Anda di halaman 1dari 20

TUGAS 1

ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI OPORTUNISTIK

DISUSUN OLEH :
Maria Apriliana (113063C1121046)
Nasya Adistiana Ferodita Bilqis (113063C1121047)
Puput Ernanda (113063C1121048)
Risma Frisly Ariajama (113063C1121049)
Risqi Octa Pratama (113063C1121050)
Robeth Tandi Allo (113063C1121051)
Stefani (113063C1121052)
Steffani Natalia Gunawan (113063C1121053)
Veronika (113063C1121054)
Wulan Faras Fajriani (113063C1121055)
Yohanes Brekmans Hasan (113063C1121056)
Yong Ihza Mahendra (113063C1121057)
Yunia Angela.M (113063C1121058)
Maria Imakulata Wea (113063C1121059)
Norwita Dwi Priyono (113063C1121060)
Nur Inayah Safitri (113063C1121061)

DOSEN PENGAMPU :
Dyah Trifianingsih, S.Kep, Ners, M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANJARMASIN
2022/2023
BAB I
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN INFEKSI OPORTUNISTIK


Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya
tidak bersifat invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh
menurun, seperti pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat
ditimbulkan oleh patogen yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur,
virus atau protozoa), maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh
manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh sistem imun (seperti
flora normal usus). Penurunan sistem imun berperan sebagai “oportuniti” atau
kesempatan bagi patogen tersebut untuk menimbulkan manifestasi penyakit.
Centers for Disease Control (CDC) mendefinisikan IO sebagai
infeksi yang didapatkan lebih sering atau lebih berat akibat keadaan
imunosupresi pada penderita HIV. Infeksi oportunistik yang digolongkan
CDC sebagai penyakit terkait AIDS (AIDS-defining illness) adalah
kriptosporidiosis intestinal (diare kronis >1 bulan); Pneumonia Pneumocystis
carinii (PCP); strongiloidosis selain pada gastrointestinal (GI);
toksoplasmosis dan CMV selain pada hati, limfa dan kelenjar getah bening
(KGB); kandidiasis esofagus, bronkus atau paru; kriptokokosis sistem saraf
pusat (SSP) atau diseminata; Mycobacterium avium dan M. kansasii selain
pada paru dan KGB; virus herpes simpleks mukokutaneus kronis, paru dan
GI; progressive multifocal leucoencephalopathy (PML); sarkoma Kaposi
pada usia.

B. EPIDEMIOLOGI INFEKSI OPORTUNISTIK PADA PENDERITA


HIV AIDS
Infeksi oportunistik merupakan alasan utama rawat inap dan
penyebab kematian pasien dengan HIV/AIDS sehingga harus selalu
diperhatikan dalam evaluasi 5 pasien dengan HIV/AIDS. Sejak ditemukannya
kemoprofilaksis dan kombinasi ART yang efektif, angka kematian akibat IO
menurun drastis walaupun tetap masih menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas pada penderita HIV. The Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan sebanyak 1,2 juta kematian akibat
penyakit terkait AIDS sepanjang tahun 2014 dengan penyebab terbanyak (1
dari 5 kematian) diakibatkan oleh tuberkulosis. Angka ini telah menurun
sebesar 42% dibandingkan puncaknya pada tahun 2004.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah
kumulatif penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun
1987 hingga September 2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari
keseluruhan kasus HIV. Case Fatality Rate AIDS di Indonesia juga
mengalami penurunan bertahap mulai 13,86% pada tahun 2004 hingga

2
mencapai 0,46% pada tahun 2014. Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada
masing-masing wilayah. Infeksi yang sering dijumpai di Amerika dan Eropa
antara lain Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP), meningitis Kriptokokal,
Cytomegalovirus (CMV) dan Toksoplasmosis, sedangkan di negara
berkembang seperti Asia Tenggara, TB menjadi IO yang tersering.
Beberapa penelitian di India mendapatkan bahwa secara umum
kandidiasis orofaringeal, TB dan diare oleh kriptosporidia merupakan IO
yang tersering. Hal yang serupa juga didapatkan di Indonesia. Laporan
Surveilans AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1987
sampai dengan 2009 mendapatkan bahwa IO yang terbanyak adalah TB, diare
kronis dan kandidiasis orofaringeal. Data mengenai profil IO di Bali masih
sedikit, terdapat satu penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Denpasar Bali pada tahun 2014 yang mendapatkan IO tersering adalah TB,
Toksoplasmosis, kandidiasis oral, IO multipel dan pneumonia.

