Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Japanese Encephalitis merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf

pusat. Virus Japanese Encephalitis ditularkan melalui nyamuk Culex

tritaeniorhynchus dan nyamuk yang termasuk dalam spesies Culex yang bertelur

pada tanaman padi dan sumber mata air. Virus ini dapat diperantarai oleh

burung dan babi. Virus Japanese Encephalitis ter masuk famili Flavivirus.1,2

Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang, pada tahun 1924

dilaporkan sekitar 6000 orang terkena penyakit ini. Kemudian pada tahun 1935

virus Japanese Encephalitis berhasil diisolasi dari otak manusia di Tokyo,

Jepang. Setelah Jepang, penyakit ini mulai menyebar ke beberapa negara yaitu

Korea (1933), Cina (1940), Filipina (1950), India (1955), dan diikuti oleh

negara-negara di Asia Tenggara.3,4

Sampai pada hari ini, Japanese Encephalitis sudah menyebar ke ~25 negara

di Asia, dimana ~60% dari populasi global mempunyai resiko terpapar virus

Japanese Encephalitis dengan kejadian tahunan diperkirakan 50000-175000

kasus, berdasarkan umur, lokasi geografis, dan status imunisasi. Japanese

Encephalitis mempunyai tinkat kematian sekitar 20-30%, dan ~30-50% dari

penderita yang telah sembuh mengalami komplikasi neurologis, kognitif, atau

kejiwaan.4,5,6

1
Di Indonesia virus Japanese Encephalitis pertama diisolasi dari nyamuk pada

tahun 1972, di daerah Bekasi. Perkembangan penyakit Japanese Encephalitis di

Indonesia di dukung oleh letak geografis Indonesia juga mata pencaharian

utama masyarakan Indonesia yaitu bertani dan berternak sehingga vektor virus

Japanese Encephalitis dapat berkembang biak. Endemisitas Japanese

Encephalitis ditemukan di 14 provinsi di indonesia. Provinsi yang memiliki

tingkat kejadian terbesar dari Japanese Encephalitis di Indonesia adalah Bali

dengan 36% kasus encefalitis yang disebabkan oleh virus Japanese

Encephalitis, kemudian diikuti oleh Kalimantan Barat 25%, dan Sulawesi Utara

22%.5,6,7

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Japanese Encephalitis (JE)

Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit yang meyerang sistem saraf

pusat (SSP) yang di tularkan oleh nyamuk dari spesies Culex. Vektor penguat

dari virus JE adalah burung dan babi, dimana manusia merupakan dead-end

host. 6,7

Virus JE termasuk dalam Arbovirus yaitu penyakit yang disebabkan oleh

virus dan ditularkan oleh artropoda. Virus JE termasuk dalam genus Flavivirus

dalam family Flaviviridae.6,7,12

B. Epidemiologi

Penyakit ini pertama dikenal pada tahun 1871 di Jepang, pada tahun 1924

dilaporkan sekitar 6000 orang terkena penyakit ini. Kemudian pada tahun 1935

virus JE berhasil diisolasi dari otak manusia di Tokyo, Jepang. Setelah Jepang,

penyakit ini mulai menyebar ke beberapa negara yaitu Korea (1933), Cina

(1940), Filipina (1950), India (1955), dan diikuti oleh negara-negara di Asia

Tenggara.1,2,3

JE adalah penyakit infeksi virus yang penyebarannya sangat berkaitan dengan

lingkungan. JE ditemukan di hampir seluruh wilayah di Asia dan Australia. Di

Asia-Australia tingkat kejadian JE diperkirakan 35,000-50,000 infeksi JE per

3
tahun dan 10,000-15,000 kematian tiap tahunnya. Pada tahun 2000, insiden

kejadian berdasarkan kelompok usia spesifik didapatkan 25 kasus per 100.000

orang, dimana kasus terbanyak adalah pada anak-anak Asia berusia 0-14 tahun

yang tinggal di daerah pedesaan.8,9

Virus JE (JEV) tersebar luas di negara-negara Asia Tenggara-Timur dan

Selatan dan telah menyebar ke India Barat dan ke wilayah Pasifik Barat

termasuk kepulauan Indonesia Timur, Papua Nugini dan Australia Utara. Hal ini

paling sering dikaitkan dengan daerah pertanian padi intensif dan produksi babi.

