Anda di halaman 1dari 21

A.

Konsep Medis
1. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh
organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. (Sylvia
A.price dalam Amin & Hardhi, 2015)
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui
percikan dahak (droplet) dari penderita tuberkulosis kepada individu yang
rentan. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru,
namun dapat juga menyerang organ lain seperti pleura, selaput otak, kulit,
kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem urogenital, dan lain-lain. Tuberkulosis
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi. (Price, 2001 dalam Nixson
Manurung, 2016)
Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang merupakan salah satu penyakit
saluran pernapasan bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkulosis masuk
ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami
proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon. (Hood Alsagaff, 1995 dalam
Andra & Yessie, 2013)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular langsung melalui
droplet orang yang telah terinfeksi kuman/basil tuberkulosis. (WHO, 2014
dalam Najmah, 2016).
2. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberculosa. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Ada dua macam Mycobacteria Tuberculosis yaitu tipe Human dan
tipe Bovin. Basil tipe Human bisa berada dibercak ludah (droplet) dan di udara
yang berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila
menghirupnya. (Wim de Jong dalam Amin & Hardhi, 2015)
Setelah organisme terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan
hidup dan menyebar kenodus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah
ini dapat menyebabkan TB pada orang lain, dimana infeksi laten dapat bertahan
sampai bertahun-tahun. (Patrick Davey dalam Amin & Hardhi, 2015)
Agen infeksius utama, mycobacterium culosis adalah batang aerobik tahan
asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar
ultraviolet. (Andra & Yessie, 2013)

3. Klasifikasi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan klasifikasi TB paru adalah sebagai
berikut:
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik,
radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena
merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi. Sesuai
dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut:
a. TB paru BTA positif dengan kriteria:
1) Dengan atau tanpa gejala klinik
2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali
disokong biakan positif 1 kali atau disokong radiologik positif 1 kali
3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru
b. TB paru BTA negatif dengan kriteria:
1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif
2) BTA negatif, biarkan negatif tetapi radiologik positif
c. Bekas TB paru dengan kriteria
1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
2) Gejala klinik tidak ada atau gejala sisa akibat kelainan paru
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial
foto yang tidak berubah
4) Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
Klasifikasi menurut American Thoracic Society dalam Amin dan Hardhi
(2015), adalah sebagai berikut:
a. Kategori 0: tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif,
tes tuberculin negatif.
b. Kategori 1: terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
riwayat kontak positif, tes tuberculin negatif.
c. Kategori 2: terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori 3: terinfeksi tuberkulosis dan sakit
Sedangkan menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu:
(Sudoyo Aru dalam Amin & Hardhi, 2015).
a. Kategori 1, ditujukan terhadap:
1) Kasus baru dengan sputum positif
2) Kasus baru dengan bentuk TB berat
b. Kategori 2, ditujukan terhadap:
1) Kasus kambuh
2) Kasus gagal dengan sptum BTA positif
c. Kategori 3, ditujukan terhadap:
1) Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang luas
2) Kasus TB ekstra paru selain yang disebut dalam kategori
d. Kategori 4, dutujukan terhadap: TB kronik

4. Patofisiologi
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang patofisiologi dari penyakit
TB adalah sebagai berikut:
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveoli biasanya diinhilasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang
lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung dan tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya dibagian bawah lobus
atas atau dibagian atas lobus bawah) basil tuberkulosis ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri tetapi tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-
hari pertama maka leukosit diganti olehmakrofag. Alveoli yang terserang akan
mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa menimbulkan kerusakan
jaringan paru atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe
regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk seltuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis bagian
sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis
ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan
jaringan granulasi dan sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
fibroblasmenimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,
membentuk jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru disebut fokus Ghon dan gabungan terserangnya
kelenjar limfe regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Kompleks
Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang
kebetulan menjalani pemeriksaan bahan cair lepas ke dalam bronkus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkularyang dilepaskan dari dinding kavitas
akan masuk ke percabangan trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali
pada bagian lain dari paru atau basil dapat terbawa ke laring, telinga tengah atau
usus. Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus
dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan
perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat
mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang
tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama
atau membentuk lagi hubungan denganbronkus dengan menjadi tempat
peradagan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau pembuluh
darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan
mencapai aliran darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain (ekstrapulmoner). Penyebaran
hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan
tuberkulosis milier. Ini terjadi bila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke
dalam sistem vaskuler ke organ-organ tubuh.

5. Manifestasi klinis
a. Menurut Mary DiGiulio, dkk (2014) tanda dan gejala dari tuberkulosis yaitu:
1) Berat badan turun dan anoreksia
2) Berkeringat dingin
3) Demam, mungkin golongan yang rendah karena infeksi
4) Batuk produktif dengan dahak tak berwarna, bercak darah
5) Napas pendek karena perubahan paru-paru
6) Lesu dan lelah karena aktivitas paru-paru terganggu
b. Menurut Andra dan Yessie (2013) gambaran klinik TB paru dapat dibagi
menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.
1) Gejala respiratorik, meliputi:
a) Batuk
b) Batuk darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
2) Gejala sitemik, meliputi:
a) Demam
b) Gejala sistem lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan serta malaise.
c) Timbulnya keluhan biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan,
akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas
walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
Gejala umum TBC adalah anoreksia dan penurunan berat badan, tubuh
terasa lelah dan lesu, demam dan sering kedinginan. Pada TBC kulit, kelainan
berupa ulkus atau papul yang berkembang menjadi pustula yang berawarna
gelap.

6. Komplikasi
Nixson Manurung (2016) menjelaskan bahwa penyakit TB paru bila tidak
ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas
komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
a. Komplikasi dini
1) Pleuritis
2) Efusi pleura
3) Emplema
4) Laringitis
5) Menjelar ke organ lain seperti usus
b. Komplikasi lanjut
1) Obstruksi jalan napas: SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberculosis)
2) Kerusakan arenkim berat: SOPT, fibrosis paru, korpulmonal
3) Amiloidosis
4) Karsinoma paru dan sindrom gagal napas dewasa

7. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Mansjoer, dkk dalam Amin dan Hardhi (2015), pemeriksaan
diagnostik yang dilakukan pada klien dengan Tuberculosis paru, yaitu:
a. Laboratorium darah rutin
LED normal/meningkat, limfositosis
b. Pemeriksaan sputum BTA
Untuk memastikan diagnostik TB paru, namun pemeriksaan ini tidak spesifik
karena hanya 30-70% pasien yang dapat didiagnosis berdasarkan
pemeriksaan ini.
c. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgH spesifik terhadap basil TB.
d. Tes Mantoux Tuberkulin
Merupakan uji serologi Imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
e. Tekhnik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun
hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya
resistensi
f. Becton Dickinson diagnostik instrument Sistem (BACTEC)
Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme
asam lemak oleh mykobakterium tuberculosis.
g. MYCODOT
Deteksi antibody memakai antigen liporabinomanan yang direkatkan pada
suatu alat berbentuk seperti sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam jumlah
memadai memakai warna sisir akan berubah.
h. Pemeriksaan radiologi
Rontgen thorax PA dan lateral, gambaran foto thorax yang menunjang
diagnosis TB, yaitu:
1) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atau segment apikal lobus bawah.
2) Bayangan berwarna ( patchy ) atau bercak ( nodular)
3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda
4) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru
5) Adanya klasifikasi
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
7) Bayangan milier
Sedangkan menurut Arif Muttaqin (2013) pemeriksaan diagnostik pada
TB paru adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan
fisik menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan Rontgen menemukan
suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali
lokasi di lobus bawah dan biasanya ada disekitar hilus. Kerakteristik kelainan
ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi
dengan batas lesi yang tidak jelas.
b. Pemeriksaan CT Scan
Dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang
ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita
parenkimal, klasifikasi nodul, dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas
bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emfisema perisikatriksial.
c. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB
paru milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer.
TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh
serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang
fatal sebelum penggunaan OAT.
Pada beberapa klien, didapatkan bentuk berupa granul-granul halus atau
nodul-nodul sangat kecil yang menyebar secara difus dikedua lapangan paru.
Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak
terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Bahan pemeriksaan untuk isolasi mycobacterium tuberculosis berupa:
1) Sputum
Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama keluar. Jika
sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan dalam 24 jam.
2) Urine
Urine yang diambil adalah urine pertama di pagi hari atau urine yang
dikumpulkan selama 12-24 jam.
3) Cairan kumbah lambung
Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika anak-anak atau klien
tidak dapat mengeluarkan sputum. Diambil pada pagi hari sebelum
sarapan.
4) Bahan-bahan lain
Misalnya pus, cairan serebrospinal (sum-sum tulang belakang), cairan
pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab tenggorok.

8. Penatalaksanaan medis
a. Pengobatan
Andra dan Yessie (2013) menjelaskan tentang cara pengobatan penyakit
tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain untuk mengobati juga
mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT
serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat
utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang sesuai dengan rekomendasi
WHO adalah Rifampisan, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol.
Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide,
Amoksisilin + asam klavulanat, derivat Rifampisin/INH, dapat dilihat pada
tabel berikut:
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu
bedasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Disamping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang
dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang
direkomendasikan oeh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
1) Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam
penanggulangan TB.
2) Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung
sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan
kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
3) Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan
pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.
4) Kesinambungan ketersediaan padua OAT jangka pendek yang cukup
5) Pencatatan dan pelaporan yang baku.
b. Pencegahan
Menurut Najmah (2016) berikut ini merupakan pencegahan primer, sekunder,
dan tersier tuberkulosis.
1) Pencegahan primer
a) Tersedia sarana-saran kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau
suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini
bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
b) Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit
TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang
ditimbulkannya.
c) Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut
sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
d) Pecegahan infeksi dengan cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan
rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Dekontaminasi
udara dengan cara ventilasi yang baik dengan bisa ditambahkan dengan
sinar UV.
e) Imunisasi orang-orang kontak
Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga,
perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi
dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi positif yang tertular.
f) Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi
risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
g) Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum
dengan cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif, susu
di pasteurasi sebelum dikonsumsi.
h) Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan
tambang.
2) Pencegahan Sekunder
a) Pengobatan Preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap
penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai
pencegahan.
b) Isolasi pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan
khusus TBC. Pengobatan mondok di rumah sakit hanya bagi penderita
yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program
pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis
untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan
c) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
d) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok beresiko
tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita,
petugas di rumah sakit, petugas/guru di sekolah, petugas foto rontgen.
e) Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil
pemeriksaan tuberculin test.
f) Pengobatan khusus
g) Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat
kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun
dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya
kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh
dokter.
3. Pencegahan tersier
a) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup
udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen, dan
sebagainya
b) Rehabilitasi

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
a. Biodata
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
suku/bangsa, status pernikahan, pekerjaan, no.RM, tanggal masuk RS,
tanggal pengkajian, dan diagnosa medic.
Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,
dan hubungan keluarga.
b. Keluhan utama
1) Alasan kunjungan: alasan klien masuk RS
2) Faktor pencetus: bertahap atau mendadak
3) Lamanya keluhan: sudah berapa lama keluhan yang dirasakan oleh klien.
4) Timbulnya keluhan: kapan keluhan dirasakan
5) Upaya yang dilakukan utnuk mengatasinya: sendiri atau dibantu oleh
orang lain.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
2) Riwayat kesehatan masalalu
3) Riwayat kesehatan keluarga
d. Riwayat psikososial
1) Pola konsep diri
2) Pola kognitif
3) Pola koping
4) Pola interaksi
e. Riwayat spiritual
1) Ketaatan klien beribadah
2) Dukungan keluarga klien
3) Ritual yang biasa dijalankan klien
f. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
2) Tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan.
3) Head to toe

2. Diagnosis keperawatan
Menurut Marilynn E.Doenges, dkk (2012), diagnosa keperawatan yang
lazim muncul pada klien dengan tuberculosis adalah :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mukus
yang kental, hemoptisis; kelemahan, upaya batuk buruk; dan edema
trakheal/faringeal.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder tehadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru, atelektasis; kerusakan membran alveolar-kapiler;
sekret kental, tebal; edema bronkial.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan, anoreksia,
dispnea, peningkatan metabolisme tubuh.
e. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
f. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
g. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer
tidak adekuat, penurunan kerja silis/statis sekret; kerusakan
jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses
inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan untuk
menghindari pemajanan patogen.
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekresi mukus
yang kental, hemoptisis; kelemahan, upaya batuk buruk; dan edema
trakheal/faringeal.
Tujuan: Kebersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria:
1) Mempertahankan jalan napas klien
2) Pernapasan klien normal (16-24 x/i)
3) Mengeluarkan sekret tanpa bantuan
Intervensi dan rasional
1) Kaji fungsi pernapasan seperti: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman
dan penggunaan otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis ronchi,
mengi menunjukkan akumulasi sekret/ketidak mampuan untuk
membersihkan jalan napas.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektif, catat
karakter jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental. Sputum berdarah
kental diakibatkan oleh kerusakan paru atau luka bronkial.
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk batuk
efektif dan latihan napas dalam.
Rasional : Posisi dapat membantu memaksimalkan ekspansi paru, ventilasi
maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan secret
kedalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
4) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra
indikasi, atau anjurkan minum air hangat.
Rasional : Pemasukan cairan dapat membantu untuk mengencerkan secret
sehingga mudah untuk dikeluarkan.
5) Beri obat-obat sesuai indikasi : Agen mukolitik dan Bronkhodilator.
Rasional : Agen mukolitik: menurunkan kekentalan secret untuk
memudahkan pembersihan. Bronkhodilator: meningkatkan ukuran lumen
percabangan trakeobronkhial, sehingga menurunkan tahanan terhadap
aliran udara.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder tehadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan: Pola napas kembali efektif
Kriteria:
1) Klien mampu melakukan batuk efektif
2) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada batas normal.
Intervensi dan rasional
1) Identifikasi faktor penyebab
Rasional : Menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil
tindakan yang tepat.
2) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, dan
perubahan tanda vital.
Rasional : Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya
syok akibat hipoksia
3) Berikan posisi fowler/semifowler tinggi dan miring pada sisi yang sakit,
bantu klien latihan napas dalam.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru dan mnurunkan upaya bernapas.
Ventilasi maksimal membuka area atelektasis.
4) Auskultasi bunyi napas.
Rasional : Bunyi napas dapat menurun/tak ada pada area kolaps yang
meliputi satu lobus, segmen paru,
c. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru, atelektasis; kerusakan membran alveolar-kapiler;
sekret kental, tebal; edema bronkial.
Tujuan: Gangguan pertukaran gas tidak terjadi
Kriteria:
1) Melaporkan tidak adanya/penurunan dispnea
2) Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
3) Bebas dari gejala distres pernapasan
Intervensi dan rasional
1) Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan,
ekspansi thoraks, dan kelemahan.
Rasional : TB Paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkhopneumonia sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi
pleura, dan fibrosis yang luas.
2) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. Catat sianosis dan/atau
Perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : Akumulasi sekret/pengaruh jalan napas dapat mengganggu
oksigenasi organ vital dan jaringan.
3) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, bantu kebutuhan perawatan diri.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan
pernapasan
4) Pemberian O2 sesuai kebutuhan tambahan.
Rasional : Terapi O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan keletihan, anoreksia,
dispnea, peningkatan metabolisme tubuh.
Tujuan: Intake nutrisi klien terpenuhi
Kriteria:
1) Menunjukkan berat badan meningkat
2) Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula kurang
menjadi adekuat
Intervensi dan rasional
1) Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan
dan derajat kekurangan berat badan, integritas mukosa oral, kemampuan
menelan, riwayat mual muntah atau diare.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan derajat/luasnya masalah dan
pilihan intervensi yang tepat.
