Anda di halaman 1dari 209

10 ARTIKEL PENELITIAN NASIONAL

NO PENELITI LATAR TAHUN JUDUL HASIL KET


BELAKANG
1. 1. Ida Diana Sari, Tuberkulosis 15 Hubungan Kesimpulan Media
2. Rofingatul paru adalah Desember Pengetahuan penelitian Litbang
Mubasyiro suatu penyakit 2016 dan Sikap menunjukkan kes,
3. Sudibyo menular yang dengan bahwa angka
Supardi disebabkan oleh Kepatuhan kepatuhan
kuman Berobat pada berobat
Mycrobacterium Pasien TB sebesar
tuberkulosis. Paru yang 72,7%. Tidak
Angka Rawat Jalan ada hubungan
kesembuhan TB di Jakarta yang
paru di daerah Tahun 2014 signifikan
tertentu di antara
Indonesia masih pengetahuan,
rendah sikap dan
Berdasarkan kepatuhan
laporan tahunan berobat jalan
World Health pasien TB
Organization paru (p >
(WHO) 0,05).
disimpulkan
bahwa ada 22
negara dengan
kategori beban
tinggi terhadap
TB (high
Burden of TBC
Number).
Sebanyak 8,9
juta penderita
TB dengan
proporsi 80%
pada 22 negara
berkembang
dengan kematian
3 juta orang per
tahun dan 1
orang dapat
terinfeksi TB
setiap detik.
Indonesia
sekarang berada
pada ranking
kelima negara
dengan beban
TB tertinggi di
dunia.
Strategi DOTS
direkomendasik
an oleh WHO
secara global
untuk
menanggulangi
TB paru, karena
menghasilkan
angka
kesembuhan
yang tinggi yaitu
95%.
2 Yuningsih Di Indonesia Juli 2017 Pengaruh Terdapat Akper
kasus efusi Latihan perbedaan Islamic
pleura Nafas Dalam yang Village
disebabkan oleh Terhadap signifikan Tangerang
infeksi Peningkatan saturasi Jurnal
tuberkulosa. Saturasi oksigen Keperawat
Tujuan umum Oksigen antara an
penelitian ini Pada Klien sebelum dan Komprehe
terindentifikasi Terpasang setelah nsif
pengaruh nafas Water Seal dilakukan
dalam terhadap Drainage nafas dalam.
saturasi oksigen (Wsd) Di Jadi terdapat
pada klien Rsud pengaruh
terpasang WSD Kabupaten latihan nafas
di RSU Tangerang dalam
Kab.Tangerang. terhadap
peningkatan
saturasi
oksigen pada
klien
terpasang
water seal

3. 1. Nurkumalasari Tuberkulosis 2 juli 2016 Hubungan Tidak ada Jurnal


2. Dian Wahyuni paru (TB Paru) Karakteristik Hubungan keperawat
3. Nurna Ningsih disebabkan oleh Penderita Karakteristik an
Mycobakterium Tuberkulosis Penderita sriwijaya
tuberculosis Paru Dengan Tuberkulosis
yang merupakan Hasil Paru Dengan
salah satu Pemeriksaan Hasil
penyebab Dahak Di Pemeriksaan
kematian utama Kabupaten Dahak Di
di dunia. Secara Ogan Ilir Kabupaten
global, Ogan Ilir
Indonesia
menempati
urutan kelima
setelah Negara
India, Cina,
Afrika Selatan
dan Nigeria
untuk kasus
Tuberkulosis
Paru. Pada
program
nasional,
pemeriksaan
dahak
mikroskopis
sangat penting
untuk
menentukan
adanya BTA di
dalam dahak
penderita suspek
TB Paru.
4. 1. Isma Yuniar, Status gizi 18-25, Mei Hubungan Menunjukkan Jurnal
2. Sarwono1, adalah salah satu 2017 Status Gizi hubungan Perawat
3. Susi Dwi faktor terpenting Dan yang Indonesia
Lestari dalam Pendapatan bermakna
pertahanan Terhadap antara status
tubuh terhadap Kejadian gizi dengan
infeksi Tuberkulosis kejadian
tuberkolusis. Paru Tuberkulosis
Pada keadaan paru dengan
gizi yang buruk, nilai OR=
maka reaksi 3,484 (CI=
kekebalan tubuh 1,246 – 9,
akan melemah 747) yang
sehingga berarti status
kemampuan gizi kurang
dalam beresiko
mempertahanka menderita
n diri terhadap Tuberkulosis
infeksi menjadi paru sebesar
menurun. Faktor 3,4 kali
lain yang dibandingkan
mempengaruhi dengan status
status gizi gizi cukup.
seseorang
adalah status
sosial ekonomi.
Pendapatan per
kapita pasien
Tuberkulosis
Paru menjadi
salah satu faktor
yang
berhubungan
dengan status
gizi pada pasien
Tuberkulosis
Paru.
5 1. Muhammad PPOK adalah 2 Penerapan Ada Jurnal
Albar, penyakit yang Desember Praktik pengaruh Keperawat
2. Thomas Ari ditandai oleh 2015 Keperawatan yang an Widya
Wibowo keterbatasan Berbasis signifikan Gantari
aliran udara di Bukti Pursed penerapan
dalam saluran Lip breathing pursed lip
napas yang tidak Pada Pasien breathing
sepenuhnya Dengan antara
dapat Penyakit sebelum dan
dipulihkan. Paru sesudah
Salah satu Obstruktif intervensi
tindakan Kronik Di pada pasien
mandiri Ruang Rsu PPOK
keperawatan Pusat
guna Persahabatan
mempertahanka Jakarta
n pertukaran gas
adalah
mengaturposisi
klien.
Pengaturan
posisi ini dapat
membantu paru
mengembang
secara maksimal
sehingga
membantu
meningkatkan
pertukaran gas
(Black &Hawks,
2005).

6 1. Arief Bachtiar Oksigenasi September Pelaksanaan hasil Poltekkes


2. Nurul Hidayah merupakan 2015 Pemberian penelitian ini Kemenkes
3. Amana Ajeng kebutuhan dasar Terapi menunjukan Malang
yang paling vital Oksigen Pada bahwa
dalam pasien kemampuan
kehidupan Gangguan perawat
manusia. Sistem dalam
Kekurangan Pernafasan memberikan
oksigen akan asuhan
berdampak keperawatan
kematian sel. perlu
Oleh karena itu ditingkatkan
pada pasien lagi sesuai
gangguan dengan SOP
system
pernafasan,
oksigen tidak
bisa terpenuhi
secara normal
melaikan
memerlukan
bantuan terapi
oksigen untuk
memenuhi
metabolism sel
7 1. Salma Milo ISPA (Infeksi Mei 2015 Hubungan Ada Program
2. A. Yudi Saluran Kebiasaan hubungan Studi Ilmu
Ismanto Pernapasan Merokok Di bermakna Keperawat
3. Vandri D. Akut) akan Dalam antara an Fakultas
Kallo terjadi apabila Rumah kebiasaan Kedokteran
kekebalan tubuh Dengan merokok Universitas
menurun. Kejadian dengan Sam
Beberapa upaya Ispa Pada kejadian Ratulangi
dapat dilakukan Anak Umur tuberkulosis
untuk 1-5 Tahun paru
menurunkan Di
resiko penyakit Puskesmas
ISPA, antara Sario Kota
lain dengan Manado
menghilangkan
kebiasaan
merokok di
dalam rumah.
Kejadian ISPA
pada anak di
Puskesmas Sario
Kota Manado
menduduki
peringkat
pertama diantara
10 penyakit
yang paling
menonjol
8 1. Dian Asma adalah Februari Latihan Hasil Jurnal
Kartikasari penyakit 2019 Pernapasan penelitian Keperawat
2. Ikhlas inflamasi yang Diafragma terdapat an
Muhammad ditandai dengan Meningkatka perbedaan Indonesia
Jenie kesulitan n Arus yang
3. Yanuar bernapas, batuk, Puncak signifikan
Primanda wheezing, dan Ekspirasi rerata selisih
sesak di dada (Ape) Dan APE
yang bervariasi Menurunkan kelompok
dari waktu ke Frekuensi intervensi
waktu (Lemon- Kekambuhan (mean
Burke, 2000 Pasien Asma 126,43±22,05
dalam Sahat, L/menit) dan
Irawaty, dan kelompok
Hastono, 2011; kontrol (mean
Global Initiative 52,14±56,45
for Asthma L/menit)
(GINA), 2016). dengan p
WHO pada 0,001, serta
tahun terdapat
2002 perbedaan
memaparkan yang
jumlah pasien signifikan
asma di seluruh rerata selisih
dunia setidaknya frekuensi
tiga ratus juta kekambuhan
orang dan kelompok
jumlah pasien intervensi
asma (mean
diperkirakan 1,29±0,61)
mencapai empat dan
ratus juta pada kelompok
tahun 2025 kontrol
(Kemenkes (mean
2014). 0,79±0,57)
Penelitian yang dengan nilai
dilakukan p 0,038.
Fernandes, Latihan
Cukier, dan pernapasan
Feltrim (2011) diafragma
menyatakan menjadi
bahwa latihan pertimbangan
pernapasan dalam
diafragma penatalaksan
selama dua aan pasien
minggu da- pat asma.
meningkatkan
pola pernapasan
dan ventilasi
paru pada pasien
COPD. Menurut
Aini, Sitorus,
dan Budiharto
(2008), bahwa
latihan
pernapas- an
diafragma
mampu
meningkatkan
ventilasi
alveolar dan
membantu
mengeluarkan
CO2 pasien
PPOK.
Widjanegara, et
al. (2015) me-
nambahkan
bahwa dengan
melakukan
latihan
pernapasan
diafragma
sebanyak tiga
kali dalam
seminggu, selain
dapat
meningkatkan
saturasi oksigen,
dapat
menurunkan
frekuensi
kekam- buhan
pada pasien
asma.

9 1. Alfah Yulied Tuberkulosis Mei 2015 Hubungan diperoleh Program


Lalombo adalah penyakit Kebiasaan nilai p= 0,01 Studi Ilmu
2. Henry infeksi menular Merokok yang berarti Keperawat
Palendeng yang disebabkan Dengan nilai p lebih an
3. Vanry D. oleh Kejadian kecil dari Fakultas
Kallo mycobacterium Tuberkulosis nilai α (0,05) Kedoktera
tuberculosis. Paru Di .Maka dapat n
Hasil observasi Puskesmas Kesimpulan Universita
di Puskesmas Siloam bahwa ada s Sam
Siloam Kecamatan hubungan Ratulangi
kecamatan Tamako bermakna Manado
Tamako Kabupaten antara
Kabupaten Kepulauan kebiasaan
Kepulauan Sangihe merokok
Sangihe dengan
sebagian besar kejadian
penderita tuberkulosis
Tuberkulosis paru.
Paru (TB paru)
berjenis kelamin
laki-laki yang
memiliki
kebiasaan
merokok
10 1. Dewi Purnama Pneumonia Juli 2016 Upaya Penanganan Universitas
Sari merupakan Mempertaha kasus pada Muhamma
2. Irdawati penyakit yang nkan pasien diyah
dapat diderita Kebersihan pneumonia Surakarta
oleh semua usia Jalan Napas dengan
baik laki-laki Dengan masalah
maupun Fisioterapi utama
perempuan. Dada Pada gangguan
Provinsi Jawa Anak kebersihan
Tengah tepatnya Pneumonia jalan napas
pada Kabupaten akibat adanya
Boyolali kasus penumpukan
pneumonia sputum
memiliki jumlah memerlukan
penderita yang penanganan
sama untuk segera agar
beberapa tahun jalan napas
terakhir. Salah dapat
satu masalah kembali
akibat efektif dan
pneumonia ini suplai
adalah adanya oksigen yang
penumpukan masuk ke
sputum pada tubuh dapat
saluran terpenuhi.
pernapasan. Salah satu
Penanganan tindakan
pada pasien yang dapat
pneumonia digunakan
dengan masalah adalah
kebersihan jalan fisioterapi
napas bertujuan dada
untuk
membersihkan
saluran
pernapasan
sehingga suplai
oksigen yang
masuk ke dalam
tubuh dapat
terpenuhi dan
gangguan akibat
berkurangnya
suplai oksigen
tidak terjadi.
Metode yang
diterapkan
dalam
menangani
gangguan
kebersihan jalan
napas ini sesuai
dengan asuhan
keperawatan
pada pasien
dengan
gangguan
pernapasan,
yaitu fisioterapi
dada. Setelah
melakukan
fisioterapi dada
pada pasien,
sputum berhasil
dikeluarkan
JURNAL 1
Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Berobat pada Pasien TB Paru
yang Rawat Jalan di Jakarta Tahun 2014

Relationship between Knowledge and Attitude and Patient Compliance Among Outpatient
Tuberculosis in Jakarta Province 2014

Ida Diana Sari, Rofingatul Mubasyiroh, Sudibyo Supardi


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Balitbangkes,
Kemenkes RI, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Indonesia
Pusat Penelitian dan pengembangan Upaya kesehatan Masyarakat, Balitbangkes, Kemenkes RI, Jl.
Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560 Indonesia
*Korespondensi Penulis: dianna_mko@yahoo.com

Submitted: 11-02-2016, Revised: 12-11-2016, Accepted: 15-12-2016

Abstrak

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium

tuberkulosis. Angka kesembuhan TB paru di daerah tertentu di Indonesia masih rendah. Tujuan

penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan

pasien TB paru di 5 RSUD Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan

masing-masing 10 sampel di setiap RSUD Kota Jakarta. Kriteria inklusi adalah pasien dewasa TB

paru kategori I yang diobservasi selama 7-8 bulan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan

kartu rekam medik pasien, dan analisis data menggunakan uji Chi Square. Kesimpulan penelitian

menunjukkan bahwa angka kepatuhan berobat sebesar 72,7%. Tidak ada hubungan yang signifikan

antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan pasien TB paru (p > 0,05).

Kata Kunci: pengetahuan, sikap, kepatuhan, TB paru, pasien rawat jalan RS


Abstract

Pulmonary tuberculosis is an infectious disease caused by the Mycrobacterium tuberculosis.

Pulmonary TB cure rate in certain areas in Indonesia is still low.The research objective was to

determine the relationship between knowledge, attitudes and compliance outpatient pulmonary

tuberculosis in 5 regional public hospitals in Jakarta. This study used a cross-sectional design with

each of the 10 samples in each of regional public hospital in Jakarta. The inclusion criteria were

adult patients with TB category I observed during 7-8 months. Collecting data using questionnaires

and medical records of the patients, and data analysis using Chi Square test. Conclusion of the

study shows that the rate of 72,7% adherence to treatment. There is no significant relationship

between knowledge, attitudes and compliance of outpatient pulmonary tuberculosis patients (p >

0.05)

Keywords: knowledge, attitudes, compliance, pulmonary tuberculosis, outpatient hospital

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) paru merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycrobacterium tuberkolusis pada saluran pernafasan bagian bawah. Tuberkulosis paru sampai saat

ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan secara global masih menjadi isu

kesehatan global di semua negara. Berdasarkan laporan tahunan World Health Organization (WHO)

disimpulkan bahwa ada 22 negara dengan kategori beban tinggi terhadap TB (high Burden of TBC

Number). Sebanyak 8,9 juta penderita TB dengan proporsi 80% pada 22 negara berkembang dengan

kematian 3 juta orang per tahun dan 1 orang dapat terinfeksi TB setiap detik. Indonesia sekarang

berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia.

Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian

per tahunnya menurut Strategi Nasional Pengendalian tuberkulosis paru.

Mengacu pada kondisi tersebut diperlukan adanya penanggulangan penyakit TB ini. Directly

Observed Treatment Succes Rate (DOTS) adalah strategi penyembuhan TB paru jangka pendek

dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses

penyembuhan TB paru dapat berlangsung secara cepat. Kategori kesembuhan penyakit TB yaitu

suatu kondisi dimana individu telah menunjukkan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu

indikator kesembuhan penyakit TB, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan

pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu

pemeriksaan folow up sebelumnya negatif. Program kesembuhan TB paru DOTS menekankan

pentingnya pengawasan terhadap penderita TB paru agar menelan obat secara teratur sesuai

ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global

untuk menanggulangi TB paru, karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu 95%.

Salah satu negara berkembang yang terinfeksi kasus TB adalah Indonesia. Indonesia

menempati peringkat ketiga jumlah penderita TB di dunia, setelah India (1.762.000) dan China

(1.459.000). Depkes RI memperkirakan bahwa setiap tahunnya terdapat 528.000 kasus baru TB di

Indonesia. Perkiraan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tersebut mengacu pada

hasil survei dari seluruh rumah sakit (RS) yang menyatakan bahwa 220.000 orang pasien penderita

TB baru per tahun atau 500 orang penderita per hari, inilah yang membuat Indonesia menduduki

peringkat 3 di dunia dalam jumlah penderita TB. Secara umum dapat disimpulkan bahwa setiap hari

20.000 orang jatuh sakit TB, setiap jam 833 orang jatuh sakit TB, setiap menit 13 orang jatuh sakit

TB, setiap 5 detik satu orang jatuh sakit TB, setiap hari 5.000 orang meninggal akibat TB, setiap jam

208 orang meninggal akibat TB, setiap menit 3 orang meninggal akibat TB, setiap 20 detik 1 orang

meninggal akibat TB, dan setiap detik orang terinfeksi TB.


Laporan Riskesdas tahun 2010 menunjukkan bahwa Point Prevalence berdasarkan gejala TB

Paru yang pernah diderita oleh penduduk sebesar 2.728 per 100.000 penduduk dengan distribusi

yang hampir sama dengan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan.

Berdasarkan kuesioner persentase penderita TB paru lebih banyak didiagnosa di puskesmas (36,2%)

dan RS pemerintah (33,9%) dibandingkan dengan RS swasta (11,0%) dan balai pengobatan/

klinik/praktik dokter (18,9%). Sedangkan untuk pengobatan OAT, fasilitas yang paling banyak

dimanfaatkan oleh penderita TB paru adalah puskesmas (39,5%), RS pemerintah (27,8%), RS

swasta (7,9%) dan di balai pengobatan/klinik/ praktik dokter (19,4%). Persentase penderita TB

yang telah menyelesaikan pengobatan OAT sebanyak 59,0%, sebanyak 19,3% berobat tidak

lengkap (< 5 bulan) dan tidak minum obat 2,6%.5 Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit dengan

risiko penularan yang tinggi. Salah satu penentu keberhasilan penatalaksanaan terapi tuberkulosis

yaitu kepatuhan pasien terhadap terapi. Ketidakpatuhanberobatakanmenyebabkan kegagalan dan

kekambuhan, sehingga muncul resistensi dan penularan penyakit terus menerus. Hal ini dapat

meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada

masyarakat luas. Konsekuensi ketidakpatuhan berobat jangka panjang adalah memburuknya

kesehatan dan meningkatnya biaya perawatan. Ketidakpatuhan penderita TB paru berobat

menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan

meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten kuman terhadap beberapa obat

anti tuberkulosis atau multi drug resistence, sehingga penyakit tuberculosis paru sangat sulit

disembuhkan.

Menurut penelitian Bagiada, dkk ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat

kepatuhan seseorang untuk meminum obat, yaitu antara lain usia, pekerjaan, waktu luang,

pengawasan, jenis obat, dosis obat, dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengetahuan dan sikap

menjadi faktor kepatuhan seseorang dalam minum obat.


Perilaku kesehatan adalah tanggapan dan tindakan seseorang terhadap sakit dan penyakit,

sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Disebutkan dalam Green L,bahwa kualitas

hidup seseorang dapat dipengaruhi oleh kesehatannya, sedangkan kesehatan dipengaruhi oleh tiga

faktor yaitu predisposing factors (pengetahuan, sikap dan kepercayaan terhadap apa yang

dilakukan, serta beberapa faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan,

status sosial dan ekonomi), enabling factor (ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan), dan

reinforcing factor (dukungan dari lingkungan sosialnya). Dimana ketiga faktor tersebut secara

bersamaan mempengaruhi perilaku. Kepatuhan minum obat termasuk dalam perilaku kesehatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis hubungan

antara kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan pasien tentang TB

paru. Juga ingin membuktikan hubungan antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan

pasien tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Daerah DKI Jakarta.

Metode

Penelitian ini adalah penelitian observasional menggunakan rancangan penelitian potong lintang

(cross sectional). Populasi penelitian adalah semua pasien TB baru yang berobat ke RSUD di

Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien dewasa TB kategori I yang akan diobservasi

pengobatannya selama 6-8 bulan dengan jumlah 10 orang setiap RSUD di masing-masing wilayah

Jakarta. Penelitian berlangsung di 5 RSUD di Jakarta mulai bulan Februari - November 2014.

Jumlah sampel penelitian dihitung dengan rumus potong lintang menggunakan derajat kepercayaan

95%, presisi 10% dan prevalensi ketidakpatuhan = 19,3% diperlukan jumlah sampel sebanyak = 58

orang dan dibulatkan menjadi 60 orang. Jumlah sampel yang dapat dianalisis dalam penelitian ini

adalah yang lengkap memiliki seluruh variabel analisis, yaitu sejumlah 33 responden.

n = Z2 1-α/2 P (1-P)

d2
Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Alat pengumpul data

menggunakan kuesioner terstruktur yang telah dilakukan uji validitas sebelumnya. Pengumpulan

data dilakukan dengan kunjungan ke RSUD untuk mendapatkan pasien yang didiagnosis positif

menderita TB paru dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Variabel terikat dalam penelitian

ini adalah kepatuhan pasien dalam berobat.Pasienpatuhdalampengobatanjikadatang berobat tepat

waktu dan teratur minimal selama 6 bulan. Variabel bebas adalah pengetahuan, sikap, usia, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan serta kepemilikan asuransi. Pasien dikategorikan tahu jika nilai

pengetahuannya lebih dari nilai rata- rata. Dan pasien dikategorikan bersikap positif jika nilai

sikapnya lebih dari rata-rata. Analisis data mengunakan uji Chi-square.

Hasil

Sebagian besar responden adalah laki-laki, berusia 18-35 tahun dan tingkat pendidikannya

tamat SLTA. Pada saat masa pengobatan, responden yang masih bekerja sedikit lebih banyak

daripada yang tidak bekerja. Sebagian besar responden termasuk dalam kepesertaan asuransi dan

memanfaatkan asuransi dalam pengobatan TB yang sedang dijalani.

Responden yang memiliki pengetahuan cukup tentang TB sedikit lebih banyak daripada

responden yang kurang pengetahuannya. Hal ini berbeda dengan sikap responden terhadap

penyakit TB, yaitu sudah lebih dari setengah responden (63,6%) yang memiliki sikap positif

terhadap penyakit TB. Selama masa penelitian diperoleh angka responden yang patuh dalam masa

pengobatan yaitu sebesar 72,7%. Sejumlah 27,3% responden tidak patuh termasuk di dalamnya

adalah yang tidak rutin setiap bulan datang berobat ataupun yang tidak sampai minimal 6 bulan

berobat.

Tingkat kepatuhan berobat diantara semua golongan umur responden hampir sama. Hal yang

sama juga terlihat pada kelompok responden yang bekerja maupun yang tidak bekerja, hampir sama

persentase responden yang patuh dalam pengobatan. Begitu pula dengan sikap responden terhadap
penyakit TB yang hampir sama antara responden yang memiliki sikap positif dan yang negatif. Dari

Tabel 3 diketahui lebih banyak perempuan yang tidak patuh dalam proses pengobatannya. Hal yang

sama juga tampak pada kelompok responden yang tidak ikut asuransi lebih banyak yang tidak

patuh. Namun demikian hubungan tersebut tidak signifikan (p > 0,05). Responden dengan

pengetahuan cukup memiliki tingkat kepatuhan yang lebih besar daripada responden dengan

pengetahuan kurang. Namun tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan dan kepatuhan

berobat (p > 0,05).

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah laki-laki dan masih bekerja. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Widayati N dan Ulfania N menyatakan bahwa persentase terbesar pasien TB

jenis kelamin laki- laki dan bekerja. Namun dalam hal karakteristik pendidikan, berbeda dengan hasil

Widayati yang menunjukkan sebagian besar pasien pendidikan tidak tamat SLTP. Hasil penelitian

menunjukkan pengetahuan pasien tentang TB sebagian besar sudah di atas rata-rata. Hal ini berbeda

dengan hasil Manalu HSP dan Sukana B14 menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang

pengobatan, pencegahan TB paru masih kurang. Hal ini dapat terjadi karena semakin tahun media

pembelajaran bagi masyarakat tentang penyakit semakin luas. Demikian pada sikap pasien tentang

penyakit TB paru yang sudah di atas rata- rata. Hasil ini juga berbeda dengan hasil Manalu HSP. Hal

ini dapat terjadi karena pengetahuan pasien sudah lebih baik, sehingga sikap mereka pun sesuai

dengan apa yang mereka ketahui.


Tabel 1. Distribusi Pasien TB Berdasarkan Karakteristik di 5 RSUD Jakarta, 2014.

Karakteristik Pasien N %

Kelompok umur
18 – 35 tahun 17 51,5
36 – 50 tahun 9 27,3
Lebih 50 tahun 7 21,2
Jenis kelamin
Laki-laki 22 66,7
Perempuan 11 33,3
Pendidikan
Tamat SD 10 30,3
Tamat SLTP 6 18,2
Tamat SLTA 17 51,5
Pekerjaan
Bekerja 18 54,5
Tidak Bekerja 15 45,5
Keikutsertaan Asuransi
Ikut 28 84,8
Tidak Ikut 5 2

Tabel 2. Distribusi Pasien TB berdasarkan Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Berobat di 5


RSUD Jakarta, 2014

Variabel N %

Pengetahuan TBC
Cukup 17 51,5
Kurang 16 48,5
Sikap terhadap TBC
Positif 21 63,6
Negatif 12 36,4
Kepatuhan Berobat
Patuh 24 72,7
Tidak patuh 9 27,3

Penelitian menunjukkan hubungan yang tidak bermakna umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan dengan kepatuhan berobat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sitanggang DR yang

menunjukkan hasil yang tidak bermakna juga. Faktor pengetahuan dan sikap pasien juga tidak

berhubungan dengan kepatuhan berobat. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sitanggang DR yang
mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan, sikap dan

kepatuhan berobat. Juga berbeda dengan hasil penelitian Octaria Y dan Sibuea S16 menunjukkan

bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan tahap awal (α =

0,05; p-value= 0,03), tetapi tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan kepatuhan pengobatan

tahap awal (α = 0,05; p-value=0,169). Hasil penelitian Dhewi GI, dkk juga menunjukkan ada

hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TB Paru dengan nilai p =

0,000. Ada hubungan bermakna antara sikap dengan kepatuhan minum obat TB Paru dengan nilai p =

0,001. Hasil penelitian Apriani RM, dkk menunjukkan faktor pengetahuan pasien tentang penyakit

berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan obat TB pada pasien rawat jalan di Poli Paru Rumah

Sakit Umum Daerah Kabupaten Nganjuk. Faktor persepsi pasien tentang penyakitnya berpengaruh

terhadap kepatuhan penggunaan obat TB pada pasien rawat jalan di Poli Paru RSUD Kabupaten

Nganjuk. Faktor sikap pasien tentang pengobatan yang dijalaninya tidak berpengaruh terhadap

kepatuhan penggunaan obat TB pada pasien rawat jalan di Poli Paru RSUD Kabupaten Nganjuk.

Distribusi frekuensi untuk kepatuhan penggunaan obat TB adalah 85% responden untuk kategori

sangat tinggi, dan 15% responden untuk kategori tinggi. Hasil berbeda juga dengan penelitian Junita

F, menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan dan sikap dengan

kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan

Jatinegara tahun 2012.

Terkait dengan kepatuhan berobat jalan, dimungkinkan beberapa hal yang mempengaruhinya,

dimana faktor tersebut tidak terdapat dalam penelitian ini, seperti peran PMO dan keluarga. Seperti

penelitian Muniroh N, dkk menyatakan pada umumnya kegagalan pengobatan disebabkan oleh karena

pengobatan yang terlalu singkat, pengobatan yang tidak teratur dan obat kombinasi yang jelek.

Kepatuhan memiliki pengaruh yang besar terhadap kesembuhan. Kepatuhan minum obat di wilayah

Puskesmas Mangkang sudah sangat baik, hal ini dikarenakan petugas puskesmas selalu memberikan
penyuluhan mengenai keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Hal ini dibuktikan dengan

pada penderita sembuh yang patuh minum obat sebanyak 84,2%, sedangkan yang tidak patuh sebanyak

18,2%. Menurut penelitian Ichlas R ada hubungan antara peran Pengawas Minum Obat (PMO) dengan

kesembuhan penderita TB berdasarkan uji Fisher’s exact yang memilki nilai p 0,002. Sebagian besar

peran PMO dilakukan oleh istri dari responden. Dukungan istri adalah dorongan, motivasi terhadap

suami baik secara moral maupun material. Dengan dukungan orang terdekat (istri) akan memberikan

cinta dan perasaan berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan

perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menghadapi permasalahan yang sedang terjadi.

Seorang istri lebih memilki keterlibatan emosi yang mendalam untuk mengingatkan suaminya dalam

menelan obat.

Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan cakupan penggunaan OAT berupa FDC (Fixed Dose

Combination) dan Kombipak sebesar 83,2%. Persentase penderita TB yang telah menyelesaikan

pengobatan OAT sebanyak 59,0%, sebanyak 19,3% berobat tidak lengkap (< 5 bulan) dan tidak minum

obat 2,6%. Beberapa upaya yang dilakukan oleh suspek TB untuk mengatasi gejala TB paru adalah

tetap meneruskan kembali ke tenaga kesehatan (32,2%), pengobatan program TB (11,1%), beli obat di

apotek/toko obat (31,9%), minum obat herbal/tradisional (7,8%) dan tidak diobati (16,9%). Persentase

suspek TB berdasarkan alasannya tidak ke faskes yang paling besar dapat diobati dan sembuh sendiri

(38,2%), tidak ada biaya (26,4%), anggapan penyakit tidak berat (16,3%), akses ke faskes sulit (4,4%),

tidak ada waktu (5,7%) dan lainnya (9,0%).

Hasil penelitian Nugroho RA menyimpulkan faktor yang melatarbelakangi drop out adalah lama

pengobatan melewati tahap intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa sembuh, pembiyaan

pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak mengetahui tentang tahapan pengobatan, tidak

adanya Pengawas Minum Obat, adanya kesulitan transportasi menuju poliklinik, adanya efek

samping obat, ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit.


Tabel 3. Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Pasien TBC
Berobat Jalan di 5 RSUD Jakarta, 2014.
Kepatuhan Berobat Pasien Tbc

Kepatuhan Berobat Pasien Tbc


Karakteristik Pasien Patuh Tidak Patuh Total P
N % N % N %
Kelompok umur 1275 522 1797 0,923 0,948
18 – 35 tahun 70,6 29,4 100%
36 – 50 tahun 77,8 22,2 100%
Lebih 50 tahun 71,4 28,6 100%
Jenis kelamin 186 45 2211 0,214
Laki-laki 81,8 18,2 100%
Perempuan 54,5 44,4 100%
Pendidikan 7611 306 10617 100% 0,242
Tamat SD 70 30 100%
Tamat SLTP 100 0 100%
Tamat SLTA 64,7 35,3 100%
Pekerjaan 1311 54 1815 1,000
Bekerja 72,2 27,8 100%
Tidak bekerja 73,3 26,7 100%
Keikutsertaan asuransi 213 72 285 0,597
Ikut 75 25 100%
Tidak ikut 60 40 100%
Pengetahuan TBC 1311 45 1716 0,619
Cukup 76,5 23,5 100%
Kurang 68,8 31,3 100%
Sikap terhadap TBC 159 63 2112 0,825
Positif 71,4 28,6 100%
Negatif 75 25 100%
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan bahwa angka kepatuhan

berobat jalan pasien TB paru di RSUD sebesar 72,7%. Hubungan antara kelompok umur, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan pasien tentang TB tidak bermakna. Hubungan

antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan pasien juga tidak bermakna.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan kepada petugas kesehatan yang ada di RSUD di

Jakarta agar lebih ditingkatkan lagi dalam pengawasan serta memberikan pengetahuan kepada
pasien dan keluarga melalui penyuluhan tentang penyakit TB paru dan pengobatan TB paru agar

penderita TB paru dan keluarga mengetahui resiko-resiko apabila tidak melakukan pengobatan

sampai tuntas.

Ucapan Terima Kasih

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktur RSUD

Tarakan Jakarta Pusat, Direktur RSUD Budhi Asih Jakarta Timur, Direktur RSUD Pasar Rebo Jakarta

Timur, Direktur RSUD Koja Jakarta Utara dan Direktur RSUD Cengkareng Jakarta Barat atas

terlaksananya penelitian ini. Kepala Pusat Teknologi dan Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan

Litbangkes yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana kepada penelitian ini dan semua

responden dalam penelitian ini serta semua pihak yang telah membantu langsung maupun tidak

langsung.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Guidelines for treatment of Tuberculosis. Fourth edition, Geneva:

WHO; 2010.

2. Direktorat Jenderal P2M dan PLP. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010- 2014.

Jakarta: Ditjen P2M dan PLP; 2011.

3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan

RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2010.

4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian

Kesehatan RI. Laporan situasi terkini perkembangan tuberculosis di Indonesia; 2011.

www.tbindonesia.or.id/ pdf/ 2011/Indonesia Report2011. Diunduh 31 mei 2012.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.

Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

6. World Health Organization. Global Tuberculosis report 2013. France : World Health
Organization; 2013.

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical care untuk penyakit Tuberkulosis.

Jakarta: Departemen Kesehatan; 2005.

8. Bagiada IM, Primasari NLP. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita

Tuberculosis dalam berobat di Poliklinik DOTS RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam

2010;11:158-63.

9. Soekidjo N. Promosi kesehatan dan perilaku

kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2007.

10. Green L. Health education planning a diagnostic approach. Baltimore: The John Hopkins

University, Mayfield Publishing Co; 1980.

11. Widagdo W. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita mengenai

pengobatan Tuberkulosis dalam konteks keperawatan komunitas di wilayah Puskesmas

Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan tahun 2002. 2003. www.digilib.ui.ac.

id/opac/themes/libri2/abstrakpdf.jsp/id=72984. Diunduh 25 juli 2012.

Murtantiningsih. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan penderita TB paru

(Studi kasus di Puskesmas Purwodadi Kabupaten Grobogan. 2010. journal.unnes.ac.id/

nju/index.php/kemas/article/download/1946. Diunduh 29 Maret 2012.

12. Widayati N, Ulfania N. Studi deskriptif faktor- faktor penyebab default pada penderita TB paru

Program Directly Observed Treadment Short- Course (DOTS) di RSUD Batang tahun 2012.

[Skripsi]. Batang: Program Studi Keperawatan STIKes Muhammadiyah Pekajangan; Agustus

2013.

13. Manalu HSP, Sukana B. Aspek pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat kaitannya dengan

penyakit TB paru. Media Litbangkes 2011;21(1):39-46.

14. Sitanggang DR. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien TB
Paru di Poliklinik Paru RS Bhayangkara TK. I R. Said Sukanto Kramat Jati - Jakarta Timur

2012. [Skripsi]. Jakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah; 2012.

15. Octaria Y, Sibuea S. Faktor-faktor yang berhubungan terhadap kepatuhan ibu/bapak dalam

pengobatan Tuberkulosis anak di Poli Anak Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Medical Journal of Lampung University 2013;2. (4).

16. Dhewi GI, Armiyati Y, Supriyono M. Hubungan antara pengetahuan, sikap pasien dan

dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien Tb paru di BKPM Pati.

Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Desember 2012;1(2): 31-40

17. Apriani RM, Fasich, Athijah U. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

penggunaan obat anti Tuberkulosis Empat FDC (Fixed Dose Combination). Majalah Farmasi

Airlangga April 2010; 8(1):1-9.

18. Junita F. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat Anti

Tuberculosis pada Pasien Tuberculosis Paru di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Tahun 2012.

Laporan Penelitian Program Studi DIII Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra

Indonesia, Bekasi, 2012.

19. Muniroh N,Aisah S, Mifbakhuddin. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesembuhan

penyakit Tuberculosis (TBC) paru di wilayah kerja Puskesmas Mangkang Semarang Barat.

Jurnal Keperawatan Komunitas Mei 2013;1(1):33-42.

20. Rachmat, Ichlas. B. (2010). Hubungan Penerapan Strategi DOTS Terhadap Keberhasilan Terapi

TB Puskesmas Kramat Jati Periode Januari 2010-Oktober 2010.www.libary.upnvj.ac.id/

pdf/5FKS1KEDOKTERAN/206311157/AWL. pdf. Diunduh 27 juli 2015.

21. Nugroho RA. Studi kualitatif faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan Tuberkulosis

paru. [Skripsi]. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan,
Universitas Negeri Semarang. 2011;7(1). Diakses dari: http://journal.unnes. ac.id/

index.php/kemas.

JURNAL 2

PENGARUH LATIHAN NAFAS DALAM TERHADAP PENINGKATAN

SATURASI OKSIGEN PADA KLIEN TERPASANG WATER SEAL DRAINAGE

(WSD) DI RSUD KABUPATEN TANGERANG

*Yuningsih

*Akper Islamic Village Tangerang

Jl.Islamic Raya, Kelapa Dua –

Tangerang 15810, Banten Telp.021-

5462852

Email : yuningsih24@yahoo.com

Abstrak

Di Indonesia kasus efusi pleura disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Tujuan umum penelitian

ini terindentifikasi pengaruh nafas dalam terhadap saturasi oksigen pada klien terpasang

WSD di RSU Kab.Tangerang. Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan
rancangan penelitian yang digunakan pretest dan postest kelompok tunggal. Pada rancangan

ini pengaruh efek atau treatmen diputuskan berdasarkan perbedaan antara pretest dan postest.

Sampel yang digunakan sebanyak 20 orang. Menggunakan analisa data univariat dan

bivariat. Hasil penelitian : Usia terbanyak pada responden dewasa pertengahan, klien bekerja,

Jenis kelamin terbanyak: laki – laki, Pendidikan : SMA. Lamanya penyakit : 1- 3 bulan.

Rata-rata saturasi oksigen sebelum dilakukan nafas dalam pada pagi hari: 96,65 sedangkan

setelah dilakukan nafas dalam pada siang hari : 97,62 dengan P value : 0,000 (P < 0,05)

terdapat perbedaan yang signifikan saturasi oksigen antara sebelum dan setelah dilakukan

nafas dalam. Variabel confounding tidak berpengaruh terhadap saturasi oksigen. Saran untuk

perawat di ruang penyakit dalam : memberikan tindakan mandiri berupa nafas dalam agar

ekspansi paru maksimal.

Kata kunci: Efusi pleura, nafas dalam, saturasi oksigen

PENDAHULUAN

Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2011 memperkirakan jumlah kasus efusi pleura di seluruh

dunia cukup tinggi menduduki urutan ke tiga setelah Ca paru. Efusi pleura disebabkan oleh

infeksi tuberkulosis. Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada pleura (Sumantri, 2008).

Terjadi apabila produksi meningkat minimal 30 kali normal atau adanya gangguan pada

absorbsinya (Hariadi, 2010). Cairan pleura berupa eksudat, transudat dan chylus. Pada cairan

pleura eksudat protein rasionya >0,60. Sedangkan chylus warnanya putih seperti susu dan

mengandung lemak. Eksudat disebabkan oleh karena adanya kerusakan pada capillary bed di

paru, pleura dan jaringan sekitarnya. Transudat disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang

meningkat atau tekanan osmotik yang menurun. Sedangkan pada absorbsi terhambat

disebabkan adanya gangguan kemampuan kontraksi saluran lymphe, infiltrasi pada kelenjar
getah bening dan kenaikan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran lymphe. Adapun

penatalaksanaan pada efusi pleura mencegah penumpukan kembali cairan, menghilangkan

ketidaknyamanan serta dispnea. Jika torakosentesis tidak berhasil maka dilakukan Water Seal

Drainage (WSD).

Berdasarkan hasil laporan dari ruang Cempaka RSUD Tangerang, pada bulan November dan

Desember 2014, efusi pleura menduduki peringkat ke sembilan dari 10 penyakit terbanyak

yang dirawat di ruang tersebut. Sedangkan jumlah klien yang terpasang WSD adalah 39

orang pada tahun 2014 di RSUD Kabupaten Tangerang merupakan rumah sakit tipe B, rumah

sakit pendidikan yang berada di wilayah kabupaten Tangerang. Perawat di ruangan tersebut

sudah melaksanakan perawatan WSD sesuai dengan teori seperti memberikan posisi,

mempertahankan kepatenan sistem drainage, memantau drainage, dan water seal (segel air).

Namun untuk perawatan yang mandiri seperti menganjurkan klien tarik nafas dalam belum

dilakukan. Untuk pemeriksaan oksimetri tidak dilakukan, tetapi dilakukan pemeriksaan

analisa gas darah apabila klien terasa sesak dan kondisi yang memburuk. Untuk itu peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian sejauh mana pengaruh nafas dalam terhadap saturasi

oksigen pada klien terpasang WSD.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen dengan pendekatan pretest dan post test

desain. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 responden pada klien

terpasang WSD di RSUD Kabupaten Tangerang.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1.

Distribusi responden menurut karakteristik umur, jenis kelamin, pekerjaan,


lamanya penyakit dan tingkat pendidikan di RSUD Kabupaten Tangerang tahun

2015 ( n = 20)

No. Variabel Frekuensi Persentase

1 Umur

: 18 – 5 25.0

39 15 75.0

40 - 59

2 Status

Pekerjaa 17 85

n 3 15

Bekerja

Tidak bekerja

3 Jenis kelamin

: Laki – laki 16 80

Perempuan 4 20

4 Pendidikan

: SMP 7 35

SMA 13 65

5 Lamanya

penyakit 17 85

1 - 3 bln 3 15

˃ 3 bln

a. Umur

Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 20 orang responden di
RSUD Kabupaten Tangerang, menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah dewasa

pertengahan sebanyak 75%.

b. Status pekerjaan responden

Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 20 orang responden bahwa

yang bekerja adalah 85%.

c. Jenis kelamin Responden

Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa laki-laki sebanyak 80%.

d. Tingkat pendidikan

Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 20 orang responden bahwa

yang lulus SMP 35% dan SMA 65%.

e. Lamanya penyakit

Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa klien yang menderita efusi pleura selama 1 –

3 bulan sebanyak 85% dan 4 – 6

bulan sebanyak 15%.

Tabel 2.

Mean, SD, Pengaruh Nafas Dalam terhadap Saturasi Oksigen

Variabel Mean SD P.Valu

Saturasi O2

sebelum 96,65 1,001 0,000

dilakukan

nafas dalam
Saturasi O2

setelah 97,62 0,661

dilakukan

nafas dalam

Rata-rata saturasi oksigen sebelum dilakukan nafas dalam : 96,65 sedangkan rata-rata saturasi

oksigen setelah dilakukan nafas dalam adalah 97,62. Maka selisih rata-rata saturasi oksigen

adalah 0,97 (SD : 0,34). Ada perbedaan saturasi oksigen setelah dilakukan nafas dalam.

Tabel 3.

Mean, SD, dan P value saturasi oksigen sebelum (Pre) dan setelah (Post)

dilakukan nafas dalam menurut kelompok usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan dan lamanya penyakit

NO Keterangan PRE/PO MEA SD P.VALU

S N E

1 Usia 18 – 39

Sat O2 Pre 97,4 0,56 0,497

Sat O2 Pos 97,8 0,28

Usia 40-59

Sat O2 Pre 96,4 1,00 0.312

Sat O2 Pos 97,56 0,74

5
2 Jenis Kelamin

Laki

Sat O2 Pre 96,47 1,01

Sat O2 Pos 97,56 0,74 0,452

Perempuan

Sat O2 Pre 97, 35 0,64

Sat O2 Pos 97,85 0,44 0,342

3 Pendidikan

SMP Pre 96,20 0,73 0,144

Pos 97,34 0,55

SMA Pre

Pos 97,77 0,68 0,151

4 Lamanya

Penyakit

1-3 bulan Pre 96,73 0,98 0,329

Pos 97,68 0,64


1

˃ 3 bulan Pre 96,20 1,21 0,536

Pos 97,68 0,64

5 Pekerjaan

Bekerja Pre 96,49 0,98 0,080

Pos 97,56 0,68

Tidak Bekerja Pre 97,53 0,64 0,098

Pos 97,93 0,50

Tabel 3. menunjukkan tidak ada perbedaan dari kedua kelompok umur, jenis kelamin antara

pria dan wanita, bekerja dengan tidak bekerja demikian pula antara kelompok pendidikan SMP

dengan pendidikan SMA tidak ada perbedaan saturasi oksigen antara sebelum dan setelah

dilakukan nafas dalam.

PEMBAHASAN

Karakteristik responden Usia

Usia responden terbanyak yang menderita efusi pleura yaitu usia 40–60 tahun sebanyak 75%.

Usia termuda 27 tahun dan usia tertua 56 tahun. Pada kasus ini banyak terjadi pada usia

pertengahan dewasa. Menurut pendapat (Alsagaf, 2010) kasus efusi pleura yang disebabkan
oleh tuberkulosis lebih sering terjadi pada penderita berumur antara 21–30 tahun. Sedangkan

menurut (Hiswari, 2009) penyakit efusi pleura yang disebabkan tuberkulosis paling sering

ditemukan pada usia muda atau produktif 15–50 tahun. Usia merupakan faktor yang dapat

meng- gambarkan kondisi dan mempengaruhi kesehatan seseorang. Semakin tua seseorang

maka sistem tubuhnya terjadi penurunan fungsi sistem tubuh yang akan mempengaruhi daya

fungsi tubuh.

Jenis Kelamin

Hasil penelitian ini menunjukkan jenis kelamin laki-laki sebesar 80% dan perempuan 20%. Hal

ini sesuai dengan pendapat (Alsagaff, 2010) penderita efusi pleura lebih sering terjadi pada

laki-laki daripada wanita. Hal ini dikarenakan gaya hidup seperti sering merokok tembakau dan

minum alkohol.

Sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah terpapar dengan agent

efusi pleura.

Strata Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan pendidikan SMP 35% dan pendidikan SMA 65%. Dari hasil

tersebut penderita efusi pleura lebih banyak yang berpendidikan SMA. Yang memungkinkan

mempunyai pengetahuan yang banyak tentang efusi pleura yang terpasang WSD. Sehingga

bisa berbagi informasi dengan penderita yang lain. Menurut Notoatmojo (2010), pendidikan

diperoleh dari jenjang pendidikan formal dan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan

pengetahuan. Semakin meningkat pengetahuan responden dan meningkat pula kemampuan

untuk mengembangkan serta menjalani program terapi penyakitnya.


Status Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan yang bekerja jumlahnya 85% dan yang tidak bekerja 15%.

Dengan demikian penderita efusi pleura yang terpasang WSD masih memiliki produktifitas

untuk bekerja 85%. Agar pengembangan paru maksimal sehingga klien masih bisa bekerja.

Lamanya Penyakit

Hasil penelitian menunjukkan lamanya menderita efusi pleura 1-3 bulan 85%

sedangkan 4-6 bulan 15%. Pada awalnya responden menderita tuberkulosa karena

pengobatannya tidak tuntas sehingga terjadi efusi pleura.

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Usia terbanyak pada klien efusi pleura yang terpasang WSD adalah usia dewasa pertengahan 75 %,

jenis kelamin laki-laki sebanyak 85 %, pendidikan klien SMA sebanyak 65 %. Lamanya penyakit :

1 – 3 bulan sebanyak 85% dan bekerja sebanyak 85 %.

2. Rata-rata saturasi sebelum dilakukan nafas dalam pada pagi hari : 96,86 dan setelah dilakukan

nafas dalam pada siang hari : 97,67. Maka didapatkan Value : 0,00 (P < 0,05) hasil uji statistik

disimpulkan terdapat perbedaan saturasi.

3. Ada pengaruh yang signifikan terapi nafas dalam terhadap peningkatan saturasi oksigen.

Saran

1. Bagi institusi keperawatan

Bahwa nafas dalam dapat meningkatkan saturasi oksigen pada klien efusi pleura yang terpasang

WSD. Oleh karena itu klien yang dipasang WSD dianjurkan untuk melakukan nafas dalam.

2. Bagi Institusi pendidikan

Mengembangkan dan memadukan teknik nafas dalam sebagai intervensi keperawatan ke dalam
materi perkuliahan pada mata ajar keperawatan medikal bedah.

3. Bagi Peneliti selanjutnya

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar sekaligus bahan untuk melakukan penelitian

lebih lanjut di lingkup sistem pernafasan.

b. Mengembangkan riset-riset terkait intervensi keperawatan untuk meningkatkan saturasi

oksigen.

DAFTAR PUSTAKA

Balck & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang

Diharapkan. Philadelphia: Elsevier Sounders.

Baughman, Diane C,. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan

Suddarth. alih bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Benson, Herbert. MD., (2000). Respon Relaksasi: Teknik Meditasi Sederhana dan untuk

Mengatasi Tekanan Hidup (terjemahan).Bandung: Mizan.

Brunner dan Suddarth, (2005). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.

Bilo G, Revera M, Bussotti M. Bonacina D, Styczkiewicz K, et al. (2012). Effect of Slow

Deep Breathing at High Altitude on Oxigen Saturation. Pulmonary and Systematic

Hemodynamics.

Cerfolio et al. (2005). The Management of Chest Tubes in Patients With a Pneumothorax

Kaushik, et.al. (2006). Effects of Mental Relaxation and Slow Breathing in Essential

Hypertension. Complementary Therapies in Medecine. Vol 14(2). Pp. 120-126.

Dharma, K.K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan (Pedoman Melaksanakan dan

Menerapkan Hasil Penelitian). Jakarta: Trans Info Media, TIM.

Emaliyawati, Etika. (2009). Pengaruh Latihan Nafas Dalam terhadap Konsetrasi Oksigen

Darah Diperifer pada Klien TBC Paru, (Pustaka.Unpad.ac.id) data base.


Guyton & Hall. (2008). Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Hastono, S.P. (2007). Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Kaushik, et al. (2006). Effects of Mental Relaxation and Slow Breathing in Essentihypertension.

Complementary Therapies in Medecine. Vol 14(2). Pp. 120-126.

Kozier dan ERB’SI. (2011). Fundamental of Nursing: Concepts, Process and Practice, Ed. 9.

Edit Vol 2. Berman & Syder,S. New York: Pearson.

Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Leodin,

dkk. (2003). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Rapat Kerja I Komisi

Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta. Kusyanti, Eni. (2003). Keterampilan dan

Prosedur Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.

Kwekkeboon, et al. (2008). Patients’ Perceptions of the Effectiveness of Guided Imagery and

Progressive Muscle Relaxation Interventions Used for Cancer Pain. Complementary

theraphies in clinical practice. Vol 14(3). 185.194.

Leodin, dkk. (2003). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Rapat Kerja I Komisi

Nasional Etik Peneitian Kesehatan. Jakarta.

Lindquist, R, Snyder, M & Tracy, MF. (2013). Complementary & Alternative Therapies in

Nursing: Seventh Edition. New York: Springer Publising Company.

Miltenberger, R. G. (2004). Behavior Modification, Principles and Procedures, 3th.


JURNAL 3

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DENGAN HASIL

PEMERIKSAAN DAHAK DI KABUPATEN OGAN ILIR

1Nurkumalasari, 2*Dian Wahyuni, 3Nurna Ningsih

1Dinas Kesehatan Ogan Ilir

2,3Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

*E-mail: dianwahyuni1979@gmail.com

Abstrak

Tujuan: Tuberkulosis paru (TB Paru) disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang

merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Secara global, Indonesia menempati

urutan kelima setelah Negara India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria untuk kasus Tuberkulosis Paru.

Pada program nasional, pemeriksaan dahak mikroskopis sangat penting untuk menentukan adanya

BTA di dalam dahak penderita suspek TB Paru.

Metode: Metode penelitian menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross

sectional. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling yakni semua penderita

tuberkulosis paru basil tahan asam positif dan basil tahan asam negatif yang berobat ke seluruh

puskesmas wilayah kabupaten Ogan Ilir periode April–September Tahun 2013 sebanyak 270 orang.
Pengolahan data menggunakan sistem komputerisasi yang dianalisis secara univariat dan bivariat

dengan menggunakan uji statistik Chi-Square.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur (p-value = 0,286), jenis

kelamin (p-value = 0,261), status perkawinan (p-value = 0,331), pekerjaan ada hubungan (p-value =

0,857) dengan hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013.

Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan untuk petugas puskesmas pemegang

Program Tuberkulosis Paru sebaiknya meningkatkan kegiatan lagi kunjungan langsung ke rumah

penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang

membutuhkan. Bagi Kepala Puskesmas diharapkan selalu memantau Pelaksanaan Program dan

membantu memecahkan masalah yang dijumpai oleh pemegang program, bagi Dinas Kesehatan

agar selalu memberikan bimbingan dan evaluasi pelaksanaan program Tuberkulosisi Paru di

Puskesmas. Selain itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai faktor bibit penyakit dan

lingkungan yang mempengaruhi kejadian TB Paru.

Kata kunci: Hasil pemeriksaan dahak, karakteristik penderita TB Paru.


PENDAHULUAN

Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi basil tahan

asam (Acid Alcohol Fast Bacillus/ AAFB). Kuman Mycobakterium tuberculosis yang terutama

menyerang paru, kelenjar limfe dan usus. Penyakit ini menjadi penyebab utama kecacatan (berupa

kelainan pada organ paru maupun ekstra paru) dan kematian hampir di sebagian besar negara di

seluruh dunia. Dengan demikian World Health Organization menyimpulkan bahwa Tuberkulosis

Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit penyebab kematian yang membunuh orang lebih

banyak dibandingkan penyakit lain dalam sejarah.

Penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, hal yang sangat penting dan

sangat menentukan adalah pemeriksaan dahak penderita tersangka TB paru secara mikroskopis untuk

menentukan adanya BTA didalam dahak penderita. Setiap satu penderita TB Positif akan menularkan

kepada 10-15 orang penduduk setiap tahunnya.

Penyakit TB Paru juga sering dikaitkan dengan masalah kemiskinan, khususnya yang terjadi di

negara berkembang. Kemiskinan menyebabkan penduduk kurang kemampuan dalam pemeliharaan

kesehatan sehingga meningkatkan resiko terjadinya penyakit TB Paru. Hasil Riset Kesehatan Dasar

menunjukkan bahwa prevalensi nasional Tuberkulosis Paru 2009/2010 berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan melalui pemeriksaan dahak dan atau foto paru sebesar 720/100.000 penduduk. Periode

Prevalence TB Paru tertinggi terdapat pada kelompok di atas umur 54 tahun sebesar 3.593 per

100.000 penduduk. Paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk

sedangkan pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dengan tingkat

pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk.


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa faktor umur, jenis kelamin, status gizi,

pendidikan dan pekerjaan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB Paru dengan p

value (0,000). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa 71,0 % pasangan isteri yang menderita

Tuberkulosis Paru masing- masing suaminya juga menderita. 63,33 %. Sedangkan dalam riset

Rusnoto, diketahui bahwa proporsi adanya riwayat penyakit yang menyertai pada kelompok

penderita 32,1 % lebih besar dari kelompok bukan penderita (0

%).

Berdasarkan hasil Studi Pendahuluan di Dinas Kesehatan kabupaten Ogan Ilir di dapat data bahwa

dari 24 Puskesmas penderita TB Paru pada tahun 2010 sebanyak 378 orang, tahun 2011 sebanyak

262 orang dan pada tahun 2012 sebanyak 388 orang cenderung mengalami peningkatan. Data yang

diperoleh dari bulan April sampai dengan September 2013 dari pemeriksaan dahak BTA positif dan

BTA negatif penderita TB Paru berjumlah 270 orang dimana laki-laki 173 orang dan perempuan 97

orang sedangkan untuk umur, status perkawinan, pekerjaan, dan status gizi belum diketahui.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk lebih mengetahui adakah hubungan umur, status perkawinan,

pekerjaan, dan status gizi dengan hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik observasional dengan pendekatan cross

sectional. Analisis data menggunakan uji Chi-square. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 270

responden dan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Alat yang digunakan

sebagai pengumpul data berupa kuesioner untuk mendapatkan informasi subjek penelitian melalui
data sekunder seperti status penderita, TB-01 dan TB-03 yang didapat

dari seluruh puskesmas.

HASIL

Analisis Univariat

a. Karakteristik Penderita TB paru

Tabel 1

Distribusi Frekuensi berdasarkan Karakteristik Penderita TB Paru

di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013

Karakteristik Penderita TB Paru Kategori Frekuensi %

Umur 15-55-tahun 190 70,4

> 55 tahun 80 29,6

Jenis kelamin Laki-laki 173 64,1

Perempua 97 35,9

Status Perkawinan Kawin 240 88,9

Belum 30 11,1

kawin

Pekerjaan Bekerja 141 52,2

Tidak 129 47,8

bekerja
b. Hasil Pemeriksaan Dahak

Tabel 2

Distribusi Frekuensi berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak

di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013

Hasil pemeriksaan dahak Frekuensi Persentase (%)

BTA positif 208 77,0

BTA negatif 62 23,0

Total 270 100

Analisis Bivariat
a. Hubungan antara Umur dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Tabel 3

Distribusi Hubungan antara Umur dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013

Hasil Pemeriksaan Dahak

Umur BTA positif BTA negatif Jumlah p-value

N % N % N %

Usia Produktif 143 53,0 47 17,4 190 70,4 0,286

Usia Tidak Produktif 65 24,1 15 5,6 80 29,6

Total 208 77,0 62 23,0 270 100 0,286

b. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Tabel 4

Distribusi Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hasil Pemeriksaan

Dahak di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013

Hasil pemeriksaan dahak

Jenis Kelamin BTA positif BTA negatif Jumlah p-value


N % N % N %

Laki-laki 137 50,7 36 13,3 173 64,1 0,261

Perempuan 71 26,3 26 9,6 97 35,9

Total 208 77,0 62 23,0 270 100 0,261

c. Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Tabel 5

Distribusi Hubungan antara Status Perkawinan dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013

Hasil pemeriksaan dahak

Status Perkawinan BTA positif BTA negatif Jumlah p-value

N % N % N %

Kawin 187 69,3 53 19,6 240 88,9 0,331

Belum Kawin 21 7,8 9 3,3 30 11,1

Total 208 77,0 62 23,0 270 100 0,331

d. Hubungan antara Pekerjaan dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Tabel 6

Distribusi Hubungan antara Pekerjaan dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013


Hasil pemeriksaan dahak

Pekerjaan BTA positif BTA negatif Jumlah p-value

N % N % N %

Bekerja 108 40,0 33 12,2 141 52,2 0,857

Tidak bekerja 100 37,0 29 10,7 129 47,8

Total 208 77,0 62 23,0 270 100 0,857


PEMBAHASAN

Karakteristik Penderita TB Paru

Dari tabel 1 diketahui bahwa dari 270 orang responden sebagian besar berada pada kategori

umur 15-55 tahun dengan jumlah 190 orang (70,4%) sedangkan berdasarkan jenis kelamin,

persentase laki-laki lebih besar yakni sebanyak 173 orang (64,1%). Berdasarkan status

perkawinan, sebagian besar responden berstatus kawin yakni dengan jumlah 240 orang (88,9%)

dan berdasarkan pekerjaan sebagian responden yang bekerja yakni sebanyak 141 orang

(52,2%).

Hasil Pemeriksaan Dahak

Dari tabel 2 diketahui bahwa sebanyak 208 orang (77,0%) dinyatakan BTA positif sedangkan

62 orang lainnya (23,0%) dinyatakan BTA negatif.

Hubungan antara Umur dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 270 responden terdapat 190 responden (70,4) yang

usia produktif dimana 143 orang (53,0%) merupakan penderita TB Paru yang BTA positf dan

47 orang (17,4%) merupakan penderita TB Paru yang BTA negatif. Umur produktif sangat

berbahaya terhadap tingkat penularan karena penderita pada umur ini penderita mudah

berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang tinggi dan memungkinkan untuk menularkan ke

orang lain serta lingkungan sekitar tempat tinggal.

Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 270 responden didapatkan 173 responden
yang berjenis kelamin laki-laki dimana 137 orang (50,7%) merupakan penderita TB Paru BTA

Positif dan 36 orang (26,3%) meupakan penderita TB Paru BTA negatif. Secara epidemiologi

dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penyakit, insidens dan

kematian akibat TB Paru. Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki

dibandingkan perempuan, karena jenis kelamin laki-laki sifat keterpaparan dan tingkat

kerentanan lebih tinggi daripada perempuan.16

Jenis kelamin laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi seperti petani, sopir, tukang beca dan

tukang ojek dimana memerlukan tenaga yang kuat dibandingkan perempuan yang tinggal di

rumah seperti pekerjaan ibu rumah tangga sehingga laki-laki kemungkinan untuk terpapar

kuman TBC lebih besar.

Hubungan antara Status Perkawinan dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 270 responden didaptkan 240 responden

yang berstatus kawin dimana 187 orang (69,3%) yang merupakan penderita TB Paru BTA

positif dan 53 orang (19,6%) merupakan pasien TB Paru BTA negatif. Jika dilihat kondisi yang

ada pada masyarakat, meskipun status perkawinan seseorang sudah kawin (baik cerai hidup

atau mati) atau belum kawin hal tersebut tidak menunjukkan bahwa individu tersebut hanya

akan tinggal sendirian menempati suatu rumah, tetapi akan tinggal serumah dengan anggota

keluarga yang lain seperti orang tua, saudara kandung atau keluarga dekat lainnya. Jadi

meskipun seseorang tergolong belum kawin atau sudah kawin, jika mereka tinggal serumah

akan beresiko tertular TB Paru seandainya ada anggota keluarga tersebut sedang terinfeksi TB

Paru. Apabila ditemukana penderita TB Paru terutama yang BTA Positif maka keluarga

penderita tersebut harus dilakukan pemeriksaan dahak juga karena resiko untuk tertular lebih

besar dibandingkan penderita yang BTA negatif.


Hubungan antara Pekerjaan dengan Hasil Pemeriksaan Dahak

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 270 responden didapatkan 141 responden

yang bekerja dimana 108 orang (40,0%) merupakan penderita TB Paru BTA positif dan 33

orang (12,2%) merupakan penderita TB Paru BTA negatif. Pekerjaan merupakan sesuatu yang

dilakukan untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Pekerjaan

umumnya lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dari tingkat atau derajat

keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja dan sifat

sosio ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu.18

Faktor lingkungan kerja juga mempengaruhi seseorang untuk terpapar suatu penyakit dimana

lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk terinfeksi TB Paru antara lain supir, buruh,

tukang becak dan lain-lain dibandingkan dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran.19

Dimana jenis pekerjaan sesorang juga mempangaruhi pendapatan keluarga yang akan

mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan yang

bergizi dan pemeliharaan kesehatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Tidak ada hubungan antara umur dengan Hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir

Tahun 2013 (p value = 0,286).

2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan Hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten

Ogan Ilir Tahun 2013 (p value

= 0,261).

3. Tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan Hasil pemeriksaan dahak di

Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013 (p value = 0,331).

4. Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan Hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan
Ilir Tahun 2013 (p value

= 0,857).

Saran

Diharapkan agar pihak Dinas Kesehatan selalu memberikan bimbingan dan evaluasi

Pelaksanaan Program Tuberkulosis Paru di puskesmas, dan bagi petugas puskesmas pemegang

program TB Paru diharapkan apabila ada penderita tersangka TB Paru maka diutamakan untuk

melakukan pemeriksaan dahak terlebih dahulu. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan

penelitian lebih mendalam mengenai pengaruh atau hubungan antara faktor agent, faktor

lingkungan dan status gizi terhadap hasil pemeriksaan dahak.

REFRENSI

1. Israr, Y. A. (2009). Tuberkulosis Paru (TBC). Pekanbaru: FK UNRI.

2. Chin, J. (2009). Manual pemberantasan penyakit menular. Jakarta: Depkes RI.

3. Depkes RI. (2005). Pharmaceutical care untuk penyakit tuberculosis. Jakarta.

4. Depkes RI. (2006). Buku pedoman nasional penanggulangan tuberculosis.


Jakarta: Dirjen P2PL.

5. Depkes RI. (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman nasional penanggulangan

tuberkulosis paru. Jakarta.

7. Depkes RI. (2009). 3 b bukan batuk biasa bisa jadi tb. Jakarta.

8. World Health Organization. (2010).

World Stop TB Day.

9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB

di Indonesia 2010– 2014. Jakarta.

10. Kemenkes RI. (2012). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan, Jakarta.

11. Mahpudin, A. H. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik, Rumah, Sosial Ekonomi

Dan Respon Biologis Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Pada Penduduk

Dewasa di Indonesia (Analisis Data SPTBC Susenas 2004). (Tesis), Jakarta: UI.

12. RISKESDAS. (2010). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI tahun 2010.

13. Misnadiarly., & Sunarno. Tuberkulosis Paru dan Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Tingginya Angka Kejadiannya di Indonesia Tahun 2007.

14. N, T. (2017). Mau nanya dong dok. [online] Mau nanya dong dok. Available at:

https://nanyadongdok.blogspot.com [Accessed 2 Jul. 2017].

15. Rusnoto. (2007). Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru pada Usia

Dewasa, Surabaya, Undip.

16. Masniari L. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien TB Paru, Jurnal

Respirologi Indonesia tahun 2007; 27 : 176-85.

17. Ekowati, DR. Faktor resiko infeksi TB Paru kontak serumah di Kabupaten OKU

Sumatera Selatan tahun 2010.

18. Nur, N. N. (2008) Dasar epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta,


JURNAL 4

Jurnal Perawat Indonesia, Volume 1 No 1, Hal 18-25, Mei 2017 e-ISSN 2548-

7051

Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah


HUBUNGAN STATUS GIZI DAN PENDAPATAN TERHADAP

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU

Isma Yuniar1, Sarwono1, Susi Dwi Lestari1

¹STIKES Muhammadiyah Gombong

Abstract

Diperkirakan sekitar 2,7 juta jiwa meninggal karena tuberkolusis paru. Setiap tahunnya

di seluruh dunia masalah kesehatan dimana Indonesia cukup memberikan kontribusi ke

tingkat dunia. Dibuktikan dengan saat ini berada pada peringkat empat dengan beban

tuberkolusis tertinggi dunia, yaitu setelah China, India, dan Afrika Selatan.Status gizi

adalah salah satu faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi

tuberkolusis. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan

melemah sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi

menurun. Faktor lain yang mempengaruhi statu sgizi seseorang adalah status sosial

ekonomi. Pendapatan per kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor

yang berhubungan dengan status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru. Tujuan penelitian

adalah untuk mengetahui hubungan antara pendapatan, status nutrisi terhadap kejadian

tuberkolusis paru. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan

metode survei analitik dengan pendekatan case control. Hasil penelitian menunjukkan

hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru dengan

nilai OR= 3,484 (CI= 1,246 – 9, 747) yang berarti status gizi kurang beresiko menderita

Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali dibandingkan dengan status gizi cukup. Terdapat

hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru dengan

nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 – 11, 930) yang berarti responden dengan pendapatan

rendah beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan

responden yang pendapatannya tinggi.


