Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

TB PARU DI RUANG GARDENIA


RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Disusun Oleh :

Rifky Shafarullah
NIM: PO.62.20.1.22.040

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA
PRODI D III KEPERAWATAN REGULER XXV A
2024
LEMBAR PENGESAHAN

Yang Membuat Laporan Pendahuluan,


Nama Mahasiswa : Rifky Shafarullah
Nim : PO6220122040
Tingkat/Semester : Semester III
Program studi : D-III Keperawatan
Tahun Akademik :2024

Yang Menyetujui Laporan Pendahuluan,


Pemimbik Klinik : Ocvilien Chornelyn, S.Kep.,Ns
Pemimbing Institusi : Ns. Reny Sulistyowati, S.Kep.,M.Kep
:

Palangka Raya, Maret 2024


Pemimbing Klinik Pemimbing Institusi

Ocvilien Chornelyn, S.Kep.,Ns Ns. Reny Sulistyowati,S.Kep.,M.Kep


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Indonesia sendiri
menempati peringkat ke-3 setelah India dan Cina yang menjadi negara dengan
kasus TB tertinggi. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009,
1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya perempuan)
sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan)
(Depkes, 2011). Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis
dan TB usus. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan
setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan
setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Kenyataan mengenai penyakit TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan,
sehingga kita harus waspada sejak dini dan mendapatkan informasi lengkap
tentang penyakit TBC . Untuk itu sebagai seorang tenaga kesehatan kita harus
lebih memahami lebih lanjut tentang penyakit TBC.
2. Tujuan
a. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian TB Paru
b. Mahasiswa mampu mengetahui penyebab TB Paru
c. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi TB Paru
d. Mahasiswa mampu mengetahui tanda dan gejala TB Paru
e. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan penunjang TB Paru
f. Mahasiswa mampu mengetahui pathway TB Paru
g. Mahasiswa mampu mengetahui pengkajian pada pasien TB Paru
h. Mahasiswa mampu mengetahui diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul TB Paru
i. Mahasiswa mampu mengetahui intervensi untuk pasien TB Paru
j.
BAB II
ISI
1. Pengertian
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian bersar
kuman tuberculosis menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ
tubuh lainnya (Depkes, 2011). Tuberkulosis merupakan infeksi yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang pada
berbagai organ tubuh mulai dari paru dan organ di luar paru seperti kulit,
tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering disebut
dengan ekstrapulmonal TBC (Chandra, 2012).
Menurut Depkes (2011), klasifikasi penyakit TB dan tipe pasien digolongkan:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
 TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.
2. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Basil tuberkulosis
berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung,
dengan ukuran panjang 2 μm-4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm. Organisme
ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila
diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler. Sebagian
besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang
organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria
tahan asam. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan
pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8
minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4-
7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit.
Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar
ultraviolet.
Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :
a. Faktor host terdiri dari:
1) Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk terkena TB.
2) Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran
penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan
Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam serum akan
meningkatkan risiko terinfeksi TB.
3) Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti
keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko
untuk terkena TB.
4) Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko
untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna
obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki
risiko untuk terkena TB.
5) Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih
banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak anak.
b. Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan berisiko
untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang
banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena
TB. Selain itu sosio ekonomi juga berpengaruh terhadap risiko untuk
terkena TB dimana sosio ekonomi rendah memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena TB.
3. Tanda Dan Gejala
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2011).
a) Gejala sistemik/umum
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
b) Gejala khusus
 Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke
paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang
disertai sesak.
 Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik tergantung
luas dan kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis
dapat normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks
paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus
meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi
terutama di apeks paru Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda
seperti : deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi,
suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.
4. Patofisiologi
Menurut Somantri (2008), infeksi diawali karena seseorang
menghirup basil Mycobacterium tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan
napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk.
Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat menjangkau sampai
ke area lain dari paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe
dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan
area lain dari paru (lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh
memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan
makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit
spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal.
Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar
bakteri. Interaksi antara Mycobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan
tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang
disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati
yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya
berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa
tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri
yang menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang berbentuk
seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan
akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Menurut Widagdo (2011), setelah infeksi awal jika respons sistem
imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang
kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya
tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami
ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus.
Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan
parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan
timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel, dan seterusnya.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan
terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag
yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan memberikan
respons berbeda kemudian pada akhirnya membentuk suatu kapsul yang
dikelilingi oleh tuberkel.
5. Pathway (Ulfa, 2012)

hipertermi

mual
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan sewaktu-pagisewaktu (SPS).
1) S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
2) P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas.
3) S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu
pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan
dengan Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana
`pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan)

