Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit viral yang


penularannya melalui vektor dan menyebabkan penyakit ensefalitis pada
manusia terutama anak-anak di Asia, dan juga dapat menyerang ternak (TSAI,
2000). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang bersifat zoonosis,
sehingga mempunyai dampak yang cukup serius terhadap kesehatan
masyarakat. Penyakit ini bukan hanya diderita oleh masyarakat Indonesia,
melainkan pula Cina sebagai negara yang sebagian besar penduduknya
mengkonsumsi daging babi yang merupakan reservoir penyakit JE.

Penyakit JE pada manusia merupakan suatu jalan akhir dalam siklus


penularan (dead-end), karena viraemia pada manusia terjadi hanya beberapa
jam saja sehingga sulit ditularkan lebih lanjut kepada orang lain. Manusia yang
terserang penyakit ini dapat berakibat kematian apabila tidak segera ditangani
dengan baik. WEI (2005) melaporkan bahwa umur anak paling rawan
terinfeksi JE antara 5 hingga 9 tahun. Hal ini ditunjang dengan hasil
penelitian GAUTAMA (2005).

Pada ternak, penyakit JE tidak menimbulkan gejala klinis yang


khas, sehingga sukar terdiagnosa. Berdasarkan berbagai laporan, kejadian infeksi
virus JE pada hewan cukup tinggi. Namun demikian angka kematiannya
cukup rendah. Hewan yang terinfeksi biasanya menjadi reservoir atau carrier
yang dapat menularkan virus tersebut kepada manusia melalui serangga
nyamuk sebagai vektornya. Oleh karena itu peranan hewan, terutama babi
sangat penting dalam penularan IE kepada manusia.

Mengingat penyakit ini sering menimbulkan keresahan masyarakat dan terdapat


di wilayah Indonesia serta dapat mewabah pada suatu waktu, maka perlu
penyebarluasan pengetahuan (informasi) tentang perkembangan penyakit JE

1
di Indonesia, sehingga antisipasi pencegahan dan pengendaliannya dapat
dilakukan sedini mungkin.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana konsep umum penyakit JE ?

1.2.2 Bagaimana perkembangan penyakit JE di Indonesia dan Cina ?

1.2.3 Bagaimana metode pencegahan penyakit JE di Indonesia dan Cina ?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui konsep umum penyakit JE

1.3.2 Untuk mengetahui perkembangan penyakit JE di Indonesia dan Cina.

1.3.3 Untuk mengetahui metode pencegahan penyakit JE di Indonesia dan Cina.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Umum Penyakit JE

Encephalitis adalah peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi


virus. Encephalitis juga merupakan radang jaringan otak yang dapat disebabkan
oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsiaatau virus. Kerusakan otak terjadi
karena otak terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.
Komplikasi jangka panjang dari encephalitis berupa sekuele neurologikus yang
Nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala
klinik, dan penanganan selama perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus
mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk
mendeteksi adanya sekuele secara dini.

Etiologi Encephalitis

Encephalitis disebabkan oleh :

1. Bakteri

2. Virus

3. Parasit

4. Fungus

5. Riketsia

Tanda dan Gejala Encephalitis

Adapun gejala-gejala yang mungkin timbul pada masalah encephalitis adalah:

a. Panas badan meningkat.

b. Sakit kepala.

c. Muntah-muntah lethargi.

d. Kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.

e. Gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku.

3
f. Gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan kejang

Patofisiologi Encephalitis

Virus masuk ke dalam tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan menyebar ke seluruh tubuh
melalui cara :

1. Setempat : virus hanya menginfeksi selaput lendir, permukaan atau organ


tertentu

2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian


menyebar ke berbagai organ dan berkembang biak pada organ tersebut.

3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama


kali ia masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.

4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput


lender dan menyebar melalui sistim saraf

Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis encephalitis.


Masa prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala,
pusing, muntah nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu
badan meningkat, foto fobia, sakit kepala, muntah-muntah, kadang disertai kaku
kuduk apabila infeksi mengenai meningen. Pada anak, tampak gelisah kadang
disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan,
pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain berupa gelisah, rewel, perubahan
perilaku, gangguan kesadaran, kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis
fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan paralisis saraf otak.
Masa inkubasi virus ini berkisar 4-15 hari.