C. PENCEGAHAN DAN PENTALAKSANAAN SPESIFIK INFEKSI


OPORTUNISTIK YANG TERSERING PADA PENDERITA HIV-AIDS
DI INDONESIA
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik tersering (40%) pada
infeksi HIV dan menjadi penyebab kematian paling tinggi pada ODHA.
Infeksi TB dan HIV saling berhubungan, HIV menyebabkan progresivitas
infeksi TB menjadi TB aktif, sebaliknya infeksi TB membantu replikasi dan
penyebaran HIV serta berperan dalam aktivasi infeksi HIV yang laten.
Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB tidak menjadi sakit TB
karena mempunyai sistem imun yang baik, dan dikenal sebagai infeksi TB
laten. Infeksi TB laten tersebut tidak infeksius dan asimtomatis, namun
dengan mudah dapat berkembang menjadi TB aktif pada orang dengan
sistem imun yang menurun, seperti pada ODHA. Pasien TB dengan HIV
positif atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV.
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TBHIV di
dunia adalah sebanyak 14 juta orang, dengan 3 juta pasien terdapat di Asia
Tenggara. Epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus
TB sehingga pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa upaya
pengendalian HIV. Sebagian besar infeksi TB menyerang jaringan paru,
namun dapat juga menyerang organ lain yang disebut TB ekstraparu. Gejala
klinis TB paru adalah batuk berdahak 2-3 minggu atau lebih yang dapat
disertai darah, sesak nafas, badan lemas, berat badan menurun, malaise,
keringat malam dan demam meriang lebih satu bulan. Gejala klinis TB paru
pada ODHA sering kali tidak spesifik, yang sering ditemukan adalah
demam dan penurunan berat badan yang signifikan (> 10%). Gambaran

3
radiologis dada dapat dijumpai infiltrat fibronoduler pada lobus paru atas
dengan atau tanpa kavitasi (Gambar 1). Infeksi TB dapat terjadi pada jumlah
CD4+ berapapun, namun pasien dengan jumlah CD4+.

Radiografi dada pada pasien ko-infeksi TB-HIV. Gambar kiri


menunjukkan adanya infiltrat dengan kavitasi pada lobus kanan atas.
Gambar kanan menunjukkan adanya infiltrat bilateral tanpa kavitasi.
a) Pencegahan Koinfeksi TB-HIV
Pencegahan paparan terhadap infeksi TB di fasilitas pelayanan
kesehatan dapat dilakukan dengan menempatkan pasien TB atau yang
dicurigai TB secara terpisah dari pasien lain terutama pasien HIV. Pusat
pelayanan kesehatan, pelayanan paru rumah sakit, lembaga
permasyarakatan, penampungan tuna wisma atau populasi imigran
tertentu dapat menjadikan pasien berisiko tinggi terpapar M.
tuberkulosis. Pasien dapat dikonseling mengenai risiko aktivitas
tersebut dan manfaat penggunaan masker untuk mencegah penularan.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memberikan terapi pada
infeksi TB laten. Pasien HIV yang pertama kali diidentifikasi, harus
dites akan adanya infeksi M. tuberculosis, salah satunya dengan tes
kulit tuberkulin (tuberculin skin test/TST). Semua pasien HIV, tanpa
mempertimbangkan umur, dengan hasil tes positif untuk infeksi M.
tuberculosis namun tanpa adanya bukti TB aktif dan tanpa riwayat
terapi untuk TB aktif atau laten harus diterapi sebagai infeksi TB laten.
Terapi pilihan untuk TB laten adalah isoniazid 300 mg/hari peroral
(PO) selama 9 bulan, dengan efektivitas dan tolerabilitas yang baik
serta toksisitas yang jarang.
Rejimen alternatif dapat menggunakan rifampin 600 mg/hari PO atau
rifabutin selama 4 bulan. Kombinasi rifampin ditambah pirazinamid
selama 2 bulan telah terbukti bermanfaat, namun didapatkan

