksaan molekuler karena puncak viremia umumnya terjadi sebelum timbulnya gejala
(204). Diagnosis infeksi WNV biasanya dilakukan melalui deteksi IgM antibody capture
enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA) atau perubahan titer antibodi empat kali
lipat atau lebih besar pada serum berpasangan atau serum konvalesen. Sekitar 90% pasien
dengan penyakit neuroinvasif akan terdeteksi antibodi IgM CSF pada hari ke 8 sampai 10
setelah onset gejala (205). Namun, IgM WNV dapat bertahan untuk waktu yang lama, dengan
titer IgM yang terdeteksi bertahan lebih dari 500 hari setelah presentasi pada beberapa
individu dengan penyakit neuroinvasif (206). Selain itu, ada reaktivitas silang serologis
antara flavivirus (SLEV, virus dengue, yellow fever virus, atau JEV), sehingga individu yang
terinfeksi, atau divaksinasi, salah satu dari agen ini dapat memperlihatkan hasil positif untuk
WNV oleh IgM MAC-ELISA. Diferensiasi WNV dari flavivirus lainnya dicapai dengan
pengujian atau pemeriksaan plaque reduction neutralization (PRNT) (207).
Untuk arbovirus lainnya, metode standar untuk diagnosisnya serupa, yaitu melalui
deteksi IgM atau perubahan titer antibodi empat kali lipat atau lebih pada serum berpasangan
akut dan konvalesen (208).

Pemeriksaan Virus Lainnya


Diagnosis rabies harus dipertimbangkan pada ensefalitis yang berkembang pesat.
Pemeriksaan antemortem untuk rabies memerlukan pemeriksaan yang sangat terspesialisasi
di laboratorium kesehatan masyarakat dengan menggunakan kombinasi berbagai tes dan jenis
spesimen (209). Setiap kali diagnosis rabies dilakukan, konsultasi dengan otoritas kesehatan
masyarakat sangat dianjurkan. Pengujian untuk virus lain harus dilakukan berdasarkan
penyesuaian dengan pajanan atau riwayat perjalanan.

Pemeriksaan Bakteri

Dalam kebanyakan kasus, deteksi patogen bakteri rutin melalui pewarnaan Gram dan/atau
kultur cukup mudah. Kultur bakteri CSF untuk L. monocytogenes, bagaimanapun, relatif
tidak sensitif dibandingkan dengan banyak agen bakteri lainnya. Selain itu, berbeda dengan
banyak patogen bakteri, profil CSF pasien listeriosis SSP, terutama mereka dengan
rhombencephalitis, dapat tampak normal atau mirip dengan penyakit virus dengan hanya
pleositosis ringan, yang lebih didominasi limfositik dibandingkan dengan dominasi
polinuklear, dan protein normal hingga kenaikan minimal (109) (lihat Tabel 6.3).

Neurotuberkulosis juga sulit didiagnosis. Sensitivitas PCR tuberkulosis (TB) CSF


sangat buruk; sensitivitas yang dilaporkan kurang dari 25% dalam beberapa penelitian (102).
Hal ini mungkin karena jumlah atau load basiler yang rendah di CSF, volume CSF yang
relatif kecil yang diajukan untuk pemeriksaan, atau penghambat (inhibitor) PCR dalam
sampel (210). Pemeriksaan dari area SSP dan ekstra-SSP harus dilakukan untuk pemeriksaan
neuro-TB (lihat Tabel 6.3).

Pemeriksaan Jamur

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh jamur biasanya merupakan penyakit subakut.


Kultur jamur dari CSF harus dilakukan pada individu dengan gejala yang muncul perlahan
atau secara lambat, individu dengan gangguan imun (imunokompromais), atau ketika temuan
CSF memberikan hasil yang sugestif (misalnya pleositosis limfositik CSF, protein tinggi, dan
glukosa rendah). Jika dicurigai adanya etiologi jamur, beberapa pemeriksaan berbeda
termasuk kultur, pemeriksaan antigen, dan serologi pada spesimen SSP dan non-SSP harus
dilakukan (lihat Tabel 6.3) (211).

Pemeriksaan Riketsia

Pemeriksaan diagnostik serupa untuk sebagian besar infeksi rickettsia. Serologi merupakan
metode yang paling banyak digunakan, dan pemeriksaan indirect fluorescent antibody (IFA)
dianggap sebagai standar emas (gold standard). Karena tes serologi mungkin negatif pada
awal penyakit, deteksi agen rickettsia dalam darah atau jaringan dengan tes molekuler
(misalnya PCR) mungkin berguna. Konfirmasi penyakit paling baik dicapai dengan evaluasi
spesimen serum berpasangan yang dikumpulkan selama fase akut dan fase penyembuhan atau
konvalesen penyakit untuk perubahan titer antibodi empat kali lipat atau lebih.
Imunohistokimia jaringan pasien (misalnya otak) merupakan metodologi lain yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis infeksi rickettsia (212).

