Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN


OKSIGENASI AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERNAFASAN DAN
KARDIOVASKULER

Dibimbing Oleh:

Purbianto, S.Kp,M.Kep.Sp.Kmb

Di Susun Oleh:

Idealti Ajeng Soleha

1814401013

Tingkat II Reguler 1

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

PROGRAM STUDI DIPLOMA III JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2020
LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN


OKSIGENASI AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERNAFASAN DAN
KARDIOVASKULER

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI GANGGUAN PERTUKARAN GAS
Gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau deficit pada oksigenisasi dan atau eliminasi
karbondioksida pada membrane alveolar kapiler (Heardman,2012). Gangguan pertukaran
gas adalah kelebihan atau kekurangan oksigen dan pembuangan karbondioksida pada
membrane alveolus.(Rosernberg,2010). Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan
eliminasi karbordioksida dan membran alveolus-kapiler. ( SDKI DPP PPNI, 2018)
A.2. PENYEBAB
1) Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
2) Perubahan membran alveolus-kapiler
A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR
1. Subjektif
1) Dispnea
2. Objektif
1) PCO2 meningkat atau menurun
2) PO2 menurun
3) Takikardia
4) pH arteri meningkat atau menurun
5) Bunyi nafas tambahan
A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR
1. Subjektif
1) Pusing
2) Penglihatan kabar
2. Objektif
1) Sianosis
2) Diaforosis
3) Gelisah
4) Nafas cuping hidung
5) Pola nafas abnormal (cepat/lambat, regular/ireguler, dalam/dangkal)
6) Warna kuliat abnormal (misal pucat, kebiruan)
7) Kesadaran menurun

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait)

1) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

Patofisiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic obstructive


pulmonary disease utamanya adalah perubahan pada saluran nafas, tapi dapat juga ditemukan
perubahan pada jaringan parenkim paru dan pembuluh darah paru. Sebagian besar kasus PPOK
disebabkan karena paparan zat berbahaya, paling sering disebabkan oleh asap rokok. Mekanisme
patofisiologi masih belum jelas, namun diperkirakan disebabkan oleh banyak faktor.
Kerusakan Jalan Nafas
Perubahan struktural jalan nafas yang terjadi adalah atrofi, metaplasia sel skuamosa,
abnormalitas siliar, hyperplasia sel otot polos, hiperplasia kelenjar mukosa, inflamasi dan
penebalan dinding bronkial. Inflamasi kronik pada bronkitis kronik dan emfisema ditandai
dengan peningkatan jumlah Sel Limfosit T CD8, neutrofil, dan monosit/makrofag. Sebagai
perbandingan, inflamasi pada Asma ditandai dengan adanya peningkatan Sel limfosit T CD4,
eosinophil dan interleukin (IL)-4 dan IL-5. Namun hal ini tidak bisa digunakan untuk diagnosis,
karena ada kondisi Asma yang berkembang menjadi PPOK.
Kerusakan Parenkim Paru
Emfisema menyebabkan kerusakan pada struktur distal dari bronkiolus terminal. Struktur ini
terdiri dari bronkiolus, duktus alveoulus, dan saccus alveoli yang secara keseluruhan disebut
asinus. Kerusakan alveoli akan menyebabkan gangguan aliran udara melalui dua mekanisme,
yaitu dengan berkurangnya elastisitas dinding jalan nafas dan penyempitan jalan nafas. Terdapat
3 pola morfologik Emfisema, yaitu :

Centracinar, Ditandai dengan kerusakan pada bronkiolus dan bagian sentral dari asinus. Tipe
emfisema ini biasanya ditemukan pada perokok dan lobus paru atas merupakan bagian yang
rusak paling parah.

Panacinar, Ditandai dengan kerusakan menyeluruh pada semua bagian asinus. Tipe ini biasanya
menyebabkan kerusakan parah pada lobus paru bawah dan biasanya ditemukan pada pasien
dengan defisiensi alfa 1 antitrypsin.

Distal Acinar, Kerusakan terjadi pada struktur distal jalan nafas, duktus dan saccus alveolar.
Tipe emfisema ini terlokalisasi pada septa fibrous atau pleura dan akan menyebabkan
pembentukan bullae. Bullae apikal yang ruptur dapat menyebabkan timbulnya pneumothoraks
spontan.

Kerusakan pembuluh darah paru


Perubahan pada pembuluh darah paru berupa hyperplasia tunika intima dan otot polos akibat
vasokonstriksi kronik dari arteri kecil paru yang dipicu oleh hipoksia. 

2) Gagal jantung kongestif


Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh
melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu
responhemodinamik, ginjal, syarafdan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologi berupa
penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung
menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume
darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung.
Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa
penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergic.

3) Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik meningkatnya responsivitas
bronkial serta obstruksi jalan napas secara episodik. Karakteristik patologis mayor pada asthma
antara lain:
1. peluruhan epitelial
2. peningkatan massa otot polos pada jalan napas yang diakibatkan oleh hipertrofi,
hiperplasia, atau migrasi.
3. hiperplasia kelenjar mukosa
4. fibrosis sub epitelial
5. inflitrasi sel inflamasi pada dinding bronkial
Abnormalitas imunologis utama pada asthma adalah respon imun tipe 2 yaitu sekresi sitokin
tipe 2. Kelebihan sekresi sitokin tipe 2 pada saluran napas bagian bawah akan merangsang
hipersensitivitas yang dimediasi oleh IgE.
Bagaimana mekanisme atopi maupun infeksi virus pada saluran napas menginisiasi respon
imun tipe 2 belum sepenuhnya dipahami. Stimulus ekternal seperti oksidan (asap rokok,
polutan), aeroalergen, dan infeksi terutama virus dapat mengaktifkan sel epitel. Aktivasi sel
epitel memicu pelepasan sitokin, kemokin, mediator lipid, nitrit oksida, dan oksigen reaktif.
Sitokin utama yang dilepaskan adalah IL-25, IL-33, dan thymic stromal lymphopoietin (TSLP)
yang menginisiasi respon imun tipe 2.

A.5. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


1) Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-
10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah
fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.

2) Gagal jantung kongestif


1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunnya konsumsi
O2 melalui istirahat/ pembatasan aktifitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
 Mengatasi keadaan yang reversible, termasuk tirotoksikosis miksedem, dan
artimia.
 Digitalisasi
 Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 mg dalam 4-6 dosis selama 24
jam dan di lanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari.
 Digoksin IV 0,75 – 1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
 Cedilanid IV 1,2 – 1,6 mg dalam 24 jam.
 Dosis penujang untuk gagal jantung digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien
usia lanjut gagal jantung di sesuaikan.
 Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat;
1. Digoksin : 1-1,5 mg IV perlahan-lahan
2. Cedilamid : 0,4 – 0,8 IV perlahan-lahan
3) Asma
Penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari
penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah
gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama
dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai
relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa
inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan
preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek
samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua
adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan
menjadi lebih berguna.
Ada 5 kategori pengobatan yaitu :
1. Abenis ( Beta)
Medikasi awal untuk mendilatasi otot otot polos bronchial, meningkatkan
gerakan siliarism,menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek
bronkodilatasi dari kortikosteroid.
Contoh : epinenim, abuterol,meraproterenol
2. Methil santik
Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan otot-otot polos bronkus,
meningkatkan gerakan mukus, dan meningkatkan kontraksi diafragma.
Contoh : aminofilin dan theofilin
3. Anti cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan
kandidat untuk antibodi dan methil santin karena penyakit jantung.
Contoh : Atrofin
4. Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk
mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor.
Contoh : hidrokortison, prednison dan deksametason.
5. Inhibator Sel Mast
Contoh : Natrium bromosin adalah bagian intergral dan pengobatan asma
yang berfungsi mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilatik
B. RENCANA KEPERAWATAN

1. Diagnosa Keperawatan : Gangguan pertukaran gas


Tujuan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien


menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan
berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.

2.
Kriteria hasil Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat
menurun meningkat
Tingkat
kesadaran 1 2 3 4 5

Kriteria hasil Meningkat Cukup Sedang Cukup Menuru


meningkat menurun n
Dipsnea 1 2 3 4 5
Bunyi nafas 1 2 3 4 5
tambahan
Pusing 1 2 3 4 5
Penglihatan kabur 1 2 3 4 5
Diaforesis 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Nafas cuping 1 2 3 4 5
hidung

Kriteria Hasil Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik


memburuk membaik
PCO2 1 2 3 4 5
PO2 1 2 3 4 5
Takikardia 1 2 3 4 5
pH arteri 1 2 3 4 5
Sianosis 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
Warna kulit 1 2 3 4 5
3. Intervensi :

Mandiri :

1. Intervensi : Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot


aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya
proses penyakit.
2. Intervensi : Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi
yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir
sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
Rasional : posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps
jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
3. Intervensi : Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R asional : Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya
hipoksemia.
4. Intervensi : Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R asional : banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas
pada jalan nafas.
5. Intervensi : Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau
bunyi tambahan.
Rasional : bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau
area konsolidasi.
6. Intervensi : Palpasi fremitus.
R asional : penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau
udara terjebak.
7. Intervensi : Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya
perubahan.
Rasional : gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Intervensi : Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan
kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi
selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan
tingkatkan sesuai toleransi individu.
Rasional : program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan
kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa
sehat.
9. Intervensi : Awasi tanda vital dan irama jantung.
Rasional : takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

Kolaborasi :

1. Intervensi : Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.


Rasional : PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2secara umum menurun,
sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2. Intervensi : Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA
dan toleransi pasien.
Rasional : dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3. Intervensi : Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan
hati-hati.
Rasional : digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan
konsumsi oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4. Intervensi : Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan
pindahkan ke ICU sesuai instruksi untuk pasien.
Rasional : terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya
tindakan penyelamatan hidup.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : DPP PPNI
2. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : DPP PPNI
3. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan : DPP PPNI
4. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan : DPP PPNI
5. https://www.academia.edu/37689132/asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_PP
OK

Anda mungkin juga menyukai