4
hepatotoksisitas berat dan kematian pada beberapa pasien HIV yang
mendapatkan rejimen ini, sehingga rejimen ini tidak dipergunakan.
Pencegahan relaps atau rekurensi dengan terapi pemeliharaan jangka
panjang tidak diperlukan karena TB jarang kambuh setelah
menyelesaikan rejimen terapi secara lengkap, dengan catatan organisme
penyebab sensitif terhadap agen kemoterapi yang digunakan.

b) Penatalaksanaan Ko-infeksi TB-HIV


Prinsip penatalaksanaan pasien koinfeksi TB-HIV adalah pemberian
pengobatan TB dengan segera. Pengobatan TB pada pasien yang belum
pernah mendapat ART adalah memulai OAT terlebih dahulu,
selanjutnya baru ART. Inisiasi ART dapat dimulai setelah pengobatan
TB ditoleransi dengan baik, dengan rekomendasi paling cepat 2 minggu
dan paling lambat 8 minggu setelah OAT dimulai, tanpa menghentikan
OAT.
Inisiasi ART dalam 2-4 minggu setelah OAT dapat menekan
perkembangan infeksi HIV, namun memiliki insiden efek simpang dan
terjadinya reaksi paradoksikal IRIS yang lebih tinggi. Inisiasi ART
dalam 4-8 minggu setelah OAT memiliki kelebihan dapat membedakan
obat spesifik penyebab efek simpang, menurunkan risiko IRIS dan
meningkatkan kepatuhan pasien. Inisiasi ART harus dimulai dalam 2
minggu setelah mulai pengobatan TB pada pasien dengan CD4 < 50
sel/μL. Pengobatan TB pada pasien yang sedang dalam pengobatan
ART dapat dimulai minimal di rumah sakit yang petugasnya telah
dilatih TB-HIV, untuk memantau adanya interaksi obat ataupun
terjadinya IRIS. Pemberian ART tetap dilanjutkan.
Pemberian OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan
TB tanpa HIV/AIDS yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis
dan waktu yang tepat. Rejimen OAT diberikan selama 6 bulan, terdiri
dari isoniazid (INH) 300 mg PO, rifampin (RIF) 450 mg atau rifabutin
PO, pyrazinamide (PZA) 3x500 15 mg PO dan ethambutol (EMB)
3x250 mg PO setiap hari selama 2 bulan fase inisial, dilanjutkan dengan
INH 600 mg PO dan RIF 450 mg PO 3 kali seminggu selama 4 bulan
fase lanjutan. Rejimen ART yang direkomendasikan pada koinfeksi
TB-HIV adalah rejimen dengan efavirenz 600 mg PO sebagai pilihan
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI). Nevirapin
tidak dipilih sebagai NNRTI karena rifampisin dalam OAT dapat
menurunkan kadar nevirapin dalam darah. Terapi antiretroviral yang
dapat digunakan adalah zidovudin atau tenofovir + lamivudin +

5
efavirenz. Setelah OAT selesai, efavirenz dapat diganti dengan
nevirapine.

2. Diare Kriptosporidial
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada
ODHA, yaitu didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai
90% di negara berkembang. Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi
patogen utama dari diare kronis pada kelompok tersebut, dengan penyebab
terbanyak adalah Cryptosporidium parvum (71.4%). Kriptosporidiosis
termasuk dalam penyakit terkait AIDS sesuai panduan CDC yang umumnya
terjadi saat jumlah sel T CD4+ 1 bulan) dengan kotoran yang cair, dehidrasi,
nyeri perut dan penurunan berat badan.

a) Pencegahan Diare Kriptosporidial


Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui
penyebaran fekaloral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia.
Penyebaran ini terjadi melalui kontak langsung atau melalui air yang
terkontaminasi. Anak-anak di pusat penitipan merupakan salah satu
reservoir, begitu pula dengan kucing dan anjing yang masih kecil.
Didapatkan pula wabah kriptosporidiosis terkait air minum publik dan
kolam renang, yang diperkirakan karena parasit sangat resisten terhadap
klorinasi.

Kontak seksual, terutama kontak yang melibatkan hubungan rektal,

juga merupakan cara penyebaran organisme ini. Pasien HIV dapat


mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia dengan menghindari
paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada

6
bahwa banyak dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga
direkomendasikan untuk merebus air sebelum diminum.

Transmisi Cryptosporidium parvum terjadi terutama melalui air yang


terkontaminasi (air minum maupun air di pusat rekreasi), dan secara jarang
dapat melalui makanan. Ookista bersifat infeksius begitu diekskresikan
sehingga transmisi fekal-oral langsung dapat terjadi.

b) Penatalaksanaan Diare Kriptosporidial


Tidak ada obat yang diketahui efektif untuk mencegah penyakit atau
rekurensi. Gejala kriptosporidiosis didapatkan menghilang seiring dengan
membaiknya status imun setelah pemberian ART sehingga ART perlu
terus dilanjutkan untuk mencegah relaps. Beberapa data menyatakan
bahwa rifabutin atau klaritromisin saat digunakan untuk mencegah
penyakit M. avium juga akan mengurangi insiden kriptosporidiosis, namun
data tersebut belum cukup meyakinkan untuk merekomendasikan obat
untuk tujuan ini.

Pasien dengan diare yang sangat berat perlu ditambahkan agen anti-

kriptosporidia untuk memastikan ART dapat diabsorpsi dengan cukup.


Dapat digunakan paromomisin 4x500 mg/hari PO atau 2x1 g/hari PO
selama 12 minggu, dipadukan dengan azitromisin 500 mg/hari PO maupun
digunakan sendiri. Alternatif terapi lain yang dapat dipakai adalah
nitazoksanid 2x500 mg/hari PO selama 3 hari hingga 12 minggu. Terapi
suportif yang penting dilakukan meliputi hidrasi, koreksi elektrolit,
antimotilitas dan suplementasi nutrisi.

3. Kandidiasis Mukokutaneus

7
Spesies Kandida merupakan komensal yang sangat umum, dan
didapatkan pada 75% populasi dari rongga mulut maupun saluran genitalia.
Kandidiasis orofaringeal merupakan IO tersering pada penderita HIV,
mencapai 80-90% kasus pada masa pre-ART. Sebagian besar kasus
disebabkan oleh Candida albicans dan paling sering didapatkan pada jumlah
sel T CD4+
Kandidiasis orofaringeal pada penderita HIV. Tampak pseudomembran
pada palatum durum (kiri) serta mukosa gusi dan bukal (kanan).

a) Pencegahan Kandidiasis Mukokutaneus


Kandida sangat banyak terdapat di lingkungan. Semua manusia
dikolonisasi oleh organisme ini sehingga pencegahan paparan Kandida
bukan merupakan langkah yang akan berhasil untuk mengurangi
insiden penyakit Kandida. Kandida yang resisten flukonazol sering
ditemukan pada tempat pelayanan kesehatan, sehingga perlu
penggunaan barrier pencegahan untuk mengurangi superinfeksi pada
pasien.

Kemoprofilaksis primer dengan flukonazol efektif untuk menurunkan


frekuensi kandidiasis namun pemberian jangka panjang berbiaya
mahal, terkait dengan toksisitas dan interaksi obat serta menyebabkan
terbentuknya ragi yang resisten azol. Tambahan pula, Kandida hampir
tidak pernah menyebabkan penyakit invasif. Kandidiasis mukosal
dapat diterapi dengan segera pada sebagian besar kasus, sehingga
sebagian besar klinisi tidak merekomendasikan profilaksis primer
untuk kandidiasis.