Pemeriksaan Parasit dan Amoeba yang Hidup Bebas (Free-Living Amoeba)

Diagnosis Baylisascaris sering didapatkan dari riwayat paparan rakun (atau kotorannya),
gejala klinis, dan eosinofilia persisten dalam darah dan cairan spinal. Tes serologi tersedia di
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Pada pasien dengan riwayat perjalanan
ke luar Amerika Serikat dengan adanya eosinofilia CSF, baik gnathostomiasis dan
Angiostrongylus harus dipertimbangkan. Pemeriksaan ELISA telah dikembangkan tetapi
tidak tersedia secara luas (213). Tes molekuler untuk Angiostrongylus tersedia di CDC.

Teknologi molekuler juga tersedia untuk identifikasi DNA dari Balamuthia dan
Acanthamoeba di jaringan dan CSF (PCR CSF kurang sensitif dibandingkan PCR jaringan
otak) tetapi sebagian besar terbatas pada laboratorium penelitian dan CDC.

MODALITAS NEUROIMAGING
Neuroimaging memainkan peran penting dalam evaluasi pasien dengan dugaan ensefalitis,
karena dapat mendukung diagnosis etiologi tertentu atau mengidentifikasi kondisi alternatif
yang menyerupai ensefalitis (Tabel 6.4). Studi yang tersedia secara rutin untuk mengevaluasi
pasien dengan dugaan ensefalitis termasuk tomografi terkomputasi atau computed
tomography (CT) dan pencitraan resonansi magnetik atau magnetic resonance imaging
(MRI). Pemindaian CT melibatkan penerapan sinar-x untuk menghasilkan gambar tomografi,
menghasilkan delineasi struktur tulang yang sangat baik; MRI konvensional menggunakan
resonansi magnetik (MR) nuklir untuk mendeteksi inti hidrogen dan memberikan kontras
yang baik antara jaringan lunak. Dari keduanya, MRI jauh lebih sensitif dan spesifik untuk
evaluasi ensefalitis infeksius atau yang menular (214-216). Pencitraan MRI konvensional
memerlukan akuisisi berbagai urutan yang memberikan informasi pelengkap. Sebagai contoh,
pencitraan T1-weighted (T1W) cocok untuk mendefinisikan kelainan struktural; Pencitraan
T2-weighted (T2W) dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) dapat mengidentifikasi
area edema, demielinasi, atau peradangan; dan susceptibility-weighted imaging (SWI) sangat
berguna dalam mengidentifikasi area perdarahan. Pencitraan T1W setelah pemberian
gadolinium dapat mengidentifikasi daerah parenkim atau meningeal di mana sawar darah-
otak telah terganggu, seperti yang terjadi pada peradangan atau inflamasi aktif. Pada catatan
khusus tersedia diffusion-weighted imaging (DWI), yang mengidentifikasi daerah otak di
mana difusi air dibatasi dan mungkin lebih sensitif daripada urutan konvensional lainnya
untuk mendeteksi kelainan dini pada ensefalitis (217,218).
Beberapa modalitas pencitraan tambahan telah muncul untuk evaluasi ensefalitis.
Spektroskopi MR dapat mengidentifikasi sejumlah metabolit, termasuk N-acetylaspartate
(NAA), kolin, kreatin, dan laktat, berdasarkan pergeseran kimia proton yang unik.
Kuantifikasi rasio metabolit ini dapat memberikan informasi mengenai peradangan,
kehilangan neuron, dan demielinasi. Pencitraan single-photon emission computed
tomography (SPECT) dan fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET)
melibatkan deteksi radioisotop di dalam otak setelah injeksi ke dalam aliran darah dan dapat
memberikan informasi mengenai metabolisme. Teknik berbasis MR lainnya, termasuk
magnetization transfer dan diffusion tensor imaging, serta teknik pencitraan molekuler yang
memungkinkan untuk mendeteksi molekul spesifik penyakit, saat ini sedang dioptimalkan
dan mungkin pada akhirnya menjanjikan dalam evaluasi pasien dengan ensefalitis (219).

