Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M.

Leprae dsb. Tuberkulosis ini masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang menjadi tantangan global (Kemenkes, 2017). Sebagian

besar bakteri TB menyerang oragan paru, tetapi dapat juga mengenai

organ tubuh lainnya. Penyebarann bakteri ini melalui udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei) pada saat penderita batuk ataupun bersin

(Kemenkes RI, 2015).

Penyakit ini sering terjadi pada populasi yang kurang beruntung seperti:

miskin, tidak memiliki tempat tinggal, kekurangan gizi, buruknya sanitasi dan

kepadatan penduduk. Faktor risiko yang menyebabkan penyakit Tuberkulosis

yaitu faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, kondisi rumah,

keadaan sosial, ekonomi, dan status gizi. Selain itu faktor tok-sis seperti

merokok, minum-minuman keras dan tembakau dapat menurunkan daya

tahan tubuh (Rosdiana, 2018).

2.1.2 Epidemiologi

Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report 2019, perkiraan

kasus tuberkulosis di dunia sekitar 10 juta orang (antara 9 – 11,1 juta orang)

4
5

di mana di Asia Tenggara sebesar 44% dari total kasus di dunia. Dalam 5

negara teratas yaitu India (27%), China (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%),

Pakistan (6%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika selatan (3%)

(WHO, 2019).

Indonesia merupakan negara ke-3 dengan jumlah kejadian tuberkulosis

tertinggi setelah India dan China (WHO, 2019). Dalam data Profil Kesehatan

Indonesia 2016 diperkirakan insiden tuberkulosis di Indonesia pada tahun

2015 sebesar 395 kasus/100.000 penduduk dan angka kematian sebesar

40/100.000 penduduk.

2.1.3 Cara penularan

M. Tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak

permukaan. Ketika penderita TB paru aktif (BTA positif dan foto rontgen

positif) batuk, bersin, berteriak atau bernyanyi, bakteri akan terbawa keluar

dari paru-paru menuju udara. Bakteri ini akan berada di dalam gelembung

cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil ini dapat bertahan di udara

selama beberapa jam dan tidak dapat dilihat oleh mata karena memiliki

diameter sebesar 1-5 µm (Irianti. et al, 2016).

Penularan TB terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei.

Droplet nuclei akan melewati mulut / saluran hidung, saluran pernafasan atas,

bronkus kemudian menuju. Setelah tubercle bacillus sampai di jaringan paru-

paru, mereka akan mulai memperbanyak diri. Lambat laun, mereka akan

menyebar ke kelenjar limfe. Proses ini disebut sebagai primary TB infection.


6

Seseorang dengan primary TB infection tidak dapat menyebarkan penyakit ke

orang lain dan juga tidak menunjukkan gejala penyakit (Irianti. et al, 2016).

Penderita TB paru dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei) pada waktu batuk ataa bersin, sekali batuk

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Percikan dahak yang

mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama

beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika percikan dahak itu terhirup dalam

saluran pernafasan (Kemenkes, 2011).

Pasien suspek TB paru yang mengalami gejala batuk lebih dari 48

kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien

suspek TB paru, sedangkan pasien suspek TB paru yang mengalami batuk

kurang dari 12 kali/malam maka akan dapat menginfeksi 28% dari orang yang

kontak dengan pasien yang suspek TB paru (Siregar. et al, 2018)

Ada 4 faktor penentu terjadinya penyebaran penyakit TBC (Irianti. et

al, 2016), yaitu:

1. Daya tahan tubuh seseorang rendah

2. Infectiousness (tingkat penularan)

Tingkat penularan penderita TB berhubungan langsung

dengan jumlah tubercle bacillus yang dikeluarkan oleh

penderita ke udara. Penderita dengan banyak tubercle bacillus

bersifat lebih menular dibandingkan penderita dengan sedikit

pengeluaran bacilli atau tanpa bacilli. Makin tinggi derajat

positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita


7

tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat

kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

3. Lingkungan

Faktor lingkungan mempengaruhi konsentrasi M.