Terapi pemeliharaan jangka panjang setelah kandidiasis akut membaik


juga tidak direkomendasikan oleh sebagian besar ahli dengan alasan
yang sama. Profilaksis sekunder dengan flukonazol atau itrakonazol
dapat dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami relaps atau
dengan penyakit sangat berat.

b) Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutaneus


Rekomendasi terapi untuk kandidiasis oral berupa suspensi nistatin
kumur 4x4-6 ml PO, flukonazol kapsul 4x100-400 mg/hari PO atau
itrakonazol 4x200 mg/hari PO yang diberikan selama 7-14 hari,
sedangkan untuk kandidiasis esofagus dapat diberikan flukonazol

8
4x200 mg/hari PO atau intravena (IV), itrakonazol 4x200 mg/hari PO
maupun amfoterisin B 0,6-1 mg/kg/hari IV selama 14-21 hari.

Golongan azol merupakan pilihan utama untuk kandidiasis oral dan


esofageal karena efektif dan risiko relaps yang rendah. Strategi yang
paling penting untuk penanganan pasien HIV dengan kandidiasis
adalah pemberian ART yang dimulai segera setelah didapatkan gejala
kandidiasis. Kandidiasis jarang dilaporkan menyebabkan IRIS.

4. Pneumonia Pneumocystis
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur
Pneumocystis jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan (Gambar 5a).

Taksonomi organisme ini telah berubah, yang awalnya dikenal dengan


sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk pneumosistis
yang menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang menginfeksi manusia
diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih
digunakan istilah PCP seperti sebelumnya.
Jamur Pneumocystis yang didapatkan pada paru pasien dengan AIDS.
Radiografi dada pada penderita HIV dengan Pneumonia Pneumocystis
menunjukkan karakteristik berupa opasitas granuler simetris bilateral.

a) Pencegahan Pneumonia Pneumocystis


Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia,
walaupun mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan
dapat diupayakan dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan dari
individu yang menderita PCP walaupun keefektifannya belum
diketahui.4 Kemoterapi telah terbukti mencegah PCP dan
memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien HIV. Pasien dengan

9
jumlah sel T CD4+ <200 sel/mm3 atau < 14%, serta pasien dengan
Riwayat PCP dan kandidiasis orofaringeal harus diberi kemoprofilaksis
PCP.

Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen


profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya,
dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki aktivitas profilaksis
tambahan terhadap toksoplasma dan beberapa bakteri termasuk
Salmonella spp. dan Streptococcus pneumoniae. 11,15 Pasien yang tidak
dapat mentoleransi TMP-SMX dan bila toksisitas tidak mengancam jiwa,
seringkali dapat dengan sukses melalui desensitisasi bertahap dengan
rejimen oral.

Dapson 2x50 mg/hari PO atau dapson 50 mg/hari + pirimetamin 50


mg/minggu PO merupakan alternatif TMP-SMX yang memiliki
keberhasilan tinggi. Pentamidin aerosol 300 mg/bulan dan atovakuon
1.500 mg/hari PO juga dapat menjadi alternatif, namun pentamidin
memerlukan fasilitas khusus dan menginduksi batuk, sedangkan
atovakuon mahal dan absorpsinya tergantung makanan.

Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah
menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+ yang
meningkat >200 sel/µL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus
diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di
bawah kadar tersebut. Profilaksis sekunder harus dilanjutkan seumur
hidup pada pasien HIV yang bertahan hidup setelah episode PCP, kecuali
bila pasien memulai ART dan jumlah limfosit T CD4+ meningkat >200
sel/mm3 selama ≥3 bulan.15 Profilaksis PCP harus diberikan kembali
bila jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah 200 sel/mm3 akibat
kegagalan ART maupun ketidakpatuhan.

b) Penatalaksanaan Pneumonia Pneumocystis


Terapi pilihan untuk PCP adalah TMP-SMX (TMP 15-20 mg/kg/hari +
SMZ 75- 100 mg/kg/hari) IV dibagi dalam 3-4 dosis selama 21 hari.
Terapi alternatif dapat digunakan klindamisin 3-4 x 600-900 mg IV atau
4x300-450 mg PO + primakuin 15-30 mg/hari PO selama 21 hari bila
pasien alergi terhadap sulfa. Pasien dengan PCP berat dianjurkan
pemberian kortikosteroid berupa prednison 2x40 mg PO selama 5 hari
pertama, selanjutnya 40 mg/hari pada hari 6-10, kemudian 20 mg/hari
dari hari 11-21. Metilprednisolon IV diberikan dengan dosis 75% dosis
prednison.

10
Inisiasi ART segera lebih dipilih pada pasien dengan PCP walaupun
waktu inisiasi yang optimal masih belum bisa ditentukan.41 Penderita
HIV yang akan memulai ART dengan CD4+ <200 sel/uL. Dianjurkan
untuk diberikan TMP SMX 2 minggu sebelum ART. Hal tersebut
berguna untuk tes kepatuhan dalam minum obat dan menyingkirkan efek
samping yang tumpang tindih antara TMP-SMX dengan ART, mengingat
bahwa banyak obat ART mempunyai efek samping serupa dengan efek
samping TMP-SMX.
Kejadian efek simpang TMP-SMX cukup tinggi, berupa ruam kulit
(termasuk sindroma Stevens-Johnson), demam, leukopenia,
trombositopenia, azotemia, hepatitis, hiperkalemia, mual dan muntah,
pruritus dan anemia. Terapi suportif dan simptomatis terhadap efek
tersebut perlu diusahakan sebelum menghentikan TMP-SMX.

D. FAKTOR RESIKO PERKEMBANGAN INFEKSI OPORTUNISTIK


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang disebabkan karena
menurunnya daya tahan tubuh akibat virus HIV. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap status oportunistik adalah predisposisi dan manifestasi
klinis. Kedua faktor ini mempengaruhi terjadinya infeksi oportunistik
tergantung pada tingkat kepatuhan terapi ARV. Jika penderita tidak patuh
terapi ARV, maka ARV tidak akan memberikan efek signifikan pada
penurunan infeksi oportunistik penderita HIV/AIDS. Predisposisi merupakan
faktor internal yang ada pada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat
yang memeper-mudah individu untuk berperilaku. Manifestasi klinis
merupakan indikasi keberadaan suatu penyakit yang dirasakan sebagai
keluhan dari pasien dan sudah diperiksa oleh dokter atau klinis. Keduanya
merupakan faktor yang tidak dapat di ukur secara langsung namun harus
dikonstruk sedemikian rupa dari berbagai indicator, dimana predisposisi
disusun dari indikator seperti umur, pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan. Untuk manifestasi klinis disusun dari indikator kadar CD4 dan
stadium klinis.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu virus
yang menurunkan system kekebalan tubuh sehingga orang yang terkena virus
ini akan menjadi rentan terhadap berbagai infeksi dan kemudian
menyebabkan Acquired Immuno Defisiency Syndrome (AIDS). Menurut
Modifikasi teori Gordon yang mempengaruhi infeksi Oportunistik dapat
dilihat pada Gambar 2.

11
E. ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN INFEKSI
OPORTUNISTIK PADA PENDERITA HIV-AIDS

Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama, umur, tempat dan tanggal lahir

b. Riwayat Kesehatan Sekarang


Test HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-
obatan

c. Keadaan Umum
Pucat, kelaparan

d. Gejala Subjektif
Demam kronik dengan atau tanpa mengigil, keringat malam hari berulang
kali, lemah, lelah, anoreksia.

e. Psikososial
Kehilangan pekerjaaan dan penghasilan, perubahan pola hidup

f. Status Mental
Marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, halusinasi.

g. HEENT
Nyeri perorbital, sakit kepala, edema muka, mulut kering.

h. Neurologis
Gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan ,
kakukuduk, kejang, paraplegiai.

i. Muskoloskletal
Focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL

j. Kardiovaskular
Takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.

k. Pernapasan
Dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot bantu pernapasan,
batuk produktif atau non produktif.