TABEL 6.4 NEUROIMAGING PADA ENSEFALITIS AKUT

Lokasi Kemungkinan Etiologi Karakteristik Pencitraan Kemungkinan Etiologi


Ganglia basalis Arboviruses Arteritis/infark Aspergillus spp.a
Enteroviruses Virus Chikungunya
Epstein-Barr virus (EBV) Virus Nipah
Influenza virus (ANE) Treponema pallidum
Virus measles (infeksi akut) Varicella-zoster virus (VZV)
Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis
Virus saluran pernapasan Infeksi jamur lainnya
Ensefalitis anti-NMDAR
Batang otak Arboviruses Kalsifikasi Cytomegalovirus (neonatus)
Brucellosis Toxoplasma gondii
Enteroviruses (neonatus; periventricular)a
Epstein-Barr virus (EBV)
Herpes simplex virus 1 Perdarahan Herpes simplex virus 1
Influenza virus (ANE) Influenza (ANE)
Japanese encephalitis Varicella-zoster virus (VZV)
Listeria monocytogenes
Hidrosefalus Balamuthia mandrillaris
Lyme
Coccidioides immitis
Mycobacterium tuberculosis
Histoplasma capsulatum
Rabies
Mycobacterium tuberculosis
West Nile virus
Toxoplasma gondii
Ensefalitis anti-NMDAR
(neonatus)a
Serebelum Epstein-Barr virus (EBV) Mikrosefali Cytomegalovirusa
Influenza virus (ANE) Toxoplasma gondii
Mycoplasma pneumoniae (neonatus)a
Varicella-zoster virus Space-occupying lesions Acanthamoeba spp.
West Nile virus (SOL) Balamuthia mandrillaris
Emsefalitis anti-NMDAR Mycobacterium tuberculosis
Corpus callosum West Nile virus Toxoplasma gondiia
Epstein-Barr virus (EBV) Fungal infections
Lobus frontal Enterovirus Substansia alba (berbeda Balamuthia mandrillaris
Herpes simplex virus 1 dengan ADEM) Baylisascaris procyonis
Herpes simplex virus 2 Borrelia burgdorferi
Treponema pallidum HPeV-3 (terutama neonatus)
Medula spinalis Arbovirus HIV
Enterovirus Virus JCa
Gnathostoma spp. Virus measles (SSPE)
Virus rabies West Nile virus
Cytomegalovirusa
Lobus temporal— Enteroviruses
unilateral Herpes simplex virus 1
La Crosse virus
Treponema pallidum
Lobus temporal— Enterovirus
bilateral Herpes simplex virus 1
Human herpesvirus 6/7/8a
Treponema pallidum
Ensefalitis anti-NMDAR
Ensefalitis anti-VGKC
Thalamus Arbovirus
Epstein-Barr virus (EBV)
Influenza virus (ANE)
a
Menyebabkan ensefalitis pada hospes imunokompromais dan/atau neonatus.

Pencitraan dari Etiologi Terpilih

Herpesvirus
Temuan neuroimaging atau pencitraan saraf dari ensefalitis yang disebabkan oleh HSV-1
mencerminkan predileksinya pada sistem limbik, dengan seringnya keterlibatan lobus frontal
inferior dan temporal medial (Gambar 6.4).
Pada stadium akut, HSE biasanya menyebabkan edema, peradangan, atau perdarahan.
Meskipun CT scan awal normal pada 25% individu yang terkena, lebih dari 90% pasien
dengan HSE yang didokumentasikan oleh PCR CSF akan memiliki kelainan MRI (220-223).
Kelainan pada MRI konvensional muncul dalam waktu 48 jam dan termasuk lesi isointens
atau hipointens pada gambar T1W dan lesi hiperintens pada gambar T2W atau FLAIR.
Perubahan DWI, yang mungkin mencerminkan akumulasi air intraseluler yang cepat dalam
pengaturan transportasi ion yang terganggu selama infeksi akut, terlihat lebih awal
(218,224,225). MRI lebih unggul daripada CT dalam mendeteksi perdarahan subakut (>1
minggu). Peningkatan kontras pada MRI biasanya dalam pola gyrus kortikal dan sering
tertinggal dari onset gejala (226). Kelainan ekstratemporal terjadi pada lebih dari separuh
kasus dan mungkin melibatkan hemisfer otak, thalamus, dan batang otak (227-229).
Khususnya, pada hingga 15% pasien, keterlibatan ekstratemporal mungkin merupakan satu-
satunya kelainan neuroimaging yang diamati (229) dan lebih mungkin terjadi pada populasi
pediatrik dan imunokompromais (230-232). Temuan spektroskopi MR juga telah dijelaskan,
meskipun penggunaan klinis dari modalitas pencitraan ini dalam evaluasi HSE masih belum
ditentukan. Kelainan, yang biasanya meliputi penurunan NAA dan peningkatan kolin,
myoinositol, dan laktat, dianggap mewakili hilangnya integritas neuron dan nekrosis disertai
infiltrasi makrofag dan gliosis (233-235).
Dalam beberapa rangkaian kasus ensefalitis terkait VZV, temuan yang paling
menonjol adalah tidak adanya kelainan pencitraan otak pada sebagian besar pasien. Pada
sebagian kecil pasien, daerah yang terkena termasuk lobus temporal dan batang otak.
Peringatan penting ialah bahwa banyak pasien dalam rangkaian ini hanya menjalani CT scan
(32,236). Vaskulopati terkait VZV sering dikaitkan dengan hiperintensitas T2W pada
substansia alba dan pada persimpangan substansia grisea-alba (gray–white matter junctions)
pada MRI, dengan bukti iskemia atau perdarahan (25). Abnormalitas pencitraan yang paling
sering dilaporkan pada ensefalitis terkait EBV meliputi hiperintensitas multipel dan difus
pada pencitraan T2W dan FLAIR, seringkali bersifat sementara dan dengan keterlibatan
splenium dari corpus callosum (237-239).
Ensefalitis limbik terkait HHV-6 biasanya melibatkan lobus temporal medial
(hippocampus, korteks entorhinal, dan amygdala). Area kortikal dan subkortikal tambahan
dapat terlibat dan mungkin terkait dengan subtipe klinis spesifik (240,241). Area yang terlibat
dicirikan oleh hiperintensitas T2W dan derajat peningkatan yang bervariasi. Selain itu,
peningkatan pengambilan glukosa hippocampus, yang menunjukkan peningkatan aktivitas
metabolisme, telah terdeteksi oleh FDG-PET (242,243). Meskipun baik HSE dan HHV-6
yang menyebabkan ensefalitis limbik berhubungan dengan kelainan temporal medial, sebuah
studi baru-baru ini menunjukkan bahwa keterlibatan ekstratemporal dini lebih mungkin
terjadi pada HSE (244). Jarang, infeksi HHV-6 pada SSP dikaitkan dengan sindrom yang
mirip dengan ANE (51,245).

