Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ARBOVIRUS: JAPANESE ENCEPHALITIS DI


INDONESIA

Kelompok D1
Angkatan I 2011/2012

Alimansyah Putra B94114102

Dibawah Bimbingan
Dr. Drh. Trioso Purnawarman, M.Si

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012
PENDAHULUAN
Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit zoonosa yang dapat
menyebabkan terjadinya radang otak pada hewan dan manusia. Penyakit ini bersifat
arbovirus karena ditularkan dari hewan kemanusia melalui gigitan nyamuk. Penyakit
ini telah menyebar luas di Asia bagian Timur seperti Jepang, Korea, Siberia, China,
Taiwan, Thailand, laos, Kamboja, Vietnam. Philipina, Malaysia, Indonesia,
Myanmar, Banglades, India, Srilangka, dan Nepal. Di Indonesia, kasus JE pertama
kali dilaporkan pada tahun 1960 (Erlanger 2010). Kasus JE banyak di laporkan di
daerah Bali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan
bahwa identifikasi kasus encephalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004
menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantranya secara serologis mengarah
pada kasus JE. Selain itu kasus encephalitis pada manusia juga dilaporkan di
beberapa daerah yaitu di Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Timur dan Papua
(Ompusunggu et al. 2008).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa anak-anak hingga remaja rentan
terkena penyakit ini. Di Thailand, diduga 40 dari 100.000 anak hingga remaja usia 5 –
25 tahun menderita penyakit ini. Selain itu, dilaporkan juga bahwa kasus JE banyak
terjadi di daerah pedesaan. Secara epidemiologi kasus ini di daerah Vietnam utara,
Thailand utara, Korea, Jepang, Taiwan, Cina, Nepal, dan India utara banyak terjadi
pada sat musim panas. Daerah Vietnam selatan, Thailand selatan, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan India bagian selatan kasus JE terjadi sporadic
sepanjang tahun (Solomon et al. 2000).
Penyakit JE merupkan salah satu penyakit yang cukup berbahaya. Japanese
Encephalitis merupakan penyebab utama dari kejadian encephalitis didunia.
Diperkirakan dari 50.000 kasus 15.000 diantaranya berujung pada kematian. Hal ini
berarti sepertiga pasien yang menderita penyakit ini meninggal. Sebagin besar pasien
yang selamat juga biasanya mengalami gejala neuropshychiatric parah (Solomon et
al. 2000). Tingkat fatality rate kasus ini dapat mencapai 60% , tergantung pada
jumlah populasi dan usia penderita.
Sebagian besar infeksi pada manusia tidak menunjukkan gejala atau
mengakibatkan gejala yang non-spesifik seperti penyakit flu. Penyakit ini biasanya
ditandai dengan gejala demam, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat
kesadaran. Pada anak-anak biasa juga muncul perilaku yang abnormal karena adanya
kerusakan saraf pada otak (Solomon et al. 2000). Pada hewan kondisi JE jarang
menimbulkan gejala klinis. Virus ini banyak menyerang babi walaupun demikian
belum menimbulkan kerugian yang luas (Sendow & Basri 2005).
Penyebab penyakit ini ialah virus Japanese Encephalitis dari family
Flaviviridae. Virus Japanese Encephalitis ditularkan lewat perantara hewan yaitu oleh
nyamuk Culex. Penykit ini jug termasuk kedalam zoonosis karena dapat menginfeksi
manusia dan juga hewan. Pada hewan virus ini biasanya menyerang babi dan burung
liar.
JAPANESE ENCEPHALITIS DI INDONESIA

Agen Penyebab Penyakit


Japanese Encephalitis virus termasuk dalam family flaviviridae. Virus ini
memiliki amplop (50 nm) dengan lipoprotein kecil mengelilingi nukleokapsid yang
terdiri dari protein inti dan rantai tunggal RNA. Virus JE terkait dengan virus West
Nile dan virus St Louis ensefalitis. Pada amplop bagian luar dibentuk oleh (E) protein
dan merupakan antigen protektif. Hal ini membantu dalam masuknya virus ke dalam
sel. Setidaknya terdapat lima genotipe virus Japanese Encephalitis yang terjadi di
Asia. Strain Muar, pernah diisolasi dari pasien di Malaysia pada tahun 1952, yang
merupakan strain prototipe genotipe V. Untuk Genotipe IV merupkan strain yang
cukup tua dan diduga telah berevolusi di wilayah Indonesia-Malaysia (Solomon et al.
2000).

