Anda di halaman 1dari 20

ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK

Pengetahuan mengenai anatomi arteri serebrovaskular dan daerah otak yang


disuplai oleh arteri tersebut bermanfaat untuk menentukan pembuluh darah yang
terlibat dalam stroke akut. Pola atipikal yang tidak sesuai dengan distribusi vaskular
mungkin mengindikasikan diagnosis lain, seperti infark vena. Hemisfer otak disuplai
oleh 3 arteri utama yang berpasangan: arteri serebral anterior, medial, dan posterior.
Arteri serebral anterior dan medial bertanggung jawab atas sirkulasi anterior dan
berasal dari arteri karotid internal. Arteri serebral posterior berasal dari arteri basilar
dan membentuk sirkulasi posterior, yang juga menyuplai thalamus, batang otak, dan
serebelum. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler
vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna. Dengan mengetahui anatominya,
klinisi akan mudah menentukan lokasi pembuluh darah yang terserang dari tanda dan
gejala klinis.

Tabel 1. Pembagian daerah otak yang diperdarahi pembuluh darah serebral

Sirkulasi Anterior (sistem karotis)


Anterior choroidal Hippocampus, globus pallidus, lower internal capsule
Anterior cerebral Medial frontal dan parietal cortex cerebri and subjacent white
matter, anterior corpus callosum
Middle cerebral Lateral frontal, parietal, occipital, and temporal cortex and
subjacent white matter
Lenticulostriate branches Caudate nucleus, putamen, upper internal capsule
Sirkulasi Posterior (sistem vertebrobasiler)
Posterior inferior cerebellar basilar Medulla, lower cerebellum
Anterior inferior cerebellar Lower and mid pons, mid cerebellum
Superior cerebellar Upper pons, lower midbrain, upper cerebellum
Posterior cerebellar Medial occipital and temporal cortex and subjacent white
matter, posterior corpus callosum, upper midbrain
Thalamoperforate branches Thalamus
Thalamogeniculate branches Thalamus

1
Gambar 1 Anatomi Pembuluh Darah dan Nervus Kranial pada Otak1

2
STROKE

I. DEFINISI

Menurut World Health Organization (WHO) definisi stroke adalah adanya


defisit neurologis baik fokal (atau global) pada fungsi serebral yang tanda klinisnya
berkembang cepat, dengan gejala lebih dari 24 jam atau mengakibatkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain yang nyata, kecuali berasal dari vaskuler. Definisi stroke
dari WHO diatas, sebelumnya banyak dipakai dalam klinis maupun riset, namun
definisi tersebut saat ini dianggap tidak akurat dan tepat lagi. Dengan berkembangnya
neuroimejing, kriteria gejala stroke lebih dari 24 jam tidak relevan lagi, karena jejas
permanen dapat terjadi lebih awal. Berkembangnya terapi trombolisis dan terapi
stroke hiperakut juga semakin menegaskan bahwa definisi stroke tidak lagi hanya
berdasarkan gambaran klinis.2

Pada tahun 2013, AHA/ASA expert consensus membuat definisi baru tentang
stroke sebagai berikut :

Tabel 2. Definsi Stroke2


Definisi infark Susunan saraf pusat (SSP) : Infark SSP adalah kematian sel akibat iskemia
pada otak, korda spinalis atau retina berdasarkan :
1. patologi, imejing, atau bukti obyektif lainnya pada serebral, korda spinalis, atau retina
berupa jejas iskemik fokal dalam suatu distribusi vaskuler. Atau
2. adanya bukti klinis berupa jejas iskemik fokal pada serebral, korda spinalis, atau retinal
berdasarkan adanya gejala yang menetap dalam 24 jam atau lebih atau mengalami
kematian, dan bukan akibat etiologi yang lain (catatan: infark SSP termasuk didalamnya
perdarahan area infark (hemorrhagic infarction), tipe I dan II)
Definisi stroke iskemik :
Adanya suatu episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark serebral, spinal, atau
retina (bukti infark SSP telah didefinisikan diatas).
Definisi infark SSP tersembunyi (silent) :
Adanya bukti imejing atau neuropatologi SSP, tanpa adanya riwayat disfungsi neurologis akut
yang berkaitan dengan lesi
Definisi perdarahan intraserebral :
Sekumpulan darah fokal pada parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh
trauma (catatan: perdarahan intraserebral termasuk perdarahan parenkim setelah infark SSP,
tipe I dan II)
Definisi stroke akibat perdarahan intraserebral :
Adanya tanda klinis disfungsi neurologis yang berkembang cepat yang berhubungan dengan