tuberculosis. Faktor lingkungan penyebab meningkatnya

penyebaran M. tuberculosis adalah:

a. Konsentrasi droplet nuclei

Semakin banyak droplet nuclei di udara, maka

kemungkinan penyebaran M. tuberculosis semakin tinggi.

b. Ruangan

Paparan di ruangan yang kecil dam tertutup.

c. Ventilasi

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya

pelarutam/eliminasi droplet nuclei.

d. Sirkulasi udara

Sirkulasi kembali udara dengan kadunga droplet nuclei.

e. Penanganan spesimen

Jika prosedur penanganan spesimen tidak memadai,

maka akan menghasilkan droplet nuclei.

f. Tekanan udara

Tekanan udara positif di dalam ruangan penderita dapat

menyebabkan perpindahan M. tuberculosis menuju

ruangan lain.
8

4. Kontak

a. Durasi kontak dengan penderita TB menular

Semakin lama kontak, maka risiko penularan semakin

tinggi.

b. Frekuensi kontak dengan penderita

Semakin sering terjadi kontak dengan penderita, maka

semakin tinggi risiko penularan TB.

c. Paparan fisik dengan penderita

Semakin dekat kontak, maka risiko penularan semakin

tinggi.

2.1.4 Gejala

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak

bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2014).

Menurut infodatin (2018), tuberkulosis primer biasanya tanpa gejala

sedangkan untuk pasien dengan tuberkulosis sekunder atau progresif akan

disertai dengan gejala seperti , batuk, produksi dahak (mukopurulen),

hemoptisis, demam, berkeringat di malam hari, kelelahan, penurunan berat

badan.
9

2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis

Menurut Depkes (2011) berdasarkan letak anatomi penyakit,

tuberkulosis dibedakan menjadi 2:

1. Tuberkulosis paru

Tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,

tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang

menyerang organ tubuh selain paru, misalnya selaput paru, selaput

otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan

lain-lain (Irianti. et al, 2016).

2.1.6 Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis Tuberkulosis Paru pada orang dewasa harus ditegakkan

terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis

yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler

tuberkulosis dan biakan.

Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran

yang spesifik pada tuberkulosis paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi

overdiagnosis ataupun underdiagnosis.


10

(Permenkes RI, 2016)


Gambar 2.1
Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru

2.1.7 Definisi Pasien TB

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis

adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan

contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau


11

tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (Kemenkes,

2014).

a. Pasien TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif

c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif

d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik

dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan

yang terkena.

e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Pasien TB terdiagnosis secara Klinis adalah pasien yang tidak

memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis

sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan

pengobatan TB (Kemenkes, 2014).

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto

toraks mendukung TB.

b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun

laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.

c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

2.1.7.1 Klasifikasi pasien TB

Di Indonesia, TB diklasifikasikan berdasarkan kelainan klinis,

biologis, radiologis, dan mikrobiologis (Kemenkes, 2011):

1. Tuberkulosis Paru

2. Bekas tuberkulosis paru


12

3. Tuberkulosis paru tersangka, terbagi menjadi :

a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Pada kasus ini

sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif.

b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Pasien pada

kasus ini didapatkan hasil sputum negatif dan tanda-tanda

lain juga meragukan.

2.1.8 Pengobatan

Pengobatan TB paru dapat diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif

2 bulan pengobatan dan tahap lanjutan 4-6 bulan berikutnya. Pengobatan

yang teratur pada pasien TB paru dapat sembuh secara total, apabila pasien

itu sendiri mau patuh dengan aturan-aturan tentang pengobatan TB Paru

(Fitriani. et al, 2019).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai

berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).

Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).


13

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

a. Tahap awal (intensif)

1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap

hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadinya resistensi obat.

2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam

kurun waktu 2 bulan.

3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA

negatif (konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman

persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Obat anti-tuberkulosis (TB) digolongkan menjadi 5 kelompok

berdasarkan bukti efikasi, potensi, kelas obat dan pengalaman

penggunaannya (WHO, 2017).