Gejala Klinis
Gejala klinis yang biasa ditunjukkan pada kasus Japanese Encephalitis
biasanya berupa gejala yang non-spesifik seperti demam, yang diikuti dengan sakit
kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran. Karena jaringan yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang menjadi terinfeksi dan bengkak, penderita biasanya
akan mengalami kekakuan pada leher dan merasa sangat menyakitkan. Kemudian
dalam dua atau tiga hari, penderita mulai mengalami efek pembengkakan pada otak.
Efek ini dapat berupa gangguan dengan keseimbangan dan koordinasi, kelumpuhan
pada beberapa kelompok otot, tremor, kejang, dan gangguan dalam kesadaran
(Solomon et al. 2000).
Penderita juga mengalami dehidrasi dan kehilangan berat badan. Jika
penderita dapat bertahan dengan sakitnya, demam akan turun pada waktu sekitar hari
ke 7, dan gejala akan mulai meningkat lagi sekitar pada hari ke 14. Sementara itu ada
juga penderita yang akan terus mengalami demam sangat tinggi dan gejalanya terus
bertambah buruk. Dalam kasus ini, biasanya akan diikuti dengan gejala koma dan
kemudian kematian yang terjadi dalam 7-14 hari. Banyak juga di antar penderita yang
telah sembuh tetapi diikuti dengan cacat permanen akibat kerusakan otak (Solomon et
al. 2000).
Pada anak-anak penyakit ini juga dilaporkan dapat menyebabkan abnormalitas
prilaku. Pada beberapa anak gejala klinis yang muncul dpat berupa kejang tunggal
yang diikuti dengan pemulihan kesadaran yang cepat. Gejala-gejala kejang yang
biasa terjadi ialah menyebabkan gemetar pada digit atau mulut, deviasi mata,
nystagmus, air liur berlebih, atau respirasi tidak teratur (Solomon et al. 2000).
Penularan JE pada hewan biasanya terjadi pada babi. Babi merupakan
reservoir JE yang paling baik. Walaupun demikian gejala klinis penyakit ini pada
babi jarang ditemukan. Pada babi dewasa antibodi dapat terdeteksi, walaupun gejala
klinis berupa gangguan syaraf umumnya tidak Nampak. Pada anak babi gejala klinis
kadang dapat terlihat. Apabila induk babi yang sedang bunting terinfeksi virus JE,
dapat mengakibatkan lahir mati, keguguran, dan mumifikasi. Bayi babi lahir dalam
keadaan lemah, kadang-kadang disertai dengan gejala syaraf yang kemudian disertai
dengan kematian . Sering juga terlihat adanya kelainan pada bayi babi yang
dilahirkan . Kelainan tersebut antara lain berupa hidrosefalus, oedema subkutan dan
kekerdilan pada babi yang mengalami mumifikasi (Sendow & Bahri 2005).
Pada babi jantan yang terinfeksi JE, terlihat adanya pembendungan pada
testes, pengerasan pada epididimis, serta menurunnya libido. Virus dapat
diekskresikan melalui semen, sehingga mutu semen tersebut akan menurun karena
banyak sperma yang tidak aktif bergerak dan terdapat kelainan dari spermatozoa
tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kemandulan. Pada ternak lain seperti
kambing, domba, sapi, kerbau ataupun unggas, gejala klinis infeksi JE sering tidak
tampak, walaupun antibodi terhadap JE dapat terdeteksi (Sendow & Bahri 2005).

