Anda di halaman 1dari 20

Vaksinasi-vaksinasi Untuk Penyakit Infeksi Saraf: Suatu Prioritas

Kesehatan Dunia
Oleh: Emily C. Leibovitch dan Steven Jacobson
Neurotherapeutics (2016) 13:562–570 DOI 10.1007/s13311-016-0453-3

Abstrak

Vaksin-vaksin untuk penyakit-penyakit infeksi saraf (neuroinfeksi) menjadi suatu


peningkatan prioritas kesehatan global, karena manifestasi-manifestasi
neurologis dan gejala sisa (sequele) dari yang telah ada dan yang muncul infeksi-
infeksi sistim pusat saraf mengakibatkan kepada morbiditas (tingkat kesehatan)
dan mortalitas (tingkat kematian) yang signifikan di seluruh dunia. Pencegahan
infeksi-infeksi neurotropis dapat dicapai melalui pelaksanaan vaksinasi
terkoordinasi secara global, yang telah sukses memberantas agen-
agen nonzoonotik seperti virus-virus variola dan, diharapkan segera, poliovirus.
Tinjauan ini mendiskusikan vaksin-vaksin yang saat ini tersedia atau dalam tahap
pengembangan untuk flavivirus zoonotik dan alphavirus, termasuk Japanese
Encephalitis and Tick-Borne Encephalitis, Yellow Fever (demam kuning), West
Nile, Dengue, Zika, virus-virus encephalitic equine, dan chikungunya (demam
berdarah).
Juga didiskusikan tentang agen-agen nonzoonotik, termasuk campak (measles)
dan virus herpes manusia, juga bakteria, jamur, dan pathogen protozo. Sementara
vaksin-vaksin terapi akan dibutuhkan untuk mengobati banyak infeksi-infeksi
sistim saraf yang sedang terjadi, strategi vaksinasi ideal adalah vaksinasi pra-
eksposur, dengan tujuan tertinggi untuk minimalisir penyakit yang berhubungan
dengan virus zoonotik dan pemberantasan secara total agen-agen nonzoonotik.

Pengantar

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa vaksinasi berada


diurutan kedua setelah air bersih sebagai suatu usaha pencegahan yang besar
terhadap penyakit infeksi manusia. Setiap tahun, vaksin mencegah sekitar 6 juta
kematian di seluruh dunia [1], dan dari sudut pandang kesehatan masyarakat ini
merupakan penghematan biaya yang luar biasa. Karena manifestasi-manifestasi
neurologis dan gejala (sequele) dari yang telah ada dan yang muncul infeksi-
infeksi sistim saraf pusat (SSP) mengakibatkan kepada morbiditas (tingkat
kesehatan) dan mortalitas (tingkat kematian) yang signifikan di seluruh dunia.
Pembuatan dan pendistribusian vaksin-vaksin yang memadai untuk penyakit-
penyakit infeksi saraf harus dipriotaskan [2]. Infeksi-infeksi SSP dapat
menghasilkan gejala-gejala meliputi demam dan naiknya tekanan di otak (ICP)
hingga disorientasi dan status mental berubah, yang apabila tidak mati, akan
berhubungan dengan kekurangan-kekurangan tersisa yang tetap. Lebih jauh,
hampir seluruh kelompok umur rentan terhadap penyakit infeksi SSP, dari bayi-
bayi yang baru lahir sampai dengan orang-orang dewasa tua [3].
Pencegahan infeksi-infeksi neurotropis dapat dicapai melalui pelaksanaan
vaksinasi terkoordinasi secara global. Tinjauan ini bertujuan untuk mengangkat
beberapa kelas besar agen-agen infeksi saraf dan status upaya-upaya vaksinasi
yang berkaitan (untuk overview yang bagus tentang infeksi-infeksi SSP global,
lihat [4]). Banyak dari agen-agen infeksi saraf yang paling signifikan secara
global adalah zoonotik arbovirus, yang menjadi fokus utama dari tinjauan ini;
namun, virus-virus nonzoonotik dan agen-agen nonvirus tertentu juga
didiskusikan.

Vaksin-vaksin Tersedia Melawan Zoonotik Flavivirus

Infeksi-infeksi zoonotik adalah yang ditularkan dari hewan-hewan vertebrata


(bertulang belakang) kepada manusia baik secara langsung atau tidak langsung,
sebagai contoh melalui perantaraan serangga pengisap darah (arthropod vector)
[5]. Virus arthropod-borne adalah terutama sekali virus-virus RNA yang
berkembang di dalam badan serangga (arthropod) sebelum berpindah [6]. Karena
agen-agen mempunyai wadah-wadah non-manusia, sebuah tujuan yang dapat
dicapai adalah kontrol yang efektif terhadap penyebaran infeksi
melalui prophylactic, atau vaksinasi pra-exposur (sebelum terserang). Semua
virion flavivirus yang sudah dewasa (matang) terdiri dari partikel icosahedral
dengan tiga struktur protein: capsid, membran, dan amplop (pembungkus) [7].
Target utama dari menetralkan antibodi yang diinduksi oleh vaksin-vaksin
flavivirus adalah protein pembungkus, walaupun antibodi-antibodi terhadap
protein membran dan protein nonstruktural, NS1, telah juga ditunjukkan dapat
melindungi [8].

Virus Radang Otak (Encephalitis) Jepang

Radang otak Jepang (Japanese encephalitis-JE) adalah penyebab yang dapat


dicegah dengan vaksin terkemuka terhadap radang otak di Asia, dengan perkiraan
68.000 kasus per tahun di seluruh dunia [9]. Wadah-wadah alami dari JE virus
(JEV) adalah babi-babi dan burung-burung rawa, dan virus tersebut disebarkan ke
manusia oleh nyamuk-nyamuk Culex, terutama sekali di lahan-lahan pertanian
pedalaman [9]. Kebanyakan infeksi-infeksi adalah tanpa gejala (asymptomatik);
<1 % individu-individu yang terinfeksi menjangkit penyakit klinis, dan
manifestasi yang sangat umum dikenali radang otak akut. Bentuk-bentuk lainnya
termasuk aseptic meningitis, kejang-kejang, atau flaccid paralysis akut. Angka
kematian adalah 20–30 %, dan 30–50 % dari orang-orang yang selamat
menyisakan neurologic sequele [10].
Banyak kelas-kelas vaksin JEV tersedia, termasuk inaktivasi, hidup dilemahkan
dan versi-versi live recombinant [11]. Semua vaksin-vaksin adalah berdasarkan
pada strains of the GIII JEV geno-type, dan data saat ini menunjukkan bahwa
vaksinasi dapat merangsang kekebalan/immunitas lintas proteksi (cross-protective
immunity) terhadap semua JEV genotypes yang besar [9]. Masa perlindungan
penuh tidak diketahui, namun, kajian-kajian menunjukkan bahwa antibodi-
antibodi terpelihara sekitar dua tahun.
Antara 1973 dan 2013, 68 kasus JE diterbitkan atau dilaporkan ke Pusat-pusat
Pengendalian Penyakit, tetapi hanya 8 kasus yang dilaporkan antara 1993 dan
2013, kurun mana satu vaksin menjadi tersedia [10]. Lebih jauh lagi, negara-
negara endemi yang telah melaksanakan vaksinasi-vaksinasi rutin pada masa
kanak-kanak telah mencatat penurunan yang menggembirakan terhadap kejadian
penyakit [9].
Virus Radang Otak Berasal dari Kutu

Virus radang otak berasal dari kutu (Tick-Borne Encephalitis-TBE) adalah infeksi
yang paling umum disebarkan oleh serangga terhadap manusia di Eropa dan Asia
bagian tengah dan timur [12]. Dari ketiga sub-tipe yang diketahui, sub-tipe Siberia
dan Timur-Jauh yang secara komparatif dihubungkan dengan penyakit yang lebih
berbahaya dari pada sub-tipe Eropa [13].
Manifestasi-manifestasi klinikal mencakup mulai dari demam, sakit kepala dan
mual sampai radang otak, baik dengan atau tanpa hilang kesadaran yang berganti-
ganti [14]. Sebuah studi oleh pencatatan kesehatan Polandia melaporkan bahwa
TBE ada sebagai meningitis pada sekitar 50 % pasien, meningoencephalitis
sekitar 40 % dan meningoencephalomyelitis pada sekitar 10 % [13]. Neurologic
sequele telah dilaporkan sampai dengan 50 % dari individu-individu yang
terjangkit, khususnya gejala-gejala penggerak neorocognitif. Penyakit tersebut
adalah mematikan (fatal) pada sekitar 1 – 4 % kasus-kasus; hasil-hasil yang lebih
jelek biasanya teramati di antara pasien-pasien lanjut usia dan mereka yang
mengidap penyakit-penyakit kronis atau infeksi-infeksi tambahan.
Karena perpindahan virus terjadi melalui gigitan seekor kutu yang telah terinfeksi,
maka tidak ada penularan TBEV langsung dari orang-ke-orang [11]. Pekerja
-pekerja kehutanan dan pekerja lainnya dengan hubungan kerja berisiko tinggi
terinfeksi sering divaksinasi [13]. Austria membanggakan capaian tertinggi dunia
atas rate vaksinasi populasi umum (82 %) dan memproduksi satu dari dua vaksin
berizin (berlisensi) yang tersedia di Eropa. Kedua vaksin ini mengandung virus
TBE yang telah dimurnikan yang dibiakkan dalam sel-sel embrio anak ayam,
ditenangkan dengan formalin, dengan suatu bahan kimia tambahan (ajuvan)
aluminium hidroxida [12] and muncul untuk melindungi terhadap semua sub-tipe
TBEV yang beredar di Eropa dan Asia [15].

Virus Demam Kuning

Demam kuning (Yellow fever - YF) di sub-Sahara Afrika dan Amerika Tengah
dan Selatan. Kebanyakan infeksi-infeksinya tidak bergejala, walaupun suatu
subset dapat mengarah kepada manifestasi-manifestasi penyakit kuning, muntah-
muntah, dan perdarahan. Demam kuning juga dihubungkan dengan radang otak
(encephalitis) dan radang tulang belakang (myelitis) [16]. Sekitar 200.000 kasus
YF terjadi setiap tahun, mengarah kepada 60.000 kematian di seluruh dunia [7,
17]. Penyebaran terjadi melalui nyamuk-nyamuk Aedes aegypti. Di daerah-daerah
pedalaman, monyet-monyet merupakan wadah utama, dan nyamuk-nyamuk
menyebarkan penyakit tersebut di antara monyet-monyet dan manusia dalam
suatu siklus yang dikenal sebagai demam kuning rimba (sylvatic). Di daerah-
daerah perkotaan, nyamuk-nyamuk dapat memindahkan virus tersebut antar
manusia dalam suatu siklus yang dikenal sebagai demam kuning kota.
Vaksin yang ada saat ini, YF-17D, telah diberikan kepada lebih dari 600 juta
orang di seluruh dunia dan merupakan virus hidup yang telah dilemahkan (live
attenuated), dikembangkan oleh keberhasilan berurutan dari Asibi viral strain
dalam embrio tikus dan embrio ayam [7]. Satu dosis tunggal memberikan
perlindungan kekebalan seumur hidup [18], yang direfleksikan oleh tanda
kekebalan yang kuat dari vaksin tersebut; terutama, aktifasi yang efisien dari sel-
sel yang mengandung antigen, titrat antibodi neutralisasi tinggi, induksi sel-sel
polifungsional T, dan sel-sel memori jangka panjang T dan B [7]. Suatu respon
yang kuat oleh tipe I interferon dapat diamati dengan cepat dalam transkriptom
darah individu-individu yang telah divaksin [19]. Mengacu kepada daya bangkit
respon kekebalan yang kuat, vaksin demam kuning telah menjadi platform vektor
untuk pengembangan vaksin dari virus-virus heterologous misalnya JEV dan
dengue.
Wabah-wabah demam kuning masih terjadi terlepas tersedianya vaksin, sebagai
mana dibuktikan oleh wabah yang sedang berlangsung di Angola, yang terbesar
dalam kurun hampir 30 tahun. Produksi vaksin YF tahunan dunia sekitar 40 juta
dosis, yang, sementara mencukupi untuk wabah-wabah kecil di Afrika, akan sama
sekali tidak mencukupi kalau penyakit tersebut terjadi secara tetap di Asia.
Bagaimanapun, di Afrika sekalipun, rate vaksinasi musti ditingkatkan, karena
cakupan di beberapa negara masih kurang dari 50 %. Menurut pendapat seorang
pejabat WHO, ketersediaan sebuah vaksin YF mungkin saja secara ironis telah
berkontribusi kepada kepuasan dalam mengontrol vektor dan upaya-upaya
pencegahan lainnya [17].

Vaksin Yang Sedang Dikembangkan Untuk Zoonotik Flavivirus

Virus Nil Barat (West Nile Virus)

Manifestasi-manifestasi klinikal dari virus Nil Barat (WNV) bisa termasuk


demam, sakit kepala, kejang-kejang, dan generalized paresis. WNV pertama
muncul pada tahun 1999 di Amerika Serikat (U.S.A), dan dalam kurun 10 tahun
berikutnya dilaporkan 12.000 kasus penyakit Nil Barat neuroinvasive, dengan
angka kematian (mortality rate) sekitar 10 % [20].
Ada banyak vaksin WNV hidup dan yang dinonaktifkan yang telah disetujui
untuk kuda, namun belum ada yang disetujui untuk manusia. JE serocomplex
terdiri dari sembilan flavivirus berkaitan dengan genetic dan antigen, termasuk
WNV [21]. Riset telah menunjukkan bahwa infeksi dengan satu virus JE
serocomplex dapat menyiapkan perlindungan terhadap virus-virus heterologous,
menimbulkan pertanyaan tentang perlindungan lintas manfaat untuk WNV dari
vaksin JEV yang ada saat ini. Dalam suatu studi pada tahun 2013, Petrovsky et al.
[20] menunjukkan bahwa dalam tikus-tikus, JE-ADVAX merangsang lintas
perlindungan yang komplit dari WNV, dengan suatu beban virus yang telah
dikurangi dan tidak ada infiltrasi-infiltrasi SSP perivascular lymphocytic. Dalam
studi ini, perlindungan WNV kelihatannya dimediasi oleh induksi lintas-lindung
sel-sel memori B [20]. Vaksin JE-ADVAX adalah sebuah turunan sel Vero, anti-
gen JEV yang dinonaktifkan dengan formalin dan dengan suatu ajuvan Advax
[20]. Sel-sel Vero asal mulanya diambil dari sel-sel ginjal monyet hijau Afrika
dan digunakan secara luas sebagai platform dalam produksi vaksin [21]. Dua studi
pada manusia dengan menggunakan suatu vaksin JE nonaktif (JE-VAX) untuk
menguji antibodi-antibodi yang Two human studies used an inactivated JE
vaccine (JE-VAX) the induction of cross-neutralizing WNV antibodies.
Sementara studi yang satu lagi dilaporkan hasil-hasil negatif, yang lain bahwa
diberikan bersamaan vaksin JE dan vaksin YF-17D dilaporkan ambang batas
efektif dari antibodi-antibodi lintas netral WNV, berkurang lebih cepat dari
antibodi-antibodi JE tetapi naik lagi setelah diberi suatu pendorong (booster)
dengan JE-VAX [22].

Virus Demam Berdarah

Demam berdarah menginfeksikan sekitar 390 juta orang setiap tahun, yang paling
umum terjadi di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin. Serupa dengan demam
kuning, chikungunya, dan Zika, vektor pokoknya adalah nyamuk Aedes aegypti
[23]. Hasil-hasil neurologik dari infeksi ini bisa termasuk meningitis,
meningoencephalitis, radang otak, kejang-kejang, dan sindrom Guillain-Barré [4].
Demam berdarah dapat dibagi ke dalam empat serotipe, yang berbagi 67 %
homologi pada ambang nucleotide dan berbeda sampai dengan 37 % dalam urutan
protein amplop. Pada tahun 2007, suatu serotipe yang berbeda diisolasi dari
Malaysia; walaupun berbeda secara philogenetical dari semua serotipe DENV
yang dikenal, ia masih tidak jelas apakah itu merepresentasikan suatu serotipe
kelima atau suatu varian. Pasien-pasien yang secara berurutan diinfeksikan
dengan banyak serotipe DENV kemunginan besar memanifestasi gejala-gejala
yang parah, yang dipikirkan dapat melengkapi mekanisme perbaikan antibodi
dependen. Oleh karena itu, vaksin dengue yang aman dan efektif haruslah
multivalent untu merangsang kekebalan homotipik dengan kuat pada setiap
keempat serotipe [7, 24].
Terlepas dari percobaan-percobaan pengembangan vaksin selama 70 tahun
terakhir [24], hanya dalam Desember 2015 vaksin dengue pertama diizinkan di
Mexico [25]. Vaksin CYD-TDV adalah formulasi virus hidup yang dilemahkan,
karena dua calon vaksin yang lain masih menunggu evaluasi Tahap 3. CYD-TDV
adalah tetravalent, yang diproduksi dengan memasukkan gen DENV dari keempat
serotipe kedalam penyangga YF-17D . Hasil-hasil awal menunjukkan bahwa
antibodi-antibodi penetral tidak sama ditimbulkan kepada keempat serotipe;
DENV-3 dan DENV-4 menimbulkan frekuensi-frekuensi sero-konversi yang
paling kuat dan virema dibandingkan dengan DENV-1 dan DENV-2 [24]. Ada
induksi terbatas dari suatu respon awal proinflamasi dan aktifasi sel CD8 T [7].
Ini mungkin karena komponen-komponen monovalen dari vaksin yang
mengandung protein-protein nonstruktural dari virus demam kuning 17D – bukan
DENV – dan banyak epitop-epitop DENV CD8 terletak dalam protein-protein
nonstruktural. Sekali lagi, infektifitas yang berimbang dari semua keempat
komponen-komponen adalah penting untuk induksi antibodi homotipik kepada
serotipe [24], yang tetap menjadi tujuan terakhir dari sebuah vaksin DENV dalam
kontek peningkatan antibodi-dependen yang telah diketahui.

Virus Zika

Zika adalah suatu flavivirus yang telah dikenal di Afrika dan Asia sejak 1940-an,
tetapi kisaran geographis virus ini telah meluas dengan hebat sejak 2007. Vektor-
vektor pokok adalah nyamuk-nyamuk Aedas aegypti [26], dan ada bukti
bertambah bahwa Zika bisa menular juga secara seksual [27]. Infeksi tanpa gejala
(asymptomatic) dalam sekitar 80 % kasus, dan menyebabkan suatu penyakit
ringan dalam sekitar 20 % kasus lainnya, dicirikan oleh demam, sakit-sakit otot,
mata perih, dan ruam (maculopapular rash) [28]. Virus tersebut juga neurotropik,
sebagai bukti dari kenaikan sesaat (surge) dalam kelahiran-kelahiran
microsephalic dalam daerah-daerah yang terserang oleh wabah di Amerika
Selatan tahun 2015 [29]. Penelitian kohort di Brazil terhadap 35 bayi mikrosefali,
semua ibu telah berada dalam daerah-daerah yang terinfeksi virus Zika selama
masa kehamilan; 71% bayi mengalami mikrosefali berat, sedikitnya 50%
mengalami paling tidak satu kelainan saraf, dan di antara 27 bayi yang telah
dilakukan neuroimaging, seluruhnya ditemukan kelainan-kelainan [30]. Lebih
lanjut, RNA virus Zika sudah diisolasi dari cairan amnion wanita dengan fetus
mikrosefali, juga dari otak beberapa bayi mikrosefali yang meninggal. Selain
mikrosefali, terdapat laporan-laporan tentang komplikasi neurologis hasil dari
Zika, termasuk sindrom Guillain-Barré [6], yang dilaporkan kira-kira 1 dari 4000
infeksi pada wabah Polynesia Perancis 2013 [31,32], dan laporan-laporan tentang
meningoencephalitis dan myelitis akut [33,34]. Eksperimen-eksperimen Murine
pada awal 1970-an menyatakan neurotropisme Zika sebagai inokulasi
intraserebral tikus-tikus yang menghasilkan kerusakan neuron, dengan replikasi
virus diamati pada neuron-neuron dan astrosit-astrosit [35].
Belum ada vaksin-vaksin Zika dalam pengembangan lanjutan [6], walaupun ada
laporan-laporan bahwa percobaan-percobaan keselamatan mungkin dimulai pada
musim gugur 2016, dan percobaan-percobaan kemanjuran paling cepat dalam
2017. Suatu formulasi vektor hidup mungkin memiliki kesukesan tertinggi, karena
kesamaan terhadap virus-virus YF, JE, dan dengue [27]. Karena vaksin rubella
telah menghilangkan sindrom kongenital rubella di Negara-negara di mana
dipakai secara luas, ada suatu keuntungan untuk memakai suatu vaksin virus Zika
secara cepat. Vaksin yang ideal harus melindungi secara cepat terhadap infeksi
setelah pemberian dosis tunggal, dan aman untuk dipakai saat kehamilan [36].

Vaksin-vaksin dalam Pengembangan untuk Virus-virus Alpha Zoonotic

Virus-virus Radang Otak Kuda

Virus-virus alpha radang otak Timur, Barat, dan Venezuela virus-virus radang
otak kuda (EEEV, WEEV and VEEV) didistribusikan secara luas ke seluruh
Amerika Utara, Tengah dan Selatan. Di Amerika Utara, WEEV ditemukan dari
tengah-barat hingga ke pesisir barat, sedangkan EEEV ditemukan dari tengah-
barat hingga ke Teluk Meksiko dan pesisir Atlantik. VEEV paling dominan
ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan [37].
Virus-virus tersebut berbeda tingkat kefatalan di antara manusia dan kuda, tapi
secara signifikan semua lebih fatal terhadap kuda. Pada manusia, EEEV adalah
yang paling menular di antara ketiganya, dengan perkiraan angka kematian 50–70
% (WEEV, 3–7 %) dan (VEEV, 1 %) [37]. EEEV dapat menyebabkan gejala-
gejala radang otak, demam, sakit kepala, dan kejang-kejang. Edema otak dengan
nekrosis dan perdarahan terlihat pada pemeriksaan patologikal lengkap pada
kasus-kasus fatal manusia. Secara kontras, walaupun sekelompok kecil dari
individu-individu yang terinfeksi dengan WEEV atau VEEV mengalami radang
otak atau encephalomyelitis, virus-virus ini dikaitkan dengan gejala-gejala sisa
neurologis yang signifikan [37, 38]. Pada wabah VEEV tahun 1995 di Columbia
dan Venezuela, dari 313 pasien yang dirawat inap, lebih dari setengah terdapat
tanda-tanda tekanan tinggi intracranial dan komplikasi neurologis termasuk
cerebellitis, meningoencephalitis, dan encephalomyelitis [39].
strain VEEV TC-83 yang dilemahkan tersebut adalah satu-satunya vaksin
veterinary berizin yang tersedia untuk melindungi kuda, dan satu-satunya strain
yang tersedia untuk vaksinasi pekerja laboratorium dan personil militer [40].
Hampir 40% dari individu-individu yang telah divaksinasi mengalami suatu
penyakit dengan gejala-gejala infeksi VEEV [38] dan pada kuda, vaksinasi TC-83
dapat mengarah kepada ambang viremia yang cukup untuk menginfeksi nyamuk-
nyamuk [38, 40], kemungkinan dapat melengkapi terhadap adanya hanya dua poin
mutasi pelemahan. Dalam usaha untuk menciptakan suatu vaksin VEEV yang
lebih aman dan stabil, Guerbois et al. [38] membangkitkan satu calon rekombinan
yang tidak dapat menginfeksi nyamuk, dan stabil setelah beberapa tinjauan [38].
Sebagai strategi vaksin terbaru mentargetkan hanya satu spesies alphavirus
(VEEV), Phillips et al. [41] merekayasa suatu vaksin alphavirus terdiri dari
kompleks asam nukleus lipid kationik dan lapisan protein ectodomain dari WEEV
E1. Imunisasi ini memberikan perlindungan 100% pada tikus-tikus percobaan
pemberian virus WEEV secara subkutan, intranasal, atau melalui gigitan nyamuk.
Lebih jauh, 90% dari tikus-tikus yang selamat dari tantangan EEEV,
menunjukkan lintas lindung yang kuat dari imunisasi WEEV tersebut dan potensi
pengembangan vaksin untuk panencephalitic alphavirus [41].

Chikungunya

Chikungunya adalah alphavirus yang ditularkan oleh nyamuk A. aegypti. Dari


2013 hingga 2015, ini menyebar hingga 45 negara di daerah tropis dan subtropis
Amerika Utara dan Selatan, dengan lebih dari 1,7 juta kasus-kasus infeksi yang
dilaporkan. Infeksi biasanya ada gejala-gejala klinis, dengan sakit demam dan
nyeri sendi, sedangkan penurunan nama Bchikungunya^ dari frasa Bthat artinya
bengkok^ dalam bahasa Makonde di Tanzania [28]. Walaupun angka kematian
rendah dibandingkan penyakit-penyakit arbovirus lainnya (<1 %), angka kejadian
penyakit dapat signifikan, dalam bentuk polyarthralgia persisten. Sebagai contoh,
terdapat laporan-laporan sampai 60% dari penderita nyeri sendi yang selamat
selama tiga tahun setelah infeksi [42]. Juga dilaporkan komplikasi neurologic,
termasuk meningoencephalitis, myelitis, dan sindrom Guillain-Barré. Pada sebuah
studi retrospektif setelah wabah tahun 2006 di India bagian barat, Chandak et al.
[43] melaporkan 49 dari 300 (16 %) pasien mengalami komplikasi neurologik,
termasuk lebih dari setengah dengan encephalitis dan sisanya dengan myelopati,
neuropati perifer, dan myeloneuropati. Tidak ada vaksin berizin untuk
chikungunya, walaupun lebih dari 15 calon masih dalam pengembangan,
termasuk vaksin inaktif, hidup dilemahkan, chimeric, protein subunit, partikel
serupa virus, dan vaksin DNA. Dua vaksin virus utuh yang dilemahkan telah
mencapai percobaan Tahap 1, dan satu dalam vektor platform (acuan) campak
telah mencapai percobaan Tahap 2 [42]. Upaya-upaya vaksin Chikungunya tidak
sepenuhnya baru; pada tahun 1980-an, militer Amerika Serikat mengembangkan
suatu vaksin virus hidup yang dilemahkan dengan imunogenisitas yang kuat dan
efek samping ringan, khususnya nyeri sendi sementara sekitar 10 % dari penerima
vaksin. Vaksin ini dihentikan karena prioritas rendah saat itu, tetapi telah di
sediakan kepada pengembang vaksin setelah serangan chikungunya pada
pertengahan 2000-an [42].

Vaksin-vaksin yang Tersedia untuk Virus Rabies

Walaupun tidak termasuk dalam flavivirus atau alphavirus, tidak ada diskusi
tentang penyakit neuroinfeksi yang signifikan tanpa menyebutkan rabies.
Meskipun ketersediaan dari pra-eksposur dan post-ekspour pencegahan, rabies
tetap menjadi penyebab radang otak virus yang signifikan, bertanggungjawab atas
sekitar 60.000 kematian per tahun, terutama di sub-Sahara Afrika dan India [4].
Virus rabies ditemukan pada air liur dari berbagai mamalia jinak dan liar,
penularan ke manusia terjadi secara langsung, biasanya melalui gigitan dari
binatang yang terinfeksi. Infeksi rabies menyebabkan encephalomyelitis akut,
yang hampir selalu fatal setelah onset gejala [44]. Suatu penampakan yang jarang
adalah paralysis rabies, yang mensimulasikan seperti sindrom Guillain-Barré atau
myelitis ascending [45]. Komplikasi neurologi dari rabies seluruhnya dapat
dicegah dengan segera memberi vaksin post-eksposur, yang juga dapat
memberikan immunoglobulin rabies (RIG) manusia atau kuda. Program vaksinasi
anjing secara luas juga telah terbukti efektif untuk mengontrol penyakit ini, tapi
banyak bagian dari negara berkembang yang kekurangan infrastruktur untuk
melaksanakan vaksinasi secara luas dan mendata vaksin anjing [46]. Namun,
ketersediaan suplai yang terbatas dan biaya yang tinggi dari RIG membatasi untuk
memperolehnya di negara-negara berpendapatan rendah, negara endemic,
sehingga membutuhkan pengembangan pilihan-pilihan pengganti.
Baru-baru ini, De Benedictis et al. [44] mengidentifikasi dua antibodi penetral
monoclonal manusia yang luas dari donor-donor yang telah divaksinasi, dan
menunjukkan bahwa antibodi-antibodi mampu menetralkan semua 35 virus rabies
dan 25 lyssavirus nonrabies, menunjukkan potensi yang lebih tinggi dan lebih luas
dari antibodi-antibodi lainnya dalam pengembangan klinis dan RIG yang telah
tersedia [44]. Diperkirakan bahwa encephalitidis virus dari semua lyssavirus yang
mencapai puncak tidak dapat dibedakan secara klinis dari rabies; oleh karena itu,
adalah penting untuk mengidentifikasi secara luas antibodi-antibodi penetral yang
mampu menyatukan lyssavirus RABV dan non-RABV [44].

Hal Penting Tentang Vaksin-vaksin Terhadap Agen-agen Nonzootic

Penyakit-penyakit virus nonzoonotic, tidak sama dengan yang telah dijelaskan di


atas, memberi peluang yang menggiurkan untuk pemberantasan secara global.
Tanpa suatu wadah lingkungan hidup, suatu patogen yang telah diberantas tidak
bisa lagi muncul kembali kecuali dengan sengaja diperkenalkan kembali oleh
manusia. Program-program vaksinasi seluruh dunia telah mampu mencapai
pemberantasan tuntas terhadap virus-virus variola besar dan kecil, agen-agen
penyebab penyakit cacar. Kasus cacar terakhir yang tercatat adalah pada 1977,
dan oleh karena itu upaya-upaya vaksinasi telah dihentikan. Pemberantasan virus
polio, yang menyebabkan kelumpuhan yang tak terobati hingga 1 % kasus, masih
dalam perhatian. Dengan menggunakan vaksin-vaksin virus polio oral dan yang
dinonaktifkan, kemajuan yang signifikan telah dicapai ke arah pemberatasan
secara global, dengan 359 kasus polio liar yang dilaporkan (vs turunan vaksin)
pada 2014 [1], 74 kasus pada 2015 [47], dan hanya 9 kasus pada 4 bulan pertama
tahun 2016. Dalam masa paska pemberantasan, vaksin-vaksin yang dinonaktifkan
berdasarkan pada strain yang dilemahkan lebih disukai ditinjau dari sudut
keamanan hayati (biosafety) dibandingkan dengan formulasi hidup manapun.
Sanders et al. [47] baru-baru ini menerangkan banyak strain virus polio
immunogenic stabil yang dilemahkan, mampu menyebar pada 30oC tetapi tidak
bisa pada 37oC, menunjukkan bahwa mereka bersifat noninfeksi pada suhu tubuh,
dengan demikian mengurangi resiko-resiko keamanan hayati yang berkaitan
dengan proses manufaktur.

Vaksin-vaksin yang Tersedia untuk Virus Campak

Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) adalah suatu kerusakan saraf


progresif mematikan yang dapat bermanifestasi 6 - 8 tahun setelah infeksi campak
klinikal. Gejala-gejala mugkin dimulai perlahan, dengan perubahan-perubahan
perilaku dan penurunan intelektual, dan progress to generalized convulsions,
dementia, dan kematian. Data dari Inggris dan Amerika Serikat menempatkan
insiden SSPE pada 4 – 11 kasus per 100,000 kasus campak [48].
Vaksin-vaksin campak yang disetujui saat ini adalah jenis yang dilemahkan, baik
yang monovalen atau mltivalen, diberikan berdampingan dengan satu atau lebih
vaksin terhadap penyakit gondok, rubela dan varicela [11]. Data epidemikologi
setelah pengenalan vaksin campak, gondok, dan rubella menunjukkan suatu
penurunan yang nyata dari kejadian-kejadian neurologik yang dikaitkan dengan
agen-agen ini [49]. Di negara-negara yang mempunyai pengendalian campak
yang baik melalui vaksinasi, suatu penurunan dalam kasus-kasus baru SSPE dapat
diamati beberapa tahun mengikuti penurunan dalam insiden campak [48, 50] dan
ketika terjadi epidemik, suatu kenaikan dalam SSPE dapat diamati setelah
beberapa tahun. Vaksinasi campak, yang digabung dengan pencacahan dan
pencatatan SSPE, telah menurunkan insiden SSPE 82– 96 % di Inggris, Amerika
Serikat, Belanda, Israel, Polandia dan Bulgaria [48].
Campak telah dinyatakan hilang di Amerika Serikat pada 2000; namun
kemunculan lagi baru-baru ini lebih dikaitkan kepada penolakan para orangtua
terhadap vaksinasi. Dalam suatu tinjauan dari 18 studi-studi campak yang
diterbitkan antara 2000 dan 2015, Phadke et al. [51] menemukan bahwa dari
1.416 kasus campak, 56 % tidak ada riwayat vaksinasi dan 41 % memiliki
pembebasan nonmedikal. Gangguan seperti ini tidak seharusnya diizinkan di masa
yang telah dilengkapi dengan peralatan teknologi untuk membasmi penyakit
manusia.

Vaksin-vaksin Dalam Pengembangan Untuk Virus-virus Herpes Manusia

Virus-virus herpes manusia (HHV) bertanggungjawab terhadap bagian yang


signifikan dari penyakit-penyakit saraf yang dikaitkan dengan virus, keduanya
karena infeksi utama dan kembali aktif dari persembunyian. Sebagai contoh, virus
herpes simplex (HSV) adalah penyebab yang sangat umum dapat diidentifikasi
dari virus radang otak, yang bertanggungjawab untuk sekitar 13.8 % dari semua
kasus-kasus [52]. Sekitar 90 % kasus radang otak HSV disebabkan oleh HSV-1,
dan 10 % oleh HSV-2. Radang otak HSV dilaporkan menghasilkan
neurocognitive sequele, predominan melumpuhkan daya ingat [4], pada sampai
dengan 70 % orang yang selamat. Radang otak dapat dihasilkan dari suatu infeksi
utama, infeksi ulangan, atau aktif kembali dari visus yang terpendam.
Kebangkitan kembali HSV dan HHV lainnya sering dikaitkan dengan penekanan
pada kekebalan sel-perantara, apakah dengan immunosuppression atau
immunosenescence yang berhubungan dengan usia [4]. HHV-6 adalah HHV lain
dengan semakin dikenal potensi radang otak, khususnya pada seting clinical
immunosuppression [53], juga infeksi utama pada anak-anak [54]. Kehadiran
berbagai neurologic yang luas juga dikaitkan dengan virus Epstein–Barr (EBV),
termasuk sindrom Guillain-Barré, cranial nerve palsy, optic neuritis, encephalitis,
dan meningitis. Sebenarnya encephalitis/meningitis adalah yang pertama
menjelaskan komplikasi neurologic dari infectious mononucleosis (IM), suatu
infeksi utama dengan EBV yang bergejala [55]. Frekuensi dari keterlibatan
neurologic dalam IM diperkirakan sekitar 1 - 18 %. SSP lymphoma yang
berasosiasi dengan EBV yang lebih umum diamati pada pasien-pasien
immunocompromised, mewakili penyakit SSP signifikan lainnya yang dikaitkan
dengan EBV [56].
Varisela adalah satu-satunya HHV yang saat ini sudah tersedia vaksinnya. autama
juga yang kembali kambuh pada kelompok orang-orang dewasa tua [57]. Belum
tersedia untuk penggunaan klinikal adalah formulasi recombinan subunit yang
telah diberi ajuvan [58]. Serupa dengan HHV lainnya, infeksi utama dengan
varisela telah dikaitkan dengan komplikasi-komplikasi SSP seperti ataxia,
encephalitis, stroke, meningitis, dan sindrom Guillain-Barré [59].
Pengembangan vaksin untuk HSV-2 sedang giat dilaksanakan, karena HSV-2
merupakan penyebab terdepan penyakit alat kelamin ulkus (genital ulcer) dan
meningkatkan resiko terkena HIV. Kedua strategi pencegahan dan strategi
pengobatan sedang dicari. Uji coba klinikal yang paling lanjut adalah vaksin-
vaksin glycoprotein (gp) subunit yang diberi ajuvan, karena permukaan virus
glycoproteins adalah target-target yang beralasan untuk antibodi-antibodi penetral.
Juga dalam tahap-tahap praklinikal ada banyak calon-calon yang dilemahkan atau
tiruan yang rusak [60]. Vaksin-vaksin untuk EBV juga dalam pengembangan
yang aktif, karena EBV virus onko yang dikenal dan setiap tahun dikaitkan
dengan sekitar 200.000 kasus kanker di seluruh dunia [61]. Sudah ada satu kali uji
coba Tahap 2 dari suatu vaksin EBV pada manusia, melibatkan 181 seronegatif
orang dewasa muda. Mereka yang menerima vaksin larutan gp350 yang diberi
ajuvan ada 78 % penurunan dalam rate IM, tetapi tidak ada perbedaan pada rate
infeksi. Studi-studi Tahap 3 direncanakan untuk menguji kemanjuran kelompok
yang lebih besar [62]. Suatu studi serupa dilakukan di China dengan seronegatif
anak bayi, dan hanya sepertiga dari anak-anak yang divaksinasi menjadi terifeksi
pada usia 16 bulan, dibandingkan dengan semua kontrol yang tidak divaksinasi.
Vaksin tersebut dalam studi dimaksud ini adalah virus vaksinia mengungkapkan
EBV gp350 [61]. Walaupun untuk uji coba klinikal studi sebelumnya dalam orang
dewasa muda adalah lebih layak, studi sesudah itu dalam anak bayi adalah strategi
ideal untuk mana saja HHV didapatkan pada usia muda, karena mekanisme yang
paling efektif untuk mencegah penyakit yang dikaitkan dengan HHV adalah
pencegahan menyeluruh terhadap infeksi [62].

Agen-agen Infeksi Saraf Nonvirus

Sementara virus mewakili suatu proporsi yang besar dari agen-agen pengganggu
of neuroinflammation, sesungguhnya bakteri, jamur, dan agen-agen protozoa yang
berkontribusi kepada beban global penyakit infeksi saraf. Seksi berikut ini
mendikusikan agen tunggal dari setiap kategori tersebut di atas, untuk mana
vaksin pada berbagai tahapan pengembangan dan pelaksanaan.

Bakteria: Neisseria meningitides

Penyakit meningococcal disebabkan oleh serogroup-serogroup tertentu dari


Gram-negatif proteobacteria Neisseria meningitides [63]. Kasus-kasus sporadis
ditemukan ditemukan di seluruh dunia, dengan wabah-wabah besar terjadi di
sabuk (lajur) B meningitis sub-Sahara Afrika, sering selama musim kering
Nopember ke Juni. Manusia merupakan satu-satunya wadah alami, dan
perpindahan terjadi melalui hubungan langsung dan droplet pernafasan [11].
Walaupun Neisseria meningitides adalah teman semakan manusia, dalam kasus
yang jarang dia bisa proliferate dalam SSP, dengan infeksi menghasilkan
meningitis atau meningoencephalitis, yang mematikan dalam 5 – 10 % kasus [11].

Kelainan saraf permanen (neurologic sequele) adalah umum di antara penderita-


penderita yang selamat [63].
Vaksin yang tersedia saat ini Neisseria meningitides termasuk polysaccharide dan
formulasi konjugat. Vaksin-vaksin polysaccharide adalah lyophilized,
polysaccharide kapsul dimurnikan yang stabil terhadap panas dari meningococci
serogroups tertentu (A, C, Y, and W-135), tersedia sebagai vaksin bivalen,
trivalen, atau tetravalen. Namun, ini kebanyakan telah diganti dengan vaksin-
vaksin konjugat multivalen, yang di dalamnya polysaccharides dari serogroups di
atas dikonjugatkan kepada suatu pembawa protein untuk merangsang respon
kekebalan suatu sel-dependen T [19]. Vaksin-vaksin konjugat adalah spesifik-
serogroup dan immunogenic yang tinggi, dapat menimbulkan respon kejenakaan
(rasa humor) pada bayi-bayi sekalipun. Vaksin tersebut direkomendasikan untuk
traveler dari wilayah rendah-endemik yang berencana berkunjung ke wilayah
tinggi-endemik [11]. Petunjuk-petunjuk dikeluarkan baru-baru ini untuk vaksin
lain yang telah diberi lisensi oleh setujui oleh the U.S Food and Drug
Administration in 2014, dan memberi perlindungan terhadap serogroup kelima
dari Neisseria meningitides, serogroup B [64].

Fungal: Cryptococcus

Jamur dapat memicu meningitis pada pasien-pasien yang kekebalannya


berkompromi (immunocompromised), jadi ini sangat jarang sekali pada individu-
individu dengan yang kekebalannya berkompeten/tangguh (immunocompetent).
Cryptococcus adalah penyebab yang umum fungal meningitis dan
meningoencephalitis. Perkiraan seluruh dunia menunjukkan bahwa 1 juta kasus
cryptococcal meningitis terjadi setiap tahun, dengan perkiraan sekitar 600.000
kematian [65]. Penyakit SSP yang dihasilkan dari strain C. neoformans adalah
lebih umum terjadi pada pasien-pasien dengan HIV lanjut, sementara strain C.
gattii adalah patogen yang sedang muncul pada individu-individu
immunokompeten [66, 67].
Secara tipikal manusia berjumpa jamur melalui menghirup spora atau pelanggaran
pada penghalang-penghalang dalam tubuh (anatomi), seperti terjadi pada infeksi-
infeksi jamur nosokomial [67]. Infeksi-infeksi jamur opportunistis sering terjadi
pada pasien-pasien yang kekebalan tubuhnya sedang tertekan, seperti mereka
yang sedang menjalani pengobatan kanker, transplantasi, penyakit autoimmune,
atau HIV. Disebabkan pandemi HIV, infeksi-infeksi jamur pada pasien-pasien
CD4 lymphopenic telah naik dengan cepat, dan membawa pada rate angka
kematian 50–70 % [67]. Akibatnya, ada penekanan pada pengertian peran yang
dimainkan oleh sel-sel CD8 pada kekebalan antijamur, dan rekayasa vaksin
antijamur untuk menambah respon-respon memori CD8 [67].

Saat ini, tidak ada vaksin antijamur yang tersedia, meskipun ada laporan-laporan
praklinikal yang menjanjikan. Suatu studi pada 2011 menunjukkan bahwa ketika
tikus-tikus yang memiliki immunokompeten dikebalkan dengan suatu interferon-
gamma-producing strain dari C. neoformans (H99γ) dan setelah itu diberikan
pengurang sel T CD4 dan CD8, vaksin tersebut memberikan perlindungan sampai
100 hari paska imunisasi [68]. Secara terpisah, suatu laporan baru-baru ini oleh
Rella et al. [69] menerangkan suatu strain mutan nonpatogenik sterilglukosida
dari C. neoformans yang memebrikan perlindungan komplit terhadap dosis-dosis
mematikan dari kedua C. neoformans dan C. gattii pada tikus-tikus. Pengarang
seterusnya menunjukkan bahwa praperawatan dengan strain mutan pada tikus-
tikus yang sel T CD4 telah menurun sama terlindungi terhadap tantangan
mematikan sesudahnya dengan C. neoformans [69].
Meskipun semua ini dan banyak studi lainnya agak bertanggungjawab untuk suatu
hubungan pada penurunan CD4, banyak yang memakai strain jamur yang
dilemahkan, yang mengajukan suatu resiko terhadap individu-individu yang ber-
immunocompromise. Namun, dari studi-studi pondasi awal ini, formulasi-
formulasi pengganti dapat dikembangkan, seperti strain-strain yang dimatikan
dengan panas, atau vesikel-vesikel, yang akan menghilangkan bahaya-bahaya
yang terkait dengan vaksin hidup [69]. Riset prioritas lain untuk bidang ini adalah
pengindentifikasi perlindungan antingen sel T CD8 [67].

Protozoal: Plasmodium

Malaria masih menjadi salah satu penyakit infeksi yang paling mematikan di
negara-negara tropis, dengan 214 juta kasus dan 438.000 kematian pada 2015
sendiri [70]. Lebih dari 90 % kematian tersebut terjadi di sub-Sahara Afrika, dan
kebanyakan pada anak-anak lebih muda dari 5 tahun [71], meskipun sedang
bergeser kepada anak-anak usia sekolah [72]. Penyakit ini melibatkan infeksi pada
erythrocytes manusia oleh protozoan Plasmodium, yang dikirim oleh nyamuk-
nyamuk Anopheles. Ada lima spesies Plasmodium dikenal menginfeksi manusia
dan kasus-kasus yang paling parah, termasuk malaria serebral (CM), yang
disebabkan oleh Plasmodium falciparum [73]. CM ditetapkan sebagai suatu
pembauran dencephalopathy, dengan kekejangan dan koma sebagai tanda/ciri
khas klinikal. Rate angka kematian terkait sekitar 8 % tetapi bisa mencapai 50 %
pada pasien-pasien dengan banyak disfungsi organ [73], yang juaga dikaitkan
dengan infeksi P. falciparum [71]. Komplikasi-komplikasi saraf jangka pendek
dan panjang adalah biasa pada anak-anak penderita CM.
Defisit-defisit seperti ataksia, paresis, epilepsi, perilaku terganggu, dan
kelumpuhan kognitif telah dilaporkan akan selesai dalam 6 bulan infeksi; namun,
suatu studi lain melaporkan defisit-defisit yang membandel pada neurologik dan
kognitif hingga 9 tahun setelah terinfeksi. Intracranial hypertension dipikirkan
terkait dengan tingkat kesehatan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas)
dari CM.
Saat ini tidak tersedia vaksin malaria, meskipun 30 lebih calon P. falciparum ada
pada tahap-tahap lanjut praklinikal atau klinikal [71]. Upaya-upaya
pengembangan vaksin terutama terfokus pada P. falciparum, dikuti oleh P. vivax,
yang merupakan spesies dominan di luar sub-Sahara Afrika [71].
Suatu uji coba Tahap 3 yang besar diselesaikan baru-baru ini dengan calon RTS,
S/AS01 (Mosquirix), suatu protein fusi recombinan menunjukkan wilayah-
wilayah dari protein P. falciparum circumsporozoite menyatu secara kovalen pada
antigen permukaan hepatitis B. Fusi protein ini ditunjukkan dengan antigen
permukaan hepatitis B untuk membentuk partikel-partikel serupa-virus, yang
disusun kembali dalam suatu ajuvan untuk membentuk cairan vaksin tersebut. Uji
coba Tahap 3 mengevaluasi dua kelompok anak-anak. Delapan belas bulan setelah
dosis ketiga, tingkat kemanjuran diperkirakan 45 % untuk usia 5 – 17 bulan dan
26 % untuk usia 6 – 12 minggu. Ketika keseluruhan masa ujicoba dievaluasi,
tingkat kemanjuran adalah berurutan 26 % dan 18 % [71]. Kemanjuran terbatas
ini menggaris-bawahi tantangan pengembangan suatu vaksin terhadap suatu
organisme yang kompleks dengan suatu susunan gen of stage-specific genes [74],
dan sementara banyak data keselamatan dan kemanjuran sangat dibutuhkan, RTS,
S/AS01 mewakili vaksin malaria pertama dengan profil manfaat-resiko yang
menguntungkan [75]. Namun, ada strategi untuk mengambil keuntungan
perlindungan jangka pendek dari vaksin ini, seperti vaksinasi-vaksinasi reactive
ring, dimana semua orang divaksinasi dalam suatu radius di sekitar wilayah
populasi yang ditetapkan secara geografis. Pendekatan-pendekatan serupa adalah
bukti kunci terhadap pembasmian penyakit cacar [72].
Melihat ke Depan

Upaya-upaya penelitian (riset) untuk membendung air pasang terhadap


komplikasi-kompliasi saraf yang dikaitkan dengan infeksi akan pada waktu-
waktu menjadi reaksioner, khususnya penyakit infeksi saraf yang baru muncul,
seperti flaccid paralysis dikaitkan dengan wabah pada 2014 of enterovirus D68
dan yang lebih baru muncul pandemi Zika. Dalam sebuah editorial tentang visus
Zika, Dr. Anthony Fauci menulis bahwa kita harus bersiap untuk kemunculan
berkesinambungan penyakit-penyakit yang berasal dari arthropda membendung
dari perilaku-perilaku yang mengganggu keseimbangan ekologi, termasuk
pemanasan global, peningkatan urbanisasi, dan perjalanan antar bangsa [6].
Namun, dengan langkah-langkah yang konkrit, waktu untuk pengembangan dan
pelaksanaan terapi yang efektif dengan vaksin dapat diturunkan secara
substansial. Langkah-langkah ini termasuk pengembangan terapi-terapi lintas-
lindung dan platform-platform vaksi imunogenik yang mudah dimodifikasi,
kenaikan cadangan internasional, dan percepatan pelaksanaan vaksinasi di area-
area endemi [17]. Banyak vaksin yang manjur saat ini adalah formulasi-formulasi
virus hidup yang dilemahkan (live-attenuated formulations), yang meniru infeksi
alami melalui suatu amplifikasi agen secara biological (meskipun dikontrol) [24].
Karena vaksin-vaksin hidup yang dilemahkan mempunyai beberapa kekhawatiran
keselamatan, khususnya pada subpopulasi seperti wanita hamil dan individu-
individu dengan immunocompromise, vaksin subunit dengan berbagai strategi
penggerak/pendorong bisa menawarkan suatu solusi, meskipun stategi-strategi
vaksin harus agent-dependent [76]. Mengingat morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia secara langsung dibendung dari infeksi-infeksi SSP, strategi-strategi
vaksin terhadap agen-agen infeksi saraf musti dibuat sebagai prioritas kesehatan
dunia.

Anda mungkin juga menyukai