Enterovirus
Meskipun poliovirus hampir sepenuhnya menghilang di negara maju, EV nonpolio
merupakan penyebab penting dari ensefalitis yang menyeluruh dan menyebar. Dalam kasus
seperti itu, neuroimaging biasanya memperlihatkan gambaran yang normal. Namun, EV
tertentu dapat menyebabkan manifestasi klinis dan radiografi yang serupa dengan poliovirus.
EV-71, misalnya, ditandai dengan hiperintensitas T2W bilateral simetris di batang otak
dorsal, nukleus dentate serebelum, dan anterior horn dari medulla spinalis servikal pada MRI
(246,247) (Gambar 6.5).
Seperti pada banyak kasus ensefalitis akut, DWI tampaknya lebih sensitif
dibandingkan rangkaian konvensional lainnya untuk mendeteksi lesi EV-71 (248).
Ensefalomielitis terkait echovirus 7 (echovirus 7-associated encephalomyelitis) juga
berhubungan dengan distribusi topografi serupa pada MRI (249). Laporan terisolasi dari lesi
hippocampus unilateral dan bilateral dalam kondisi infeksi enteroviral akut juga telah
dijelaskan (250,251).

GAMBAR 6.4 Temuan khas MRI dalam kasus HSE pada sekuens FLAIR potongan (A)
koronal dan (B) aksial.

GAMBAR 6.5 MRI T2 potongan aksial


menunjukkan hiperintensitas simetris di medula
pada ensefalitis terkait EV-71. (Sumber dari
Philip Britton, The Children’s Hospital,
Westmead, NSW, Australia.)
Arbovirus
Kelainan neuroimaging pada WNV sering melibatkan substansia grisea yang dalam,
meskipun temuan sangat bervariasi dan hingga setengah dari pasien mungkin memiliki MRI
otak yang normal (233,252,253). Pada mereka yang mengembangkan kelumpuhan atau
paralisis flaksid, pencitraan medulla spinalis dapat menunjukkan hiperintensitas T2W di
korda anterior dan peningkatan gadolinium dari cauda equina, conus medullaris, dan akar
saraf (252,254). Studi terbatas dari arbovirus lain, termasuk SLE, EEE, TBE, dan Murray
Valley encephalitis (MVE), menunjukkan keterlibatan substansia nigra dan substansia grisea
dalam lainnya, dan tiga virus terakhir mungkin juga menyerupai kelumpuhan atau paralisis
flaksid akut WNV baik secara klinis maupun radiografi (255,256). Tumpang tindih yang
cukup besar dalam spektrum neuroimaging dari arbovirus ini mencegah pemisahan antara
etiologi ini berdasarkan pencitraan saja.
JEV paling sering dikaitkan dengan hiperintensitas T2W pada MRI di thalamus,
dengan keterlibatan variabel dari substansia nigra, ganglia basalis, batang otak, serebelum,
dan korteks (257). Meskipun adanya kelainan thalamus sangat sensitif pada JEV dalam
kondisi klinis yang sesuai, ketidakhadirannya tidak mengesampingkan adanya JEV (258).
Keterlibatan lobus temporal medial juga telah dilaporkan, meskipun tidak seperti ensefalitis
terkait herpes, insula dan bagian anterior lobus temporal biasanya terhindar, sementara lesi
thalamus tambahan biasanya ditemukan (259,260). Dalam kasus JEV dengan penyakit
bifasik, regresi lesi sebelumnya dan munculnya lesi baru di area yang khas ditemukan
(261,262). Dalam kasus ensefalopati dengue, kelainan MRI fokal di sejumlah area otak telah
ditemukan. Selain itu, edema serebral umum telah dilaporkan dan mungkin terkait dengan
gangguan metabolisme yang menonjol yang diamati pada individu yang terkena (263).
Lesi substansia alba frontoparietal bilateral dengan difusi terbatas, sugestif terhadap
stroke subkortikal, telah dilaporkan dalam dua kasus ensefalitis terkait Chikungunya (264).
Namun, dalam rangkaian kasus lain, anak-anak dengan berbagai manifestasi SSP termasuk
ensefalitis, adanya kelainan MRI jarang ditemukan (265).