Patogenesa
Penyebaran penyakit JE tidak dapat ditularkan melalui kontak langsung, tetapi
harus melalui vektor, yaitu melalui gigitan nyamuk yang telah mengandung virus JE.
Masa inkubasi pada nyamuk penular antara 9-12 hari dan nyamuk yang terinfeksi
virus JE, selama hidupnya akan menjadi infektif yang dapat menularkan ke hewan
dan manusia
Di daerah tropis, virus JE senantiasa beredar di antara nyamuk, burung dan
babi. Berbagai jenis burung air merupakan resevoar utama atau inang pemelihara
(maintenance host) di alam bagi virus JE. Adapun babi merupakan inang amplifier
(amplifier host) yang dapat menunjukan gejala klinis terutama pada babi-babi
bunting. Infeksi pada manusia dan kuda dapat menyebabkan gejala encephalitis yang
hebat dan fatal, meskipun sebenarnya manusia dan kuda hanya sebagai inang
insidental (incidental host). Infeksi yang tidak menampakkan gejala klinis juga terjadi
pada sapi, domba, dan kambing, serta hewan lain seperti anjing, kucing, rodensia,
kelelawar, ular dan katak.
Mekanisme penularan virus JE pada manusia terjadi karena nyamuk Cx.
tritaeniorhynchus yang seharusnya bersifat zoofilik populasinya menjadi banyak
sekali atau terjadi kenaikan yang mendadak dari populasi nyamuk dan sehingga
dengan terpaksa nyamuk inipun menggigit manusia yang ada di sekitarnya. Selain itu,
dapat juga terjadi karena jumlah babi yang menderita viraemia (mengandung virus
JE) menjadi banyak sehingga cadangan virus di alam meningkat dan mudah
ditularkan pada manusia. Umur vektor JE, nyamuk Culex, berkisar antara 14-21 hari
dan jarak terbang Culex dapat mencapai lebih dari 3 km. Culex umumnya
berkembang biak pada genangan air yang banyak ditumbuhi tanaman seperti sawah
dan saluran irigasinya, selokan yang dangkal atau kolam yang sudah tidak terpakai.
Pada babi, viraemia terjadi selama 2-4 hari dan diikuti dengan pembentukan antibodi
dalam waktu I hingga 4 minggu. Virus JE dapat menembus plasenta tergantung pada
umur kebuntingan dan galur virus JE . Kematian janin dan mumifikasi dapat terjadi
apabila infeksi JE berlangsung pada umur kebuntingan 40-60 hari . Sedangkan infeksi
JE sesudah umur kebuntingan 85 hari, kelainan yang ditimbulkan sangat sedikit.
Masa inkubasi JE pada manusia berkisar antara 4 hingga 14 hari (Sendow & Bahri
2005).
Studi pada nyamuk Cx. tritaeniorhynchus menyimpulkan bahwa perbanyakan
virus JE terutama terjadi pada sel-sel epitel usus tengah bagian posterior, sel-sel
lemak jaringan lainnya merupakan penunjang sehingga sel-sel kelenjar ludah menjadi
terinfeksi virus secara berat dan permanent. Virus juga berkembang biak dalam sel-
sel ovaria nyamuk ini. Secara eksperimental terbukti bahwa virus JE dapat ditularkan
secara transovarial pada nyamuk Aedes aegypti dan Aedes togoi. Fluktuasi musiman
dari populasi nyamuk baik yang pradewasa maupun yang dewasa erat kaitannya
dengan fluktuasi epidemi JE. Oleh karena itu penguasaan bionomik suatu vektor
merupakan kunci penting dalam mempelajari epidemiologi penyakit yang ditularkan
vektor dan membuat perencanaan pengendaliannya.
Di daerah tropis yang virus denguenya endemis, penyakit yang disebabkan
oleh arbovirosis grup B yang lain, tidak banyak terdapat, tetapi di daerah beriklim
sedang penyakit yang disebabkan oleh arbovirosis grup B selain dengue, lebih banyak
terdapat. Ada kecenderungan pula bahwa daerah tropis yang kadar antibodinya
terhadap dengue rendah, kadar antibodi terhadap JE tinggi, demikian sebaliknya.
Virus JE juga akan kurang berpengaruh terhadap orang yang pernah mendapat infeksi
virus dengue.