Kata kunci: Status gizi, pendapatan, kejadian TB

Abstract

The relationship between income, nutritional status on the incidence of pulmonary

tuberculosis.It is estimated that around 2.7 million people die from pulmonary

tuberculosis every year throughout the world. is a health problem where Indonesia

contributes enough to the world level. It is proven that currently it is ranked fourth with

the world's highest tuberculosis burden, namely after China, India and South Africa.

Nutritional status is one of the most important factors in the body's defense against

tuberculus infections. In poor nutrition, the immune reaction will weaken so that the

ability to defend against infection decreases. Other factors that affect a person's

nutritional status are socioeconomic status. Per capita income of patients with

pulmonary tuberculosis is one of the factors related to nutritional status in patients with

pulmonary tuberculosis. The purpose of the study was to determine the relationship

between income, nutritional status on the incidence of pulmonary tuberculosis. This

research is a quantitative study that uses analytical survey methods with a case control

approach. The results showed a significant relationship between nutritional status with

the incidence of pulmonary tuberculosis with an OR = 3.484 (CI = 1.246-9,747) which

means less nutritional status at risk of suffering from pulmonary tuberculosis by 3.4

times compared to adequate nutritional status. There is a significant relationship

between income with the incidence of pulmonary tuberculosis with OR = 4.421 (CI =

1.638 - 11,930) which means that respondents with low income are at risk of suffering

from pulmonary tuberculosis by 4.4 times compared to respondents with high income.

Keywords: Nutritional status, income, incidence of TB


Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Pendahuluan

Tuberkulosis paru merupakan penyebab kematian utama di banyak negara-negara

berkembang.Data WHO mencatat Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal

jumlah penderita Tuberculosis paru, setelah India dan China(WHO, 2013). Insidendan

kematian akibat tuberkulosis telah menurun karena berbagai upaya pengendalian

yangtelah dilakukan namun diperkirakan kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2014

adalah 1,2 juta orang dari 9,6 juta orang penderita tuberkulosis paru. Penderita

tuberkulosis paru terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% adalah India,

Indonesia dan China dari seluruh penderita didunia. (WHO, 2015).

Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910kasus,

mengalami kenaikan dibandingkan dengan jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan

pada tahun 2014 yaitu sebesar 324.539 kasus. Kasus tuberkulosis tertinggi ditemukan di

tiga provinsi yang mempunyai jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa

Timur dan Jawa Tengah, yaitu terdapat kasus tuberkulosis sebesar 38% dari jumlah

seluruh kasus baru di Indonesia.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kebumen pada tahun 2015 ditemukan

jumlah kasus Tuberkulosis paru baru BTA positifsebanyak 672 kasus. Hal ini

mengalami kenaikan dibandingkan jumlah kasus Tuberkulosis paru baru BTA positif

pada tahun 2014 yaitu sebanyak 435 kasus. Di tahun 2015 ini pencapaian CNR wilayah

Kabupaten Kebumen adalah 56,90 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2011 – 2014

CNR kasus Tuberkulosis paru di Kebumen mengalami penurunan dan naik pada tahun

2015. Angka CNR kasus baru BTA positiftahun 2015 naik jika dibandingkan dengan

pencapaian tahun 2014 yaitu 36,97 per 100.000 penduduk.

Jumlah penduduk miskin dan hampir miskin yang terdapat di Kabupaten

Kebumen pada tiga tahun terakhir mengalami peningkatan,tahun 2011 jumlahnya

adalah sebesar 535,252. Berdasarkan hasil penelitian Sari dkk (2012) menunjukkan
43
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

bahwa Seseorang dengan tingkat sosial ekonomi yang baik akan memiliki tingkat

kesehatan yang baik pula.Tingkat sosial ekonomi yang rendah mengakibatkan

rendahnya pengetahuan mengenai penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif serta

sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik, sehingga perbaikan kondisi

sosial ekonomi masyarakat diperlukan untuk mencegah timbulnya penyakit menular

seperti Tuberkulosis Paru BTA positif.

Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang

mempengaruhi penyakit Tuberkulosis adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu

faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang

buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan dalam

mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun. faktor lain yang

mempengaruhi status gizi seseorang adalah status sosial ekonomi. Pendapatan per

kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan

status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru (Patiung, 2014). Pendapatan keluarga

dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang yang akan mempunyai dampak terhadap

pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain

itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah) (Rohman,

2012). Berdasarkan hasil penelitian Kartikasari (2011), menyatakan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan status gizi.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2016 –

1 November 2016 di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1 ditemukan data penderita

Tuberkulosis Paru tahun 2015 adalah sebanyak 19 orang yang terdiri dari 11 laki-laki

dan 8 perempuan sedangkan data penderita Tuberkulosis Paru pada tahun 2016 adalah

sebanyak 23 orang yang terdiri dari 17 laki-laki dan 6perempuan namun 2 orang telah

meninggal sehingga keseluruhan penderita Tuberkulosis paru tahun 2015-2016 adalah

40 orang. Hasil data yang didapatkan dari 10 orang penderita Tuberkulosis paru adalah
44
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

8 orang memiliki pengetahuan yang kurang meskipun dari pihak Puskesmas Sempor 1

(petugas program Tuberkulosis paru) sudah memberikan penyuluhan terkait penyakit

Tuberkulosis paru namun hanya 2 orang yang memiliki pengetahuan yang cukup.

Delapan orang dengan pendapatan rendah dikarenakan mayoritas pekerjaan dari

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1 adalah buruh, baik buruh tani

ataupun bangunan dan ada pula penderita Tuberkulosis paru yang tidak bekerja karena

penyakitnya tersebut. Delapan orang dengan gizi yang kurang akibat pendapatan yang

rendah menyebabkan ketidak mampuan menyediakan makanan yang bergizi dan

pengetahuan yang kurang menyebabkan seseorang kesulitan untuk menerima konsep

hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Berdasarkan fenomena

tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor- faktor yang

beresiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1,

Kabupaten Kebumen”.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan metode survei

analitik dengan pendekatan case control. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah

semua penderita Tuberkulosis paru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1,

pada tahun 2015 – 2016sebanyak 40 orang.Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah

semua orang yang bukan penderita Tuberkulosis paru BTA positif atau belum

dinyatakan menderita penyakit Tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Sempor

1.Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik total sampling

sejumlah 40 responden. Teknik total sampling digunakan karena jumlah responden

kasus adalah 40 responden. Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan di

wilayah kerja Puskesmas Sempor1, Kabupaten Kebumen dengan perbandingan sampel

kasus dan kontrol 1:1.Teknik analisa data menggunakan analisis univariat untuk
45
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian seperti

pendapatan, dan status gizi yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau presentase

untuk memberi gambaran umum hasil penelitian. Analisa bivariate chi square dan

perhitungan Odds Ratio (OR)

Hasil Dan Pembahasan Tingkat Pendapatan

Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1 Kabupaten

Kebumen di dapatkan hasil bahwa mayoritas responden mempunyai pendapatan

rendah yaitu sebesar 51 (63,75%) dari 80 responden yang terdiri dari 32 responden

kasus (penderita Tuberkulosis paru) dan 19 responden kontrol (bukan penderita

Tuberkulosis paru).

Pendapatan adalah hasil dari pekerjaan, pendapatan juga akan mempengaruhi

gaya hidup seseorang. Pendapatan erat kaitannya dengan kemiskinan, masyarakat yang

mempunyai pendapatan rendah biasanya mempunyai tingkat ekonomi yang rendah

pula. Pendapatan yang rendah akan mempengaruhi seseorang dalam menjaga

kesehatannya, karena pendapatan yang rendah berpengaruh pada pendidikan,

pengetahuan, asupan makanan, pengobatan dan kondisi tempat tinggal. Hal ini sejalan

dengan pendapat dari Haryanto (2011) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi

Ekonomi yang menyatakan bahwa ekonomi mempunyai kaitan erat dengan kejadian

Tuberkulosis paru, telah diketahui bahwa pada umumnya angka kejadian Tuberkulosis

paru meningkat pada status sosial ekonomi rendah (Noer, 2008). Seseorang yang

mempunyai pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan

lingkungan rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan

yang jumlah dan kualitasnya memadai serta mampu membiyai pemeliharaan kesehatan

yang diperlukan (Helper, 2010)

Ristyo Sari P, dkk (2012) menyatakan tingkat social ekonomi yang rendah
46
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

mengakibatkan rendahnya pengetahuan mengenai penyakit Tuberkulosis paru serta

sulitnya mendapat akses pelayanan kesehatan yang baik.

Tingkat Status Nutrisi

Berdasarkan hasil penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1 Kabupaten

Kebumen di dapatkan hasil bahwa mayoritas responden mempunyai status gizi kurang

yaitu sebesar 56 (70%) dari 80 responden yang terdiri dari 33 responden kasus

(penderita Tuberkulosis paru) dan 23 responden kontrol (bukan penderita Tuberkulosis

paru). Status gizi yang kurang akan membuat lemahnya daya imun (sistem kekebalan

tubuh) dalam mempertahankan diri dari suatu penyakit. Kondisi kurangnya status gizi

mayoritas responden terutama pada responden kasus (penderita Tuberkulosis paru) pada

dasarnya disebabkan oleh banyak faktor. Dua faktordiantaranya adalah kurangnya

pengetahuan tentang kebutuhan asupan makanan yang baik dan bergizi dan pendapatan

(ekonomi) yang baik untuk memenuhi kebutuhan makanan bergizi. Jika tingkat

pengetahuan gizi seseorang baik maka diharapkan asupan makanan baik sehingga status

gizinya juga menjadi baik (Kartikasari, 2011). Meskipun begitu hal yang banyak

mempengaruhi status gizi seseorang ditentukan oleh perilaku hidup sehat seseorang.

Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang

mempengaruhi penyakit Tuberkulosis adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu

faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang

buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan dalam

mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun. Faktor lain yang

mempengaruhi status gizi seseorang adalah status sosial ekonomi. Pendapatan per

kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan

status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru (Patiung, 2014).

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Jefille dalam penelitian Sri Endah P
47
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

(2012) bahwa faktor yang mempengaruhi status gizi adalah keadaan infeksi, konsumsi

makanan, pengaruh budaya, sosial ekonomi dan produksi pangan. Status gizi

merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian Tuberkulosis paru,

tentu saja hal ini masih tergantung pada penyebab lain yang lebih utama yaitu bakteri

mycobacterium tuberculosis. Seperti yang diketahui bakteri mycobacterium

tuberculosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun – tahun dan apabila

memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah

kejadian penyakit Tuberkulosis paru (Ruswanto, 2010). Hal ini sesuai dengan pendapat

Minardiarly dan Toyalis, bahwa faktor kurang gizi akan meningkatkan angka kesakitan

atau kejadian Tuberkulosis paru.

Hubungan pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Kebumen

Hasil penelitian yang dilakukan pada 80 responden diketahui bahwa terdapat51

(63,75%) responden dengan pendapatan rendah dan 29 (36,25%) responden dengan

pendapatan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendapatan

rendah. Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,005 yang berarti p < alpha (0,05),

sehingga dengan alpha 5% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru. Hasil penelitian

didapatkan nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 – 11, 930) yang berarti responden dengan

pendapatan rendah beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan

dengan responden yang pendapatannya tinggi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ristyo Sari P, dkk (2012) yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penghasilan dengan kejadian Tuberkulosis

paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Seseorang dengan tingkat sosial ekonomi

yang baik akan memiliki tingkat kesehatan yang baik pula.Tingkat sosial ekonomi yang
48
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

rendah mengakibatkan rendahnya pengetahuan mengenai penyakit Tuberkulosis Paru

BTA positif serta sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik.

Dalam teori yang dikembangkan oleh Tjiptoherijanto dalam ekonomi pemenuhan

kebutuhan, dengan pendapatan rendah kebutuhan akan sulit didapatkan sehingga

berbagai masalah kesehatan mudah muncul seperti penyakit infeksi Tuberkulosis paru.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fariz Muaz (2014) yang menyatakan

bahwa penghasilan adalah faktor yang beresiko terhadap kejadian Tuberkulosis paru

BTA positif.

Hubungan status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Kebumen

Hasil penelitian yang dilakukan pada 80 responden diketahui bahwa terdapat 56

(70%) responden dengan status gizi kurang dan 24 (30%) responden dengan status gizi

cukup. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai status gizi kurang.

Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,028 yang berarti p < alpha (0,05), sehingga

dengan alpha 5% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru. Dan juga didapatkan nilai OR= 3,484

(CI= 1,246 – 9, 747) yang berarti status gizi kurang

beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali dibandingkan dengan status gizi

cukup.

Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol

melaporkan bahwa seseorang dengan IMT kurang dari 18,5 memiliki resiko 3,79 kali

lebih tinggi terserang TB dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5.

Penelitian yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang sama

melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang

Tuberkulosis paru dibandingkandengan mereka yang memiliki status gizi baik.


49
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fariz Muaz (2014) yang menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru. Karena

secara umum kekurangan gizi akan menyebabkan melemahnya sistem imun (kekebalan

tubuh) terhadap serangan penyakit.Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian

Supriyo (2013) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor risiko kejadian

Tuberkulosis paru atau ada hubungan antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis

paru.

Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.

Infeksi dapat menyebabkan kekurangan gizi ataupun sebaliknya kurang gizi juga dapat

menghambat dan memperburuk dalam mengatasi penyakit infeksi karena kekurangan

gizi dapat menghambat reaksi pembentukan kekebalan tubuh.Schrimshaw et, al

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara infeksi dengan kurang gizi.

Masalah kurang gizi juga masih banyak ditemukan pada negara berkembang seperti

Indonesia.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Kebumen (p= 0,005). Dan juga didapatkan nilai OR=

4,421 (CI= 1,638 – 11, 930)

yang berarti pendapatan rendah berisiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali

dibandingkan dengan pendapatan tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah kerja

Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Kebumen (p= 0,028) dan juga didapatkan nilai OR=

3,484 (CI= 1,246 – 9, 747) yang


50
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

berarti status gizi kurang berisiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali

dibandingkan dengan status gizi cukup.

DaftarPustaka

Agus. (2017). Gaji UMR Jateng 2017, Daftar Gaji UMK 35 Kota dan Kabupaten di

Jawa Tengah Tahun 2017. http://www.gajiumr.com.

Accessed 23 Februari 2017.

Ahmad, Fariza. (2013). Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Sosial Ekonomi Orang

Tua / Wali Murid Siswa Kelas Atas Sekolah Dasar Negeri 3 Jatiluhur Kecamatan

Karanganyar Kabupaten Kebumen. Skripsi. Yogyakarta: UNY.

Amalia, Dewi Rosaria. (2014). Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku

Merokok pada Remaja Usia

12 – 15 Tahun di Desa Ngumpul. Tesis. Surakarta: UNS.

Angelina, Bhestsy &Miskiyah Tiflani Iskandar. (2011). Gizi dan Dietetika (Edisi 2).

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Astuti, Sumiyati. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat

terhadap Upaya Pencegahan Penyakit Tuberkulosis di RW 04 Kelurahan Lagoa

Jakarta Utara Tahun 2013. Skripsi. Jakarta: UIN.

Budijanto, Didik, dkk (Ed). (2016). 2015 Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:

Kemenkes RI

Cahyono, Rinto. (2015). Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Kejadian Kekerasan


51
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

dalam Rumah Tangga di Desa Tersobo Kecamatan Prembun Kabupaten

Kebumen. Skripsi. Gombong. Stikes Muhammadiyah Gombong.

Devi, Nirmala. (2010). Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas

Media Nusantara.

Dharma, Kelana Kusuma. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: CV.

Trans Info Media.

Haryanto, Sindung. (2011). Sosiologi Ekonomi. Yogyakarta: AR_RUZ MEDIA.

Helper, Sahat P.M. (2010). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru

dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi

Kesehatan.

Hidayat, A. Aziz Aimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis

Data. Jakarta: Salemba Medika.

Indarwati, Rini Dwi. (2014). Hubungan Antara Kondisi Sosial Ekonomi dan Perilaku

Hidup Sehat dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Kartikasari, BW., Mifbakhuddin, Mustika, DN. (2011). Hubungan Pendidikan, Paritas

dan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Ibu Hamil Trisemester III di Puskesmas

Bangetayu Kecamatan Genuk Kota Semarang Tahun 2011. Semarang:


52
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Universitas Muhammadiyah Semarang

Kotouki, Anance. (2012). Gambaran Perilaku Penderita dan Resiko Tuberkulosis BTA

Positif dengan Kepatuhan Minum Obat dan Kebiasaan Membuang Dahak di

Wilayah Puskesmas Ciomas Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tahun 2012.

Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Maksalmina, Z. (2013). Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kejadian TB (Tuberkulosis)

Paru Pada Laki-Laki di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni I Kabupaten

Pekalongan. Jurnal Skripsi. Pekalongan: Stikes Muhammadiyah Pekajangan,

Pekalongan

Muaz, Faris. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru

Basil Tahan Asam Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang

Tahun 2014. Skripsi. Jakarta: UIN.

Noor, Nur Narsy. (2008). Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT RINEKA

CIPTA

P, Ristyo Sari, dkk. (2012). Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Angka Kejadian

Tuberkulosis Paru BTA Positif di Wilayah Kerja Puskesmas Peterongan Jombang

Tahun 2012. Skripsi. Jombang: Stikes PEMKAB Jombang Patiung, F., Wongkar,

MCP dan Mandang,V. (2014). Hubungan Status Gizi dengan CD4 Pasien

Tuberkulosis Paru. Jurnal e-CliniC, volume 2, nomor 2.


53
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Purwitasari, Sri, dkk. (2016). Profil Kesehatan Kabupaten Kebumen 2015. Kebumen:

Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen

Putra, Niko Rianda. (2011). Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah dengan

Kejadian TB Paru Di Kota Solok Tahun 2011. Skripsi. Padang: Universitas

Andalas Padang.

Priyatiningsih, Sri Endah. (2012). Hubungan Antara Status Gizi dengan Tingkat

Konsentrasi Belajar Siswa Kelas III dan IV di SDN 1 Pekutan Kecamatan Mirit.

Skripsi. Gombong: Stikes Muhammadiyah Gombong.

Rohman, WK. (2012). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian TB Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Gabus II Kabupaten Grobogan. Jurnal Skripsi.

Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang.

Romlah, Laila. (2015). Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis

Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.

Skripsi.Jakarta: UIN.

Rusnoto. (2008). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru pada

Usia Dewasa (Studi Kasus di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru

Pati). Jurnal Epidemiologi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Ruswanto, Bambang. (2010). Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru

Ditinjau dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten

Pekalongan. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.


54
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Sianturi, Ruslantri. (2013). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan

TB Paru.Skripsi. Semarang: UNNES.

Subarjo, Pana Agus. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kader dalam

Penemuan Suspek Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sruweng Kabupaten

Kebumen. Skripsi. Gombong: Stikes Muhammadiyah Gombong.

Sudiantara, Ketut., dkk. (2014). Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan

Kasus TB Paru. Denpasar: Poltekes Denpasar

Sugiyono. (2016). Metodologi Penelitian Kombinasi (mixed methods). Bandung:

ALFABETA

Supriyo, dkk. (2013). Pengaruh Perilaku dan Status Gizi terhadap Kejadian TB Paru

di Kota Pekalongan. Semarang: Poltekes Semarang.

Syarfa, Ilyati. (2015). Gambaran Tingkat Pengetahuan, Perilaku Merokok dan

Nikotin Dependen Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi.

Jakarta: UI

Imelda Lisu Pane. (2012). Hubungan antara pekerjaan, PMO, Pelayanan Kesehatan

Dukungan Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB

Paru.

55
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

56
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

JURNAL 5

PENERAPAN PRAKTIK KEPERAWATAN BERBASIS BUKTI PURSED

LIP BREATHING PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIK

DI RUANG RSU PUSAT PERSAHABATAN

JAKARTA

Seven Sitorus

Staf Pengajar Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jakarta Kampus FIKES UPNVJ, Jl. Limo Raya RT

03/05, Limo, Depok, Jawa Barat – 16515;

Email: sevens1973@yahoo.co.id

Abstract

Background: Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD) is disease

characterized by obstruction air flow in the breath not wholly reversible. One

treatment can be done on improving exercise tolerance is exercise respiration as

pursed lip breathing ( PLB ). Purse lip breathing is a techniques of breathing

carried out to expelling air by creating power through in move closer

/pursed lips. Purpose: provide an illustration of the application of the practice of

evidence based nursing of pursed lip breathing in patients COPD in RSUP

Persahabatan Jakarta. Method: the implementation of the practice of evidence

57
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

based nursing pursed lip breathing is applied to 12 people sample ( 10 men and 2

women ) diagnosed with COPD exacerbation. Result: the majority of sex

respondents is man as many as 10 ( 83,3 % ) persons and women as many as 2 (

16,7 % ) a person .mean the age of respondents is 61,5 years ± 10.4 .mean the

value of PEF ( Peak Expiratory Flow ), the value of the saturation oxygen , the

value of respiratori rate before the intervention in a consecutive manner is 131.6

± 44.6; 92.1 ± 2.44; 31.5 ± 2 . While value after the intervention is 175.0 ± 60.0;

97,1 ± 1.6; 22,6 ± 1.7 with P value = 0.001, α = 0.05. Conclusions: there are

significant influence the application of pursed lip breathing between before and

after the intervention in patients COPD. Advice: Intervention evidence based

nursing can be applied to all patients COPD so reached the quality of care of

nursing based on research .

Keywords : COPD, pursed lip breathing.

PENDAHULUAN gas yang beracun atau berbahaya

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif

Kronik) merupakan penyakit yang

ditandai dengan hambatan aliran

udara di saluran nafas yang tidak

sepenuhnya reversibel. Hambatan

aliran udara ini bersifat progresif dan

berhubungan dengan respons

inflamasi paru terhadap partikel atau


58
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

(Depkes, 2008). Penyakit paru

obstruktif kronik ini umumnya

disebabkan oleh polusi udara, radang

akut saluran pernapasan yang

berkepanjangan, radang kronis

saluran pernapasan, gangguan sistem

imunitas paru, sekret bronkus yang

berlebihan (Halim Danusantoso,

2014). Gambaran klinis penyakit paru

obstruktif kronik ini adalah: Onset

(awal terjadinya penyakit) biasanya

59
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

pada usia pertengahan, perkembangan penyebab kematian ke-4 di seluruh dunia

gejala bersifat progresif lambat, diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi

riwayat pajanan, seperti merokok, penyebab kematian ketiga di seluruh dunia.

polusi udara (di dalam ruangan, luar Sebagai pengingat pentingnya masalah

tempat kerja), sesak pada saat PPOK, WHO menetapkan hari PPOK

melakukan aktivitas, hambatan aliran

udara umumnya ireversibel (tidak

bisa kembali normal).

PPOK merupakan salah satu

penyebab utama kesakitan dan

kematian di seluruh dunia. Data hasil

Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) pada tahun 2013

menunjukkan bahwa prevalensi

PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%.

Prevalensi PPOK diperkirakan akan

terus meningkat sehubungan dengan

peningkatan usia harapan hidup

penduduk dunia, pergeseran pola

penyakit infeksi yang menurun

sedangkan penyakit degeneratif

meningkat serta meningkatnya

kebiasaan merokok dan polusi udara.

WHO (2013) memprediksi bahwa

PPOK yang saat ini merupakan


60
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

sedunia (COPD day) pernapasan seperti pursed lip

diperingati setiap tanggal 18 breathing dan kalaupun diajarkan

November. masih belum ada keseragaman antara

satu perawat dengan perawat yang

Hasil studi pendahuluan yang lainnya, hal ini mungkin disebabkan

di lakukan penulis melalui unit karena belum adanya SOP yang

medical record Rumah Sakit dibakukan mengenai pursed lip

Umum Pusat Persahabatan breathing.

(2014), terdapat 1280 orang

pasien PPOK yang dirawat dan Melihat peliknya permasalahan pada

92 orang pasien yang pasien dengan PPOK, maka

dilakukan perawatan di IGD penatalaksanaan yang tepat sangatlah

selama enam bulan terakhir.

Hasil observasi yang dilakukan

penulis selama satu bulan pada

bulan November 2014 di

Instalasi Gawat Darurat pada

pasien PPOK yang mengalami

eksarsebasi akut ditangani

dengan pemberian oksigen,

dan

obat-obatan

bronkodilator melalui

nebulizer maupun intravena

dan pasien jarang sekali di

ajarkan teknik latihan


61
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

diperlukan. Tujuan penatalaksanaan perut selama ekspirasi ternyata dapat

pada pasien PPOK ini adalah memperbaiki pertukaran gas yang

mencegah progresif penyakit, dapat dilihat dengan membaiknya

menghilangkan gejala, memperbaiki saturasi oksigen arteri (John E,

status kesehatan, mencegah dan Hodgkin., Bartolome R, Celli.,

mengobati penyulit, menurunkan Gerilynn L. Connors , 2009).

mortalitas, mencegah dan mengobati

eksaserbasi, memperbaiki exercise

tolerance (Slamet H, dkk, 2013).

Salah satu penatalaksanaan yang

dapat dilakukan dalam memperbaiki

exercise tolerance adalah latihan

pernapasan seperti pursed lip

breathing (PLB). Purse-lip breathing

adalah suatu teknik pernapasan yang

dilakukan untuk mengeluarkan udara

dengan menciptakan kekuatan

melalui merapatkan/memonyongkan

bibir (Jadranka Sphahija, Michael de

Marchie and Alejandro Grassino,

2005).

Purse-lip breathing sering dilakukan

oleh pasien secara spontan, saat

purse-lip breathing diaktifkan otot


62
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Purse-lip breathing juga mengurangi sesak, rasa cemas dan

memperbaiki pola nafas, tegang karena sesak. Pernafasan

meningkatkan volume tidal dan pursed lip breathing dilakukan

mengurangi sesak nafas. Selain itu dengan cara penderita duduk dan

PLB juga ditujukan untuk bernafas dengan cara

memperbaiki pertukaran gas dan menghembuskan melalui mulut yang

penggunaan otot pernapasan. Manfaat

lainnya dari PLB membantu menjaga

jalan napas agar tetap terbuka dalam

mempertahankan tekanan positip

jalan napas. Tujuan lain dari pursed

lips breathing ini adalah untuk

membantu klien memperbaiki

transport oksigen, menginduksi pola

napas lambat dan dalam, membantu

pasien untuk mengontrol pernapasan,

mencegah kolaps dan melatih otot-

otot ekspirasi untuk memperpanjang

ekshalasi dan meningkatkan tekanan

jalan napas selama ekspirasi, dan

mengurangi jumlah udara yang

terjebak (Smeltzer & Bare, 2013).

Pursed-lip breathing ini juga

bertujuan untuk memberikan manfaat

subjektif pada penderita yaitu


63
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

hampir tertutup (seperti bersiul)

selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis

dapat menimbulkan tekanan saat bukti yang diterapkan oleh penulis adalah

ekspirasi sehingga aliran udara latihan napas dengan metode pursed lip

melambat dan meningkatkan tekanan breathing pada pasien PPOK di ruang

dalam rongga perut yang diteruskan instalasi gawat

sampai bronkioli sehingga kolaps

saluran nafas saat ekspirasi dapat

dicegah.

Pursed lip breathing ini merupakan

salah satu terapi intervensi

keperawatan non farmakologi dan

non invasive yang dapat mengurangi

sesak napas (menurunkan frekwensi

pernapasan), meningkatkan saturasi

oksigen dan meningkatkan arus

puncak respirasi. Pursed lip breathing

sangat mudah untuk dilakukan, oleh

sebab itu penulis tertarik untuk

menerapkan Evidence Based Nursing

Practice (EBNP)/ praktik

keperawatan berbasis bukti tentang

Pursed lip breathing ini.

METODE PENELITIAN
64
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

darurat RSUP Persahabatan yaitu sambil berjalan, caranya: hirup

Jakarta. Pasien yang terlibat napas sambil melangkah dua langkah,

dalam penerapan praktek hembuskan napas melalui bibir yang

keperawatan berbasis bukti ini dirapatkan sambil berjalan empat atau

sebanyak 12 orang ( 10 orang lima langkah. Lama waktu yang

laki- laki dan 2 orang dibutuhkan untuk melaksanakan

perempuan) yang terdiagnosa tahap kerja adalah 5 sampai dengan

PPOK eksarsebasi. Tahap 10 menit. Setelah itu baru dilakukan

kerja yang dilakukan dengan evaluasi untuk pendokumentasian.

menggunakan dua metode Adapun evaluasi yang dilakukan

tergantung dari kondisi pasien adalah dengan mencatat hasil sebelum

tersebut.

Tahap pertama yaitu sambil

duduk dikursi, caranya: lipat

tangan diatas abdomen, hirup

napas melalui hidung sambil

menghitung hingga 3,

membungkuk ke depan 30

sampai 40 derajat dengan

kepala terangkat dengan sudut

16 sampai 18 derajat dan

hembuskan dengan lambat

melalui bibir yang dirapatkan

sambil menghitung hingga 7.

Sedangkan tahap yang kedua


65
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

dan sesudah dilakukan intervensi Tabel 1. Menunjukkan

pursed lip breathing mencakup mayoritas jenis kelamin responden

frekwensi pernapasan, arus puncak berjenis kelamin laki – laki

respirasi (APE) serta saturasi oksigen. sebanyak

Alat yang digunakan untuk mengukur 10 (83,3%) orang dan perempuan

hasil evaluasi yaitu jam tangan, peak sebanyak 2 (16,7%) orang.

flow metry, oksimetri. Berikut hasil

penerapan praktek keperawatan

berbasis bukti di ruang IGD RSUP

Persahabatan Jakarta:

HASIL PENELITIAN

Tabel

Distribusi frekuensi pasien PPOK Tabel 2

berdasarkan jenis kelamin Di

Ruang IGD RSUP Persahabatan

Jakarta (n =

12)

Variabel Jumlah Persentase

(n) (%)

Jenis

Kelamin

Laki – laki 10 83,3

Perempuan 2 16,7

66
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Distribusi frekuensi pasien PPOK sebelum intervensi adalah 131.6 ±

berdasarkan usia, APE (pre dan 44.6 (95% CI: 103.2 ; 160,0)

post), Saturasi Oksigen (pre dan dan rata-rata nilai APE setelah

post), RR (pre dan post) di Ruang intervensi adalah 175.0 ± 60.0 (95%

IGD RSUP CI: 136.8 ; 213,1). Rata – rata nilai

Persahabatan Jakarta (n = 12) saturasi oksigen sebelum intervensi

adalah 92.1 ± 2.44 (95% CI: 90.6 ;

Variabel Mean SD 95% CI 93,7), dan rata-rata nilai saturasi

Usia 61.5 10.4 58.8 ; 68.1 oksigen setelah intervensi adalah 97,1

APE PRE 13 44.6 103.2;160.0 ± 1,6 (95% CI: 96,0 ; 98,2). Rata –

1.6 rata nilai respiratori rate sebelum

APE 175.0 60.0 136.8;213.1 intervensi adalah 31.5 ± 2.1 (95% CI:

POST (95% CI: 30.1 ; 32,8), dan rata-rata

Saturasi 92.1 2.44 90.6; 93.7

Oksigen

Pre

Saturasi 97.1 1.6 96.0; 98.2

Oksigen

Post

RR Pre 31.5 2.1 30.1; 32.8

RR Post 22.6 1.7 21.5;23-7

Tabel 2. Menampilkan rata – rata

usia responden yaitu 61,5 tahun ± 10,4

(95% CI : 58.8 ; 68.1). Rata –

rata nilai APE (Arus Puncak Ekspirasi)


67
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

nilai respiratori rate setelah intervensi breathing sebelum dan sesudah

adalah 22,6 ± 1,7 (95% CI: 21,5 ; intervensi pada pasien PPOK. Karena

23,7) . nilai p ˂ 0.05 maka Ho di tolak. Jadi

dapat disimpulkan ada pengaruh yang

signifikan antara nilai sebelum dan

Tabel sesudah penerapan pursed lip

3 breathing sebelum dan sesudah

Analisis rata-rata selisih nilai

APE, Saturasi Oksigen, RR

sebelum dan sesudah dilakukan

intervensi Pursed Lip Breathing

di Ruang IGD RSUP

Persahabatan Jakarta (n = 12) intervensi pada pasien PPOK.