Tabel 2.1 Kelompok obat anti-TB


Obat anti-TB lini pertama Kelompok 1
Oral:
isoniazid (INH/H), rifampisin/rifampin
(RIF/R), pirazinamid (PZA/Z), etambutol
(EMB/E), rifapentin (RPT/P) atau rifabutin
(RFB)
14

Obat anti-TB lini kedua Kelompok 2


Aminoglikosida injeksi:
streptomisin (STM/S), kanamisin (Km),
amikasin (Amk).
Polipeptida injeksi:
kapreomisin (Cm), viomisin (Vim)

Kelompok 3
Fluoroquinolon oral dan injeksi:
ciprofloksasin (Cfx), levofloksasin (Lfx),
moxifloksasin (Mfx), ofloksasin (Ofx),
gatifloksasin (Gfx)

Kelompok 4
Oral:
asam para-aminosaslisilat (Pas), sikloserin
(Dcs), terizidon (Trd), etionamid (Eto),
protionamid (Pto).
Obat anti-TB lini ketiga Kelompok 5
Clofazimin (Cfz), linezolid (Lzd), amoksisilin
plus klavulanat (Amx/Clv), imipenem plus
cilastatin (Ipm/Cln), klaritomisin (Clr).

(Irianti. et al, 2016)

2.1.8.1 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

1. WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and

Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :

a. Kategori 1:

1) 2HRZE/4H3R3

2) 2HRZE/4HR

3) 2HRZE/6HE

b. Kategori 2:

1) 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

2) 2HRZES/HRZE/5HRE
15

c. Kategori 3:

1) 2HRZ/4H3R3

2) 2HRZ/4HR

3) 2HRZ/6HE

2. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

TB di Indonesia:

a. Kategori 1: 2HRZE/4(HR)3.

b. Kategori 2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.

Tabel 2.2 OAT Lini Pertama


Jenis Sifat Efek Samping

Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan saraf


tepi), psikosis toksik, gangguan fungsi
hati, kejang.
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome(gejala influenza berat),
gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash,
sesak nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan

fungsi hati, gout arthritis.

Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan

keseimbangan dan pendengaran,

renjatan anafilaktik, anemia,

agranulositosis, trombositopeni.

Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,

neuritis perifer (Gangguan saraf tepi).

(Permenkes RI, 2016)


16

Tabel 2.3 OAT Lini Kedua


Grup Golongan Jenis Obat

A Florokuinolon Levofloksasin (Lfx)


Moksifloksasin (Mfx)
Gatifloksasin (Gfx)
B OAT suntik lini Kanamisin (Km)
kedua Amikasin (Am)
Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)

C OAT oral lini Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)


Kedua Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)
Clofazimin (Cfz)
Linezolid (Lzd)
D D1 OAT lini Pirazinamid (Z)
pertama Etambutol (E)
Isoniazid (H) dosis tinggi
D2 OAT baru Bedaquiline (Bdq)
Delamanid (Dlm)
Pretonamid(PA-824)
D3 OAT Asam para-aminosalisilat
tambahan (PAS)
Imipenem-silastatin
(Ipm)
Meropenem (Mpm)
Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)
Thioasetazon (T)
(Permenkes RI, 2016)

2.1.8.2 Paduan OAT KDT.

1. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.

• Pasien TB paru terdiagnosis klinis

• Pasien TB ekstra paru


17

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3


Tahap Intensif tiap Tahap Lanjutan 3 kali
hari selama 56 hari seminggu selama 16
Berat Badan RHZE minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

(Permenkes, 2016)

2. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah

diobati sebelumnya (pengobatan ulang):

• Pasien kambuh

• Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT

kategori 1 sebelumnya

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up)

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2:


2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif Setiap hari 3 kali seminggu
Berat RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) +
Badan E(400)
Selama 56 hari Selama 28 Selama 20
hari minggu
30-37g 2 tab 4KDT + 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
500 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3
mg Streptomisin tab Etambutol
inj.
18

55-70 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT


1000 mg + 4 tab Etambutol
Streptomisin inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
1000mg (> do maks ) + 5 tab Etambutol
Streptomisin inj.
(Permenkes, 2016)

2.1.9 Hasil Pengobatan

Menurut buku Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2016,

hasil pengobatan pasien tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

1. Sembuh

Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif

pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada

akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan

sebelumnya.

2. Pengobatan Lengkap

Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap

di mana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan

hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan

bakteriologis pada akhir pengobatan.

3. Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan

diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi

OAT.
19

4. Meninggal

Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai

atau sedang dalam pengobatan.

5. Putus berobat (loss to follow-up)

Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang

pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

6. Tidak dievaluasi

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.

Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer out)” ke

kabupaten/kota lain di mana hasil akhir pengobatannya tidak

diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

2.1.10 Strategi DOTS

Sejak tahun 1995 WHO telah merekomendasikan pengendalian TB

menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course).

Penggunaan DOTS merupakan pengobatan dengan pengawasan langsung

terapi dengan cara membantu pasien mengambil obat secara teratur untuk

memastikan kepatuhan pasien dalam pengobatan TB paru (Amira. et al,

2018).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:

1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan

pendanaan.

2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang

terjamin mutunya.
20

3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi

pasien.

4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.

5. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu

memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan

kinerja program.

Fokus utama DOTS adalah menemukan dan menyembuhkan pasien,

memprioritaskan pasien TB tipe menular. Strategi ini diharapkan dapat

memutuskan rantai penularan TB sehingga menurunkan angka kejadian TB

di masyarakat (Kemenkes RI, 2014).

Oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas

menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS

2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya

3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan

4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah

maupun swasta.

5. Memberdayakan pasien dan masyarakat

6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian

3 pilar strategi utama strategi pengendalian TB global pasca 2015, yaitu:

1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB


21

a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi

semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan

kelompok populasi beresiko tinggi.

b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita

resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada

kebutuhan pasien (patient-centred support)

c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang

lain.

d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan

dan beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah

TB.

2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.

a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan

layanan dan pencegahan TB.

b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan

dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage)

dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB

seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan

obat rasional serta pengendalian infeksi.

e. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk

mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB.


22

3. Intensifikasi riset dan inovasi

a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat,

metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB.

b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan

merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat

pengembangan program pengendalian TB.

2.1.11 Pengawas Menelan Obat (PMO)

Dalam pengobatan tuberculosis paru, kepatuhan minum obat sangat

penting agar pasien sembuh dan tidak terjadi resisten terhadap oba. Adanya

PMO bertujuan untuk memastikan pasien menelan seluruh obat yang telah

dianjurkan dengan pengawasan langsung, agar mencegah terjadinya

resistensi obat.

Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah seseorang yang ditunjuk dan

dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita tuberkulosis dalam

meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari

keluarga, tetangga, kader, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan. PMO

merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita

untuk minum obat sesuai dengan dosis dan jadwal mencegah terjadinya

resistensi obat (Riskesdas, 2018).

Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk pasien TB paru terbanyak

adalah keluarga (Suami, istri, orang tua, anak, menantu) yaitu sebanyak

93%, sebanyak 4,7% petugas kesehatan dan sebanyak 2,3% adalah lainnya.

Dukungan yang baik diperlukan dalam masa pengobatan penyakit TB yang


23

mengharuskan untuk mengonsumsi obat dengan jangka waktu yang lama.

Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial salah satunya

adalah keluarga (Hasanah. et al, 2018).

Peran keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat sangat diperlukan

untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat. PMO sangat dibutuhkan

pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan (resistensi) terhadap semua

OAT (Obat Anti Tuberkulosis) terutama Rifampisin (Netty. et al, 2018).

1. Persyaratan PMO

Berdasarkan ketetapan dalam pedoman Kemenkes RI (2014),

persyaratan PMO adalah sebagai berikut :

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh

petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan

dihormati oleh pasien.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien

2. Siapa yang bisa menjadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan

di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain -lain.

Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat


24

berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PKK, atau tokoh

masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Kemenkes RI, 2014).

3. Tugas seorang PMO

a. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.

b. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

c. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu

yang telah ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan

kepada pasien dan keluarganya

a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.

b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya.

d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

f. Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

meminta pertolongan ke fasilitas layanan kesehatan.


25

2.1.12 Efektivitas Pengobatan

Efektivitas adalah keadaan yang menunjukkan sejauh mana target

yang diinginkan tercapai. Dalam hal ini, efektivitas pengobatan tuberkulosis

adalah sejauh mana target pengobatan pasien tercapai yaitu pasien sembuh.

Menurut Infodatin 2014, keberhasilan pengobatan ini dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor pasien: pasien tidak patuh minum obat anti TB (OAT),

pasien pindah fasilitas layanan kesehatan , dan TB-nya termasuk

yang resisten terhadap OAT.

2. Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO): PMO tidak ada, PMO

ada tapi kurang memantau.

3. Faktor obat : suplai OAT terganggu sehingga pasien menunda

atau tidak meneruskan minum obat, dan kualitas OAT menurun

karena penyimpanan tidak sesuai standar.

Faktor pasien bisa dalam bentuk perilaku pasien, yaitu untuk hidup

sehat (makan makanan yang bergizi dan seimbang, istirahat cukup, olahraga

teratur, hindari rokok, alkohol, hindari stres). Sangat penting untuk

penderita untuk melakukan pola hidup sehat dan mencegah penularan

dengan berperilaku tidak meludah sembarangan, menutup mulut apabila

batuk atau bersin, dan pemeriksaan rutin untuk memantau perkembangan

pengobatan tuberkulosis (Amira, et al, 2018). Faktor pasien juga dapat

mempengaruhi kepatuhan pasien untuk taat minum obat selama pengobatan

pasien.
26

Kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang hanya

muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang

menghendaki adanya reaksi individual (Hendesa, et al, 2018). Pasien yang

tidak patuh dalam menjalani pengobatan akan mengakibatkan menurunnya

efek obat dan menimbulkan resistensi obat pada pasien. Menurut Baniqued

(2020) meski belum ada gold standard, pasien yang melewatkan ≥10% dari

total obat yang diresepkan, maka pasien sudah bisa dinyatakan tidak patuh.

Kepatuhan ini dapat dipengaruhi oleh karena kurangnya pengetahuan,

stigma, lamanya durasi pengobatan , dan kurangnya dukungan sosial yang

di dapat (Gebreweld. et al, 2018). Menurut penelitian Mekonnen & Azagew

(2018), alasan tertinggi ketidakpatuhan adalah karena Lupa (23,1%),

Sedang sibuk dengan pekerjaan lain(20,2%), dan sedang keluar dari rumah

/ kota (13,9%).

Ketidakpatuhan juga terjadi pada pasien yang tidak didukung oleh faktor

eksternal, seperti adanya dukungan keluarga dan sosial. Saqib (2019)

mengungkapkan perbedaan yang signifikan antara kelompok sosial

ekonomi pasien di setiap sub skala dukungan sosial. Hal ini menandakan

bahwa dukungan sosial belum merata dan peneliti menyebutkan bahwa

dalam pengobatan tuberkulosis bukan hanya memerlukan tindakan klinis,

tapi juga memerlukan dukungan dari keluarga dan sosial yang kuat.

Baniqued (2020) dalam penelitiannya mendapat hasil bahwa pada

pasien yang memiliki persepsi tinggi akan dukungan sosial, persepsi akan

dukungan instrumental dan persepsi akan pencarian dukungan menurunkan


27

bahaya untuk menjadi tidak patuh sebesar 75%, 80%, dan 73%. Selain itu

pada pasien yang mendapat dukungan sosial akan menurunkan bahaya

menjadi tidak patuh sebesar 55%.

Penelitian lain yaitu oleh Khachadourian (2020) mendapat hasil

bahwa angka kesembuhan antara pengobatan yang dilakukan memakai

strategi asupan obat tuberkulosis (DOT) dikelola klinik dibandingkan

dengan pengobatan dengan asupan obat tuberkulosis yang dikelola sendiri

dengan dukungan keluarga hasilnya tidak begitu berbeda yaitu hasil

pengobatan yang sukses menggunakan DOT sebesar 92,9% sedangkan

pengelolaan sendiri dengan dukungan keluarga sebesar 92%. Maka

dukungan keluarga dibutuhkan terutama pada pasien yang kurang

kesadarannya terhadap pengobatannya terutama karena lasien mulai tidak

patuh ketika keadaan pasien mulai membaik sehingga pengawasan dan

dukungan perlu ditingkatkan (El-Muttalut & KhidirElnimeiri, 2017).