Kondisi Japanese Encephalitis di Indonesia


Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara agraris, dimana sebagian
besar mata pencaharian penduduknya dari bertani, seperti menanam padi di sawah
yang merupakan habitat yang paling balk bagi perkembangbiakan nyamuk termasuk
vektor JE. Sebagai negara tropis dan negara agraris, Indonesia memiliki hamparan
sawah yang luas dengan populasi yang padat, yang apabila disertai dengan banyaknya
populasi babi di sekitarnya, maka akan sangat beresiko munculnya wabah
(meningkatnya kejadian) JE pada manusia. Migrasi nyamuk dari satu pulau ke pulau
lain sering terjadi, bahkan migrasi nyamuk dari satu Negara ke Indonesia atau
sebaliknya dapat terjadi. Beberapa factor penentu terjadinya kejadian penyakit JE di
Indonesia ialah faktor usia, aktifitas sehari-hari dan faktor lingkungan. Usia yang
lebih tua biasanya remaja lebih sering terkena penyakit ini. Umumnya kondisi ini
dikaitkan dengan interaksi dengan vektor yang lebih sering (Liu et al. 2010)
Penyakit JE pada hewan di Indonesia, sampai saat ini belum menimbulkan
masalah yang besar. Hal ini disebabkan karena gejala klinis yang ditimbulkan pada
ternak tidak menunjukkan ciri-ciri yang khas sehingga tidak dapat terdiagnosa, oleh
karena itu penelitian JE pada hewan kurang mendapat perhatian. Laporan kasus
klinis pada hewan belum pernah dilaporkan, namun hasil pemeriksaan serologis
menunjukkan adanya JE pada hewan di Indonesia. Beberapa laporan menyebutkan
bahwa hasil pemeriksaan serologis ditemukan adanya antibodi terhadap virus JE
yang ditemukan pada babi dari beberapa daerah di Indonesia. Selain pada babi,
antibodi terhadap virus JE juga dapat ditemukan pada kuda dan kelelawar.
Pada tahun 1998, Balai Penelitian Veteriner Bogor, melakukan uji ELISA
untuk mendeteksi antibodi JE pada beberapa spesies hewan seperti sapi, kerbau,
kambing, itik, ayam, kuda, babi dan anjing dari beberapa daerah di Indonesia. Hasil
uji tersebut menunjukkan bahwa reaktor JE dapat ditemukan pada semua spesies
hewan yang diperiksa dengan prevalensi bervariasi mulai 11% hingga 51%.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada sapi, diikuti pada itik, ayam, kambing, kuda,
anjing dan babi.
Meskipun JE kurang berdampak pada kesehatan hewan. Namun pada penyakit
JE berdampak terhadap kesehatan manusia. Di Indonesia Kasus JE pertama kali di
laporkan secara serologi terjadi di manusia yaitu pada tahun 1999 di daerah Bali.
Pemeriksaan spesimen serum dari 12 pasien dengan diagnosis klinis ensefalitis virus,
meningitis atau demam berdarah dengue (DBD) menemukan dua diantaranya positif
terinfeksi Japanese Encephalitis (Yoshida et al. 1999).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa identifikasi kasus encephalitis dirumah
sakit di Bali antara tahun 2001-2004 menemukan 163 kasus encephalitis dan 94
diantaranya secara serologis mengarah pada kasus JE (Liu et al. 2010). Hal ini
menunjukkan bahwa bali merupakan salah satu daerah yang menjadi tempat endemic
penyakit ini. Sebuah studi lainya yang lebih mendalam membahas tentang kondisi JE
di Bali menyebutkan bahwa virus JE di Bali ditransmisikan sepanjang tahun dengan
70% dari kasus di musim hujan (Kari et al. 2006).
Sebuah laporan terbaru bahkan melaporkan terdapat kasus infeksi virus JE
pada turis yang berlibur di Bali. Turis tersebut melakukan perjalanan 3 minggu ke
Jawa dan Bali, termasuk berlibur kedaerah pedesaan ke pedesaan. Minggu terakhir
bulan Maret dihabiskan Bali. Setelah pulang ke rumah, pasien mengeluh kelelahan
dan 5 hari kemudian ia jatuh sakit dengan mati rasa di kedua clengan, dan tidak bisa
menggunakan pisau dan garpu saat makan. Dia juga muntah dan jatuh ke lantai
beberapa kali, tidak dapat berdiri dengan sendiri. Saat masuk ke rumah sakit pada
malam yang sama, pasien itu demam (39.18 0C), tetapi dalam kondisi baik secara
umum. Keesokan harinya ia menjadi bingung dan tidak mengerti pertanyaan
sederhana atau instruksi. Hasil pemeriksaan menunjukkan terjadinya kondisi
encephalitis yang mengarah pada kondisi JE (Stlund et al. 2001)
Kasus infeksi virus JE juga terjadi dibeberapa dareah lainya. Laporan
pemeriksaan JE dibeberapa daerah seperti Sumatra Barat, Kalimantan Barat, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggra Timur dan Papua. Semuanya
menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan secara serologis penyakit JE dengan
presentase yang beragam dari 2% hingga 18%. Kasus pada penelitian ini 95% terjadi
pada anak diatas 10 tahun dan 47% dari hasil terebut berujung pada kematian atau
cacat (Ompusunggu et al. 2008). Setengah dari hasil serologis telah melaporkan
bahwa antibodi terhadap JE telah terdeteksi pada 9 dari 96 orang di Timika, Papua.
Lima di antaranya penduduk asli yang tidak pernah bepergian ke daerah yang
diketahui merupakan daerah endemik JE.