4
2.2 Perkembangan Penyakit JE di Indonesia dan Cina

a. Perkembangan JE di Indonesia

Untuk mengambil informasi mengenai perkembangan penyakit JE di


Indonesia, penulis mengambil data dari jurnal Virus Japanese Encephalitis dan
Masalahnya di Indonesia dan Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara agraris, dimana


sebagian besar mata pencaharian penduduknya dari bertani, seperti menanam
padi di sawah yang merupakan habitat yang paling baik bagi perkembangbiakan
nyamuk termasuk vektor JE. Sebagai negara tropis dan negara agraris, Indonesia
memiliki hamparan sawah yang luas dengan populasi yang padat, yang apabila
disertai dengan banyaknya populasi babi di sekitamya, maka akan sangat
beresiko munculnya wabah (meningkatnya kejadian) JE pada manusia. Migrasi
nyamuk dari satu pulau ke pulau lain sering terjadi, bahkan migrasi nyamuk dari
satu negara ke Indonesia atau sebaliknya dapat terjadi.

Menurut jurnal Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia, dalam


beberapa tahun terakhir ini laporan kasus JE di Indonesia, mulai berrnunculan
dan dipublikasi. YOSHIDA et al. ( l 999) melaporkan bahwa dua dari 12 pasien
yang secara klinis menunjukkan gejala ensefalitis telah terdiagnosa terinfeksi
virus JE di Bali. Selanjutnya, TIROUMOUROUGANE et al. (2002) melaporkan
bahwa rasio terjadinya klinis asimptomatis dan simptornatis infeksi JE adalah
25:1 dan 1000:1. Penelitian lain berupa surveilens terhadap JE telah dilakukan,
terutama untuk menentukan daerah beresiko terbesar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa di Bali telah terdapat 40 kasus JE pada manusia antara
tahun 1990-1995.

Namun demikian hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa JE di Bali


bukan merupakan sporadik tetapi merupakan hiperendemik, karena kasus
ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi virus JE dapat mencapai 36%
(GAUTAMA, 2005). Keadaan ini dapat menimbulkan kekuatiran apabila JE
tidak ditangani secara menyeluruh. Situasi demikian terutama karena terjadi
pada daerah obyek pariwisata, akan berdampak kepada kekhawatiran para turis

5
untuk datang ke Bali. Hal ini akan menimbulkan kerugian yang besar bagi
pemerintah Indonesia dalam pemasukan devisa negara dari sektor pariwisata.

WEI (2005) melaporkan bahwa kasus klinis JE pada manusia di Bali


mencapai 36%, di Manado (Sulawesi Utara) mencapai 22%, dan di Pontianak
(Kalimantan Barat) mencapai 25%. Dari data tersebut terlihat bahwa Propinsi
Bali merupakan daerah beresiko JE terbesar disusul oleh Propinsi Kalimantan
Barat dan Sulawesi Utara. Rasio populasi manusia terhadap babi di Bali adalah
3 : I. Dari data tersebut terlihat bahwa babi merupakan induk semang
potensial yang dapat mengamplifikasi virus JE sehingga siap ditularkan ke
manusia dan hewan lainnya. Tingginya resiko JE di Bali, mengindikasikan
bahwa penerapan vaksinasi pada anak-anak perlu dipertimbangkan. Masalah
yang muncul adalah pemilihan vaksin JE yang aman dan waktu vaksinasi yang
tepat. Jurnal ini juga menyebutkan kasus terbanyak dialami oleh anak-anak
berusia 5-9 tahun.

Menurut jurnal Virus Japanese Encephalitis dan Masalahnya di Indonesia,


pada tahun 1990-2000 dengan menggunakan tes ELISA didapatkan hasil bahwa
kasus JE terbanyak dimiliki oleh Bali sebesar 12%, NTT sebesar 8,33%, dan
Kalimantan Barat sebesar 2,38%. Karena data menunjukkan kasus terbesar ada di
Bali, maka pada tahun 2000-2003 dilakukan penelitian lanjutan JE di Bali dengan
tes IgM capture ELISA dan CSS fase akut dan konvaselen. Hasil yang didapatkan
adalah dari 155 kasus encephalitis, 55 diantaranya adalah kasus JE.

b. Perkembangan JE di Cina

Untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan penyakit JE di


Cina, penulis menggunakan jurnal acuan The Incidence of Japanese Encephalitis
in Taiwan-A Population Based Study dan Japanese Encephalitis in Mainland
China. Menurut jurnal The Incidence of Japanese Encephalitis in Taiwan-A
Population Based Study, pelaporan kasus penyakit JE saat ini sudah direkam
dengan data elektronik setiap tahunnya oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit Tiongkok, Cina. Secara historis, terdapat 2 epidemi utama kasus JE.