2.2 Keluarga

2.2.1 Definisi

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas

kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya yang berkumpul dan tinggal

dalam suatu rumah tangga karena pertalian darah dan ikatan perkawinan atau

suatu adopsi (Agustina & Wahjuni, 2017).

Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam

mengembangkan, mencegah, mengadaptasi dan atau memperbaiki masalah

kesehatan yang ditemukan dalam keluarga itu sendiri. Masalah kesehatan


28

dalam keluarga saling berkaitan dan saling memengaruhi antar anggota

keluarga yang pada akhirnya akan memengaruhi masyarakat yang ada di

sekitarnya. Oleh karena itu keluarga mempunyai posisi yang strategis untuk

dijadikan sebagai bagian dari unit pelayanan kesehatan (Oktowaty. et al,

2018).

2.2.2 Bentuk Keluarga

Bentuk keluarga banyak macamnya, Endra (2016) membedakan bentuk

keluarga berdasarkan jenis anggota keluarganya sebagai berikut:

1. Keluarga Inti (nuclear family) Keluarga inti adalah keluarga yang

terdiri atas suami, istri serta anak kandung.

2. Keluarga Besar (extended family) Keluarga besar adalah keluarga

yang di samping terdiri dari suami, istri, dan anak kandung, juga

terdiri dari sanak saudara lainnya baik menurut garis vertikal (ibu,

bapak, kakek, nenek, menantu, cucu, cicit) ataupun menurut garis

horizontal ( kakak, adik, ipar) yang dapat berasal dari pihak suami

ataupun dari pihak istri.

3. Keluarga Campuran (blended family) Keluarga campuran adalah

keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung serta

anak-anak tiri.

4. Keluarga Serial (serial family) Keluarga serial adalah keluarga

yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin

telah mempunyai anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-

masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangan


29

masing - masing, tetapi semuanya menganggap sebagai satu

keluarga.

5. Keluarga Gabungan (composite family) 22 Keluarga gabungan

adalah keluarga yang terdiri dari suami dengan beberapa istri dan

anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa suami dan

anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama.

6. Keluarga Tinggal Bersama (cohabitation family) Keluarga

tinggal bersama adalah keluarga yang terdiri dari pria dan wanita

yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.

7. Keluarga Konjungal (conjungal family) Keluarga yang terdiri atas

pasangan dewasa atau ibu dan ayah serta anak-anak mereka yang

mana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau kedua

belah pihak orang tua.

8. Keluarga “Dyad” Keluarga yang terdiri dari suami dan istri tanpa

anak.

9. Keluarga Orang Tua Tunggal (single parent family) Keluarga

yang terdiri atas satu orang tua yaitu ayah atau ibu dan anaknya

baik anak kandung atau anak angkat.

10. Keluarga Hidup Bersama (commune family) Keluarga hidup

bersama adalah keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak -

anak yang tinggal bersama, berbagi hak dan tanggung jawab serta

memiliki kekayaan bersama.


30

2.2.3 Fungsi keluarga

Fungsi keluarga di Indonesia banyak macamnya, menurut Peraturan

pemerintah No. 21 tahun 1994 dibedakan menjadi:

1. Fungsi keagamaan

Fungsi keagamaan adalah fungi keluarga sebagai wahana

persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa

untuk menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa

kepada tuhan Yang Maha Esa.

2. Fungsi Budaya

Fungsi budaya adalah fungsi keluarga dalam memberikan

kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk

mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam

dalam satu kesatuan.

3. Fungsi Cinta Kasih

Fungsi cinta kasih adalah fungsi keluarga dalam

memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan

anak, suami dengan istri, orang tua dengan anak-anaknya, serta

hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi

wahana utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir

dan batin.
31

4. Fungsi Melindungi

Fungsi melindungi adalah fungsi keluarga untuk

menumbuhkan rasa aman dan kehangatan bagi segenap anggota

keluarga.

5. Fungsi Reproduksi

Fungsi reproduksi adalah fungsi keluarga yang merupakan

mekanisme untuk melanjutkan keturunannya yang direncanakan

sehingga dapat menunjang terciptanya kesejahteraan umat manusia

didunia yang penuh iman dan taqwa

6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan

Fungsi sosialisasi dan pendidikan adalah fungsi keluarga

yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan

agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di

masa depan.

7. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga sebagai unsur

pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.

8. Fungsi Pembinaan Lingkungan

Fungsi pembinaan lingkungan adalah fungsi keluarga yang

memberikan kemampuan kepada setiap keluarga dapat

menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang sesuai

dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara

dinamis.
32

Untuk menilai persepsi anggota keluarga dari fungsi keluarga dengan

memeriksa kepuasannya terhadap hubungan keluarga dikembangkan

instrumen penilaian yang disebut APGAR Keluarga (Family APGAR).

Instrumen ini terdiri dari lima parameter fungsi keluarga yaitu, kemampuan

beradaptasi (adaptation), kemitraan (partnership), pertumbuhan (growth),

kasih sayang (affection), dan kebersamaan (resolve). Pilihan respon

dirancang untuk menggambarkan frekuensi rasa puas dengan masing-masing

mempunyai 3 parameter berkisar antara 0 (hampir tidak pernah) ke 2 (hampir

selalu) (Oktowaty. et al, 2018).

Peran keluarga sesuai fungsi APGAR adalah :

Adaptation merupakan kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan

anggota keluarga yang lain, memberi dukungan dan saran dari anggota

keluarga yang lain, dalam hal ini berarti keluarga ikut serta membantu dan

memberi dukungan pasien dalam menjalani pengobatannya.

Partnership menggambarkan komunikasi, saling mengisi antara anggota

keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh anggota keluarga tersebut,

berarti keluarga membantu pasien untuk ikut berbagi dalam berbagai masalah

termasuk masalah dalam pengobatan dan kepatuhan minum obat.

Growth menggambarkan dukungan keluarga terhadap kebebasan yang

diberikan dalam hal pertumbuhan atau kedewasaan setiap anggota keluarga.

Dalam hal ini adalah bagai mana keluarga dapat memberi dampak pada

kedewasaan anggota keluarga untuk bisa menjadi mandiri seperti kedewasaan


33

dan kemandirian dalam mengatur proses pengobatan atau ketaatan dalam

pengobatan.

Affection menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar

anggota keluarga. Adanya kasih sayang dan interaksi dari keluarga kepada

penderita dalam hal ini adalah dukungan secara emosional keluarga kepada

pasien.

Resolve merupakan bagaimana keluarga berbagi waktu, ruang dan

ekonomi. Dalam hal ini adalah bagaimana keluarga dapat meluangkan waktu

untuk pasien seperti memberi waktu dengan mendampingi pasien dalam

pengobatannya dengan berseedia menjadi PMO untuk pasien, atau bisa juga

dalah hal ekonomi yaitu memberi bantuan berupa biaya pengobatan atau

biaya kehidupan sehari hari dari pasien.

Dalam Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis (2011), keluarga

dapat menjadi PMO bagi keluarganya yang terkena penyakit tuberkulosis

paru di mana pengawas menelan obat PMO bertanggung jawab untuk

memastikan pasien TBC meminum obat sesuai anjuran petugas puskesmas.

Pengawas menelan obat PMO bertanggung jawab untuk memastikan pasien

TBC meminum obat sesuai anjuran petugas puskesmas. Kesembuhan pasien

dapat dicapai hanya bila pasien dan petugas pelayanan kesehatan bekerja

sama dengan baik dan Pengawas Menelan Obat (PMO) harus mengamati

setiap asupan obat bahwa OAT yang ditelan oleh pasien adalah tepat obat,

tepat dosis dan interval (Fandinata & Darmawan, 2019).


34

Jika pasien tidak dirawat dan diawasi oleh keluarga, maka akan terjadi

kemungkinan ketidakpatuhan pasien. Memberi informasi pada pasien dan

keluarga pasien dapat meningkatkan tingkat hubungan mereka dan

menaikkan angka keberhasilan dalam pengobatan (Truzyan. et al. 2018).

Menurut Skiles (2018) dalam penelitiannya, pemberian dukungan sosial

dapat menurunkan kejadian ketidakpatuhan sebesar 10% dibanding yang

tidak mendapat dukungan sosial.

Anda mungkin juga menyukai