Anda di halaman 1dari 29

Gambaran dan Pencegahan terhadap

Japanese Encephalitis

Padas 2

Kelompok 1

Ayu Anas Silvya (112016209)

Melisa (112016229)

Nur Hidayah Binti Dzulkifly (112016249)

Elisabet Meyzi Nurani (112016266)

Nadia Syahirah binti Abdul Aziz (112016386)

Luciana (112016290)

Reynaldi Sanjaya Iskandar (112016316)

Brigitte Fani Florencia (112016318)

Herni Mariati Rangan (112016346)

Marliani Hanifah Binti Mahmud (112016382)

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat korespondensi : Jl. Arjuna Utara, No. 6 Jakarta Barat 11510

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 1


Abstrak

Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi akut pada system saraf pusat. Babi dan
unggas merupakan reservoir virus ini, namun tidak terjadi penularan dari manusia ke manusia
lain melalui gigitan nyamuk terutama Culex tritaeniorhynchus. Manifestasi klinis penyakit JE pada
manusia bervariasi, mulai dari gejala ringan seperti demam flu biasa sampai berat bahkan
kematian. Masa inkubasi JE antara 4 sampai 14 hari. Perkembangan gejala JE terbagi atas 4
stadium yaitu stadium prodormal, akut, sub-akut, dan konvalesen. Diagnosis pasti dengan
anamnesis adanya perternakan babi disekitar rumah dan demam, pemeriksaan fisik terdapat
peningkatan tekanan intra kranial serta penurunan kesadaran, dan diagnosis pasti dengan isolasi
virus maupun pemeriksaan IgM capture ELISA dari serum atau CSS dengan sensitivitas hampir
100%. Terapi JE hanya bersifat simtomatis dan suportif. Pencegahan dan pemberantasan JE virus
ditujukan pada manusia, vektor nyamuk Culex beserta larvanya, dan reservoir babi. Pada kasus
berat, ditemukan gejala sisa sekitar 40%-75%. Penyakit JE dapat dicegah dengan imunisasi. Pada
waktu ini terdapat dua tipe vaksin JE yang digunakan di seluruh dunia yaitu tipe Live Attenuated
SA14-14-2 Vaccine dan Inactivated Cell CultureDerived Vaccines. Cara pemberian vaksin
adalah bervariasi tergantung usia dan tujuan penerima sama ada penduduk di daerah endemic
atau pelancong yang ingin ke daerah endemic.

Kata kunci: Japanese encephalitis virus, Culex tritaeniorhynchus, Live Attenuated SA14-14-2,
Vaccine Inactivated Cell CultureDerived Vaccines

Abstract
Japanese encephalitis (JE) is an acute infective disease in the central nervous system.
Pigs and birds are the main reservoirs of JE viruses, although, there is no transmission from
human to human with mosquito bites especially Culex tritaeniorhynchus. Clinical manifestations
of JE in human vary from mild symptoms like rhinitis until severe symptoms, and even death.
Incubation period of JE varies from 4 until 14 days. Development of JE symptoms are divided
into 4 stadiums, as follows: prodormal, acute, sub-acute, and convalescent. Diagnosis is based
on history taking including fever and the presence of pig farm around the house, and physical
examination consisted of increased intra-cranial pressure and decreased consciousness,
meanwhile, the definite diagnosis is confirmed with virus isolation either IgM capture ELISA test
from serum or cerebrospinal fluid; both have sensitivity almost 100%. Treatment of JE is only
symptomatic and supportive. Prevention and erradication of JE virus are aimed to human,
mosquito Culex as vector and its larvae, and pig as the reservoir. In severe cases, sequelae are
found around 40%-75%. Japanese encephalitis can be prevented with immunization. Currently,
there are two types of JEV vaccines namely Live Attenuated SA14-14-2 Vaccine dan Inactivated
Cell CultureDerived Vaccines. Methode of delivering the vaccines depends on the age of the
receiver and the purpose of the vaccine, whether to be given to those whom residing at endemic
area or to those whose going to travel to the endemic area.

Keywords: Japanese encephalitis virus, Culex tritaeniorhynchus, Live Attenuated SA14-14-2 ,


Vaccine Inactivated Cell CultureDerived Vaccines

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 2


Pendahuluan

Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat
(SSP) yang ditularkan melalui nyamuk yang terinfeksi virus JE. Virus JE termasuk dalam famili
flavivirus. Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 1871 di Jepang dan diketahui
menginfeksi sekitar 6.000 orang pada tahun 1924. Virus JE pertama kali diisolasi tahun 1934 dari
jaringan otak penderita ensefalitis yang meninggal. Pertama kali terjadi kejadian luar biasa
(KLB) pada tahun 1935 dan hampir setiap tahun terjadi KLB, dari tahun 1946 hingga tahun
1950.1,2

Japanese encephalitis adalah infeksi neurologik yang berkaitan erat dengan St. Louis
encephalitis dan West Nile encephalitis. Virus JE menyebar terutama di daerah pedesaan (rural)
di Asia. Virus tersebut disebarkan oleh nyamuk. Nyamuk yang paling sering ditemukan sebagai
vektor ialah Culex tritaeniorhynchus yang dapat menularkan virus JE baik ke manusia maupun
ke hewan peliharaan lainnya .3,4 Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim
hujan saat populasi nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia
(sporadik terutama di daerah pertanian).5 Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai dari Jepang,
Filipina, Taiwan, Korea, China, Indo China, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan India. Diper-
kirakan terdapat 35.000 kasus JE di Asia setiap tahun. Penyakit ini paling sering menginfeksi
anak berusia 1 tahun hingga 15 tahun.5,6

Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ini;
paling sering ialah Culex tritaeniorhynchus, yang banyak dijumpai di daerah persawahan, rawa-
rawa dan genangan air.7 Babi dan unggas yang hidup di air seperti bangau, merupakan hewan
utama reservoir virus ini.2,7 Selain itu sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, kera, ayam dan kucing
juga dapat berperan sebagai reservoir virus JE.2 Di Indonesia, penelitian penyakit JE sudah
dilakukan sejak tahun 1975 dengan seroprevalensi bervariasi antara 10%-75%.5,6

Manifestasi neurologik penyakit JE yang disebabkan oleh flavivirus bervariasi, mulai dari
adanya sedikit perubahan dalam tingkah laku hingga masalah yang serius termasuk kebutaan,
ataksia, kelemahan, dan gangguan gerakan tubuh.3,4 Angka kematian berkisar antara 20% hingga
30%. Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand, China,
Nepal, India dan Jepang sudah memasukkan imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 3


sehingga kasus ensefalitis turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per
100.000 penduduk.4

Epidemiologi

Dewasa ini terdapat 3 milyar orang tinggal di daerah endemis JE, daerah ini meluas dari
Pakistan hingga Siberia dan Jepang.5

Virus JE termasuk salah satu dari 66 jenis flavivirus. Virus ini termasuk dalam
serokompleks JE, yang terdiri dari beberapa flavivirus termasuk Alfuy, Koutango, Kokobera,
Kunjin, Murray Valley encephalitis, JE, Stratford, Usutu, West Nile dan St. Louis encephalitis.
Japanese encephalitis merupakan penyakit musiman; kebanyakan kasus terjadi pada bulan Juni
hingga September. Pada daerah subtropis, transmisi virus JE terjadi pada bulan Maret hingga
Oktober. Transmisi dapat terjadi sepanjang tahun pada daerah tropis seperti Indonesia. Negara
yang termasuk daerah endemis penyakit JE ialah Malaysia, Burma, Filipina, Indonesia, China,
Taiwan, Rusia (Siberia maritim), Bangladesh, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, India, Nepal
(terutama daerah Terai), Srilanka, Korea, Jepang, Australia (pulau-pulau di Semenanjung Torres),
Brunei, Pakistan, Papua Nugini dan Kepulauan Pasifik.5 Sebagaimana patogen penyakit zoonotic
lainnya, beberapa faktor seperti ekologi, iklim, lingkungan dan perilaku manusia berperan dalam
penyebaran distribusi virus JE. Bahkan beberapa nyamuk yang terbawa arus angin telah
dipertimbangkan berkontribusi terhadap penyebaran virus, contohnya dari Papua Nugini ke
pulau-pulau Semenanjung Torres dan Australia.5

Secara global, lebih dari 45.000 kasus dilaporkan setiap tahun, walaupun kemungkinan telah
terjadi penurunan perkiraan insiden penyakit yang sesungguhnya. 6,7 Laju insidens lokal
bervariasi mulai dari 1-10 kasus per 100.000 orang, tetapi bisa mencapai lebih dari 100 kasus per
100.000 orang pada saat outbreak.5 Nyamuk Culex bersifat zoofilik yaitu lebih menyukai
binatang, hanya secara kebetulan saja dapat menyerang manusia terutama bila dalam keadaan
densitas Culex yang sangat padat.2 Keparahan infeksi yang terjadi secara alamiah dan
kemungkinan komplikasi yang berat dapat terjadi menjadi faktor penting untuk mempromosikan
vaksinasi sebagai pencegahan utama penyakit JE.5