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(International Union Against Tuberculosis and lung Tuberculosis) yang
merupakan rekomendasi dari WHO.

b. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak
yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan
biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah dengan memakai
Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)
c. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi
canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan
sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan
deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal
dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
d. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:
1) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
2) Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikro bakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir
plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila
di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka
akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi
dengan mudah.
3) ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis
dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB
yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5
antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung
dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 µl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum
akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung
antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan
berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah
muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis
kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.
e. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
f. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi
paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ
lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus
(BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa
granuloma dengan perkejuan.
g. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan
tubuh penderita , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
h. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan
sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada
malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi
positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung
reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang
analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target
organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang
tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan
(M.tuberculosis).
a. Pengkajian
Menurut Soemantri (2008), pengkajian keperawatan pada tuberkulosis
adalah:
a. Data pasien: Penyakit tuberkulosis (TB) dapat menyerang manusia mulai
dari usia anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama
antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan
pada pasien yang tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi
sehingga masuknya cahaya matahari ke dalam rumah sangat minim.
b. Riwayat kesehatan
Keluhan yang sering muncul antara lain:
1) Demam: subfebris, febris (40-410 C) hilang timbul.
2) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkhus.
3) Sesak napas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru-paru.
4) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan akan timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam.
6) Sianosis, sesak napas, dan kolaps: merupakan gejala atelektasis.
7) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya
penyakit ini muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan
tetapi merupakan penyakit infeksi menular.
c. Pemeriksaan Fisik
Pada tahapan dini sulit diketahui, ronchi basah kasar dan nyaring,
hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi
memberikan suara umforik, pada keadaan lanjut terjadi atropi, retraksi
interkostal dan fibrosa.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Sputum Kultur yaitu untuk memastikan apakah keberadaan
Mycrobacterium Tuberculossepada stadium aktif.
2) Darah: leukositosis, LED meningkat.
Pada program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat
ditegakkan dengan ditemukannya Basil Tahan Asan (BTA) pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
a. S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di UPK.
c. S (Sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat
menyerahkan dahak pagi.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
spesimen SPS, hasilnya BTA positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada
atau pemeriksaan dahak SPS diulang (Werdhani, 2015).
a. Bila hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif.
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan
pemeriksaan lain misalnya biakan.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya kontrimoksazol atau Amoksisilin) selama 1-2
minggu bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap
mencurigakan TB maka ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a. Bila SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Bila
hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada
untuk mendukung diagnosis TB.
b. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB
BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB,
maka penderita tersebut bukan TB
7. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermia
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
c. Resiko penyebaran infeksi
d. Gangguan pertukaran gas
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
f. Nyeri
g. Gangguan pola tidur
h. Intoleransi aktivitas
8. Intervensi
a. Hipertermia
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan masalah hipertermi teratasi dengan kriteria hasil:
 Suhu dalam batas normal
 Tidak ada keluhan demam
 Turgor kulit kembali > 2 detik
 Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Intervensi:
 Monitor tanda-tanda vita terutama suhu
 Monitor intake dan output setiap 8jam
 Berikan kompres hangat
 Anjurkan banyak minum
 Anjurkan memakai pakaian tipis dan menyerap keringat
 Kolaborasi pemberian cairan intravena dan antipiretik
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
bersihan jalan napas kembali normal dengan riteria hasil:
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
 Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama dan frekuensi napas dalam rentang normal, tidak ada suara
napas abnormal).
 Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan napas.
Intervensi (NIC):
 Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw trust bila perlu
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi perlunya pemasangan alat jalan napas buatan
 Lakukan fisioterapi dada jika perlu