Musim JE epidemik di daerah beriklim Asia Utara biasanya dimulai pada bulan

Mei atau Juni, dan berakhir sekitar bulan September atau Oktober. Virus JE

endemik beredar sepanjang tahun di daerah tropis Asia di antara burung, babi

dan nyamuk. Beberapa peningkatan kejadian JE dapat terjadi di daerah endemik

ini selama musim hujan atau daerah penggunaan atau pengumpulan air. 2,3,6

Di India, JE pertama kali tercatat di Vellore dan Pondicherry pada

pertengahan tahun 1950an. Wabah besar pertama JE terjadi pada tahun 1973 di

distrik Bankura dan Burdwan di Bengal Barat. di negara ini sejak tahun 1978.

Wabah terburuk yang pernah tercatat di India dilaporkan terjadi dari Uttar

Pradesh pada tahun 1988 ketika 4485 kasus dengan 1413 kematian dicatat dari

delapan kabupaten dengan angka kematian sebesar 31,5%. Wabah JE biasanya

bertepatan dengan musim hujan dan periode pasca-monsun ketika kepadatan

vektor tinggi. Pada gambar 1 kita bisa melihat negara-negara yang rawan

terkena JE.9,16

4
Gambar 1. Negara-negara dengan resiko terinfeksi Japanese Encephalitis16

Di Indonesia belum ada angka yang pasti mengenai kejadian JE. Literatur

yang ada menunjukan Indonesia adalah salah satu negara endemis JE di Asia

Tenggara. Data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI)

tahun 1993-2000 menunjukkan spesimen positif JE ditemukan di 14 Provinsi

(Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi

Selatan dan Papua). Survai di rumah sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992

atas 47 kasus ensefalitis menemukan 19 kasus serologi positif terhadap JE.

Survei sama pada 2001-2002 atas 262 kasus ensefalitis menemukan 112 kasus

(42,75%) positif dengan angka kematian (mortality rate) 16% dan angka

kecacatan (sequelae rate) 53,12%.4 Laporan dari rumah sakit yang sama (1997)

atas 12 pasien dengan diagnosis ensefalitis didapat 2 kasus positif JE. 4,5,6

5
C. Etiologi

Japanese Encephalitis Virus termasuk dalam Arbovirus grup B, genus

Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan diameter 50 nm

dan mengandung sebuah elektron inti padat 30 nm, dikelilingi oleh selaput lipid.

inti viirion terdiri dari asam ribonukleat (RNA) berupa rantai tunggal yang sering

bergabung dengan protein disebut nukleoprotein. Sebagai pelindung inti virion

terdapat kapsid yang terdiri dari polipeptida tersusun simetri ikosahedral. Di luar

kapsid tersebut terdapat selubung.13

Sebagai penyakit zoonosis kehidupan virus JE sangat memerlukan hewan

vertebrata sebagai reservoir dan nyamuk sebagai vektornya. Infeksi pada manusia

timbul secara kebetulan terutama pada orang yang tinggal dekat dengan reservoir

dan vektornya cukup banyak misalnya di pedesaan, di daerah pertanian yang

memakai irigasi pengairan, dan peternakan hewan vektor seperti babi atau

burung.6,7

Lebih dari 30 spesies nyamuk (family Culicidae) seperti Aedes, Anopheles,

Armigeres, Culex, dan genera Mansonia berpotensi membawa virus JE, tapi tidak

semuanya sama kompeten untuk mentransmisi virus. Kerentanan dan kompetensi

dapat bervariasi antara spesies nyamuk. Spesies Culex adalah vektor virus JE yang

paling kompeten sama seperti pada spesies Aedes yang paling kompeten pada

vektor virus Dengue. Dalam siklus liar, vektor virus JE, meski sangat zoofilik

sebagian besar pengumpan darah oportunistik dan pola makan mereka bergantung

pada ketersediaan host dalam suatu tempat daripada pada preferensi bawaan.

Manusia di sekitar siklus ini bisa saja sengaja tertular.6,15

6
Dalam siklus domestik pedesaan virus JE, sapi, ayam, anjing, itik, kambing,

kuda, dan babi mungkin terinfeksi, tapi hanya beberapa di antaranya adalah

penguat virus yang efisien. Siklus domestik ini terjadi terutama di daerah

pedesaan, dengan babi bertindak sebagai yang reservoir utama. Beberapa mamalia

domestik lainnya (sapi, anjing, kambing) juga menunjukkan tingkat

seroprevalensi yang tinggi, seperti yang dilakukan babi, namun, tubuh babi

mereplikasi virus dengan cepat dan memiliki viraemia tertinggi. Penjelasan

mengenai siklus virus JE pada vektor, reservoir dan host dapat di lihat di gambar

2.6,7,9

Gambar 2. Siklus penularan virus JE antara vektor (nyamuk), reservoir (babi dan

burung), dan host (manusia)6

7
D. Patogenesis

Masa inkubasi JEV berkisar antara enam dan 16 hari. Faktor-faktor yang

menentukan siapa yang terinfeksi yang dapat berkembang menjadi penyakit

belum diketahui, tetapi kemungkinan karena faktor virus seperti rute masuk,

titer, dan neurovirulensi dari inokulum, dan faktor host seperti umur, susunan

genetik, kesehatan umum, dan Imunitas sudah ada sebelumnya.13,14

Setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi, virus bereplikasi di kulit dan

kemudian diangkut ke kelenjar getah bening regional. Pada tingkat sel, setelah

virus JE menempel dengan sel inang, terjadi kerusakan membran lokal sehingga

menyebabkan masuknya virus JE ke dalam sel, kemudian terjadi viremia

pertama yang umumnya berlangsung sebentar dan sangat ringan. Bila viremia

pertama tetap berlangsung maka akan terjadi penyebaran melalui aliran darah

dan menimbulkan perubahan inflamatorik pada organ-organ seperti jantung,

paru, hati, sistem retikuloendotelial dan SSP yang dapat menimbulkan penyakit

klinis. Di dalam organ-organ tersebut virus JE akan berkembang biak kemudian

akan dilepaskan, masuk kedalam peredaran darah lagi, dan menimbulkan gejala

penyakit sistemik. 8,11,14

Bentuk ringan dari penyakit JE menghilang dalam beberapa hari, jika tidak

melibatkan SSP. Pada kasus tersebut, infeksi bisa tidak menimbulkan gejala dan

tetap tidak terdeteksi. Jika terjadi invasi virus JE ke SSP yang disebabkan oleh

pertumbuhan virus sepanjang sel endotelial vaskular, menyebabkan keterlibatan

sejumlah besar area di otak termasuk talamus, ganglia basal, batang otak,

serebelum khususnya destruksi sel Purkinje serebelum hipokampus, dan korteks

serebri. Infeksi persisten dan transmisi kongenital dapat terjadi.14,15

8
Virus JE dapat meningkatkan terjadinya patologi sistem saraf pusat karena

efek neurotoksik langsung ke sel-sel otak dan kemampuannya untuk mencegah

perkembangan sel-sel baru dari sel neuron (neural stem/progenitor cells)

sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas.14,15

Bagaimana cara virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui

dengan pasti, namun diduga setelah terjadinya viremia, maka virus akan

menembus sawar darah otak dan berkembang biak pada sel endotel dengan cara

endositosis Setelah mencapai jaringan SSP, virus berkembang biak di dalam sel

dengan cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan Golgi dan

setelah itu menghancurkannya Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas

sel neuron, glia dan endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah

masuk ke dalam sel dan timbullah edema sitotoksik. Adanya edema dan

kerusakan SSP ini memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis.14,15

E. Manifestasi Klinis

Infeksi karena JEV paling sering asimtomatik. Rata-rata hanya 1 dari 300

kasus yang menghasilkan gejala klinis. Pertama tanda infeksi muncul setelah

masa inkubasi antara 6-14 hari Biasanya dimulai dengan demam di atas 38 C,

menggigil, sakit otot, dan sakit kepala disertai dengan muntah. Presentasi awal

pada anak biasanya dimulai dengan gejala gastrointestinal: mual, muntah, dan

nyeri perut. Gejala yang termasuk juga adalaha kebingungan, kelumpuhan,

Parkinson, gangguan gerakan, postur abnormal, kejang, dan koma.

Perkembangan gejala dari JE terbagi atas 4 stadium.8,10,16

9
1. Stadium predormal

Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari, mulai dari timbulnya keluhan

sampai timbulnya gejala SSP. Gejala yang sangat dominan ialah demam,

nyeri kepala dengan atau tanpa menggigil. Gejala lain berupa malaise,

anoreksia, keluhan dari respirasi seperti batuk, pilek dan keluhan

gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri di daerah epigastrium. Nyeri

kepala dirasakan pada sebagian atau seluruh kepala, biasanya hebat dan tidak

bisa dihilangkan dengan pemberian analgesik. Demam selalu ada dan tidak

mudah diturunkan dengan obat antipiretik, namun mungkin saja seorang

pasien JE hanya mengalami demam ringan atau gangguan pernapasan

ringan.8,10,14

2. Stadium akut

Stadium ini berlangsung selama 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi

yang tidak turun dengan pemberian antipiretik. Bila selaput otak telah

terinfeksi dan membengkak, maka pasien akan merasakan nyeri serta

kekakuan pada leher hingga peningkatan tekanan intra kranial berupa

gangguan keseimbangan dan koordinasi, kelemahan otot-otot, tremor,

kekakuan pada wajah, nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan

kesadaran dari apatis hingga koma. Berat badan menurun disertai dehidrasi.

Pada kasus ringan mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam tidak tinggi,

nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 atau ke-7 dan

gejala ekstrapiramidal muncul setelah gejala neurologik lainnya menghilang.

Gejala ekstrapiramidal seperti Parkinson berupa wajah menyerupai topeng

(masklike facies), tremor, rigiditas dan gerakan choreoathetoid sering terjadi.

10
Kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah mulainya

penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang menyerupai

epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif, penyulit

kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke-7 dan ke-10

atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu yang lama, kadang-

kadang terkena penyulit infeksi bakteri dan meninggalkan gejala sisa

permanen. Kejang dialami oleh sekitar 10%-24% penderita anak, sedangkan

orang dewasa lebih jarang mengalami kejang. Pada stadium ini pemeriksaan

cairan serebrospinal (CSS) menunjukkan leukositosis yang pada awalnya

didominasi sel polimorfonuklear (PMN) tetapi setelah beberapa hari menjadi

limfositosis. Albuminuria sering ditemukan8,10,14,16.

3. Stadium sub akut

Stadium ini berlangsung selama 7-10 hari. Gejala gangguan SSP

berkurang, namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia

ortostatik, infeksi saluran kemih (ISK), dan dekubitus. Gangguan fungsi saraf

dapat menetap seperti paralisis spastik, hipotrofi otot sebagai akibat

perawatan lama dan pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf

cranial. dan gangguan ekstrapiramidal.10,14

4. Stadium kovalesens

Stadium ini berlangsung lama, bisa 4-7 minggu dan ditandai dengan

kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis. Berat badan

dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat menghilangnya inflamasi

yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejala neurologik bisa menetap dan

cenderung membaik. Bila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka

11
penyembuhan lebih lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik

berlangsung lama. Gejala sisa yang sering dijumpai ialah gangguan mental

berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower motor neuron.14,15

Gejala sisa atau sekuele ditemukan pada 5%-70% kasus, umumnya pada

anak usia di bawah 10 tahun, dan pada bayi akan lebih berat. Kekerapan

terjadinya sekuele berhubungan langsung dengan beratnya penyakit. Sekuele

tersebut dapat berupa gangguan pada:10,14,16

1. Sistem motorik: motorik halus (72%), kelumpuhan (44%), gerakan

abnormal (8%).

2. Perilaku: agresif (72%), gangguan perhatian (55%), depresi (38%).

3. Intelektual: abnormal (72%), retardasi (22%).

4. Fungsi neurologik lain berupa gangguan ingatan (46%), afasia (38%),

epilepsi (20%), paralisis saraf kranial (16%) dan kebutaan (2%).

F. Diagnosis

Seperti penyakit lain, diagnosis JE ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan klinis, dan hasil pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis1,9,10

- Anak tinggal di tempat yang memungkinkan siklus JEV berlangsung

dengan baik seperti kepadatan Culex yang tinggi, banyak babi

peliharaan atau peternakan babi atau di daerah yang sedang masa tanam

padi, atau memasuki musim penghujan.

- Anak tinggal di daerah endemis JE.

- Anak menderita demam tinggi, nyeri kepala yang hebat yang tidak bisa

12
dihilangkan dengan obat antipiretik analgesik, disertai kejang.

Dapat juga ditanyakan mengenai gejala klinis yang muncul pada pasien

yaitu :

- Keluhan dini berupa demam, nyeri kepala, kaku kuduk, kesadaran

menurun, gerakan abnormal (tremor kasar, kejang)

- Keluhan dan gejala yang timbul kemudian sekitar hari ke-3-5 berupa

kekakuan otot, koma, pernafasan yang abnormal, dehidrasi, dan

penurunan berat badan.

- Keluhan dan gejala lainnya seperti refleks tendon meningkat, paresis,

suara pelan dan parau.

2. Pemeriksaan fisik

Gejala neurologik penyakit JE bervariasi. Kelemahan tubuh menyeluruh

(generalized weakness), hipertonia dan hiperrefleksia termasuk adanya

refleksrefleks patologik sering terjadi. Papiledema dialami pada kurang dari

10% pasien dan 33% pasien mengalami gejala-gejala saraf kranial seperti

disconjugate gaze dan cranial nerve palsies. Gejala-gejala ekstrapiramidal

menyerupai Parkinson juga umum terjadi, termasuk wajah seperti topeng

(mask-like facies), tremor, rigiditas dan gerakan choreoathetoid.3,4,14

3. Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan darah lengkap (complete blood count)

Pemeriksaan darah lengkap sering menunjukkan adanya leukositosis

sedang dan non spesifik pada minggu pertama penyakit, kemudian

diikuti oleh leukopenia relatif. Anemia ringan juga dapat terjadi. Pada

13
satu studi, sebanyak 15% anak dengan JE mengalami

trombositopenia.14,15,17

- Isolasi virus

Isolasi virus JE dari spesimen klinis atau identifikasi sekuens viral

genetik positif di dalam jaringan, darah atau CSS. Merupakan

pemeriksaan baku emas untuk diagnostik JE.14,17

- Magnetic resonance imaging (MRI) dan Computed Tomography

(CT) scan

MRI dan CT scan sering menunjukkan adanya lesi talamus bilateral

dengan perdarahan. Kadangkala ditemukan adanya abnormalitas pada

ganglia basal, putamen, pons, medula spinalis dan serebelum.14,17

- Electroencephalography (EEG)

EEG sering menunjukkan adanya perlambatan gelombang delta yang

kontinu dan difus serta pola gelombang delta difus dengan spikes,

sedangkan gelombang theta dengan burst suppression. Perubahan EEG

tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit JE maupun luaran

penyakit.14,17

- Gambaran histologik

Perubahan gambaran histologik ditemukan di talamus, substansia nigra,

batang otak, hipokampus, serebelum, dan medula spinalis berupa

degenerasi fokal neuronal dengan proliferasi mikroglia difus dan fokal

serta lymphocytic perivascular cuffing.14,17

- Pungsi lumbal

Pungsi lumbal dilakukan untuk mendapatkan sampel CSS sehingga

14
dapat menyingkirkan diagnosis banding penyebab lain dari ensefalitis.

Tekanan pembukaan (opening pressure) biasanya normal tetapi dapat

juga meningkat. Level protein CSS sedikit meningkat pada kebanyakan

kasus, namun seringnya kurang dari 900 mg/dL. Kadar glukosa CSS

seringkali normal. Antara 10 dan beberapa ratus sel leukosit

mononuklear dapat ditemukan pada pemeriksaan hitung jenis

(differential count). Virus JE dapat diisolasi dari darah selama minggu

pertama penyakit. Di dalam CSS jarang ditemukan virus, kecuali pada

kasus parah atau fatal.10,14,17

- Pemeriksaan serologik

Uji diagnostik baku yaitu IgM capture dengan cara ELISA dari serum

atau CSS. Sensitivitasnya mendekati 100% bila kedua bahan (serum dan

CSS) di periksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain

seperti virus dengue, West Nile virus serta sesudah vaksinasi JE dan

demam kuning. Pemeriksaan serologis lain yang dapat dilakukan adalah

pemeriksaan IAHA, Hemagglutination Inhibition (HI),

immunofluorecent antibody (IFA) dan complement fixation (CF),

namun semuanya membutuhkan sampel serum pada fase akut dan

konvalesen supaya dapat melihat kenaikan titer antibodi sebesar 4 kali

atau lebih terhadap virus JE. Uji HI dikatakan positif bila titer antibodi

serum akut 1/20 atau lebih, sedangkan pada spesimen konvalesens

meningkat 4 kali atau lebih. Keunggulan uji HI yaitu hanya memerlukan

laboratorium sederhana, reagen mudah didapat serta biayanya relatif

murah. Kelemahan uji HI yaitu tidak dapat membedakan JE dari

15
flavivirus lain seperti infeksi dengue dan virus West Nile.10,14,17

Untuk membuat diagnosis JE di daerah endemis infeksi dengue,

spesimen serum dan CSS baik yang akut maupun konvalesens diperiksa

IgM anti dengue, IgG anti dengue, IgM anti JE dan IgG anti JE. Hasil

dinyatakan positif bila lebih besar dari 40 unit. Hanya spesimen dengan

anti JE IgM yang lebih besar atau sama dengan 40 unit dapat

diklasifikasikan berasal dari pasien JE. Hasil dari semua 4 uji serologik

dibandingkan, hasil rata-rata anti dengue IgM dengan anti JE IgM 1

ialah khas infeksi dengue, sedangkan bila hasilnya <1 ialah khas pada

JE.14,17

- Immunoassays

Diagnosis penyakit JE dapat didukung dengan pemeriksaan

immunoassay yang menunjukkan adanya antibodi IgM di dalam CSS.

Level antibodi serum dapat meningkat hingga 4 kali lipat. Pemeriksaan

IgM ELISA dari sampel serum atau CSS ialah tes diagnostik standar

untuk penyakit JE. Sensitivitasnya mendekati 100% ketika baik sampel

serum dan CSS diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul akibat

infeksi flavivirus lainnya seperti dengue dan virus West Nile dan juga

pada orang yang telah divaksinasi JE dan yellow fever. Fenomena ini

dapat berkontribusi terhadap kejadian misdiagnosis sehingga tes paralel

untuk virus JE dan flavivirus lainnya seperti dengue dibutuhkan.

Pemeriksaan IgM dot enzyme immunoassays dari sampel CSS dan

serum merupakan tes yang sederhana dan portable serta dapat

dibandingkan dengan IgM capture ELISA untuk diagnosis pasti

16
(sensitivitas 98,3% dan spesifisitas 99,2% ketika dibandingkan dengan

IgM capture ELISA sebagai standar).14,17

G. Diagnosis banding

Manifestasi klinis JE tidaklah khas sehingga dapat ditemukan pada penyakit

lain terutama yang berkaitan dengan kelainan SSP seperti malaria serebral,

meningitis bakteri, meningitis aseptik, ensefalitis oleh Flavivirus lain, kejang

demam, rabies, sindrom Reye dan ensefalopati toksik. Beberapa diagnosis

banding dapat disingkirkan dengan adanya tanda atau gejala yang khas atau

pemeriksaan khusus, misalnya:6,7,14

- Meningitis tuberkulosis: uji Mantoux positif, biakan basil tahan asam (BTA)

dari CSS positif

- Meningitis bakterialis: CSS purulen

- Herpes zoster: kelumpuhan saraf kranial satu sisi

- Leptospirosis: ikterus, hepatosplenomegali.

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada JE hanya bersifat simptomatik dan suportif karena

sampai hari ini belum ada pengobatan antivirus yang jelas efektif. Prinsip

tatalaksana penyakit JE adalah pemberian makan, penanganan airway, dan

antikonvulsan untuk kontrol kejang.14,15,16

Bila terjadi edema otak pada pasien dapat diberikan deksametasone IV dosis

1 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis selamabeberapa hari lalu di tapering off. Jika

ditemukan tanda-tanda peningkatan intrakranial diberikan manitol hipertonik

17
20% dosis 0,25-1 g/kgbb melalui infus IV selama 10-30 menit dan dapat diulang

tiap 4-6 jam. Mempertahankan fungsi metabolisme otak dengan cara pemberian

cairan yang mengandung glukosa 10%, sehingga kadar gula darah menjadi

normal, 100-150 mg/dL. Hindari peningkatan metabolisme otak dengan jalan

mencegah sehingga jangan sampai terjadi hipertermia dan serangan kejang.14

Pada saat terjadi kejang, secepatnya diatasi dengan pemberian diazepam

intravena, dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal pada anak yang

berumur kurang dari 5 tahun diberikan 5mg, anak 5-10 tahun diberikan 7,5mg

dan lebih dari 10 tahun diberikan 10 mg dengan kecepatan pemberian

1mg/menit. Bila anak tetap kejang dosis di atas dapat diulang sekali lagi setelah

15 menit. Bila tidak tersedia diazepam intravena, bisa diganti dengan diazepam

per-rektal dalam kemasan 5 mg dan 10 mg dengan ketentuan dosis seperti di

atas. Bila kejang sudah berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital oral

5 mg/kgBB/kali dibagi dalam 2 dosis. Bila sebelumnya pasien menunjukkan

kejang lama atau status konvulsi, setelah berhasil menghentikan kejang

secepatnya diberikan bolus fenobarbital IM sebagai dosis awal 50 mg untuk anak

berumur 1 bulan-1 tahun, 75 mg untuk anak lebih dari 1 tahun. Kemudian setelah

lebih dari 4 jam disusul pemberian fenobarbital oral sebagai dosis rumatan

8mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari dan untuk selanjutnya 4-5

mg/kgBB/hari.2,14

Pemberian obat antipiretik seperti parasetamol dan asetosal. Suportif dengan

istirahat dan kompres. Aktivitas otot akan meningkatkan metabolisme dan

metabolisme yang meningkat akan menambah tinggi suhu tubuh, sehingga tinggi

rendahnya suhu tubuh antara lain sangat ditentukan oleh aktivitas otot. Dengan

18
demikian perlu istirahat untuk mengurangi peningkatan suhu.14

Perawatan jalan nafas terutama pada saat serangan kejang, anak diletakkan

dalam posisi miring ke arah kanan dengan kepala yang lebih rendah 20 dari

badan untuk menghindari terjadinya aspirasi lendir atau muntahan. Bebaskan

jalan nafas, pakaian dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Lilitan kain di leher

dilepaskan, isap lendir atau bersihkan mulut dari lendir. Perawatan pernapasan

dapat dilakukan dengan memperhatikan pernafasan supaya tetap teratur. Bila

terdapat kegagalan pernafasan minimal kita dapat melakukan pernafasan buatan

dan kalau memungkinkan dilakukan intubasi endotrakeal dan pernafasan dibantu

dengan ventilator mekanik. Selama melakukan perawatan jalan nafas dan

perawatan pernafasan, pemberian oksigen sangat mutlak diperlukan.14

Pemberian cairan intravena bertujuan untuk mengatur keseimbangan cairan

dan elektrolit. Pemberian jumlah cairan harus ketat mengingat adanya tekanan

intrakranial meninggi. Dicegah jangan sampai terjadi hipokalsemia dan

gangguan elektrolit lainnya.8

Antibiotik tetap diberikan selama belum bisa menyingkirkan kemungkinan

meningitis bakterialis. Dalam keadaan kesadaran menurun dan dalam keadaan

koma, ampisilin tetap diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Sampai

sekarang belum ada obat anti virus JE.14

I. Pencegahan

Pencegahan pertama yang kita dapat lakukan adalah menjaga agar tidak

terpapar dengan vektor yaitu pada kasus ini adalah nyamuk culex. Nyamuk

Culex menggigit manusia mulai menjelang malam hari sampai besok paginya,

19
oleh karena itu perlu tidur memakai kelambu atau mempergunakan repelan

dalam bentuk cairan atau krim yang dipakai pada bagian tubuh manusia yang

terbuka atau memakai obat pembasmi nyamuk.14

Pencegahan berikutnya yang dapat dilakukan adalah dengan vaksinasi.

Vaksin JE ada 2 jenis yaitu:

- Vaksin hidup yang dilemahkan (a live attenuated vaccine)

Vaksin dibuat antara lain dari biakan sel ginjal hamster. Dari hasil uji

coba klinis pada manusia vaksin ini cukup aman dan efektif. Pemberian

vaksin pada anak umur kurang dari 1 tahun, pertama kali diberikan 2

dosis vaksin yang diinaktifkan, 1 tahun kemudian diberikan vaksin

hidup yang dilemahkan dan 1 tahun berikutnya diberi imunisasi ulangan

dengan vaksin hidup yang dilemahkan, selanjutnya tiap 3 tahun

diberikan vaksin hidup yang dilemahkan. Vaksin JE telah dipergunakan

secara rutin di Jepang dan Cina. 12,13

- Vaksin dari virus mati (inactivated vaccine)

a. Inactivated mouse brain vaccine

Suspensi virus dibuat dari jaringan otak tikus yang diinokulasi

dengan JE galur Nikayama. Vaksin ini secara luas telah dipakai di

Jepang, Thailand, Taiwan dan India. Imunisasi dasar, dosis dan cara

pemberiannya sebagai berikut: anak umur kurang dari 3 tahun

imunisasi pertama diberikan 0,5 ml secara subkutan, imunisasi ke-2

diberikan dosis dan cara yang sama dengan imunisasi pertama

dengan interval 1 tahun dari imunisasi pertama. Anak berumur lebih

dari 3 tahun cara dan interval oemberiannya sama dengan anak yang

20
berumur kurang dari 3 tahun, hanya dosisnya berbeda yaitu 1 ml

untuk masing-masing imunisasi. Imunisasi ulangan diberikan pada

anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan dosis 0,5 ml secara

subkutan, sedangkan anak yang berumur lebih dari 3 tahun dosisnya

1 ml subkutan. Imunisasi booster diberikan tiap 3-4 tahun.12,13

b. Vaksin dibut dari kultur sel ginjal hamster. Produksi vaksin ini

terbatas karena jumlah hamster yang terbatas.12,13

J. Prognosis

Hanya 1 per 250 infeksi virus JE menyebabkan penyakit simtomatis.