Rabies
Perjalanan klinis ensefalitis terkait rabies yang seringkali cepat menghadirkan tantangan
dalam mendapatkan pencitraan saraf atau neuroimaging. Data terbatas yang tersedia
menunjukkan hiperintensitas T2W difus yang memengaruhi substansia grisea dalam dan
kortikal otak dan medulla spinalis dalam bentuk rabies paralitik dan ensefalitis (266).
Meskipun kelainan juga dapat terlihat pada substansia alba, keterlibatan substansia grisea
yang dominan membedakan ensefalitis terkait rabies dari ADEM. Awalnya tidak ada
peningkatan kontras atau nonenhancing, lesi substansia grisea dapat menunjukkan
peningkatan kontras gadolinium setelah pasien menjadi koma (267).
Nipah
Pada fase akut, ensefalitis terkait Nipah dikaitkan dengan hiperintensitas T2W kecil dan
berbintik-bintik pada substansia alba subkortikal, sering membatasi difusi (268). Bukti
pencitraan mikroinfark ini sesuai dengan temuan patologis utama trombosis terkait vaskulitis
dan adanya antigen virus Nipah dalam sel otot endotel dan otot polos pembuluh darah (269).
Untuk subset pasien yang menderita kekambuhan gejala neurologis, MRI menunjukkan area
patchy dari keterlibatan kortikal konfluen pada MRI dan hipoperfusi fokal pada pencitraan
SPECT (270).

Hendra
Berbeda dengan virus Nipah, virus Hendra yang berkerabat dekat dikaitkan terutama dengan
kelainan substansia grisea pada kondisi meningoensefalitis. Dalam tiga kasus yang
dilaporkan, lesi hiperintens pada T2W melibatkan substansia grisea kortikal, dengan relatif
sedikit pada saluran substansia alba dalam dan serebelum. Lesi kortikal mungkin konfluen
atau multifokal, dan pembatasan difusi dapat dilihat pada DWI (271).

Campak (Measles)
Virus campak (measles) dapat menyebabkan sindrom SSP yang berbeda, termasuk ensefalitis
campak akut (acute measles encephalitis) dan SSPE. Pencitraan saraf atau neuroimaging
pada ensefalitis campak akut biasanya menunjukkan lesi hiperintens T2W simetris bilateral
yang melibatkan substansia alba dan struktur substansia grisea dalam pada pola yang dapat
menyerupai ADEM (272). Pembengkakan gyrus kortikal juga dapat terjadi pada keadaan
akut, dan perdarahan dapat berkembang di area substansia grisea selama beberapa hari hingga
beberapa minggu (273).
Tahap awal dari SSPE seringkali tidak ditandai dengan kelainan pada MRI
konvensional, meskipun FDG-PET dapat menunjukkan hipometabolisme kortikal dan
spektroskopi MR dapat menunjukkan penurunan kadar NAA (274). Seiring perkembangan
penyakit, hiperintensitas T2W di substansia alba subkortikal dan periventrikular dapat
berkembang, seperti halnya atrofi otak. Pada stadium akhir dari SSPE, perubahan luas pada
korteks, batang otak, dan serebelum dapat terlihat (275).

Parotitis (Mumps)
Ensefalomielitis setelah parotitis (mumps) dikaitkan dengan perubahan substansia alba pada
MRI otak dan mielopati ekstensif longitudinal pada pencitraan tulang belakang yang
mungkin tidak dapat dibedakan dari ADEM; jarang, lesi substansia alba hemoragik telah
dilaporkan (276-278).
Influenza
Temuan neuroimaging pada ensefalopati/ensefalitis terkait influenza cukup beragam. MRI
bisa normal atau mungkin menunjukkan edema otak difus atau keterlibatan thalamus yang
simetris (233,279,280). Kasus ensefalitis yang parah ditandai dengan hiperintensitas T2W,
perdarahan, dan difusi terbatas di thalamus, ganglia basalis, dan serebelum, konsisten dengan
ANE (281). Kasus yang lebih ringan dapat dikaitkan dengan lesi reversibel dari splenium
corpus callosum (282). Terutama, kelainan pencitraan yang disebabkan oleh virus 2009 H1N1
tampaknya tidak berbeda secara signifikan dari strain influenza lainnya (283-285).

Mycobacterium tuberculosis
TB kranial dapat muncul sebagai meningitis tuberkulosis / tuberculous meningitis (TBM),
tuberkuloma, atau abses—masing-masing memiliki karakteristik neuroimaging yang berbeda.
TBM dikaitkan dengan peningkatan meningeal basal, sering disertai dengan hidrosefalus,
stroke di ganglia basalis dan kapsula interna, dan pachymeningitis fokal atau difus (286-288).
Tuberkuloma intrakranial yang terdiri dari jaringan granulomatosa mungkin memiliki
tampilan yang bervariasi pada pencitraan T2W tergantung pada stadium patologis lesi;
tuberkuloma nonkaseosa (noncaseating) adalah hiperintens T2W, sedangkan yang dengan
kaseosa solid akan memperlihatkan tampilan isointens atau hipointens. Ketika likuefaksi
sentral terjadi, tuberkuloma dapat terlihat lebih mirip dengan abses. Lesi tersebut
menunjukkan hiperintensitas T2W yang dikelilingi oleh tepi hipointens perifer dan
menunjukkan peningkatan kontras tepi perifer pada pencitraan yang menggunakan kontras
(289).

