Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN SISTEM RESPIRATORY


TUBERCULOSIS PARU

Disusun untuk memenuhi tugas keperawatan Anak

Dosen Pembimbing
Ns.Mujahidin, S.Kep, M.Kes

Disusun oleh
Nama : Puspita Anggini
NPM : 22.14901.12.36

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA
PALEMBNAG 2022
LAPORAN PENDAHULUAN
TUBERKULOSIS PARU

A. Definisi

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat masuk
ke saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada area
kulit (Price & Wilson, 2014).
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang
paling sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. TB paru dapat menyebar ke setiap bagian
tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer &
Bare, 2015).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Bakteri Tahan Asam (BTA) Mycobacterium tuberculosa dan TB
adalah penyakit menular yang mematikan (Lailatul Nur, 2015).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Myobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
(Handayani, 2019).

B. Etiologi
TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif
mengeluarkan organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan
menjadi terinfeksi. Bakteria di transmisikan ke alveoli dan
memperbanyak diri. Reaksi inflamasi menghasilkan eksudat di alveoli
dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa (Smeltzer &
Bare, 2015). Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau
berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke
tanah, lantai, atau tempat lainnya.
Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet
atau nuclei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis
yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri
ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri
tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012).
Menurut Smeltzer & Bare (2015), Individu yang beresiko tinggi
untuk tertular virus tuberculosis adalah:
a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB
aktif.
b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker,
mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi
dengan HIV).
c. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik.
d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma;
tahanan, etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15
tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).
e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan
diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).
f. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.
g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan
aktivitas yang berisiko tinggi).

C. Tanda dan Gejala


Arif Mutaqqin (2012), menyatakan gejala klinik TB Paru dapat
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ
yang terlibat ) dan gejala sistematik.
1) Gejala respiratorik
a) Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan
yang paling sering dikeluhkan.
b) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien TB Paru selalu menjadi
alasan utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan.
c) Sesak nafas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi
pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
d) Nyeri dada
Nyeri dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik ringan.
Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena TB.
2) Gejala sistematis
a) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore
atau malam hari mirip demam atau influenza, hilang timbul, dan
semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa
bebas serangan semakin pendek.
b) Keluhan sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan
biasanya bersifat gradual muncul dalam beberapa minggu
sampai bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas,
dan sesak nafas.
Gejala reaktivasi tuberkulosis berupa demam menetap yang naik
dan turun (hectic fever), berkeringat pada malam hari yang
menyebabkan basah kuyup (drenching night sweat), anoreksia, batuk
kronik dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik sangat tidak sensitif dan
sangat non spesifik terutama pada fase awal penyakit.Pada fase lanjut
diagnosis lebih mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat
demam penurunan berat badan, crackle, mengi, dan suara bronkial.
(Darmanto, 2009).
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada
tipe infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau
dapat berupa gejala pneumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala
TB, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi
pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri
pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat
sembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya 50%.
TB post primer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat dingin
pada malam hari, temperatur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua
minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah
disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak darah pada
sputum, sampai ke batuk darah yang masif, TB postprimer dapat
menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan gejala-gejala
seperti meningitis, tuberkulosis miliar, peritonitis dengan fenoma
papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar
limfe dileher, yakni berupa skrofuloderma. (Tabrani Rab, 2016).

D. Klasifikasi
TB paru diklasifikasikan menurut Wahid & Imam tahun 2013 yaitu:
a. Pembagian secara patologis
1) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis).
2) Tuberculosis post primer (adult tuberculosis).
b. Pembagian secara aktivitas radiologis TB paru (koch pulmonum)
aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
c. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
1) Tuberkulosis minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun
kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru
2) Moderately advanced tuberculosis
Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah
infiltrat bayangan halus tidak lebih dari 1 bagian paru. Bila
bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian 1 paru.
3) Far advanced tuberculosis
Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberkulosis.
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik,
radiologik, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting
karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menentukan
strategi terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulan Tuberkulosis) klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1) Dengan atau tanpa gejala klinik
2) BTA positif:
Mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong
biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru
aktif.
2) BTA negatif, biakan negatif tapi radiologik positif.
c. Bekas TB Paru dengan kriteria:
1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif,
menunjukkan serial foto yang tidak berubah.
4) Ada riwayat pengobatan OAT yang lebih adekuat (lebih
mendukung).

E. Patofisiologi
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan,dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman- kuman basil tuberkel yang berasal dari orang –
orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, dan
limfosit (biasanya selT) adalah sel imunresponsif. Tipe imunitas seperti
ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat
infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut sebagai
reaksi hipersensitivitas seluler (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di
inhalasi sebagai unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.Gumpalan
basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang
besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam
ruangan alveolus, biasanya dibagian bawah kubus atau paru atau
dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfo nuklear tampak pada tempat tersebut
dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari- hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli
yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbulkan pneumonia
akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus difagosit
atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju ke kelenjer getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk seltuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang
terdiri dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibroblas membentuk suatu kapsul
yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru disebut Fokus Ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar getah bening regional dan lesi primer disebut Kompleks Ghon.
Kompleks Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada
orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radio gram rutin.
Namun kebanyakan infeksi TB paru tidak terlihat secara klinis atau
dengan radiografi.
Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah
pencairan, yaitu bahan cairan lepas kedalam bronkus yang berhubungan
dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkel yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Proses ini
dapat berulang kembali dibagian lain dari paru, atau basil dapat terbawa
sampai ke laring, telinga tengah atau usus.
Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan
meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila peradangan merada, lumen
bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat
mengental dan tidak dapat kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan
lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat
tidak menimbulkan gejala demam waktu lama atau membentuk lagi
hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh
darah. Organisme yang lolos dari kelenjer getah bening akan mencapai
aliran darah dalam jumlah kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini
dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh
sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan TB miler, ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam
sistem vaskular dan tersebar ke organ – organ tubuh. (Sylvia, 2005)
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada pasien Tb paru
yaitu:
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Kultur
Pemeriksaan kultur bertujuan untuk mengidentifikasikan suatu
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi klinis pada sistem
pernapasan. Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan kultur
yaitu sputum dan apus tenggorok. Bahan pemeriksaan sputum
dapat mengidentifikasi berbagai penyakit seperti Tb paru,
pneumonia, bronkitis kronis dan bronkiektasis (Manurung, 2008).
2) Pemeriksaan sputum
Sputum adalah suatu bahan yang diekskresikan dari traktus
trakeobronkial dan dapat dikeluarkan dengan cara membatukkan
(Sutedjo, 2008). Pemeriksaan sputum digunakan untuk
mengidentifikasi suatu organisme patogenik dan menentukan
adanya sel-sel maligna di dalam sputum. Jenis-jenis pemeriksaan
sputum yang dilakukan yaitu kultur sputum, sensitivitas dan Basil
Tahan Asam (BTA). Pemeriksaan sputum BTA adalah
pemeriksaan yang khusus dilakukan untuk mengetahui adanya
Mycobacterium tuberculosis. Diagnosa Tb paru secara pasti dapat
ditegakkan apabila di dalam biakan terdapat Mycobacterium
tuberculosis (Manurung, 2008).
Pemeriksaan sputum mudah dan murah untuk dilakukan, tetapi
kadang- kadang susah untuk memperoleh sputum khususnya pada
pasien yang tidak mampu batuk atau batuk yang nonproduktif.
Sebelum dilakukan pemeriksaan sputum, pasien sangat dianjurkan
untuk minum air putih sebanyak 2 liter dan dianjurkan untuk latihan
batuk efektif. Untuk memudahkan proses pengeluarkan sputum dapat
dilakukan dengan memberikan obat-obat mukolitik ekspektoran atau
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Apabila masih
sulit, sputum dapat diperoleh dengan bronkoskopi diambil dengan
broncho alveolar lavage (BAL) (Sudoyo, 2010).
Pemeriksaan sputum BTA dilakukan selama tiga kali
berturut-turut dan biakan atau kultur BTA dilakukan selama 4-8
minggu. Kriteria dari sputum BTA positif yaitu sekurang-
kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA yang terdapat dalam
satu sedian (Manurung, 2008). Waktu terbaik untuk mendapatkan
sputum yaitu pada pagi hari setelah bangun tidur, sesudah kumur
dan setelah gosok gigi. Hal ini dilakukan agar sputum tidak
bercampur dengan ludah (Sutedjo, 2008).
b. Pemeriksaan radiologi dada
Pemeriksaan radiologis atau rontgen dada bertujuan untuk
mendeteksi adanya penyakit paru seperti tuberkulosis, pneumonia,
abses paru, atelektasis, pneumotoraks, dll. Dengan pemeriksaan
rontgen dada dapat dengan mudah menentukan terapi yang
diperlukan oleh pasien dan dapat mengevaluasi dari efektifitas
pengobatan. Pemeriksaan radiologis dada atau rotgen dada pada
pasien Tb paru bertujuan untuk memberikan gambaran karakteristik
untuk Tb paru yaitu adanya lesi terutama di bagian atas paru,
bayangan yang berwarna atau terdapat bercak, adanya kavitas tungga
atau multipel, terdapat klasifikasi, adanya lesi bilateral khususnya di
bagian atas paru, adanya bayangan abnormal yang menetap pada
foto toraks. Lesi yang terdapat pada orang dewasa yaitu di segmen
apikal dan posterior lobus atas serta segemen apical lobus bawah
(Manurung, 2008).

G. Penatalaksanaan

a. Farmakologi
1) Terapi nebuliser-mini
Terapi nebuliser-mini merupakan suatu alat genggam yang
dapat menyemburkan obat seperti agens bronkodilator atau
mukolitik menjadi suatu partikel yang sangat kecil, selanjutnya
akan dikirimkan ke dalam paru-paru saat pasien menghirup napas
(Smeltzer & Bare, 2013).
Agens bronkodilator dan mukolitik berfungsi untuk
mengencerkan sekresi pulmonal sehingga dapat dengan mudah
dikeluarkan (Somantri, 2012). Nebuliser mini umumnya sering
digunakan di rumah dalam jangka waktu yang panjang (Smeltzer
& Bare, 2013).
2) Intubasi endotrakeal
Suatu metode memasukkan selang endotrakeal melalui
mulut atau hidung sampai ke dalam trakea. Intubasi endotrakeal
adalah suatu cara pemberian jalan napas yang paten bagi pasien
yang tidak dapat mempertahankan sendiri fungsi jalan napas agar
tetap adekuat seperti pada pasien koma dan pasien yang
mengalami obstruksi jalan nafas (Smeltzer & Bare, 2013).
3) Trakeostomi
Suatu prosedur pembuatan lubang ke dalam trakea yang
dapat bersifat menetap atau permanen. Tindakan trakeostomi
dilakukan untuk membuat pintasan suatu obstruksi jalan napas
bagian atas, sehingga dapat membuang sekresi trakeobronkial.
Trakeostomi dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi
sekresi oral atau lambung pada pasien koma (Smeltzer & Bare,
2013).
4) Terapi inhalasi dengan nebulizer
Terapi inhalasi adalah suatu terapi pemberian obat dengan
cara menghirup uap dengan menggunakan alat nebulizer. Tujuan
dari pemberian terapi inhalasi untuk meminimalkan proses
peradangan dan pembengkakan selaput lendir, membantu
mengencerkan dan memudahkan dalam pengeluaran sputum,
menjaga selaput lendir agar tetap lembab dan melegakan dalam
proses respirasi (Lusianah et al., 2012).
b. Nonfarmakologi
1) Fisioterapi dada
Fisioterapi dada terdiri dari drainase postural, perkusi, dan
vibrasi dada. Tujuan dari fisioterapi dada yaitu untuk
memudahkan dalam pembuangan sekresi bronkhial, memperbaiki
fungsi ventilasi dan meningkatkan efisiensi dari otot-otot sistem
pernapasan agar dapat berfungsi secara normal (Smeltzer & Bare,
2013).
Drainase postural adalah suatu posisi yang spesifik dengan
menggunakan gaya gravitasi untuk memudahkan proses
pengeluaran sekresi bronkhial. Tujuan dilakukan drainase
postural adalah untuk mencegah atau menghilangkan obstruksi
bronkhial, yang disebabkan oleh adanya akumulasi sekresi.
Tindakan drainase postural dilakukan secara bertahap pada
pasien, dimulai dari pasien dibaringkan secara bergantian dalam
posisi yang berbeda. Prosedur drainase postural dapat diarahkan
ke semua segmen paru-paru, dengan membaringkan pasien dalam
lima posisi yang berbeda yaitu satu posisi untuk mendrainase
setiap lobus paru-paru, kepala lebih rendah, pronasi, lateral kanan
dan kiri, serta duduk dalam posisi tegak. Dari perubahan posisi
yang dilakukan dapat mengalirkan sekresi dari jalan napas
bronkhial yang lebih kecil ke bronki yang lebih besar dan trakea.
Sekresi akan dibuang dengan cara membatukkan (Smeltzer &
Bare, 2013).
Perkusi adalah suatu prosedur membentuk mangkuk pada
telapak tangan dengan menepuk secara ringan pada area dinding
dada dalam. Gerakan menepuk dilakukan secara berirama di atas
segmen paru yang akan dialirkan (Smeltzer & Bare, 2013).
Vibrasi dada adalah suatu tindakan meletakkan tangan
secara berdampingan dengan jari-jari tangan dalam posisi ekstensi
di atas area dada. Vibrasi dada dilakukan untuk meningkatkan
kecepatan dan turbulensi udara saat ekshalasi untuk
menghilangkan sekret (Somantri, 2012).
Perkusi dan vibrasi dada merupakan suatu tindakan
menepuk sekaligus memvibrasi dada untuk membantu
melepaskan mukus yang kental dan melekat pada daerah
bronkiolus dan bronki (Smeltzer & Bare, 2013).
2) Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif adalah suatu tindakan yang dilakukan
untuk mendorong pasien agar mudah membuang sekresi dengan
metode batuk efektif sehingga dapat mempertahankan jalan
napas yang paten. Latihan batuk efektif dilakukan dengan puncak
rendah, dalam dan terkontrol. Posisi yang dianjurkan untuk
melakukan latihan batuk efektif adalah posisi duduk di tepi
tempat tidur atau semi fowler, dengan posisi tungkai diletakkan di
atas kursi (Smeltzer & Bare, 2013).

3) Penghisapan lendir
Penghisapan lendir atau section adalah suatu tindakan yang
dilakukan untuk mengeluarkan sekret yang tertahan pada jalan
napas. Penghisapan lendir bertujuan untuk mempertahankan jalan
napas tetap paten (Hidayat, 2009).

H. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan penggumpulan, pengaturan, validasi dan
dokumentasi data atau informasi secara sistematis dan
berkesinambungan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011). Pengkajian
keperawatan adalah hasil dari proses menggali permasalahan yang ada
di pasien meliputi pengumpulan data tentang status kesehatan pasien
yang dilakukan secara sistematis, menyeluruh atau komprehensif,
akurat, singkat dan berlangsung secara berkesinambungan (Muttaqin,
2010).
Hal-hal yang perlu dikaji dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien Tb paru yaitu:

a. Biodata
Pada biodata pasien hal-hal yang perlu dikaji yaitu nama,
umur, jenis kelamin, tempat/ tanggal lahir, alamat, pekerjaan,
agama, status, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, dan
no rekam medis (Wijaya & Putri, 2013).
b. Riwayat keperawatan
Riwayat keperawatan yang berhubungan dengan gangguan
sistem oksigenasi, yang difokuskan untuk mengenal tanda dan
gejala umum. Keluhan utama yang sering muncul yaitu batuk,
batuk darah, produksi sputum berlebih dan sesak napas (Muttaqin,
2010).

1) Batuk
Hal ini terjadi karena adanya peradangan pada bronkus,
reflek batuk ini sebagai respon tubuh untuk membuang atau
mengeluarkan produksi radang atau inflamasi diawali dari batuk
kering sampai batuk yang menghasilkan produk sputum dalam
kurun waktu >3 minggu (Somantri, 2012).
2) Batuk darah
Batuk darah atau hemoptisis merupakan keluarnya darah
dari saluran pernapasan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh
darah pada saluran napas bawah. Batuk darah diawali dengan
gatal di daerah tenggorokan atau ada keinginan untuk batuk,
selanjutnya darah akan dikeluarkan lewat batuk. Karakteristik
darah yaitu merah terang, berbuih dan dapat bercampur dengan
dahak. Berat ringannya batuk darah akan tergantung pada besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah (Muttaqin, 2010).
3) Produksi sputum berlebih
Orang dewasa normal akan memproduksi sputum sekitar
100 ml/hari. Jika produksi sputum berlebihan, akan
mengakibatkan proses pembersihan menjadi tidak efektif lagi,
sehingga sputum akan menumpuk pada saluran pernapasan
(Muttaqin, 2010).
4) Sesak napas
Sesak napas atau dispnea adalah gejala umum yang
terjadi pada gangguan sistem pernapasan dan kardiovaskular,
khususnya jika terdapat peningkatan kekakuan paru dan adanya
tahanan jalan napas (Smeltzer & Bare, 2013). Sesak napas
adalah gejala terhadap gangguan pada tarkeobronkial, parenkim
paru, dan rongga pleura (Muttaqin, 2010). Gejala ini dapat
ditemukan jika sudah terjadi kerusakan parenkim paru yang
sudah meluas sampai setengah paru (Somantri, 2012).
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Secara umum pertanyaan yang sering diajukan pada pasien
Tb paru yaitu:
1) Pernah mengalami batuk dalam kurun waktu yang lama dan
tidak sembuh
2) Memiliki riwayat kontak dengan orang yang terinfeksi Tb paru
3) Memiliki sistem imun yang lemah
4) Memiliki riwayat vaksinasi BCG yanr tidak teratur (Wahid &
Suprapto, 2013).
d. Riwayat keluarga
Pengkajian terhadap riwayat penyakit keluarga merupakan
hal sangat penting untuk mendukung keluhan yang dialami oleh
pasien, yang akan membantu memberikan predisposisi keluhan
seperti adanya riwayat sesak napas, batuk dalam kurun waktu yang
lama, batuk disertai darah. Pengkajian ini dapat diperoleh dari
generasi terdahulu (Muttaqin, 2010).
e. Faktor pendukung
Secara umum faktor-faktor yang dapat mendukung
peningkatan kasus TB paru yaitu:
1) Kondisi lingkungan
2) Pola hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan merokok, minum-
minuman beralkohol, pola istirahat dan tidur yang tidak teratur,
kurang dalam kebersihan diri dan pola makan yang tidak
seimbang.

3) Rendahnya tingkat pengetahuan atau pendidikan yang dimiliki


pasien dan keluarga tentang penyakit, cara pencegahan,
pengobatan, dan perawatan yang harus dilakukan (Wahid &
Suprapto, 2013).
f. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik sering disebut sebagai diagnosis fisik.
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan berfokus pada bagian
thorax yang meliputi:
1) Inspeksi
Pemeriksaan dengan melihat keadaan umum sistem
pernapasan dan menilai adanya tanda-tanda abnormal misalnya
adanya sianosis, pucat, kelelahan, sesak napas, batuk dan
menilai adanya produksi sputum (Muttaqin, 2010). Inspeksi
yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah melakukan
pengamatan atau observasi pada bagian dada, bentuk dada
simetris atau tidak, pergerakan dinding dada, pola napas,
frekuensi napas, irama napas, apakah terdapat proses ekshalasi
yang panjang, apakah terdapat otot bantu pernapasan, gerak
paradoks, retraksi antara iga dan retraksi di atas klavikula.
Dalam penghitungan frekuensi pernapasan jangan diketahui oleh
pasien yang dilakukan pemeriksaan karena akan mengubah pola
napasnya (Djojodibroto, 2016).
Penghitungan frekuensi pernapasan dapat dilakukan
seolah-olah seperti menghitung frekuensi denyut nadi
(Djojodibroto, 2016). Selain itu menentukan status kondisi
lainnya seperti kebersihan, perdarahan, dan obstruksi jalan
nafas. Penghitungan pernapasan dilakukan dalam satu menit
(Hidayat, 2009).