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 4


Rasio infeksi virus JE asimtomatik dengan infeksi simtomatik bervariasi yaitu 25-1000
berbanding 1. Rasio kasus penyakit JE simtomatis pada pria dan wanita 1,5:1. Ditemukan bukti
adanya infeksi virus JE dari pemeriksaan serologik pada hampir seluruh penduduk usia dewasa
muda di daerah pedesaan negara endemis. Japanese encephalitis menyerang semua umur, namun
infeksi simtomatis paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2 tahun hingga 10 tahun dan pada
kelompok geriatri (usia lebih dari 60 tahun). Pada daerah non endemis, infeksi virus JE tidak
memiliki predileksi usia.5,7 Penyakit JE relatif jarang terjadi di antara para turis yang berpergian
ke daerah endemis dalam jangka pendek dan ke daerah urban yaitu <1 per 1 juta turis. Individu
yang berisiko ialah turis yang menetap di negara endemis dalam jangka panjang di daerah
pedesaan di negara endemis.5

Di Indonesia, virus JE pertama kali diisolasi dari nyamuk pada tahun 1972 di daerah
Bekasi. Endemisitas JE ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia, dimana umumnya
masyarakat hidup berdekatan dengan hewan ternak mereka. Data dari Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemkes RI) tahun 1993-2000 menunjukkan spesimen positif JE ditemukan
di 14 Provinsi (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan
Papua).2 Survei di Rumah Sakit (RS) Sanglah Bali pada tahun 1990 hingga tahun 1992 pada 47
kasus ensefalitis ditemukan 19 kasus (40,4%) serologi positif terhadap penyakit JE. Survei di RS
yang sama pada tahun 2001 hingga tahun 2002 pada 262 kasus ensefalitis, ditemukan 112 kasus
(42,8%) positif dengan angka kematian (mortality rate) sebanyak 16% dan angka kecacatan
(sequelae rate) sebanyak 53,1%.6

Pada hewan, penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya abortus, meninggal, atau bahkan tanpa
gejala. Hewan yang dapat terinfeksi penyakit ini ialah ternak lembu, sapi, ayam, bebek dan
kambing, dan vertebrata lainnya, termasuk ular, kodok, tikus, dan kelelawar. Burung merupakan
hewan yang penting dalam penyebaran penyakit ini. Virus dapat bereplikasi di dalam darah
hewan tanpa menimbulkan penyakit serius, yang memungkinkan siklus penularan. Manusia dan
kuda merupakan dead-end host, artinya tidak terjadi penularan dari manusia atau kuda ke
manusia atau hewan lain melalui gigitan nyamuk.5

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 5


Patogenesis dan Faktor resiko

Penyakit Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit yang termasuk arbovirus


(arthropod born viral disease) yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan
oleh artropoda. Dalam perjalanan alamiah penyakit arbovirus diperlukan adanya reservoir
(sumber infeksi) dan vektor agar siklus penularannya dapat terus berlangsung. Nyamuk
merupakan vektor penyebar Japanese Encephalitis Virus (JEV). Spesies nyamuk yang banyak
ditemukan di lingkungan sekitar rumah adalah Culex . Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis
nyamuk yang dapat menularkan penyakit ini; paling sering adalah Culex tritaeniorhynchus, yang
banyak dijumpai di daerah persawahan, rawarawa, dan genangan air.7 Babi merupakan salah satu
hewan pejamu JEV karena babi adalah amplifier terbaik bagi perkembangan JEV. Siklus
penularan JE dapat terjadi antar sesama hewan, babi, atau hewan besar, atau unggas lainnya serta
dari hewan besar lainnya, unggas, atau babi kepada manusia, dimana kedua penularan ini terjadi
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, terutama babi yang merupakan amplifier terbaik. Jika
darah babi yang mengandung JEV dihisap oleh nyamuk, maka nyamuk tersebut akan
menyebarkan virus melalui gigitannya pada manusia atau pun hewan lain.7

Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi
nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia (diperkirakan sporadik,
terutama di daerah pertanian). Adapun beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya
infeksi VJE antara lain tidak adanya antibodi spesifik JE, baik yang 12 didapat secara alamiah
ataupun karena di vaksinasi, tinggal di daerah endemik JE, dan perilaku yang dapat
meningkatkan risiko terpapar oleh vektor JE, seperti berada di luar rumah pada malam hari, tidak
menggunakan lotion anti nyamuk dan tidak menggunakan kelambu pada saat tidur.7

Infeksi VJE pada manusia sangat bervariasi, dapat berupa asimtomatik dengan
serokonversi antibodi, gejala subklinis atau demam, atau tanda-tanda meningomieloencephalitis
akut. Virus JE awalnya memperbanyak diri di daerah gigitan dan nodus limfatik regional. Dua
karakteristik seluler yang penting dalam patogenesis yaitu protein M yang mengandung domain
hidrofobik yang membantu untuk penempelan virus ke dalam sel inang dan protein E yang
memiliki fitur imunogenik utama dan diekspresikan ke dalam membran sel yang terinfeksi.
Protein E memediasi fusi membran antara envelope virus dengan membran sel sehingga virus
dapat masuk ke dalam sel inang.8

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 6


Siklus replikasi virus JE dimulai dari interaksi virus JE dengan reseptor sel inang,
kemudian endositosis yang diperantarai oleh reseptor, fusi dari membran virus dan sel inang,
pelepasan genom virus sitoplasmik dan dilanjutkan oleh proses transkripsi dan pre-translasi.
Maturasi partikel virus terjadi di dalam kompleks Golgi, diikuti oleh pelepasan virus JE.8

Pada tingkat sel, setelah virus JE menempel dengan sel inang, terjadi kerusakan membran
lokal sehingga menyebabkan masuknya virus JE ke dalam sel, kemudian terjadi viremia pertama
yang umumnya berlangsung sebentar dan sangat ringan. Bila viremia pertama tetap berlangsung
maka akan terjadi penyebaran melalui aliran darah dan menimbulkan perubahan inflamatorik
pada jantung, paru, hati, sistem retikuloendotelial dan sistem saraf pusat (SSP) yang dapat
menimbulkan penyakit subklinis. Di dalam organ-organ tersebut virus JE akan berkembang biak
kemudian akan dilepaskan, masuk kedalam peredaran darah, dan menimbulkan gejala penyakit
sistemik.2,8

Bentuk subklinis atau ringan dari penyakit JE menghilang dalam beberapa hari, jika tidak
melibatkan SSP. Pada kasus tersebut, infeksi bisa tidak menimbulkan gejala dan tetap tidak
terdeteksi. Pada kasus lainnya, dimana terjadi invasi virus JE ke SSP yang disebabkan oleh
pertumbuhan virus sepanjang sel endotelial vaskular, menyebabkan keterlibatan sejumlah besar
area di otak termasuk talamus, ganglia basal, batang otak, serebelum khususnya destruksi sel
Purkinje serebelum, hipokampus, dan korteks serebri. Infeksi persisten dan transmisi kongenital
dapat terjadi. Semakin tinggi level sitokin tertentu seperti interferon (IFN) alfa, interleukin (IL) 6
dan IL 8, maka semakin tinggi tingkat mortalitasnya.8,9

Virus JE dapat meningkatkan terjadinya patologi sistem saraf pusat karena efek
neurotoksik langsung ke sel-sel otak dan kemampuannya untuk mencegah perkembangan sel-sel
baru dari sel neuron (neural stem/progenitor cells) sehingga meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.7 Bagaimana cara virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui dengan
pasti, namun diduga setelah terjadinya viremia, maka virus akan menembus sawar darah otak
dan berkembang biak pada sel endotel dengan cara endositosis Setelah mencapai jaringan SSP,
virus berkembang biak di dalam sel dengan cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta
badan Golgi dan setelah itu menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas
sel neuron, glia dan endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke dalam
sel dan timbulah edema sitotoksik. Adanya edema dan kerusakan SSP ini memberikan

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 7


manifestasi klinis berupa ensefalitis. Area otak yang terkena dapat pada talamus, ganglia basal,
batang otak, serebelum, hipokampus dan korteks serebral. Bisa juga dengan cara seperti virus
neurotropik umumnya yaitu setelah masuknya virus JE ke tubuh manusia terutama setelah
viremia yang kedua, tubuh manusia membentuk antibodi antivirus yang beredar dalam darah dan
masuk ke SSP menimbulkan proses inflamasi dengan akibat timbulnya edema dan selanjutnya
terjadi anoksia, yang pada akhirnya terjadi kematian sel-sel SSP yang luas.2,10

Terdapat satu studi yang menyimpulkan bahwa sel-sel sistem saraf pusat selain neuron
seperti astrosit dan sel mikroglia juga bisa terkena infeksi viral replikatif karena virus JE,
sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada sawar darah otak (blood-brain barrier).8

Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Keluhan dan Simptom

Hampir semua yang tertular virus Japanese Encephalitis asimptomatis; kurang 1%


menunjukkan daripadanya timbul gejala klinis contohnya ensefalitis akut. Ensefalitis akut
merupakan sindroma klinis yang paling banyak teridentifikasi pada pasien yang tertular virus
tersebut. Simptom yang lebih ringan seperti meningitis aseptik atau demam yang febril juga
banyak dilaporkan dan biasanya pada dewasa.2,8