Infeksi Jamur
Temuan neuroimaging pada infeksi jamur pada SSP seringkali tidak spesifik dan dapat
disalahartikan sebagai TBM, abses piogenik, atau tumor otak (290,291). Infeksi jamur dapat
menyebabkan meningitis basilar, hidrosefalus, vaskulitis, atau abses, dan kombinasi dari
semua ini dapat terlihat pada neuroimaging. Pada individu imunokompeten, abses jamur
tampak hipointens pada pencitraan T1W dan hiperintens pada pencitraan T2W, dengan
peningkatan rim yang terdefinisi dengan baik pada gambar pasca kontras, mirip dengan abses
piogenik atau tuberkular (290). Kemajuan terbaru telah dibuat dalam membedakan abses
jamur dari abses lainnya. Dalam satu studi, semua abses jamur menunjukkan proyeksi
intrakavitas yang diarahkan terpusat dari dinding, sebuah temuan yang tidak terlihat pada
jenis abses lainnya. Secara keseluruhan, ring-enhancing lesion dengan dinding yang tidak
teratur dan proyeksi intrakavitas tanpa peningkatan kontras (nonenhancing) kemungkinan
merupakan abses jamur (292). Deteksi disaccharide trehalose pada spektroskopi MR juga
dapat membedakan jamur dari abses nonjamur (292-294).
MRI seringkali normal pada meningitis kriptokokus, meskipun bukti meningitis
basilar dan/atau hidrosefalus yang tidak dapat dibedakan dari TBM dapat diamati. Parenkim
otak yang berdekatan juga dapat terpengaruh, menimbulkan cryptococcomas, paling sering
terlihat di otak tengah dan ganglia basalis. Lesi ini memiliki densitas bervariasi pada CT scan
dan, pada MRI, memperlihatkan tampilan hipointens pada pencitraan T1W dan hiperintens
pada pencitraan T2W. Peningkatan kontras bervariasi dan lebih sering terlihat pada individu
imunokompeten. Tidak seperti abses piogenik, cryptococcomas biasanya tidak menunjukkan
difusi terbatas pada DWI. Spektroskopi MR menunjukkan peningkatan laktat dan penurunan
NAA, kolin, dan kreatin (26,290,295).
Kelainan pencitraan pada pasien dengan coccidioidomycosis SSP dapat
mencerminkan stroke, granuloma, dan penyakit substansia alba, selain meningitis basilar dan
hidrosefalus. Iskemia telah dilaporkan pada lebih dari separuh kasus dan biasanya
menghasilkan infark serebral dalam yang terlihat sebagai area hiperintens pada pencitraan
T2W. Lebih jarang, lesi dengan peningkatan kontras fokal (focal enhancing lesions) pada
substansia alba atau substansia grisea dalam yang mewakili granuloma diamati
(292,296,297).

Listeria monocytogenes
Rhombencephalitis pada infeksi L. monocytogenes ditandai dengan adanya hiperintensitas
T2W meduler multipel, kecil, yang menunjukkan peningkatan rim pada pencitraan T1W,
mencerminkan kombinasi mikroabses dan edema terkait di batang otak bagian bawah (298)
(Gambar 6.6).

GAMBAR 6.6 Listeria rhombencephalitis.


FLAIR MRI potongan sagittal menunjukkan
hiperintensitas di medula.

Spesies Borrelia
Penyakit Lyme SSP (CNS Lyme disease) akut dikaitkan dengan lesi kecil hiperintens pada
T2W dan isointens pada T1W pada substansia alba subkortikal, yang mungkin mirip dengan
yang terlihat pada multiple sclerosis (299). Lesi multifokal juga dapat diamati di batang otak
dan medulla spinalis (300).
Treponema palidum
Gambaran klinis dan MRI dari neurosifilis sangat bervariasi. MRI pasien dengan ensefalitis
klinis ditandai dengan atrofi otak difus, bukti infark pada substansia alba subkortikal, atau
hiperintensitas T2W di lobus temporal medial (301,302).

Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis)


Temuan MRI pada ADEM biasanya mencakup beberapa area hiperintensitas T2W yang
terdistribusi secara asimetris di subkortikal dan substansia alba dalam (Gambar 6.7).
Lesi pada substansia grisea dalam, yang merupakan ciri khas ADEM tetapi tidak khas
untuk multiple sclerosis dan gangguan demielinasi lainnya, seringkali memiliki tampilan
yang simetris. Kira-kira pada sepertiga kasus, korteks serebral juga terlibat. Keterlibatan
infratentorial terjadi pada lebih dari separuh kasus, dengan lesi yang terlihat di batang otak,
pedunkel serebelum tengah, dan substansia alba serebelum (303-305). Ukuran dan morfologi
lesi sangat bervariasi, meskipun cenderung memiliki marginasi yang lebih buruk
dibandingkan dengan lesi pada penyakit demielinasi lainnya. Dalam kebanyakan kasus, lesi
muncul secara bersamaan, dan semua lesi akan menunjukkan tingkat peningkatan kontras
yang serupa. Difusi terbatas dapat diamati pada sekuen DWI pada tahap akut, berpotensi
mewakili pembengkakan selubung mielin, vakuolasi mielin, atau infiltrasi sel inflamasi
dengan produksi radikal bebas bersamaan (306,307). Variasi atau jenis yang langka dari
ADEM termasuk hemoragik, nekrotikan, dan bentuk kambuhan (relaps) (308).

GAMBAR 6.7 Abnormalitas MRI pada ADEM. (A) FLAIR potongan aksial menunjukkan
hiperintensitas T2 subkortikal multipel di kedua hemisfer. (B) T1 pasca gadolinium
menunjukkan peningkatan kontras berbentuk cincin yang tidak lengkap di sekitar lesi.
Anti–N-Methyl-D-Aspartate Receptor Encephalitis
Sepertiga hingga setengah pasien mungkin memiliki kelainan pada MRI otak. Daerah yang
terkena, terlihat sebagai hiperintensitas T2W atau FLAIR, termasuk lobus temporal medial,
substansia alba periventrikular, korteks, serebelum, batang otak, atau ganglia basalis.
Khususnya, pada follow-up, banyak dari kelainan ini mengalami perbaikan, meskipun atrofi
dapat berkembang. Kurang dari 20% individu yang terkena akan memiliki bukti peningkatan
kontras (168,309).

Anti-Voltage-Gated Potassium Channel Receptor Encephalitis


Spektrum penyakit yang terkait dengan antibodi terhadap kompleks VGKC terus
berkembang. Pada keadaan ensefalitis, temuan paling umum adalah hiperintensitas T2W
unilateral atau bilateral pada lobus temporal medial (169) (Gambar 6.8).
Laporan terbaru memperlihatkan keterlibatan tambahan atau eksklusif dari ganglia
basal (310.311).

GAMBAR 6.8 Ensefalitis limbik autoimun. FLAIR


MRI potongan koronal menunjukkan hiperintensitas
T2 di lobus temporal medial bilateral (panah tebal)
dan gyrus cinguli (panah putus-putus).

TATALAKSANA
Para dokter harus terlebih dahulu fokus kepada penyebab ensefalitis yang dapat diobati dan
umum. Pengobatan empiris untuk meningitis bakteri (vancomycin ditambah cephalosporin
generasi ketiga) harus dimulai karena gambaran klinisnya mungkin tumpang tindih dengan
ensefalitis. Terapi dengan ampicillin juga harus dipertimbangkan ketika demografi (yaitu
individu yang lebih tua), presentasi klinis (yaitu rhombencephalitis), atau profil CSF
mengarah pada infeksi Listeria. Terapi antivirus umumnya terbatas pada pengobatan
herpesvirus (terutama HSV-1 dan VZV) dan contoh infeksi HIV yang tidak biasa (312).
Terapi dengan acyclovir harus dimulai dan dilanjutkan sampai HSV-1 telah dikeluarkan
sebagai diagnosis, yang mungkin memerlukan pengujian sampel CSF serial (lihat
pembahasan sebelumnya). Terapi untuk meningitis jamur atau M. tuberculosis harus dimulai
ketika uji klinis dan laboratorium sesuai. Jika infeksi rikettsia atau Ehrlichia diduga,
doxycycline harus dimulai secara empiris.
Untuk IAE, oseltamivir mungkin bermanfaat (313). Kortikosteroid atau
immunoglobulin intravena juga dapat membantu dalam beberapa kasus IAE untuk
memerangi respons sitokin hiperintens yang diusulkan. Tidak ada bukti bahwa pengobatan
pada dugaan infeksi SSP oleh Mycoplasma akan mengubah hasil akhir atau outcome.
Selain terapi yang terarah, perawatan suportif agresif juga sangat penting, dan
meminimalkan cedera otak sekunder harus dijadikan prioritas tinggi (314). Kejang, status
epileptikus, dan edema serebral merupakan komplikasi penting dari ensefalitis dan
ensefalopati dan harus dipantau ketat pada pasien yang tidak mengalami perbaikan kondisi.
Tekanan pembukaan (opening pressure) CSF yang tinggi dapat berfungsi sebagai pertanda
komplikasi yang akan datang. Mengulang pemeriksaan neuroimaging untuk memantau
edema serebral sangat penting pada pasien koma. Indikator tipikal dari peningkatan tekanan
intrakranial, seperti dilatasi pupil yang kurang reaktif, postur dekortikasi atau deserebrasi,
atau Cushing triad (hipertensi sistolik, bradikardi, dan pernapasan dangkal) merupakan
temuan yang muncul belakangan. Pasien juga harus dipantau terhadap syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH) yang tidak tepat. SIADH dan
extrapontine myelinolysis (EPM) merupakan contoh penting dimana gangguan metabolisme
yang didapat bisa memperumit, dan juga menyerupai atau memimikkan ensefalitis (315).
Kondisi yang memimikkan ensefalitis infeksius harus dipertimbangkan, terutama jika
tidak ada etiologi yang teridentifikasi pada minggu pertama rawat inap. Gangguan
metabolisme dan toksik yang menyebabkan ensefalopati dan kejang harus disingkirkan.
Ensefalitis terkait anti-NMDAR sangat penting mengingat angka kejadiannya yang cukup
tinggi; ketika diidentifikasi, imunoterapi dan pengangkatan tumor, jika ada, telah dikaitkan
dengan perbaikan kondisi.

HASIL (OUTCOME)
Secara umum, prognosis ensefalitis sangat bergantung pada penyebab yang mendasarinya.
Rabies dan N. fowleri, misalnya, memiliki tingkat kematian hampir 100%. Dua penyebab
virus ensefalitis yang paling banyak dipelajari adalah HSV-1 dan EV. Ensefalitis terkait HSV-
1 telah dilaporkan memiliki prognosis yang lebih buruk daripada EV, dengan lebih dari 35%
pasien dengan HSE menderita gejala sisa yang parah atau kematian (4). Meskipun pasien
ensefalitis terkait EV sering memiliki hasil (outcome) yang baik, EV-71 dikaitkan dengan
kematian dan gejala sisa neurologis (58). Etiologi virus lainnya kurang dipelajari dengan
baik, dengan informasi terbatas pada laporan kasus dan seri kecil. Defisit neurologis persisten
setelah ensefalitis terkait EBV dilaporkan jarang terjadi (316). Influenza telah dikaitkan
dengan jenis ensefalitis yang parah dengan angka kematian yang tinggi terutama di Jepang
dan Taiwan, termasuk beberapa laporan kasus ANE (317,318). Di Amerika Serikat, kasus
tampaknya tidak terlalu parah dengan hasil (outcome) yang lebih baik, meskipun penelitian
lebih lanjut diperlukan (319).
Kematian dan komplikasi yang disebabkan oleh arbovirus didokumentasikan dengan
lebih baik sebagai hasil pelaporan komprehensif ke CDC. Infeksi WNV tidak terlalu parah
pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa; anak-anak hanya menyumbang 4% dari
WNND yang dilaporkan ke CDC dari tahun 1999 hingga 2007, dengan 63% kasus pada anak
berusia lebih dari 10 tahun dan hanya 15% berusia kurang dari 4 tahun. Hanya ada tiga
kematian anak selama periode ini (1% dari semua kasus WNND), tingkat kematian kasus
secara substansial lebih rendah daripada orang dewasa yang lebih tua (14% untuk orang
dewasa berusia 50 tahun atau lebih) (320). Dalam sebuah penelitian terhadap 127 anak
dengan LACV, 12% mengalami defisit neurologis saat pulang atau keluar dari tempat
perawatan kesehatan (321). EEE juga diketahui memiliki mortalitas yang lebih tinggi (hampir
30%) dan berpotensi menimbulkan komplikasi neurologis yang parah.
Infeksi bakteri juga memiliki hasil (outcome) yang bervariasi. Baik L. monocytogenes
maupun M. tuberculosis mungkin memiliki morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi
(109,322). Dalam studi mengenai ensefalitis di Prancis, kedua etiologi ini menyumbang
sebagian besar kematian akibat ensefalitis (bersama-sama, 12 dari 26 kematian) (101). Di sisi
lain, infeksi dengan agen bakteri, seperti Bartonella spp., yang biasanya menyebabkan
ensefalopati daripada ensefalitis, memiliki hasil (outcome) yang sangat baik; lebih dari 90%
pasien sembuh total tanpa gejala sisa. Terdapat penelitian terbatas yang melaporkan hasil
khusus pada ensefalitis dengan etiologi yang tidak diketahui. Akan tetapi, satu penelitian
melaporkan gejala sisa yang signifikan hingga 53% dari pasien yang selamat yang dirawat di
rumah sakit dengan penyebab ensefalitis yang tidak diketahui (323).

RINGKASAN
Sangat disayangkan bahwa di era kedokteran modern ini, kemajuan yang dicapai dalam
bidang ensefalitis sangat sedikit. Etiologi hanya diidentifikasi pada sekitar setengah dari
kasus dan untuk pasien yang menerima diagnosis virus; sangat sedikit antivirus spesifik yang
tersedia untuk pengobatan. Mengingat morbiditas dan mortalitas yang signifikan dari sindrom
ini bersama dengan biaya keuangan rawat inap, rehabilitasi, dan gejala sisa, penelitian untuk
mengatasi kesenjangan dalam pemahaman kita mengenai entitas ini serta pengembangan
agen antivirus yang efektif sangat dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai