Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN AIDS DENGAN INFEKSI

OPOTUNISTIK TBC

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas HIV-AIDS pada Semester 3 Tingkat 2

Dosen Pengampu :

Ns. Priyo, M.Kep

Disusun Oleh :

Halima Nur Aisya 18.0603.0017

Maeliana Habibie 18.0603.0018

Salis Atiqoh 18.0603.0019

Indah Dwi Wahyuni 18.0603.0020

Kurnia Maharani 18.0603.0021

Winda Widianingrum 18.0603.0022

Lailatul Husni 18.0603.0023

Alvon Dika Prio 18.0603.0023

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2019
BAB I PENDAHULUAN

1.1.Tinjauan Teori

A. Definisi

Penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired


Immunodeficiency Syndrome (AIDS) hingga kini masih merupakan
masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia. HIV adalah retrovirus yang
menginfeksi dan merusak sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
rentaterkena infeksi, yang kemudian akan berlanjut ketahap AIDS, keadaan
dimana kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV.

Infeksi oportunistik dapat menyerang berbagai macam organ, seperti


saluran napas, saluran pencernaan, neurologis, kulit dan lain sebagainya, dari
beberapa kasus yang ditemui HIV/AIDS dengan infeksi oportunistik banyak
dijumpai di usia ±17 tahun, tinggi pada laki laki dibandingkan perempuan,
tingkat pendidikan yang kurang, pekerjaan-pekerjaan yang berisiko lebih besar
untuk terinfeksi, pasien yang mengalami anemia dan pada status belum
menikah lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah menikah.

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi


oportunistik yang paling sering dijumpai pada pasien HIV/AIDS. Di
dunia, penyakit TB adalah salah satu penyebab utama kematian pada ODHA.
Menurut WHO pada tahun 2015 dapati jumlah kasus pasien HIV/AIDS disertai
TB didunia yaitu 1,2 dari 10,4 juta orang yang terkena TB, dengan estimasi
390.000 meninggal dunia.6 Di Indonesia menurut data Kementerian
Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus
AIDS dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus
(49%) dan dari 270 kasus yang mempunyai informasi mengenai lokasi TB,
yaitu sebagian besar (90,4%) merupakan kasus TB paru.

Studi epidemiologi yang dilakukan di RSUP DR. Kariadi


Semarang oleh Desy Ayu Permita Sari tahun 2012 yang berjudul Faktor Risiko
Terjadinya Koinfeksi Tuberkulosis Pada Pasien HIV/AIDS menyatakan
variabel yang berhubungan dengan terjadinya koinfeksi TB paru pada pasien
HIV/AIDS yaitu kadar Hb yang rendah, sedangkan jenis kelamin, umur,
status perkawinan, hitung CD4, rokok, alkohol, terapi ARV tidak
berhubungan dengan koinfeksi TB pada pasien HIV/AIDS.

Selanjutnya penelitian juga dilakukan di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda


Aceh oleh Kurnia Fitri Jamil pada tahun 2013 yang berjudul Profil Kadar CD4
Terhadap Infeksi Oportunistik Pada Penderita Human Immunodeficiency
Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) menyatakan TB
paru menjadi infeksi oportunistik yang terbanyak yaitu 30 kasus dari 51 pasien
dengan IO pada 73 pasien HIV/AIDS dimana dipengaruhi dengan
penurunan kadar CD4. Pada tahun 2015 dilaporkan terdapat sebanyak 238
orang terinfeksi HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi di
Kota Medan.

B. Etiologi

HIV adalah suatu retrovirus yang mengubah asam ribonukleat (RNA)


menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk kedalam sel penjamu.
HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, genom HIV mengkode sembilan
protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup. Dari segi genomik,
virus HIV-1 memiliki protein Vpu yang membantu pelepasan virus, sementara
virus HIV-2 memiliki protein Vpx yang membantu pelepasan virus,
meningkatkan infektivitis (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari
protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus.12 Waktu
paruh virus (virion half-life) berlangsung cepat. Karena replikasi virus
berlangsung terus menerus, dalam sehari sekitar 10 miliar virus dapat
diproduksi. Replikasi ini menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh.
HIV terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th) sehingga
jumlahnya dan fungsinya akan terus menurun seiring semakin parahnya
infeksi.
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh disebabkan oleh HIV. Terutama oleh retrovirus RNA HIV-1,
tetapi HIV-2 juga dapat menyebabkan AIDS yang dijumpai di Afrika Barat.
Seseorang diklasifikasikan sebagai pengidap AIDS ketika hitung sel T CD4
yang kurang dari 200/µl, baik asimtomatik maupun simtomatik, dengan
mengalami imunosupresi yang berat maka akan beresiko tinggi terjangkit
keganasan dan infeksi oportunistik.
C. Faktor Resiko

Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung


meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak
bekerja, kepadatan penduduk, penyakit kronik yang melemahkan dan
orang dengan AIDS. Faktor resiko meningkat pada orang yang mengadakan
kontak langsung dengan penderita TB paru, termasuk keluarga atau teman
dekat dari penderita TB paru, orang yang melakukan perjalanan ketempat
yang angka kejadian TB paru dan orang yang bekerja dirumah sakit atau
merawat penderita TB paru. Orang yang terpapar dan terinfeksi adalah orang
yang memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang rendah seperti: bayi atau
anak-anak yang fungsi imunnya belum berfungsi dengan baik, orang
menderita penyakit kronik, penderita HIV/AIDS dan orang yang mendapat
pengobatan autoimun. Faktor resiko yang dijelaskan di atas berhubungan
dengan cara penularan dari Mycobacteriun tuberculosa. Sumber penularan
melalui droplet nuclei (percikan dahak) penderita TB paru yang batuk,
tertawa,berbicara dan bersin tanpa menggunakan masker atau menutup mulut.
Penularan juga dapat berasal dari penderita TB paru yang membuang
dahak di sembarang tempat. Droplet nuclei yang terbawa oleh udara dan dapat
masuk kedalam saluran napas orang sehat yang berada disekitar penderita
TB paru, akhirnya menginfeksi orang sehat tersebut.
Dalam hal ini infeksi oportunistik TB pada pasien HIV terjadi karena
penurunan imunitas seluler tubuh. Penularan TB paru terjadi setelah
kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara sekitar. Pada fase transisi ini partikel infeksi ini dapat menetap 1-2
jam dalam udara bebas. Infeksi biasa terjadi disebabkan oleh infeksi primer
atau infeksi laten. Infeksi primer terjadi ketika kuman TB masuk dalam
saluran pernapasan dan berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan
di sitoplasma makrofag alveoli, yang mengakibatkan peradangan.Kuman yang
membentuk lesi kecil di jaringan paru akan membentuk sarang TB disebut
ghon fokus. Infeksi berkembang melalui kelenjar limfe hilus dan
mediastinum untuk membentuk komplek primer dan juga melalui peredaran
darah sehingga menyebar masuk ke organ tubuh lain. Infeksi tersebut terjadi
dalam 3 minggu pasca infeksi primer. Infeksi ini disebabkan karena imunitas
tubuh menurun pada pasien HIV sehingga kurangnya atau tidak adanya
perlawanan terhadap kuman TB. Sehingga kuman TB dengan mudahnya
menyebabkan infeksi primer pada pasien HIV-TB.
KASUS

Seorang wanita 21 tahun, dirawat dengan keluhan batuk sejak satu tahun terakhir,
kadang disertai batuk darah, suara serak, nyeri menelan, kadang sesak nafas disertai
demam terutama sore. Penderita memiliki riwayat diare yang hilang timbul sejak 4
bulan, pada mulut luka yang hilang timbul sejak enam bulan lalu. Penderita telah
didiagnosa HIV dan TB paru 10 bulan lalu, namun berhenti minum obat anti
tuberkulosa sejak 8 bulan lalu. Berat badan pernah turun dari 55 kg menjadi 33 kg
dalam waktu 4 bulan, namun saat ini berat badan telah meningkat menjadi 46 kg.
Penderita memiliki riwayat hubungan seksual diluar nikah, menikah dua kali, dan
saat ini memiliki suami yang menderita HIV. Keadaan umum lemah dan berat badan
46 kg. Pada pemeriksaan tanda vital tanggal 21 April 2011 didapatkan kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 20
kali per menit, suhu tubuh aksila 38,2 0C. Pada pemeriksaan fisik kepala/leher
didapatkan konjunktiva anemis, ulcus pada lidah 2 x 1 cm, multiple. Pada
pemeriksaan torak tanggal 21 April 2011 didapatkan suara nafas bronko vesikular dan
bronkial pada kedua hemi torak. Didapatkan ulkus labia majora. Hasil pemeriksaan
Radiologi torak pada waktu masuk didapatkan infiltrat pada kedua lapangan paru,
terutama apek, dengan kecurigaan suatu proses spesifik lesi sedang. Hasil
laboratorium tanggal 21 April 2011 didapatkan Hb 7,8 gr/dl, Leukosit 11.000,
Trombosit 735, gula darah sewaktu 120, hapusan sputum BTA +. Dari anamnesa
dan pemeriksaan fisik, penderita ini didiagnosa sebagai penderita HIV/AIDS dengan
TB paru dan Candidiasis oral. Penderita dirawat di ruang isolasi. Dilakukan
pemasangan nasogastric tube untuk bantuan nutrisi, diberi O2 3 – 4 l/menit, infus
RL /D5 / Aminofusin tiap 8 jam, tablet multivitamin C dan B complex 3x1 tablet,
Parasetamol 3x500 mg, tranfusi PRC 2 kolf, Kotrimoksazole 1x960 mg, Nystatin
drops oral 4x2 ml, Fluconazole oral 1x100 mg, Fusidic cream pada labia mayora / 8
jam, Rifamfisin 450 mg, INH 300 mg, Ethambutol 1000 mg. Direncanakan
pemeriksaan CD4, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit, pemeriksaan kultur jamur
pada lesi oral, pemeriksaan sputum BTA / gram / jamur/ kultur sputum. Selama
penderita dirawat di rumah sakit dalam 4 hari pertama, diare berkurang, nyeri telan
berkurang, beberapa pemeriksaan belum didapat, hingga penderita meninggal dunia
tanggal 2 Mei 2011 karena kecurigaan sepsis.

PEMBAHASAN
Penderita seorang wanita berusia 21 tahun, menikah sebanyak dua kali, dan memiliki
suami menderita HIV. Menurut WHO dan The Center for Disease Control (CDC)
2009, termasuk risiko tinggi menderita HIV apabila melakukan hubungan suami isteri
dengan penderita HIV, berganti pasangan diluar nikah, atau berhubungan suami isteri
dengan pasangan yang memiliki riwayat berganti pasangan sebelumnya dengan risiko
pengidap HIV. Penderita ini sudah didiagnosa menderita HIV sejak 3 tahun lalu, TB
paru sejak 10 bulan lalu. Hasil pemeriksaan klinis didapatkan penderita dengan
riwayat batuk lama, demam, nyeri telan dan penurunan berat badan yang drastis
dalam 4 bulan terakhir serta diare kronis. Manifestasi klinis TB pada HIV/AIDS
menyerupai akibat infeksi lain, demam berkepanjangan (100%) , penurunan berat
badan dramatis (74%), batuk (37%), diare kronis (28%), manifestasi koinfeksi dapat
ditinjau dari keluhan berupa infeksi menular seksual, herpes zoster, pneumonia,
infeksi bakteri berat, penurunan berat badan > 10% dari berat badan basal, diare
kronis > 1 bulan, nyeri retrospinal saat menelan akibat kandidiasis. (Yunihastuti,
2005). Gambaran radiologi torak didapatkan infiltrat dengan lesi sedang, keadaan ini
sesuai dengan referensi bahwa TB pada HIV/AIDS memberi gambaran infiltrat pada
apek paru sebanyak 41% dengan 86,7% lesi luas. Pemeriksaan sputum BTA pada
kasus ini mendapat hasil positif, menurut penelitian Dikromo dkk (2011) konfirmasi
kepositifan bakteriologi TB pada HIV/AIDS sebesar 27,7 %.
Sepertiga penderita HIV/AIDS mengalami infeksi opportunis, pada kasus
HIV dan TB di negara berkembang TB merupakan penyebab kematian utama akibat
infeksi oportunistik. Sama dengan manifestasi TB pada kasus lain tanpa HIV, tidak
ada gambaran khas TB pada penderita HIV/AIDS, manifestasi tergantung luas dan
penyulit yang muncul. Risiko menderita TB pada penderita HIV di negara maju
mencapai 50% dibanding 10% pada orang tanpa HIV. Pada tahun 2005 di RSUD dr.
Soetomo Surabaya infeksi sekunder oleh karena TB pada penderita HIV mencapai
83%. (Nasronudin, 2007; Mulyadi & Fitrika, 2010).

Masa inkubasi HIV bervariasi antara 1 – 6 tahun, penderita ini didiagnosa HIV
sejak 3 tahun lalu, dan didiagnosa menderita TB paru 10 bulan dan telah mendapat
terapi obat anti tuberkulosa (OAT) selama 2 bulan, namun berhenti mengkonsumsi
OAT karena merasa keadaan membaik. TB merupakan salah satu penyebab
progresifitas HIV menjadi AIDS, kasus TB drop out mengakibatkan progresivitas
perjalanan HIV menjadi AIDS menjadi lebih cepat lagi, pada kasus ini dapat dilihat
pada hasil CD4 absolut = 6 sel /цL, Lymphocyte T helper sangat kurang. Infeksi HIV
pada CD4 dan makrofag menyebabkan tidak berfungsinya cell mediated immune
response sehingga daya tahan penderita HIV menurun, pada kasus ini mengakibatkan
penyebaran TB lebih progresif hematogen menyebabkan timbulnya ekstra pulmonary
TB di mulut dan labia mayora serta reaktifasi TB dorman. Prioritas pertama terapi
pada penderita HIV/AIDS dengan TB adalah dimulai pengobatan TB serta
kotrimoksazol profilaksis segera waktu diagnosis ditegakkan dan selama pengobatan
TB, selanjutnya pemberian Anti Retrovirus (ARV) bila CD4 < 200 sel/μl. Prinsip
penatalaksanaan koinfeksi HIV dan TB: pemberian antiretroviral, HAART,
pengobatan TB sebagai koinfeksi, mencegah relaps dan rekuren TB, mencegah
resisten terhadap OAT dan ARV, mencegah transmisi HIV dan TB, dukungan nutrisi
berbasis makronutrien dan mikronutrien, dukungan psikologis dan psikososial,
physical exercise. Regimen OAT pada penderita HIV/AIDS + TB pada dasarnya
sama seperti kasus TB lainnya. Pemberian OAT lebih lama hingga 4 – 6 bulan pada
penderita HIV/ AIDS + TB akan menurunkan tingkat
o Diagnosa keperawatan

kriteria Hasil(NOC) interervensi (NIC)


1. ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Definisi : ketidak mampuan untuk membersikan sekresi atau obstruksi dari
saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas
Batasan karakteristik :
Suara nafas tambahan; Perubahan frekuensi pernafasan; Perubahan irama
nafas; penurunan bunyi nafas; Sputum dalam jumlah berlebihan; Batuk tidak
efektif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status pernafasan tidak
terganggu dengan kriteria hasil :
Deviasi ringan dari kisaran normal frekuensi pernafasan; Deviasi ringan dari
kisaran normal auskultasi nafas; Deviasi ringan dari kisaran normal kepatenan
jalan nafas; Tidak ada retraksi dinding dada
Manajemen jalan napas
Posisikan pasien untuk meminimalkan ventilasi; motivasi pasien untuk
bernafaas pelan, pelan berputar dan batuk; Auskultasi bunyi nafas, cata area
yang ventilasinya menurun tidak dan adanya suara napfas tambahan
fisioterapi dada
Jelaskan tujuan dan prosedur fisioterapi dada kepada pasien; Monitor status
respirasi dan kardiologi (misalnya denyut, irama, suara kedalaman nafas);
Monitor jumlah dasn karakteristik sputum; Ajarkan pasien melakukan
relaksasi napsa dalam
2. Ketidakefektifa n pola nafas
Definisi : inspirasi dan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan status pernafasan tidak
terganggu dengan
manajemen jalan nafas: Posisikanpasien untuk memaksimalkan ventilasi;
atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat
Faktor resiko:
Perubahan kedalaman perbafasan; Bradipneu; Takipneu; Dispneu; pernafasan
cuping hidung
Faktor yang berhubungan:
Kerusakan neurologis: Imunitas neurologi
kriteria hasil :
Frekuensi pernafasan tidak ada deviasi dari kisaran normal; Irama pernafasan
tidak ada deviasi dari kisaran normal; Tidak ada retraksi dinding dada; Tidak
ada suara nafas tambahan; Tidak ada pernafasan cuping hidung
lakukan fisioterapi dada, sebagai mana mestinya; Buang secret dengan
memotivasi klien untuk batuk efektif atau menyedot lendir; Auskultasi suara
napas, catat area yang ventilasinya menurun atau ada dan tidaknya suara napas
tambahan
3 Diare
Definisi : pasase feses yang lunak dan tidak berbentuk
Batasan karakteristik ; nyeri abdomen; sedikitnya tiga kali defekasi per hari;
bising usus hiperaktif.
Setelah dilakukan tindakan keeperawatan diharapkan pola eliminasi usus tidak
terganggu dengan kriteria hasil : pola eliminasi tidak terganggu; suara bising
usus tidak terganggu; diare tidak ada.
Manejemen saluran cerna : Monitor buang air besar termasuk frekuensi
konsistensi, bentuk, volume dan warna; monitor bising usus Manajeman diare :
Identifikasi faktor yang bisa menybabkan diare (misalnya medikaasi, bakteri );
amati turgor kulit secara berkala; monitor kulit perinium terhadap adanya
iritasi dan ulserasi; konsultyasikan
dengan dokter jika tanda dan gejal diare menetap.
4 Keurangan volume cairan
Definisi : penurunan cairan intravaskuler, interstinal, dan/atau intra seluler, ini
mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan saj tanpa perubahan pada natrium
Batasan karakteristik:
Penurunan tekanan darah; penurunan tekanan nadi; penurunan turgor kulit;
kulit kering; kelemahan.
Faktor yang berhubungan:
Kehilangan cairanaktif;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan
tidak terganggu dengan kriteria hasil:
Tekanan darah tidak terganggu; keseimbangan intake dan output dalam 24 jam
tidak terganggu; turgor kulit tidak terganggu
Manajemen cairan: Jaga intake dan output pasien; monitor status hidrasi
(misalnya membran mukosa lembab, enyut nadi adekuat); monitor hasil
laboratorium yang relevan dengan retensi cairan (misalnyab peningkatan berat
jenis, peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkatan kadar
osmolitas); monitor tanda-tanda vital; berikan diuretik yang diresepkan.
Monitor Cairan : tentukan jumlah dan jenis asupan cairan cairan serta
kebiasaan eliminasi; tentuka faktor-faktor yang menyebabkan ketidak
seimbangan cairan; periksa turgor kulit; monitor tekanan darah, denyut
jantung, dan stautus pernafasan; monitor membran mukosa, turgor kulit, dan
respon haus,
Implementasi Keperawatan

Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan atau

intervensi

Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan sesusai dengan kriteria hasil yang

ditetapkan.

DIAGNOSA
NO TUJUAN PERENCANAAN
KEPERAWATAN
1. Jelaskan klien tentang
kegunaan batuk yang
efektif dan mengapa
terdapat penumpukan
sekret di sal.
pernapasan.
2. Ajarkan klien tentang
metode yang tepat
pengontrolan batuk.
3. Napas dalam dan
Kebersihan jalan
perlahan saat duduk
napas efektif.
setegak mungkin.
Dengan Kriteria
4. Lakukan pernapasan
Hasil :
diafragma.
? Mencari posisi
5. Tahan napas selama 3
Bersihan jalan yang nyaman yang
– 5 detik kemudian
napas tak memudahkan
secara perlahan-lahan,
efektif peningkatan
keluarkan sebanyak
1 berhubungan pertukaran udara.
mungkin melalui
dengan sekresi ?
mulut.
yang Mendemontrasikan
6. Auskultasi paru
kental/darah. batuk efektif.
sebelum dan sesudah
? Menyatakan
klien batuk.
strategi untuk
7. Ajarkan klien tindakan
menurunkan
untuk menurunkan
kekentalan
viskositas sekresi :
sekresi.
mempertahankan
hidrasi yang adekuat;
meningkatkan
masukan cairan 1000
sampai 1500 cc/hari
bila tidak
kontraindikasi.
8. Dorong atau berikan
perawatan mulut yang
baik setelah batuk.
1. Berikan posisi yang
nyaman, biasanya
dengan peninggian
kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit.
Dorong klien untuk
duduk sebanyak
mungkin.
2. Observasi fungsi
pernapasan, catat
frekuensi pernapasan,
dispnea atau
perubahan tanda-
Pertukaran gas
tanda vital.
efektif.
R/ Distress
Kriteria Hasil :
pernapasan dan
Kerusakan ? Memperlihatkan
perubahan pada tanda
pertukaran gas frekuensi
vital dapat terjadi
berhubungan pernapasan yang
sebagai akibat stress
dengan efektif.
2 fisiologi dan nyeri atau
kerusakan ? Mengalami
dapat menunjukkan
membran perbaikan
terjadinya syock
alveolar- pertukaran gas-
sehubungan dengan
kapiler. gas pada paru.
hipoksia.
? Adaptive
3. Jelaskan pada klien
mengatasi faktor-
bahwa tindakan
faktor penyebab.
tersebut dilakukan
untuk menjamin
keamanan.
4. Jelaskan pada klien
tentang etiologi/faktor
pencetus adanya sesak
atau kolaps paru-paru.
5. Pertahankan perilaku
tenang, bantu pasien
untuk kontrol diri
dnegan menggunakan
pernapasan lebih
lambat dan dalam.
1. Diskusikan penyebab
anoreksia, dispnea dan
mual.
2. Ajarkan dan bantu
klien untuk istirahat
sebelum makan.
Kebutuhan nutrisi 3. Tawarkan makan
adekuat sedikit tapi sering
Perubahan
Kriteria Hasil : (enam kali sehari plus
nutrisi : kurang
? Menyebutkan tambahan).
dari kebutuhan
makanan mana 4. Pembatasan cairan
tubuh
yang tinggi protein pada makanan dan
berhubungan
dan kalori menghindari cairan 1
3 dengan
? Menu makanan jam sebelum dan
peningkatan
yang disajikan sesudah makan.
produksi
habis 5. Atur makanan dengan
spuntum/batuk,
? Peningkatan protein/kalori tinggi
dyspnea atau
berat badan tanpa yang disajikan pada
anoreksia
peningkatan waktu klien merasa
edema paling suka untuk
memakannya.
6. Konsul dengan
dokter/shli gizi bila
klien tidak
mengkonsumsi nutrien
yang cukup.

Anda mungkin juga menyukai