Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

LAKI-LAKI 43 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU


DAN KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh:
Dery Wahyudi I4061212013

Pembimbing:
dr. Risa F. Musawaris, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PULMONOLOGI


RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2023
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul:

Laki-laki 43 tahun dengan Tuberkulosis Paru dan Karsinoma Nasofaring

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Pulmonologi RSUD dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, September 2023


Disetujui oleh Penyusun

dr. Risa F. Musawaris, Sp.P Dery Wahyudi


Dokter Spesialis Paru I4061212013
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis


yang menyerang paru-paru. Sistem organ yang paling sering terkena meliputi sistem pernapasan,
sistem gastrointestinal, sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem muskuloskeletal,
sistem reproduksi, dan hati. Upaya memberantas TB telah membuahkan hasil positif terutama
sejak tahun 2000 ketika World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa tingkat
kejadian global untuk tuberkulosis telah turun 1,5% setiap tahun. Lebih jauh lagi, kematian
akibat tuberkulosis telah secara signifikan dan terus menurun. WHO melaporkan penurunan 22%
kematian TB global dari tahun 2000 hingga 20151.
Terlepas dari kemajuan dalam pengendalian tuberkulosis dan penurunan kasus baru dan
kematian, TB masih merupakan beban besar morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.
Sebagian besar beban global infeksi baru dan kematian tuberkulosis ditanggung oleh negara-
negara berkembang dengan 6 negara, India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika
Selatan, menyumbang 60% dari kematian TB pada tahun 20152. Tuberkulosis tetap menjadi
penyebab signifikan penyakit dan kematian di negara maju terutama di antara individu dengan
sistem kekebalan yang tertekan. Tuberkulosis menyumbang 35% dari kematian global pada
individu dengan HIV/AIDS pada tahun 2015. Anak-anak juga rentan, dan tuberkulosis
bertanggung jawab atas satu juta penyakit pada anak-anak pada tahun 2015 menurut WHO3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
infeksi bakteri berbentuk batang, Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis
adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman
TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru, tapi bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura,
kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya4.

2.2 Etiologi dan Transmisi


Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara.
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan M.TB.
Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan
penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe orofaring saat
seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Angka kejadian
infeksi M.bovis pada manusia sudah mengalami penurunan signifikan di negara
berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah
diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak. Infeksi
terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan.
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik
renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan
yang menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan
jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter
1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan
dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil,
percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi.
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruangdan
ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru
hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru.
Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi
mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke organisme lain.
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim
ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang lebih
lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan cepat,
namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak
dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan risiko
penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut berkembang
menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu
dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi penyakit
TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif4.
.
2.3 Epidemiologi2
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC(CI8,8
juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara
dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan
Pakistan seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.1. Estimasi kasus TBC5

Gambar 2.2. Negara-negara dengan beban tinggi TB, TB/HIV, dan TB-
MDR5
World Health Organization mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high
burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan
MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat
masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam
ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3
indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi
penyakit TBC.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017
(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017
pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan
Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan
pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi
kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok
dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh
partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan
yang merokok.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC
dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar759 per 100.000 penduduk berumur
15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk
berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,
prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi reaktivasi TBC dan durasi paparan
TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi
kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin
rendah prevalensi TBC.
Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan,prevalensi semakin rendah
seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Kesakitan TBC menurut kuintil indeks
kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok terbawah sampai
dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas. Hal ini berarti
risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi.

2.4 Faktor Risiko


Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
a. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
b. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
c. Perokok
d. Konsumsi alkohol tinggi
e. Anak usia <5 tahun dan lansia
f. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.
g. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
h. Petugas kesehatan

2.5 Patogenesis
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana nukleus
percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian akan
memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada
kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang
mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini,
basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam sekali di
dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun eksotoksin,
sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian
akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang
merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang
dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan merusak
makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian
akan menstimulasi respon imun.
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui
sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke
organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap replikasi
basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi
oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang,
dan otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri
Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum
terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.
a. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel
basili. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering
diartikan sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia
berapapun pada individu yang belum pernah terpapar M.TB sebelumnya.
Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan menempati alveolus
terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus superior atau
bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian mengalami terfagosistosis
oleh makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan
bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat
melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain
bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus
infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut
sebagai Ghon focus.
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus
melalui jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks
(Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis
kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun
spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili
yang terfagositosis. Fokus primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang
kemudian terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer
akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya
terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika
sistem imun host adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus
primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman
laten”.
Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan
hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa
kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan
bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa
bulan. TB primer progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya
fokus primer, sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran
nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis
yang serupa dengan TB post primer.
b. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host
yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode
laten yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer.
Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan
selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai
kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi
ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh
kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil
kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya
infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih
sering terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks mungkin
dapat memperlihatkan gambaran limfadenopatiintratorakal dan infiltrat pada
lapang paru. TB post-primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun
dapat juga melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer
adalah ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru
yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan
biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal.
2.6 Klasifikasi dan Tipe Pasien1
Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai terduga
TB). Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang terbukti
positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji bakteriologi adalah
sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
d. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif
oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
b. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
c. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
d. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan
pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan
pada pasien dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung diagnosis TB
b. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada kasus
meningitis TB, TB milier, pasien dengan HIV positif, perikarditis TB dan TB
adrenal.

Klasifikasi TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan
berdasarkan :
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis
1) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
2) TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila
memakai obat program).
2) Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut
3) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali
(karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
4) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
5) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT
1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan
berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
6) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
7) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
1) Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
2) Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H)
dan rifampisin (R) secara bersamaan.
4) Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
5) Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB
MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap
rifampisin.
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV
1) Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil
tes HIV-positif, baik yang dilakukan pada saat penegakan diagnosis
TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di register HIV (register
pra ART atau register ART).
2) Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil
negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB.
Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian hari harus kembali
disesuaikan klasifikasinya.
3) Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB
terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki
hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam
register HIV. Bila pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus
kembali disesuaikan klasifikasinya.

2.7 Gejala Klinis


Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut:
a. Batuk ≥ 2 minggu
b. Batuk berdahak
c. Batuk berdahak dapat bercampur darah
d. Dapat disertai nyeri dada
e. Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

2.8 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher (kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah axilla. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”.

2.9 Pemeriksaan Bakteriologi


Pemeriksaan bakteriologi meliputi pemeriksaan dahak, sekret bronkus dan
bahan aspirasi cairan pleura. Pemeriksaan dahak antara lain pemeriksaan
mikroskopis, kultur dan tes resistensi. Tentunya nilai tertinggi pemeriksaan dahak
adalah hasil kultur yang positif, yakni yang tumbuh adalah M. tuberculosis yang
sesungguhnya. Namun kultur ini tidak dapat dilakukan di semua laboratorium di
Indonesia dan pemeriksaan ini cukup mahal dan memakan waktu yang lama
sekitar 3 minggu. Oleh sebab itu pemeriksaan dahak secara mikroskopis sudah
dianggap cukup untuk menentukan diagnosis TB dan sudah dibenarkan pemberian
pengobatan dalam rangka penyembuhan penderita TB.4
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :5
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
b. Scanty TB Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
bakteri yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.10 Pemeriksaan Radiologi6


Tidak ada gambaran khas TB pada paru, secara radiologis TB dapat
memberi gambaran bermacam-macam, dapat berupa:
a. Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah.
b. Bayangan berawan atau berbercak.
c. Adanya kavitas tunggal atau ganda.
d. Bayangan bercak milier.
e. Bayangan efusi pleura umumya unilateral.
f. Destroyed lobe sampai destroyed lung.
g. Fibrosis
h. Kalsifikasi.
i. Schwarte/penebalan pleura
Klasifikasi TB post primer secara radiologis
a. Lesi minimal
Luas lesi yang terlihat tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median,
apek dan iga 2 depan, lesi soliter dapat berada dimana saja, tidak ditemukan adanya
kavitas.
b. Lesi lanjut sedang
Luas sarang-sarang yang berupa bercak tidak melebihi luas satu paru, bila ada
kavitas ukurannya tidak lebih 4 cm, bila ada konsolidasi tidak lebih dari satu lobus.
c. Lesi sangat lanjut
Luas lesi melebihi lesi minimal dan lesi lanjut sedang, tetapi bila ada kavitas ukuran
lebih dari 4 cm.
2.11 Diagnosis
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis
untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk
pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain),
pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik cepat
yang telah rekomendasi WHO. Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau
mutunya melalui sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada
daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus TB BTA
positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif.
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal terhadap
rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien berikut:
a. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini dikarenakan TB resistan
obat banyak ditemukan terutama pada pasien yang memiliki riwayat gagal
pengobatan sebelumnya.
b. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya mereka yang tinggal
di daerah dengan prevalensi TB resistan obat yang tinggi.
c. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.
d. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
e. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir fase
intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA pada bulan berikutnya.
Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan 2 metode:
a. Metode konvensional uji kepekaan obat
Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2 macam
medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT
(Mycobacterium growth indicator tube). Biakan M.TB pada media cair
memerlukan waktu yang singkat minimal 2 minggu, lebih cepat dibandingkan
biakan pada medium padat yang memerlukan waktu 28-42 hari.
b. Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat)
Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini
merupakan metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di
Indonesia. Metode molekuler dapat mendeteksi M.TB dan membedakannya
dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM). Selain itu metode molekuler
dapat mendeteksi mutasi pada gen yang berperan dalam mekanisme kerja
obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO merekomendasikan penggunaan
Xpert MTB/RIF untuk deteksi resistan rifampisin. Resistan obat
antituberkulosis lini 2 direkomendasikan untuk menggunakan second line
line probe assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap obat
antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis golongan fluorokuinolon.
Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen pengkode resistensi OAT
lainnya saat ini dapat dilakukan dengan metode sekuensing, yang tidak dapat
diterapkan secara rutin karena memerlukan peralatan mahal dan keahlian
khusus dalam menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan
molekular line probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada spesimen
sputum. Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan
gen pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam
waktu 2 (dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode
konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold standard).
Penggunaan TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan uji
kepekaan konvensional yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
definitif TB, terutama pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopis apusan
BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk mengetahui resistensi OAT selain
rifampisin.
Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara ekspektorasi
spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur
invasif seperti bronkoskopi atau torakoskopi. Pemeriksaan tambahan pada
semua pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis klinis
adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain.

Terduga TB

Gambar 2.1. Alur diagnosis TB1


2.12 Tatalaksana1,5
a. Tujuan pengobatan TB adalah :
1) Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan
produktivitas pasien
2) Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
3) Mencegah kekambuhan TB
4) Mengurangi penularan TB kepada orang lain
5) Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat
b. Prinsip Pengobatan TB :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
2) Diberikan dalam dosis yang tepat
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
c. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :
1) Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap
ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien
baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan
sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
2) Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa- sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi
tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat
diberikan setiap hari.
d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan yang digunakan adalah ;
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat
TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Catatan:
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia
dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali
perminggu) dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan
(Tabel 3 Dosis rekomendasi OAT Lini Pertama untuk pasien Dewasa). Penyediaan
OAT dengan dosis harian saat ini sedang dalam proses pengadaan oleh Program TB
Nasional.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa
pengobatan.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk pasien yang tidak bisa
menggunakan paduan OAT KDT.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien untuksatu (1) masa pengobatan.
Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien untuk satu (1)
masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
1) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan kesalahan penulisan resep.
2) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
e. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya Pengobatan TB dengan
paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis
harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan mengacu pada
dosis terapi yang telah direkomendasikan.

Tabel 2.1. Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa5


1) Kategori-1:
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
c) Pasien TB ekstra paru.
Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))

Tabel 2.2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))5

f. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat


pengobatan sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir
fase intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Bila
BTA sputum positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan
kedelapan), maka pengobatan dinyatakan gagal dan lakukan pemeriksaan TCM,
biakan dan uji kepekaan. Hasil pengobatan ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pada akhir pengobatan.
Tabel 2.3. Definisi hasil pengobatan

Hasil Definisi
Pasien TB paru dengan konfirmasi
bakteriologis positif pada awal pengobatan
dan BTA sputum negatif atau biakan
Sembuh
negatif pada akhir pengobatan dan
memiliki hasil pemeriksaan negatif pada
salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap dantidak
memiliki bukti gagal pengobatan tetapi juga
Pengobatan tidak memiliki hasil BTA sputum atau
lengkap biakan negatif pada akhir pengobatan dan
satu pemeriksaan sebelumnya, baik karena
tidak dilakukan atau karena hasilnya tidak
ada.

Pasien TB dengan hasil pemeriksaan


Pengobatan
BTA sputum atau biakan positif pada
gagal
bulan kelima atau akhir pengobatan.

Pasien TB yang meninggal dengan


Meninggal alasan apapun sebelum dan selama
pengobatan TB

Pasien TB yang tidak memulai


pengobatan setelah terdiagnosis TB atau
Putus obat
menghentikan pengobatan selama 2 bulan
berturut-turut atau lebih

Tidak dievaluasi Pasien yang tidak memiliki hasil


pengobatan pada saat akhir pelaporan
kohort pengobatan, termasuk pasien yang
sudah pindah ke fasilitas kesehatan lain
dan tidak diketahui hasil pengobatannya
oleh fasilitas yang merujuk pada batas
akhir pelaporan kohort pengobatan.
Keberhasilan Jumlah kasus dengan hasil
pengobatan pengobatan sembuh dan lengkap.
g. Efek samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil dapat
mengalami efek samping yang signifikan sehingga mengganggu pekerjaannya
sehari-hari. Penting dilakukannya pemantauan gejala klinis pasien selama
pengobatan sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat dideteksi segera dan
ditata laksana dengan tepat.
Neuropati perifer menunjukkan gejala kebas atau rasa seperti terbakar
pada tangan atau kaki. Hal ini sering terjadi pada perempuan hamil, orang dengan
HIV, kasus penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik,
dan gagal ginjal. Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan
pencegahan dengan piridoksin 25 mg/hari diberikan bersama dengan OAT.
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek
mayor dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya
melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada pasien yang
mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab
sebaiknya dihentikan pemberiannya.
Tata laksana efek samping dapat dilihat pada Tabel 3.4. Efek samping
dibagi atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan. Bila terjadi efek
samping yang masuk ke dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan segera
dan pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.
Tabel 2.4. Pendekatan berdasarkan gejala untuk mengobati efek
samping dari OAT

h. Pengawasan dan ketaatan pasien dalam pengobatan OAT


Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai
kesembuhan, mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat. Pada
“Stop TB Strategy” mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT
merupakan landasan DOTS dan membantu pencapaian target keberhasilan
pengobatan 85%. Kesembuhan pasien dapat dicapai hanya bila pasien dan
petugas pelayanan kesehatan bekerjasama dengan baik dan didukung oleh
penyedia jasa kesehatan dan masyarakat.
Pengobatan dengan pengawasan membantu pasien untuk minum OAT
secara teratur dan lengkap. Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)
merupakan metode pengawasan yang direkomendasikan oleh WHO dan
merupakan paket pendukung yang dapat menjawab kebutuhan pasien. Pengawas
menelan obat (PMO) harus mengamati setiap asupan obat bahwa OAT yang
ditelan oleh pasien adalah tepat obat, tepat dosis dan tepat interval, disamping
itu PMO sebaiknya adalah orang yang telah dilatih, dapat diterima baik dan
dipilih bersama dengan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan
petugas kesehatan akan memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi,
identifikasi dan solusi masalah-masalah selama pengobatan TB. Directly
observed treatment short course sebaiknya diterapkan secara fleksibel dengan
adaptasi terhadap keadaan sehingga nyaman bagi pasien.

i. Pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB


Pencatatan dan pelaporan adalah komponen penting dalam program nasional TB,
hal ini dilakukan agar bisa didapatkannya data yang kemudian dapat diolah,
dianalisis, diinterpretasi, disajikan serta kemudian disebarluaskan. Data yang
dikumpulkan harus merupakan data yang akurat, lengkap dan tepat waktu
sehingga memudahkan proses pengolahan dan analisis data. Data program TB
diperoleh dari pencatatan yang dilakukan di semua sarana pelayanan kesehatan
dengan satu sistem baku yang sesuai dengan program TB, yang mencakup TB
sensitif dan TB RO.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. FR
Usia : 43 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Singkawang Timur
Pekerjaan : Buruh bangunan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum kawin
Suku : Melayu
Nomor RM : 18****
Tanggal Masuk RS : 20 September 2023
Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2023

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Sesak napas
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Tn. FR usia 43 tahun datang ke IGD RSUD dr. Soedarso dengan
keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 10 hari SMRS. Sesak napas dirasakan
hilang datang, dicetuskan dan diperberat dengan batuk, serta dirasa semakin
memberat atau sering sejak 3 hari SMRS. Keluhan sesak tidak dipicu oleh suatu
alergi, debu, atau sejenisnya, tidak terpicu ketika beraktifitas, dan tidak begitu
spesifik memberat ketika di malam hari saja.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak putih sejak lebih
dari 10 hari SMRS, demam naik turun sejak 10 hari SMRS, mudah berkeringat
di malam hari ketika tidak beraktifitas sejak 1 bulan belakangan, serta nafsu
makan dirasa menurun dalam 1 bulan belakangan sehingga badan dirasa semakin
lemah dan berat badan dirasa turun.
Keluhan lain seperti batuk keluar darah, bengkak pada ekstremitas, nyeri
dada, serta hilang penciuman/perasa disangkal oleh pasien. BAB dan BAK diakui
tidak ada keluhan.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil dan karsinoma nasofaring yang
terdiagnosis sejak awal tahun 2023. Riwayat seperti hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung, tuberkulosis, penyakit imunokompromis, dan penyakit kronis
lainnya disangkal.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan serupa. Riwayat seperti
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, tuberkulosis, dan penyakit kronis
lainnya pada keluarga juga disangkal.

3.2.5 Riwayat Alergi


Pasien mempunyai riwayat asma tapi tidak bisa menyebutkan pencetus
asmanya. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.

3.2.6 Riwayat Pengobatan


Pasien belum pernah berobat untuk keluhannya saat ini. Pasien saat ini
terdiagnosis dengan karsinoma nasofaring dan masih dalam pengobatan
radioterapi di RS Dharamis Jakarta tapi terhenti pada siklus ke-12 dari 30 siklus
yang harus dijalani karena keterbatasan biaya. Pasien juga sempat menerima
trakeostomi terkait pengobatan karsinoma nasofaring yang dideritanya. Riwayat
penggunaan obat imunosupresan jangka panjang disangkal oleh pasien.

3.2.7 Riwayat Kebiasaan


Pasien mengakui mempunyai kebiasaan merokok sejak usia remaja dengan
frekuensi satu bungkus per hari dan berhenti ketika pasien terdiagnosa karsinoma
nasofaring. Kebiasaan konsumsi alkohol disangkal oleh pasien.

3.2.8 Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang lulusan SMA yang saat ini bekerja sebagai
buruh bangunan. Pasien mengaku belum menikah serta tinggal bersama
saudaranya. Pasien tinggal di area pemukiman yang tidak begitu padat dengan
akses air bersih cukup dan ventilasi ruangan yang diakui cukup. Pasien juga
mengalami kesulitan dalam pembiayaan hidup sehingga pengobatan radioterapi
terkait karsinoma nasofaring yang diderita olehnya terpaksa belum bisa
dilanjutkan. Pasien dirawat menggunakan BPJS kelas 3. Riwayat kontak TB (-).

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Pemeriksaan Tanda Vital
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 118/76 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36.7ºC
SpO2 : 96% on nasal kanul 3 lpm
Berat badan : 49 kg
Tinggi badan : 169 cm
BMI : 17,16 kg/m2

3.3.2 Status Generalisata


• Kepala : Normocephali
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL/TL(+/+)
• Telinga : Secret telinga (-/-), darah (-/-)
• Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (+/+), cuping hidung (-)
• Mulut : Lidah kotor (-), bibir sianosis (-)
• Leher : Leher simetris, terdapat stoma trakeostomi, pembesaran KGB (-)
• Paru
o Inspeksi: Bentuk dada normal, gerak dada simetris kiri-kanan, retraksi
dada (-), kemerahan (-), jejas (-), massa/benjolan (-)
o Palpasi : Tidak ada benjolan, nyeri tekan (-), massa (-), stem fremitus
normal pada kedua lapang paru
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru (+/+)
o Auskultasi : SND vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
• Jantung
o Inspeksi : Gerak simestris, ictus cordis terlihat
o Palpasi : Ictus cordis teraba
o Perkusi : Batas jantung normal
o Auskultasi: Bunyi jantung I/II Normal, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen
o Inspeksi : Soepel (+), distensi (-)
o Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
o Auskultasi : Peristaltik usus normal
• Ekstremitas Superior : Hangat, edema (-), sianosis (-)
• Ekstremitas Inferior : Hangat, edema (-), sianosis (-)
• Anogenital : Tidak dilakukan pemeriksaan.

3.3.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium Darah
Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil Keterangan
Pemeriksaan Lab Hematologi
20 September 2023
Leukosit 4,5-11 x 103/μL 12,95 Meningkat
Eritrosit 4,2-5,4 x 106/μL 4,83
Hemoglobin 11,7-15,5 g/dL 13,8
HCT 38-47% 39,5
MCV 80-99 Fl 81,8
MCH 27-32 pg 28,6
MCHC 32-36 g/dL 34,9
PLT 150-440 x 103/μL 596 Meningkat
Eosinophil 2-4% 0,9 Menurun
Neutrophil 50-70% 80,2 Meningkat
Limfosit 25-40% 10,3 Menurun
Monosit 2-8% 8,2 Meningkat
Kimia Klinik
18 September 2023
Ureum 13-43 mg/dL 33,2
Kreatinin 0,60-1,20 mg/dL 0,91
SGOT/AST 1-40 U/L 72,5 Meningkat
SGPT/ALT 1-34 U/L 63,4 Meningkat
Albumin 3,8-5,5 gr/dL 3,30 Menurun
GDS 70-150 mg/dL 78
Natrium 135-145 mmol/L 134,2 Menurun
Kalium 3,50-5,10 mmol/L 3,76
Klorida 96-106 mmol/L 104,39
Kalsium 1,12-1,32 mg/dL 1,02 Menurun
Kimia Klinik
24 September 2023
SGOT/AST 1-40 U/L 22,0
SGPT/ALT 1-34 U/L 15,11
Imunologi
18 September 2023
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Non Reaktif Non Reaktif
b. X-Ray Thorax (18 September 2023)
Foto Thorax Proyeksi PA,
identitas dan marker jelas,
penetrasi baik, inspirasi cukup
Trakea : Tidak tampak deviasi
Cor : bentuk jantung baik,
ukuran normal, CTR <50%
Pulmo : tampak fibroinfiltrat
pada pulmo dextra, hilus kiri
kanan baik, pulmo sinistra baik.
Diafragma licin, sinus
kostofrenikus lancip Soft tissue
baik, tulang-tulang intak
Kesan: Sugestif TB paru

c. Tes Cepat Molekular (TCM) MTB (25 September 2023)


MTB Not Detected

3.4 Resume Medis


Pasien Tn. FR usia 43 tahun datang ke IGD RSUD dr. Soedarso dengan keluhan
sesak napas yang dirasakan sejak 10 hari SMRS. Sesak napas dirasakan hilang datang,
dicetuskan dan diperberat dengan batuk, serta dirasa semakin memberat atau sering sejak
3 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dengan dahak putih sejak lebih
dari 10 hari SMRS, demam naik turun sejak 10 hari SMRS, mudah berkeringat di malam
hari ketika tidak beraktifitas sejak 1 bulan belakangan, serta nafsu makan dirasa menurun
dalam 1 bulan belakangan sehingga badan dirasa semakin lemah dan berat badan dirasa
turun. Keluhan lain disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat asma dan karsinoma
nasofaring yang terdiagnosis sejak awal tahun 2023. Riwayat penyakit keluarga, alergi,
dan pengobatan terkait keluhan utama disangkal. Pasien mengakui mempunyai
kebiasaan merokok sejak usia remaja dengan frekuensi satu bungkus per hari. Riwayat
kontak pasien TB disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal, IMT 17,6 kg/m2
(mild thinness). Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal kecuali pada leher
didapatkan stoma trakeostomi. Pemeriksaan fisik paru baik inspeksi, palpasi, perkusi,
maupun auskultasi dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan mulai dari pemeriksaan laboratorium,
radiologi, dan bakteriologis. Pada pemeriksaan laboratorium darah dan kimia klinik
ditemui peningkatan pada leukosit (12.950), SGOT (72,5), dan SGPT (63,4). Pada
radiologi thorax PA ditemukan adanya fibroinfiltrat pada pulmo dextra dengan kesan
sugestif TB paru. Pemeriksaan bakteriologis dengan TCM MTB menunjukkan hasil
“MTB Not detected”.

3.5 Diagnosis
Diagnosis kerja :
a. Tuberkulosis Paru
b. Karsinoma Nasofaring
Diagnosis banding :
a. Pneumonia
b. Tuberkulosis ekstrapulmonal
c. Metastasis pulmonal

3.6 Saran Pemeriksaan Penunjang


a. Biakan bakteri MTB media padat (LowensteinJensen)
b. Uji kepekaan obat

3.7 Tatalaksana
a. Terapi Non-Medikamentosa
1) Rawat inap di ruang isolasi
2) Observasi tanda vital dan saturasi oksigen (pertimbangkan terapi oksigen jika
diperlukan)
3) Konsultasi dokter spesialis penyakit dalam terkait temuan gangguan fungsi
hepar pada pemeriksaan SGOT/SGPT
4) Konsultasi gizi terkait kebutuhan asupan gizi dan kebutuhan diet putih telur
5) Edukasi terkait faktor risiko modifiable terutama kebiasaan merokok
6) Edukasi terkait kepatuhan minum OAT dan follow-up berkala
7) Edukasi terkait pencegahan penularan penyakit TB
b. Terapi Medikamentosa
1) Inf. IVFD RL 20 tpm
2) Inf. B Fluid 500 ml + Inj. Mersibion 1 amp/hari
3) Inf. Gabaxa 100 ml dalam NaCl 0,9% 100 ml/hari
4) Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
5) Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
6) 4FDC 1x3 tab PO pagi 1 jam sebelum makan
✓ Rifampisin 150 mg
✓ Isoniazid 75 mg
✓ Pirazinamid 400 mg
✓ Etambutol 275 mg
7) N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
8) Curcuma 3x1 tab PO
9) Urdafalk 3x250 mg PO
10) Tracetate susp syr 3x10 ml PO

3.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
3.9 Follow-up Pasien
Waktu &
S O A P
Tempat
Kamis Dirawat hari ke-2, batuk KU: TSS TB Paru • Konsul dokter spesialis penyakit dalam a/I
21/9/2023 berdahak, sesak dirasa Kes: CM Karsinoma gangguan fungsi hepar
Ruang Isolasi muncul kadang-kadang, TD: 130/82 mmHg nasofaring
• Follow-up hasil TCM
TB nafsu makan menurun, HR: 94 x/menit
badan dirasa lemas, RR: 22 x/ menit • Terapi oksigen nasal kanul 3 lpm
demam (-) SpO2: 97% on NK 3 lpm • Terapi medikamentosa
Suhu: 36,6°C ✓ Inf. IVFD RL 20 tpm
SP : Vesikuler (+/+) ✓ Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
ST : Wheezing (-/-) ✓ Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
Rhonki (-/-) ✓ N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
✓ Curcuma 3x1 tab PO
SGOT: 72,5 (high)
SGPT: 63,4 (high)
Jumat Dirawat hari ke-3, batuk KU: TSS TB Paru • Follow-up hasil TCM
22/9/2023 berdahak, sesak dirasa Kes: CM Karsinoma
• Terapi oksigen nasal kanul 3 lpm
Ruang Isolasi berkurang, nafsu makan TD: 120/85 mmHg nasofaring
TB menurun, badan dirasa HR: 77 x/menit • Terapi medikamentosa
lemas, demam (-) RR: 21 x/ menit ✓ Inf. IVFD RL 20 tpm
SpO2: 97% on NK 3 lpm ✓ Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
Suhu: 36,7°C ✓ Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
SP : Vesikuler (+/+) ✓ N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
ST : Wheezing (-/-) ✓ Curcuma 3x1 tab PO
Rhonki (-/-) • Hasil konsul dr Sp.PD
✓ Urdafalk 3x250 mg PO
✓ Periksa SGOT/SGPT (H+2)
• Hasil konsul dr Sp.THT
✓ Konsul jika terdapat keluhan terkait
trakeostomi
Sabtu Dirawat hari ke-4, batuk KU: TSS TB Paru • Follow-up hasil TCM
23/9/2023 berdahak, sesak dirasa Kes: CM Karsinoma
• Terapi oksigen nasal kanul 3 lpm
Ruang Isolasi berkurang, nafsu makan TD: 118/76 mmHg nasofaring
TB menurun, badan dirasa HR: 78 x/menit • Terapi medikamentosa
lemas, demam (-) RR: 22 x/ menit ✓ Inf. IVFD RL 20 tpm
SpO2: 98% on NK 3 lpm ✓ Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
Suhu: 36,7°C ✓ Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
SP : Vesikuler (+/+) ✓ N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
ST : Wheezing (-/-) ✓ Curcuma 3x1 tab PO
Rhonki (-/-) ✓ Urdafalk 3x250 mg PO
Minggu Dirawat hari ke-5, batuk KU: TSS TB Paru • Follow-up hasil TCM
24/9/2023 berdahak, sesak dirasa Kes: CM Karsinoma
• Terapi oksigen nasal kanul 3 lpm
Ruang Isolasi tidak muncul kembali, TD: 113/70 mmHg nasofaring
TB nafsu makan menurun, HR: 74 x/menit • Cek kadar albumin
badan dirasa lemas, RR: 20 x/ menit • Terapi medikamentosa
demam (-) SpO2: 98% on NK 3 lpm ✓ Inf. IVFD RL 20 tpm
Suhu: 36,7°C ✓ Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
SP : Vesikuler (+/+) ✓ Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
ST : Wheezing (-/-) ✓ N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
Rhonki (-/-) ✓ Curcuma 3x1 tab PO
✓ Urdafalk 3x250 mg PO
SGOT: 22,0 (normal)
SGPT: 15,1 (normal)
Senin Dirawat hari ke-6, batuk KU: TSS TB Paru • Terapi oksigen nasal kanul 3 lpm
25/9/2023 berdahak dirasa Kes: CM Karsinoma • Diet putih telur
Ruang Isolasi berkurang, sesak (-), TD: 103/68 mmHg nasofaring • Konsultasi ke gizi
TB nafsu makan mulai HR: 74 x/menit • Terapi medikamentosa
membaik, demam (-) RR: 20 x/ menit ✓ Inf. IVFD RL 20 tpm
SpO2: 97% on NK 3 lpm ✓ Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
Suhu: 36,5°C ✓ Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
✓ N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
SP : Vesikuler (+/+) ✓ Curcuma 3x1 tab PO
ST : Wheezing (-/-) ✓ Urdafalk 3x250 mg PO
Rhonki (-/-) ✓ Tracetate susp syr 3x10 ml PO
✓ 4FDC 1x3 tab PO
TCM:MTB not detected - Rifampisin 150 mg
Albumin: 3,30 g/dl (low) - Isoniazid 75 mg
- Pirazinamid 400 mg
- Etambutol 275 mg
✓ Inf. B Fluid 500 ml + Inj. Mersibion 1 amp/hari
✓ Inf. Gabaxa 100 ml dalam NaCl 0,9% 100
ml/hari
Selasa Dirawat hari ke-7, batuk KU: TSS TB Paru • Diet putih telur
26/9/2023 berdahak dirasa Kes: CM Karsinoma • Terapi medikamentosa
Ruang Isolasi berkurang, sesak (-), TD: 116/76 mmHg nasofaring ✓ Inf. IVFD RL 20 tpm
TB nafsu makan mulai HR: 82 x/menit ✓ Inj. Ranitidine 2x50 mg IV
membaik, demam (-) RR: 20 x/ menit ✓ N-AcetylCysteine 3x200 mg PO
SpO2: 99% room air ✓ Curcuma 3x1 tab PO
Suhu: 36,6°C ✓ Urdafalk 3x250 mg PO
✓ Tracetate susp syr 3x10 ml PO
SP : Vesikuler (+/+) ✓ 4FDC (RHZE) 1x3 tab PO
ST : Wheezing (-/-) ✓ Inf. B Fluid 500 ml + Inj. Mersibion 1 amp/hari
Rhonki (-/-) ✓ Inf. Gabaxa 100 ml dalam NaCl 0,9% 100
ml/hari
• BLPL
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Penegakan Diagnosis: Anamnesis


Pasien Tn. FR usia 43 tahun datang ke IGD RSUD dr. Soedarso dengan
keluhan sesak napas yang dirasakan sejak 10 hari SMRS. Sesak napas merupakan
suatu sensasi subjektif dari ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari berbagai
sensasi dengan intensitas yang berbeda-beda. Ini merupakan manifestasi utama
penyakit pernapasan, jantung, neuromuskular, psikogenik, sistemik, atau
kombinasi dari semuanya. Dispnea dapat bersifat akut atau kronis, akut terjadi
selama berjam-jam hingga berhari-hari, dan kronis terjadi lebih dari 4 hingga 8
minggu6. Oleh karena itu, penting untuk menyingkirkan diagnosa diferensial
sedini mungkin mulai dari anamnesis.

Komponen kunci dari anamnesis yang harus dikumpulkan meliputi awitan,


durasi, dan kejadian saat istirahat atau beraktivitas6. Pada penelusuran anamnesis
terkait keluhan utama didapati bahwa sesak napas dirasakan hilang datang,
dicetuskan dan diperberat dengan batuk, serta dirasa semakin memberat atau
sering sejak 3 hari SMRS. Keluhan sesak tidak dipicu oleh suatu alergi, debu, atau
sejenisnya, tidak terpicu ketika beraktifitas, dan tidak begitu spesifik memberat
ketika di malam hari saja.
Selain itu, penting untuk menelusuri gejala lain pada kasus pasien sesak
napas. Adanya batuk dapat mengindikasikan adanya asma, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), atau pneumonia. Sakit tenggorokan yang parah bisa
mengindikasikan epiglotitis. Nyeri dada pleuritik mungkin mengindikasikan
perikarditis, emboli paru, pneumotoraks, atau pneumonia. Ortopnea, dispnea
paroksismal nokturnal, dan edema menunjukkan kemungkinan diagnosis gagal
jantung kongestif. Jika terdapat gangguan pencernaan atau disfagia,
pertimbangkan penyakit refluks gastroesofageal atau aspirasi sekresi lambung di
paru-paru. Adanya demam sangat menunjukkan etiologi infeksi.
Penelusuran anamnesis pada pasien didapatkan bahwa pasien mengeluhkan
batuk berdahak dengan dahak putih sejak lebih dari 10 hari SMRS, demam naik
turun sejak 10 hari SMRS, mudah berkeringat di malam hari ketika tidak
beraktifitas sejak 1 bulan belakangan, serta nafsu makan dirasa menurun dalam 1
bulan belakangan sehingga badan dirasa semakin lemah dan berat badan dirasa
turun. Keluhan lain seperti batuk keluar darah, bengkak pada ekstremitas, nyeri
dada, serta hilang penciuman/perasa disangkal oleh pasien. BAB dan BAK diakui
tidak ada keluhan. Berdasarkan temuan pada anamnesis ini maka dapat
dikerucutkan bahwa keluhan pasien terkait dengan adanya penyakit infeksi yang
mendasari. Keluhan yang mengarah pada masalah kardiovaskular maupun
gastrointestinal perlahan dapat disingkirkan, tapi masih butuh konfirmasi pada
pemeriksaan lanjutan. Maka, terdapat diagnosis banding yang dapat
disederhanakan yakni pneumonia dan tuberkulosis paru.
Pasien dengan pneumonia biasanya datang dengan kombinasi (i) gejala
pernapasan, khususnya batuk (∼ 75%), sesak napas (∼ 65%), produksi sputum (∼
30%) dan nyeri dada (∼ 30%), dan (ii) gejala sistemik termasuk demam, kaku,
mialgia, dan kebingungan7. Sedangkan tuberkulosis paru tergantung pada lokasi
lesi, sehingga dapat menunjukkan manifestasi klinis mulai dari batuk ≥ 2 minggu,
batuk berdahak, batuk berdahak dapat bercampur darah, dapat disertai nyeri dada,
sesak napas, serta dengan gejala lain meliputi malaise, penurunan berat badan,
menurunnya nafsu makan, menggigil, demam, dan berkeringat di malam hari1.
Jika telaah lebih lanjut, maka gejala dan tanda pada pasien sebagian besar
mengarah ke tuberkulosis paru dengan status terduga (presumptive) pasien TB,
yakni seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB
(sebelumnya dikenal sebagai terduga TB).
Hal lain yang perlu ditelusuri adalah berkenaan dengan faktor risiko yang
bisa diperoleh melalui anamnesis terkait riwayat penyakit dahulu. Pada kasus ini,
pasien memiliki riwayat asma sejak kecil serta karsinoma nasofaring yang
terdiagnosis sejak awal tahun 2023 dan masih dalam pengobatan radioterapi di RS
Dharamis Jakarta tapi terhenti pada siklus ke-12 dari 30 siklus. Riwayat penyakit
lainnya, keluarga, alergi makanan dan obat disangkal. Karsinoma nasofaring pada
perkembangannya dapat terjadi perubahan genetik lain yang didapat (termasuk
perubahan TP53, gen yang terlibat dalam renovasi kromatin dan komponen jalur
PI3K-MAPK) yang berkontribusi terhadap tumor perkembangan tumor, terjadinya
kekambuhan lokal dan metastasis jauh bahkan sampai ke paru8. Kecurigaan
adanya metastasis pada paru akibat dari karsinoma nasofaring dapat menjadi
pertimbangan diagnosis yang kemudaina dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan
radiologis agar bisa menentukan ada tidaknya metastasis.
Karsinoma nasofaring sendiri dapat menjadi faktor risiko dari tuberculosis.
kanker dapat menyebabkan malnutrisi dan berkurangnya fungsi kekebalan tubuh
secara langsung akibat penyakit tersebut atau secara tidak langsung melalui efek
sekundernya. Pengobatan kanker, khususnya kemoterapi, juga berperan penting
dalam imunosupresi. Hal ini menyebabkan peningkatan risiko pengaktifan
kembali infeksi tuberkulosis (TB) laten atau infeksi TBC baru selama perjalanan
klinis kanker di daerah endemik penyakit tersebut. Pasien kanker mempunyai
risiko lebih tinggi terkena TBC. Secara khusus, infeksi sistemik dapat menjadi
risiko ketika respon imun tubuh gagal mengendalikan replikasi bakteri dan
penyakit aktif pun terjadi13.
Faktor risiko lainnya adalah kebiasaan merokok frekuensi satu bungkus per
hari. Peran asap rokok dalam patogenesis tuberkulosis berkaitan dengan disfungsi
silia, penurunan respon imun, dan kerusakan respon imun makrofag, dengan atau
tanpa penurunan jumlah CD4, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi
Mycobacterium tuberkulosis9. Hal ini jelas menunjukkan bahwa paparan asap
rokok secara pasif dan aktif berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi M.
tuberkulosis dan perkembangan tuberkulosis aktif9.
Berkenaan dengan suspek TB perlu dilakukan telusur dengan hasil tidak
adanya riwayat kontak TB, tidak adanya penyakit imunokompromis seperti HIV,
dan disangkalnya riwayat pengobatan TB. Maka berdasarkan anamnesis
pemeriksa dapat mempertimbangkan beberapa diagnosa banding pada kasus
tersebut yang didasarkan dari keluhan dan faktor risiko. Namun hal ini belum
cukup karena diperlukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menegakkan
diagnosis pada kasus pasien tersebut.

4.2 Analisis Penegakan Diagnosis: Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital dalam batas normal, IMT 17,6
kg/m2 (mild thinness). Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal
kecuali pada leher didapatkan stoma trakeostomi. Pemeriksaan fisik paru baik
inspeksi, palpasi, perkusi, maupun auskultasi dalam batas normal1. Temuan
pemeriksaan ini bisa perlahan menyingkirkan diagnose lain seperti asma yang
juga diakui dalam riwayat penyakit dahulu dan berdasarkan anamnesis serta
pemeriksaan fisik tidak mengarah kepada asma atau penyakit obstruktif karena
tidak ditemukan adanya mengi yang kemudian dikonfirmasi melalui auskultasi
berupa tidak ditemukan adanya suara tambahan seperti wheezing.
Berkenaan dengan tuberculosis pasu, pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobussuperior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum1,2.

4.3 Analisis Penegakan Diagnosis: Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan mulai dari pemeriksaan
laboratorium, radiologi, dan bakteriologis. Pada pemeriksaan laboratorium darah
dan kimia klinik ditemui peningkatan pada leukosit (12.950), SGOT (72,5), dan
SGPT (63,4). Leukositosis merupakan suatu tandanya adanya infeksi di sebagian
besar kasus yang umum pula ditemukan pada kasus pneumonia maupun
tuberculosis. Adapun peningkatan dari enzim hepar berkenaan dengan gangguan
fungsi hepar perlu dilakukan tinjauan dari penyakit dalam terkait penatalaksanaan
dan evaluasi.
Pada radiologi thorax PA ditemukan adanya fibroinfiltrat pada pulmo dextra
dengan kesan sugestif TB paru. Hal ini berbeda dengan temuan pada kasus
pneumonia yang umumnya adalah berupa konsolidasi maupun air bronchogram.
Adapaun kemudian pada pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan
bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit. Pemeriksaan bakteriologis
merujuk pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen
lain), pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode
diagnostik cepat yang telah rekomendasi WHO. Pemeriksaan bakteriologis
dengan TCM MTB pada pasien ini menunjukkan hasil “MTB Not detected”.
Berdasarkan alur diagnosis pasien terduga TB, dapat dipahami bahwa
temuan mikrobilogis negative pada TCM misalnya maka dapat dievaluasi dari
temuan foto thoraks yang selaras dengan alur apabila hasil BTA menunjukkan
negative. Evaluasi pada foto thoraks yang mendukung secara klinis akan
mengarahkan pasien terduga TB menjadi pasien TB yang terkonfirmasi secara
klinis. Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif
oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini satu diantaranya adalah Pasien TB paru BTA negatif dengan
hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB1,2.
4.4 Analisis: Planning Terapi
Sesuai dengan panduan dari penatalaksanaan tuberkulosis paru maka pada
pasien ini begitu terkonfirmasi TB secara klinis maka akan diberikan pengobatan
tuberkulosis lini pertama. Pasien akan melewati setidaknya dua fase yakni fase
awal dan lanjutan dengan 2(HRZE)/4(HR). Pengobatan tahap awal pada semua
pasien baru harus diberikan selama 2 bulan. Pengobatan TB dengan paduan OAT
lini pertama yang digunakan di Indonesia dapat diberikan dengan dosis harian.
Paduan OAT kategori-1 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Diketahui berat
badan pasien adalah 49 kg, maka pasien akan menerima 4FDC 1x3 tab PO pagi 1
jam sebelum makan dimana kombinasi obat terdiri atas Rifampisin 150 mg,
Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg.
Selain terapi terkait definitif untuk TB, pasien juga menerima terapi lainnya
seperti antibiotic dan terapi simptomatik/suportif. Ceftriaxone 1 gram diberikan
tiap 12 jam secara injeksi intravena pada pasien atas indikasi infeksi yang dilihat
dari peningkatan kadar leukosit pada hasil laboratorium. Ceftriaxone merupakan
antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang disetujui FDA, memiliki aktivitas
antimikroba terhadap organisme gram positif dan gram negatif. Umumnya,
ceftriaxone digunakan untuk berbagai infeksi seperti pneumonia, meningitis, dan
gonore. Target molekuler utamanya adalah protein pengikat penisilin10. Pemberian
ceftriaxone pada pasien ini diberikan sebelum pasien terdiagnosa TB dan sebelum
menerima terapi sesuai guidline penatalaksanaan TB.
Pemberian N-AcetylCysteine 3x200 mg per oral digunakan pada kondisi
dengan sekresi lendir yang tidak normal, kental atau kental seperti pneumonia,
bronkitis, trakeobronkitis, fibrosis kistik, pasien trakeostomi, komplikasi paru
pasca operasi, kondisi dada pasca trauma, dan sebelum bronkoskopi diagnostik
untuk membantu penyumbatan lendir. NAC memiliki sifat mukolitik, anti-
inflamasi, dan antioksidan11. Pemberian Ranitidine 2x50 mg injeksi intravena guna
penghambatan reversibel reseptor H2 pada sel parietal lambung mengakibatkan
penurunan volume dan konsentrasi asam lambung.
Curcuma 3x1 tab PO diberikan karena ekstrak temulawak (Curcuma
xanthorrhiza) dapat digunakan untuk membantu meningkatkan nafsu makan,
membantu menjaga daya tahan tubuh serta membantu memelihara fungsi hati.
Kurkumin memiliki sifat anti-mikroba dan imunomodulator yang kuat. Urdafalk
3x250 mg PO diberikan atas indikasi gangguan fungsi hepar yang ditunjukkan dari
peningkatan kadar SGOT/SGPT. Asam ursodeoksikolat bekerja pada hati melalui
berbagai mekanisme yang kompleks dan saling melengkapi, termasuk perubahan
pada kumpulan asam empedu, berfungsi sebagai sitoprotektan, zat
imunomodulasi, dan koleretik. Lebih lanjut senyawa ini dapat menurunkan
saturasi kolesterol empedu dengan menghambat penyerapan kolesterol di usus dan
sekresinya ke dalam empedu12. Evaluasi pemberian obat ini pada pasien
menunjukkan respon yang baik dengan turunnya kadar SGOT/SGPT ke nilai
normal setelah dua hari pemberian. Tracetate susp syr 3x10 ml PO dengan
kandungan megestrol asetat pada beberapa kasus dapat mengatasi anorexia,
cachexia, atau penurunan berat badan.
Infus B Fluid 500 ml bersama dengan Mersibion 1 amp dalam satu hari
bertujuan untuk memberikan asam amino, elektrolit, vitamin B1, dan air melalui
vena perifer kepada pasien dengan hipoproteinemia ringan atau malnutrisi ringan
akibat asupan oral yang tidak adekuat. Sedangkan infus Gabaxa 100 ml dalam
NaCl 0,9% 100 ml/hari merupakan regimen nutrisi parenteral berupa suplemen
asam amino (l-alanyl-l-glutamine) pada pasien hiperkatabolisme yang biasanya
terjadi karena sehabis terkena cedera, penyakit gagal jantung, gagal ginjal, gagal
hati serta penyakit paru konis yang membutuhkan suplemen gizi.
BAB V
KESIMPULAN

Laki-laki usia 43 tahun dengan keluhan utama sesak napas sejak 10 hari SMRS
disertai dengan batuk berdahak, demam naik turun, keringat di malam hari, penurunan
nafsu makan yang diikuti dengan penurunan berat badan. Anamnesis dan pemeriksaan
terutama pada radiologi foto thoraks mengarahkan pasien dengan diagnosis TB
terkonfirmasi secara klinis. Planning terfokus pada pemberian OAT kategori/lini
pertama, terapi simptomatik-suportif, pengendalian faktor risiko, serta edukasi-
observasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Terracciano E, Amadori F, Zaratti L, Franco E. [Tuberculosis: an ever present


disease but difficult to prevent]. Ig Sanita Pubbl. 2020 Jan-Feb;76(1):59-66.
2. Mbuh TP, Ane-Anyangwe I, Adeline W, Thumamo Pokam BD, Meriki HD,
Mbacham WF. Bacteriologically confirmed extra pulmonary tuberculosis and
treatment outcome of patients consulted and treated under program conditions
in the littoral region of Cameroon. BMC Pulm Med. 2019 Jan 17;19(1):17.
3. Mathiasen VD, Andersen PH, Johansen IS, Lillebaek T, Wejse C. Clinical
features of tuberculous lymphadenitis in a low-incidence country. Int J Infect
Dis. 2020 Sep;98:366-371.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis Jakarta : Kementerian Kesehatan
RI.2019
5. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Tuberkulosis Toss Tb. Jakarta: Pusat
Data dan Informasi KEMENKES; 2018.
6. Hashmi MF, Modi P, Basit H, et al. Dyspnea. [Updated 2023 Feb 19]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499965/
7. Lim W. S. (2022). Pneumonia—Overview. Encyclopedia of Respiratory
Medicine, 185–197. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-801238-3.11636-8
8. Wong, K.C.W., Hui, E.P., Lo, KW. et al. Nasopharyngeal carcinoma: an
evolving paradigm. Nat Rev Clin Oncol 18, 679–695 (2021).
https://doi.org/10.1038/s41571-021-00524-x
9. Silva, D. R., Muñoz-Torrico, M., Duarte, R., Galvão, T., Bonini, E. H., Arbex,
F. F., Arbex, M. A., Augusto, V. M., Rabahi, M. F., & Mello, F. C. Q. (2018).
Risk factors for tuberculosis: diabetes, smoking, alcohol use, and the use of
other drugs. Jornal brasileiro de pneumologia : publicacao oficial da Sociedade
Brasileira de Pneumologia e Tisilogia, 44(2), 145–152.
https://doi.org/10.1590/s1806-37562017000000443
10. Li, X., Li, H., Li, S., Zhu, F., Kim, D. J., Xie, H., Li, Y., Nadas, J., Oi, N.,
Zykova, T. A., Yu, D. H., Lee, M. H., Kim, M. O., Wang, L., Ma, W., Lubet,
R. A., Bode, A. M., Dong, Z., & Dong, Z. (2012). Ceftriaxone, an FDA-
approved cephalosporin antibiotic, suppresses lung cancer growth by targeting
Aurora B. Carcinogenesis, 33(12), 2548–2557.
https://doi.org/10.1093/carcin/bgs283
11. Ershad M, Naji A, Vearrier D. N-Acetylcysteine. [Updated 2023 Feb 19]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537183/
12. Achufusi TGO, Safadi AO, Mahabadi N. Ursodeoxycholic Acid. [Updated
2023 Feb 12]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545303/
13. Nanthanangkul, S., Promthet, S., Suwanrungruang, K., Santong, C., &
Vatanasapt, P. (2020). Incidence of and Risk Factors for Tuberculosis among
Cancer Patients in Endemic Area: A Regional Cohort Study. Asian Pacific
journal of cancer prevention : APJCP, 21(9), 2715–2721.
https://doi.org/10.31557/APJCP.2020.21.9.2715

Anda mungkin juga menyukai