3
sekumpulan darah fokal pada parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh
trauma.
Definisi perdarahan serebral tersembunyi (silent) :
Sekumpulan fokal produk darah yang kronik pada parenkim otak, rongga subarachnoid, atau
system ventrikel pada neuroimejing atau pemeriksaan neuropatologi yang tidak diakibatkan
oleh trauma dan tanpa riwayat disfungsi neurologis akut yang berhubungan dengan lesi.
Definisi perdarahan subarakhnoid :
Perdarahan pada rongga subarakhnoid (rongga antara membran arakhnoid dan pia mater pada
otak dan korda spinalis)
Definisi stroke akibat perdarahan subarakhnoid :
Adanya tanda disfungsi neurologis dan atau nyeri kepala yang berkembang cepat akibat
perdarahan pada rongga subarakhnoid (rongga antara membran arakhnoid dan pia mater pada
otak dan medual spinalis), yang tidak diakibatkan oleh trauma.
Definisi stroke disebabkan oleh thrombosis vena serebral :
Adanya infark atau perdarahan pada otak, korda spinalis, atau retina disebabkan oleh
thrombosis pada struktur vena serebral. Gejala dan tanda yang diakibatkan oleh edema yang
reversible tanpa infark dan perdarahan tidak dikualifikasikan sebagai stroke.
Definisi stroke yang tidak khas (not otherwise specified) :
Suatu episode disfungsi neurologis akut yang diduga berasal dari iskemia atau perdarahan,
menetap ≥24 jam atau meninggal, tetapi tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan
sebagai salah satu diatas.

Pada tahun 2009, expert committee of the AHA/ASA mendefinisikan TIA


sebagai episode sementara disfungsi neurologis yang diakibatkan oleh iskemia fokal
pada otak, korda spinalis, iskemia retinal tanpa adanya infark akut.3

II. EPIDEMIOLOGI

WHO memperkirakan 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke setiap


tahunnya. Sebanyak sepertiga diantaranya tersebut meninggal, sepertiganya
mengalami disabilitas dan sepertiga memiliki hasil yang baik. Tekanan darah tinggi
merupakan faktor yang berperan pada lebih dari 12,7 juta stroke setiap tahunnya di
seluruh dunia. Insidensi lebih besar terjadi pada orang usia lanjut dan keturunan
Afrika dan Asia. Insidensi stroke hemoragik baru atau rekuren di Amerika Serikat
adalah 795.000 orang per tahun. Pada tahun 2000, stroke menyumbang 7% dari semua
kematian di Kanada. Umumnya, perdarahan intraserebral (PIS) menyumbang ~10%
dari semua stroke dan dikaitkan dengan tingkat kematian 50% kasus. Sejak tahun

4
1980, kejadian PIS hipertensif telah menurun, yang mencerminkan peningkatan
kontrol tekanan darah pada populasi.4

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di


Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang
terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada
kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke berdasarkan jenis
kelamin lebih banyak laki-laki (7,1%). dibandingkan dengan perempuan (6,8%).
Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan lebih tinggi (8,2%)
dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%). Berdasarkan data 10 besar penyakit
terbanyak di Indonesia tahun 2013, prevalensi kasus stroke di Indonesia berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mill dan 12,1 per mill untuk yang
terdiagnosis memiliki gejala stroke.5

III. KLASIFIKASI

Berdasarkan gambaran patologis intrakranial tipe stroke, terdiri dari:

1. Stroke infark yang merupakan kematian (nekrosis) pada sebagian jaringan otak
disebabkan berkurangnya perfusi vaskuler (cerebral blood flow) akibat stenosis
atau oklusi pembuluh darah. Berdasarkan patofisiologinya dibagi dalam infark
aterotrombotik (suatu proses tombosis superimposed pada aterosklerosis
serebral), kardioemboli (sumbatan emboli berasal dari jantung), dan infark
lakuner (yaitu terjadinya infark-infark kecil)

2. Stroke perdarahan yang terdiri dari :

- Perdarahan intraserebral (PIS), yaitu perdarahan kedalam jaringan


parenkimal otak akibat ruptur vaskuler.

- Perdarahan subaraknoidal (PSA), yaitu pecahnya pembuluh darah dan


masuknya darah kedalam rongga subarakhnoid. Berdasarkan asalnya
darah dibagi dalam PSA primer yaitu bila darah masuk langsung kedalam
rongga subarachnoidal dan PSA sekunder apabila darah berasal dari PIS
kemudian juga mengisi rongga subarakhnoid, biasanya melalui
perdarahan intraventrikuler.

5
STROKE

STROKE INFARK STROKE


PERDARAHAN

PERDARAHAN
ATHERO INTRASEREBRA
THROMBOTI L
K
(80%)
KARDIOEMBOL PERDARAHAN
LAKUNER I SUBARAKNOID

Gambar 2 Bagan Pembagian Stroke Berdasar Gambaran Patologis

IV. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada stroke hemoragik diantaranya


adalah hipertensi, terapi anti koagulan, terapi trombolitik, konsumsi alkohol yang
tinggi, riwayat stroke sebelumnya, dan penggunaan narkoba (terutama kokain).
Hipertensi sejauh ini adalah penyebab stroke hemoragik yang paling umum, hingga
60% dari kasus stroke merupakan kasus perdarahan intraserebral. Sekitar dua pertiga
pasien dengan PIS memiliki riwayat hipertensi. PIS hipertensif berasal dari aneurisma
kecil yang pecah dan mengakibatkan perdarahan intrakranial. Terapi antikoagulan
menyebabkan tujuh sampai sepuluh kali lipat peningkatan risiko stroke hemoragik.4

Aneurisma intrakranial umumnya diakibatkan oleh lesi yang ditemukan pada


1-6% otopsi postmortem. Sebagian besar tidak pecah sepanjang hidup seseorang dan
tetap tidak terdiagnosis. Namun, 27.000 kasus pendarahan subarakhnoid yang
disebabkan aneurisma yang pecah terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya,
menyumbang 5-15% kasus stroke hemoragik. Proses pembentukan aneurisma dan
rupturnya tidak sepenuhnya dipahami. Namun, hipertensi dan merokok telah
didokumentasikan dengan jelas berhubungan dengan aneurisma serebral yang pecah
dan keduanya terbukti menyebabkan defek struktural dengan melibatkan perubahan
endovaskular. Dimana lapisan media tunika sering kali berimplikasi, menyebabkan

6
kelemahan fokal pada dinding pembuluh darah yang dapat menyebabkan
terbentuknya balon aneurisma pada bifurkasi arteri.4

Faktor risiko stroke hemoragik yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya usia
lanjut, bangsa Negro, amyloidosis serebral, koagulopati, vaskulitis, malformasi
arteriovenosa (arteriovenous malformation, AVM), dan neoplasma intrakranial.4

Perdarahan intrakranial yang terkait dengan angiopati amiloid serebral


herediter (cerebral amyloid angiopathy, CAA) disebabkan oleh mutasi pada gen
prekursor protein amiloid atau gen cystatin C yang diturunkan dalam pola dominan
autosomal. Meskipun sering asimtomatik, CAA merupakan penyebab penting
perdarahan intraserebral lobar primer pada orang usia lanjut. Koagulopati yang
menjadi predisposisi perdarahan yang masif dapat disebabkan oleh kekurangan faktor
perdarahan yang diturunkan atau karena patologi liver yang didapat. PIS yang
disebabkan oleh koagulopati yang didapat dapat berasal dari penggunaan
antikoagulan, antagonis platelet dan sifat antikoagulan lainnya. Beberapa obat tanpa
sifat antikoagulan diketahui menyebabkan perdarahan intraserebral. Obat tersebut
termasuk amfetamin fensiklidin dan kokain. Pada anak-anak, penyebab paling umum
PIS adalah malformasi vaskular (AVM), sekitar sepersepuluh dari aneurisma serebral
pada orang dewasa dengan perdarahan intrakranial spontan.4

V. PATOGENESIS

PIS terdiri dari tiga tahap berbeda yaitu: (1) perdarahan awal, (2) ekspansi
hematoma, dan (3) edema peri-hematoma. Perdarahan awal disebabkan oleh ruptur
arteri serebral yang dipengaruhi oleh faktor risiko yang telah dijelaskan di atas.
Luaran penyakit tergantung terutama pada dua fase perkembangan terakhir. Ekspansi
hematoma, terjadi beberapa jam setelah awitan gejala awal, melibatkan peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) yang mengganggu integritas jaringan lokal dan sawar
darah otak. Selain itu, aliran keluar vena terhambat menginduksi pelepasan
tromboplastin jaringan, menghasilkan koagulopati lokal. Pada sepertiga pasien,
peningkatan hematoma dikaitkan dengan hiperglikemia, hipertensi, dan antikoagulan.
Ukuran perdarahan awal dan tingkat ekspansi hematoma adalah variabel prognostik
yang penting dalam memprediksi kerusakan neurologis. Hematoma ukuran > 30 ml
dikaitkan dengan kematian yang sangat meningkat. Setelah ekspansi hematoma,

7
terbentuk edema serebral di sekitar hematoma, akibat inflamasi dan gangguan sawar
darah-otak. Edema peri-hematoma ini adalah etiologi utama kerusakan neurologis dan
berkembang selama beberapa hari setelah perdarahan awal Pergeseran substansial
parenkim otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dengan
potensi luaran sindrom herniasi yang fatal.4

Hingga 40% kasus PIS, pendarahan meluas ke ventrikel serebral yang


menyebabkan perdarahan intraventrikular (PIH). Hal ini terkait dengan hidrosefalus
obstruktif akut dan prognosis yang memburuk secara substansial. PIS dan edema yang
menyertainya mungkin juga mengganggu atau menekan jaringan yang berdekatan,
menyebabkan defisit neurologis yang berkelanjutan. Lokasi tersering aneurisma
ditunjukkan oleh gambar 3.

Gambar 3. Lokasi tersering ruptur aneurisma serebral

VI. MANIFESTASI KLINIS

Pengenalan gejala PIS yang cepat sangatlah penting. Perkembangan klinis


yang cepat selama beberapa jam pertama dapat dengan cepat menyebabkan defisit
neurologis dan instabilitas kardiopulmoner. Presentasi klasik pada PIS adalah awitan
progresif defisit neurologis fokal selama beberapa menit sampai jam yang disertai
nyeri kepala, mual, muntah, tingkat kesadaran yang menurun dan tekanan darah
tinggi. Namun, pada stroke iskemik dan perdarahan subarakhnoid, biasanya terdapat

8
perkembangan defisit fokal yang lebih mendadak. Gejala nyeri kepala dan muntah
juga jarang terjadi pada stroke iskemik dibandingkan dengan PIS. Gejala PIS
umumnya disebabkan oleh peningkatan TIK. Hal ini sering dibuktikan dengan adanya
trias Cushing – hipertensi, bradikardia dan respirasi irreguler – yang dipicu oleh
refleks Cushing. Disautonomia juga sering ditemukan pada PIS, yang menyebabkan
hiperventilasi, takipnea, bradikardia, demam, hipertensi dan hiperglikemia.4

Stroke sering sulit dibedakan dengan kondisi neurologis lain yang mirip stroke
dalam presentasi klinisnya. Gejala paling umum yang mirip dengan stroke diantaranya
adalah kejang, sinkop dan sepsis. Gejala sensorik seperti vertigo, pusing dan nyeri
kepala tidak diskriminatif antara stroke dan non-stroke. Selain itu, PIS sangat sulit
untuk didiagnosis karena gejala seperti sinkop, koma, kaku kuduk, kejang, tekanan
darah diastolik > 110 mmHg, mual, muntah, dan nyeri kepala umumnya terjadi pada
stroke iskemik namun biasanya tidak ada pada PIS. Akhirnya, pencitraan neuro secara
dini menjadi penting dalam diagnosis PIS.4

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Pemeriksaan fisik berupa keadaan umum, tingkat kesadaran, tanda-tanda
vital, status generalis, dan status neurologis harus dilakukan. Terdapat alat bantu
skoring untuk memudahkan penegakkan diagnosis yang berdasarkan gejala klinis
yang ada pada saat pasien datang. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain
Sirriraj Stroke Score (SSS) dan Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM).

Tabel 2. Siriraj Stroke Score 6


Klinis Skor Interpretasi
Kesadaran (S) Compos mentis 0
Somnolen – stupor 1
Semikoma – koma 2
Muntah dlm 2 jam (M) Tidak ada 0
Ada 1 Skor SSS > 1 perdarahan
Nyeri kepala dlm 2 jam (N) Tidak ada 0 otak
Ada 1 Skor SSS < -1 infark otak
Tekanan diastolik (D) -1<SSS<1 meragukan
Atheroma (A) Tidak ada 0
Salah satu atau lebih 1
(DM, Angina, penyakit
pemb. darah)
SSS = (2,5 x S) + (2 x M) + (2 x N) + (0,1 x D) - (3 x A) – 12

9
Algoritma Stroke Gadjah Mada

VIII. TATALAKSANA

IX. KOMPLIKASI

X. PROGNOSIS

Gambar 4. Algoritma Stroke Gadjah Mada

10
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan bertujuan membantu menentukan diagnosa,


menyingkirkan diagnosa banding, serta dapat mengetahui penyakit komorbid,
komplikasi, prognosa dan membantu menentukan terapi yang akan diberikan.
Pemeriksaan penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium dan radiologis.7

Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya adalah pemeriksaan


darah perifer lengkap, gula darah sewaktu, fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat),
fungsi hati (SGOT dan SGPT), protein darah (albumin, globulin), profil lipid
(kolesterol, trigliserida, HDL, LDL), analisa gas darah dan elektrolit.7

Pemeriksaan neuroimejing sangat penting untuk membantu memprediksi


diagnosis dan prognosis pada stroke akut. Terdapat dua teknik pemeriksaan
pencitraan untuk mengevaluasi kasus stroke atau penyakit pembuluh darah otak yaitu
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computerized Tomography Scanner (CT-
Scan) yang dapat secara cepat, tepat membedakan antara stroke iskemik dengan
stroke perdarahan intraserebral. CT-Scan tanpa kontras merupakan standar baku emas
untuk membedakan stroke hemoragik dan iskemik.7

Pemeriksaan CT scan merupakan strategi utama yang efektif pada pencitraan


pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk perdarahan lama. Secara umum, CT
kurang sensitif dibanding MRI, tetapi keduanya sama-sama spesifik untuk mendeteksi
adanya perdarahan atau tidak.8 Rekomendasi persyaratan untuk Pencitraan CT kepala
pada stroke akut diantaranya

a. CT scan kepala tanpa kontas

b. Peralatan generasi ketiga atau keempat

c. Ketebalan potongan 540 mm, dengan irisan yang terputus-putus

d. Potongan harus dibuat pada bidang oblik untuk mencegah radiasi ke mata

Kriteria diagnostik pada pencitraan CT kepala pada stroke infark yaitu adanya
area hipodens fokal, pada kortkal, subkortikaii atau sustantia alba atau grisea yang
dalam, diikuti aoble: teritoral vaskular, atau distribusi water-shed, adanya kontras
antara substansia alba dan grisea dan hilangnya sulkus atau pita insular. Gambaran CT
scan pada stroke hemoragik memiliki kriteria adanya gambaran hiperdens pada

11
sustansia alba atau grisea dengan atau tanpa terkenanya permukaan kortikal (40-90
Hounsfield Units.).8

Gambar 5. Gambaran CT scan perdarahan intraserebral

12
XI. TATALAKSANA

Berdasarkan guideline stroke 2011 oleh Perdossi, penatalaksanaan stroke


dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus. Penatalaksanaan umum ditujukan
terhadap fungsi vital: paru-paru, jantung, ginjal, keseimbangan elektrolit dan cairan,
gizi, higiene.8

Pentalaksanaan Umum Stroke Akut

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Evaluasi cepat dan diagnosis

2. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan

3. Stabilisasi hemodinamik (sirkulasi)

-Berikan cairan kristaloid atau koloid IV (hindari pemberian cairan hipotonik


seperti glukosa).

-Dianjurkan pemasangan CVC, untuk memantau kecukupan cairan dan sarana


memasukkan cairan dan nutrisi.

4. Pemeriksaan awal fisik umum

-Tekanan darah

-Pemeriksaan jantung

-Pemeriksaan neurologi umum awal : derajat kesadaran, pemeriksaan pupil dan


okulomotor, keparahan hemiparesis.

5. Pengendalian peningkatan TIK

- Monitor tekanan intra kranial harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9
dan penderita dengan penurunan kesadaran karena TTIK

- Sasaran terapi adalah TIK < 20 mmHg dan tekanan perfusi otak > 70
mmHg

- Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan TIK meliputi :

 Tinggikan posisi kepala 20 – 30°

 Hindari penekanan pada vena jugulare.

 Hindari pemakaian cairan glukosa atau cairan hipotonik.

 Hindari hipertermia

13
 Jaga normovolemia

 Osmoterapi atas indikasi.

 Manitol 0,25 – 0,50 gr/kgBB selama > 20 menit, diulangi setiap 4


– 6 jam dengan target ≤ 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

 Jika perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV.

6. Penanganan transformasi hemoragik

7. Pengendalian kejang

8. Pengendalian suhu tubuh

9. Pemeriksaan penunjang

B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat

1. Cairan

- Gunakan cairan isotonis seperti NaCl 0,9% untuk menjaga euvolemi

- Kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari

- Balans cairan: produksi urin sehari + 500 ml (insensible water loss) + 300
ml/oC pd pasien demam

2. Nutrisi:

- Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam

- Nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik à
gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.

- Akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kgBB/hari dengan karbohidrat 30-40%,


lemak 20-35%, protein 20-30%

3. Pencegahan dan penanganan komplikasi

4. Penatalaksanaan medis lain

14
Pentalaksanaan Khusus Stroke Akut

A. Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral9

1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat

a. Skor keparahan awal harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi awal
pasien dengan PIS

b. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan


untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan intrakranial

2. Hemostasis dan Koagulopati, Agen antiplatelet, dan profilaksis DVT

a. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia berat


harus menerima terapi penggantian faktor atau platelet yang sesuai
b. Pasien PIS dengan peningkatan INR terkait obat vitamin K antagonist
(VKA) harus menunda VKA, dan mendapat terapi untuk vitamin K-
dependent factor dan mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K
intravena.
3. Tekanan Darah

Untuk pasien PIS yang datang dengan tekanan darah sistolik (TDS) antara 150
dan 220 mmHg dan tanpa kontraindikasi terhadap pengobatan BP akut,
penurunan TDS secara akut sampai 140 mmHg aman dan dapat efektif untuk
memperbaiki luaran fungsional.

4. General Monitoring dan Nursing Care

Pemantauan dan pengelolaan awal pasien ICH harus dilakukan di unit perawatan
intensif atau unit stroke khusus dengan dokter dan perawat yang ahli pada
perawatan saraf.

a. Tatalaksana Glukosa: Glukosa harus dipantau. Hiperglikemia dan


hipoglikemia harus dihindari

b. Kejang dan Obat Antikejang: pasien dengan perubahan status mental yang
ditemukan memiliki kejang elektrografi pada EEG harus diobati dengan
obat antikejang.

c. Pengelolaan Komplikasi Medis

- Prosedur skrining formal untuk disfagia harus dilakukan pada semua

15
pasien sebelum dimulainya asupan oral untuk mengurangi risiko
pneumonia

- Skrining sistematis untuk iskemia atau infark miokard dengan EKG dan
uji enzim jantung

5. Prosedur/Operasi

a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial

 Drainase ventrikel sebagai tatalaksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan,


terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran.

 Pasien dengan skor GCS ≤8, dengan bukti klinis herniasi transtentorial,
atau pasien dengan perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus
dapat dipertimbangkan untuk pemantauan dan penanganan TIK. Tekanan
perfusi otak 50-70 mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status
autoregulasi serebral.

 Kortikosteroid tidak boleh diberikan untuk pengelolaan TIK yang


meningkat pada PIS.

b. Perdarahan Intraventrikuler

 Meskipun pemberian intraventrikular recombinant tissu-type plasminogen


activator (rtPA) pada perdarahan intraventrikuler tampaknya memiliki
tingkat komplikasi yang cukup rendah, efikasi dan keamanan tatalaksana
ini masih belum diketahui

 Efektivitas pengobatan endoskopik PIV masih tidak diketahui

c. Tata laksana bedah Perdarahan Intraserebral

1) Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan


neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak dan/atau hidrosefalus
akibat obstruksi ventrikel sebaiknya menjalani operasi evakuasi
perdarahan sesegera mungkin. Tata laksana awal pasien dengan drainase
ventrikel saja tanpa evakuasi bedah tidak dianjurkan.

2) Pembedahan dapat dilakukan pada kasus yang indikatif/memungkinkan


seperti volume perdarahan lebih dari 30 cc atau diameter > 3 cm pada
fossa posterior. Letak lobar dan kortikal dengan tanda-tanda peninggian

16
TIK akut dan ancaman herniasi otak.7

3) Pada sebagian besar pasien dengan PIS supratentorial, kegunaan tindakan


operasi masih belum pasti. Pengecualian khusus dan pertimbangan
subkelompok potensial diuraikan di bawah ini dalam rekomendasi 4
sampai 7.

4) Tindakan evakuasi hematoma dini tidak jelas manfaatnya dibandingkan


dengan evakuasi hematoma saat pasien perburukan.

5) Evakuasi hematoma supratentorial pada pasien yang perburukan dapat


dianggap sebagai tindakan live saving

6) Kraniektomi dekompresif dengan atau tanpa evakuasi hematoma dapat


mengurangi angka mortalitas pada pasien dengan PIS supratentorial yang
koma, yang memiliki hematoma besar dengan pergeseran garis tengah
yang signifikan, atau memiliki refraksi TIK yang meningkat pada tata
laksana medis

7) Efektivitas evakuasi bekuan minimal invasif dengan aspirasi stereotaktik


atau endoskopi dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih belum
diketahui

6. Pencegahan PIS Rekuren

7. Rehabilitasi dan Pemulihan

8. Tata laksana konservatif 7

- Memperbaiki faal hemostasis (bila ada gangguan faal hemostasis)

- Mencegah / mengatasi vasospasme otak akibat perdarahan: Nimodipine

- Pemberian neuroprotektor

Pada kasus ini, pasien diberikan terapi IVFD Asering 20 tetes per menit,
injeksi piracetam 12gr/24jam, nimotop 6 x 30 mg, dan donepezil 2 x 5 mg. Piracetam
merupakan golongan neuroprotektan yang memiliki mekanisme kerja pada level
neuronal yaitu dengan berkaitan dengan kepala polar phospholipid sehingga dapat
memperbaiki fluiditas membran sel, memperbaiki neurotransmisi, menstimulasi
adenylate kinase yang mengkatalisa konversi ADP menjadi ATP. Pada level vaskular,

17
piracetam dapat meningkatkan deformabilitas eritrosit sehingga aliran darah otak
meningkat, mengurangi hiperagregasi platelet, dan memperbaiki mikrosirkulasi.

Nimotop (nimodipin) 30 mg merupakan antagonis saluran kalsium, yang


mempunyai sifat-sifat tertentu sehingga mempunyai potensi sebagai vasodilator
serebral. Nimodipin mempunyai sifat lebih larut dalam lemak, sehingga mampu
memberikan efek vasodilator pada pembuluh darah otak. Afinitas terhadap saluran
kalsium pada pembuluh darah otak juga lebih kuat jika dibandingkan dengan
penghambat kalsium lain. Pemberian nimodipin mampu memberikan efek
vasodilatasi pembuluh darah otak dan sudah diakui memberikan efek mencegah
vasospasme pada pasien dengan stroke hemoragik.

Donopezil merupakan inhibitor spesifik dan reversibel dari asetilkolinesterase


(AChE), suatu kolinesterase utama di otak. Donepezil meningkatkan fungsi kolinergik
dengan cara meningkatkan konsentrasi asetilkolin yaitu melalui efek penghambatan
hidrolisis asetilkotin oleh AChE. Efek penghambatan oleh Donepezil terhadap AChE
di sel darah merah berhubungan dengan efeknya pada sinaps di susunan saraf pusat.

XII. PROGNOSIS

Sekitar setengah dari seluruh mortalitas akibat PIS terjadi dalam 24 jam
pertama setelah perdarahan awal. Mortalitas mendekati 50% pada 30 hari. Faktor-
faktor yang terkait dengan hasil buruk meliputi volume hematoma besar (> 30 mL),
lokasi hematoma di fossa posterior, usia yang lebih tua, tekanan darah arteri rata-rata
(mean arterial pressure, MAP) > 130 mmHg saat pasien datang, dan GCS < 4. Faktor
yang sama juga merupakan prediktor mortalitas paling kuat pada mortalitas 30 hari.
Ekspansi hematoma juga telah terbukti menjadi prediktor independen dari penurunan
fungsi fungsional, defisit neurologis dan mortalitas.4

Skor PIS dan skor FUNC adalah dua skala derajat klinis yang digunakan
sebagai alat bantu prognostik pasien dengan stroke hemoragik. Skor PIS memprediksi
angka mortalitas 30 hari dengan menggunakan faktor-faktor yaitu usia, volume PIS,
skor GCS dan adanya perdarahan intraventrikuler (Tabel 4) . Keterbatasan skoring
PIS adalah bahwa sistem tersebut hanya digunakan untuk memprediksi kelangsungan
hidup pada 30 hari tanpa memperhitungkan luaran fungsional. Skor PIS harus
digunakan bersamaan dengan skor FUNC untuk menilai luaran fungsional.4

18
Tabel 4. Skor PIS4 Tabel 5. Skor FUNC4

Komponen Poin Komponen Poin


3
Skor GCS Volume PIS (cm )
3-4 2 < 30 4
5-12 1 30-60 2
13-15 0 > 60 0
Volume PIS (cm3) Umur (tahun)
> 30 1 <70 2
< 30 0 70-79 1
Perdarahan intraventrikuler >80 0
Ada 1 Lokasi PIS
Tidak ada 0 Lobar 2
PIS infratentorial Dalam 1
Ya 1 Infratentorial 0
Tidak 0 Skor GCS
Umur (tahun) >9 2
> 80 1 <8 0
< 80 0 Gangguan kognitif pra-PIS
Tidak ada 1
Ada 0

Alat prognostik lainnya adalah skor FUNC (Functional outcome risk


stratification). Pasien dinilai untuk risiko mengalami fungsional pada 90 hari pasca
stroke. Rentang skor FUNC dari nol sampai sebelas berdasarkan volume PIS, umur,
lokasi PIS, GCS dan penurunan kognitif sebelum PIS (Tabel 5). Skor yang lebih besar
dikaitkan dengan peluang independensi fungsional yang lebih besar, yang
didefinisikan sebagai GCS ≥4 pada 90 hari.4

19
REFERENSI

1. Moore KL, II AFD, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy, 7th Edition.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
2. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Culebras A, Elkind MS, dkk.
An updated definition of stroke for the 21st century. Stroke. 2013;44(7):2064-
89.
3. Easton JD, Saver JL, Albers GW, Alberts MJ, Chaturvedi S, Feldmann E, dkk.
Definition and evaluation of transient ischemic attack. Stroke. 2009;40(6):2276-
93.
4. Magistris F, Bazak S, Martin J. Intracerebral hemorrhage: pathophysiology,
diagnosis and management. MUMJ. 2013;10(1):15-22.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
6. Nyodu T, Singh KB, Singh J, Kenny S, Singh CD, Singh MK. A comparison of
clinical diagnosis with Computed Tomography findings in stroke patients.
Journal of Medical Society. 2013;27(3):216.
7. Standar Pelayanan Medik (SPM) Neurologi. PERDOSSI. 2013.
8. PERDOSSI. Guideline Stroke Tahun 2011. Jakarta: PERDOSSI; 2011.
9. Hemphill JC, Greenberg SM, Anderson CS, Becker K, Bendok BR, Cushman
M, dkk. Guidelines for the management of spontaneous intracerebral
hemorrhage. Stroke. 2015;46(7):2032-60.

20

Anda mungkin juga menyukai