Variabel Kelompok Mean SD P Value
Arus Pre 131.6 44.6 PEM
Puncak Post 175.0 60.0 0,001
Ekspirasi BAHASAN
Pre 92.1 2.4 Rata
Saturasi
0,0d0a1n
Oksigen Post 97.1 1.6
Respiratori Pre 31.5 2.1 napa
Rate 0,001
Post 22.6 1.7 -rata selisih nilai APE sebelum

sesudah intervensi latihan

s pursed lip breathing.

sebesar 131.6 ± 44.6 dan setelah intervensi

adalah sebesar 175.0 ± 60.0; rata-rata

Berdasarkan hasil analisis saturasi oksigen sebelum intervensi

pengukuran rata-rata arus puncak adalah sebesar

ekspirasi sebelum intervensi adalah 92.1 ± 2.4 dan setelah intervensi adalah
68
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

sebesar 97,2 ± 1,6; rata-rata Hasil penerapan praktik keperawatan

respiratori rate sebelum intervensi berbasis bukti mengenai latihan napas

adalah sebesar 31,5 ± 2,1 dan setelah pursed lip breathing terhadap APE,

intervensi adalah sebesar 22,6 ± 1,7 dapat disimpulkan ada pengaruh yang

dengan 12 responden pada tabel.3 signifikan dengan p=0,001, α 0,05.

diatas menggunakan uji Dependent T- Hasil ini sejalan dengan penelitian

test di dapatkan nilai P value = 0.001, yang dilakukan oleh Jadranka

yang berarti pada alpha 5% ada Spahija, Michel De Marchie and

pengaruh penerapan pursed lip Alejandro Grassino, (2005) pada 8

orang pasien PPOK (6 laki-laki dan 2

perempuan) dengan rata-rata (±SD)

umur 58 tahun ± 11 tahun dan rata-

rata arus puncak ekspirasi menit

pertama terdiri dari 1,34 ± 0,44± L (

50 ± 21% prediksi). Hasilnya:

Terdapat hubungan yang signifikan

antara PLB dengan sesak napas saat

aktivitas terutama pada puncak

69
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

ekpirasi pernapasan dengan nilai (Randomized Clinical Trials) baik

estimasi p=0,002). Kesimpulan: menggunakan kontrol group maupun

pengaruh PLB pada sesak napas tidak menggunakan kontrol group.

terkait dengan perubahan kenaikan Lebih jelasnya, mereka melihat

tidal volume dan puncak ekspirasi beberapa sesi mengenai salinan

pernapasan. tulisan mengenai pengaruh PLB pada

Rata-rata selisih nilai saturasi

oksigen sebelum dan sesudah

intervensi latihan napas pursed lip

breathing.

Beranjak pada penerapan praktik

keperawatan berbasis bukti mengenai

latihan napas pursed lip breathing

terhadap saturasi oksigen, dapat

disimpulkan ada pengaruh yang

signifikan dengan p=0,001, α 0,05.

hasil ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh G.A.de.F.

Fregonezi, V.R.Resqueti, and R.Guell

Rous (2004). Pada artikel ini, mereka

mereview artikel tentang PLB yang

sudah dipublikasikan mulai tahun

1964 sampai dengan 2003 sebanyak

15 penelitian dengan desain RCT


70
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

fungsi paru dan analisa gas darah, terhadap saturasi oksigen, dapat

pola pernapasan, dan otot pernapasan. disimpulkan ada pengaruh yang

Kesimpulannya: PLB dapat signifikan dengan p=0,001, α 0,05.

memperbaiki fungsi pernapasan Hasil ini sejalan dengan penelitian

pasien dengan penyakit primer yang dilakukan oleh Frank J.Visser,

maupun sekunder. Hubungan pola Sunil Ramlal, P.N. Richard

pernapasan dengan prosedur PLB

digambarkan terlebih pada masalah

psikologis dan ventilasi yang efisien.

Adanya tahanan fase ekspirasi

pernapasan terutama dikaitkan pada

keterlibatan mulut namun secara

signifikan perubahan sementara

terjadi pada pola pernapasan dan

penggunaan otot-otot pernapasan.

Hasilnya adalah tidal volume

meningkat, penurunan konsumsi

oksigen, perbaikan analisa gas darah

(saturasi oksigen).

Rata-rata selisih nilai RR sebelum

dan sesudah intervensi latihan

napas pursed lip breathing.

Beranjak pada penerapan praktik

keperawatan berbasis bukti mengenai

latihan napas pursed lip breathing


71
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

Dekhuijzen, Yvonne F.Heijdra (2010) yaitu tidak dapat dilaksanakan bagi pasien

yang menyatakan nilai rata-rata yang menggunakan gigi palsu atau ompong,

frekuensi pernapasan menurun secara hal disebabkan karena akan mengganggu

signifikan dengan p˂0,001dan SD: 3,1 tiupan pernapasan pasien pada saat ekspirasi

kali pernapasan/menit, sehingga dapat maksimal

disimpulkan perbaikan kapasitas

inspirasi setelah PLB

mengindikasikan berkurangnya

sedikit hiperinflasi pada pasien PPOK

berat.

KESIMPULAN

Penerapan praktek keperawatan

berbasis bukti pursed lip breathing

pada pasien PPOK didapatkan hasil

yang efektif sehingga dapat

disimpulkan terdapat pengaruh yang

signifikan antara pemberian

intervensi keperawatan latihan napas

pursed lip breathing terhadap arus

puncak ekspirasi (APE), saturasi

oksigen, dan respiratory rate (RR)

dengan p=0,001, α 0,05. Namun

penerapan latihan napas pursed lip

breathing ini mempunyai kelemahan


72
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015

sehingga hasil APE yang (RISKESDAS) 2013.

didapat tidak akurat. LITBANG DEPKES

RI.Jakarta.2013.

SARAN

Intervensi keperawatan Depkes (2008). Pedoman

berbasis bukti yang sudah Pengendalian Penyakit Paru

diterapkan oleh penulis, dapat Obstruktif Kronik Menteri

dilaksanakan oleh perawat Kesehatan Republik Indonesia,

ruangan sehingga dapat Keputusan Menteri Kesehatan

meningkatkan kualitas asuhan Republik Indonesia Nomor

keperawatan yang diberikan. 1022/MENKES/SK/XI/2008.

Namun sebelum diterapkan

sebaiknya dibuat dulu standar Frank J.Visser, Sunil Ramlal, P.N.

prosedur operasional (SPO) Richard Dekhuijzen, Yvonne

yang disahkan oleh direktur F.Heijdra (2010) dengan judul

rumah sakit umum pusat “Pursed Lips Breathing

Persahabatan. Improves Inspiratory Capacity

in Chronic Obstructive

REFERENSI Pulmonary disease: clinical

Badan Penelitian dan

Pengembangan

Kesehatan

Ke

meterian Kesehatan RI.

Laporan Hasil Riset

Kesehatan Dasar
73
investigations”. Karger Jurnal Keperawatan
AG, Basel. Respiration Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
2011;81:372-

378. DOI:10.1159/000319036.

G.A.de.F.Fregonezi, V.R.Resqueti, and R.Guell Rous (2004) dengan judul “Pursed Lip

Breathing: Review Article”. Arch Bronconeumal 2004;40(6):279-82.

Halim Danusantoso,( 2014). Buku saku ilmu penyakit paru, Edisi

2. Jakarta. EGC.

Jadranka Sphahija, Michael de Marchie and Alejandro Grassino, (2005), Effects of

Imposed Pursed Lip Breathing on Respiratory Mechanics and Dyspnea at Rest and

During Exercise in COPD. Chest: Aug 2005; 128,2; Proquest Nursing & Allied

Health Source pg.640.

John E, Hodgkin., Bartolome R, Celli., Gerilynn L. Connors

74
(2009). Jurnal Keperawatan
Pulmonary Rehabilitation. Widya
USA. Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
Elsevier.

Slamet H, dkk,( 2013). Buku Ajar Ilmu Penyakit paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru,

FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.

Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (2014). Angka Kejadian PPOK. Unit Medical

Record.

Smeltzer,S.C., Bare, G.B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8

Volume.1). Alih Bahasa: Waluyo, A., dkk, Jakarta; EGC.

World Health Organization (WHO). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).

WHO. Geneva. 2013.

Jurnal
JURNAL 6
KEPERAWATAN TERAPAN, VOLUME 1, NO. 2, SEPTEMBER 2015: 48-52

PELAKSANAAN PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN PADAPASIEN

GANGGUAN SISTEMPERNAFASAN

Arief Bachtiar, Nurul Hidayah, Amana Ajeng

Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No 77 C

Malang email: nh_150673@yahoo.com

Abstract: Oxygen is the most vital basic need in human life. Lack of oxygen can

impact death cell . The patient´s respiratory system disorder, oxygen can not be ful

filled as normal but instead require oxygen theraphy to help meet the cell metabolism.
75
Jurnal
The purpose of the study was to observe theKeperawatan Widya Gantari
implementation Vo. 2 No.2theraphy
oxygen /Desember 2015
in

patients with impraired respiratory system in hospitals Bangil Pasuruan. This

research design using descriptive method, the samples are taken all nurses who work

in Lung room at hospitals Bangil Pasuruan. Total of sampling taken is 24 people with

a total sampling technique. Instruments used for data collection observer. Study of 24

people obtained a yield of 14 people capable of doing well in providing oxygen

theraphy or approximately 41,6% shows that the ability of nurses to provide nursing

care needs to be improvedfurther in accordance with SOP. Recommendations from

this study is the evaluation of the need for nurses to pay attention and participation of

SOP.

Keywords: implementation of Theraphy,patient, respiratory disorder.

Abstrak: Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar yang paling vital dalam

kehidupan manusia. Kekurangan oksigen akan berdampak kematian sel. Oleh karena

itu pada pasien gangguan system pernafasan, oksigen tidak bisa terpenuhi secara

normal melaikan memerlukan bantuan terapi oksigen untuk memenuhi metabolism

sel. Tujuan penelitian ini adalah mengobservasi pelaksanaan pemberian terapi

oksigen pada pasien gangguan system pernafasan di RSUD Bangil Pasuruan. Desain

penelitian ini menggunakan metode diskriptif, sampel yang diambil yaitu seluruh

perawat yang bekerja diruang paru dan bangsal RSUD Bangil Pasuruan. Jumlah

sampling yang diambil yaitu 24 orang dengan menggunakan teknik total sampling.

Instrument yang digunakan untuk pengumpulan data adalah observasi. Hasil

penelitian dari 24 orang diperoleh hasil 14 orang perawat berkemampuan “cukup

baik” atau sekitar 58,3%. Serta 10 orang perawat berkemampuan “baik” dalam

melakukan pemberian terapi oksigen atau sekitar 41,6%. Dari hasil penelitian ini

menunjukan bahwa kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

perlu ditingkatkan lagi sesuai dengan SOP. Rekomendasi dari penelitian ini
76
hendaknya perawat perlu melakukan Jurnal Keperawatan
evaluasi, dan Widya Gantari Vo. 2perawat
partisipasi No.2 /Desember 2015
untuk

memperhatikan SOP, khususnya tindakan pemberian terapi oksigen.

Kata kunci: pemberian terapi oksigen, pasien gangguan pernapasan.

PENDAHULUAN Biasanya pada orang yang

Menurut hasil laporan World Health mengalami gangguan pernapasan, perawat

Or- ganization (WHO) pada tahun 2012, memberikan terapi oksigen untuk membantu

Indonesia termasuk negara yang memenuhi kebutuhan oksigenasi. Perawat

dikategorikan sebagai high burden dalam menjalankan perannya berorientasi

countries terhadap TB paru yaitu terhadap pemenuhan kebutuhan dasar


48 pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873
menduduki peringkat kelima sebagai manusia. Salah satu kebutuhan dasar

negara penyumbang penyakit TB setelah tersebut adalah oksigen (Harahap, 2005).

India, China, Afrika selatan, Nigeria. Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar yang

Diperkirakan setiap tahun ada 429.720 kasus paling vital dalam kehidupan manusia. Dalam

baru dan 66.000 kematian akibat TB tubuh, oksigen berperan penting di dalam

(WHO, 2010). Provinsi Jawa Timur proses metabolisme sel. Kekurangan

menempati urutan kedua di Indonesia oksigen akan berdampak yang

dalam jumlah penderita TB (Dinkes Jatim,

2010).

48

77
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen

bermakna bagi tubuh, salah satunya pemberian oksigen dengan sempurna.

kematian. Karenanya, berbagai upaya perlu Pada dasarnya setiap perawat

dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan mempunyai kemampuan yang baik dalam

dasar ini terpenuhi dengan baik. Untuk itu memberikan terapi oksigen karena tindakan

setiap perawat harus paham dengan pemberian terapi oksigen ini merupakan

manifestasi tingkat pemenuhan oksigen bagian dari materi yang sudah diberikan

pada pasien serta mampu mengatasi pada saat dibangku kuliah hanya saja karena

berbagai masalah terkait dengan pemberian terapi oksigen sudah sering

pemenuhan kebutuhan tersebut (Mubarak dilakukan perawat terkadang

dkk., 2008) menganggap gampang dan remeh tindakan

Berdasarkan hasil observasi dilapangan, ini, mereka kurang teliti pada saat

cara pemberian terapi oksigen yang memberikan terapi oksigen sehingga tanpa

dilakukan oleh perawat disana bervariasi. disadari muncul suatu masalah separti

Maksud dari bervariasi yaitu cara perawat lupa tiadak mengecek humidifier

pemberiannya antara masing-masing padahal kelembapan udara yang

perawat, ada yang saat pemberian terapi terhumidifikasi secara adekuat dapat

lupa tidak cuci tangan sebelum melakukan mencegah terjadinya komplikasi

tindakan, ada yang lupa tidak mengisi pernapasan. Kemudian misalnya saja perawat

tabung humidifier dengan air steril dan ada lupa tidak memberi KIE pada pasien untuk

juga yang lupa tidak memberikan KIE tidak mengganti ukuran saturasi oksigen

tentang terapi oksigen dan lupa tidak sendiri, karena apabila hal ini sering terjadi

mengobservasi setelah dilakukan tindakan, maka saturasi oksigen yang tinggi dapat

ada pula yang melakukan tindakan menyebabkan hipoventilasi sedangkan


pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 49
pemberian oksigen yang diberikan secara

continue dengan saturasi yang tinggi dapat METODEBachtiar,


PENELITIAN
Pelaksaan pemberian terapi oksigen

menyebabkan toksisitas oksigen (Asih dkk., Metode penelitian deskriptif dalam

2003) penelitian ini penulis ingin

Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan atau mendeskripsikan

mengetahui gambaran pemberian terapi dan mendapatkan gambaran tentang

oksigen pada pasien gangguan sistem pemberian terapi oksigen pada pasien

pernapasan di RSUD Bangil Pasuruan. gangguan system pernapasan di RSUD

Bangil pasuruan. Populasi dalam penelitian

ini adalah perawat di ruangan paru RSUD

Bangil Pasuruan sebesar 24 orang. Teknik

sampling yang digunakan adalah sampling

jenuh.

Variabel dalam penelitian ini adalah

pelaksanaan pemberian terapi oksigen pada

pasien dengan gangguan system pernapasan

di RSUD Bangil Pasuruan.Variabel dalam

penelitian ini adalah pelaksanaan pemberian

terapi oksigen.

Adapun tindakan pemberian terapi

oksigen adalah kemampuan perawat ruang

paru dan bangsal dalam memberikan terapi

oksigen yang sesuai dengan SOP

dengan parameter pengukuran:

Persiapan alat, pasien, lingkungan.

pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873


Pelaksanaan terapi oksigen. Evaluasi
50

pasien sebelum dan sesudah dilakukan

pemberian terapi Penelitian ini akan


dilaksanakan di ruang paru

dan bangsal RSUD Bangil Pasuruan Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen

dimulai dari bulan Mei-Juli 2013

Dalam penelitian ini instrument

yang digunakan adalah observasi.

Observasi merupakan cara

pengumpulan data dengan melakukan

pengamatan secara langsung kepada

responden penelitian untuk mencari

perubahan atau hal yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini lembar observasi yang

dibuat oleh peneliti tentunya dalam hal ini

sesuai dengan standart operasional

prosedur yang di isi oleh peneliti sendiri

(Aziz, 2003). Saat perawat melakukan

tindakan pemberian terapi oksigen

kemudian peneliti melakukan observasi

secara bersamaan. Diberikan nilai 0

apabila responden melakukan suatu

tindakan yang “tidak ada” dalam tiap point

yang ada di lembar observasi atau

”tidak melakukan” tindakan yang ada di

lembar observasi. Diberikan nilai 1 apabila

responden melakukan tindakan yang ada

dalam tiap point lembar observasi hanya

saja “kurang sempurna”. Diberikan nilai


pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 51

2 apabila responden melakukan


Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen

tindakan yang ada dalam tiap point yang ada Tabel 2. Distribusi frekuensi

dalam lembar observasi dengan “cukup pelaksanaan pemberian terapi

baik” dan diberikan nilai 3 apabila oksigen pada pasien gangguan

responden melakukan tindakan yang ada sistem pernapasan

dalam tiap point lembar Kemampuan n %

observasi dengan “mahir”. Baik 10 41,6

Peneliti mengumpulkan data melalui Cukup 14 58,3

lembar baik

observasi, kemudian mengamati setiap dilakukan maka diberi tanda centang )

tindakan pemberian terapi oksigen yang pada kolom skor sesuai dengan kriteria

dilakukan oleh masing-masing perawat kemampuan. Kemudian dihitung dengan

ruangan. Peneliti mendatangi ruang paru menggunakan rumus

dan meminta ijin kepada kepala ruang, dari Rukmono (2004).

kemudian secara diam-diam Hasil nilai yang diperoleh dari masing-

mengobservasi setiap tindakan pemberian masing responden dikelompokkan ke dalam

terapi oksigen yang dilakukan oleh kriteria standar penelitian kualitatif dan dapat

masing-masing perawat dengan dikatagorikan sesuai dengan yang diperoleh.

menggunakan lembar observasi yang sudah Hasil persentase skor penelitian

dibuat sampai terkumpul sesuai jumlah yang menggunakan penilaian sebagai berikut:

ditentukan. Baik : 90-100%, Cukup : 75-89,9%, Kurang

Data yang terkumpul melalui hasil : <75% (Rukmono, 2004)

observasi kemudian ditabulasikan. Jika

tiap-tiap point HASIL PENELITIAN


pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 52
Karakteristik responden berdasarkan Jumlah 24 100

usia dapat diketahui bahwa hasil análisis Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen

didapatkan rata-rata usia responden 28 tahun Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui

dengan standart deviasi 1,732 tahun. Usia bahwa sebagian besar perawat di Ruang

termuda 22 tahun dan usia tertua 36 tahun. Paru RSUD Bangil Pasuruan berpendidikan

Dari hasil estimasi interval dapat DIII Keperawatan 20 orang (83,3%).

disimpulkan bahwa diyakini rata-rata usia Tabel 2 menunjukkan bahwa

responden berkisar antara 27 sampai dengan pelaksanaan pemberian terapi oksigen di

29 tahun. RSUD Bangil Pasuruan secara umum

Tabel 1. Distribusi frekuensi adalah cukup (58,3%).

berdasarkan tingkat

pendidikan perawat PEMBAHASAN

Pendidikan n % Pelaksanaan pemberian terapi oksigen

pada pasien gangguan sistem pernapasan di

RSUD Bangil Pasuruan. Berdasarkan Tabel

Menunjukkan bahwa pelaksanaan

pemberian terapi oksigen di RSUD

Bangil Pasuruan mayoritas adalah cukup

(58,3%) dan 10 responden yang dapat

melakukan pelaksanaan terapi oksigen

dengan baik ( 41,6%). Ini dapat dibuktikan

bahwa hampir sebagian besar responden

dapat melaksanakan setiap point perintah

dengan nomor 1-15 kecuali nomor 10

pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873


dilakukan dengan baik serta nilai yang
53

dicapai adalah 3 dan jika di total nilai yang

didapat yaitu sebesar 540 serta tidak sedikit


pula responden yang lupa atau cuci tangan, padahal jika diperhatikan

melaksanakan tindakan pemberian terapi tindakan cuci tangan


Bachtiar, sebelum
Pelaksaan melakukan
pemberian terapi oksigen

oksigen dengan nilai di bawah 3 ini terjadi tindakan sangat penting meskipun kata

pada point perintah no 10,16,17,18,19,20 mereka “sepele”. Menurut Depkes (2003) ,

dengan keseluruhan nilai yang didapat yaitu salah satu penyebab dari terjadinya infeksi

sebesar 120. nosokomial adalah karena dekontaminasi

Untuk point perintah nomor 10 yang tangan. Padahal transmisi penyakit melalui

sering tidak dilakukan adalah tindakan tangan dapat

DIII 20 diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari

Keperawatan 83, tangan. Tetapi pada kenyataannya hal ini

S1 3 sulit

Keperawatan 4

16,

Jumlah 24 100 dilakukan dengan benar, karena banyaknya

alasan

pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 54


Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
Seorang perawat dikatakan terampil apabila

seperti waktu mencuci tangan yang telah dapat memberikan pelayanan

lama, kurangnya pengetahuan mengenai keperawatan dengan baik dan benar. Baik

cuci tangan yang benar, kurangnya peralatan dan benarnya pelaksanaan pemberian terapi

cuci tangan. Dari sinilah virus, bakteri oksigen ini tentunya dipengaruhi oleh

dapat tertular melalui kontaminasi tangan. beberapa faktor diantaranya yaitu faktor usia

Point nomor 16,17,18,19,20 yang sering dan pendidikan. Dari hasil penelitian

tidak dilakukan atau dilakukan namun kurang diketahui bahwa pelaksanaan pemberian

maksimal adalah tindakan mengobservasi terapi oksigen di ruang paru dilakukan oleh

setelah melakukan tindakan pemberian terapi perawat rata-rata berusia ±28 tahun.

oksigen. Menurut teori Pooter and Perry Menurut WHO usia ini merupakan kategori

(2005) pemberian oksigen tidak hanya usia dewasa awal. Jika diperhatikan pada

memberikan efek terapi tetapi jika masa usia inilah kemampuan atau kinerja

penggunaannya tidak tepat dapat mengalami masa- masa peningkatan. Akan

menyebabakan efek seperti depresi ventilasi, tetapi, keterampilan seorang perawat bukan

keracunan oksigen. Keadaan yang trerjadi hanya tergantung dari tingginya pendidikan

diatas dapat merusak struktur jaringan yang diterimanya, tapi pengalaman dalam

paru seperti atelektasis dan kerusakan melakukan pelayanan keperawatan juga

surfaktan, akibatnya proses difusi diparu sangat berpengaruh (Zulkifli, 1999).

akan terganggu bila kita tidak sering Menurut peneliti hasil penelitian

mengontrol saturasi oksigen. tersebut sesuai dengan teori di atas bahwa

Menurut teori Utama (1999), penderita gangguan system pernapasan

ketrampilan merupakan kemampuan untuk harus terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan

melakukan sesuatu yang baik dan benar. cara pemberian terapi oksigen. Pemberian
pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 51
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
terapi oksigen adalah suatu kemampuan

untuk memasukkan oksigen tambahan kebutuhan (Depkes RI, 2005) tentunya

dari luar ke paru melalui saluran cara pemberiannya pun harus benar dan

pernafasan dengan menggunakan alat tepat. Hal ini sesuai dengan teori Utama

sesuai (1999), yaitu keterampilan merupakan

kemampuan untuk melakukan sesuatu

yang baik dan benar. Kematangan usia

yang baik dapat memudahkan untuk

mendapat pengetahuan serta dapat dengan

mudah untuk mengembangkan ilmu

atau pengetaguan yang sudah ada. Sama

halnya dengan ini bahwa usia dan pendidikan

saling terkait, usia yang cukup dan tingkat

pendidikan yang baik dapat memudahkan

responden dalam menerima perubahan ilmu

serta dapat melaksanakan pemberian

terapi oksigen dengan baik dan benar.

PENUTUP

Dari hasil penelitian ini didapatkan

bahwa pelaksanaan pemberian terapi oksigen

pada pasien gangguan sistem pernapasan

yang dilakukan oleh perawat diruang paru

RSUD Bangil Pasuruan mayoritas adalah


pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 52
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
cukup dengan persentase sebesar 58,3% .

Dari penelitian ini disarankan perawat

dapat lebih meningkatkan lagi kemampuan

yang sudah cukup baik menjadi lebih baik.

Dalam usaha untuk meningkatkan

kemampuan ini sangat diperlukan upaya

evaluasi dari tindakan apa saja yang sudah

dilaksanakan khususnya dalam

melaksanakn pemberian terapi oksigen serta

partisipasi perawat untuk memperhatikan

SOP yang sudah ditentukan. Jika perlu untuk

meningkatkan kualitas kerja yang baik perlu

diberikan reward kepada perawat yang

melakukan asuhan keperawatan dengan

baik dan memberi teguran pada perawat

yang sering melakukan asuhan

keperawatan dengan kurang baik.

Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya

memanfaatkan dan mengkaji referensi

hasil penelitian yang telah ada dan lebih

memperhatikan kereabilitasan alat ukur yang

akan digunakan serta labih teliti dalam

melakukan pengumpulan data, agar hasil

lebih akurat.
pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 53
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen

pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 54


ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

DAFTAR PUSTAKA

Asih, Yasmin, Niluh, Crhistantie, Christantie Effendy. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan

Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC.

Azis, Alimul. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.

Azis, Alimul. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Depkes. 2003. Pedoman PelaksanaanKewaspadaan Uni- versal di Pelayanan Kesehatan. Jakarta.

Depkes RI. 2005. Standart Pelayanan Keperawatan ICU. Jakarta

1
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Harahap. 2005. Oksigenasi Dalam Suatu Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperwatan Rufaidah Sumatera

Utara Volume 1

Mubarak, Wahit Iqbal. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori Dan Aplikasi Dalam Praktik.

Jakarta : EGC

Notoatmodjo. S. 2005. Metode Penelitian Kesehatan.

Jakarta : Rineka Cipta.

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Yasmin Asih, Penerjemah). Jakarta: EGC.

Rukmon o, Yoyo.2004. Penuntun Praktek Keterampilan Medik Pelayanan Keluarga Berencana.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiadi. 2008. Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jurnal 7

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DI DALAM RUMAH DENGAN

KEJADIAN ISPA PADA ANAK UMUR 1-5 TAHUN

DI PUSKESMAS SARIO KOTA MANADO

Salma Milo

A. Yudi Ismanto

Vandri D. Kallo

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran

Universitas Sam Ratulangi

2
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Email: salmamilo@ymail.com

ABSTRACT: ARTI (Acute Respiratory Tract Infections) will occur when the immune system

decreases. Some efforts can be made to reduce the risk of respiratory disease, such as by

eliminating smoking in the house. ARTI in children at Sario Primary Health Care Manado was

ranked first among the 10 most prominent disease. The purpose of this study to identified smoking

in the house and ARTI and to analyze the relationship between smoking and the incidence of ARTI.

Design of the study is cross-sectional design and the data collected from respondents using a

questionnaire sheets.The sample in this study amounted to 51 respondents who obtained using

consecutive sampling technique. The resultsof this research using analysis statistic Chi-Square test

have gained value p= 0,002. Which is means that the value ofp<α (0,05). The conclusion of this

study there is a relationship between smoking and the incidence of acute respiratory tract infection

in children. Recommendations for further research are expected to investigate on other factors

such as ventilation House, Density Residential, socioeconomic status may cause respiratory

disease.

Keywords: ARTI, Smoking Habit

Abstrak:ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akan terjadi apabila kekebalan tubuh menurun.

Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menurunkan resiko penyakit ISPA, antara lain dengan

menghilangkan kebiasaan merokok di dalam rumah. Kejadian ISPA pada anak di Puskesmas Sario

Kota Manado menduduki peringkat pertama diantara 10 penyakit yang paling menonjol. Tujuan

penelitian ini untuk mengidentifikasi kebiasaan merokok di dalam rumah dan kejadian ISPA serta

untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA.Desain penelitian

yang digunakan adalah desain Cross Sectional dan data dikumpulkan dari responden menggunakan

lembar kuisioner.Sampel pada penelitian ini berjumlah 51 responden yang didapat menggunakan

teknik consecutive sampling.Hasil penelitianuji statistik menggunakan uji chi-square pada tingkat

3
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

kemaknaan 95% (α ≤ 0,05),maka didapatkan nilai p= 0,002. Ini berarti bahwa nilai p< α

(0,05).Kesimpulan dalam penelitian ini ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

ISPA pada anak. Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai

faktor-faktor lain seperti Ventilasi Rumah, Kepadatan Hunian, Status sosioekonomi yang dapat

menyebabkan penyakit ISPA.

Kata Kunci : ISPA, Kebiasaan Merokok

PENDAHULUAN kelompok yang memiliki sistem kekebalan

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) tubuh yang masih rentan terhadap berbagai

adalah infeksi akut yang melibatkan organ penyakit (Probowo, 2012). Sampai saat ini

saluran pernapasan bagian atas dan saluran ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia.

pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh Menurut World Health Organization (WHO)

virus, jamur dan bakteri.ISPA akan menyerang tahun 2011 di New York jumlah penderita ISPA

host apabila ketahanan tubuh (immunologi) adalah 48.325 anak dan memperkirakan di

menurun pada bayi di bawah lima tahun dan negara berkembang berkisar 30-70 kali lebih

bayi merupakan salah satu tinggi dari negara maju dan diduga 20%

4
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

dari bayi yang lahir di negara berkembang gagal yangberbahaya bagikesehatantubuhkarena

mencapai usia 5 tahun dan 25-30% dari menurutbadankesehatandunia (WHO) rokok

kematian anak disebabkan oleh ISPA. Hal ini merupakan zat adiktif yang memiliki

dapat dilihatdari tingginya angka kesakitan dan kandungankurang lebih 4000elemen, dimana

kematianakibat ISPA. Kematian akibat penyakit 200 elemen di dalamnya berbahaya bagi kesehatan

ISPA pada balita mencapai 12,4 juta pada balita tubuhmenambahkan

golongan umur 0-5 tahun setiap tahun diseluruh bahwaracunyang utama dan berbahaya pada rokok

dunia, dimana dua pertiganya adalah bayi, yaitu antara lain tar, nikotin, dan

golongan umur 0-1 tahun dan sebanyak 80,3% karbonmonoksida.Racunitulahyang kemudian akan

kematian ini terjadi di negara berkembang membahayakan kesehatan si perokok (Jaya, 2009).

(Kemenkes, 2010). Dampak rokok tidak hanya mengancam siperokok

ISPA dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu tetapi juga orang disekitarnya atau perokok pasif

faktor individu anak, faktor perilaku dan (Detik Health, 2011). Analisis WHO, menunjukkan

faktorlingkungan. Faktor individu anak bahwa efek buruk asap rokok lebihbesar bagi perokok

meliputi: umuranak, berat badan lahir, status pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika

gizi, vitamin A dan status imunisasi. perokokmembakar sebatang rokok dan menghisapnya,

Faktorperilaku meliputi perilaku pencegahan asap yang dihisap olehperokok disebut asap utama,

dan penanggulangan ISPA pada bayiatau peran dan asap yang keluar dariujung rokok (bagian yang

aktif keluarga/masyarakat dalam menangani terbakar) dinamakan sidestream smoke atauasap

penyakit ISPA. Faktor lingkunganmeliputi: samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih

pencemaran udara dalam rumah (asap rokok banyak hasilpembakaran tembakau dibanding asap

dan asap hasilpembakaran bahan bakar untuk utama. Asap ini mengandungkarbon monoksida 5 kali

memasak dengan konsentrasi yang lebih

tinggi),ventilasi rumah dan kepadatan

hunian(Prabu, 2009).

Merokok merupakan kegiatan

5
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, serta kematian pada balita tahun 2010 mencapai

amonia46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, 18,2% dan tahun 2011 mencapai 38,8%. Selain

nitrosamine sebagai penyebab itu ISPA juga sering berada pada daftar 10

kankerkadarnya mencapai penyakit terbanyak di rumah sakit. Berdasarkan

50 kali lebih besar asap sampingan data dari P2 program ISPA tahun 2009 cakupan

dibandingdengan kadar asap utama penderita ISPA melampaui target 13,4%, hasil

(Umami, 2010). yang di peroleh 18.749 kasus sementara target

Kebiasaan merokok orang tua di yang ditetapkan sebanyak 16.534 kasus. Survey

dalam rumah menjadikan balita sebagai yang dilakukan pada tahun 2010 menempatkan

perokok pasif yang selalu terpapar asap ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar

rokok. Rumah yang orang tuanya di Indonesia dengan persentase 22,30% dari

mempunyai kebiasaan merokok seluruh kematian balita (Kemenkes RI, 2012).

berpeluang meningkatkan kejadian ISPA Di Provinsi Sulawesi Utara, prevalensi

sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan penyakit ISPAdalam satu bulan terakhir sebesar

rumah balita yang orang tuanya tidak 1%, dibawah angka nasional (1,88%),

merokok di dalam rumah. Sementara itu denganrentang 0,5-2,7%. Di Kota Bitung dan

jumlah perokok dalam suatu KotaTomohon prevalensi ISPA tertinggi pada

keluargacukup tinggi (Rahmayatul, anak(>35%), dan Prevalensi terendah masing-

2013). masing 0,5%. (Dinkes Sulut, 2009).

Dengan jumlah perokok yang cukup Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di

tinggi dapat meningkatkan angka Puskesmas Sario jumlah kejadian ISPA pada

kejadian ISPA. Di Indonesia khususnya anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Sario pada

di Kalimantan Barat kasus Infeksi tahun 2014 bulan Juli terdaat 41 kasus pada

saluran Pernafasan Akut selalu bulan Agustus terdapat 39 kasus, bulan

menempati urutan pertama kematian September terdapat 48 kasus dan pada bulang

pada bayi tahun 2009 mencapai 32,1%, Oktober terdapat 51 kasus.