Periode inkubasi antara 5 hingga 15 hari. Gejalanya biasanya dimulai dengan demam
akut, sakit kepala dan muntah-muntah. Perubahan status mental, defisit neurologis fokal, lemas
dan lemah saat beraktivitas dapat terjadi untuk beberapa hari setelah periode tersebut. Konvulsi
juga biasa terjadi, terutama pada anak-anak. Deskripsi umum mengenai Japanese Encephalitis ini
termasuklah sindrom parkinsonisme dengan wajah seperti memakai topeng, tremor, cogwheel
rigidity dan pergerakan chorea. Paralisis flaccid akut dengan ciri klinikal dan pathologis yang
sama dengan poliomyelitis, juga dikaitkan dengan infeksi JEV. Status epilepticus, hipoksia otak,
peningkatan tekanan intrakranial, hernia batang otak dan aspirasi pneumonia merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi sehinggalah dapat terjadi kesan yang buruk bahkan sampai
kematian.5

Walaupun laporan mengenai infeksi JEV dan kehamilan sangat terbatas, keguguran dan
infeksi intrauterin yang terjadi pada ibu yang terinfeksi JE dilaporkan. Di India, 4 kasus

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 8


keguguran telah dilaporkan pada 9 ibu yang terkena infeksi; kesemua pasien yang mengalami
keguguran dalam fase kehamilan di trimester 1 atau 2 kehamilan. JEV telah diisolasikan dari satu
janin yang teraborsi, mendapatkan transmisi virus dapat terjadi lewat intrauterin.11

Temuan laboratorium klinikal terhadap JE tidak spesifik yaitu dapat terjadi peningkatan
hitung lekosit, anemia ringan dan hiponatremia. Trombositopenia dan peningkatan ensim hepatik
dapat juga terdeteksi. Cairan cerebrospinal (CCS) biasanya didapatkan adanya pleositosis
limfositik dengan peningkatan sederhana protein.

Dengan magnetic resonance imaging (MRI) pada otak lebih baik dari Computed
tomography (CT) untuk mendeteksi JEV yang menyebabkan keabnormalan seperti kelainan pada
thalamus, basal ganglia, midbrain, pons dan medulla. Lesi thalamik merupakan abnormalitas
yang biasanya terjadi, walupun ia dapat spesifik untuk infeksi JE namun, ia bukan merupakan
marker yang sensitif.11

Diagnosis Laboratorium

Infeksi JEV biasanya dapat dideteksi dengan deteksi antibodi virus-spesifik dalam CSF
atau serum. Oleh sebab viremia pada manusia sangat rendah atau tidak dapat diditeksi pada
waktu simptom klinikal yang distintif terjadi, isolasi virus dan nucleic acid amplification
test(NAAT) juga insensitif dan tidak harus dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis JE. Isolasi
JEV dari specimen biasanya tidak berhasil mungkin juga karena titer virus yang rendah dan
produksi antibodi yang cepat. 11

Terapi dan Managemen Infeksi

Terapi JE termasuklah terapi suportif dan managemen komplikasinya yaitu konvulsi dan
peningkatan tekanan intracranial. Agen spesifik antiviral atau pengobatan masih belum ada untuk
menyingkirkan kesan dari infeksi JE. Kortikosteroid telah lama digunakan sebagai managemen
terapi. Interferon alpha, suatu sitokin glikoprotein yang diproduksi secara alamiah oleh tubuh
jika ada infeksi viral, termasuklah JE, merupakan calon yang dipikirkan cocok buat melawan
infeksi tersebut, namun, dalam suatu studi trial klinikal, pemberian kortikosteroid, interferon
alpha-2a atau ribavirin tidak berhasil membaiki kesan klinikal dari infeksi JE. 12 Oleh itu,
managemen suportif dari perawat dan ahli yang berpengalaman amat diperlukan untuk

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 9


mengelakkan terjadinya malnutrisi, kontraktur dan lesi akibat berbaring terlalu lama, semasa
perawatan infeksi diberi dan semasa pasiennya lemah.

30% pasien yang dirawat rumah sakit yang terinfeksi meninggal dan kira-kira separuh
pasien mengalami kecacatan neurologis yang buruk. Namun begitu, di rumah sakit yang
sudahpun mempunyai fasilitas yang bagus, terdapat penurunan dalam mortalitas seiring dengan
meningkatnya pasien yang menderita kesan dari infeksi tersebut. 11,12

Prognosis buruk yang dapat terjadi adalah hilang kesadaran, pernapasan abnormal dan
perubahan postur tubuh dan kejang kronik, peningkatan tekanan intracranial. Apabila dilakukan
isolasi virus dari cairan intracranial dan serum, IgM dan IgGnya ternyata rendah, namun masih
dapat menyebabkan komplikasi infeksi yang berat. Indicator yang telah dijumpai pada
sesetengah populasi termasuklah meningkatnya suhu, reflex abdominal negetif, hyponatremia,
iron serum yang rendah dan meningkatnya lekosit dan protein di cairan CHF. Kira-kira 30%
pasien yang sudah sembuh mengalami deficit pergerakan. Hal ini menyebabkan terjadinya
kelemahan motor neuron dan deficit serebelum dan ekstrapiramidal. Akhirnya menyebabkan
kaki yang hiperekstensi, fleksi deformitas pada lengan. 20% pula akan menderita penurunan nilai
kognitif dan Bahasa, dengan 20% lagi mengalami konvulsi.11

Vaksin Untuk Japanese Encephalitis

Satu-satunya vaksin yang wujud untuk para pengembara adalah formalin inactivated
mouse-brain derived vaccine yang dikembangkan di Research Foundation for Microbial Disease
of Osaka University (BIKEN) di Jepang dan didistribusi oleh Aventis Pasteur dan Green Cross
di Korea .13 Selain itu formalin- inactivated mouse brain derived vaccine juga diproduksi di
Taiwan, Thailand dan Vietnam tetapi untuk kegunaan lokal. Terdapat dua tipe vaksin JE yang
digunakan Di China yaitu ; inactivated vaccine grown in primary hamster kidney (PHK) cells
dan live attenuated vaccine yang juga dikenal sebagai SA14-14-2 . Kedua vaksin ini
mempunyai dampak yang besar terhadap keberhasilan mencegah JE di China.

Vaksin JE Inactivated Mouse BrainDerived

Penelitian dan pengembangan vaksin inactivated mouse-brain derived bermula pada tahun 1930-
an setelah virus JE pertama kali ditemukan di Jepang. Vaksin ini digunakan selama kurang lebih 30 tahun

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 10


di Negara-negara Asia yang kaya. Bagi Negara-negara Asia yang kurang mampu, penggunaan vaksin ini
terhambat oleh biaya yang tinggi, kesukaran untuk diproduksi dan sukar diperoleh. Sedangkan
penggunaannya dalam kalangan pengembara terhambat karena isu keamanan vaksin.

Dosis dan Metode Pemberian

Dosis dan jadwal pemberian setiap regimen vaksin adalah bervariasi , tergantung kepada
kondisi. Misalnya, 1 dosis vaksin tipe Nakayama-based adalah 1ml dan diberikan secara
subkutan. (0.5ml untuk anak usia 1-2 tahun, 1.0 ml untuk anak usia 3 tahun dan ke atas). Vaksin
tipe Beijing-1 lebih poten, maka dosisnya adalah separuh dari vaksin tipe Nakayama-Based .

Studi Imunogenisitas

Untuk menentukan jumlah neutralizing antibody yang dapat melindungi dari virus JE,
sebuah penelitian dilakukan dimana mencit diimunisasi secara pasif menggunakan antibodi
anti-JEV dan kemudiaannya di eksposi kepada virus aktif JE. Dosis virus yang digunakan
adalah median 105 dosis letal virus JE (105 kali lebih berkuasa dari dosis letal JE yang
membunuh 50% mencit yang tidak diberikan imunisasi pasif). Hasil dari eksperimen tersebut,
didapatkan mencit yang mempunyai titer neutralizing antibody di antara 1 hingga 10 adalah
terproteksi dari virus, manakala mencit dengan titer di bawah 1 tidak terproteksi. Dengan itu,
jumlah titer neutralizing antibody Antara 1-10 adalah indikasi kepada tahap efektivitas vaksin
dalam memproteksi manusia daripada virus JE, walaupun tiada data lain yang mendukung
penemuan ini.14

Assay Imunitas Humoral

Tes plaque reduction neutralization sering digunakan untuk mengukur titer neutralizing
antibody. Tes ini dilakukan dengan cara virus JE dikultur di atas monolayer sel vero dan ini akan
mengakibatkan pertumbuhan plak. Jumlah plak yang dihasilkan bakal tereduksi sekiranya virus
tercampur dengan serum yang mengandungi neutralizing antibody dan jumlah yang tereduksi ini
membolehkan peneliti mengukur tahap titer antibodi.

Setakat ini, masih belum ada standar internasional untuk prosedur dan pilihan end-point.
Maka, pengujian tentang titer antibodi bervarietas dari sebuah lab ke sebuah lab. Isu ini juga

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 11


masih dikaji dengan lebih lanjut dengan dukungan dari WHO.

Respon Imun Terhadap Inactivated Vaccine

Studi tentang respon imun pada penerima vaksin menunjukkan adanya perbedaan
penting antara penduduk daerah endemis dan pelancong, yang menyebabkan jadwal
vaksinasi berbeda direkomendasikan. Ketika anak-anak Asia divaksinasi dengan rejimen
primer dengan dua dosis vaksin, yaitu dari tipe Nakayama dan tipe Beijing-1, 94 sampai
100% dari penerima telah menetralkan virus JE strain homolog, namun angka
serokonversi terhadap kelompok antigenik heterolog lebih rendah .17 Hampir 100 %
Serokonversi dicapai setelah dosis booster setelah 1 tahun. Sebaliknya, tingkat sero-
konversi pada pelancong dan personil militer dari Inggris dan Amerika Serikat yang
mengikuti rejimen vaksinasi primer dua dosis lebih rendah yaitu sebanyak 33 sampai
80%.17-21 Setalah 6 sampai 12 bulan setelah vaksinasi, hanya 10% penerima vaksin masih
memiliki titer antibodi yang lebih besar dari 1 hingga 8.