Tindakan pencegahan dan pengobatan


Tindakan vaksinasi merupakan salah satu langkah efektif dalam mencegah
penyakit ini. Umumnya vaksin diberikan kepada anak- anak sampai remaja usis di
bawah 17 tahun di daerah-daerah endemik JE. Bagi para wisatawan atau pelancong
yang akan mengunjungi daerah endemis JE dapat juga memanfaatkan vaksin ini
sebagai langkah pencegahan. Langkah pencegahan lain adalah dengan upaya
pengendalian populasi nyamuk (Sendow & Bahri 2005).
Sejauh ini karena JE merupakan penyakit virus, maka tidak ada pengobatan
untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan virus ini. Pengobatan hanya
dapat dilakukan dengan cara simptomatis yaitu mengilangkan gejala- gejala yang
terlihat setiap penderita. Cairan bisa diberikan untuk mengurangi dehidrasi dan obat-
obatan diberikan untuk mengurangi demam dan rasa sakit. Dapat juga diberikan obat-
obatan yang dapat mengurangi pembengkakan otak. Penderita yang dalam keadaan
koma mungkin diberikan bantuan-bantuan yang sifatnya mekanik dengan bantuan
pernapasan.
KESIMPULAN

Japanese Encephalitis merupakan salah satu penyakit Arbovirus zoonosis


yang cukup berbahaya. Penyakit ini dapat menyerang hewan (babi dan burung) dan
manusia. Infeksi virus JE terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Laporan kasus JE
terbanyak pada manusia di laporkan di wilayah Bali. Perlu adanya tindakan
pencegahn yang tepat untuk menghindari penyebaran penyakit ini lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Erlanger TE, Weiss S, Keiser J, Utzinger J, Wiedenmayer K. 2009. Past, Present, and
Future of Japanese Encephalitis. Emerging Infectious Diseases 15(1): 1-7
Kari K, Liu W, Gautama K, Mammen Jr MP, Clemens JD, Nisalak A, Subrata K,
Kim HK, Xu ZY. 2006. A hospital-based surveillance for Japanese
encephalitis in Bali, Indonesia. BMC Medicine 4(8): 1-7.
Liu W, Gibbons RV, Kari K, Clemens JD, Nisalak A, Marks F, Xu ZY. Risk factors
for Japanese encephalitis: a case-control study. Epidemiol Infect 138(9):1292-
1297.
Ompusunggu S, Hills SL, Maha MS, Moniaga VA, Susilarini NK, et al . 2008.
Confirmation of Japanese Eneephalitis as an Endémie Human Disease
Through Sentinel Surveillance in Indonesia. Atn J Tro¡ Med Hyg 79(6):963-
970.
Sendow I, Bahri S. 2005. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia.
Wartazoa 15(3): 111-118.
Solomon T, Dung NM, Kneen R, Gainsborough M, Vaughn DW, Khanh VT. 2000.
Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 68:405–415
Stlund MRO, Kan B, Karlsson M, Vene S. 2001. Japanese Encephalitis in a Swedish
Tourist after Travelling to Java and Bali. Scand J Infect Dis 36: 512-513
Yoshida M, Igarashi A, Suwendra P, Inada K, Maha MS, et al. 1999. The first report
on human cases serologically diagnosed as Japanese encephalitis in Indonesia.
Southeast Asian J Trop Med Public Health 30 (4): 698-706

Anda mungkin juga menyukai