6
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Berdasarkan hasil wawancara yang

dilakukan di Puskesmas Sario terhadap

20 anggota keluarga yang mempunyai

anak

7
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

berumur 1-5 tahun menderita ISPA dan digunakandalampenelitianinimenggunakan

diperoleh informasi bahwa 13 anggota keluarga kuisioner.UntukKuisioner kebiasaan

ada yang orang tuanya perokok dan 7 anggota merokokdi gunakan untuk mengukur variabel

keluarga ada yang tinggal dengan anggota kebiasaan merokok orang tua yang perokok ringan,

keluarga yeng lain yang merokok. perokok sedang dan perokok berat. Kuisioner yang

Dari penelitian yang ada serta data medik dibuat sendiri akan dilakukan uji validitas dan

yang terdapat di Puskesmas Sario saya tertarik reliabilitas yang terdiri dari 3 pertanyaan dengan

untu melakukan penelitan tentang “Hubungan pilihan jawaban a, b, c dan

Kebiasaan Merokok Di Dalam Rumah Dengan d. Pertanyaan 1 dengan pilihan jawaban a, b dan c,

Kejadian ISPA Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di pertanyaan 2 dengan pilihan jawaban a, b, c, dan d,

Puskesmas Sario Kota Manado”. pertanyaan 3 dengan pilihan jawaban a, b, c, dan d.

Nilai yang diberikan untuk jawaban a adalah 1,

METODE PENELITIAN jawaban b adalah 2, jawaban c adalah 3, dan jawabann

Penelitian ini merupakan penelitian survei d adalah 4. Penetapan kategori kebiasaan merokok

analitikdenganrancanganCross Sectinal Study berdasarkan pertanyaan nomor 1 dengan pilihan

(StudiPotongLintang), jawaban a, b dan c. Apabila jawaban a dikategorikan

Penelitianinidilaksanakan di perokok ringan, jawaban b dikategorikan perokok

PuskesmasPuskesmas Sario Kota sedang, jawaban c dikategorikan perokok

ManadoselamapadabulanNovember berat.Kuisioner ini di gunakan untuk mengukur

2014sampaidenganbulanMaret 2015.Populasi variabelkejadian ISPA pada anak, kuisioner yang

pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang dibuat sendiri dilakukan uji validitas dan reliabilitas

berobat di Puskesmas Sario yang terdiagnosis yang terdiri dari 7 pertanyaan dengan pilihan jawaban

ISPA yakni sebanyak 51 anak dengan umur 1- ya dan tidak. Apabila jawaban ya diberi nilai 2 dan

5 tahun. Sampel yang digunakan untuk jawaban tidak diberi nilai 1.

penelitian ini adalah consecutive sampling.

Instrumenpengumpulan data yang

8
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Penetapan kategori berdasarkan nilai Sumber: Data Primer, 2014-2015

median yaitu:

a. Skor terendah x jumlah pertanyaan 1x7=7 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan

b. Skor tertinggi x jumlah pertanyaan Pendidikan Terakhir Responden Orang

2x7=14 Nilai median yang diperoleh adalahTua


7+14:2=10,5.
Di Puskesmas Sario Kota Manado

Nilai median selanjutnya digunakan Pendidikan N %

sebagai cut of point apabila total Terakhir

jawaban responden kurang dari nilai SD 3 5,9%

median maka dikategorikan anak SMP 12 23,5%

mengalami ISPA ringan, dan lebih SMA 31 60,8%

dari atau sama dengan nilai median S1 5 9,8%

maka dikategorikan anak mengalami Total 51 100,0

ISPA sedang. Sumber: Data Primer, 2014-2015

HASIL dan PEMBAHASAN Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan

A. Hasil Penelitian Pekerjaan Responden Orang Tua Di

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Puskesmas Sario Kota Manado

Berdasarkan Umur Responden Pekerjaan N %

Orang Tua Di Puskesmas Sario

Kota Manado.

Umur N % IRT 40 78,4%

Swasta 10 19,6%

PNS 1 2,0%

Umur 17-34 tahun 40 78,4% Total 51 100,0

Umur 34-52 tahun 11 21,6% Sumber: Data Primer, 2014-2015

Total 51 100,0

9
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Tabel 8. Analisis Hubungan Antara Kebiasaan

Berdasarkan Jenis Kelamin Responden Merokok Di Dalam Rumah Dengan Kejadian

Anak Di Puskesmas Sario Kota Manado ISPA Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di

Jenis Kelamin n % Puskesmas SarioKota Manado.

Kejadian ISPA

Laki-laki 29 56,9% Kebiasaa ISPA ISPA Total P


Perempuan 22 43,1% n sedan ringa

Merokok g n

Total 51 100,0

n % n % n%

Sumber: Data Primer, 2014-2015 Berdasarkan Kebiasaan Merokok Di Dalam Rumah

di Puskesmas Sario Kota Manado

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Kebiasaan N %

Berdasarkan Umur Responden Anak di Merokok

Puskesmas Sario Kota Manado Perokok berat 22 43,1%

Umur N % Perokok ringan 15 29,4%

Perokok Sedang 14 27,5%

Total 51 100,0

Toddler 37 72,5% Sumber: Data Primer, 2014-2015

Pra sekolah 14 27,5%

Total 51 100,0 Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden

Sumber: Data Primer, 2015 Berdasarkan Kejadian ISPA Pada Anak di

Puskesmas Sario Kota Manado

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Kejadian ISPA N %

1
0
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

ISPA ringan 34 66,7% Perokok berat 12 54,5 10 45,5 22 100,0

ISPA sedang 17 33,3% Perokok sedang 5 35,7 9 64,3 14 100,0 0,002

Total 51 100,0 Perokokringan 0 0 15 100,0 15 100,0

Sumber: Data Primer, 2014-2015 Total 17 33,3 34 66,7 51 100,0

Sumber: Data Primer, 2014-2015

B. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas

Sariodengan jumlah sampel sebanyak 51

respondenyang diambil dengan

teknikconsecutive sampling.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan

responden dengan

kebiasaanmerokokmenunjukkansebagian besar

adalah responden dengan umur 17-34 tahun

yaitu 40 responden (78,4%).

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan

responden dengan

kebiasaanmerokokmenunjukkansebagian besar

adalah responden dengan pendidikan SMA

yaitu 31 responden (60,8%),Pendidikan ini

nantinya akan dapat mempengaruhi tingkat

pengetahuan seseorang dalam bersikap hidup

yang bersih dan sehata serta sikap dalam

1
1
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

memanfaatkan pelayanan kesehatan

yang ada disekitarnya. Tingkat

pendidikan yang tinggi akan

memudahkan seseorang untuk

menyerap informasi dan

mengimplementasikan dalam

perilaku dan gaya hidup sehari-hari,

khususnya yang berhubungan

dengan kesehatan (Notoadmodjo,

2007).

Berdasarkan hasil penelitian,

didapatkan responden dengan

kebiasaanmerokokmenunjukkanseba

gian besar adalah responden dengan

pekerjaan IRT yaitu 40 responden

(78,4%).Seseorang yang bekerja

pengetahuannya akan lebih luas

dibandingkan dengan seseorang

yang tidak bekerja karena dengan

bekerja seseorang akan mempunyai

banyak informasi dan pengalaman.

Menurut Arikunto (2013), yang

menyatakan bahwa kecocokan

pekerjaan seseorang akan

menimbulkan kepuasan dan

keingintahuan

1
2
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

yang lebih dibandingkan dengan wanita yang rentan mengalami ISPA dibandingkan usia pra

tidak bekerja. sekolah.Menurut Domili (2013), anak usia 1-3 lebih

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan banyak mengalami ISPA dikarenakan sistem imunitas

responden dengan Penyakit ISPA sebagian anak yang masih lemah dan organ pernapasan anak

besar adalah responden dengan jenis kelamin bayi belum mencapai kematangan yang sempurna,

laki-laki yaitu sebanyak 29 responden (56,9%). sehingga apabila terpajan kuman akan lebih beresiko

Menurut Widarini (2010), laki-laki dan terkena penyakit.

perempuan mempunyai resiko yang sama untuk Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan responden

mengalami ISPA, namun menurut hasil yang dengan

didapatkan dalam penelitian ini, responden laki- kebiasaanmerokokmenunjukkansebagian besar

laki yang lebih banyak sehingga dapat didapatkan responden dengan perokok berat yaitu 22

disimpulkan anak laki-laki lebih beresiko responden (43,1%).Hal ini menunjukan dengan

terkena ISPA dibandingkan dengan anak semakin berat kebiasaan merokok di dalam rumah

perempuan. Anak laki-laki yang lebih sering maka semakin besar juga potensi anak menderita

bermain dan berinteraksi dengan ligkungan, ISPA. Keterpaparan asap rokok pada anak sangat

apalagi dengan lingkungan yang kotor sangant tinggi pada saat berada dalam rumah. Disebabkan

rentan menyebabkan terjadinya penyakit. karena anggota keluarga biasanya merokok dalam

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan rumah pada saat bersantai bersama anggota, misalnya

responden dengan Penyakit ISPA sebagian sambil nonton TV atau bercengkerama dengan

besar adalah responden denganusia toddler anggota keluarga lainnya, sehingga balita dalam rumah

yaitu 37 responden (72,5%), hasil penelitian ini tangga tersebut memiliki risiko tinggi untuk terpapar

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh dengan asap rokok.

Mahrama dkk (2012) hasil penelitian

menunjukan sebagian besar pada kelompok

umur 24-36 bulan yaitu (50%) responde. Hal ini

dapat disimpulkan bahwa usia toddler lebih

1
3
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Berdasarkan hasil penelitian, Basirun dan Safrudin (2010), berdasarkan hasil

didapatkan responden dengan Penyakit penelitian menunjukan bahwa ada hubungan

ISPA sebagian besar didapati responden antara perilaku merokok orang tua dan anggota

dengan ISPA ringan yaitu 34 responden keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan

(66,7%). kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja

Berdasarkan hasil uji statistik Puskesmas Sempor II. Hal ini menunjukkan

didapatkan nilai p value 0,002 dengan bahwa semakin kurang atau buruk perilaku

demikian p value merokok responden maka akan semakin tinggi

<0,05 dapat disimpulkan bahwa Ho angka kejadian ISPA pada balita dan semakin

ditolak dan Ha diterima. Dengan baik perilaku merokok responden maka

demikian dapat dikatakan bahwa ada kejadian ISPA akan semakin kecil.

hubungan antara kebiasaan merokok di ISPA dapat disebabkan oleh karena adanya

dalam rumah dengan kejadian ISPA pada paparan dari virus maupun bakteri misalnya

anak. bakteri dari genus streptococcus, haemophylus,

Hasil penelitian ini sejalan dengan staphylococcus, dan

penelitian yang dilakukan oleh pneumococcu, dan jenis virus influenza,

Trisnawati dan Juwarni (2012), yang parainfluena, dan rhinovirus. Selain dari virus,

menyatakan ada hubungan antara jamur dan bakteri, ISPA juga dapat disebabkan

perilaku merokok orang tua terhadap karena sering menghirup asap rokok, asap

kejadian ISPA pada anak. Hal ini kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak

menunjukan dengan semakin berat biasanya minyak tanah dan, cairan amonium

perilaku merokok orangtua maka pada saat lahir (Utami, 2013). Asap rokok dari

semakin besar potensi anak balitanya orang tua atau penghuni rumah yang satu atap

menderita ISPA. dengan balita merupakan bahan pencemaran

Hasil penelitian ini juga sama dengan dalam ruang tempat tinggal yang serius serta

penelitian yang dilakukan oleh Winarni, akan menambah resiko kesakitan dari bahan

1
4
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

toksik pada anak-anak. Paparan yang

terus- menerus akan menimbulkan

gangguan pernafasan terutama

memperberat timbulnya infeksi saluran

pernafasan akut dan gangguan

1
5
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak orang tua perokok berat ada 12 dari 22 (54,5%) anak

rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar yang menderita ISPA sedang, pada orang tua perokok

memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, sedang ada 5 dari 14 (35,7%) anak yang menderita

khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu ISPA sedang, sedangkan pada orang tua perokok

bayi (Trisnawati dan Juwarni, 2012). ringan tidak ada yang menderita ISPA

Selain kebiasaan merokok di dalam rumah sedang.Walaupun ada yang perokok berat tetapi

terdapat juga beberapa faktor yang dapat anaknya beresiko mengalami ISPA ringan itu karena

menyebabkan ISPA, antara lain, yaitu faktor terdapat juga beberapa faktor yang dapat

lingkunganmeliputi: pencemaran udara dalam mempengaruhi kejadian ISPA yaitu kondisi rumah,

rumah (asap rokok dan asap hasilpembakaran ventilasi rumah, dan kepadatan hunian

bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi

yang tinggi), kondisi rumah, ventilasi rumah SIMPULAN

dan kepadatan hunian(Prabu, 2009). Penelitian Karakteristik responden di Puskesmas Sario Kota

yang dilakukan oleh Trisnawati dan Manado (umur responden orang tua sebagian besar

Juwarni(2012) menunjukkan terdapat hubugan dengan umur 17-34 tahun, pendidikan terakhir

yang bermakna antara kondisi rumah dengan responden orang tua sebagian besar dengan pendidikan

ISPA pada anak. SMA, pekerjaan responden orang tua sebagian besar

Faktor-faktor tersebut juga erat hubungannya dengan pekerjaan IRT, jenis kelamin anak sebagian

dengan peningkatan daya tahan tubuh sehingga besar dengan jenis kelamin laki-laki, umur responden

dapat menyebabkan terjadinya ISPA, maka ada anak sebgian besar adalah dengan usia

yang perokok berat tetapi terkena ISPA ringan toddler).Kebiasaanmerokok di dalam rumah di

dan adapun yang perokok berat tetapi terkena Puskesmas Sario Kota

ISPA sedang. Oleh karena itu selain kebiasaan

merokok perlu diperhatikan juga kondisi rumah,

ventilasi rumah, dan kepadatan hunian.

Berdasarkan hasil penelitian,didapatkan pada

1
6
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Manado menunjukan sebagian besar April 2014 pukul 17.50 WITA dari

adalah kebiasaan perokok berat.Kejadian http://eprints.ung.ac.id/4596/.

ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Jaya, M. (2009). Pembunuh Berbahaya Itu

Puskesmas Sario Kota Manado sebagian Bernama Rokok. Yogyakarta: Riz’ma.

besar adalah kejadian ISPA ringan.Ada Kementerian Kesehatan RI. (2012). profil data

hubungan antara kebiasaan merokok di kesehatan indonesia. Depkes RI,

dalam rumah dengan kejadian ISPA pada Jakarta.

anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Sario Notoadmodjo, S. (2007). Pendidikan dan

Kota Manado. perilaku kesehatan. Jakarta: rineka

cipta.

DAFTAR PUSTAKA Notoadmodjo, S. (2010). Metedologi

Arikunto. (2013). dasar-dasar evaluasi Penelitian Kesehatan. Jakarta: rineka

pendidikan, edisi 2. Jakarta:bumi cipta.

Detik health. (2012). Bahaya asap Nurrijal, (2009). Infeksi Saluran Pernafasan

rokok bagiorang lain. Diakses Akut. http://www.springerlink.com (23

tanggal 12-8- 2012. Dari Agustus).

http://www.detikhealth.com/kesehat Prabu, (2009). Infeksi Saluran Pernapasan

an/ 522. Akut. Artikel. Terdapat pada

Dinkes Sulut. (2009). Profil KesehatanProvinsi


http://prabu.wordpress.com/2009/01/04
Sulawesi Utara.http://www.dep

Domili, M.F. (2013). Faktor-faktor /infeksi-saluran-pernafasan-akut is.

Yang Berhubungan Dengan Diakses tanggal 11 november 2011.

Kejadian Pneumonia Pada

Balita Di Wilayah Kerja

Puskesmas Global Mongolato.

Universitas Negeri Gorontalo.

Gorontalo. Diakses tanggal 1

1
7
ejournal Keperawatan
Probowo, (e-Kp) Volume
S. 2012. Penyakit 3 Nomor
yang Paling 2, Mei2015
Umum pada Anak. Majalah Kesehatan.

(Online)http://majalahkesehatan.com/p enyakit-yang-paling-umum-pada-anak- bag-1/ Diakses

11 Oktober 2012.

Rahmadini. (2009). Analisa kadar nikotin pada tembakau rokok lintingan dan karakteristik

masyarakat penggunanya di Jorong Limo Kampung Nagari Sunagi Puar Kecamatan Sungai

Puar Sumatera Barat. (skripsi). Medan: Universitas Sumatera Utara; 2010.

Rahmawati, A. & Erni, M. (2007). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat KecemasanAkibat

Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Di BangsalL Rsup Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten.

http://www.skripsistikes.wordpress.co m.

Rahmayatul, F. (2013). Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada Balita. Jakarta.

Trisnawati, Y. & Juwarni (2012). Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan kejadian Ispa

Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga. Akademi

Kebidanan YLPP Purwokerto

Umami, R.M. (2010). Perancangan dan pembuatan alat pengendali asap rokok berbasis

mikrokontroler.

Utami, S. (2013). Studi Deskriptif Pemetaan Faktor Resiko ISPA Pada Balita Usia 0-5 Tahun Yang

Tinggal Di Rumah Hunian Akibat Bencana Lahar Dingin Merapi Di Kecamatan Salam

Kabupaten Magelang. Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Diakses tanggal

22 Maret 2014 dari http://lib.unnes.ac.id/18897/1/6450408 121.pdf.

Winarni, Basirun A.U. & Safrudin A.N.S. (2010).Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua

DanAnggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah DenganKejadian Ispa Pada Balita

Di Wilayah Kerja

53
ejournalPuskesmasSempor
Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Ii Kabupaten Kebumen. Jurusan Keperawatan Stikes

Muhammadiyah Gombong.

Widarini, N.P. & Sumasari, N.L. (2010). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan

Kejadian ISPA Pada Bayi. PS. IKM Universitas Udayana. Bali. Diakses tanggal 23

Maret 2014 pukul

15.15 WITA dari Http://Poltekkes- Denpasar.Ac.Id/Files/Jig/V1n1/Widari ni.Pdf

Jurnal 8

Jurnal Keperawatan Indonesia, 2019, 22 (1), 53–64 © JKI

2019

DOI: 10.7454/jki.v22i1.691 pISSN 1410-4490; eISSN

2354-9203

Received July 2018; Accepted February 2019

LATIHAN PERNAPASAN DIAFRAGMA MENINGKATKAN ARUS

PUNCAK EKSPIRASI (APE) DAN

MENURUNKAN FREKUENSI KEKAMBUHAN PASIEN ASMA

Dian Kartikasari1, Ikhlas Muhammad Jenie2, Yanuar

Primanda3

54
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

1. School of Health Sciences of Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan, Central Java 51172,

Indonesia

2. Faculty of Medicine and Health Sciences Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta

55183, Indonesia

3. Nursing Master Program Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 55183,

Indonesia

*E-mail: dian.kartikasari1989@gmail.com

Abstrak

Salah satu penatalaksanaan asma yaitu latihan pernapasan diafragma yang dapat meningkatkan

fungsi paru pasien asma. Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh latihan pernapasan diafragma

terhadap peningkatan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan penurunan frekuensi kekambuhan pasien

asma. Penelitian true experiment pretest-posttest with control group melibatkan 28 subjek penelitian

secara random. Subjek dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol melalui

randomisasi sejumlah 14 orang untuk masing-masing kelompok. Pengukuran APE menggunakan

peak flow meter dan frekuensi kekambuhan dicatat dengan lembar catatan observasi. Hasil

penelitian terdapat perbedaan yang signifikan rerata selisih APE kelompok intervensi (mean

126,43±22,05 L/menit) dan kelompok kontrol (mean 52,14±56,45 L/menit) dengan p 0,001, serta

terdapat perbedaan yang signifikan rerata selisih frekuensi kekambuhan kelompok intervensi (mean

1,29±0,61) dan kelompok kontrol (mean 0,79±0,57) dengan nilai p 0,038. Latihan pernapasan

diafragma menjadi pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien asma.

Kata kunci: arus puncak ekspirasi, asma, frekuensi kekambuhan, latihan pernapasan diafragma
55
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Abstract

Effect of Diaphragmatic Breathing Exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)

Enhancement and The Mild- Moderate Asthma Patients’ Relapse Frequency Reduction. One of

the management of asthma is diaphragmatic breathing exercises that could improve lung function

of asthma patients. The objective of the study was to examine the effect of diaphragmatic breathing

exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) and decreased frequency of mild- moderate

asthma relapse on the patients. True experiment method pretest-posttest with control group was

applied in this study with involved 28 random research subject. Subjects were divided into

intervention groups and control groups through randomization of 14 people for each group. PEFR

measurements using peak flow meter and relapse frequency were recorded with an observation note

sheet. There was a significant difference of difference PEFR mean between intervention groups

(mean 126.43±22.05) and control group (mean 52.14±56.45) with p 0.001. There was a significant

difference of difference mean frequency between intervention group (mean 1.29±0.61) and control

group (mean 0.79±0.57) with p 0.038. Diaphragmatic breathing exercise is a consideration in the

management of asthma patients.

Keywords: asthma, diaphragmatic breathing exercises, frequency of recurrence, peak expiratory flow

rate

Pendahuluan Irawaty, dan Hastono, 2011; Global Initiative

Asma adalah penyakit inflamasi yang ditandai for Asthma (GINA), 2016). WHO pada tahun

dengan kesulitan bernapas, batuk, wheezing,

dan sesak di dada yang bervariasi dari waktu

ke waktu (Lemon-Burke, 2000 dalam Sahat,

56
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

2002 memaparkan jumlah pasien asma di

seluruh dunia setidaknya tiga ratus juta orang

dan jumlah pasien asma diperkirakan

mencapai empat ratus juta pada tahun 2025

(Kemenkes 2014). Berdasarkan Pusat Data

dan Informasi Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia pada 2007, Yogyakarta

masuk dalam urutan ke 18 dari 18 provinsi

yang mempunyai prevalensi

57
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan

Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

penyakit asma melebihi angka nasional. Pada Forced Vital Capacity (FVC), serta rasio FEV₁

2013, Yogyakarta masuk dalam urutan ke 3 dari dan FVC (Rhoades, 2011 dalam Santoso,

18 provinsi yang mempunyai prevalensi pe- Harmayetty, & Bakar 2014).

nyakit asma melebihi angka nasional (Kemenkes,

2014). Dampak dari serangan asma menyebabkan pen-

derita tidak masuk sekolah bahkan kerja, akti-

Penyakit asma yang sering kambuh dapat ter- vitas fisik menjadi terbatas, tidak bisa tidur, se-

jadi dari ringan sampai berat. Pada pasien asma, hingga dirawat di rumah sakit. Pada beberapa

proses inspirasi terjadi ketika adanya kontraksi kasus, asma dapat mengakibatkan kematian

yang minimal dari otot pernapasan yang meng- (Agustiningsih, Kafi, & Djunaidi, 2007).

akibatkan diafragma terdorong ke atas sehingga

membutuhkan energi yang tinggi untuk meng- Tindakan non farmakologis yang dapat dilaku-

angkat rongga dada dan pengembangan paru kan pada pasien asma yaitu dengan berhenti

menjadi minimal. Hal tersebut menyebabkan merokok, diet sehat, menghindari alergen, me-

oksigen (O₂) yang masuk ke paru-paru minimal. ngurangi aktifitas berat, menurunkan berat badan,

Pada proses ekspirasi, terjadi kontraksi otot menghindari polusi, vaksinasi, mengurangi stres,

pernapasan yang minimal, sehingga diafragma menghindari makanan dan bahan kimia yang

terdorong ke bawah dan karbondioksida (CO₂) menyebabkan alergi, serta menjaga kebugaran

yang keluar dari paru-paru sedikit, akibatnya seperti physical activity dan breathing exercise

Arus Puncak Ekspirasi (APE) menurun. Selain (GINA, 2016).

itu, penyempitan bronkus menyebabkan fungsi

paru pada penderita asma terjadi penurunan Latihan pernapasan diafragma merupakan te-

Force Expired Volume in one second (FEV₁), rapi latihan pernapasan utama untuk pasien as-

58
ejournal
ma. Keperawatan
Latihan (e-Kp)
pernapasan Volume dapat
diafragma 3 Nomor 2, Mei2015
meng- pas menjadi berkurang dan ventilasi mening-

akibatkan CO₂ keluar dari paru-paru, kerja na- kat. Peningkatan ventilasi menyebabkan pe-

ningkatan perfusi sehingga tekanan intraalveoli

meningkat dan pertukaran gas efektif. Hal ini

mengakibatkan derajat keasaman (pH) menu-

run sehingga CO₂ dalam arteri menurun dan

APE meningkat (Muttaqin, 2008). Selain dapat

meningkatkan fungsi respirasi, latihan perna-

pasan dapat memelihara keseimbangan kadar

Imunoglobulin E (IgE) pada bronkus serta me-

nurunkan respon yang berlebihan dari jalan

napas (Widjanegara, Tirtayasa, & Pangkahila,

2015). Penatalaksanaan keperawatan pada pa-

sien COPD bertujuan untuk meningkatkan ber-

sihan jalan napas, meningkatkan koping serta

menangani komplikasi (Suryantoro, Isworo, &

Upoyo, 2017).

Penelitian yang dilakukan Fernandes, Cukier,

dan Feltrim (2011) menyatakan bahwa latihan

pernapasan diafragma selama dua minggu da-

pat meningkatkan pola pernapasan dan ventilasi

paru pada pasien COPD. Menurut Aini, Sitorus,

dan Budiharto (2008), bahwa latihan pernapas-

an diafragma mampu meningkatkan ventilasi

alveolar dan membantu mengeluarkan CO2

pasien PPOK. Widjanegara, et al. (2015) me-

59
ejournal Keperawatan
nambahkan (e-Kp) melakukan
bahwa dengan Volume 3 Nomor 2, Mei2015
latihan

pernapasan diafragma sebanyak tiga kali

dalam seminggu, selain dapat meningkatkan

saturasi oksigen, dapat menurunkan frekuensi

kekam- buhan pada pasien asma.

Petugas kesehatan Rumah Sakit Paru Respira

Yogyakarta mengatakan jumlah Ners yang

ada di sana minimal dan pemeriksaan APE

dilaku- kan ketika kondisi pasien asma dalam

keadaan kambuh. Selain itu, petugas

kesehatan di sana mengatakan pernah ada

klub asma, tetapi se- telah lokasi rumah sakit

pindah klub asma ter- sebut sudah tidak aktif.

Pada saat ini penata- laksanaan pasien asma

di rumah sakit tersebut masih secara

farmakologis berupa pemberian obat-obatan

seperti bronkhodilator dan obat as- ma

lainnya sesuai dengan advice dokter. Terapi

non farmakologis seperti latihan pernapasan

diafragma belum pernah diaplikasikan pada

pasien asma.

60
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi

Kekambuhan Pasien Asma

JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Pangestuti, Murtaqib, dan Widayati (2015) sien asma rawat inap di tahun 2016 sebanyak 53

memaparkan bahwa latihan pernapasan diaf- dan jumlah pasien asma rawat inap di bulan

ragma mampu meningkatkan APE dan menu- Januari–Februari 2017 sebanyak 9. Jumlah pa-

runkan Respirasi Rate (RR), namun di pene- sien rawat jalan di tahun 2016 sebanyak 1.379

litian ini belum memaparkan pengaruh latihan dan jumlah pasien asma rawat jalan di bulan

pernapasan diafragma dengan frekuensi ke- Januari–Februari 2017 sebanyak 165.

kambuhan.

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasi-

Metode en asma rawat jalan di Rumah Sakit Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif Sampel penelitian berjumlah 28 subjek pene-

menggunakan metode true eksperimen dengan litian yang dibagi menjadi dua kelompok, ke-

bentuk pretest-posttes with control group di lompok intervensi dan kelompok kontrol. Kri-

mana pada kelompok pertama diberikan obat teria inklusi pada penelitian ini adalah penderita

asma dan tambahan intervensi latihan perna- asma derajat ringan dan sedang, sedang men-

pasan diafragma dan kelompok kedua adalah jalani terapi obat asma, Indeks Masa Tubuh

kelompok kontrol yang diberikan obat asma. (IMT) 18–24, tidak merokok, belum pernah

melakukan latihan pernapasan selama 2 bulan

Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Paru terakhir, tidak sedang dalam serangan asma.

Respira Yogyakarta, didapatkan jumlah pengun- Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah wa-

jung pasien asma di tahun 2016 sebanyak 1.464 nita dalam keadaan hamil.

dengan peringkat kedua dari 10 jenis penyakit

terbanyak di rumah sakit tersebut. Jumlah pa- Pengukuran APE menggunakan Philips respi-
61
ejournalpeak
ronics Keperawatan (e-Kp)
flow meter danVolume 3 Nomor
frekuensi 2, Mei2015
kekam- kontrol di ukur APE pre test dan frekuensi

buhan dilihat menggunakan lembar catatan kekambuhan. Kelompok intervensi diberikan

peneliti. Kelompok intervensi dan kelompok obat-obatan sesuai advice dokter dan tambahan

intervensi latihan pernapasan diafragma selama

15 menit, sedangkan kelompok kontrol hanya

diberikan obat-obatan sesuai advice dokter.

Kelompok intervensi melakukan latihan per-

napasan diafragma dengan cara mengatur posisi

terlentang yang nyaman dengan bahu rileks.

Tangan kiri diletakkan di tengah dada dan

tangan kanan diletakkan diperut (tepat di bawah

iga), lalu hirup napas melalui hidung dan

biarkan perut menonjol sebesar mungkin dan

rasakan pergerakan tangan kanan terdorong ke

atas. Menghembuskan napas melalui bibir yang

dirapatkan (dengan bibir dimonyongkan seperti

meniup lilin) sambil merasakan tangan kanan

menekan ke arah dalam dan atas abdomen. Ge-

rakan tersebut diulang selama 1 menit diikuti

masa istirahat 2 menit dan mengulangi seba-

nyak 5 kali selama 15 menit. Latihan perna-

pasan diafragma dilakukan 2 kali/hari di pagi

setelah solat shubuh dan setelah sholat ashar

selama 2 minggu berturut-turut dengan penga-

wasan motivator. Motivator ditunjuk dari kelu-

arga atau orang yang tinggal dalam satu rumah

62
ejournal pasien.
dengan Keperawatan
Pada (e-Kp)
mingguVolume 3 Nomorpe-
ke-2 subjek 2, Mei2015

nelitian baik kelompok intervensi maupun

ke- lompok kontrol diukur kembali APE dan

fre- kuensi kekambuhan.

Program statistik yang digunakan peneliti

ada- lah SPSS 19.0. Analisis univariat data

jenis kelamin, riwayat keluarga asma, dan

riwayat merokok dilihat dari frekuensi dan

persenta- senya, sedangkan data usia dan

IMT kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dihitung nilai mean, standar deviasi,

nilai minimum dan mak- simumnya. Analisis

bivariat dengan Paired T- test dilakukan

untuk melihat perbedaan pening- katan APE

dan frekuensi kekambuhan sebelum dan

sesudah intervensi. Mann-Whitney diguna-

kan untuk melihat perbedaan APE dan freku-

ensi kekambuhan kelompok intervensi dan

ke- lompok kontrol. Delta peningkatan APE

meru- pakan selisih APE sebelum dan setelah

di- lakukan intervensi sedangkan delta

penurunan

63
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan

Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

frekuensi kekambuhan merupakan selisih fre- kedua kelompok dapat dibandingkan. Rerata

kuensi kekambuhan sebelum dan setelah dila- IMT kelompok intervensi didapatkan nilai

kukan intervensi. 21,50±1,35 kg/m² dan rerata IMT kelompok

kontrol didapatkan nilai 21,79±0,89 kg/m². Ha-

Hasil sil analisis didapatkan bahwa sebagian besar

Pada Tabel 1 hasil analisis didapatkan rerata subjek penelitian dengan jenis kelamin pe-

usia kelompok intervensi (46,00±7,98 tahun) rempuan baik kelompok intervensi maupun

dan rerata usia kelompok kontrol (48,07±7,80 kelompok kontrol dengan persentase kedua ke-

tahun). Nilai p yang didapatkan untuk usia an- lompok sama yaitu 85,7% (12 orang). Sebagian

tara kelompok intervensi dan kelompok kontrol besar subjek penelitian dengan riwayat mero-

yaitu 0,494 (p> 0,05), berarti tidak ada perbe- kok baik kelompok intervensi maupun kelom-

daan bermakna (homogen) antara kelompok in- pok kontrol memiliki persentase yang sama ya-

tervensi dan kelompok kontrol yang berarti itu 85,7% (12 orang) untuk masing-masing ke-

lompok.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol p

(n=14) (n=14)

Usia

Rerata±SD 46,00±7,98 48,07±7,80 0,494

Min-Max 28–55 31–55

64
ejournal Keperawatan
IMT (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015

Rerata±SD 21,50±1,35 21,79±0,89 0,514

Min-Max 19–24 20–23

Jenis Kelamin

Laki-laki 2 (14,3%) 2 (14,3%) 1,000

Perempuan 12 (85,7%) 12 (85,7%)

Riwayat Keluarga Asma

Ya 14 (100%) 14 (100%) No

statistics

Tidak 0 (0%) 0 (0%)

Riwayat Merokok

Ya 2 (14,3%) 2 (14,3%) 1,000

Tidak 12 (85,7%) 12 (85,7%)

Catatan: usia dalam tahun

IMT dalam kg/m²

Tabel 2. APE Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Variab n Rerata±SD Min-Maks p

el

Kelompok Intervensi

APE sebelum 202,14±27, 160–240

78

APE setelah 14 328,57±21, 300–360 0,00

43 1

Kelompok Kontrol

65
ejournal Keperawatan
APE sebelum(e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
202,86±27, 160–240

86

APE setelah 14 255,00±35, 200–310 0,00

68 4

Catatan: APE dalam L/menit

66
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi

Kekambuhan Pasien Asma

JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Tabel 3. Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol

Variab n Rerata±SD Min– p

el Maks

Kelompok Intervensi

Frekuensi kekambuhan 2,57±1,34 0–5

sebelum

Frekuensi kekambuhan setelah 14 1,29±1,07 0–3 0,00

Kelompok Kontrol

Frekuensi kekambuhan 14 3,07±1,44 0–5 0,001

sebelum

Frekuensi kekambuhan setelah 2,29±1,38 0–4

Tabel 4. Perbedaan Peningkatan APE Pasien Asma

Variabel n Rerata±SD Min– p

Maks

Delta APE

Kelompok intervensi 14 126,43±22,05 90–160

Kelompok kontrol 14 52,14±56,45 0–150 0,00

67
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
1

Catatan: APE dalam L/menit

Tabel 5. Perbedaan Penurunan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma

Variab N Rerata±SD Min– p

el Maks

Delta Frekuensi Kekambuhan

Kelompok intervensi 14 1,29±0,61 0–2

Kelompok kontrol 14 0,79±0,57 0–2 0,03

Tabel 6. Perubahan APE dan Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma

Variab Jumlah Persentase

el (Orang) (%)

APE

Kelompok Intervensi

Tidak ada perubahan 0 0%

Meningkat 14 100%

Kelompok Kontrol

Tidak ada perubahan 7 50%

Meningkat 7 50%

Frekuensi Kekambuhan

Kelompok Intervensi

68
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Tidak ada perubahan 1 7,14%

Menurun 13 92,86%

Kelompok Kontrol

Tidak ada perubahan 4 28,57%

Menurun 10 71,43%

Rerata nilai APE kelompok intervensi sebelum intervensi. Rerata nilai APE kelompok kontrol

dilakukan intervensi dapat disimpulkan terda- dapat disimpulkan terdapat rerata perbedaan ni-

pat rerata perbedaan nilai APE yang signifikan lai APE yang signifikan pada kelompok kontrol

pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah sebelum dan sesudah intervensi (Lihat Tabel 2).