12
Pathway

13
14
Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi
D. 0139 L. 14125 I. 11353 1. Agar Observasi S=
Resiko Gangguan Integritas Kulit dan Perawatan Integritas mengetahui Klien mengatakan
Integritas Kulit d.d Jaringan Kulit penyebab 1. Mengidentifikasi nyeri mulai
Perubahan Sirkulasi gangguan penyebab berkurang, tekstur
Setelah dilakukan Observasi integritas kulit gangguan kulit membaik
Definisi : intervensi selama 2 x yang dialami integritas kulit
Beresiko 24 jam diharapakan 1. Identifikasi klien, dalam hal (mis: perubahan O=
mengalami integritas kulit penyebab ini karena sirkulasi, Kulit klien terlihat
kerusakan kulit meningkat dengen gangguan perubahan perubahan status mulai membaik,
(dermis dan/atau kriteria hasil : integritas kulit sirkulasi di nutrisi, penurunan suhu kulit
epidermis 1. Elastisitas (mis: perubahan mana juga kelembaban, suhu membaik, hidrasi
meningkat sirkulasi, dipengaruhi oleh lingkungan membaik
2. Hidrasi perubahan status sistem imun ekstrim,
meningkat nutrisi, klien yang penurunan A=
3. Perfusi penurunan menurun mobilitas) Masalah teratasi
jaringan kelembaban, 2. Untuk Sebagian
meningkat suhu lingkungan menurunkan Terapeutik
4. Kerusakan ekstrim, iritasi pada kulit P=
lapisan kulit penurunan klien, dalam hal 1. Mengubah posisi Intervensi
menurun mobilitas) ini kulit pada setiap 2 jam jika dilanjutkan
5. Nyeri punggung klien tirah baring
menurun Terapeutik 3. Untuk tetap 2. Membersihkan
6. Perdarahan menjaga perineal dengan
menurun 1. Ubah posisi setiap personal air hangat,
7. Pigmentasi 2 jam jika tirah hygiene bagian terutama selama
abnormal baring perineal klien periode diare
menurun 2. Bersihkan untuk mencegah 3. Menggunakan
8. Nekrosis perineal dengan bau dan rasa produk berbahan
menurun air hangat, tidak nyaman petroleum atau
9. Jaringan parut terutama selama pada klien minyak pada kulit
menurun periode diare 4. Untuk menjaga kering
10. Suhu kulit 3. Gunakan produk kelembaban 4. Menggunakan
membaik berbahan kulit klien produk berbahan
11. Sensasi petroleum atau 5. Agar tidak ringan/alami dan
membaik minyak pada kulit terjadi iritasi hipoalergik pada
12. Tekstur kering pada kulit klien kulit sensitif
membaik 4. Gunakan produk yang sensitif 5. Menghindari
13. Pertumbuhan berbahan 6. Karena produk produk berbahan
rambut ringan/alami dan yang berbahan dasar alkohol pada
membaik hipoalergik pada dasar alkohol kulit kering
kulit sensitive dapat
5. Hindari produk menyebabkan Edukasi
berbahan dasar kulit kering dan
alkohol pada kulit dapat membuat 1. Menganjurkan
kering wajah dan tubuh menggunakan
cenderung pelembab (mis:
Edukasi memerah juga lotion, serum)
dalam beberapa 2. Menganjurkan
1. Anjurkan kasus akan minum air yang
menggunakan memicu cukup
pelembab (mis: timbulnya 3. Mengnjurkan
lotion, serum) jerawat meningkatkan
2. Anjurkan minum 7. Untuk menjaga asupan nutrisi
air yang cukup kelembaban 4. Menganjurkan
3. Anjurkan kulit klien meningkatkan

16
meningkatkan 8. Untuk asupan buah dan
asupan nutrisi mencukupi sayur
4. Anjurkan kebutuhan 5. Menganjurkan
meningkatkan cairan klien dan menghindari
asupan buah dan menhidrasi kulit terpapar suhu
sayur klien ekstrim
5. Anjurkan 9. Agar asupan 6. Menganjurkan
menghindari nutrisi klien menggunakan tabir
terpapar suhu terpenuhi surya SPF minimal
ekstrim 10. Karena dengan 30 saat berada
6. Anjurkan mengonsumsi diluar rumah
menggunakan sayur dan buah 7. Menganjurkan
tabir surya SPF dapat dapat mandi dan
minimal 30 saat membantu menggunakan
berada diluar memastikan sabun secukupnya
rumah klien
7. Anjurkan mandi mendapatkan
dan cukup
menggunakan antioksidan
sabun dalam tubuh
secukupnya untuk
menangkal
radikal bebas
11. Agar tidak
memperparah
kondisi kulit
klien yang
sensitif