Prognosis infeksi virus JE simtomatis bervariasi. Terdapat dua faktor yang

menandakan prognosis baik yaitu konsentrasi antibodi penetralisir yang tinggi di

dalam CSS dan level IgG virus JE yang tinggi di dalam CSS. Faktor risiko

kematian yang terbukti di antaranya ialah ditemukan virus di dalam CSS, kadar

protein yang tinggi pada CSS menyebabkan prognosis kurang baik, level IgG

dan/atau IgM rendah di dalam CSS atau serum dan penurunan sensorium.14

Beberapa prognosis buruk infeksi virus JE di antaranya ialah pasien berusia

kurang dari 10 tahun karena gejala sisa biasanya lebih sering, Glasgow Coma

Scale (GCS) rendah, hiponatremia, syok, ditemukannya kompleks imun di dalam

cairan serebrospinal, peningkatan jumlah antibodi antineurofilamen, peningkatan

level tumor necrosis factor (TNF) dan adanya neurosistiserkosis. Selain itu

demam tinggi yang berlangsung lama, kejang hebat dan sering disertai depresi

pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis buruk.12,14

21
Japanese Encephalitis mempunyai tinkat kematian sekitar 20-30%, dan ~30-

50% dari penderita yang telah sembuh mengalami komplikasi neurologis,

kognitif, atau kejiwaan.1,3,5

22
BAB III

KESIMPULAN

Japanese Encephalitis merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf

pusat. Virus Japanese Encephalitis ditularkan melalui nyamuk Culex

tritaeniorhynchus dan nyamuk yang termasuk dalam spesies Culex. Endemisitas

JE ditemukan di 14 provinsi di Indonesia, termasuk Sulawesi Utara. Babi dan

unggas merupakan reservoir virus ini. Tidak terjadi penularan dari manusia ke

manusia melalui gigitan nyamuk. Manifestasi klinis penyakit JE pada manusia

bervariasi, mulai dari gejala ringan seperti demam flu biasa sampai berat bahkan

kematian. Pada kasus yang berat, ditemukan gejala sisa pada sekitar 40%-75%.

Diagnosis pasti dengan isolasi virus, sedangkan pemeriksaan IgM capture

dengan cara ELISA dari serum atau CSS mempunyai sensitivitas hampir 100%.

Tatalaksana JE hanya bersifat simtomatis dan suportif. Pencegahan dan

pemberantasan virus JE ditujukan pada manusia, vektor nyamuk Culex beserta

larvanya dan reservoir babi. Penyakit JE dapat dicegah dengan imunisasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Guillaume F, Vincent P, Philipe B, Jean-Paul G. Review of climate,

landscape, and viral genetics as drivers of the japanese encephalitis virus

ecology. PLOS NTD. September 2013; 9(7).

2. Usha M, Jayantee K. Progress in neurobiology. Elsevier. 2010; 108-120.

3. Xiao-Ling P, Hong L, Huan-Yu W. Emergence of genotype 1 of japanese

encephalitis virus as the dominant genotype in Asia. Journal of Virology.

October 2011; 9847-9853.

4. Grant C, Susan H, Marc F, Julie J. Estimated global incidence of

Japanese encephalitis a systematic review. Bull World Health Organ.

2011; 89:766-774E.

5. Unknown. Japanese encephalitis surveillance and immunization Asia and

the Western Pacific, 2012. MMWR. August 2013; 62(33).

6. Unknown. Japanese encephalitis: Aetiology, epidemiology, diagnosis,

prevention, and control references. OIE. April 2013.

7. Unknown. Guidelines for prevention and control of japanese encephalitis.

NICD WHO. 2006.

8. Masri M. Japanese encephalitis. CDK. 2012; 39(5)

9. Indrawati S, Sjamsul B. Perkembangan japanese encephalitis di

Indonesia. WARTAZOA. 2005; 15(3).

10. Borah J, Dutta P, Khan S, Mahanta J. A comparison of clinical features

of Japanese encephalitis virus infection in the adult and pediatric age

group with Acute Encephalitis Syndrome. Journal of clinical virologi.

24
June 2011; 52: 45-49.

11. Triwibowo G, Widiarti, Farida H, Arum J. Virus japanese encephalitis

dan masalahnya di Indonesia. Makalah seminar nasional mikrobiologi.

2012; 30-35.

12. Sang-Im Y, Young-Min L. Japanese encephalitis the virus and vaccines.

Human vaccines & Immunotherapeutics. February 2014; 10(2) : 263-279.

13. Brett L, Heinz-Jurgen T, Charles R. Flaviridae: the viruses and their

replication. Philadelphia: lippincott-Raven publisher. Fields Virology.

2007.

14. Rampengan N. Japanese encephalitis. Jurnal biomedik. Juli 2016; 8(2):

S10-S22.

15. Lannes N, Summerfield A, Filqueira L. Regulation of inflamation in

japanese encephalitis. Journal of neuroinflammation. 2017; 14: 158.

16. Tiwari S, Singh R, Tiwari R, Dhole T. Japanese encephalitis: a review of

the indian perspective. Elsevier. November 2012; 16(6): 564-573.

17. Unknown. Manual for the Laboratory diagnosis of japanese encephalitis

virus infection. WHO. 2007.

25

Anda mungkin juga menyukai