2) Kaji pola diet pasien yang disukai atau tidak disukai
Rasional : Pertimbangan keinginan individu memperbaiki masukan diet.
3) Awasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik.
Rasional : Berguna dalam mengukur kefektifan nutrisi dan dukungan
cairan.
4) Selidiki anoreksia mual dan muntah dan catat kemungkinan hubugan
dengan obat dan awasi frekuensi, volume, konsistensi.
Rasional : Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area
pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan nutrisi.
5) Berikan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan serta
sebelum dan sesudah pemeriksaan peroral.
Rasional : Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum
atau obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat merangsang
pusat muntah.
6) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak
perlu/kebutuhan energi dari makan makanan banyak dan menurunkan
iritasi gaster
7) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet
yang tepat.
Rasional : Merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori.
e. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
Tujuan: Klien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga
tidak terjadi kecemasan.
Kriteria:
1) Klien nampak lebih rileks dan santai
2) Tidak ada tanda cemas pada raut wajah klien
Intervensi dan rasional
1) Bantu dalam mengidentifikasi sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat
bermanfaat dalam mengatasi stres.
2) Ajarkan tekhnik relaksasi.
Rasional : Mengurangi ketegangan otot.
3) Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan klien
Rasional : Hubungan saling percaya membantu memperlancar proses
terapeutik.
4) Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas
Rasional : Membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan
5) Bantu klien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, maka perasaan negatif dapat diketahui.
f. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di rumah.
Tujuan: Klien mampu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
Kriteria:
1) Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan
pengobatan
Intervensi dan rasional
1) Kaji kemampuan klien untuk mengikuti pembelajarn (pengetahuan klien).
Rasional : Keberhasilan proses belajar dipengaruhi oleh kesiapan fisik,
emosional, dan lingkungan yang kondusif
2) Berikan Health Education pada klien dan keluarga klien tentang penyakit
TB paru
Rasional : Pendidikan kesehatan merupakan cara efektif untuk
memberikan informasi kepada klien
3) Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, alasan mengapa
pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
Rasional : Meningkatkan partisipasi klien dalam program pengobatan dn
mencegah putus obat karena membaiknya kondisi pasien sebelum jadwal
terapi selesai.
4) Ajarkan nilai kemampuan klien untuk mengidentifikasi gejala/tanda
reaktivasi penyakit.
Rasional : Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek
obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
5) Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan diet karbohidrat
dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik membantu meminimalkan
kelemahan dan meningkatkan penyembuhan. Cairan dapat mengencerkan
sekret.
6) Evaluasi tentang pendidikan kesehatan yang diberikan kepada klien dan
keluarga klien.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman klien dan keluarga
klien tentang penyakit klien.
g. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan pertahanan primer
tidak adekuat, penurunan kerja silis/statis sekret; kerusakan
jaringan/tambahan infeksi; penurunan pertahanan/penekanan proses
inflamasi; malnutrisi; terpajang lingkungan; kurang pengetahuan untuk
menghindari pemajanan patogen.
Tujuan: Tidak terjadi penyebran/penularan infeksi
Kriteria:
1) Mencegah resiko penyebaran infeksi
2) Menunjukkan teknik perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi dan rasional
1) Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi.
Rasional : Membantu pasien menyadari perlunya program pengobatan
untuk mencegah pengaktifa berulang
2) Identifikasi orang lain yang berisiko.
Rasional : Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran infeksi.
3) Anjurkan pasien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tisu dan
menghindari meludah.
Rasional : Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.
4) Awasi suhu sesuai indikasi.
Rasional : Reaksi demam indikator adanya reaksi lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, dan Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jilid 3. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Andra, dan Yessie. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 1. Yogyakarta:
Nuha Medika.
DiGiulio, Mary dkk. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta:
Rapha Publishing.
Doenges, Marylinn E. dkk. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta:EGC.
Manurung, Nixson. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem
Respiratory. Jakarta: Trans Info Media.
Muttaqin, Arif. 2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Najmah. 2016. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Trans Info
Media.

Anda mungkin juga menyukai