6
Yang pertama pada tahun 1966, memiliki insiden tahunan sebanyak 15/100.000
dalam skala nasional dan yang kedua pada tahun 1971 tercatat174.932 kasus
morbiditas insiden JE atau dalam skala 20,92/100.000. Sejak tahun 1980an
vaksinasi JE telah banyak digunakan di Cina dan kasus JE telah mengalami tahap
penurunan hingga saat ini. Namun, sebelum tahun 1990an, angka morbiditas
tahunan berkisar antara 20.000 dan 40.000.

Kasus JE paling banyak ditemukan pada bulan Juli dan Agustus. Jumlah
morbiditas pada bulan Agustus sejumlah 41,14% dari total morbiditas tahunan.
Kemudan menurun dari bulan Oktober dan seterusnya. Kejadian JE di wilayah
utara dan selatan Cina memiliki perbedaan. Di wilayah utara, kasus JE mulai
meningkat di bulan Agustus dan menurun bulan September. Sedangkan di wilayah
selatan, kasus JE meningkat pada bulan Juli dan menurun secara signifikan pada
bulan Agustus. Distribusi geografis penyakit JE juga dikategorikan menjadi 4,
yaitu

1. Daerah yang sangat endemis dengan insiden rata-rata sekitar > 1/100.000
yang meliputi wilayah Provinsi Sinchuan, Guizhou, Kota Chongqing,
Provinsi Shaanxi, dan Yunnan. Setiap tahun jumlah morbiditas di daerah-
daerah ini menyumbang 50% dari total kasus secara nasional.
2. Daerah endemis sedang dengan insiden rata-rata sekitar 0,5/100.000-
1/100.000 yang meliputi wilayah-wilayah seperti Provinsi Shanxi, Henan,
Anhui, Hubei, Hunan, Jiangxi, dan Guangxi. Setiap tahun jumlah
morbiditas di daerah-daerah ini menyumbang 20% dari total kasus secara
nasional.
3. Daerah endemic rendah dengan insiden rata-rata antara 0,1/100.000-
0,5/100.000 yang meliputi wilayah-wilayah seperti Provinsi Shanxi,
Gansu, Jiangsu, Shandong, Fujian, Guangdong, dan Zhejiang. Selain itu,
ada 10 provinsi dengan insiden < 0,1/100.000, yaitu Provinsi Heibei,
Ningxia, Kota Shanghai, Provinsi Liaoning, Mongolia, Hainan, Tianjin,
Kota Beijing, Provinsi Jilin, dan Heilongjiang.
4. Daerah tidak endemic yang merupakan daerah yang belum terdapat
laporan mengenai kasus JE, meliputi Provinsi Qinghai, Otonomi Xinjiang
Uygur, dan Tibet. Walaupun terdapat beberapa kasus dari daerah lain yang
terekam disini, daerah-daerah ini masih dianggap sebagai non endemik.

7
Menurut jurnal The Incidence of Japanese Encephalitis in Taiwan-A
Population Based Study, tingkat kejadian JE pada berbagai kelompok umur dibagi
dalam beberapa tahap. Sebelum tahun 1991, kasus JE yang dikonfirmasi terutama
pada penduduk berusia 0-29 tahun berkisar antara 0,124 – 3.03 per 100.000
penduduk. Tingkat kejadian pada kelompok usia 0-29 tahun tertinggi terjadi
antara tahun 1966-1970 dengan 2,44 – 3,03 kasus per 100.000 penduduk. Dan
tingkat umur kedua yaitu umur 30 tahun keatas tercatat rendah dari tahun 1992
hingga 2000. Namun setelah tahun 2001, kejadiannya meningkat, kelompok umur
30 tahun keatas memiliki angka kejadian lebih tinggi daripada penduduk usia
dibawah 30 tahun, yakni 0,167 vs 0,052 kasus per 100.000 penduduk.