2) Palpasi
Pemeriksaan dengan palpasi bertujuan untuk mendeteksi
kelainan seperti peradangan di daerah setempat. Melalui
palpasi dapat diketahui gerakan dinding toraks saat proses
inspirasi dan ekspirasi. Cara palpasi dapat dilakukan dari
belakang dengan meletakkan kedua tangan di kedua sisi tulang
belakang. Jika pada daerah puncak paru terdapat fibrosis seperti
proses Tb paru, tidak akan ditemukan pengembangan di bagian
atas toraks. Kelainan yang terjadi pada paru, seperti getaran
suara atau fremitus vokal, dapat dideteksi apabila terdapat suatu
getaran sewaktu saat dilakukan pemeriksaan (Hidayat, 2009).
Dengan cara meletakkan kedua tangan pada dada pasien
sehingga kedua ibu jari pemeriksa terletak di garis tengah di atas
sternum, ketika pasien menarik nafas dalam, maka kedua ibu
jari tangan harus bergerak secara simetris dan terpisah satu sama
lain dengan jarak miimal 5 cm (Muttaqin, 2010). Fremitus vokal
menjadi lemah atau hilang jika di dalam rongga pleura terdapat
air, darah, nanah, atau udara, bronkus yang tersumbat. Getaran
yang terasa oleh tangan pada saat dilakukan pemeriksaan palpasi
ditimbulkan oleh adanya dahak dalam bronkus, yang bergetar
pada saat proses inspirasi dan ekspirasi (Muttaqin, 2010).
3) Perkusi
Pengetukan dada atau perkusi akan menghasilkan vibrasi
pada dinding dada dan organ paru-paru yang ada di bawahnya,
akan dipantulkan dan dapat diterima oleh pendengaran
pemeriksa. Nada dan kerasnya bunyi yang dihasilkan tergantung
pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi yang
dilakukan perkusi. Perkusi yang dilakukan di atas organ yang
padat atau organ yang berisi cairan akan menghasilkan bunyi
yang memilki amplitudo rendah dan memiliki frekuensi tinggi
yang disebut dengan suara pekak (dull dan stony dull). Cara
pemeriksaan perkusi adalah permukaan jari tengah diletakkan
pada daerah dinding dada di atas sela-sela iga selanjutnya
diketuk dengan jari tengah tangan yang lain (Djojodibroto,
2016). Perkusi berguna untuk menentukan apakah jaringan yang
terdapat di bawahnya terisi oleh cairan, udara, bahan padat atau
tidak (Muttaqin, 2010).
4) Auskultasi
Auskultasi merupakan mendengarkan suara yang berasal
dari dalam tubuh dengan cara menempelkan telinga ke dekat
sumber bunyi atau dengan menggunakan alat stetoskop.
Stetoskop berguna untuk mempermudah dalam pemeriksaan
auskultasi, yang memiliki tiga ujung meliputi satu ujung kepala
yang diletakkan di atas permukaan kulit dada atau perut dan dua
ujung lainnya ditempelkan pada lubang telinga pemeriksa
(Djojodibroto, 2016). Pemeriksaan auskultasi bertujuan untuk
mengkaji aliran udara melalui pohon bronkial dan mengevaluasi
cairan atau obstruksi (Muttaqin, 2010).
Pada pasien Tb paru timbul suara ronki basah, kasar dan
nyaring akibat peningkatan produksi sekret pada saluran
pernafasan (Somantri, 2012). Karakteristik suara ronki terdengar
perlahan, nyaring dan seperti suara mengorok yang terjadi terus
menerus (Wahid & Suprapto, 2013). Bunyi ronki kasar
cenderung berubah dengan adanya batuk. Ronki dapat
disebabkan oleh hilangnya stabilitas jalan napas perifer yang
mengalami kolaps pada saat ekspirasi. Pada saat tekanan
inspirasi yang tinggi akibat terjadinya pemasukan udara yang
cepat ke dalam unit-unit udara distal. Maka akan terjadi
pembukaaan yang cepat di alveoli dan bronkus yang kecil atau
bronkus sedang yang mengandung sekret pada bagian-bagian
paru (Muttaqin, 2010).

I. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul (SDKI)

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekresi jalan nafas d.d
sputum berlebih, ronkhi, dyspnea (D.0001)
b. Hipertermia b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas nilai normal,
takikardi, takipnea, kulit terasa hangat (D.0130)
c. Nyeri akut b.d proses peradangan d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat, diaforesis (D.0077)
d. Defisit nutrisi b.d faktor psikologis (keengganan untuk makan) d.d
penurunan berat badan minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu
makan menurun (D.0019)
e. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen d.d mengeluh lelah, merasa lemah (D.0056)
f. Risiko infeksi d.d penyakit kronis (D.0142)

I.1 Luaran Keperawatan (SLKI)


a. Bersihan jalan nafas (L.01001)
Definisi :
Kemampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten.
Ekspektasi: Meningkat
Kriteria hasil:
1) Batuk efektif meningkat
2) Produksi sputum meningkat
3) Mengi menurun
4) Wheezing menurun

b. Termoregulasi (L.14134)
Definisi :
Pengaturan suhu tubuh agar tetap berada pada rentang normal.
Ekspektasi : Membaik.

Kriteria hasil:
1) Menggigil menurun
2) Kulit merah menurun
3) Akrosianosis menurun
4) Konsumsi oksigen menurun
5) Piloereksi menurun
6) Vasokonstriksi perifer menurun
7) Kutis memorata menurun
8) Pucat menurun
9) Takikardia menurun
10) Takipnea menurun
11) Bradikardia menurun
12) Hipoksia menurun
13) Suhu Tubuh membaik
14) Suhu kulit membaik
15) Kadar glukosa darah membaik
16) Pengisisan kapiler membaik
17) Ventilasi membaik
18) Tekanan darah membaik

c. Tingkat Nyeri (L.08066)


Definisi:
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual dan fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat, dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan
menurun.
Ekspektasi: Menurun.
Kriteria hasil:
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Sikap protektif menurun
4) Gelisah menurun
5) Kesulitan tidur menurun
6) Frekuensi nadi membaik

d. Status nutrisi (L.03030)


Definisi:
Keadekuatan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme membaik
Ekspektasi: Membaik
Kriteria hasil:
1) Porsi makan yang dihabiskan meningkat
2) Berat badan membaik
3) Indeks massa tubuhh (IMT) membaik

e. Toleransi aktivitas (L.05047)


Definisi:
Respon fisiologis terhadap aktivitas yang membutuhkan tenaga
Ekspektasi: meningkat
Kriteria hasil:
1) Keluhan Lelah menurun
2) Dispnea saat aktivitas menurun
3) Dispnea setelah aktivitas menurun
4) Frekuensi nadi membaik

f. Kontrol risiko (L.14128)


Definisi:
Kemampuan untuk mengerti, mencegah, mengeliminasi atau
mengurangi ancaman kesehatan yang dapat dimodifikasi.
Ekspektasi: meningkat
Kriteria hasil:
1) Kemampuan mencari informasi tentang faktor risiko meningkat.
2) Kemampuan mengidentifikasi faktor risiko meningkat
3) Kemampuan melakukan strategi kontrol resiko meningkat

I.2 Intervensi Keperawatan (SIKI)


a. Latihan Batuk Efektif (I.01006)
Observasi
 Identifikasi kemampuan batuk
 Monitor adanya retensi sputum
 Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
 Monitor input dan output cairan (misal: jumlah dan
karakteristik)
Terapeutik
 Atur posisi semi-fowler dan fowler
 Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
 Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
 Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan
bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali
 Anjutkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas dalam
yang ke-3
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu.

b. Manajemen Jalan Nafas (I.01011)


Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi,
wheezing, ronchi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
 Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu.

c. Pemantauan Respirasi (I.01014)


Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai analisa gas darah
 Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

d. Manajemen Hipertermia (I.15506)


Observasi
 Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi terpapar
lingkungan panas penggunaan incubator)
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor haluaran urine
Terapeutik
 Sediakan lingkungan yang dingin
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat berlebih)
 Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen,aksila)
 Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
 Batasi oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

e. Manajemen Nyeri (I.08238)


Observasi
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
f. Manajemen Nutrisi (I.03119)
Observasi      
 Identifikasi status nutrisi  
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan  
 Identifikasi makanan yang disukai  
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient  
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik  
 Monitor asupan makanan  
 Monitor berat badan  
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik    
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu    
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)  
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai  
 Berikan makan tinggi serat untuk  mencegah konstipasi  
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein  
 Berikan suplemen makanan, jika perlu  
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika
asupan oral dapat ditoleransi        
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu  
 Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan  (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu Kolaborasi
 dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah  kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu      

g. Manajemen Energi (I.05178)


Observasi
 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
 Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
 Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

h. Edukasi Pencegahan Infeksi (I.12406)


Observasi
 Periksa kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Terapeutik
 Siapkan materi, media tentang faktor-faktor penyebab, cara
identifikasi dan pencegahan risiko infeksi di rumah sakit
maupun di rumah
 Jadwalkan waktu yang tepat untuk memberikan pendidikan
kesehatan sesuai kesepakatan dengan pasien dan keluarga
 Berikan kesempatan untuk bertanya Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
 Informasikan hasil pemeriksaan laboratorium (mis. leukosit,
WBC)
 Anjurkan mengikuti tindakan pencegahan sesuai kondisi
 Anjurkan membatasi pengunjung
 Ajarkan cara merawat kulit pada area yang edema
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
 Anjurkan kecukupan nutrisi, cairan, dan istirahat
 Anjurkan kecukupan mobilisasi dan olahraga sesual kebutuhan
 Anjurkan latihan napas dalam dan batuk sesual kebutuhan
 Anjurkan mengelola antibiotik sesuai resep
 Ajarkan cara mencuci tangan
 Ajarkan etika batuk

Anda mungkin juga menyukai