Vaksinasi primer tiga dosis lebih efektif, memberikan serokonversi lebih dari 90%
penerima.15 Perbedaan imunogenisitas vaksin antara kedua populasi tersebut diduga disebabkan
oleh tingkat kekebalan alami dalam kalangan anak-anak Asia karena terpapar virus JE dan
lainnya seperti Flavivirus, terutama demam berdarah; Namun, perbedaan usia populasi (sebagian
besar pelancong dan personil militer adalah orang dewasa) mungkin juga berdampak terhadap
keberhasilan.

Imunitas Seluler

Meskipun studi imunogenisitas terhadap vaksin berfokus pada imunitas humoral, respons
kekebalan seluler yang diproduksi oleh inactivated JE vaccine mungkin juga penting. Memori
sel T CD4 + dan CD8 + telah ditunjukkan oleh respons limfoproliferatif terhadap antigen JE
pada partikel mirip virus yang hanya mengandung protein struktural. Sebagai tambahan, seperti
dijelaskan di atas, inactivated JE vaccine menginduksi antigen leukosit manusia IL-spesifik dan
flavivirus silang (HLA) - sel CD4 sitotoksik yang tidak dibatasi yang diarahkan terhadap protein
E virus JE sebagai sel targetnya. Dengan demikian, memori sel T dapat bersifat protektif bahkan
dalam vaksinasi yang nampak seronegatif. 17

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 12


Jadwal Vaksinasi Primer

Di daerah endemik di Asia, jadwal imunisasi primer dua dosis digunakan. Anak-anak
biasanya menerima dosis pertama mereka pada usia antara 12 dan 36 bulan; Dosis kedua
diberikan 7 sampai 30 hari kemudian . 18 Dosis booster diberikan pada 1 tahun dan kemudian
booster tambahan diberikan setiap 1 sampai 3 tahun. Di Jepang dan Korea Selatan, di mana
kejadian JE telah menurun, dosis pertama diberikan pada usia 18 bulan sampai 3 tahun. Di
Thailand, vaksinasi dimulai pada 18 bulan, sedangkan di Sarawak, Malaysia, dimulai pada 9
bulan. Untuk pelancong (dan personil militer), jadwal utama tiga dosis dianjurkan karena, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, rejimen dua dosis gagal menghasilkan antibodi penetralisir
pada sekitar 20%). ACIP merekomendasikan tiga dosis pada hari ke 0, 7, dan 30. Jika tidak ada
waktu yang tersedia sebelum keberangkatan, dianjurkan rejimen dipercepat (hari 0, 7, dan 14) .
38 Kedua regimen tersebut menghasilkan serokonversi hampir 100%, namun rejimen yang
dipercepat Menghasilkan titer antibodi yang lebih rendah bila diukur selanjutnya. Meski tidak
ideal, bahkan dua dosis yang diberikan 7 hari terpisah menghasilkan antibodi pada 80%
penerima sehingga bisa jadi lebih baik dari pada tidak ada satu. Selang waktu minimal 10 hari
direkomendasikan antara dosis terakhir vaksin dan dimulainya perjalanan karena risiko rendah
dari kejadian buruk yang memerlukan perhatian medis.

Dosis Booster

Rekomendasi yang tepat tidak ada karena hanya data terbatas yang tersedia. Studi
terhadap penerima vaksin Angkatan Darat Amerika Serikat menunjukkan bahwa titer antibodi
dipertahankan hingga 3 tahun pada hampir 95% dari timbal balik, namun studi lapangan
menunjukkan variabilitas yang lebih besar.19 Booster pada 2 sampai 3 tahun saat ini
direkomendasikan. Di berbagai wilayah Asia, praktik ini bervariasi dari waktu ke waktu:
penguat tahunan selama masa kanak-kanak diberikan di Korea sampai tahun 1980an; Di Jepang
penguat diberikan kira-kira setiap 5 tahun; Di negara-negara miskin yang mampu membeli
vaksinasi primer hanya dalam jumlah terbatas, tidak ada penguat yang diberikan sama sekali.
Peningkatan alami dengan terpapar virus JE, demam berdarah, atau flavivirus lainnya mungkin
penting di beberapa bagian di Asia.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 13


Penerima Imunosupresi, Hamil dan Menyusui

Karena bukan vaksin hidup, BIKEN dan vaksin JE yang tidak aktif lainnya aman
dilakukan pada penerima imunosupresif. Dalam satu perbandingan bayi dengan bayi HIV yang
mendapat HIV dari ibunya dan bayi HIV-negatif anak daripada wanita HIV-positif , ada
kecenderungan tingkat serokonversi JEV yang lebih rendah setelah vaksinasi pada anak HIV-
positif.16 Tidak ada informasi spesifik mengenai vaksinasi pada kehamilan atau pada waktu
laktasi. Karena secara teori beresiko pada janin, vaksin biasanya tidak dianjurkan pada wanita
hamil kecuali jika dianggap berisiko terinfeksi.

Efikasi

Dua percobaan secara acak dilakukan pada placebo terkontrol untuk menilai efikasi dari
formalin-inactivated JE vaccines. Pada tahun 1965, dilakukan penelitian di Taiwan, dimana
subjek peneliti diberi dosis tunggal (22.000 orang) atau dosis ganda (112.000 orang) vaksin
Nakayama (bentuk yang kurang dimurnikan daripada vaksin hari ini), dan hampir 132.000 anak
diberi toksoid tetanus sebagai plasebo. Tingkat serangan JE per 100.000 penerima adalah 18,2
pada kelompok plasebo, 9,0 pada kelompok dosis tunggal, dan 3,6 pada kelompok dosis ganda.
Dengan demikian, satu dosis vaksin menghasilkan efikasi 50% (95% CI: 26% sampai 88%), dan
dua dosis memberikan efikasi 80% (95% CI: 71% sampai 93%). Vaksin BIKEN JE dinilai di
Thailand utara pada tahun 1980an.20 Anak-anak berusia 1 tahun atau lebih, dalam tiga kelompok
sekitar 22.000, menerima dua dosis (1 minggu terpisah) vaksin BIKEN Nakayama, dua dosis
Nakayama / Beijing- 1 vaksin, atau tetanus toxoid sebagai plasebo. Setelah pengamatan selama 2
tahun, tingkat serangan JE pada kelompok plasebo adalah 51 per 100.000, sedangkan pada kedua
kelompok vaksin itu adalah 5 per 100.000, efikasi perlindungannya sebesar 91% (95% CI: 70%
sampai 90%).20 Hasil ini diterima oleh FDA Amerika Serikat sebagai bukti keberhasilan, dimana
vaksin BIKEN telah mendapatkan lisensi.21 Menariknya, selama masa tindak lanjut, risiko
demam berdarah dan demam berdarah dengue sedikit lebih rendah pada kelompok yang
divaksinasi, yang tidak mendukung kemungkinan teoritis bahwa vaksinasi terhadap JE dapat
meningkatkan risiko penyakit demam berdarah parah.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 14


Kejadian Yang Tidak Diharapkan (Adverse events)

Efek Lokal dan Non-Spesifik

Dalam studi di Amerika Serikat, Thailand, dan Inggris, sekitar 20% individu melaporkan
nyeri tekan, kemerahan, atau pembengkakan lokal, dan 5-10% melaporkan efek samping
sistemik ringan (sakit kepala, demam ringan, mialise, malaise, dan gejala
gastrointestinal).15,20,22,2324 Kejadian dari adverse events ini menurun pada setiap dosisnya (seri
vaksin primer 3 dosis).

Efek Samping Neurologis

Karena substrat jaringan syaraf vaksin (otak tikus), selalu ada kecurigaan bahwa respons
kekebalan yang ditimbulkan terhadap jaringan saraf tikus dapat menyerang sistem saraf manusia
yang menyebabkan kondisi autoimun seperti ensefalomielitis akut yang disebarluaskan (ADEM),
Guillain. Sindroma Barr, atau neuritis terkait, polineuritis, dan penyakit pelonggaran. Seperti
yang telah dibahas sebelumnya, prosedur pemurnian saat ini memastikan bahwa jumlah protein
myelin dalam vaksin berada di bawah batas yang dapat terdeteksi (<2 ng / mL), meskipun tidak
ada data yang dilaporkan mengenai pengukuran protein saraf lain yang diketahui terkait dengan
ADEM, seperti proteolipid protein dan myelin-oligodendrocyte glycoprotein. Eksperimental
infeksi terhadap kelinci percobaan dan monyet cynomolgus dengan 50 kali dosis normal vaksin
tidak menghasilkan bukti klinis atau histopatologis mengenai ensefalomielitis. Selanjutnya, data
dari studi klinis menunjukkan bahwa risiko efek samping neurologis yang serius adalah sekitar
satu dari satu juta, yang sebanding dengan vaksin lain, seperti campak.

Delapan reaksi neurologis (kebanyakan neuritis) dilaporkan terjadi di antara 53.000


tentara Amerika yang divaksinasi pada tahun 1945 dengan inactivated-vaccine di pulau Okinawa,
Jepang, namun kasus serupa terjadi di antara populasi nonvaksin. 25 Di Jepang, survei di seluruh
negeri antara tahun 1957 dan 1966 ditemukan 26 kejadian yang sementara terkait (meningitis,
kejang, penyakit demielelinasi, polneuritis), namun tingkat vaksinasi dan perbandingan dengan
kontrol tidak tersedia.26 Data surveilans dari produsen di Jepang dari tahun 1965 sampai tahun
1989 menunjukkan tingkat kejadian buruk neurologis pada anak-anak dari 1 sampai 2,2 per juta

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 15


dosis.26,27,28Pada tahun 1990an, setelah dua kasus ADEM secara temporer terkait dengan
vaksinasi, survei retrospektif terhadap 162 institusi medis Jepang mengidentifikasi 7 kasus lebih
lanjut selama 22 tahun dan memperkirakan kejadian tersebut kurang dari satu per juta vaksin,
meskipun penyebutan resep vaksin kurang jelas.28,29 Demikian pula, ADEM yang terjadi setelah
vaksinasi JE pada seorang traveller Denmark mendorong peninjauan kembali database nasional
untuk kasus-kasus lebih lanjut.27 Hal ini mengidentifikasi 2 kasus tambahan pada orang dewasa
dan memperkirakan risiko 1 dari 50.000 Untuk 1 dari 75.000 vaksin, jauh lebih besar daripada
laporan lainnya.30 Secara keseluruhan, 16 kasus ADEM dilaporkan antara tahun 1992 dan 1996
dari Jepang, Korea Selatan, dan Denmark (diidentifikasi oleh pelaporan pasif dan temuan kasus
retrospektif). Guillain-Barr, neuritis optik, dan Bell's palsy juga kadang dilaporkan terjadi
setelah vaksinasi JE, namun hubungan sebab akibatnya tidak pasti.

Reaksi Hipersensitivitas

Dengan ketersediaan vaksin JE yang telah diinaktivasi oleh formalin, maka kejadian
reaksi hipersensitivitas pada pengembara yang berasal dari Eropa, Amerika Utara dan
Australia yang sebelumnya dilaporkan, menjadi tidak ada. Bentuk reaksi hipersensitivitas
terdiri atas urtikaria, angioedema dan bronkospasme. Insidens tersebut dilaporkan bahwa
terdapat 2 dari 6 orang tiap 1000 vaksin terjadi pada para pengembara dan tentara,
sedangkan penelitian di Korea menyebutkan bahwa pada anak-anak terdapat faktor resiko
0.3 tiap 1000 vaksin yang menimbulkan reaksi yang sama. 31-35Ulasan data administrasi
vaksin dari Okinawa pada tahun 1945 menyebutkan bahwa efek samping alergi juga
terjadi.25 Dalam sebuah studi prospektif terhadap hampir 15.000 marinir di AS, interval
waktu rata-rata antara imunisasi dan onset gejala adalah 16 sampai 24 jam setelah dosis
pertama dan 96 jam setelah dosis kedua, meskipun hal itu bisa terjadi sampai 14 hari
kemudian.32,33 Reaksi bisa terjadi setelah dosis kedua atau ketiga walaupun dosis pertama
diberikan secara terputus-putus. Sebagian besar kasus, terapi dengan menggunakan
antihistamin atau kortikosteroid sangat efektif akan tetapi rawat inap dan pemberian
steroid intravena perlu disediakan. Vaksin tersebut telah menyumbang tiga kematian oleh
karena reaksi anafilaktik atau kemungkinan sindroma kolaps jantung dengan patogenesis
yang berbeda.13,36,37Fenomena alergi lainnya dilaporkan dalam bentuk transient
generalized pruritus dan, yang sangat jarang terjadi yaitu, erythema multiforme, erythema

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 16


nodosum, and serum sicknesslike disease dengan gejala lainnya. Karena risiko reaksi
yang merugikan, vaksin harus diobservasi selama 30 menit setelah vaksinasi, dan
imunisasi harus dilakukan minimal 10 hari sebelum keberangkatan.21
Penyebab dari reaksi alergi ini sampai sekarang belum diketahui. Banyak dari
produsen yang berbeda telah terlibat. Studi kasus-kontrol telah menunjukkan peningkatan
risiko pada mereka yang memiliki riwayat gangguan alergi, seperti urtikaria dan rinitis,
atau asma; jenis kelamin perempuan; dan usia muda (dewasa). 32,34Konsumsi alkohol
dalam waktu 48 jam juga dikaitkan dapat meningkatkan resiko reaksi alergi. 38 Antibodi
IgE terhadap gelatin (digunakan sebagai penstabil vaksin) didemonstrasikan pada tiga
anak Jepang dengan reaksi alergi sistemik, sedangkan IgG melawan gelatin tampaknya
lebih penting pada reaksi kutaneous selanjutnya.39,40

Meskipun ada banyak mutasi yang tidak diketahui dan perubahan asam amino antara
SA14-14-2 dan strain induk SA14, dibandingkan dengan dua strain lain yang dilemahkan dari
awal perkembangan vaksin (SA14-2-8 dan SA14-5-3) menunjukkan bahwa delapan perubahan
asam amino yang umum dari SA14 penting dalam atenuasi; Ini termasuk enam perubahan pada
protein E virus (E107, E138, E176, E279, E315, E439) dan perubahan tunggal pada protein
nonstruktural NS2B, NS3, dan NS4. Merencanakan mutasi E-protein ke model tiga dimensi
protein amplop flavivirus menunjukkan bahwa mereka terjadi di domain I, II, dan III. 41,42 Untuk
mengetahui kombinasi perubahan E-protein yang mungkin penting dalam atenuasi, mutasi
dikembalikan ke urutan tipe liar secara tunggal atau dalam kombinasi menggunakan kloning
chimeric yang infeksius, yang menggabungkan gen struktural SA14-14-2 ke tulang punggung
demam kuning 17D (Lihat "Chimonic Yellow Fever-JE Vaccine"). 43 Virulensi dinilai dengan
inokulasi intra serebri pada tikus. Studi ini menunjukkan bahwa atenuasi bergantung pada
setidaknya tiga atau empat mutasi, sehingga sangat tidak mungkin virus tersebut akan kembali ke
bentuk virulen.42

Inactivated Cell CultureDerived Vaccines

Karena keterbatasan dari formalin-inactivated vaksin pada otak tikus (biaya, produksi,
dan efek samping) and kemampuan untuk meningkatkan immunogenisiti, penelitian difokuskan
pada pertumbuhan inactivated vaccines pada sel kultur. Variasi dari strain JEV digunakan

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 17


diberbagai macam jenis jaringan. Di Cina penelitian tentang JEV pada sel ginjal hamster
menghasilkan hasil yang baik (sel PHK dan Primary cell culture dari sel hamster Syrian).
Formalin-inactivated vaksin menghasilkan pertumbuhan dari strain P3 pada PHK sel dan telah
digunakan di Cina sejak 1960 dan dibeberapa negara.14 Vaksin stabil pada o,1% serum albumin
manusia dan berbentuk berupa formula cairan. Pada awalnya vaksin diberikan pada anak-anak
dengan rentang umur 6-12 bulan. Dosis yang diberikan sebanyak 0.5 ml sebanyak 2 kali suntik
pada subkutaneus dengan rentang 1 minggu, selanjutnya diberikan booster 1 tahun dan pada
umur 10 tahun. Setelah dilakukan imunisasi yang pertama saat itu didapatkan 60-70% anak-anak
yang seroconverted dan booster berperan sangat baik dalam recall system imun. 42 Dalam waktu
lima tahun setelahnya dilakukan penelitian acak pada 480.000 anak di Cina dan didapatkan
efisiensi sekitar 76-95%.14 Akan tetapi booster tetap masih diperlukan karena efisiensinya yang
semakin rendah sehingga vaksin ini pun tergantikan dengan live attenuated vaccine. Vaksin
ditumbuhkan pada media sel vero yang telah dikembangkan. Sel vero berasal dari monyet hijau
Afrika yang disubstrasi secara sederhana dengan memaksimalkan kualitas, menghilangkan
protein hewan dan sifat alergi (alergen), dan meminimalkan biaya penjualan. Salah satu jenis
vaksin yaitu formalin-inactivated P3 virus tumbuh pada media sel vero, dan telah dilisensi di
Cina, 200.000 sampel telah di produksi tahun 2001.44 Vaksin yang mirip telah dikembangkan
oleh Aventis Pasteur, vaksin telah diuji tetapi telah dihentikan akibat adanya reaksi demam yang
tidak spesifik yang tidak diketahui penyebabnya.42 Inactivated vero cell Beijing-1 Strain vaksin
telah dikembangkan oleh dua perusahaan di Jepang dan vero cell-derived inactive vaksin yang
berdasar pada live attenuated SA14-14-2 strain telah dikembangkan oleh Walter Reed Army
Institute of Research (WRAIR) di United States. 45 karena ini lebih mudah digunakan untuk
melemahkan dibandingkan sebagai virulen virus, diproduksi juga lebih mudah, dan hanya
memerlukan biosafety level 2. Dalam praktek klinik, respon imun efektivitasnya kurang saat
pertama kali pemakaian (40-70%) tetapi menjadi lebih efektivitas dengan dosis booster.42

Live Attenuated SA14-14-2 Vaccine

Tujuan dari Dr. Yu Yong Xin dan teman-teman yaitu mengembangkan live attenuated
vaksin untuk melawan JEV yang telah dihubungkan dengan vaksin strain 17D yellow fever.46,47
Live attenuated SA14-14-2 telah dilisensi di Cina pada tahun 1988 dan lebih dari 200 juta
sampel telah di sebar dengan jaminan keamanan yang terpercaya dari segi efisiensi.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 18


Perkembangan Vaksin

Untuk menghasilkan strain live attenuated JEV, strain tipe wild dikembangkan secara
empiris melalui sistem kultur sel , yang meliputi PHK, embrio ayam, dan sel embrio kulit tikus.
Kurangnya virulensi pada tikus, hamster, ataupun babi memungkinkan kurangnya virulensi pada
manusia. Strain JEVSA14 yang telah terisolasi pada larva Culex pipiens yang telah didapatkan
dari Xian, Cina pada tahun 1954.47 Telah melewati 11 kali uji pada pada tikus, 100 kali pada
PHK, dan tahap yang tidak neurovirulen pada monyet namun tidak stabil. Untuk menghasilkan
produk yang stabil, avirulen, harus dinokulasi secara intraperitoneal ada tikus, kemudian diambil
dari limpa, dan dimurnikan pada di sel CE, dan di letakan pada subkutan tikus atau secara oral
pada hamster sebelum pemurnian pada sel PHK. 14 Hasil dari strain SA14-5-3 tidak kembali
menjadi virulensi setelah berada pada intra-cerebral pada tikus yang menyusui dan masih bersifat
imugenik. Strain ini aman, akan tetapi pengujian yang dilakuakan pada uji coba lapangan dalam
skala besar di Cina Selatan menghasilkan kekebalan yang buruk pada pada subjek dengan
flavivirus yang tidak aktif. Untuk meningkatkan imunogenisitas, virus diletakan secara
subkutaneus pada pada tikus yang menyusui sebanyak 5 kali dan dua kali plak yang dimurnikan
pada sel PHK untuk menghasilkan strain 14-14-2, yang juga dilemahkan. SA 14-14-2 lebih
bersifat imugenik pada tikus daripada vaksin PHK yang tidak aktif dan sangat protektif melawan
strain JEV dari Thailand, Indonesia, dan Vietnam yang menunjukan genotip yang berbeda. 48
Vaksin diproduksi dari benih virus yang menginfeksi sel PHK dan diproduksi sebagai produk
kering beku yang distabilkan dengan gelatin dan sorbitol. Setelah dilakukan pemulihan dengan
larutan garam normal, vaksin harus digunakan dalam waktu 4 jam.

Karateristik Biologi

Virus menjadi neurovirulence pada hewan yang telah diteliti secara esktensif sebelumnya.
Dibandingkan dengan strain SA14 paternal, SA14-14-2 dilemahkan pada tikus yang
imunokompeten, hamster, dan tikus jantan yang dirawat dengan Cytoxan dan monyet yang
dinokulasi dengan rute intra thalamic dan intraspinal. 14 Virus bereplikasi pada sel nyamuk C6/36
dan juga Culex tritaeniorhyncus dan nyamuk lainnya. 49 Pada beberapa virus hidup, salah satu
kekhawatiran adalah adanya kemungkinan sirkulasi terus menerus dan perahlian bentuk menjadi
keganasan. Ada teori kemungkinan bahwa dengan memberi makan viremik, yang baru saja
divaksinasi, nyamuk akan terinfeksi SA14-14-2 dan bereplikasi didalam nyamuk, dan strain akan

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 19


menjadi virulensi. Akan tetapi bukti menunjukan bahwa kejadian mungkin tidak akan terjadi.
Manusia yang viremik setelah vaksinasi kemungkinan berada dibawah ambang infeksi oral
nyamuk dan strain vaksin terkait (SA-14-2-8) tidak menginfeksi Culex tritaeniorhyncus secara
oral. 42,50

Dasar Genetik Melemahkan

Asam amino antara SA14-14-2 dan strain induk SA14, dibandingkan dengan dua strain
lain yang dilemahkan dari awal perkembangan vaksin (SA14-2-8 dan SA14-5-3) menunjukkan
bahwa delapan perubahan asam amino yang umum dari SA14 penting dalam atenuasi; Ini
termasuk enam perubahan pada protein E virus (E107, E138, E176, E279, E315, E439) dan
perubahan tunggal pada protein nonstruktural NS2B, NS3, dan NS4. Merencanakan mutasi E-
protein ke model tiga dimensi protein amplop flavivirus menunjukkan bahwa mereka terjadi di
domain I, II, dan III.41,42 Untuk mengetahui kombinasi perubahan E-protein yang mungkin
penting dalam atenuasi, mutasi dikembalikan ke urutan tipe liar secara tunggal atau dalam
kombinasi menggunakan kloning chimeric yang infeksius, yang menggabungkan gen struktural
SA14-14-2 ke tulang punggung demam kuning 17D (Lihat "Chimonic Yellow Fever-JE
Vaccine").43 Virulensi dinilai dengan inokulasi intra serebri pada tikus. Studi ini menunjukkan
bahwa atenuasi bergantung pada setidaknya tiga atau empat mutasi, sehingga sangat tidak
mungkin virus tersebut akan kembali ke bentuk virulen.42

Imunogenisitas, Khasiat, dan Kejadian Buruk

Vaksin SA14-14-2 telah mengalami banyak uji klinis di China, dan belakangan ini ada
Korea Selatan dan Nepal. Setelah satu dosis SA14-14-2 diberikan, 85 sampai 100% anak-anak
mengalami serokonversi, namun dua dosis yang diberikan 1-3 bulan memberikan serokonversi
99 sampai 100% dengan titer rata-rata geometris yang lebih tinggi. 14,47,51,52 Regimen ini
memungkinkan perlindungan penuh pada bayi yang lahir sebelum atau selama musim transmisi
musim panas dan kompatibel dengan penggabungan ke dalam jadwal Expanded Program on
Immunization (EPI) pada usia 9 dan 12 bulan. Saat ini, dosis ketiga di masuk sekolah dikelola di
China, namun tidak dipastikan hal ini perlu dilakukan. Efikasi vaksin ditunjukkan dalam lima
studi lapangan label terbuka di China antara tahun 1988 dan 1993 yang melibatkan hampir
600.000 anak.14 Perbandingan kejadian JE pada anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 20


menunjukkan efikasi perlindungan sekitar 98%. Temuan ini dikonfirmasi dalam studi kasus
kontrol kasus postlisensure yang lebih ketat dan relatif sederhana, di mana prevalensi imunisasi
dibandingkan antara 56 kasus JE dan 1.299 kontrol yang disesuaikan dengan usia dan desa. 53
Efektivitas satu dosis adalah 80% (95% CI: 44% sampai 93%) dan dua dosis yang terpisah 1
tahun, 97,5% (CI: 86% sampai 99,6%). Khasiat vaksin dosis tunggal yang diberikan tepat
sebelum musim JE dinilai dalam studi kontrol kasus serupa di Nepal pada tahun 1999, ketika
sekitar 160.000 anak divaksinasi.54 Dari data yang disarankan, perlindungan rata-rata terjadi 2
minggu setelah vaksinasi. Mekanisme perlindungan dini ini belum diketahui, serta apakah
vaksinasi dosis tunggal dengan SA14-14-2 memberikan perlindungan jangka panjang masih
dalam penyelidikan. Dalam studi lapangan yang melibatkan lebih dari 600.000 anak-anak, vaksin
tersebut memiliki kejadian efek samping yang sangat rendah, termasuk demam, ruam, mual, dan
pusing. Demam terjadi kurang dari 5 per 10.000 penerima .14 Keamanan vaksin juga dinilai dalam
percobaan postlicensure, acak, dan placebo terkontrol pada 26.000 anak-anak.55 Satu bulan
setelah vaksinasi, kedua kelompok memiliki tingkat rawat inap dan penyakit yang sama. Tidak
ada kasus anafilaksis postvaksin atau penyakit neurologis.

Masa Depan Vaksin

Vaksin SA14-14-2 belum memiliki persetujuan di luar China karena kekhawatiran


tentang substrat PHK, yang bukan merupakan jalur sel yang layak untuk produksi vaksin.
Ketidakpastian tentang kualitas untuk agen adventif dan isu-isu lain yang terkait dengan praktik
manufaktur yang baik (GMP). Namun, WHO baru saja mengembangkan panduan untuk

memfasilitasi penerimaan vaksin secara internasional.46 Masalah utama yang diidentifikasi


adalah pada pengujian koloni hamster (yang sebaiknya ditutup, ("koloni bebas yang ditentukan
bebas secara patogen") dan pengujian benih vaksin untuk membuktikan bebas dari agen adventif.

Bahan baku vaksin juga menjadi perhatian, termasuk serum bovin dan sel hamster yang
digunakan dalam produksi virus. Penelitian secara retrospektif mungkin sulit untuk dilakukan,
namun dapat memberikan hasil lebih baik bila dilihat dari efektifitas dan keamanan dalam
penggunaan vaksin selanjutnya.

Perkembangan dari Vaksin

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 21


Vaksin JE terbaru menggunakan pengembangan dari rekayasa genetika, dimana gen
struktural JEV didapatkan dari strain vaksin dan DNA vaksin yang telah ditetapkan.

Vaksin Vaccinia-Vectored

Kekurangan replikasi dari canarypox (ALVAC) dan virus vaccinia yang dilemahkan
(NYVAC) telah digunakan sebagai vektor untuk mengantarkan gen PrM-E atau PrM-E-

NS1.56,57 Vaksin tersebut menginduksi kekebalan pada tikus dan monyet dalam penelitian
klinis. Vaksinasi terhadap cacar dapat membatasi efektifitas dari vaksin ini, sehingga dilakukan
penelitian terhadap orang-orang yang memiliki kekebalan terhadap cacar dan orang-orang yang

belum memiliki kekebalan terhadap cacar.58

ALVAC-JE kurang memiliki efek kekebalan pada semua subjek. Sebaliknya, NYVAC-
JE memicu respons sel T pada pasien yang belum divaksinasi cacar, namun tidak pada pasien
yang telah divaksinasi terhadap cacar. Karena tujuan utamanya adalah untuk imunisasi
wisatawan dewasa, pengembangan vaksin ini tidak dilanjutkan lagi.42

Chimeric Yellow FeverJE Vaccine

Dalam sebuah pendekatan alternatif, gen PrM-E dari strain JEV yang dilemahkan
SA14-14-2 disisipkan ke dalam tiruan infeksi strain vaksin demam kuning 17D.216 Virus
chimeric (ChimeriVax-JE; Acambis, Cambridge, Inggris) direplikasi secara efisien dan terbukti
bersifat imunogenik, berkhasiat, dan aman pada tikus dan primata bukan manusia, yang bahkan
lebih dilemahkan daripada strain demam kuning 17D yang asli. 59,60 Atenuasi virus chimeric
terbukti bergantung pada kelompok setidaknya tiga dari enam perubahan asam amino pada
protein E.43 Virus chimeric tidak mampu menginfeksi nyamuk dengan pemberian makanan
secara oral.49 Vaksin telah diberikan kepada 12 sukarelawan manusia dalam percobaan fase I dan
terbukti aman dan imunogenik.61 Menariknya, pada manusia dan monyet, kekebalan imunitas
pada yellow fever sebelumnya tidak mengurangi respons terhadap vaksin chimeric.59

DNA Vaccine

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 22


Vaksin DNA plasmid yang mengandung gen JEV PrM-E yang berada di bawah kendali
promoter sitomegalovirus telah menghasilkan hasil yang menjanjikan pada tikus dan babi. Pada
tikus, inokulasi intramuskular atau intradermal dengan dua dosis DNA plasmid menghasilkan
antibodi penetralisir, memori sel T, dan respons sel T CD 8 + sitotoksik terhadap protein E, dan
dilindungi terhadap tantangan JE yang mematikan. 62 Pada babi, dua dosis intra muskular
menghasilkan titer antibodi yang tinggi dan respons anamnestik yang tinggi terhadap tantangan
dengan virus hidup yang dilemahkan.63 Vaksin lain dalam pengembangan mencakup sinyal
sekresi yang berasal dari aktivator plasminogen jaringan yang menyatu dengan gen protein
amplop JEV lengkap atau parsial. Sel transfected dengan yang terakhir membangun protein E
yang disekresikan dan menghasilkan perlindungan yang lebih baik terhadap tantangan
intraserebral pada tikus.64

Kesimpulan

Penyakit ini memang tidak terlalu banyak diketahui oleh orang. Kejadiannya juga jarang
sekali menjadi bahan pemberitaan di Indonesia. Penyakit JE merupkan salah satu penyakit yang
cukup berbahaya. Diperkirakan Japanese Encephalitis adalah penyebab utama dari kejadian
encephalitis didunia. Japanese encephalitis dapat menyerang segala usia, namun lebih sering
terjadi pada anak-anak. Gejala kliniknya bisa bervariasi tergantung dari berat ringannya kelainan
susunan saraf pusat, umur penderita dan lain-lain.

Gejala yang ditunjukkan dari orang yang terjangkit penyakit ini biasanya berupa gejala
yang non-spesifik yaitu sakit kepala, mual, muntah, demam. Dan karena penyakit ini
menginfeksin jaringan yang menutup otak dan sumsum tulang belakang biaanya penderita juga
mengalami kesulitan untuk menggerakkan lehernya. Kemudian dalam dua atau tiga hari,
penderita mulai mengalami efek pembengkakan pada otak. Efek ini dapat berupa gangguan
dengan keseimbangan dan koordinasi, kelumpuhan pada beberapa kelompok otot, tremor,
kejang, dan gangguan dalam kesadaran. Pada beberapa anak gejala klinis yang muncul dapat
berupa kejang yang diikuti dengan pemulihan kesadaran yang cepat. Gejala-gejala kejang yang
biasa terjadi ialah menyebabkan gemetar pada digit atau mulut, deviasi mata, , air liur berlebih,
atau respirasi tidak teratur.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 23


Tidak ada pengobatan yang kusus untuk japanese encephalitis. Penyakit ini
menginfeksi manusia malalui gigitan nyamuk culex, maka salah satu cara yang dapat dilakukan
agar terhindar dari japanese enephalitis yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk.

Cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan vaksinasi, vaksinasi adalah
langkah pengendalian yang penting dan sangat efektif untuk mencegah penyakit ini. Beberapa
negara seperti Thailand, China, Nepal, India dan Jepang sudah memasukkan imunisasi Japanese
encephalitis dalam salah satu program imunisasi rutin. Imunisasi juga dianjurkan untuk orang
yang bepergian ke daerah endemik Japanese encephalitis. Vaksin yang beredar saat ini adalah JE-
Vax dari Jepang (Biken), Korea (Green Cross), dan SA-14-14-2 (China). Pemberian dengan
subkutan. Vaksin SA-14-14-2 memberikan kabar baik karena cukup satu dosis dan memberikan
respon antibodi 83-100% pada anak usia 6-7 tahun. Pada anak usia lebih tua dilakukan dua kali
dengan selang 1-3 bulan, memberikan respon antibodi cukup tinggi (94-100%). Selain vaksinasi
terhadap manusia, vaksinasi hewan terutama untuk kuda dan ternak lainnya.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 24


DAFTAR PUSTAKA

1. Bromm AK, Smith DW. Arbovirus infections. In: Cook GC, Zumla AI, editors. Mansons
Tropical Diseases (21st ed). Philadelphia: Saunders, 2003; p. 725-95.

2. Soedarma SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH. Japanese encephalitis. In: Soedarma
SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satara IH, editors. Buku Ajar

1. S22 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 2 Suplemen, Juli 2016, hlm. S10-S22

2. Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed). Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2008; p. 259-75.

3. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res 2003;61:103-38.

4. Halstead SB. Arbovirus of the Pacific and Southeast Asia. In: Feigin RD, Cherry JD,
editors. Textbook of Pediatric Infectious Diseases (2nd ed). Philadelphia: WB Saunders,
1987; p. 1502-8.

5. Endy TP, Nisalak A. Japanese encephalitis virus: ecology and epidemiology. Curr Top
Microbiol Immunol. 2002;267:11-47.

6. Indonesia. Direktorat Jendral P2MPL Subdit Zoonosis. Laporan serosurvey Japanese


Encephalitis. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993/1994-2003.

7. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen


Kesehatan. Pedoman Pengendalian Japanese Encephalitis. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, 2013.

8. Unni SK, Ruek D, Chhatbar C, Mishra R, Johri MK, Singh SK. Japanese encephalitis
virus: from genome to infectome. Microbes Infect. 2011;13(4): 312-21.

9. Richman DD, Whitley RJ, Hayden FG. Clinical virology. New York, NY: Churchill
Livingstone, 1997.

10. Thongtan T, Cheepsunthorn P, Chaiworakul V, Rattanarungsan C, Wikan N, Smith DR.


Highly permissive infection of microglial cells by Japanese encephalitis virus: a possible
role as a viral reservoir. Microbes Infect. 2010;12(1):37- 45

11. Morbidity and mortality report. Japanese encephalitis vaccines recommendations of the
advisory comitte on immunization practice. March 12, 2010/ vol. 59/ no. RR-1.

12. Tom Solomon. Japanese encephalitis vaccine. Chapter 10. P 1-38.

13. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines. Current vaccines and future prospects. Curr
Top Microbiol Immunol, 2002;267:10538.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 25


14. Tsai TF, Chang J, Yu XX. Japanese encephalitis vaccines. In: Plotkin SA, Orenstein WA,
editors. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders; 1999. p. 672710.

15. Sanchez JL, Hoke CH, McCowan J, et al. Further experience with Japanese
encephalitis vaccine. Lancet 1990;335:9723.

16. Rojanasuphot S, Shaffer N, Chotpitayasunondh T, et al. Response to JE vaccine among


HIV-infected children, Bangkok, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health
1998;29:44350.
17. Konishi E, Mason PW, Innis BI, Ennis FA. Japanese encephalitis virus-specific
proliferative responses of human Peripheral blood T lymphocytes. Am J Trop Med Hyg
1995;53:27883.

18. Gould EA, Zanotto PM, Holmes EC. The genetic evolution of flaviviruses. In: Saluzzo
JF, Dodet B, editors. Factors in the emergence of arbovirus diseases. Paris: Elsevier;
1997. p. 5163.

19. Petersen LR,Marfin AA.West Nile virus. A primer for the clinician. Ann Intern Med
2002;137:1739.

20. Hoke CH, Nisalak A, Sangawhipa N, et al. Protection against Japanese encephalitis by
inactivated vaccines. N Engl J Med 1988;319:60814.

21. Centers for Disease Control and Prevention. Inactivated Japanese encephalitis virus
vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Morb Mortal Wkly Rep 1993;42:114.

22. Defraites RF, Gambel JM, Hoke CH Jr, et al. Japanese encephalitis vaccine (inactivated,
BIKEN) in US soldiers. Immunogenicity and safety of vaccine administered in two
dosing regimens. Am J Trop Med Hyg 1999;61:28893.

23. Poland JD, Cropp CB, Craven RB, Monath TP. Evaluation of the potency and safety of
inactivated Japanese Encephalitis vaccine in US inhabitants. J Infect Dis 1990;161:878
82.

24. Andersen MM, Ronne T. Side-effects with Japanese encephalitis vaccine. Lancet
1991;337:1044.

25. Sabin AB. Epidemic encephalitis in military personnel. Isolation of Japanese B virus on
Okiowa in 1945, serologic diagnosis, clinical manifestations, epidemiological aspects,
and use of mouse brain vaccine. JAMA 1947;13:28193.

26. Tsai TF,Yu YX. Japanese encephalitis vaccines. In: Plotkin SA,Mortimer EAJ,
editors.Vaccines. Philadelphia:WB Saunders; 1994. p. 671713.

27. Plesner AM, Arlien-Soborg P, Herning M. Neurological complications and Japanese


encephalitis vaccination. Lancet 1996;348:2023.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 26


28. Ohtaki E, Matsuishi T, Hirano Y, Maekawa K. Acute disseminated encephalomyelitis
after treatment with Japanese B encephalitis vaccine (Nakayama-Yoken and Beijing
strains). J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995;59:3167.

29. Ohtaki E, Murakami Y, Komori H, et al. Acute disseminated encephalomyelitis after


Japanese B encephalitis vaccination. Pediatr Neurol 1992;8:1379.

30. Plesner AM, Arlien-Soborg P, Herning M. Neurological complications to vaccination


against Japanese encephalitis. Eur J Neurol 1998;5:47985.

31. Ruff TA, Eisen D, Fuller A, Kass R. Adverse reactions to Japanese encephalitis vaccine.
Lancet 1991;338:8812.

32. Berg SW, Mitchell BS, Hanson RK, et al. Systemic reactions in US Marine Corps
personnel who received Japanese encephalitis vaccine. Clin Infect Dis 1997;24:2656.

33. Plesner AM, Ronne T. Allergic mucocutaneous reactions to Japanese encephalitis


vaccine. Vaccine 1997;15:123943.

34. Plesner A, Ronne T, Wachmann H. Case-control study of allergic reactions to Japanese


encephalitis vaccine. Vaccine 2000;18:18306.

35. Sohn YM. Japanese encephalitis immunization in South Korea. Past, present, and future.
Emerg Infect Dis 2000;6:1724.

36. Sakaguchi M, Nakashima K, Takahashi H, et al. Anaphylaxis to Japanese encephalitis


vaccine. Allergy 2001;56:8045.

37. Sakaguchi M, Inouye S. Two patterns of systemic immediate-type reactions to Japanese


encephalitis vaccines.Vaccine 1998;16:689.

38. Robinson P, Ruff T, Kass R.Australian case-control study of adverse reactions to


Japanese encephalitis vaccine. J Travel Med 1995;2:15964.

39. Sakaguchi M, Yoshida M, Kuroda W, et al. Systemic immediate-type reactions to gelatin


included in Japanese encephalitis vaccines. Vaccine 1997;15:1212.

40. Sakaguchi M, Miyazawa H, Inouye S. Specific IgE and IgG to gelatin in children with
systemic cutaneous reactions to Japanese encephalitis vaccines. Allergy 2001;56:5369.

41. Rey FA, Heinz FX, Mandl C, et al. The envelope glycoprotein from tick-borne
encephalitis virus at 2 resolution. Nature 1995;375:2918.

42. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines. Current vaccines and future prospects. Curr
Top Microbiol Immunol 2002;267:10538.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 27


43. Arroyo J, Guirakhoo F, Fenner S, et al. Molecular basis for attenuation of neurovirulence
of a yellow fever virus/Japanese encephalitis virus chimera vaccine (ChimeriVax-JE). J
Virol 2001;75:93442.

44. 199. Ding Z, Shi H, Pang C. [Production of purified Japanese encephalitis vaccine from
Vero cells with roller bottles]. Zhonghua Yi Xue Za Zhi 1998;78:2612.

45. Sugawara K, Nishiyama K, Ishikawa Y, et al. Development of Vero cell-derived


inactivated Japanese encephalitis vaccine. Biologicals 2002;30:30314.

46. Tsai TF.New initiatives for the control of Japanese encephalitis by vaccination.Minutes of
a WHO/CVI meeting, Bangkok, Thailand, 1315 October 1998. Vaccine 2000;18 Suppl
2:125.

47. Xin YY, Ming ZG, Peng GY, et al. Safety of a live-attenuated Japanese encephalitis virus
vaccine (SA14-14- 2) for children. Am J Trop Med Hyg 1988;39:2147.

48. Xin YY, Zhang GM, Zheng Z. Studies of the immunogenicity of live and killed Japanese
encephalitis (JE) vaccines to challenge with different Japanese encephalitis virus strains.
Chin J Virol 1989;5:10610.

49. Bhatt TR, Crabtree MB, Guirakhoo F, et al. Growth characteristics of the chimeric
Japanese encephalitis virus vaccine candidate, ChimeriVax-JE (YF/JE SA14-14- 2), in
Culex tritaeniorhynchus, Aedes albopictus, and Aedes aegypty mosquitoes. Am J Trop
Med Hyg 2000;62:4804.

50. Chen BQ, Beaty BJ. Japanese encephalitis vaccine (2-8 strain) and parent (SA 14 strain)
viruses in Culex tritaeniorhynchus mosquitoes. Am J Trop Med Hyg 1982;31:4037.

51. Tsai TF, Yong-Xin Y, Putvatan R, et al. Immunogenicity of live attenuated SA14-14- 2
Japanese encephalitis vaccine a comparison of 1- and 3-month immunization schedules. J
Infect Dis 1998;177:2213.

52. Sohn YM, Park MS, Rho HO, et al. Primary and booster immune responses to SA14-14-
2 Japanese encephalitis vaccine in Korean infants. Vaccine 1999;17:225964.

53. Hennessy S, Zhengle L, Tsai TF, et al. Effectiveness of live-attenuated Japanese


encephalitis vaccine (SA14-14-2). A case control study. Lancet 1996;347:15836.

54. Bista MB, Banerjee MK, Shin SH, et al. Efficacy of single-dose SA 14-14- 2 vaccine
against Japanese encephalitis. A case control study. Lancet 2001;358:7915.

55. Liu ZL,Hennessy S, Strom BL, et al. Short-term safety of live attenuated Japanese
encephalitis vaccine (SA14-14-2). Results of a randomized trial with 26,239 subjects. J
Infect Dis 1997;176:13669.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 28


56. Konishi E, Pincus S, Paoletti E, et al. A highly attenuated host range-restricted vaccinia
virus strain, NYVAC, encoding the prM, E and NS1 genes of Japanese encephalitis virus
prevents JEV viremia in swine. Virology 1992;190:4548.

57. Mason PW, Pincus S, Fournier MJ, et al. Japanese encephalitis virus-vaccinia
recombinants produce particulate forms of the structural proteins and induce high levels
of protection against lethal JEV infection. Virology 1991;180:294305.

58. Kanesa-thasan N, Smucny JJ, Hoke CH, et al. Safety and immunogenicity of NYVAC-
JEV and ALVAC-JEV attenuated recombinant Japanese encephalitis viruspoxvirus
vaccines in vaccinia-nonimmune and vaccinia-immune humans.Vaccine 2000;19:48391.

59. Guirakhoo F, Zhang ZX, Chambers TJ, et al. Immunogenicity, genetic stability, and
protective efficacy of recombinant, chimeric yellow fever-Japanese encephalitis virus
(ChimeriVax-JE) as a live, attenuated vaccine candidate against Japanese encephalitis.
Virology 1999;257:36372.

60. Monath TP, Levenbook I, Soike K, et al. Chimeric yellow fever virus 17D-Japanese
encephalitis virus vaccine. Doseresponse effectiveness and extended safety testing in
rhesus monkeys. J Virol 2000;74:174251.

61. Monath TP, McCarthy K, Bedford P, et al. Clinical proof of principle for ChimeriVax.
Recombinant live, attenuated vaccines against flavivirus infections. Vaccine
2002;20:100418.

62. Konishi E, Yamaoka M, Khin Sane W, et al. Induction of protective immunity against
Japanese encephalitis in mice byimmunization with a plasmid encoding Japanese
encephalitis virus premembrane and envelope genes. J Virol 1998;72:492530.

63. Konishi E, Yamaoka M, Kurane I,Mason PW. Japanese encephalitis DNA vaccine
candidates expressing premembrane and envelope genes induce virus-specific memory B
cells and long-lasting antibodies in swine. Virology 2000;266:49-55.

64. Ashok MS. Rangarajan PN. Protective efficacy of a plasmid DNA encoding Japanese
encephalitis virus envelope protein fused to tissue plasmunogen activator signal
sequences. Studies in a murine intracerebral virus challenge model vaccine 2002;
20:1563-70.

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 29

Anda mungkin juga menyukai