2.3 Metode Pencegahan Penyakit JE di Indonesia dan Cina

a. Metode Pencegahan Penyakit JE di Indonesia

Untuk mengurangi penyebaran penyakit JE pada ternak dan manusia,


maka pemutusan rantai penularan (virus, vektor nyamuk dan induk semang) perlu
dilakukan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalarn rangka pemutusan
rantai penularan, misalnya dilakukannya penyuluhan kepada masyarakat akan
bahaya infeksi JE pada manusia terutama pada anak-anak, ditetapkannya relokasi
peternakan babi yang jauh dari pemukiman penduduk yang padat untuk
menghindari kontak antara vektor dengan manusia yang dapat menyebabkan
radang otak; menghambat populasi vektor; dan penerapkan sistem karantina yang
ketat dengan cara memperketat pengawasan lalulintas ternak (khususnya babi) di
setiap daerah point of entry. Pemasukan babi dari negara atau daerah positif JE ke
wilayah Indonesia secara ilegal perlu diwaspadai. Pemberian larvasida misalnya
abate pada air yang menggenang, seperti bak air, disertai dengan penyemprotan
insektisida ataupun fogging untuk membunuh larva dan nyamuk dewasa
secara berkala, perlu dilakukan di rumah ataupun di sekitar kandang temak.

Penggunaan fogging ini sering dilakukan di Indonesia dalam


rangka pencegahan penyakit demam berdarah. Selain senyawa-senyawa
kimia sintetis tersebut, senyawa kimia alami yang berasal dari
tumbuhan perlu dikembangkan sebagai larvasida yang baik, seperti ekstrak
daun langsap (lansium domesticum), bawang merah (A//ium cepa), dan

8
biji jarak (Ricinus communis) (SUWASONO, I997). Penggunaan vaksin JE
terbukti dapat menurunkan kasus JE secara signifikan di Jepang, Korea
Selatan, Cina, Taiwan dan Thailand (TsAI, 2000, SOHN, 200 I). Di
Indonesia, penggunaan vaksin JE pada manusia belum disosialisasikan,
karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur. Hal ini
disebabkan tidak cukup data untuk mengidentifikasi daerah beresiko paling
tinggi dan waktu paling baik untuk melakukan vaksinasi.Namun pada saat ini
penggunaan vaksin JE sudah banyak disosialisasikan ke masyarakat luas.

Pengumpulan data dasar dari tiap propinsi di Indonesia baik pada


manusia maupun hewan reservoir, serta pelatihan diagnosis laboratorium akan
menghasilkan data surveilen yang lebih komprehensif sehingga dapat
dijadikan arah kebijakan bagi pengendalian dan pencegahan penyakit JE di
Indonesia. Mengingat JE merupakan penyakit zoonosis potensial, maka kasus
yang terjadi pada manusia akan berdampak secara sosial, psikologis dan politis
yang akhirnya akan mempengaruhi pemasukan devisa negara. Untuk
itu, diagnosis secara klinis dan laboratorium terutama di rumah sakit
perlu ditingkatkan. Selain itu, penelitian dan monitoring infeksi dan vektor
JE perlu dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan dan dilakukan di
laboratorium BSL 3 yang aman bagi lingkungannya, sehingga dapat
menghasilkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan pengendalian penyakit JE
di Indonesia.

b. Metode Pencegahan Penyakit JE di Cina

Pencegahan pertama dengan menggunakan vaksin JE. Inokulasi dengan


vaksin yang tidak aktif (strain P-3) dikembangkan dan telah digunakan di Cina
pada awal tahun 1970-an. Vaksin JE dengan mikroorganisme hidup yang
dilemahkan (SA14-14-2) telah digunakan sejak awal 1990-an dan telah
dinyatakan aman dan efektif untuk mencegah penyakit JE. Sebanyak 300.000.000
orang telah divaksinasi dengan (SA14-14-2). Sebelum tahun 2006, total terdapat
16 provinsi yang telah menggunakan vaksin JE sebagai bagian dari imunisasi
mereka. Mulai tahun 2006 dan seterusnya pencegahan JE dengan vaksin telah

9
maju dengan program imunisasi yang diperluas terutama di daerah pedesaab dan
area yang terbelakang.

Langkah selanjutnya adalah pengawasan JE yang dilakukan oleh


pemerintah Cina. Pada tahun 2004, departemen kesehatan Cina menganjurkan
peningkatan dalam penelitian tentang JE dan pada tahun 2006 telah diluncurkan
program survei nasional JE. Saat ini terdapat 22 situs pengawasan yang telah
didirikan di 13 provinsi secara nasional untuk memantau epidemi JE, terutama di
daerah dengan insiden tinggi.

10
BAB III

KOMPARASI PERKEMBANGAN PENYAKIT JAPANESE


ENCEPHALITIS DAN PENCEGAHAN JE DI INDONESIA DAN CINA

3.1 Indonesia

WEI (2005) melaporkan bahwa kasus klinis JE pada manusia di Bali


mencapai 36%, di Manado (Sulawesi Utara) mencapai 22%, dan di Pontianak
(Kalimantan Barat) mencapai 25%. Dari data tersebut terlihat bahwa Propinsi
Bali merupakan daerah beresiko JE terbesar disusul oleh Propinsi Kalimantan
Barat dan Sulawesi Utara. Rasio populasi manusia terhadap babi di Bali adalah
3 : I. Dari data tersebut terlihat bahwa babi merupakan induk semang
potensial yang dapat mengamplifikasi virus JE sehingga siap ditularkan ke
manusia dan hewan lainnya. Tingginya resiko JE di Bali, mengindikasikan
bahwa penerapan vaksinasi pada anak-anak perlu dipertimbangkan. Masalah
yang muncul adalah pemilihan vaksin JE yang aman dan waktu vaksinasi yang
tepat. Jurnal ini juga menyebutkan kasus terbanyak dialami oleh anak-anak
berusia 5-9 tahun.

Menurut jurnal Virus Japanese Encephalitis dan Masalahnya di Indonesia,


pada tahun 1990-2000 dengan menggunakan tes ELISA didapatkan hasil bahwa
kasus JE terbanyak dimiliki oleh Bali sebesar 12%, NTT sebesar 8,33%, dan
Kalimantan Barat sebesar 2,38%. Karena data menunjukkan kasus terbesar ada di
Bali, maka pada tahun 2000-2003 dilakukan penelitian lanjutan JE di Bali dengan
tes IgM capture ELISA dan CSS fase akut dan konvaselen. Hasil yang didapatkan
adalah dari 155 kasus encephalitis, 55 diantaranya adalah kasus JE.

Upaya pencegahan yang dilakukan di Indonesia adalah ditetapkannya


relokasi peternakan babi yang jauh dari pemukiman penduduk yang padat untuk
menghindari kontak antara vektor dengan manusia yang dapat menyebabkan
radang otak; menghambat populasi vektor; dan penerapkan sistem karantina yang
ketat dengan cara memperketat pengawasan lalulintas ternak (khususnya babi) di
setiap daerah point of entry. Pemasukan babi dari negara atau daerah positif JE ke

11
wilayah Indonesia secara ilegal perlu diwaspadai. Pemberian larvasida misalnya
abate pada air yang menggenang, seperti bak air, disertai dengan penyemprotan
insektisida ataupun fogging untuk membunuh larva dan nyamuk dewasa
secara berkala, perlu dilakukan di rumah ataupun di sekitar kandang temak.
Senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuhan juga perlu
dikembangkan sebagai larvasida yang baik, seperti ekstrak daun langsap
(lansium domesticum), bawang merah (A//ium cepa), dan biji jarak
(Ricinus communis). Pengumpulan data dasar dari tiap propinsi di
Indonesia baik pada manusia maupun hewan reservoir, serta pelatihan
diagnosis laboratorium akan menghasilkan data surveilen yang lebih
komprehensif sehingga dapat dijadikan arah kebijakan bagi pengendalian dan
pencegahan penyakit JE di Indonesia.