17
12. Untuk menjaga
kulit klien agar
tidak terpapar
sinar UV
matahari
13. Untuk menjaga
personal
hygiene klien
dan memberikan
rasa nyaman
pada klien

18
BAB 2
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Infeksi Oportunistik yang paling sering menyerang pengidap
HIV/AIDS. Sebuah infeksi pada pengidap HIV disebut sebagai infeksi
oportunistik karena berbagai macam mikroba penyebabnya (bakteri, jamur,
parasit, dan virus lainnya) muncul mengambil kesempatan selagi daya tahan
tubuh sedang lemah-lemahnya. Centers for Disease Control (CDC)
mendefinisikan IO sebagai infeksi yang didapatkan lebih sering atau lebih berat
akibat keadaan imunosupresi pada penderita HIV.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan jumlah
kumulatif penderita AIDS (infeksi HIV dengan IO) di Indonesia dari tahun
1987 hingga September 2014 mencapai 55.799, atau sekitar 36,7% dari
keseluruhan kasus HIV. Case Fatality Rate AIDS di Indonesia juga mengalami
penurunan bertahap mulai 13,86% pada tahun 2004 hingga mencapai 0,46%
pada tahun 2014. Jenis patogen penyebab IO bervariasi pada masing-masing
wilayah. Infeksi yang sering dijumpai di Amerika dan Eropa antara lain
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP), meningitis Kriptokokal,
Cytomegalovirus (CMV) dan Toksoplasmosis, sedangkan di negara
berkembang seperti Asia Tenggara, TB menjadi IO yang tersering.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status oportunistik adalah
predisposisi dan manifestasi klinis. Kedua faktor ini mempengaruhi terjadinya
infeksi oportunistik tergantung pada tingkat kepatuhan terapi ARV. Jika
penderita tidak patuh terapi ARV, maka ARV tidak akan memberikan efek
signifikan pada penurunan infeksi oportunistik penderita HIV/AIDS.
Apabila ditinjau dari beberapa literature, perawat mempunyai
kewenangan mandiri sesuai dengan seni dan keilmuannya dalam memberikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan kerusakan integritas kulit.

B. Saran
Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah
dengan mendidik dan membimbing generasi muda secara intensif agar mereka
mampu menjadi motor penggerak kemajuan dan mendorong perubahan kearah
yang lebih dinamis, progesif dan produktif.
Dengan permasalahan banyak yang terkena HIV/AIDS dikalangan
masyarakat diakibatkan pergaulan bebas (seks bebas maupun penggunaan
NAPZA). Oleh sebab itu, tim penulis berharap agar makalah ini dapat dibaca
dan dipergunakan dengan baik sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca dan
pembaca mengetahui informasi mengenai HIV/AIDS dan infeksi oportunistik
yang disebabkan karennaya agar dapat menjaga diri dengan baik dan tidak
terjangkit HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk tehnis tatalaksana
klinis ko-infeksi TB-HIV. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2012. p. 1-150.
Huang, L., Cattamanchi, A., Davis, L., den Boon, S., Kovacs, J., Meshnick, S.,
Miller, R.F., Walzer, P.D., Worodria, W., Masur, H. HIV-associated
pneumocystis pneumonia. Proc Am Thorac Soc. 2011; 8:294–300.
Brown, T. A., 2006,Confirmatory Factory Analysis for Applied Research. The
Guilford Press, New York.
Chin, W.W., 1998, ThePartial Least Squares Approach for Structural Equation
Modelling. Modern Method for Business Research. London:Lawrence
Erlbaum Associates
Djauzi. S. dan Djoerban, Z., 2003,Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan
Kesehatan Dasar.Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2003.

20

Anda mungkin juga menyukai