69
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan

Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Pada Tabel 3 rerata frekuensi kekambuhan ke- yang berarti delta frekuensi kekambuhan pada

lompok intervensi sebelum dilakukan interven- kelompok intervensi lebih berkurang diban-

si dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- dingkan dengan kelompok kontrol dan terdapat

bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan rerata perbedaan frekuensi kekambuhan yang

pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah signifikan pada kelompok intervensi dan ke-

intervensi. Rerata frekuensi kekambuhan ke- lompok kontrol.

lompok kontrol sebelum dilakukan intervensi

dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- Pada Tabel 6 menunjukkan kelompok interven-

bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan si terdapat 100% (14 pasien) mengalami pe-

pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah ningkatan APE setelah diberikan intervensi se-

intervensi. dangkan pada kelompok kontrol terdapat 50%

(7 pasien) mengalami peningkatan dan 50% (7

Rerata nilai delta APE dapat disimpulkan bah- pasien) mengalami nilai konstan APE setelah

wa nilai delta APE kelompok intervensi lebih diberikan intervensi.

tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol

yang berarti terdapat rerata perbedaan nilai del- Pada kelompok intervensi terdapat 7,14% (1

ta APE yang signifikan pada kelompok inter- pasien) mengalami nilai konstan frekuensi ke-

vensi dan kelompok kontrol (Lihat Tabel 4). kambuhan dan terdapat 92,86% (13 pasien)

mengalami penurunan frekuensi kekambuhan

Pada Tabel 5 rerata delta frekuensi kekambuh- setelah diberikan intervensi sedangkan pada

an kelompok intervensi dapat disimpulkan bah- kelompok kontrol terdapat 28,57 (4 pasien)

wa delta frekuensi kekambuhan kelompok in- mengalami nilai konstan frekuensi kekambuh-

tervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol an dan 71,43% (10 pasien) mengalami penu-

70
ejournal
runan Keperawatan
frekuensi (e-Kp) Volume
kekambuhan 3 Nomor
setelah 2, Mei2015
diberikan satu pasien dengan frekuensi kekambuhan kon-

intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat stan. Menurut wawancara dengan motivator

kemungkinan hal tersebut disebabkan karena

stres psikologis.

Pembahasan

Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisis

distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa seba-

gian besar subjek penelitian berusia lebih dari

45 tahun. Menurut Guyton dan Hall (2007),

terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan

kelenjar bronchial, penurunan kapasitas paru,

dan peningkatan ruang rugi selama proses pe-

nuaan. Pangestuti, et al. (2015) menyatakan

bahwa penurunan pada fungsi pernapasan yang

ditinjau dari nilai Forced Expiratory Volume in

one second w(FEV₁) memiliki hubungan yang

signifikan dengan tingkat usia. Sejak usia an-

tara 35 sampai 40 tahun, jumlah penurunan

rata-rata FEV1 adalah 25–30 ml/tahun dan usia

di atas 70 tahun mengalami jumlah penurunan

60 ml/tahun.

Pada penelitian ini, jumlah perempuan yang

menderita asma di kelompok intervensi mau-

pun kelompok kontrol lebih banyak daripada

laki-laki. Ikawati (2016) menyatakan bahwa

71
ejournal Keperawatan
kejadian asma lebih (e-Kp)
banyakVolume 3 Nomor 2, Mei2015
pada perempuan

daripada laki-laki pada usia dewasa. Hal ini

dikarenakan ukuran paru atau saluran napas

pada laki-laki lebih kecil daripada perempuan

pada saat anak-anak, tetapi menjadi lebih

besar pada usia dewasa. Penelitian ini

didukung oleh Rujito et al. (2015)

menyatakan bahwa laki-laki memiliki

kapasitas inspirasi yang lebih besar

dibandingkan dengan perempuan

dikarenakan kekuatan otot laki-laki lebih

besar dibanding- kan dengan perempuan

termasuk otot pernapas- an.

IMT pada subjek penelitian ini normal baik

pada kelompok intervensi maupun kelompok

kontrol. Peneliti tidak melakukan pengukuran

IMT subjek penelitian sebelum menderita as-

ma, tetapi mengukur IMT subjek penelitian

setelah menderita asma. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa obesitas merupakan

salah

72
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi

Kekambuhan Pasien Asma

JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

satu faktor risiko terhadap peningkatan derajat Peningkatan Nilai APE dengan Latihan Per-

keparahan asma. Ikawati (2016) menyatakan napasan Diafragma. Proses inspirasi terjadi

kelebihan berat badan dan obesitas meningkat- ketika dada mengembang, paru-paru ikut me-

kan risiko kejadian asma sampai 50%, baik ngembang sehingga penurunan tekanan yang

pada laki-laki maupun perempuan. Suryantoro, menyebabkan peningkatan ada volume paru dan

et al. (2017) mengatakan obesitas mengakibat- udara masuk ke dalam paru-paru. Proses

kan kerja napas meningkat yang disebabkan respirasi terjadi ketika dada mengecil, paru-

karena compliance dinding dada menurun dan paru ikut mengecil, sehingga terjadi pening-

terjadi penurunan kekuatan otot pernapasan. katan tekanan, menyebabkan volume paru me-

ngecil dan udara keluar dari paru-paru (Guyton

Pada penelitian ini semua subjek penelitian & Hall, 2007).

mempunyai riwayat keluarga asma dari orang

tua. Ikawati (2016) menyatakan bahwa asma Pada penelitian ini semua pasien asma ringan-

memiliki komponen herediter. Akib (2016) sedang terjadi penurunan APE baik kelompok

menyatakan bahwa kelompok anak dengan intervensi maupun kelompok kontrol. Pada

gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, pasien asma, diameter bronkiolus lebih banyak

yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai berkurang selama ekspirasi daripada selama

predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis inspirasi, karena bronkiolus kolaps selama

alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibanding- upaya ekspirasi akibat penekanan pada bagian

kan dengan kelompok anak dengan mengi yang luar bronkiolus. Paru-paru pada pasien asma

tidak menetap. mengalami sumbatan sebagian yang mengaki-

batkan sumbatan berikutnya akibat dari tekanan


73
ejournal Keperawatan
eksternal (e-Kp) Volume
yang menimbulkan 3 Nomor
obstruksi 2, Mei2015
berat kuran klinis memperlihatkan penurunan sangat

terutama selama ekspirasi. Pasien dapat me- besar laju ekspirasi maksimum dan berkurang-

lakukan inspirasi dengan baik dan adekuat te- nya volume ekspirasi terukur (timed expiratory

tapi sukar melakukan ekspirasi. Pada pengu- volume) (Guyton & Hall, 2007).

Pada penelitian ini subjek penelitian melakukan

latihan pernapasan diafragma dengan didam-

pingi motivator yaitu keluarga yang tinggal di

dalam satu rumah dengan subjek. Menurut

penelitian Sari, Harun, dan Nursiswati (2016)

menyatakan bahwa dukungan keluarga sangat

memengaruhi perubahan individu. Pada pe-

nelitian ini terjadi peningkatan APE pasien

asma ringan-sedang setelah melakukan latihan

pernapasan diafragma pada kelompok inter-

vensi.

Muttaqin (2008) menjelaskan ketika pasien

asma melakukan latihan pernapasan diafragma

proses inspirasi terjadi kontraksi otot diafrag-

ma, sehingga volume thoraks membesar. Hal

ini menyebabkan tekanan intrapleura menurun

dan paru mengembang, sehingga tekanan in-

traalveoli menurun dan udara masuk ke dalam

paru. Proses ekspirasi dimulai dari relaksasi ot-

ot diafragma, sehingga volume thorak menge-

cil. Hal ini menyebabkan tekanan intrapleura

74
ejournal Keperawatan
meningkat (e-Kp) Volume
dan volume paru 3mengecil,
Nomor 2, Mei2015

sehingga tekanan intraalveoli meningkat dan

udara ber- gerak ke luar paru.

Hasil penelitian oleh Pangestuti, et al. (2015)

menunjukkan peningkatan APE dengan

latihan pernapasan diafragma pada minggu

ke dua. Menurut penelitian tersebut, bahwa

pernapasan dengan menggunakan otot

diafragma lebih baik dibandingkan

pernapasan dengan mengguna- kan otot

interkosta. Latihan pernapasan diafrag- ma

mampu meningkatkan otot ekspirasi se-

hingga mampu mengeluarkan udara yang ter-

perangkap di dalam paru-paru. Latihan

perna- pasan diafragma dapat melatih otot-

otot perna- pasan yaitu otot diafragma. Hal

ini sesuai de- ngan penelitian yang dilakukan

oleh Mayuni, Kamayani, dan Puspita (2010)

dimana terjadi peningkatan kapasitas vital

paru (KVP) setelah dilakukan latihan

pernapasan diafragma selama dua minggu.

75
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan

Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Otot diafragma akan memipih dan mendatar gejala asma. golongan obat tersebut direkomen-

pada saat inspirasi sehingga memberikan ruang dasikan untuk mencegah bronko-konstriksi.

yang lebih luas untuk pengembangan paru. Obat yang digunakan adalah inhalasi kortiko-

Udara masuk ke paru-paru dan terjadi pengem- steroid, agonis β2 adrenergik, antikolinergik,

bangan perut karena penggunaan otot diafrag- anti IgE (Ikawati, 2016).

ma ketika melakukan latihan pernapasan diaf-

ragma. Otot abdomen membantu udara keluar Juhariyah, Djajalaksana, Sartoro, dan Ridwan

saat ekspirasi dan memberi kekuatan yang lebih (2012) menyatakan tujuan terapi asma adalah

besar untuk mengosongkan paru, sehingga ke- mengntrol gejala dan mencegah kematian ka-

kuatan ekspirasi bertambah dan APE mening- rena asma. Hal ini sesuai dengan penelitian

kat setelah latihan. Aliran ekspirasi maksimum yang dilakukan oleh Idrus, et al. (2012) yang

jauh lebih besar ketika paru terisi volume udara menyatakan bahwa ada perbaikan APE pada

yang besar daripada ketika keadaan paru ham- pasien asma setelah diberikan terapi farmako-

pir kosong (Santoso, et al., 2014; Pangestuti, et logis.

al., 2015).

Pada penelitian ini terjadi peningkatan APE

Pada penelitian ini, terjadi peningkatan APE yang signifikan pada kelompok intervensi di-

pasien asma ringan-sedang setelah intervensi bandingkan kelompok kontrol. Perry dan Potter

pada kelompok kontrol. Asma merupakan pe- (2005) memaparkan bahwa latihan pernapasan

nyakit kronis, sehingga membutuhkan peng- dilakukan untuk meningkatkan ventilasi dan

obatan yang perlu dilakukan secara teratur. oksigenasi. Latihan pernapasan terdiri dari la-

Salah satu obat asma yaitu golongan pelega tihan dan praktik pernapasan yang dirancang

(reliever) yang digunakan untuk meredakan dan dijalankan untuk mencapai ventilasi yang

76
ejournal
lebih Keperawatan
terkontrol dan (e-Kp)
efisien,Volume 3 Nomor 2, Mei2015
serta mengurangi farmakologis serta tambahan latihan pernapas-

kerja napas. Pasien asma yang diberikan terapi an diafragma akan lebih terlihat peningkatan

fungsi paru dibandingkan dengan yang diberi-

kan terapi farmakologis saja.

Perubahan Frekuensi Kekambuhan dengan

Latihan Pernapasan Diafragma. Gejala asma

adalah sesak napas, wheezing, dan batuk. Hal

ini dikarenakan adanya penyempitan saluran

napas yang disebabkan oleh edema bronchus,

kontraksi otot dan hipersekresi mukus yang

bersifat lengket (Ikawati, 2016). Istilah kambuh

atau relapse atau sering juga disebut rechute

atau recidive, dalam istilah kedokteran diarti-

kan bangkitnya kembali penyakit yang sudah

mulai sembuh (Rab, 2010). Dapat disimpulkan

bahwa kekambuhan pada penderita asma ada-

lah munculnya kembali atau serangan kembali

keluhan peningkatan responsivitas saluran na-

fas yang luas sehingga menyebabkan gangguan

aliran udara pernafasan yang menimbulkan ge-

jala seperti sesak nafas, wheezing dan kesulitan

bernafas terutama pada saat ekspirasi.

Pada penelitian ini semua pasien asma ringan-

sedang baik kelompok intervensi maupun ke-

lompok kontrol terjadi kekambuhan sebelum

77
ejournal Keperawatan
dilakukan intervensi.(e-Kp) Volume
Novarin, 3 Nomor
Murtaqib, 2, Mei2015
dan

Widayati (2015) menyatakan bahwa adanya

keterbatasan aliran udara yang keluar dari

paru- paru pada pasien asma akibat dari

perubahan struktur saluran pernapasan dalam

jangka wak- tu yang lama, sehingga terjadi

obstruksi pada jalan napas.

Frekuensi kekambuhan pasien asma menurun

setelah melakukan latihan pernapasan

diafrag- ma pada kelompok intervensi. Hal

ini sesuai dengan penelitian Maulani (2014)

yang mem- perlihatkan bahwa adanya

penurunan frekuensi kekambuhan pada

pasien asma setelah dilaku- kan latihan

pernapasan. Huyton (2006) dalam penelitian

yang dilakukan oleh Melastuti, Erna, dan

Husna (2015) menyatakan bahwa pasien

asma yang dilakukan latihan pernapasan di-

afragma menghasilkan perbedaan yang signi-

fikan pada pengontrolan asma. Latihan perna-

pasan diafragma diharapkan mampu mengu-

78
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi

Kekambuhan Pasien Asma

JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

rangi penyempitan jalan napas sehingga ven- ngan-sedang pada kelompok intervensi diban-

tilasi dan perfusi di dalam paru akan mening- dingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian

kat serta kondisi yang mengakibatkan tubuh yang dilakukan oleh Maulani (2014) didapat-

menyimpan CO₂ berlebih dalam tubuh dapat kan latihan pernapasan dapat meningkatkan PEF

berkurang. dan menurunkan frekuensi kekambuhan.

Moreira, et al. (2008) menambahkan latihan

Pada penelitian ini, terjadi penurunan frekuensi fisik dapat mengurangi kesukaran bernapas dan

kekambuhan pasien asma ringan-sedang sete- gejala asma lainnya dengan menguatkan otot-

lah intervensi pada kelompok kontrol. Hal ini otot pernapasan dan mengurangi ventilasi pada

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh saat latihan.

Lutfiyati, Ikawati, dan Wiedyaningsih (2014)

yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan Tortora dan Derrickson (2012) menyatakan

fungsi paru pada pasien asma yang diberikan bahwa penggunaan otot dapat merubah serabut

terapi farmakologis yang ditunjukkan dengan otot sehingga dapat menyebabkan peningkatan

penurunan frekuensi serangan. Idrus, Yunus, dia-meter, jumlah mitokondria, suplai darah,

dan Andarini. (2012) menambahkan terjadinya dan kekuatan otot sistem pernapasan. Keter-

penurunan frekuensi pernapasan dan sesak na- kaitan antara sistem musculoskeletal dengan

pas pada pasien asma yang diberikan terapi pernapasan menyebabkan aliran udara yang

farmakologis. masuk dan keluar paru menjadi efektif, mele-

barkan serabut otot polos pada saluran perna-

Pada penelitian ini terjadi penurunan frekuensi pasan yang mengalami penyempitan sehingga

kekambuhan yang signifikan pasien asma ri- mem-bantu membersihkan saluran pernapasan
79
ejournal
dari Keperawatan
sekret (e-Kp) Volume
karena dengan latihan 3pernapasan
Nomor 2, Mei2015
Hasil analisis pada perubahan APE dan fre-

akan menerima suplai oksigen dan nutrisi yang kuensi kekambuhan pasien asma ringan-sedang

cukup. pada kelompok intervensi dan kelompok kon-

trol didapatkan hasil satu pasien mengalami

nilai konstan pada frekuensi kekambuhan. Ber-

dasarkan hasil wawancara pada motivator, me-

nyatakan kemungkinan hal tersebut dikarena-

kan stres psikologis. Perlu kita ketahui bahwa

salah satu penyebab dari asma adalah stres.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu, Pepin,

dan Hexawan (2015) didapatkan bahwa stres

dapat berperan pada pasien asma. Hal ini se-

jalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Lestari dan Hartini (2014), didapatkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara stres

dengan frekuensi kekambuhan asma bronkial.

Ukuran jalan napas akan berubah ketika ter-

dapat peran dari saraf vagus aferen. Selain itu,

endorphin juga dapat berperan dalam hal ini

(Wahyu, et al. 2015).

Menurut Guyton dan Hall (2007), yang me-

maparkan bahwa stres mengakibatkan rang-

sangan menuju ke hipofisis yang selanjutnya

disalurkan ke ginjal untuk melepaskan hormon

adrenalin dan kortisol. Hal ini mengakibatkan

80
ejournal Keperawatan
pelepasan histamin.(e-Kp) Volume 3 Nomor
Tumigolung, 2, Mei2015
Kumaat,

dan Onibala (2016) menambahkan adanya

pelepas- an histamin pada pasien asma yang

mengalami kecemasan dapat menyebabkan

sakit tenggo- rokan dan sesak napas sehingga

memicu ter- jadinya serangan asma.

Dengan adanya penelitian ini, khususnya

untuk pelayanan keperawatan, maka aspek

pernapas- an seperti APE menjadi hal yang

perlu diper- timbangkan untuk dilakukan

pengkajian oleh perawatan. Kecilnya sampel

menjadi keterba- tasan dalam penelitian ini.

Kesimpulan

Terdapat peningkatan APE lebih tinggi pada

kelompok pasien asma ringan-sedang yang

men- dapatkan latihan pernapasan diafragma

diban- dingkan dengan kelompok pasien

asma ringan-

81
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan

Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

sedang yang tidak mendapatkan latihan per- https://doi.org/10.22 146/bkm.3624

napasan diafragma. Selain itu, terdapat penu-

runan frekuensi kekambuhan lebih tinggi pa- Aini, F., Sitorus, R., & Budiharto, B. (2008).

da kelompok pasien asma ringan-sedang yang Pengaruh breathing retraining terhadap

mendapatkan latihan pernapasan diafragma di- peningkatan fungsi ventilasi paru pada

bandingkan dengan kelompok pasien asma ri- asuhan keperawatan pasien PPOK. Jurnal

ngan-sedang yang tidak mendapatkan latihan Keperawatan Indonesia, 12 (1), 29–33.

pernapasan diafragma. Diharapkan pada pe- https://doi.org/10.7454/jki.v12i1.196.

neliti selanjutnya dapat melakukan penelitian

latihan pernapasan diafragma pada pasien asma Akib, A.P. (2016). Asma pada anak. Sari

dibandingkan intervensi keperawatan lain de- Pediatri, 4 (2), 78–82.

ngan mengambil jumlah sampel yang lebih http://dx.doi.org/10.14238/sp4.2.

besar (YS, TN, DW). 2002.78-82.

Atmoko, W., Faisal, H.K.P., Bobian, E.T.,

Referensi Adisworo, M.W., & Yunus, F. (2011).

Agustiningsih, D., Kafi, A., & Djunaidi, A. Prevalens asma tidak terkontrol dan faktor-

(2007). Latihan Pernapasan dengan faktor yang berhubungan dengan tingkat

Metode Buteyko Meningkatkan Nilai kontrol asma di poliklinik asma rumah sakit

Force Expiratory Volume In 1 Second (% persahabatan, jakarta. Jurnal Respirologi

Fev1) Penderita Asma Dewasa Derajat Indonesia, 31(2), 53-60.

Persisten Sedang. Berita Kedokteran

Masyarakat, 23 (2), 52. Fernandes, M., Cukier, A., & Feltrim, M. I. Z.

82
ejournal Keperawatan
(2011). (e-Kp)of
Efficacy Volume 3 Nomor 2, Mei2015
diaphragmatic Global Initiative for Asthma (GINA). (2016).

breathing in patients with chronic Global strategy for asthma management

obstructive pulmonary disease. Chronic and prevention. Retrieved from

Respiratory Disease, 8 (4), https://ginasthma. org/wp-

237–244. content/uploads/2016/04/GINA-2016-

https://doi.org/10.1177/14799723114 main-report_tracked.pdf

24296.

Guyton, A.C., Hall, J.E., (2007). Buku ajar

fisiologi kedokteran (Edisi 22). Jakarta:

EGC.

Idrus, I.S., Yunus, F., Andarini, S.L., &

Setiawati,

A. (2012). Perbandingan efek salbutamol

dengan salbutamol yang diencerkan

dengan NaCl 0,9% pada pasien dewasa

dengan asma akut sedang di RS

Persahabatan. Jurnal Respirologi

Indonesia, 32 (3), 167–177.

Ikawati, Z. (2016). Penatalaksanaan terapi

penyakit sistem pernapasan. Yogyakarta:

Bursa Ilmu.

Juhariyah, S., Djajalaksana, S., Sartono, T.R.,

& Ridwan, M. (2012). Efektivitas latihan

fisis dan latihan pernapasan pada asma

83
ejournal Keperawatan
persisten (e-Kp) Volume
sedang- berat. 3 Nomor 2, Mei2015 meningkatkan peak expiratory flow (PEF)
Jurnal

Respirologi Indonesia, 32 (1), 17– dan mengurangi frekuensi kekambuhan

24. pada penderita asma. IJNP (Indonesian

Journal of Nursing Practices), 1 (1), 55–

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 61.

(2014). Profil kesehatan Indonesia.

Jakarta: Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI. Retrieved

from http://www.

depkes.go.id/resources/download/pusdati

n/prof il-kesehatan-indonesia/profil-

kesehatan-indone sia-2014.pdf

Lestari, N.F., & Hartini, N. (2014).

Hubungan antara tingkat stres dengan

frekuensi kekam- buhan pada wanita

penderita asma usia dewasa awal yang

telah menikah. Jurnal Psikologi Klinis

dan Kesehatan Mental, 2 (1), 7–15.

Lutfiyati, H., Ikawati, Z., & Wiedyaningsih,

C. (2014). Evaluasi terapi oral terhadap

hasil terapi pasien asma. Jurnal

Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 4

(3), 193–199.

Maulani, M. (2014). Latihan sepeda statis

84
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi

Kekambuhan Pasien Asma

JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Mayuni, A.A.I.D., Kamayani, M.O.A., & increase allergic inflammation in asthmatic

Puspita, children. European respiratory journal, 32

L.M. (2010). Pengaruh diaphragmatic (6), 1570– 1575.

breathing exercise terhadap kapasitas vital http://doi.org/10.1183/09031936.001717 07.

paru pada pasien asma di wilayah kerja

Puskesmas III Denpasar Utara. COPING Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan

(Community of Publishing in Nursing) keperawatan klien dengan gangguan sistem

Ners Journal, 3 (3), 31– 36. pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Melastuti, E., & Husna, L. (2015). Efektivitas Novarin, C., Murtaqib, M., & Widayati, N.

teknik pernafasan buteyko terhadap (2015). Pengaruh progressive muscle

pengontrolan asma di balai kesehatan paru relaxation terhadap aliran puncak ekspirasi

masyarakat semarang. Nurscope: Jurnal klien dengan asma bronkial di Poli Spesialis

Penelitian dan Pemikiran Ilmiah Paru B Rumah Sakit Paru Kabupaten

Keperawatan, 1 (2), 1–7. Jember. Pustaka Kesehatan, 3 (2), 311–318.

http://dx.doi.org/10.30659/nurscope.

1.2.1-7. Pangestuti, S.D., Murtaqib, M., & Widayati, N.

(2015). Pengaruh diaphragmatic breathing

Moreira, A., Delgado, L., Haahtela, T., exercise terhadap fungsi pernapasan (RR

Fonseca, J., Moreira, P., Lopes, C., ... & dan APE) pada lansia di UPT PSLU

Castel-Branco, M. Kabupaten Jember (The Effect of

G. (2008). Physical training does not Diaphragmatic Breathing Exercise on


85
ejournal Keperawatan
Respiration (e-Kp)(RR
Function Volume
and3 PEFR)
Nomor 2,inMei2015
Rujito, L., Ristianingrum, I., & Rahmawati, I.

Elderly at UPT PSLU Jember Regency). (2015). Hubungan antara indeks massa

Pustaka Kesehatan, 3 (1), 74–81. tubuh (IMT) dengan tes fungsi paru.

Mandala of Health, 4(2), 105–112.

Potter, P.A, & Perry, A.G. (2005). Buku ajar

fundamental keperawatan: Konsep, proses, Sahat, C.S., Irawaty, D., & Hastono, S.P.

dan praktik (Edisi 4, Volume 2). (Alih (2011). Peningkatan kekuatan otot

Bahasa: R. Komalasari, dkk.). Jakarta: pernapasan dan fungsi paru melalui senam

Penerbit EGC. asma pada pasien asma. Jurnal

Keperawatan Indonesia, 14 (2),

Rab, T. (2010). Ilmu penyakit paru. Jakarta: 101–106.

CV Trans Info Media. https://doi.org/10.7454/jki.v14i2.316.

Santoso, F.M., Harmayetty, H., & Bakar, A.

(2014). Perbandingan latihan napas

buteyko dan upper body exercise terhadap

arus puncak ekspirasi pada pasien dengan

asma bronkial. Critical, Medical, &

Surgical Nursing Journal, 2 (2), 91–98.

Sari, C.W.M., Haroen, H., & Nursiswati, N.

(2016). Pengaruh program edukasi

perawatan kaki berbasis keluarga terhadap

perilaku perawatan kaki pada pasien

diabetes melitus tipe 2. Jurnal

Keperawatan Padjadjaran, 4 (3), 305–314.

https://doi.org 10.24198/jkp.v4i3.293/

86
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015 http://ejurnal.stikespemkabjombang.ac.id/i

Suryantoro, E., Isworo, A., & Upoyo, A. S. nde x.php/Juli-2013/article/view/33/63.

(2017). Perbedaan efektivitas pursed lips

breathing dengan six minutes walk test

terhadap forced expiratory. Jurnal

Keperawatan Padjadjaran, 5(2).

https://doi.org/10.24198/jkp.v5i2.448

Tumigolung, G.T., Kumaat, L., & Onibala, F.

(2016). Hubungan tingkat kecemasan

dengan serangan asma pada penderita

asma di Kelurahan Mahakeret Barat dan

Mahakeret Timur Kota Manado. Jurnal

Keperawatan, 4 (2), 1–7.

Tortora, G.J., Derrickson, B. (2012).

Principles of anatomy & physiology (13th

Ed.). United States of America: John

Wiley & Sons, Inc.

Wahyu, C., Pepin, N., & Hexawan, T. (2015).

Analisa faktor-faktor pencetus derajat

serangan asma pada penderita asma di

Puskesmas Perak Kabupaten Jombang

Tahun 2013. Jurnal Metabolisme, 2

(3). Retrieved

from

87
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan

Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64

Widjanegara, I.G., Tirtayasa, K., &

Pangkahila, A. (2015). Senam asma

mengurangi kekambuhan dan

meningkatkan saturasi oksigen pada

penderita asma di Poliklinik Paru

Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya

Denpasar. Sport and Fitness Journal, 3

(2), 1–1.

Jurnal 9

HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS

PARU DI PUSKESMAS SILOAM KECAMATAN TAMAKO KABUPATEN

KEPULAUAN SANGIHE

Alfah Yulied

Lalombo Henry

Palandeng
88Vanry D.
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Kallo

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

E-Mail: Juliet300793@gmail.com

Abstract: Tuberculosis is contagious infection diseases caused by mycobacterium

tuberculosis. Observation from siloam health center district of Tamako in Sangihe Island

regency is most patients with pulmonary tuberculosis. Male sex who has the habit of smoking.

The purpose of this research to determine the relationship of smoking and the incidence of

pulmonary tuberculosis in siloam health center district of Tamako Sangihe Island. Method in

this research used analytic survey crosssectional approach. This research was conducted at

district of Tamako in October 2014 to January 2015.The samples in this research amounted

to 30 people. Sample were taken used total sampling. Data obtained used the questioner and

observation sheets. The data were abalysed used univariate and bivariate analysis includes

chi square test with. The result of this research showed the values of p=0,01 which means

that the p-value is smaller than the value of α =0,05. Conclution that there is a significant

relationship between smoking and incidence of pulmonary tuberculosis.Suggested for futher

research are expected to further investigate other factors that may cause the incidence of

pulmonary tuberculosis.

Keywords : Smoking Habit, Tuberculosis, TamakoSiloamHealth Center

Abstrak: Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis. Hasil observasi di Puskesmas Siloam kecamatan Tamako

Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagian besar penderita Tuberkulosis Paru (TB paru)

berjenis kelamin laki-laki yang memiliki kebiasaan merokok.Tujuan penelitian ini untuk
89
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di puskesmas

siloam kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe.Metode penelitian ini adalah

survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di lakukan di

kecamatan Tamako pada bulan oktober 2014 sampai januari 2015.Sampel dalam penelitian

ini berjumlah 30 orang.Teknik pengumpulan sampel diambil menggunakan total sampling.

Data diperoleh menggunakan koesioner dan lembar observasi. Analisa data dilakukan

meliputi analisis univariat dan bivariat menggunakan uji chi square pada program komputer.

Hasil penelitian ini diperoleh nilai p= 0,01 yang berarti nilai p lebih kecil dari nilai α

(0,05). Maka dapat Kesimpulan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok

dengan kejadian tuberkulosis paru. Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya diharapkan

dapat meneliti lebih lanjut mengenai faktor yang lain yang dapat menyebabkan kejadian

tuberkulosis paru.

Kata kunci : Kebiasaan Merokok, Tuberkulosis Paru, Puskesmas Siloam Tamako

90
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

PENDAHULUAN 1,1%) (Riskesdas, 2013).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

infeksi menular yang disebabkan oleh (Riskesdas, 2013) prevalensi TB paru masih

mycobacterium tuberculosis.Sebagian berada diposisi yang sama untuk tahun 2007-

besar kuman TB menyerang paru tetapi 2013 yaitu (0,4%), menurut karakteristik

dapat juga menyerang organ tubuh lainnya jenis kelamin laki- laki sebesar (0,4%) lebih

(Depkes, 2011). Salah satu target TB rendah dari perempuan yaitu (0,3%). Dalam

partnership dalam strategi pengendalian profil kesehatan 2013 angka notifikasi kasus

TB tahun 2010-2014 yaitusebagai tonggak basil tahan asam BTA (+) pada tahun 2013 di

pencapaian utama pada tahun 2050 TB Indonesia sebesar 81,0 per 100.000

bukan lagi merupakan masalah kesehatan penduduk dan provinsi tertinggi yaitu

masyarakat global (Depkes, 2011). sulawesi utara 224,2 per 100.000 penduduk.

Prevalensi perokok dari tahun ke Beberapa penelitian menyebutkan

tahun semakin meningkat Indonesia pada bahwa salah satu penyebab TB paru adalah

tahun 2013 menempati peringkat ke tiga gaya hidup (lifestyle), pada penelitian

setelah China dan India dengan konsumsi Sarwani dan Nurleila (2012) merokok dan

rokok terbanyak di dunia. Perilaku TB paru menunjukan ada hubungan yang

merokok penduduk 15 tahun ke atas masih signifikan antara merokok dan TB paru, dan

belum terjadi penurunan dari 2007 hingga di temukan bahwa separuh dari kematian

2013, bahkan cenderung meningkat dari karena TB paru pada laki-laki di

34,2% per tahun 2007 menjadi 36,6% per

tahun 2013. Prevalensi yang merokok

setiap hari yaitu 24,6%. Proporsi perokok

terbanyak setiap hari yaitu pada umur 30-

34 tahun sebesar 33,4% umur 35-39 tahun

32,2%, sedangkan proporsi perokok setiap

hari pada laki-laki lebih banyak


91
dibandingkan perempuan (47,5% banding
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

sebabkan merokok dan 3,2 dari perokok urutan ke-2 setelah penyakit ispa dan

berkembang menjadi penderita TB paru. diabetes mellitus, adapun sebagian besar

Kematian pada penderita merokok pasien berjenis kelamin laki-laki dan

(Gajalakshmi, 2003 dalam Sarwani dan memiliki kebiasaan merokok. Dalam

Nurleila, 2011). observasi awal ditemukan jumlah

Dalam penelitian yang dilakukan penderita TB paru pada tahun 2013 yaitu

oleh Liauw dan Chen (1998), tentang 32 orang sedangkan pada tahun 2014

TB paru adalah 4 dari pada kelompok hingga bulan September berjumlah 40

merokok dibanding yang tidak pasien.

mortalitas akibat merokok hasil Berdasarkan data tersebut peneliti

penelitian menunjukan meneliti hubungan antara kebiasaan

2.552 responden yang meninggal dalam merokok dengan kejadian penyakit TB

kurun waktu penelitian berlangsung di paru.

kalangan laki-laki kebiasaan merokok METODE PENELITIAN

secara bermakna berhubungan dengan Penelitian yang dilakukan bertujuan

peningkatan risiko kematian secara untuk mengetahui hubungan antara dua

umum dibandingkan dengan mereka variabel dengan rancangan penelitian

yang tidak merokok. Pada perempuan rancangan studi kasus Cross sectional

kebiasaan merokok secara bermakna Study, dimana semua data yang

berhubungan dengan peningkatan angka menyangkut variabel penelitian di ukur

kematian secara umum, bila satu kali pada waktu yang bersamaan.

dibandingkan dengan dengan yang tidak Penelitian dilaksanakan di Wilayah Kerja

merokok. Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako

Berdasarkan studi pendahuluan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Penelitian

yang dilakukan penderita penyakit TB

paru masih menjadi masalah kesehatan

di Puskesmas Siloam Kecamatan


92
Tamako penyakit TB paru berada di
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

dilakukan sepanjang bulan Oktober 2014 - menderita TB paru. responden dengan

Januari 2015. kejadian TB paru berat maka diberi kode 2

Populasi dalam penelitian ini adalah dan bila responden dengan kejadian TB paru

Pasien dengan penderita TB Paru di ringan diberikan kode 1. Pengolan data

Puskesmas Siloam Kecamatan dalam penelitian ini terdiri dari

Tamako.Populasi dalam penelitian ini editing,coding, dan tabulating,

berjumlah 40 pasien. Pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan teknik HASIL DAN PEMBAHSAN

total sampling yaitu keseluruhan dari Karakteristik Responden

jumlah populasi dijadikan sebagai sampel. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi

adapun jumlah sampel sebanyak 30 berdasarkan umur :

responden TB paru dengan pemilihan Umur n %

sampel di dasarkan pada kriteria inklusi 20-30 tahun 7 23,3

dan ekslusi. Kriteia eksklusi tidak bersedia 31-40 tahun 9 30,3

menjadi responden,pindah tempat saat 41-50 tahun 7 23,3

dilaksanakan penelitian. 51-60 tahun 3 10,0

Wawancara dengan menggunakan alat >60 tahun 4 13,3

ukur koesioner kebiasaan merokok. Total 30 100%

Koesioner tersebut terdiri atas 2 bagian. Sumber Data Primer 2014

Bagian pertama berisi tentang karakteristik

responden yang berisi tentang umur, jenis

kelamin, pendidikan dan pekerjaan

responden dan bagian ke dua pertanyaan

tentang kebiasaan merokok dengan pilihan

jawaban ya atau tidak. Jika ya diberi skor 2

dan jika tidak diberi skor 1. Observasi

dilakukan dengan menggunakan lembar


93
observasi.responden saat di diagnosa
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden 3

berdasarkan pekerjaan SMA 10 33,3

Pekerjaan n % Total 30 100,0

Mahasiswa 1 3 Sumber Data Primer 2014

Petani 14 46,7

Buruh 4 13,3 Analisa Univariat

Pedagang 1 3,3 Tabel 4.5 Distribusi frekensi responden

PNS 4 13,3 berdasarkan kebiasaan merokok

Sopir 1 3,3 Kebiasaan n %

Swasta 5 16,7 Merokok

Total 30 100,0 Perokok Ringan 11 36,7

Sumber Data Primer 2014 Perokok Berat 19 63,3

Total 30 100,0

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden Sumber Data Primer 2014

berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin n % Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden

Laki-laki 27 90 berdasarkan kejadian TB paru

Perempuan 3 10

Total 30 100,0 Kejadian TB n %

Sumber Data Primer 2014 Paru

Ringan 14 46,7

Tabel.4.4 Distribusi frekuensi responden Berat 16 53,3

berdasarkan pendidikan Total 30 100,0

Pendidikan n % Sumber Data Primer 2014

SD 8 26,7

SMP 11 36,7

SMK 1 3,
94
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Analisa Bivariat alam cakupan usia produktif yakni pada

Tabel 4.7 Analisa Hubungan kebiasaan usia 51-55 tahun sebanyak 56 responden

merokok dengan kejadian TB paru. (29,8%) dan yang paling sedikit responden

Kejadian TB paru P yang beusia 21-25 tahun sebanyak 1

Kebiasa Ringan Berat Valu responden (0,5%).


Merokok n % n % n %
an Total e Distribusi frekuensi berdasarkan
Ringan 8 81,2 2 18,2 11 100
Berat 5 26,36 14 73,7 19 100 0,01
pekerjaan responden menunjukan dari 30
Total 14 46,7 16 5,33 30 100

responden ditemukan frekuensi pekerjaan

Sumber Data Primer 2014

Pada laki-laki, penyakit ini lebih tinggi

Karakteristik Responden berhubungan dengan gaya hidup yang

Berdasarkan hasil penelitian yang mengkonsumsi rokok dan minuman alkohol

dilakukan menguakan koesioner kebiasaan yang dapat menurunkan sistem pertahanan

meokok di temukan bahwa dari 30 tubuh. Sehingga, perokok dan peminum

responden di dapati jumlah tertinggi yaitu alkohol di sebut sebagai agen dari penyakit

responden yang berusia produktif berusia tuberkulosis. Hasil penelitian ini didukung

31-40 tahun sebanyak 9 responden oleh penelitian yang dilakukan oleh

(30,0%). Kurniasari dkk (2007) tentang Faktor resiko

Hasil penelitian tersebut serupa Kejadian Tuberkulosis paru dikecamatan

dengan hasil Penelitian yang dilakukan Bauretno Kabupaten Worongiri berdasarkan

oleh Wadjah (2014), tentang Gambaran hasil penelitian gambaran karakteristik

karakteristik penderita tuberculosis paru di responden dengan jenis kelamin laki-laki

wilayah kerja puskesmas pagimana lebih banyak dari pada permpuan dengan

kecamatan Pagima Kabupaten Banggai presentasi jenis kelamin laki-laki sebanyak

menunjukan bahwa dari 188 responden 58,8%.


95
ditemukan responden tertinggi berada
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

terbanyak yaitu petani 14 responden penelitian yang serupa ditemukan oleh

(46,7%). Pekerja yang bekerja Misnadiarly dan Sunarwo (2009) tentang

dilingkungan berdebu paparan partikel Tuberkulosis paru dan analisis faktor-

didaerah berdebu akan mempengaruhi faktor tingginya angka kejadiannya di

terjadinya gangguan disistem Indonesia tahun 2007 bahwa tingkat

pernafasan, paparan kronis udara yang pendidikan memiliki peranan pada

tercemar dapat meningkatkan kejadian TB paru, tingkat pendidikan yang

morbiditas, terutama terjadinya gejala rendah beresiko 2 kali lipat dibandingkan

penyakit gangguan sistem pernafasan dengan orang yang berpendidikan tinggi

terutama penyakit TB paru (Corwin selain berpengaruh terhadap kejadian TB

2009 dalam Tresnayanti 2009). paru tingkat pendidikan juga

Berdasarkan jenis mempengaruhi keberhasilan dalam

kelamin menunjukan bahwa pengobatan TB paru.

dari 30 responden, frekuensi tertinggi

merupakan responden dengan jenis

kelamin laki-laki yaitu 27 responden

(90,0%), sedangkan dengan jenis

kelamin perempuan yaitu 3 responden

(10,0%). Hasil penelitian menunjukan

bahwa Kejadian TB paru berpeluang

lebih besar diderita oleh laki- laki dari

pada perempuan

Berdasarkan distribusi frekuensi

pendidikan menunjukan dari 30

responden menunjukan data yang

responden dengan tingkat pendidikan

SMP yaitu 11 responden (36,7%). Hasil


96
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Hubungan Antara Kebiasaan Meokok oleh perokok pasif, lebih berbahaya

Dengan Kejadian Tubekulosis Paru mengandung 5 kali lebih banyak

Berdasarkan hasil penelitian yang mengandung karbon monoksida dan empat

dilakukan dengan Uji statistik kali lebih banyak mengandung tar dan

menggunakan chi square penelitian nikotin (Wardoyo, 1996 dalam Jode 2011).

menggunakan tabel 2x2 yang nilai Penelitian yang dilakukan oleh

harapannnya < 5, sehingga hasil uji Soetioso, (2014) tentang kebiasaan

statistik dari penelitian ini dilihat pada merokok dengan kejadian tuberkulosis

continuity correction didapatkan hasil paru di RSUD Dr. Soewandi Surabaya

yaitu p = 0,01 yang berarti dengan nilai p dengan jumlah 31 responden dengan

lebih kecil dari nilai α = 0,05 menggunakan metode cross-sectional

Penelitian ini didukung oleh peneltian dengan teknik pengambilan sampel yaitu

yang dilakukan oleh Nurhanah dkk, (2010) consecutive sampling teqnique, dari hasil

tentang faktor-faktor yang berhubungan analisis hubungan antara kebiasaan merokok

dengan kejadian tuberkulosis paru pada dengan derajat kepositifan sputum BTA

masyarakat dipropinsi Sulawesi Selatan ditemukan tidak signifikan, sedangkan

yang menyatakan ada hubungan bermakna hubungan signifikan terdapat

antara kebiasaan merokok dengan kejadian

TB paru. Dampak buruk bagi kesehatan

khusunya paru karena rokok tidak hanya

berdampak bagi perokok namun juga bagi

orang lain yang berada dilingkungan

perokok yaitu perokok pasif yaitu mereka

yang tidak merokok tetapi sering

berkumpul dengan perokok sehingga

terpaksa harus menghirup asap rokok

(Aliman, 2011). Asap rokok yang


97
dihembuskan oleh perokok dan terhirup
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

pada analisis pemeriksaan foto toraks kejadian TB paru dipuskesmas Siloam

dengan kebiasaan merokok dan hasil Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan

analisis hubungan antara pemeriksaan Sangihe, dapat di simpulkan sebagai

foto toraks dengan derajat kepositifan berikut, Ada hubungan kebiasaan merokok

sputum BTA. dengan kejadian Tuberkulosis Paru paru di

Hasil penelitian yang dilakukan Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako..

oleh Wuaten, (2010) dalam tubuh

seorang perokok yang memiliki DAFTAR REFERENSI

frekuensi merokok setiap hari toksin dari

kandungan asap rokok lebih cepat Aliman,I.A.(2011). Jadi Benci Merokok

menumpuk di bandingkan dengan Degan Terapi Asmaul Husna.

perokok yang kadang- kadang. Jogjakarta: Laksana.

Kebiasaan merokok juga meningkatkan Amin,Z. & Bahar, A. (2009) Buku Ajar

resiko untuk terkena TB paru sebanyak Ilmu Penyakit Dalam Jilid III

2,2 kali (Sitopoe, 2008). Dalam Edisi V. Internal Publishing:

penelitian ini pada tabel risk estimate Jakarta

dapat dilihat seorang dengan kebiasaan Ahmad,Syafiq.B.T.(2010).Perilaku Siswa

merokok berpeluang 12 kali terkena TB SMP Dharma Pancasila Medan

Paru dari pada seorang yang tidak Tentang

merokok, kandungan racun yang Roko

terdapat diasap rokok di hisap setiap hari k

akan tertimbun dan tubuh sama sekali http://repository.usu.ac.id/bitstream/

tidak dapat menghilangkan pengaruh

nikotin dalam jumlah sekecil apapun

(Caldwell, 2009 dalam Wuaten, 2010).

SIMPULAN

Dari hasil penelitian mengenai


98
hubungan kebiasaan merokok dengan
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

123456789/23240/4/Chapter%20I 37/j bptunikompp-gdl-kurniaseti-

I.p df diakses : 20 oktober 2014. 31850- 10-unikom_k-2.pdf

Ardiansyah, M (2012). Medikal Bedah Fawzani,N&Triratnawati,A. (2005).

untuk Mahasiswa.Jogjakarta: DIVA Press. Terapi Berhenti

Merokok (Studi Kasus 3

Ariestiyanto,E., Untari,I. (2012). perokok

Hubungan antara jumlah Berat)http://repository.ui.ac.id/dokum

konsumsi rokok dengan en/lihat/102.pdf diakses: 5 oktober

tingka 2014.

hipertensi.http://download.portalg Hasan.H. (2010).Buku Ajar IlmuPenyakit

aru Paru.Surabaya: Departemen Ilmu

da.org/article.php?article=250098 Penyakit Paru FK. Unair-RSUD Dr.

&v Soetomo Surabaya

al=6682&title=HUBUNGAN%20

A Jode, J. (2011) Gambaran kebiasaan

NTARA%20JUMLAH%20KON merokok pada pasien-pasien

SU hipertensi yang datang berobat ke

MSI%20BATANG%20ROKOK bagian penyakit dalam rsup

%20 h. Adam malik

DENGAN%20TINGKAT%20HI medanhttp://repository.usu.ac.id/bitst

PE r

RTENSI diakses 13 februari 2015. eam/123456789/22009/4/Chapter%2

0 II.pdf diakses : 11 november 2014

Bone,S.K.(2013).Rokokdikalanganremaja.

http Kementerian Kesehatan Republik


99
://elib.unikom.ac.id/files/disk1/6 Indonesia.Riset Kesehatan Dasar
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

(RISKESDA) 2013.Jakarta :Badan Pengendalian TB di Indonesia

Penelitian dan Pengembangan. 2010- 2014 : Jakarta : Kementrian

Kesehatan Kementrian Republik Kesehatan Republik Indonesia

Indonesia.http://www.litbang.depk Rektorat Jenderal Pengendalian

es.g Penyakit

o.id/sites/download/rkd2013/Lapor dan Penyehatan

an_ Riskesdas 2013.PDF: diakses 2 Lingkungan.

oktober 2014. Karame,R. dkk (2014, 9 Oktober 2014

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Personal Interview ).

2011.Terobosan Menuju Akses

Universal Strategi Nasional Kurniawasari,R.A.S, Suhartono, Kusyogo,

C. (2012) Faktor Risiko

Kejadian Tuberkulosis

Paru di

Kecamatan Baturetno

Kabupaten

Wonorigi

http://ejournal.undip.ac.id/index.ph

p/

mkmi/article/download/5396/4835

diakses 2 februari 2015

Liauw KM & Chen CJ, (1998).Warta

Rokok & Kesehatan; Mortalitas

Akibat Merokok

Taiwan.www.klikpdpi.com/jurnal-
100
warta/rokok/rokok-kes Diakses
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

2 diakse

oktober 2014 s 14 februari 2015

Misandiarly & Sunarmo Notoatmodjo,S. (2010). Metodologi

(2009).Tuberkulosis Paru dan Penelitian Kesehatan. Jakarta :

Analisis Faktor-Faktor yang Rineka Cipta

mempengaruhi tingginya

angka kejadiannya Nurhana,Amirudin,R. Abdulah,T

di Indonesia (2010) Faktor-

Tahun faktor yang

2007.http://www.google.com/url berhubungan

?sa=t dengan kejadian tuberkulosis paru

&rct=j&q=&esrc=s&source=we pada masyarakat di propinsi

b&cd sulawesi selatan

=14&cad=rja&uact=8&ved=0C http://journal.unhas.ac.id/index.ph

DMQ p/J MKMI/article/view/1042/914

FjADOAo&url=http%3A%2F% diakses 11 februari

2Fejo 2015

urnal.litbang.depkes.go.id%2Fin

dex.p Profil Kesehatan Indonesia Tahun

hp%2FBPK%2Farticle%2Fdow 2013.Jakarta : Kementerian

nload Kesehatan RI.

%2F2194%2F1092&ei=3fHeVKv4 201

LIj 4

guQSvkoC4BQ&usg=AFQjCN http://www.depkes.go.id/resources/do

GCbZ

A5pgvVfECHDQdKN3SqFMUp
101
- w&bvm=bv.85970519,d.c2E
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

wnload/pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/profil-kesehatan-indonesia-

2013.pdfdi akses 11 november 2014

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) (2012).Merokok dan

Tuberkulosis.http://ppti.info/ArsipPPT I/PPTI-Jurnal-Maret-2012.Pdf

diakses: 5 Oktober 2014.

Price & Wilson (2006).Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Edisi 6. EGC

Kedokteran: Jakarta.

1
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

PSIK Universitas Sam Ratulangi (2013) Panduan Penulisan Tugas Akhir Proposal

Dan Skripsi

Rahayu, Lisdiawati.(2010). Waspada Wabah Penyakit. Bandung: Nuansa.

Wuaten, G. (2010) Hubungan kebiasaan merokok dengan penyakit TB paru

http://fkm.unsrat.ac.id/wp- content/uploads/2012/10/Grace- Wuaten.pdf

diakses 12 november 2014

Jurnal 10

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEBERSIHAN JALAN NAPAS

DENGAN FISIOTERAPI DADA PADA ANAK PNEUMONIA

Dewi Purnama Sari, Irdawati

Program Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta

Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos 1, Pabelan

Kartasura Email :

dhewipurnamasari75@gmail.com

2
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Abstrak

Pneumonia adalah suatu proses inflamasi pada alveoli paru-paru yang disebabkan

oleh mikroorganisme dan non-mikroorganisme yaitu aspirasi makanan atau isi

lambung, hirokarbon, bahan lipoid, reaksi hipersensititas, imbas obat dan

radiasi. Adapun mikroorganisme penyebab pneumonia adalah Streptococcus

pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophyllus influenzae, Mycobactrium

tuberculosis, Salmonella, Scherichiacolli, Pneumocystis jirofeci. Pneumonia

merupakan penyakit yang dapat diderita oleh semua usia baik laki-laki maupun

perempuan. Provinsi Jawa Tengah tepatnya pada Kabupaten Boyolali kasus

pneumonia memiliki jumlah penderita yang sama untuk beberapa tahun terakhir.

Salah satu masalah akibat pneumonia ini adalah adanya penumpukan sputum pada

saluran pernapasan. Beberapa gejala klinis akibat adanya penumpukan sputum ini

adalah pernapasan cuping hidung, peningkatan respiratory rate, dypsneu, timbul

suara krekels saat diauskultasi, dan kesulitan bernapas. Kesulitan bernapas akan

menghambat pemenuhan suplai oksigen sehingga suplai oksigen berkurang.

Berkurangnya suplai oksigen dalam tubuh akan membuat kematian sel,

hipoksemia dan penurunan kesadaran. Penanganan pada pasien pneumonia

dengan masalah kebersihan jalan napas bertujuan untuk membersihkan saluran

pernapasan sehingga suplai oksigen yang masuk ke dalam tubuh dapat terpenuhi

dan gangguan akibat berkurangnya suplai oksigen tidak terjadi. Metode yang

diterapkan dalam menangani gangguan kebersihan jalan napas ini sesuai dengan

asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pernapasan, salah satu

tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan untuk membersihkan saluran

pernapasan dari sputum yaitu fisioterapi dada. Setelah melakukan fisioterapi dada

pada pasien, sputum berhasil dikeluarkan dari tindakan tersebut maka dapat

3
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

disimpulkan bahwa gangguan kebersihan jalan napas pasien teratasi. Intervensi

dilanjutkan dengan menganjurkan ibu pasien untuk memberikan tindakan

fisioterapi dada pada anak secara mandiri jika anak kambuh kembali dirumah.

Kata kunci: asuhan keperawatan, kebersihan jalan napas, fisioterapi dada

4
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

EFFORTS TO MAINTAIN THE CLEANLINESS OF THE CLEANLINESS

OF THE AIRWAY WITH CHEST PHYSIOTHERAPY IN CHILDREN

PNEUMONIA

Dewi Purnama Sari, Irdawati

Program Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta

Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos 1, Pabelan

Kartasura Email :

dhewipurnamasari75@gmail.com

Abstract

Pneumonia is an inflammatory process in the alveoli of the lungs caused by

microorganisms and non- food or microorganisms that aspiration of gastric

contents, hirokarbon, lipoid material, hipersensititas reactions, drug-induced and

radiation. The microorganisms that cause pneumonia are Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus, Haemophyllus influenzae, Mycobactrium tuberculosis,

Salmonella, Scherichiacolli, Pneumocystis jirofeci. Pneumonia is a disease that can

be suffered by all ages, both men and women. Central Java Province precisely in

Boyolali case of pneumonia had the same number of patients for the last few years.

One of the problems due to pneumonia are the accumulation of sputum in the

respiratory tract. Some clinical symptoms as a result of the accumulation of sputum

5
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

are nostril breathing, increased respiratory rate, dypsneu, krekels sound occur

when auscultated, and difficulty breathing. Breathing difficulties will hamper the

fulfillment of the supply of oxygen so the oxygen supply is reduced. The reduced

supply of oxygen in the body to make cell death, hypoxemia and decreased

consciousness. Pneumonia treatment in patients with airway hygiene issues aimed

at cleansing the respiratory tract that supply oxygen into the body can be met and

disruption due to reduced oxygen supply does not occur. Methods applied in

dealing with these airway disorders cleanliness in accordance with the nursing

care of patients with respiratory disorders, one of the independent nursing actions

taken to clean up the respiratory tract of sputum that chest physiotherapy. After

doing chest physiotherapy in patients, sputum successfully removed from the

action it can be concluded that the cleanliness of the patient's airway disorders

resolved. Interventions followed by encouraging the patient's mother to give chest

physiotherapy in children independently if the child recurred at home.

Keywords: nursing care, hygiene airway, chest physiotherapy

6
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

1. PENDAHULUAN

Pneumonia adalah suatu proses inflamasi pada alveoli paru-paru

disebabkan oleh mikroorganisme dan non mikroorganisme yaitu aspirasi

makanan atau isi lambung, hidrokarbon, bahan lipoid, reaksi hipersensititas,

imbas obat dan radiasi. Adapun mikroorganisme penyebab pneumonia ialah

Streptococcus pneumoniae (paling sering), Chlamidia pneumoniae dan

Mycoplasma pneumoniae. Selain itu juga dapat disebabkan oleh Streptococcus

pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophyllus influenzae, Mycobactrium

tuberculosis, Salmonella, Scherichiacolli, Pneumocystis jirofeci. Pada bayi dan

anak umur kurang dari 5 tahun 45% dari pneumonia disebabkan oleh virus dan

yang terbanyak yaitu virus influenzae dan respiratory sincitial virus, dan

penyebab yang lain ialah para influenzae virus, adeno virus, rhyno virus dan

metapneumo virus. (Widagdo, 2012)

Pada balita pneumonia ditandai dengan adanya gejala batuk dan atau

kesukaran bernapas seperti napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam (TDDK), atau gambaran radiologi foto thorax/dada menunjukkan

infiltrat paru akut sedangkan demam bukan merupakan gejala yang spesifik

pada balita. (Kementerian Kesehatan RI, 2012)

Menurut catatan rekam medis menunjukkan bahwa angka kejadian

penderita pneumonia pada tahun 2014 dan 2015 sama, dengan jumlah

penderita pneumonia sebanyak 14 orang untuk setiap tahunnya.( Rekam Medis

RSUD Pandan Arang Boyolali, 2016)

7
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kemenkes RI, tahun 2015

ini di dunia diperkirakan 5,9 juta balita meninggal dan 16% (944.000) di

antaranya karena Pneumonia. Sementara di Indonesia, hasil Sample Registration

System (SRS) tahun 2014 dinyatakan bahwa Pneumonia merupakan penyebab

kematian nomor 3 pada balita, yaitu sebesar 9,4 % dari jumlah kematian balita.

Diperkirakan 2-3 orang balita setiap jam meninggal karena Pneumonia. Jumlah

kasus Pneumonia balita yang dilaporkan pada tahun 2014 adalah 600.682 kasus

dan 32.025 di antaranya adalah Pneumonia Berat (5,3%), dari 100 balita

Pneumonia diperkirakan 3 diantaranya meninggal, sementara jika menderita

Pneumonia berat maka risiko kematian lebih besar bisa mencapai 60%

terutama pada bayi.Pada kebanyakan kasus gangguan pernafasan yang terjadi

pada anak bersifat ringan, akan tetapi sepertiga kasus mengharuskan anak

mendapatkan penanganan khusus, akibatnya anak lebih mungkin untuk

memerlukan kunjungan ke penyedia layanan kesehatan seperti pada penyakit

asma, bronchitis, pneumonia. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa

bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa

dewasa,dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic

Obstructive Pulmonary Disease.. Diperkirakan 2-3 orang balita setiap jam

meninggal karena Pneumonia. Jumlah kasus Pneumonia balita yang dilaporkan

pada tahun 2014 adalah 600.682 kasus dan 32.025 di antaranya adalah

Pneumonia Berat (5,3%), dari 100 balita Pneumonia diperkirakan 3 diantaranya

meninggal, sementara jika menderita Pneumonia berat maka risiko kematian

lebih besar bisa mencapai 60% terutama pada bayi. Pada kebanyakan kasus

gangguan pernafasan yang terjadi pada anak bersifat ringan, akan tetapi

8
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

sepertiga kasus mengharuskan anak mendapatkan penanganan khusus,

akibatnya anak lebih mungkin untuk memerlukan kunjungan ke penyedia

layanan kesehatan seperti pada penyakit asma, bronchitis, pneumonia.

Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat

pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa,dimana ditemukan adanya

hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary

Disease.(Maidarti, 2014)

Anak dengan pneumonia akan mengalami gangguan pernapasan yang

disebabkan karena

adanya inflamasi dialveoli paru-paru. Infeksi ini akan menimbulkan peningkatan

produksi sputum yang akan menyebabkan gangguan kebersihan jalan napas,

pernapasan cuping hidung, dypsneu dan suara krekels saat diauskultasi. Apabila

kebersihan jalan napas ini terganggu maka menghambat pemenuhan suplai

oksigen ke otak dan sel-sel diseluruh tubuh, jika dibiarkan dalam waktu yang

lama keadaan ini akan menyebabkan hipoksemia lalu terus berkembang

menjadi hipoksia berat,

9
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

dan penurunan kesadaran.Dari tanda klinisyang muncul pada pasien dengan

pneumoniamaka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan yaitu

ketidakefektifan kebersihan jalan napas berhubungan dengan adanya

penumpukan sputum. Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi

masalah ini adalah fisioterapi dada, sehingga penulis mengambil judul “Upaya

Mempertahankan Kebersihan Jalan Napas dengan Fisioterapi Dada pada Anak

Pneumonia”.

2. METODE

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi

kasus yang dilakukan di RSUD Pandan Arang Boyolali Bangsal Edelwis. Data

dikumpulkan dari hasil observasi pada pasien, wawancara dengan pasien dan ibu

pasien, selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan cara melihat buku

status pasien, rekam medik, dan catatan laboratorium. Studi kasus ini pertama

kali dilakukan dengan cara melakukan pengkajian untuk mendapatkan data-data

pasien secara menyeluruh. Kemudian menentukan masalah yang terjadi pada

pasien, menentukan tindakan keperawatan dan melakukan implementasi

keperawatan yang sesuai dengan masalah yang muncul serta melakukan evaluasi

dari implementasi yang dilakukan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Hasil

Pengkajian dilakukan pada tanggal 28 Maret 2016 pukul 08.00 WIB di

10
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

bangsal Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali dengan pasien Anak A usia

19 bulan, anak kedua dari 2 bersaudara, alamat Sopaten Boyolali, Agama

Islam, anak belum bersekolah, nomor rekam medik 1051330. Penanggung

jawab Nyonya M, usia 28 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, agama islam,

suku jawa, alamat Sopaten Boyolali, hubungan dengan pasien adalah ibu.

Datang ke RSUD Pandan Arang Boyolali dengan keluhan utama sesak

napas.

Riwayat kesehatan sekarang: berdasarkan keterangan dari ibu pasien,

pada hari Senin 21 Maret 2016 sekitar pukul 23.05 WIB suhu tubuh pasien

mulai naik disertai batuk berdahak, pilek dan muntah. Pada hari Jum’at 25

Maret 2016 pukul 08.00 WIB pasien dibawa ke IGD puskesmas. Di IGD

pasien diberi obat paracetamol untuk menurunkan panas dan obat pereda

batuk tetapi ibu pasien lupa namanya. Pada hari Minggu 27 maret 2016 pukul

23.00 WIB suhu tubuh pasien mulai naik kembali, akhirnya pada hari Senin,

28 maret 2016 pukul 10.00 wib pasien dibawa ke IGD RSPA Boyolali. Di

IGD pasien mendapat infus d ½ Ns 10 tetes per menit, injeksi antrain 3x8

mg, injeksi cefotaxim 3x 160 mg, dan sirup ambroxol 3 kali sehari sebanyak

1 sendok teh. Riwayat kesehatan dahulu: Ibu pasien mengatakan bahwa

pasienmengalami batuk dan pilek dan pasien belum pernah dirawat di rumah

sakit. Ibu pasien mengatakan bahwa dikeluarga tidak ada penyakit

keturunan.

Pengkajian menurut pola fungsional Gordon yaitu: 1) pola persepsi

dan menejemen kesehatan: Ibu pasien mengatakan bahwa di keluarganya

kesehatan adalah hal yang paling penting dan utama sehingga jika anak sakit

ibu langsung berusaha memberikan pertolongan atau pengobatan kepada

11
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

anaknya. 2) Pola nutrisi dan cairan. Sebelum sakit: ibu pasien mengatakan

sebelum sakit klien makan 3 kali sehari dengan lauk, sayur dan nasi, selain

itu pasien makan biskuit atau makanan selingan lainnya, seperti agar-agar.

Pasien minum ± 1500 ml per hari. Selama sakit: ibu pasien mengatakan

pasien sulit makan, makan sedikit sekali, pasien hanya mau minum saja baik

air putih, susu, maupun teh, ± 2000 ml per hari. 3) Pola eliminasi. Sebelum

sakit: ibu pasien mengatakan klien BAK 4-5 kali perhari dengan jumlah

keluaran ±1200cc, urin berwarna jernih dan berbau khas. Pasien BAB 1-2

kali per hari, feses berwarna kuning, konsistensi lembek dan berbau khas

amoniak. Selama sakit: ibu klien mengatakan klien BAK 5-6 kali per hari,

urin berwarna jernih dan berbau khas dengan jumlah keluaran ± 1400cc.

Klien BAB 1-2 kali perhari, feses berwarna kuning, konsistensi encer dan

berbau khas amoniak. 4) Pola aktivitas dan lataihan. Sebelum sakit: ibu

pasien mengatakan

12
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

anaknya aktif bermain. Selama sakit: ibu pasien mengatakan pasien hanya

diam diatas bed. 5) Pola istirahat dan tidur. Sebelum sakit: ibu pasien

mengatakan pasien biasa tidur siang 1-2 jam. Pada malam hari pasien

biasanya tidur pukul 21.00 WIB lalu bangun pukul 06.00 WIB. Pasien tidur

dengan pulas hanya terbangun untuk minum atau BAK. Selama sakit: ibu

pasien mengatakan pasien pasien sulit tidur di siang hari, terkadang pasien

tidur terkadang tidak karena terganggu dengan batuknya dan suasana yang

kurang nyaman. Pada saat malam pasien tidur pukul 21.00 WIB dan bangun

pukul 05.30 WIB, namun pasien sering terbangun, tidur pasien kurang pulas

dan sering terganggu oleh batuk serta suasana kamar rumah sakit yang

kurang nyaman. 6) Pola koognitif. Sebelum sakit: ibu pasien mengatakan

pasien biasanya mudah diajari hal baru. Selama sakit: ibu klien mengatakan

pasien lebih sering diam dan jika diajari hal baru pasien tetap diam. 7) Pola

persepsi dan konsep diri: pasien mengatakan dirinya ingin segera sembuh dan

pulang. 8) Pola peran dan hubungan: pasien merupakan anak perempuan,

anak kedua dari dua bersaudara, pasien berinteraksi dengan ibu, bapak dan

kakaknya, bila meminta sesuatu dan tidak diberikan, pasien menangis. 9)

Pola koping dan stress: bila pasien merasa sakit, pasien menunjuk bagian

yang sakit lalu berbicara kurang jelas, berteriak dan menangis. 10) Pola

seksual: pasien merupakan anak perempuan. 11) Pola nilai dan keyakinan:

pasien beragama islam, terlahir dari kedua orang tua yang beragama islam.

Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 28 Maret 2016 ,

pukul 10.00 WIB,

13
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6, suhu tubuh pasien 38o c,

respirasi rate 47 kali per menit, nadi 120 kali per menit, berat badan 7,6 kg,

tinggi badan 60 cm, mata tidak anemis, mukosa bibir lembab, ada

penumpukan sputum pada hidung, ada retriksi dinding dada saat bernapas,

terdengar suara krekels pada saat dilakukan auskuktasi, tidak ada gangguan

pergerakan pada kaki maupun tangan, terpasang infus d 0,5 ns 10 tpm pada

tangan kiri..

Pemeriksaan penunjang pada tanggal 28 Maret 2016 adalah

pemeriksaan darah lengkap 11,8 g/ dl (11,5-13,5). Lekosit 7750 u/L (6000-

17000). Eosinofil 0,40 L % (1-3), Basofil 0,40 %

(0-1), Neutrofil segmen 29,50 L (50-70). Limfosit 56,80 % (20-40). monosit

12,90 % (2-8).

Hematokrit 35,4 % (34-40). Trombosit 141 g/ dl (150-450). Eritrosit 4,65

10^3/uL (3,9-5,9).

MCV 76,1 L 10^6/ ul. MCH 25,4 fL (27-72). MCHC 33,3 pg (37-36). RDW

14,2 g/dl.

Terapi pada tanggal 28-30 Maret 2016 pasien mendapat terapi injeksi

antrain 3 x 80 mg/12 jam, cefotaxim 3 x 200 g/ 8 jam, MP 3 X 8 mg/ 8 jam,

obat oral : Ambroxol sirup 3 x sehari 1 sendok teh, nebu combiven ½ A +

NaCl/ 8 jam.

Berdasarkan hasil pengkajian tersebut diperoleh data subyektif: Ibu

Anak A mengatakan bahwa pasien sesak napas, pernapasan pasien cepat,

bernapas dengan mulut, pasien batuk berdahak, pilek, mual, sulit makan,

porsi makan anak jarang habis dan selalu minum. Data obyektif: pasien

terlihat bernapas dengan cuping hidung, terlihat batuk berdahak dan pilek, saat

14
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

diauskultasi terdengar suara krekels pada kedua dinding dada, respiratory rate

pasien 47 kali per menit, suhu tubuh pasien 380C, porsi makan tidak habis,

selera makan pasien menurun serta BB turun dari 7,6 kg menjadi 7,2 kg.

Diagnosa keperawatan yang muncul dari data diatas adalah 1)

ketidakefektifan kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan

sputum dijalan napas. 2) ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan

penumpukan sputum dijalan napas. 3) nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan anoreksia.

Dari ketiga diagnosa yang muncul penulis memprioritaskan pada satu

diagnosa yaitu ketidakefektifan kebersihan jalan napas berhubungan dengan

penumpukan sputum dijalan napas. Diagnosa ini dipilih karena masalah

penumpukan sputum dapat mengganggu pemenuhan suplai oksigen kedalam

tubuh. Pemenuhan Kebutuhan oksigen merupakan salah satu kebutuhan

utama dalam kehidupan manusia dimana kebutuhan ini merupkan kebutuhan

fisiologis dasar yang berfungsi untuk kelangsungan hidup sel dan jaringan

serta metabolisme tubuh.

15
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Intervensi keperawatan, 1) ketidakefektifan kebersihan jalan napas

berhubungan dengan penumpukan sputum dijalan napas. NOC: Setelah

dilakukan tindakan keperawatan selam 3x24 jam diharapkan jalan napas

dapat efektif dengan kriteria hasil: a) mendemonstrasikan batuk efektif dan

suara napas bersih, tidak ada sianosis, dyspneu dan suara napas mengi,

mampu mengeluarkan sptum, mampu bernapas dengan mudah. b) menjukan

jalan napas yang paten (irama frekuensi napas dalam rentang normal, tidak

ada suara nafas abormal, napas bersih, irama frekuensi napas dalam rentang

normal, dan tidak ada suara krekels saat diauskultasi.). c) mampu

mengidentifkasikan dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan

napas. NIC: auskultasi suara napas pasien, berikan O2 nasal, monitor status

O2 pasien, indetifikasi pasien seperlunya, posisikan pasien untuk

memaksimalkan ventilasi, lakukan fisoterapi dada, berikan bronkodilatas bila

perlu, kolaborasi dengan dokter terkait pemberian terapi nebulizer, monitor

respirasi O2, berikan penjelasan pada pasien tentang cara penanganan

gangguan kebersihan jalan napas.

Implementasi pada hari pertama: mengobservasi keadaan umum

pasien, melakukan fisioterapi dada, memposisikan pasien semi fowler,

mengobservasi respirasi dan status O2 pasien, melakukan fisioterapi dada

untuk yang ke 2 kali. Respon subyektif: ibu pasien mengatakan anaknya

masih terlihat sesak napas dan bernapas dengan cepat, ibu pasien

mengatakan bersedia untuk dilakukan fisioterapi dada pada anaknya, pasien

menangis saat dilakukan fisioterapi dada, ibu pasien mengatakan bersedia

16
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

untuk memposisikan anaknya semi fowler. Respon obyektif: pasien terlihat

bernapas cepat, terdengar suara krekels saat dilakukan auskultasi pada kedua

dada pasien, respiratory rate pasien 47 kali per menit, O2 masuk 2 liter per

menit, fisioterapi dada dilakukan 2 kali selama 15 menit dan respiratory rate

pasien turun menjadi 45 kali per menit, pasien diposisikan semi fowler

dengan cara diganjal bantal pada punggungnya.

Implementasi hari kedua: mengobservasi keadaan umum pasien,

mengobservasi respirasi pasiendan status O2 pasien, melakukan fisioterapi

dada, mengajarkan ibu untuk memposisikan kepala anak lebih rendah dari

kepala dengan cara diganjal bantal pada kaki, melakukan fisioterapi dada

untuk yang ke 2 kali, melakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian

terapi nebulizer. Respon subyektif: ibu pasien mengatakan pernapasan pasien

masih cepat, ibu pasien mengatakan bersedia jika anaknya dilakukan

fisioterapi dada, pasien menangis saat dilakukan fisioterapi dada, ibu pasien

mengatakan bersedia diberikan terapi nebulizer, anak menangis saat dilakukan

terapi nebulizer. Respon obyektif: pasien terlihat lemas, klien bernapas cepat

dan ada pernaapasan cuping hidung, respiratory rate 45 kali per menit,

terdengar suara krekels saat dilakukan auskultasi pada kedua dada pasien,

O2 masuk 2 liter per menit, pasien menangis saat dilakukan fisioterapi dada,

fisioterapi dada dilakukan 2 kali selama 15 menit menit dan respiratory rate

pasien turun menjadi 43 kali per menit, pasien diposisikan semi fowler

dengan cara diganjal bantal pada punggungnya.

Implementasi hari ketiga: memposisikan pasien semi fowler,

memonitor O2 dan respiratory rate pasien, melakukan fisioterapi dada,

mengobservasi pemberian makan pada pasien, melepas selang terapi O2,

17
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

melakukan fisioterapi dada untuk yang kedua kali. Respon subyektif: Ibu

pasien mengatakan pernapasan pasien sudah tidak cepat, ibu pasien

mengatakan makan pasien sedikit dan pasien banyak minum, ibu pasien

mengatakan bersedia untuk dilakukan fisiterapi dada, ibu pasien mengatakan

bersedia jika anaknya diposisikan semi fowler, pasien menangis saat dilakukan

fisioterapi dada. Respon obyrktif: pernapasan pasien sudah tidak cepat,

pernapasan cuping hidung mulai hilang, respiratory rate 43 kali per menit,

O2 masuk 2 liter per menit, fisioterapi dada dilakukan selama 15 menit,

pasien menangis saat dilakukan fisioterapi dada, setelah dilakukan fisioterapi

dada selama 2 kali respiratory rate turun menjadi 40 kali per menit.

18
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Hasil evaluasi selama 3 hari. Hari pertama S: Ibu pasien mengatakan

pernapasan masih cepat. O: pernapasan pasien 47 kali per menit. A: masalah

belum teratasi. P: observasi respirasi pasien, observasi adanya pernapasan

cuping hidung, kolaborasi dengan dokter terkait pemberian terapi nebulizer,

ajari ibu untuk memposisikan kepala pasien lebih rendah dari kaki dengan

cara kaki diganjal bantal, lakukan fisioterapi dada. Hari kedua, S: Ibu pasien

mengatakan pernapasan tidak secepat kemarin. O: pernapasan pasien 43 kali

per menit. A: masalah teratasi sebagian. P: observasi respirasi pasien,

observasi adanya pernapasan cuping hidung, kolaboras dengan dokter terkait

pemberian terapi nebulizer, ajari ibu untuk memposisikan kepala pasien

lebih rendah dari kaki dengan cara kaki diganjal bantal, lakukan fisioterapi

dada. Hari ketiga, S:Ibu pasien mengatakan pernapasan pasien mulai

melambat. O: pernapasan pasien 40 kali per menit. A: masalah teratasi. P:

intervensi dihentikan.

b. Pembahasan

Penulis membahas masalah keperawatan ini berdasarkan pada jurnal

dan buku yang mendukung. Masalah ketidakefektifan kebersihan jalan napas

yang disebabkan karena adanya penumpukan sputum dijalan

napasmerupakan permasalahan yang harus diatasi dengan segera karena dapat

menimbulkan beberapa manifestasi klinis diantaranya pernapasan cuping

hidung, dypsneu, dan suara krekels saat diauskultasi (susilaningrum, 2013).

Kebersihan jalan napas merupakan suatu keadaan yang amat penting

19
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

bagi tubuh karena jalan napas yang bersih akan membuat pemenuhan

oksigen ke dalam tubuh adekuat. Pemenuhan Kebutuhan oksigen

merupakan salah satu kebutuhan utama dalam kehidupan manusia dimana

kebutuhan ini merupkan kebutuhan fisiologis dasar yang berfungsi untuk

kelangsungan hidup sel dan jaringan serta metabolisme tubuh. Pada Anak A

denganpneumonia terjadi gangguan kebersihan saluran pernapasan yang

menyebabkan pemenuhan kebutuhan oksigen terganggu sehingga

membutuhkan penanganan agar kebutuhan suplai oksigen yang masuk ke

dalam tubuh dapat terpenuhi.Menurutposton (dalammariyam, 2013) bahwa

pemenuhan kebutuhan oksigen sangat ditentukan oleh keadekuatan sistem

pernafaan dan sistem kardiovaskuler.

Oksigen merupakan salah satu zat sangat dibutuhkan dalam tubuh

terutama oleh sel yang digunakan untuk melakukan metabolisme. Oksigen

masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru yakni melalui proses yang disebut

dengan pernapasan. Paru dan dinding dada adalah suatu struktur yang

elastis, dalam keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru dan

dinding dada. Paru dengan mudah bergeser dengan dinding dada. Tekanan

pada ruang paru antara paru dan dinding dan dada dibawah tekanan

atmosfer. Paru teregang dan berkembang pada waktu bayi baru lahir.Pada

waktu menarik napas dalam, otot berkontraksi tetapi pengeluaran

pernapasan dalam proses yang pasif. Diagfragma menutup ketika penarikan

napas, rongga dada kembali memperbesar paru, dinding badan bergerak,

diagfragma dan tulang dada menutup ke posisi semula. Aktivitas bernapas

dalam dan volume udara bertambah.Pada waktu inspirasi udara melewati

hidung dan faring. Udara dihangatkan dan diambil uap airnya. Udara berjalan

20
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

melalui trakea, bronkus, bronkiolus, dan duktus alveolaris ke alveoli. Alveoli

dikelilingi oleh kapiler-kapiler. Terdapat kira –kira 300 juta alveoli. Luas total

dinding paru yang bersentuhan dengan kapiler-kapiler pada kedua paru kira-

kira 70 m2.

Aktivitas bernapas merupakan dasar yang meliputi gerak tulang rusuk

sewaktu bernapas dalam. Pada waktu istirahat pernapasan menjadi dangkal

akibat tekanan abdomen yang membatasi gerakan diafragma. Ada 2 proses

dalam pernapasan yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah proses aktif

kontraksi otot-otot inspirasi yang menaikan volume intratoraks. Selama

bernapas tenang tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg. Pada permulaan

inspirasi menurun sampai -6 mmHg dan paru ditarik ke arah posisi yang

lebih mengembang, di jalan udara menjadi sedikit negatif dan udara yang

mengalir ke dalam paru. Akhir inspirasi rekoil

21
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

menarik dada kembali ke posisi ekspirasi karena tekanan imbang menjadi

sedikit positif, udara mengalir ke luar dari paru. pada saat inspirasi,

pengaliran udara ke rongga pleura dan paru berhenti sebentar ketika tekanan

udara untuk memperoleh dorongan keluar pada sistem pernapasan,

sedangkan ekspirasi adalah pernapasan tenang bersifat pasif, tidak ada otot-

otot yang menurunkan volume untuk toraks berkontraksi, permulaan

ekspirasi kontraksi ini menimbulkan kerja yang menahan kekuatan rekoil dan

melambatkan ekspirasi. Inspirasi yang kuat berusaha mengurangi tekanan

intrapleura sampai serendah 30 mmHg, ini menimbulkan pengembangan

paru dengan derajat yang lebih besar. Bila ventilasi meningkat, luasnya deflasi

paru meningkat dengan kontraksi otot-otot pernapasan, yang menurunkan

volume intratoraks. (Syaifuddin, 2011)

Beberapa penyakit dapat menghambat pemenuhan suplai oksigen masuk

kedalam tubuh yang disebabkan oleh penutupan saluran pernapasan. Salah

satu penyakitnya adalah pneumonia. Penyakit pneumonia merupakan

penyakit inflamasi pada alveoli paru yang disebabkan oleh bakteri, virus,

atau organisme lain. Selain terinfeksi oleh bakteri, virus dan organisme lain

pneumonia juga bisa disebabkan oleh aspirasi makanan, hidrokarbon, bahan

lipid reaksi hipersensititas, imbas obat dan radiasi, adapun mikroorganisme

penyebab pneumonia adalah streptococcus pneumoniae,kemudian chlamidia

pneumonia dan mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pyeogenes,

Staphylococcus aureus, Haemophillus influenzae, Mycobacterium

tuberculosis, Salmonella, Echerciaa colli, Pneumocystis jiroveci. Pada anak

22
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

dengan usia dibawah 5 tahun 45 % dari pneumonia biasanya disebabkan oleh

virus yang terbanyak adalah virus influenzae dan respiratory syncitial virus,

dan penyebab yang lain ialah parainfluenza virus, adenovirus,rhinovirus, dan

metapneumo virus yang menyerang pada saluran pernafasan bawah

(widagdo, 2012), pneumonia ini juga dapat disebabkan oleh jamur

diantaranya: Aspergilus sp., Candida Albicans, Histoplasma, dan lain-lain

(Widoyono, 2012), Sedangkan Menurut Price (2006) Agen-agen mikroba

yang menyebabkan pneumonia memiliki 3 bentuk transmisi primer: (1)

aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi

pada oofaring, (2) inhalasi aerosol yang infeksius, dan (3) penyebaran

hematogen dari bagian ekstrapulmonal.

Saluran pernpasan bawah adalah salah satu saluran pernapasan yang

ada dalam tubuh.

Jalur dan struktur utama saluran pernapasan bagian bawah adalah batang

tenggorokan atau trakea dan struktur didalam paru-paru: bronkus, bronkeolus,

serta alveolus. Setelah udara yang terhirup bergerak melalui laring, maka

udara akan sampai ke trakea. Trakea adalah suatu pembuluh kaku dan

berotot, dengan panjang sekitar 4,5 inchi, dan lebar 1 inchi. Cincin tulang

rawan berbentuk c (yang melekt di dinding trakea) membuat trakea kaku

dan membuatnya bisa terbuka sanpanjang waktu. Aliran udara ke dalam dari

trakea kemudian terbagi meuju dua bronkus. Satu bronkus menuju keparu

kanan dan satu lagi keparu kiri. Bronkus juga memiliki cincin tulang rawan

berbentuk seperti trakea. Pada bagian dalam paru-paru, setiap bronkus

terbagi menjadi bronkus sekunder dan bronkus tersier, yang terus

membentuk cabang berupa jalan udara berhubungan kecil yang disebut

23
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

bronkiolus tidak ada tulang rawan didalam bronkiolus, oleh sebab itu

bronkiolus mengalami penyempitan dan penyumbatan misalnya saat

terjadinya seranga asma.Bronkiolus berakhir dikantong-kantong udara yang

disebut alveolus. Alveolus disatukan menjadi beberapa gugus membentuk

kantong-kantong alveolus.

Dipermukaan setiap alveolus, ada suatu jaringan kapiler yang

mengangkut darah yang datang dari urat darah dibagian tubuh lainnya. Disini

terjadi pertukaran gas karbondioksida dari darah ditukar dengan oksigen dari

alveolus, setelah darah dibershkan dari oksigen, maka darah akan masuk ke

jantung (yang juga terdapat didalam rongga dada), di dalam jantung, darah

akan dipompa keluar dari jaringan tubuh dan ekstremitas. Saat anda menarik

napas keluar karbondioksida dikeluarkan dari dalam tubuh (syamsudin,2013),

jika dalam saluran pernapasan tersebut terdapat penumpukan sputum akibat

adanya infeksi oleh bakteri yang menyebabkan

24
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

adanya oleh peradangan parenkim dan penumpukan sputum maka akan

membuat aliran oksigen terhambat sehingga suplai oksigen ke sel akan

terhambat. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri ataupun faktor lain pada

pneumonia akan menyebabkan adanya peradangan dan akumulasi sputum

serta peradangan disaluran napas (McPhee, 2011). Penumpukan sputum

dijalan napas ini akan menimbulkan suatu permasalahan yaitu ketidakefektifan

kebersihan jalan nafas yang dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis

diantaranya pernapasan cepat dan dangkal, takikardia (Rudolph, 2014),

pernafasan cuping hidung, dypsneu, dan suara krekels saat diauskultasi

(susilaningrum, 2013) selain itu juga beberapa hari sebelum terjadi pneumonia

anak sering mengalami infeksi sistem pernafasan berupa pilek dan batuk

kemudian suhu tubuh meningkat dengan cepat disertai dengan badan yang

menggigil, serta anak nampak gelisah. (Widagdo, 2012)

Akibat adanya penumpukan sputum ini juga akan menyebabkan suplai

oksigenke dalam tubuh berkurang. Berkurangnya suplai oksigen kedalam

tubuh ini akan menyebabkan hipoksia dan selanjutnya berkembang dengan

cepat menjadi hipoksemia berat, penurunan kesadaran dan berujung pada

kematian (Djuantoro, 2014). Salah satu tindakan keperawatan yang bisa

dilakukan. Menurut wong (dalam Maidarti, 2014) dikemukakan bahwasalah

satu tugas seorang perawat adalah bertanggung jawab terhadap melakukan

fisioterapi dada apabila tidak ada ahli terapi. Fisiotherapi dada dalam hal ini

merupakan suatu tindakan untuk membersihkan jalan napas dari sputum,

mencegah akumulasi sputum, memperbaiki saluran napas, dan membantu

25
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

ventilasi paru-paru serta mempertahankan ekspansi paru. Ada beberapa teknik

dalam fisioterapi dada yaitu postural drainage, perkusi, vibrasi dan suction

(Tohamy, 2015), namun jika alat untuk suction tidak ada maka dapat diganti

dengan batuk efektif. (Nugroho, 2011)

Tindakan fisioterapi dada ini dilakukan secara mandiri oleh penulis,

sedangkan keluarga hanya melihat dan sesekali membantu memegangi

pasien agar tenang dan tidak menangis. Penulis juga mengajarkan tindakan

keperawatan yang penulis harus dilakukan agar keluarga dapat

menerapkannya dirumah jika pasien kembali sakit ataupun jika ada anggota

keluarga lain yang mengalami gangguan kebersihan jalan napas. Sebelum

melakukan tindakan fisioterapi dada ini, ada beberapa tahap yang dilakukan

oleh penulis, seperti berkenalan, menjelaskan tujuan fisioterapi dada,

langkah-langkah yang akan dilakukan dan alat yang akan digunakan.

Penulis melakukan tindakan fisioterapi dada secara hati-hati dan

perlahan karena kekuatan kerangka tulang dan organ anak masih dalam

masa pertumbuhan. Penulis juga melakukan tindakan ini dengaan kooperatif

agar tindakan berjalan dengan lancar dan efektif. Kelancaran dan keefektifan

ini ditandai dengan anak yang kooperatif serta anak tidak menangis saat

penulis melakukan tindakan fisioterapi dada. Sebelum dilakukan fisioterapi

dada maka perawat perlu melakukan auskultasi yang berfungsi untuk

mendengarkan suara pernapasan pasien dan untuk mengetahui penumpukan

sputum pada saluran pernapasan pasien sehingga akan memudahkan perawat

ketika akan mengatur posisi klien.

Menurut Dhaenkpedro(dalam Putri, 2013) postural drainage adalah

satu teknik pengaturan posisi tubuh untuk membantu pengeluaran sputum

26
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

sehingga sputum akan berpindah dari segmen kecil ke segmen besar dengan

bantuan gravitasi dan akan memudahkan sputum di ekspectorasikan dengan

bantuan batuk. Perkusi dan vibrasi dalam tindakan fisioterapi ini berguna

untuk membuat sputum yang menempel pada saluran pernapasan sehingga

mampu lepas dan terarah keluar. Perkusi dilakukan dengan menggunakan 3

jari atau empat jari salah satu tangan yang dirapatkan jadi satu lalu menepuk

perlahan bagian dada dan punggung pasien secara perlahan dari bawah

keatas, lalu setelah itu dilanjutkan dengan vibrasi dengan menggunakan tiga

atau empat jari tadi dan digetarkan perlahan dari bagian bawah keatas.

Setelah dilakukanperkusi dan vibrasi maka yang terakhir dilakukan adalah

mengeluarkan sputum lewat batuk efektif dengan cara yaitu mencondongkan

pasien ke depan dari posisi semifowler, lalu letakkan kedua jari dibawah

procexus xipoideus dan dorong dengan jari saat

27
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

mendorong udara, lalu pasien disuruh menahan 3-5 detik kemudian

hembuskan perlahan-lahan melalui mulut. Ambil nafas kedua dan tahan lalu

suruh membatukkan dengan kuat dari dada (Nugroho, 2011) namun jika

anak belum mampu melakukan batuk efektif perawat dapat memposisikan

anak dengan posisi posterior basal segmen atau posisi kaki lebih tinggi dari

kepala dengan cara kaki diganjal dengan bantal atau alat lainnya untuk

memudahkan dahak keluar (Harden, 2009). Fisioterapi dada ini dilakukan

secara rutin selama 2 kali satu hari dan untuk satu posisi (seperti postural

drainage, perkusi, atau vibrasi) dilakukan selama 3-5 menit. (Tohamy, 2015)

Sebelum panulis melakukan tindakan fisioterapi dada ini penulis

melakukan beberapa tahapan yaitu pertama,perkenalan diri yang berguna

untuk mengingatkan kembali nama dan institusi penulis, selain itu juga

perkenalan ini bertujuan untuk membangun hubungan saling percaya dengan

pasien, selanjutnya penulis meyiapkan alat yang akan digunakan, yaitu

stetoskop, sarung tangan, tissue, dan gelas sputum yang berisi cairan

desinfektan. Setelah semua alat telah siap penulis mencuci tangan agar tidak

terjadi kontaminasi silang, kemudian menutup tirai dan pintu agar privasi

pasien terjaga. Selanjutnya penulis memakai sarung tangan dan meminta ibu

pasien untuk memposisikan pasien duduk dan sedikit menundukkan pasien

agar sputum yang di perkusi dan vibrasi dapat mengalir keluar, setelah itu

penulis mulai mengauskultasi bagian dada dan punggung pasien, saat

diauskultasi terdengar suara krekels di bagian kanan dan kiri dada dan

punggung pasien, selanjutnya penulis memberi minum kepada pasien berupa

28
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

air hangat, air hangat ini berfungsi agar sputum mencair sehingga mudah

untuk keluar. Setelah memberi minum air hangat penulis melakukan perkusi

dengan cara tangan dirapatkan dan ditelungkupkan, lalu mulai menepuk

nepuk dada secara perlahan dari bawah ke atas selama 3 menit pada satu

bagian dada dan dilanjutkan dengan melakukan vibrasi secara perlahan

dimulai dari punggung dengan arah vibrasi miring dari bawah menuju leher

selama 3 menit untuk punggung bagian kanan dan dilanjutkan dengan cara

yang sama selama 3 menit untuk punggung bagian kiri.

Setelah selesai melakukan perkusi dan vibrasi penulis memberikan perintah

agar anak batuk

untuk mengeluarkan sputum namun anak menangis dan tidak mampu

melakukannya akhirnya penulis meminta ibu untuk memposisikan kepala

anak lebih rendah dari kaki agar sputum mengalir keluar. Penulis lalu

memposisiskan gelas untuk tempat sputum tepat dibawah bibir pasien agar

saat sputum keluar sputum langsung masuk ke dalam gelas, sputum keluar

sekitar 4cc. Tindakan fisioterapi dada ini penulis lakukan 2 kali dalam

sehariyaitupada pagihari pukul

08.30 WIB dan sore haripukul 15.30 WIB, untuk satu kali tindakan penulis

melakukannya selama 15 menit , tindakan fisioterapi dada ini dimulai dari

tanggal 28 Maret 2016 sampai tanggal 30 Maret 2016. Pada hari pertama,

sebelum melakukan tindakan fisioterapi dada penulis melakukan pengecekan

respiratory rate pada pasien dengan hasil 47 kali per menit, dari hasil ini

diketahui bahwa respiratory rate pasien berada diatas normal. Pernapasan

normal anak usiausia 12 bulan sampai 5 tahun adalah 40 kali permenit.

(MTBS, 2008). Setelah melakukan tindakan fisioterapi dada 2 kalipenulis

29
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

mengecek respiratory rate pasien, respiratory rate pasien turun menjadi 45

kali per menit. Pada hari kedua setelah penulis melakukan 2 kalitindakan

fisioterapi dada respiraoty rate pasien turun dari 45 kali permenit menjadi 43

kali permenit. Pada hari ketiga penulis kembali melakukan 2 kali tindakan

fisioterapi dada, kemudian penulis mengecek respiratory rate pasien,

respiratory rate turun dari 43 kali per menit menjadi 40 kali per menit. Selain

melakukan pengecekan respiratory rate, penulis juga mengecek suara

pernafasan pasien dan pernafasan cuping hidung.Saat diauskultasi suara

krekels sudah tidak terdengar dan pernafasan cuping hidung sudah tidak ada.

Saat melakukan tindakan fisioterapi dada, ada beberapa respon yang

penulis lihat dari

pasien yaitu pasien menangis saat dilakukan tindakan fisioterapi, semua itu

karena pasien sudah takut terlebih dahulu saat melihat seragam perawat yang

berwarna putih. Penulis menilai

30
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

keberhasilan dari tindakan fisioterapi dada ini ditandai denganibu pasien

paham terhadap tindakan yang penulis lakukan dan ajarkan serta ibu pasien

kooperatif melakukan apa yang penulis anjurkan. Selain itu juga setelah

melakukan tindakan fisioterapi dada pada pasiensecara teratur kebersihan

pernafasan pasien secara signifikan mulai membaik ditandai dengan adanya

penurunan respiratory rate pasien mulai dari 47 kali permenit pada hari

pertama, berkurang menjadi 43 kali permenit pada hari kedua dan 40 kali

permenit pada hari ketiga.

4. PENUTUP

a. Kesimpulan

Penanganan kasus pada pasien pneumonia dengan masalah utama

gangguan kebersihan jalan napas akibat adanya penumpukan sputum

memerlukan penanganan segera agar jalan napas dapat kembali efektif dan

suplai oksigen yang masuk ke tubuh dapat terpenuhi. Salah satu tindakan

yang dapat digunakan adalah fisioterapi dada, selain melakukan

terapiperawat juga melakukan edukasi terhadap keluarga agar keluarga

paham dan dapat menerapkannya secara mandiri.

b. Saran

Diharapkan agar rumah sakit memberikan fasilitas pendidikan

kesehatan tentang fisioterapi dada kepada keluarga pasien dengan masalah

gangguan kebersihan jalan napas akibat penumpukan sputum sehingga

keluarga mengerti dan mampu melakukannya secara mandiri.

31
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

DAFTAR PUSTAKA

BachtiarA, Hidayah N & Ajeng A. (2015). “Pelaksanaan Pemberian Terapi

Oksigen pada Pasien

Gangguan Pernafasan”. Jurnal Keperawatan Terapan, Vol. 1 No.2, hal.48-

49

Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). (2008). Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Djuantoro Dwi. (2014). Buku Ajar Ilustrasi Patofisiologi. Tanggerang: Binarupa

Aksara

Harden Beverley, et al. (2009). “Respiratory Physiotherapy: An On-Call Survival Guide”.

London: Churchill Livingstone Elsiever

Maidarti. (2014). “Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Bersihan Jalan Napas pada

Anak Usia 1-5 Tahun yang Mengalami Gangguan Bersihan Jalan Napas di

Puskesmas Moch. Ramdhan Bandung”. Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol. 2.

No. 1. Hal.53

MarchdanteKaren J. (2014). Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Esensial, Edisi 6.

Singapura: Saunders Maryam, Rustiana Y& Wahyanti Fajar Tri. (2013). “Aplikasi

Teori Konservasi Levine pada Anak

dengan Gangguan Pmenuhan Kebutuhan Oksigenasi di Ruang Perawatan

Anak”. Jurnal Keperawatan Anak, Vol. 1. No. 2, Hal.105

McPhee Stephen J & Wiliam F G. (2011). Patofisiologis penyakit: Pengantar Menuju

Kedokteran Klinis, Edisi 5.Jakarta: EGC

32
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Nugroho YA & Kristianti EE. (2011). “Batuk Efektif dalam Pengeluaran Dahak

pada Pasien dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di Instalasi

Rehabilitai Medik Rumah Sakit Baptis Kediri”. Jurnal Stikes RS Baptis

Kediri, Vol. 4 No. 2, hal.140

Nurarif Amin Huda & Hardi Kusuma. (2015). Aplikasi Nanda NIC-NOC.

Yogyakarta: Medication Publishing

Price Sylvia A & Lorraine MWilson. (2006). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses

penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta: EGC

Putri Herdyani & Soemarno Slamet. (2013). “Perbedaan Postural Drainage dan

Latihan Batuk Efektif pada Intervensi Nebulizer terhadap Penurunan

Frekuensi Batuk pada Asma Bronkiale Anak Usia 3-5 Tahun”, Jurnal

Fisioterapi, Vol. 13 No. 1.Hal. 7

Rudolph Abraham M, Rudolph Colin D, Hoffman Julian IE. (2014). Buku Ajar

Pediatri Rudolph, Edisi 20, Volume 3. Jakarta: EGC

Susilaningrum Rekawati, Nursalam & Utami Sri. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi

dan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Syaifudin. (2011). Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untukKeperawatan &

Kebidanan, Edisi 4.

Jakarta: EGC

Syamsudin & Sesilia Andriani Keban. (2013). Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan

Saluran Pernafasan.

Jakarta: Salemba Medika

Widagdo. (2012). Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam.

Jakarta: Sugeng Seto Widoyono. (2012). Penyakit Tropis: epidemologi, penularan,

pencegahan, & pemberantasan.Yogyakarta:

33
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015

Erlangga

El-Tohamy Amira M, Darwish Ola S, Salem El-Sayed S. (2015). “Efficacy of

Selected Chest Physical Therapy on Neonates with Respiratory Distress

Syndrome”. Life Science Journal. Vol. 12 (4). Hal. 133-135

34
PERSANTUNAN

Karya tulis ilmiah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bimbingan, pengarahan serta

dukungan dari berbagai pihak sehingga mampu menghasilkan suatu pemikiran yang

diharapkan akan bermanfaat bagi petugas kesehatan dan penelitian selanjutnya.

Maka demikian dengan segala kerendahan hati dan ketulusan hati penulis ingin

menyampaikan terimakasih kepada:

1. Allah SWT, yang dengan izin-Nya penulis dapat menyelesikan karya ilmiah ini dengan

baik

2. Prof.Dr. Bambang Setiadji selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta

3. Dr. Suwaji, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta

4. Okti Sri P, S.Kep, M.Kes, selaku Kaprodi Keperawatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta

5. Irdawati, S.Kep., Ns., Msi., Med, selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan

baik

6. Arina Maliya, S.Kep., M.Si., Med selaku Pembimbing Akademik Prodi DIII

Keperawatan

7. Seluruh Staf dan Dosen Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

8. Seluruh staf dan karyawan RSUD Pandan Arang Boyolali


292
293
294

Anda mungkin juga menyukai