3.2 Cina

Pelaporan kasus penyakit JE saat ini sudah direkam dengan data elektronik
setiap tahunnya oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok,
Cina. Kasus JE paling banyak ditemukan pada bulan Juli dan Agustus. Jumlah
morbiditas pada bulan Agustus sejumlah 41,14% dari total morbiditas tahunan.
Kemudan menurun dari bulan Oktober dan seterusnya. Kejadian JE di wilayah
utara dan selatan Cina memiliki perbedaan. Di wilayah utara, kasus JE mulai
meningkat di bulan Agustus dan menurun bulan September. Sedangkan di wilayah
selatan, kasus JE meningkat pada bulan Juli dan menurun secara signifikan pada
bulan Agustus. Distribusi geografis penyakit JE juga dikategorikan menjadi 4,
yaitu

1. Daerah yang sangat endemis dengan insiden rata-rata sekitar > 1/100.000
yang meliputi wilayah Provinsi Sinchuan, Guizhou, Kota Chongqing,
Provinsi Shaanxi, dan Yunnan. Setiap tahun jumlah morbiditas di daerah-
daerah ini menyumbang 50% dari total kasus secara nasional.
2. Daerah endemis sedang dengan insiden rata-rata sekitar 0,5/100.000-
1/100.000 yang meliputi wilayah-wilayah seperti Provinsi Shanxi, Henan,
Anhui, Hubei, Hunan, Jiangxi, dan Guangxi. Setiap tahun jumlah

12
morbiditas di daerah-daerah ini menyumbang 20% dari total kasus secara
nasional.
3. Daerah endemic rendah dengan insiden rata-rata antara 0,1/100.000-
0,5/100.000 yang meliputi wilayah-wilayah seperti Provinsi Shanxi,
Gansu, Jiangsu, Shandong, Fujian, Guangdong, dan Zhejiang. Selain itu,
ada 10 provinsi dengan insiden < 0,1/100.000, yaitu Provinsi Heibei,
Ningxia, Kota Shanghai, Provinsi Liaoning, Mongolia, Hainan, Tianjin,
Kota Beijing, Provinsi Jilin, dan Heilongjiang.
4. Daerah tidak endemic yang merupakan daerah yang belum terdapat
laporan mengenai kasus JE, meliputi Provinsi Qinghai, Otonomi Xinjiang
Uygur, dan Tibet. Walaupun terdapat beberapa kasus dari daerah lain yang
terekam disini, daerah-daerah ini masih dianggap sebagai non endemik.

Setelah tahun 2001, kejadiannya meningkat, kelompok umur 30 tahun keatas


memiliki angka kejadian lebih tinggi daripada penduduk usia dibawah 30 tahun,
yakni 0,167 vs 0,052 kasus per 100.000 penduduk.

Pencegahan pertama dengan menggunakan vaksin JE. Inokulasi dengan


vaksin yang tidak aktif (strain P-3) dikembangkan dan telah digunakan di Cina
pada awal tahun 1970-an. Vaksin JE dengan mikroorganisme hidup yang
dilemahkan (SA14-14-2) telah digunakan sejak awal 1990-an dan telah
dinyatakan aman dan efektif untuk mencegah penyakit JE. Pencegahan kedua
dengan pengawasan JE yang dilakukan oleh pemerintah Cina. Pada tahun 2004,
departemen kesehatan Cina menganjurkan peningkatan dalam penelitian tentang
JE dan pada tahun 2006 telah diluncurkan program survei nasional JE. Saat ini
terdapat 22 situs pengawasan yang telah didirikan di 13 provinsi secara nasional
untuk memantau epidemi JE, terutama di daerah dengan insiden tinggi.

Pembahasan

1. Perekaman data mengenai kasus JE di Indonesia memang sudah


dilakukan, namun, perekaman data ini tidak dilakukan secara rutin oleh
Departemen Kesehatan atau lembaga terkait untuk dapat mengetahui
epidemi dan prevalensi penyakit JE setiap tahunnya. Sedangkan Cina
sudah melakukan perekaman data secara elektronik dengan rutin untuk

13
mengetahui epidemic penyakit JE dari waktu ke waktu. Data-data yang
diperoleh dari jurnal Indonesia hanya menampilkan survei dari berbagai
provinsi saja dan survei dan penelitian hanya dilanjutkan pada daerah
dengan angka insiden tertinggi (Bali) untuk menentukan langkah
pencegahan yang tepat. Hal ini mengakibatkan terbengkalainya daerah lain
yang seharusnya diberikan penelitian lebih lanjut akan penyakit ini
sebelum daerah-daerah dengan angka insiden yang lebih rendah dari Bali
ini tidak menunjukkan peningkatan angka insiden JE.
2. Di Indonesia, penyakit JE banyak diderita oleh anak-anak berusia 5-9
tahun, sedangkan di Cina tercatat peningkatan angka insiden penyakit JE
pada usia 30 tahun keatas.
3. Metode pencegahan yang dilakukan di Indonesia yaitu dengan
menggunakan foging mengingat vector dari penyakit JE adalah nyamuk
yang dipadukan dengan larvasida alami yang didapat ekstrak daun
langsap (lansium domesticum), bawang merah (A//ium cepa), dan
biji jarak (Ricinus communis) . Metode lainnya adalah dengan melakukan
pengawasan terhadap penyakit JE secara lebih ketat dengan pengumpulan
data secara rutin dan lebih spesifik di tiap wilayah dan penegakan
diagnosis yang lebih akurat. Sedangkan di Cina, pencegahan lebih
ditekankan pada penggunaan vaksin JE (SA14-14-2) dan pengawasan
penyakit JE oleh pemerintah Cina.

14
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

4.1.1 Pemantauan data insiden JE belum maksimal di Indonesia karena dilakukan


kurang spesifik dan tidak rutin. Indonesia hanya focus pada daerah dengan
angka insiden tertinggi seperti Bali, sedangkan di Cina pemantauan data
dilakukan secara rutin oleh pemerintah dan direkam melalui data elektronik
secara spesifik, sehingga Cina dapat mengkategorikan distribusi wilayah
dengan angka insiden tertinggi hingga wilayah yang dianggap non endemic
terhadap JE.

4.1.2 Di Indonesia, penyakit JE banyak diderita oleh anak-anak berusia 5-9


tahun, sedangkan di Cina tercatat peningkatan angka insiden penyakit JE
pada usia 30 tahun keatas.

4.1.3 Metode pencegahan yang dilakukan di Indonesia yaitu dengan


menggunakan foging mengingat vector dari penyakit JE adalah nyamuk
yang dipadukan dengan larvasida alami yang didapat ekstrak daun
langsap (lansium domesticum), bawang merah (A//ium cepa), dan
biji jarak (Ricinus communis) serta melakukan pengawasan terhadap
penyakit JE secara lebih ketat dengan pengumpulan data secara rutin dan
lebih spesifik di tiap wilayah dan penegakan diagnosis yang lebih akurat.
Sedangkan di Cina, pencegahan lebih ditekankan pada penggunaan vaksin
JE (SA14-14-2) dan pengawasan penyakit JE oleh pemerintah Cina.

4.2 Saran

4.2.1 Pemerintah Indonesia perlu melakukan pengawasan penyakit JE secara


spesifik dan rutin melalui perekaman data yang jelas dan penelitian tidak
hanya difokuskan pada daerah dengan endemic tinggi JE saja, melainkan
pula daerah lainnya sehingga nantinya dapat diklasifikasikan daerah-daerah
endemic JE tertinggi hingga daerah non endemic terhadap JE. Hal ini
penting untuk menentukan langkah pencegahan yang spesifik di tiap daerah
di Indonesia.

15
4.2.2 Sosialisasi vaksinasi JE di Indonesia perlu ditingkatkan lagi sehingga
pencegahan penyakit JE semakin baik karena dipadukan dengan vaksin,
bukan hanya pencegahan dari aspek lingkungan saja seperti penggunaan
foging dan larvasida alami.

16
DAFTAR PUSTAKA

Garjito, Triwibowo Ambar, dkk. (2014). Virus Japanese Encephalitis dan


Masalahnya di Indonesia. Keanekaragaman dan Pemanfaatan
Sumberdaya Mikroba Tropika di Indonesia. 30-35

Hsu, Li-Ching, dkk. (2014). The Insidence of Japanese Encephalitis in Taiwan-A


Population-Based Study. PLOS : Neglected Tropical Disease. 1-9

Li Yixing, Wang Huanyu, dkk. (2009). Japanese Encephalitis in Mainland China.


Jpn. J. Infect. Dis., 62. 331-336

Sendow, Indrawati & Bahri, Sjamsul. (2005). Perkembangan Japanese


Encephalitis di Indonesia. WARTAZOA Vol 15 No. 3. 111-118

17

Anda mungkin juga menyukai