 Keluarkan secret dengan batuk efektif atau suction


 Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan
 Monitor repirasi status O2
c. Resiko penyebaran infeksi orang lain
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jan
diharapkan tidak terjadi penyebaran infeksi dengan riteria hasil:
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
 Mendeskripsikan proses penularan infeksi, factor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulmya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
Intervensi (NIC):
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Pertahankan teknik asepsis pada pasien yang beresiko
 Pertahankan teknik isolasi
 Dorong masukan nutrisi yang cukup
 Instruksikan pasien untuk meminum antibiotik sesuai resep
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
d. Gangguan pertukaran gas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
diharapkan gangguan pertukaran gas teratasi dengan kriteria hasil:
 Menunjukkan perbaikan ventilasi dan O2
 Bebas dari gejala dan distress pernapasan
Intervensi:
 Kaji tipe pernapasan pasien
 Evaluasi tingkat kesadaran, adanya sianosis, dan perubahan warna
kulit
 Tingkatkan istirahat dan batasi aktivitas
 Kolaborasi medis pemeriksaan ACP dan pemerian oksigen
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan nutrisi pada pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:
 Adanya peningkatan berat badan
 Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
 Tidak ada tanda – tanda malnutrisi
 Tidak ada penurunan berat badan yang berarti
Intervensi (NIC):
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake zat besi
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

f. Nyeri
Intervensi:
 kaji karakteristik nyeri meliputi penyebab, skala, kualitas, waktu, dan
lokasi
 ajarkan teknk nafas dalam
 jamin pemberian terapi analgetik
 observasi reaksi nonverbal
 kaji tanda-tanda vital
g. gangguan pola tidur
intervensi:
 Pantau keadaan umum pasien dan TTV
 Kaji Pola Tidur.
 Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama.
 Kaji faktor yang menyebabkan gangguan tidur (nyeri, takut, stress,
ansietas, imobilitas, gangguan eliminasi seperti sering berkemih,
gangguan metabolisme, gangguan transportasi, lingkungan yang
asing, temperature, aktivitas yang tidak adekuat).
 Catat tindakan kemampuan untuk mengurangi kegelisahan.

 Ciptakan suasana nyaman, Kurangi atau hilangkan distraksi


lingkungan dan gangguan tidur.
 Batasi pengunjung selama periode istirahat yang optimal (mis; setelah
makan).
 Minta klien untuk membatasi asupan cairan pada malam hari dan
berkemih sebelum tidur.
 Anjurkan atau berikan perawatan pada petang hari (mis; hygiene
personal, linen dan baju tidur yang bersih).
 Gunakan alat bantu tidur (misal; air hangat untuk kompres rilaksasi
otot, bahan bacaan, pijatan di punggung, music yang lembut, dll).
 Ajarkan relaksasi distraksi.
 Beri obat dengan kolaborasi dokter.
h. intoleransi aktivitas
Tujuan : Aktifitas klien meningkat setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x24 jam dengan kriteria hasil : kemampuan aktifitas bisa mandiri.
Intervensi :
 Monitor suhu sesering mungkin
 Ajarkan mobilisasi aktifitas
 Atur posisi nyaman.
 Berikan pengetahuan tentang pentingnya beraktifitas
 Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan aktifitas pada klien.

DAFTAR PUSTAKA
Chandra. B., 2012, Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas, EGC, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Penanggulangan


Nasional TBC, Depkes RI, Jakarta.
PDPI, 2006, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia,
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Putra, A.K. 2010. Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal
Serumah dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan.
Somantri, I., 2008, Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Gangguan Sistem Pernafasan, Salemba Medika, Jakarta.

Ulfa, N.M., 2012, Asuhan Keperawatan Pada Tn. J Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan : TB Paru Di Ruang Cempaka III RSUD Pandan Arang
Boyolali, Tugas Akhir, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Werdhani, R.A., 2015, Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis,


Departemen Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia

Widagdo, 2011, Masalah dan Tatatlaksana Penyakit Infeksi pada Anak, Sagung
Seto, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai