Relationship between Knowledge and Attitude and Patient Compliance Among Outpatient
Tuberculosis in Jakarta Province 2014
Abstrak
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium
tuberkulosis. Angka kesembuhan TB paru di daerah tertentu di Indonesia masih rendah. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan
pasien TB paru di 5 RSUD Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan
masing-masing 10 sampel di setiap RSUD Kota Jakarta. Kriteria inklusi adalah pasien dewasa TB
paru kategori I yang diobservasi selama 7-8 bulan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan
kartu rekam medik pasien, dan analisis data menggunakan uji Chi Square. Kesimpulan penelitian
menunjukkan bahwa angka kepatuhan berobat sebesar 72,7%. Tidak ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan pasien TB paru (p > 0,05).
Pulmonary TB cure rate in certain areas in Indonesia is still low.The research objective was to
determine the relationship between knowledge, attitudes and compliance outpatient pulmonary
tuberculosis in 5 regional public hospitals in Jakarta. This study used a cross-sectional design with
each of the 10 samples in each of regional public hospital in Jakarta. The inclusion criteria were
adult patients with TB category I observed during 7-8 months. Collecting data using questionnaires
and medical records of the patients, and data analysis using Chi Square test. Conclusion of the
study shows that the rate of 72,7% adherence to treatment. There is no significant relationship
between knowledge, attitudes and compliance of outpatient pulmonary tuberculosis patients (p >
0.05)
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) paru merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycrobacterium tuberkolusis pada saluran pernafasan bagian bawah. Tuberkulosis paru sampai saat
ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan secara global masih menjadi isu
kesehatan global di semua negara. Berdasarkan laporan tahunan World Health Organization (WHO)
disimpulkan bahwa ada 22 negara dengan kategori beban tinggi terhadap TB (high Burden of TBC
Number). Sebanyak 8,9 juta penderita TB dengan proporsi 80% pada 22 negara berkembang dengan
kematian 3 juta orang per tahun dan 1 orang dapat terinfeksi TB setiap detik. Indonesia sekarang
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian
Mengacu pada kondisi tersebut diperlukan adanya penanggulangan penyakit TB ini. Directly
Observed Treatment Succes Rate (DOTS) adalah strategi penyembuhan TB paru jangka pendek
dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses
penyembuhan TB paru dapat berlangsung secara cepat. Kategori kesembuhan penyakit TB yaitu
suatu kondisi dimana individu telah menunjukkan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu
indikator kesembuhan penyakit TB, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu
pentingnya pengawasan terhadap penderita TB paru agar menelan obat secara teratur sesuai
ketentuan sampai dinyatakan sembuh. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global
untuk menanggulangi TB paru, karena menghasilkan angka kesembuhan yang tinggi yaitu 95%.
Salah satu negara berkembang yang terinfeksi kasus TB adalah Indonesia. Indonesia
menempati peringkat ketiga jumlah penderita TB di dunia, setelah India (1.762.000) dan China
(1.459.000). Depkes RI memperkirakan bahwa setiap tahunnya terdapat 528.000 kasus baru TB di
Indonesia. Perkiraan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tersebut mengacu pada
hasil survei dari seluruh rumah sakit (RS) yang menyatakan bahwa 220.000 orang pasien penderita
TB baru per tahun atau 500 orang penderita per hari, inilah yang membuat Indonesia menduduki
peringkat 3 di dunia dalam jumlah penderita TB. Secara umum dapat disimpulkan bahwa setiap hari
20.000 orang jatuh sakit TB, setiap jam 833 orang jatuh sakit TB, setiap menit 13 orang jatuh sakit
TB, setiap 5 detik satu orang jatuh sakit TB, setiap hari 5.000 orang meninggal akibat TB, setiap jam
208 orang meninggal akibat TB, setiap menit 3 orang meninggal akibat TB, setiap 20 detik 1 orang
Paru yang pernah diderita oleh penduduk sebesar 2.728 per 100.000 penduduk dengan distribusi
yang hampir sama dengan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan.
Berdasarkan kuesioner persentase penderita TB paru lebih banyak didiagnosa di puskesmas (36,2%)
dan RS pemerintah (33,9%) dibandingkan dengan RS swasta (11,0%) dan balai pengobatan/
klinik/praktik dokter (18,9%). Sedangkan untuk pengobatan OAT, fasilitas yang paling banyak
swasta (7,9%) dan di balai pengobatan/klinik/ praktik dokter (19,4%). Persentase penderita TB
yang telah menyelesaikan pengobatan OAT sebanyak 59,0%, sebanyak 19,3% berobat tidak
lengkap (< 5 bulan) dan tidak minum obat 2,6%.5 Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit dengan
risiko penularan yang tinggi. Salah satu penentu keberhasilan penatalaksanaan terapi tuberkulosis
kekambuhan, sehingga muncul resistensi dan penularan penyakit terus menerus. Hal ini dapat
meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada
menyebabkan angka kesembuhan penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan
meningkat serta yang lebih fatal adalah terjadinya resisten kuman terhadap beberapa obat
anti tuberkulosis atau multi drug resistence, sehingga penyakit tuberculosis paru sangat sulit
disembuhkan.
Menurut penelitian Bagiada, dkk ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kepatuhan seseorang untuk meminum obat, yaitu antara lain usia, pekerjaan, waktu luang,
pengawasan, jenis obat, dosis obat, dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengetahuan dan sikap
sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Disebutkan dalam Green L,bahwa kualitas
hidup seseorang dapat dipengaruhi oleh kesehatannya, sedangkan kesehatan dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu predisposing factors (pengetahuan, sikap dan kepercayaan terhadap apa yang
dilakukan, serta beberapa faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan,
status sosial dan ekonomi), enabling factor (ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan), dan
reinforcing factor (dukungan dari lingkungan sosialnya). Dimana ketiga faktor tersebut secara
bersamaan mempengaruhi perilaku. Kepatuhan minum obat termasuk dalam perilaku kesehatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis hubungan
antara kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan pasien tentang TB
paru. Juga ingin membuktikan hubungan antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan
Metode
Penelitian ini adalah penelitian observasional menggunakan rancangan penelitian potong lintang
(cross sectional). Populasi penelitian adalah semua pasien TB baru yang berobat ke RSUD di
Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien dewasa TB kategori I yang akan diobservasi
pengobatannya selama 6-8 bulan dengan jumlah 10 orang setiap RSUD di masing-masing wilayah
Jakarta. Penelitian berlangsung di 5 RSUD di Jakarta mulai bulan Februari - November 2014.
Jumlah sampel penelitian dihitung dengan rumus potong lintang menggunakan derajat kepercayaan
95%, presisi 10% dan prevalensi ketidakpatuhan = 19,3% diperlukan jumlah sampel sebanyak = 58
orang dan dibulatkan menjadi 60 orang. Jumlah sampel yang dapat dianalisis dalam penelitian ini
adalah yang lengkap memiliki seluruh variabel analisis, yaitu sejumlah 33 responden.
n = Z2 1-α/2 P (1-P)
d2
Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. Alat pengumpul data
menggunakan kuesioner terstruktur yang telah dilakukan uji validitas sebelumnya. Pengumpulan
data dilakukan dengan kunjungan ke RSUD untuk mendapatkan pasien yang didiagnosis positif
menderita TB paru dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Variabel terikat dalam penelitian
waktu dan teratur minimal selama 6 bulan. Variabel bebas adalah pengetahuan, sikap, usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan serta kepemilikan asuransi. Pasien dikategorikan tahu jika nilai
pengetahuannya lebih dari nilai rata- rata. Dan pasien dikategorikan bersikap positif jika nilai
Hasil
Sebagian besar responden adalah laki-laki, berusia 18-35 tahun dan tingkat pendidikannya
tamat SLTA. Pada saat masa pengobatan, responden yang masih bekerja sedikit lebih banyak
daripada yang tidak bekerja. Sebagian besar responden termasuk dalam kepesertaan asuransi dan
Responden yang memiliki pengetahuan cukup tentang TB sedikit lebih banyak daripada
responden yang kurang pengetahuannya. Hal ini berbeda dengan sikap responden terhadap
penyakit TB, yaitu sudah lebih dari setengah responden (63,6%) yang memiliki sikap positif
terhadap penyakit TB. Selama masa penelitian diperoleh angka responden yang patuh dalam masa
pengobatan yaitu sebesar 72,7%. Sejumlah 27,3% responden tidak patuh termasuk di dalamnya
adalah yang tidak rutin setiap bulan datang berobat ataupun yang tidak sampai minimal 6 bulan
berobat.
Tingkat kepatuhan berobat diantara semua golongan umur responden hampir sama. Hal yang
sama juga terlihat pada kelompok responden yang bekerja maupun yang tidak bekerja, hampir sama
persentase responden yang patuh dalam pengobatan. Begitu pula dengan sikap responden terhadap
penyakit TB yang hampir sama antara responden yang memiliki sikap positif dan yang negatif. Dari
Tabel 3 diketahui lebih banyak perempuan yang tidak patuh dalam proses pengobatannya. Hal yang
sama juga tampak pada kelompok responden yang tidak ikut asuransi lebih banyak yang tidak
patuh. Namun demikian hubungan tersebut tidak signifikan (p > 0,05). Responden dengan
pengetahuan cukup memiliki tingkat kepatuhan yang lebih besar daripada responden dengan
pengetahuan kurang. Namun tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan dan kepatuhan
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden adalah laki-laki dan masih bekerja. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Widayati N dan Ulfania N menyatakan bahwa persentase terbesar pasien TB
jenis kelamin laki- laki dan bekerja. Namun dalam hal karakteristik pendidikan, berbeda dengan hasil
Widayati yang menunjukkan sebagian besar pasien pendidikan tidak tamat SLTP. Hasil penelitian
menunjukkan pengetahuan pasien tentang TB sebagian besar sudah di atas rata-rata. Hal ini berbeda
dengan hasil Manalu HSP dan Sukana B14 menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang
pengobatan, pencegahan TB paru masih kurang. Hal ini dapat terjadi karena semakin tahun media
pembelajaran bagi masyarakat tentang penyakit semakin luas. Demikian pada sikap pasien tentang
penyakit TB paru yang sudah di atas rata- rata. Hasil ini juga berbeda dengan hasil Manalu HSP. Hal
ini dapat terjadi karena pengetahuan pasien sudah lebih baik, sehingga sikap mereka pun sesuai
Karakteristik Pasien N %
Kelompok umur
18 – 35 tahun 17 51,5
36 – 50 tahun 9 27,3
Lebih 50 tahun 7 21,2
Jenis kelamin
Laki-laki 22 66,7
Perempuan 11 33,3
Pendidikan
Tamat SD 10 30,3
Tamat SLTP 6 18,2
Tamat SLTA 17 51,5
Pekerjaan
Bekerja 18 54,5
Tidak Bekerja 15 45,5
Keikutsertaan Asuransi
Ikut 28 84,8
Tidak Ikut 5 2
Variabel N %
Pengetahuan TBC
Cukup 17 51,5
Kurang 16 48,5
Sikap terhadap TBC
Positif 21 63,6
Negatif 12 36,4
Kepatuhan Berobat
Patuh 24 72,7
Tidak patuh 9 27,3
Penelitian menunjukkan hubungan yang tidak bermakna umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan dengan kepatuhan berobat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sitanggang DR yang
menunjukkan hasil yang tidak bermakna juga. Faktor pengetahuan dan sikap pasien juga tidak
berhubungan dengan kepatuhan berobat. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sitanggang DR yang
mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan, sikap dan
kepatuhan berobat. Juga berbeda dengan hasil penelitian Octaria Y dan Sibuea S16 menunjukkan
bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan pengobatan tahap awal (α =
0,05; p-value= 0,03), tetapi tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan kepatuhan pengobatan
tahap awal (α = 0,05; p-value=0,169). Hasil penelitian Dhewi GI, dkk juga menunjukkan ada
hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat TB Paru dengan nilai p =
0,000. Ada hubungan bermakna antara sikap dengan kepatuhan minum obat TB Paru dengan nilai p =
0,001. Hasil penelitian Apriani RM, dkk menunjukkan faktor pengetahuan pasien tentang penyakit
berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan obat TB pada pasien rawat jalan di Poli Paru Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Nganjuk. Faktor persepsi pasien tentang penyakitnya berpengaruh
terhadap kepatuhan penggunaan obat TB pada pasien rawat jalan di Poli Paru RSUD Kabupaten
Nganjuk. Faktor sikap pasien tentang pengobatan yang dijalaninya tidak berpengaruh terhadap
kepatuhan penggunaan obat TB pada pasien rawat jalan di Poli Paru RSUD Kabupaten Nganjuk.
Distribusi frekuensi untuk kepatuhan penggunaan obat TB adalah 85% responden untuk kategori
sangat tinggi, dan 15% responden untuk kategori tinggi. Hasil berbeda juga dengan penelitian Junita
F, menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan dan sikap dengan
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Kecamatan
Terkait dengan kepatuhan berobat jalan, dimungkinkan beberapa hal yang mempengaruhinya,
dimana faktor tersebut tidak terdapat dalam penelitian ini, seperti peran PMO dan keluarga. Seperti
penelitian Muniroh N, dkk menyatakan pada umumnya kegagalan pengobatan disebabkan oleh karena
pengobatan yang terlalu singkat, pengobatan yang tidak teratur dan obat kombinasi yang jelek.
Kepatuhan memiliki pengaruh yang besar terhadap kesembuhan. Kepatuhan minum obat di wilayah
Puskesmas Mangkang sudah sangat baik, hal ini dikarenakan petugas puskesmas selalu memberikan
penyuluhan mengenai keteraturan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Hal ini dibuktikan dengan
pada penderita sembuh yang patuh minum obat sebanyak 84,2%, sedangkan yang tidak patuh sebanyak
18,2%. Menurut penelitian Ichlas R ada hubungan antara peran Pengawas Minum Obat (PMO) dengan
kesembuhan penderita TB berdasarkan uji Fisher’s exact yang memilki nilai p 0,002. Sebagian besar
peran PMO dilakukan oleh istri dari responden. Dukungan istri adalah dorongan, motivasi terhadap
suami baik secara moral maupun material. Dengan dukungan orang terdekat (istri) akan memberikan
cinta dan perasaan berbagai beban, kemampuan berbicara kepada seseorang dan mengekspresikan
perasaan secara terbuka dapat membantu dalam menghadapi permasalahan yang sedang terjadi.
Seorang istri lebih memilki keterlibatan emosi yang mendalam untuk mengingatkan suaminya dalam
menelan obat.
Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan cakupan penggunaan OAT berupa FDC (Fixed Dose
Combination) dan Kombipak sebesar 83,2%. Persentase penderita TB yang telah menyelesaikan
pengobatan OAT sebanyak 59,0%, sebanyak 19,3% berobat tidak lengkap (< 5 bulan) dan tidak minum
obat 2,6%. Beberapa upaya yang dilakukan oleh suspek TB untuk mengatasi gejala TB paru adalah
tetap meneruskan kembali ke tenaga kesehatan (32,2%), pengobatan program TB (11,1%), beli obat di
apotek/toko obat (31,9%), minum obat herbal/tradisional (7,8%) dan tidak diobati (16,9%). Persentase
suspek TB berdasarkan alasannya tidak ke faskes yang paling besar dapat diobati dan sembuh sendiri
(38,2%), tidak ada biaya (26,4%), anggapan penyakit tidak berat (16,3%), akses ke faskes sulit (4,4%),
Hasil penelitian Nugroho RA menyimpulkan faktor yang melatarbelakangi drop out adalah lama
pengobatan melewati tahap intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa sembuh, pembiyaan
pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak mengetahui tentang tahapan pengobatan, tidak
adanya Pengawas Minum Obat, adanya kesulitan transportasi menuju poliklinik, adanya efek
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan bahwa angka kepatuhan
berobat jalan pasien TB paru di RSUD sebesar 72,7%. Hubungan antara kelompok umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan pasien tentang TB tidak bermakna. Hubungan
antara pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat jalan pasien juga tidak bermakna.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan kepada petugas kesehatan yang ada di RSUD di
Jakarta agar lebih ditingkatkan lagi dalam pengawasan serta memberikan pengetahuan kepada
pasien dan keluarga melalui penyuluhan tentang penyakit TB paru dan pengobatan TB paru agar
penderita TB paru dan keluarga mengetahui resiko-resiko apabila tidak melakukan pengobatan
sampai tuntas.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktur RSUD
Tarakan Jakarta Pusat, Direktur RSUD Budhi Asih Jakarta Timur, Direktur RSUD Pasar Rebo Jakarta
Timur, Direktur RSUD Koja Jakarta Utara dan Direktur RSUD Cengkareng Jakarta Barat atas
terlaksananya penelitian ini. Kepala Pusat Teknologi dan Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan
Litbangkes yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana kepada penelitian ini dan semua
responden dalam penelitian ini serta semua pihak yang telah membantu langsung maupun tidak
langsung.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Guidelines for treatment of Tuberculosis. Fourth edition, Geneva:
WHO; 2010.
2. Direktorat Jenderal P2M dan PLP. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010- 2014.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010.
6. World Health Organization. Global Tuberculosis report 2013. France : World Health
Organization; 2013.
8. Bagiada IM, Primasari NLP. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita
Tuberculosis dalam berobat di Poliklinik DOTS RSUP Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam
2010;11:158-63.
10. Green L. Health education planning a diagnostic approach. Baltimore: The John Hopkins
11. Widagdo W. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita mengenai
12. Widayati N, Ulfania N. Studi deskriptif faktor- faktor penyebab default pada penderita TB paru
Program Directly Observed Treadment Short- Course (DOTS) di RSUD Batang tahun 2012.
2013.
13. Manalu HSP, Sukana B. Aspek pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat kaitannya dengan
14. Sitanggang DR. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien TB
Paru di Poliklinik Paru RS Bhayangkara TK. I R. Said Sukanto Kramat Jati - Jakarta Timur
2012. [Skripsi]. Jakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
15. Octaria Y, Sibuea S. Faktor-faktor yang berhubungan terhadap kepatuhan ibu/bapak dalam
pengobatan Tuberkulosis anak di Poli Anak Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung.
16. Dhewi GI, Armiyati Y, Supriyono M. Hubungan antara pengetahuan, sikap pasien dan
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien Tb paru di BKPM Pati.
17. Apriani RM, Fasich, Athijah U. Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
penggunaan obat anti Tuberkulosis Empat FDC (Fixed Dose Combination). Majalah Farmasi
18. Junita F. Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberculosis pada Pasien Tuberculosis Paru di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Tahun 2012.
Laporan Penelitian Program Studi DIII Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Medistra
penyakit Tuberculosis (TBC) paru di wilayah kerja Puskesmas Mangkang Semarang Barat.
20. Rachmat, Ichlas. B. (2010). Hubungan Penerapan Strategi DOTS Terhadap Keberhasilan Terapi
21. Nugroho RA. Studi kualitatif faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan Tuberkulosis
paru. [Skripsi]. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan,
Universitas Negeri Semarang. 2011;7(1). Diakses dari: http://journal.unnes. ac.id/
index.php/kemas.
JURNAL 2
*Yuningsih
5462852
Email : yuningsih24@yahoo.com
Abstrak
Di Indonesia kasus efusi pleura disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Tujuan umum penelitian
ini terindentifikasi pengaruh nafas dalam terhadap saturasi oksigen pada klien terpasang
WSD di RSU Kab.Tangerang. Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan
rancangan penelitian yang digunakan pretest dan postest kelompok tunggal. Pada rancangan
ini pengaruh efek atau treatmen diputuskan berdasarkan perbedaan antara pretest dan postest.
Sampel yang digunakan sebanyak 20 orang. Menggunakan analisa data univariat dan
bivariat. Hasil penelitian : Usia terbanyak pada responden dewasa pertengahan, klien bekerja,
Jenis kelamin terbanyak: laki – laki, Pendidikan : SMA. Lamanya penyakit : 1- 3 bulan.
Rata-rata saturasi oksigen sebelum dilakukan nafas dalam pada pagi hari: 96,65 sedangkan
setelah dilakukan nafas dalam pada siang hari : 97,62 dengan P value : 0,000 (P < 0,05)
terdapat perbedaan yang signifikan saturasi oksigen antara sebelum dan setelah dilakukan
nafas dalam. Variabel confounding tidak berpengaruh terhadap saturasi oksigen. Saran untuk
perawat di ruang penyakit dalam : memberikan tindakan mandiri berupa nafas dalam agar
PENDAHULUAN
Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2011 memperkirakan jumlah kasus efusi pleura di seluruh
dunia cukup tinggi menduduki urutan ke tiga setelah Ca paru. Efusi pleura disebabkan oleh
infeksi tuberkulosis. Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada pleura (Sumantri, 2008).
Terjadi apabila produksi meningkat minimal 30 kali normal atau adanya gangguan pada
absorbsinya (Hariadi, 2010). Cairan pleura berupa eksudat, transudat dan chylus. Pada cairan
pleura eksudat protein rasionya >0,60. Sedangkan chylus warnanya putih seperti susu dan
mengandung lemak. Eksudat disebabkan oleh karena adanya kerusakan pada capillary bed di
paru, pleura dan jaringan sekitarnya. Transudat disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang
meningkat atau tekanan osmotik yang menurun. Sedangkan pada absorbsi terhambat
disebabkan adanya gangguan kemampuan kontraksi saluran lymphe, infiltrasi pada kelenjar
getah bening dan kenaikan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran lymphe. Adapun
ketidaknyamanan serta dispnea. Jika torakosentesis tidak berhasil maka dilakukan Water Seal
Drainage (WSD).
Berdasarkan hasil laporan dari ruang Cempaka RSUD Tangerang, pada bulan November dan
Desember 2014, efusi pleura menduduki peringkat ke sembilan dari 10 penyakit terbanyak
yang dirawat di ruang tersebut. Sedangkan jumlah klien yang terpasang WSD adalah 39
orang pada tahun 2014 di RSUD Kabupaten Tangerang merupakan rumah sakit tipe B, rumah
sakit pendidikan yang berada di wilayah kabupaten Tangerang. Perawat di ruangan tersebut
sudah melaksanakan perawatan WSD sesuai dengan teori seperti memberikan posisi,
mempertahankan kepatenan sistem drainage, memantau drainage, dan water seal (segel air).
Namun untuk perawatan yang mandiri seperti menganjurkan klien tarik nafas dalam belum
analisa gas darah apabila klien terasa sesak dan kondisi yang memburuk. Untuk itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian sejauh mana pengaruh nafas dalam terhadap saturasi
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen dengan pendekatan pretest dan post test
desain. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 responden pada klien
HASIL PENELITIAN
Tabel 1.
2015 ( n = 20)
1 Umur
: 18 – 5 25.0
39 15 75.0
40 - 59
2 Status
Pekerjaa 17 85
n 3 15
Bekerja
Tidak bekerja
3 Jenis kelamin
: Laki – laki 16 80
Perempuan 4 20
4 Pendidikan
: SMP 7 35
SMA 13 65
5 Lamanya
penyakit 17 85
1 - 3 bln 3 15
˃ 3 bln
a. Umur
Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 20 orang responden di
RSUD Kabupaten Tangerang, menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah dewasa
Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 20 orang responden bahwa
d. Tingkat pendidikan
Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa dari penelitian terhadap 20 orang responden bahwa
e. Lamanya penyakit
Dari hasil analisis tabel 1. menunjukkan bahwa klien yang menderita efusi pleura selama 1 –
Tabel 2.
Saturasi O2
dilakukan
nafas dalam
Saturasi O2
dilakukan
nafas dalam
Rata-rata saturasi oksigen sebelum dilakukan nafas dalam : 96,65 sedangkan rata-rata saturasi
oksigen setelah dilakukan nafas dalam adalah 97,62. Maka selisih rata-rata saturasi oksigen
adalah 0,97 (SD : 0,34). Ada perbedaan saturasi oksigen setelah dilakukan nafas dalam.
Tabel 3.
Mean, SD, dan P value saturasi oksigen sebelum (Pre) dan setelah (Post)
S N E
1 Usia 18 – 39
Usia 40-59
5
2 Jenis Kelamin
Laki
Perempuan
3 Pendidikan
SMA Pre
4 Lamanya
Penyakit
5 Pekerjaan
Tabel 3. menunjukkan tidak ada perbedaan dari kedua kelompok umur, jenis kelamin antara
pria dan wanita, bekerja dengan tidak bekerja demikian pula antara kelompok pendidikan SMP
dengan pendidikan SMA tidak ada perbedaan saturasi oksigen antara sebelum dan setelah
PEMBAHASAN
Usia responden terbanyak yang menderita efusi pleura yaitu usia 40–60 tahun sebanyak 75%.
Usia termuda 27 tahun dan usia tertua 56 tahun. Pada kasus ini banyak terjadi pada usia
pertengahan dewasa. Menurut pendapat (Alsagaf, 2010) kasus efusi pleura yang disebabkan
oleh tuberkulosis lebih sering terjadi pada penderita berumur antara 21–30 tahun. Sedangkan
menurut (Hiswari, 2009) penyakit efusi pleura yang disebabkan tuberkulosis paling sering
ditemukan pada usia muda atau produktif 15–50 tahun. Usia merupakan faktor yang dapat
meng- gambarkan kondisi dan mempengaruhi kesehatan seseorang. Semakin tua seseorang
maka sistem tubuhnya terjadi penurunan fungsi sistem tubuh yang akan mempengaruhi daya
fungsi tubuh.
Jenis Kelamin
Hasil penelitian ini menunjukkan jenis kelamin laki-laki sebesar 80% dan perempuan 20%. Hal
ini sesuai dengan pendapat (Alsagaff, 2010) penderita efusi pleura lebih sering terjadi pada
laki-laki daripada wanita. Hal ini dikarenakan gaya hidup seperti sering merokok tembakau dan
minum alkohol.
Sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah terpapar dengan agent
efusi pleura.
Strata Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan pendidikan SMP 35% dan pendidikan SMA 65%. Dari hasil
tersebut penderita efusi pleura lebih banyak yang berpendidikan SMA. Yang memungkinkan
mempunyai pengetahuan yang banyak tentang efusi pleura yang terpasang WSD. Sehingga
bisa berbagi informasi dengan penderita yang lain. Menurut Notoatmojo (2010), pendidikan
diperoleh dari jenjang pendidikan formal dan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan
Hasil penelitian menunjukkan yang bekerja jumlahnya 85% dan yang tidak bekerja 15%.
Dengan demikian penderita efusi pleura yang terpasang WSD masih memiliki produktifitas
untuk bekerja 85%. Agar pengembangan paru maksimal sehingga klien masih bisa bekerja.
Lamanya Penyakit
Hasil penelitian menunjukkan lamanya menderita efusi pleura 1-3 bulan 85%
sedangkan 4-6 bulan 15%. Pada awalnya responden menderita tuberkulosa karena
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Usia terbanyak pada klien efusi pleura yang terpasang WSD adalah usia dewasa pertengahan 75 %,
jenis kelamin laki-laki sebanyak 85 %, pendidikan klien SMA sebanyak 65 %. Lamanya penyakit :
2. Rata-rata saturasi sebelum dilakukan nafas dalam pada pagi hari : 96,86 dan setelah dilakukan
nafas dalam pada siang hari : 97,67. Maka didapatkan Value : 0,00 (P < 0,05) hasil uji statistik
3. Ada pengaruh yang signifikan terapi nafas dalam terhadap peningkatan saturasi oksigen.
Saran
Bahwa nafas dalam dapat meningkatkan saturasi oksigen pada klien efusi pleura yang terpasang
WSD. Oleh karena itu klien yang dipasang WSD dianjurkan untuk melakukan nafas dalam.
Mengembangkan dan memadukan teknik nafas dalam sebagai intervensi keperawatan ke dalam
materi perkuliahan pada mata ajar keperawatan medikal bedah.
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar sekaligus bahan untuk melakukan penelitian
oksigen.
DAFTAR PUSTAKA
Balck & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Baughman, Diane C,. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan
Benson, Herbert. MD., (2000). Respon Relaksasi: Teknik Meditasi Sederhana dan untuk
Brunner dan Suddarth, (2005). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Hemodynamics.
Cerfolio et al. (2005). The Management of Chest Tubes in Patients With a Pneumothorax
Kaushik, et.al. (2006). Effects of Mental Relaxation and Slow Breathing in Essential
Emaliyawati, Etika. (2009). Pengaruh Latihan Nafas Dalam terhadap Konsetrasi Oksigen
EGC.
Hastono, S.P. (2007). Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Kaushik, et al. (2006). Effects of Mental Relaxation and Slow Breathing in Essentihypertension.
Kozier dan ERB’SI. (2011). Fundamental of Nursing: Concepts, Process and Practice, Ed. 9.
Kemenkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Leodin,
dkk. (2003). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Rapat Kerja I Komisi
Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta. Kusyanti, Eni. (2003). Keterampilan dan
Kwekkeboon, et al. (2008). Patients’ Perceptions of the Effectiveness of Guided Imagery and
Leodin, dkk. (2003). Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Rapat Kerja I Komisi
Lindquist, R, Snyder, M & Tracy, MF. (2013). Complementary & Alternative Therapies in
*E-mail: dianwahyuni1979@gmail.com
Abstrak
Tujuan: Tuberkulosis paru (TB Paru) disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang
merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Secara global, Indonesia menempati
urutan kelima setelah Negara India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria untuk kasus Tuberkulosis Paru.
Pada program nasional, pemeriksaan dahak mikroskopis sangat penting untuk menentukan adanya
Metode: Metode penelitian menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling yakni semua penderita
tuberkulosis paru basil tahan asam positif dan basil tahan asam negatif yang berobat ke seluruh
puskesmas wilayah kabupaten Ogan Ilir periode April–September Tahun 2013 sebanyak 270 orang.
Pengolahan data menggunakan sistem komputerisasi yang dianalisis secara univariat dan bivariat
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur (p-value = 0,286), jenis
kelamin (p-value = 0,261), status perkawinan (p-value = 0,331), pekerjaan ada hubungan (p-value =
0,857) dengan hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013.
Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan untuk petugas puskesmas pemegang
Program Tuberkulosis Paru sebaiknya meningkatkan kegiatan lagi kunjungan langsung ke rumah
penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat yang
membutuhkan. Bagi Kepala Puskesmas diharapkan selalu memantau Pelaksanaan Program dan
membantu memecahkan masalah yang dijumpai oleh pemegang program, bagi Dinas Kesehatan
agar selalu memberikan bimbingan dan evaluasi pelaksanaan program Tuberkulosisi Paru di
Puskesmas. Selain itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai faktor bibit penyakit dan
Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi basil tahan
asam (Acid Alcohol Fast Bacillus/ AAFB). Kuman Mycobakterium tuberculosis yang terutama
menyerang paru, kelenjar limfe dan usus. Penyakit ini menjadi penyebab utama kecacatan (berupa
kelainan pada organ paru maupun ekstra paru) dan kematian hampir di sebagian besar negara di
seluruh dunia. Dengan demikian World Health Organization menyimpulkan bahwa Tuberkulosis
Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit penyebab kematian yang membunuh orang lebih
Penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, hal yang sangat penting dan
sangat menentukan adalah pemeriksaan dahak penderita tersangka TB paru secara mikroskopis untuk
menentukan adanya BTA didalam dahak penderita. Setiap satu penderita TB Positif akan menularkan
Penyakit TB Paru juga sering dikaitkan dengan masalah kemiskinan, khususnya yang terjadi di
kesehatan sehingga meningkatkan resiko terjadinya penyakit TB Paru. Hasil Riset Kesehatan Dasar
menunjukkan bahwa prevalensi nasional Tuberkulosis Paru 2009/2010 berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan melalui pemeriksaan dahak dan atau foto paru sebesar 720/100.000 penduduk. Periode
Prevalence TB Paru tertinggi terdapat pada kelompok di atas umur 54 tahun sebesar 3.593 per
100.000 penduduk. Paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk
sedangkan pada jenis pekerjaan petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dengan tingkat
pendidikan dan pekerjaan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB Paru dengan p
value (0,000). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa 71,0 % pasangan isteri yang menderita
Tuberkulosis Paru masing- masing suaminya juga menderita. 63,33 %. Sedangkan dalam riset
Rusnoto, diketahui bahwa proporsi adanya riwayat penyakit yang menyertai pada kelompok
%).
Berdasarkan hasil Studi Pendahuluan di Dinas Kesehatan kabupaten Ogan Ilir di dapat data bahwa
dari 24 Puskesmas penderita TB Paru pada tahun 2010 sebanyak 378 orang, tahun 2011 sebanyak
262 orang dan pada tahun 2012 sebanyak 388 orang cenderung mengalami peningkatan. Data yang
diperoleh dari bulan April sampai dengan September 2013 dari pemeriksaan dahak BTA positif dan
BTA negatif penderita TB Paru berjumlah 270 orang dimana laki-laki 173 orang dan perempuan 97
orang sedangkan untuk umur, status perkawinan, pekerjaan, dan status gizi belum diketahui.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk lebih mengetahui adakah hubungan umur, status perkawinan,
pekerjaan, dan status gizi dengan hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik observasional dengan pendekatan cross
sectional. Analisis data menggunakan uji Chi-square. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 270
responden dan teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Alat yang digunakan
sebagai pengumpul data berupa kuesioner untuk mendapatkan informasi subjek penelitian melalui
data sekunder seperti status penderita, TB-01 dan TB-03 yang didapat
HASIL
Analisis Univariat
Tabel 1
Perempua 97 35,9
Belum 30 11,1
kawin
bekerja
b. Hasil Pemeriksaan Dahak
Tabel 2
Analisis Bivariat
a. Hubungan antara Umur dengan Hasil Pemeriksaan Dahak
Tabel 3
N % N % N %
Tabel 4
Tabel 5
N % N % N %
Tabel 6
N % N % N %
Dari tabel 1 diketahui bahwa dari 270 orang responden sebagian besar berada pada kategori
umur 15-55 tahun dengan jumlah 190 orang (70,4%) sedangkan berdasarkan jenis kelamin,
persentase laki-laki lebih besar yakni sebanyak 173 orang (64,1%). Berdasarkan status
perkawinan, sebagian besar responden berstatus kawin yakni dengan jumlah 240 orang (88,9%)
dan berdasarkan pekerjaan sebagian responden yang bekerja yakni sebanyak 141 orang
(52,2%).
Dari tabel 2 diketahui bahwa sebanyak 208 orang (77,0%) dinyatakan BTA positif sedangkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 270 responden terdapat 190 responden (70,4) yang
usia produktif dimana 143 orang (53,0%) merupakan penderita TB Paru yang BTA positf dan
47 orang (17,4%) merupakan penderita TB Paru yang BTA negatif. Umur produktif sangat
berbahaya terhadap tingkat penularan karena penderita pada umur ini penderita mudah
berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang tinggi dan memungkinkan untuk menularkan ke
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 270 responden didapatkan 173 responden
yang berjenis kelamin laki-laki dimana 137 orang (50,7%) merupakan penderita TB Paru BTA
Positif dan 36 orang (26,3%) meupakan penderita TB Paru BTA negatif. Secara epidemiologi
dibuktikan terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penyakit, insidens dan
kematian akibat TB Paru. Penyakit TB Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan, karena jenis kelamin laki-laki sifat keterpaparan dan tingkat
Jenis kelamin laki-laki memiliki mobilitas yang tinggi seperti petani, sopir, tukang beca dan
tukang ojek dimana memerlukan tenaga yang kuat dibandingkan perempuan yang tinggal di
rumah seperti pekerjaan ibu rumah tangga sehingga laki-laki kemungkinan untuk terpapar
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 270 responden didaptkan 240 responden
yang berstatus kawin dimana 187 orang (69,3%) yang merupakan penderita TB Paru BTA
positif dan 53 orang (19,6%) merupakan pasien TB Paru BTA negatif. Jika dilihat kondisi yang
ada pada masyarakat, meskipun status perkawinan seseorang sudah kawin (baik cerai hidup
atau mati) atau belum kawin hal tersebut tidak menunjukkan bahwa individu tersebut hanya
akan tinggal sendirian menempati suatu rumah, tetapi akan tinggal serumah dengan anggota
keluarga yang lain seperti orang tua, saudara kandung atau keluarga dekat lainnya. Jadi
meskipun seseorang tergolong belum kawin atau sudah kawin, jika mereka tinggal serumah
akan beresiko tertular TB Paru seandainya ada anggota keluarga tersebut sedang terinfeksi TB
Paru. Apabila ditemukana penderita TB Paru terutama yang BTA Positif maka keluarga
penderita tersebut harus dilakukan pemeriksaan dahak juga karena resiko untuk tertular lebih
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 270 responden didapatkan 141 responden
yang bekerja dimana 108 orang (40,0%) merupakan penderita TB Paru BTA positif dan 33
orang (12,2%) merupakan penderita TB Paru BTA negatif. Pekerjaan merupakan sesuatu yang
dilakukan untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Pekerjaan
umumnya lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dari tingkat atau derajat
keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja dan sifat
Faktor lingkungan kerja juga mempengaruhi seseorang untuk terpapar suatu penyakit dimana
lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk terinfeksi TB Paru antara lain supir, buruh,
tukang becak dan lain-lain dibandingkan dengan orang yang bekerja di daerah perkantoran.19
Dimana jenis pekerjaan sesorang juga mempangaruhi pendapatan keluarga yang akan
mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan yang
Simpulan
1. Tidak ada hubungan antara umur dengan Hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan Ilir
2. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan Hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten
= 0,261).
3. Tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan Hasil pemeriksaan dahak di
4. Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan Hasil pemeriksaan dahak di Kabupaten Ogan
Ilir Tahun 2013 (p value
= 0,857).
Saran
Diharapkan agar pihak Dinas Kesehatan selalu memberikan bimbingan dan evaluasi
Pelaksanaan Program Tuberkulosis Paru di puskesmas, dan bagi petugas puskesmas pemegang
program TB Paru diharapkan apabila ada penderita tersangka TB Paru maka diutamakan untuk
melakukan pemeriksaan dahak terlebih dahulu. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan
penelitian lebih mendalam mengenai pengaruh atau hubungan antara faktor agent, faktor
REFRENSI
7. Depkes RI. (2009). 3 b bukan batuk biasa bisa jadi tb. Jakarta.
10. Kemenkes RI. (2012). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta.
11. Mahpudin, A. H. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik, Rumah, Sosial Ekonomi
Dan Respon Biologis Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Pada Penduduk
Dewasa di Indonesia (Analisis Data SPTBC Susenas 2004). (Tesis), Jakarta: UI.
13. Misnadiarly., & Sunarno. Tuberkulosis Paru dan Analisis Faktor-faktor yang
14. N, T. (2017). Mau nanya dong dok. [online] Mau nanya dong dok. Available at:
15. Rusnoto. (2007). Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru pada Usia
17. Ekowati, DR. Faktor resiko infeksi TB Paru kontak serumah di Kabupaten OKU
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 1 No 1, Hal 18-25, Mei 2017 e-ISSN 2548-
7051
Abstract
Diperkirakan sekitar 2,7 juta jiwa meninggal karena tuberkolusis paru. Setiap tahunnya
tingkat dunia. Dibuktikan dengan saat ini berada pada peringkat empat dengan beban
tuberkolusis tertinggi dunia, yaitu setelah China, India, dan Afrika Selatan.Status gizi
adalah salah satu faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi
tuberkolusis. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan
menurun. Faktor lain yang mempengaruhi statu sgizi seseorang adalah status sosial
ekonomi. Pendapatan per kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor
yang berhubungan dengan status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru. Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui hubungan antara pendapatan, status nutrisi terhadap kejadian
metode survei analitik dengan pendekatan case control. Hasil penelitian menunjukkan
hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru dengan
nilai OR= 3,484 (CI= 1,246 – 9, 747) yang berarti status gizi kurang beresiko menderita
Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali dibandingkan dengan status gizi cukup. Terdapat
hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru dengan
nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 – 11, 930) yang berarti responden dengan pendapatan
rendah beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan
Abstract
tuberculosis.It is estimated that around 2.7 million people die from pulmonary
tuberculosis every year throughout the world. is a health problem where Indonesia
contributes enough to the world level. It is proven that currently it is ranked fourth with
the world's highest tuberculosis burden, namely after China, India and South Africa.
Nutritional status is one of the most important factors in the body's defense against
tuberculus infections. In poor nutrition, the immune reaction will weaken so that the
ability to defend against infection decreases. Other factors that affect a person's
nutritional status are socioeconomic status. Per capita income of patients with
pulmonary tuberculosis is one of the factors related to nutritional status in patients with
pulmonary tuberculosis. The purpose of the study was to determine the relationship
research is a quantitative study that uses analytical survey methods with a case control
approach. The results showed a significant relationship between nutritional status with
means less nutritional status at risk of suffering from pulmonary tuberculosis by 3.4
between income with the incidence of pulmonary tuberculosis with OR = 4.421 (CI =
1.638 - 11,930) which means that respondents with low income are at risk of suffering
from pulmonary tuberculosis by 4.4 times compared to respondents with high income.
Pendahuluan
berkembang.Data WHO mencatat Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal
jumlah penderita Tuberculosis paru, setelah India dan China(WHO, 2013). Insidendan
yangtelah dilakukan namun diperkirakan kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2014
adalah 1,2 juta orang dari 9,6 juta orang penderita tuberkulosis paru. Penderita
tuberkulosis paru terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% adalah India,
pada tahun 2014 yaitu sebesar 324.539 kasus. Kasus tuberkulosis tertinggi ditemukan di
tiga provinsi yang mempunyai jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa
Timur dan Jawa Tengah, yaitu terdapat kasus tuberkulosis sebesar 38% dari jumlah
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kebumen pada tahun 2015 ditemukan
jumlah kasus Tuberkulosis paru baru BTA positifsebanyak 672 kasus. Hal ini
mengalami kenaikan dibandingkan jumlah kasus Tuberkulosis paru baru BTA positif
pada tahun 2014 yaitu sebanyak 435 kasus. Di tahun 2015 ini pencapaian CNR wilayah
Kabupaten Kebumen adalah 56,90 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2011 – 2014
CNR kasus Tuberkulosis paru di Kebumen mengalami penurunan dan naik pada tahun
2015. Angka CNR kasus baru BTA positiftahun 2015 naik jika dibandingkan dengan
adalah sebesar 535,252. Berdasarkan hasil penelitian Sari dkk (2012) menunjukkan
43
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
bahwa Seseorang dengan tingkat sosial ekonomi yang baik akan memiliki tingkat
sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik, sehingga perbaikan kondisi
Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang
mempengaruhi penyakit Tuberkulosis adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu
faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang
buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan dalam
mempengaruhi status gizi seseorang adalah status sosial ekonomi. Pendapatan per
kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan
status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru (Patiung, 2014). Pendapatan keluarga
dipengaruhi oleh jenis pekerjaan seseorang yang akan mempunyai dampak terhadap
itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah) (Rohman,
Tuberkulosis Paru tahun 2015 adalah sebanyak 19 orang yang terdiri dari 11 laki-laki
dan 8 perempuan sedangkan data penderita Tuberkulosis Paru pada tahun 2016 adalah
sebanyak 23 orang yang terdiri dari 17 laki-laki dan 6perempuan namun 2 orang telah
40 orang. Hasil data yang didapatkan dari 10 orang penderita Tuberkulosis paru adalah
44
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
8 orang memiliki pengetahuan yang kurang meskipun dari pihak Puskesmas Sempor 1
Tuberkulosis paru namun hanya 2 orang yang memiliki pengetahuan yang cukup.
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1 adalah buruh, baik buruh tani
ataupun bangunan dan ada pula penderita Tuberkulosis paru yang tidak bekerja karena
penyakitnya tersebut. Delapan orang dengan gizi yang kurang akibat pendapatan yang
tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor- faktor yang
Kabupaten Kebumen”.
Metode
analitik dengan pendekatan case control. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah
semua penderita Tuberkulosis paru BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Sempor 1,
pada tahun 2015 – 2016sebanyak 40 orang.Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah
semua orang yang bukan penderita Tuberkulosis paru BTA positif atau belum
1.Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik total sampling
kasus dan kontrol 1:1.Teknik analisa data menggunakan analisis univariat untuk
45
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
pendapatan, dan status gizi yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau presentase
untuk memberi gambaran umum hasil penelitian. Analisa bivariate chi square dan
rendah yaitu sebesar 51 (63,75%) dari 80 responden yang terdiri dari 32 responden
Tuberkulosis paru).
gaya hidup seseorang. Pendapatan erat kaitannya dengan kemiskinan, masyarakat yang
pengetahuan, asupan makanan, pengobatan dan kondisi tempat tinggal. Hal ini sejalan
dengan pendapat dari Haryanto (2011) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi
Ekonomi yang menyatakan bahwa ekonomi mempunyai kaitan erat dengan kejadian
Tuberkulosis paru, telah diketahui bahwa pada umumnya angka kejadian Tuberkulosis
paru meningkat pada status sosial ekonomi rendah (Noer, 2008). Seseorang yang
mempunyai pendapatan lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan
lingkungan rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan
yang jumlah dan kualitasnya memadai serta mampu membiyai pemeliharaan kesehatan
Ristyo Sari P, dkk (2012) menyatakan tingkat social ekonomi yang rendah
46
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
Kebumen di dapatkan hasil bahwa mayoritas responden mempunyai status gizi kurang
yaitu sebesar 56 (70%) dari 80 responden yang terdiri dari 33 responden kasus
paru). Status gizi yang kurang akan membuat lemahnya daya imun (sistem kekebalan
tubuh) dalam mempertahankan diri dari suatu penyakit. Kondisi kurangnya status gizi
mayoritas responden terutama pada responden kasus (penderita Tuberkulosis paru) pada
pengetahuan tentang kebutuhan asupan makanan yang baik dan bergizi dan pendapatan
(ekonomi) yang baik untuk memenuhi kebutuhan makanan bergizi. Jika tingkat
pengetahuan gizi seseorang baik maka diharapkan asupan makanan baik sehingga status
gizinya juga menjadi baik (Kartikasari, 2011). Meskipun begitu hal yang banyak
mempengaruhi status gizi seseorang ditentukan oleh perilaku hidup sehat seseorang.
Menurut Binongko (2012) dalam Maksalmina (2013), salah satu faktor yang
mempengaruhi penyakit Tuberkulosis adalah status gizi. Status gizi adalah salah satu
faktor terpenting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan gizi yang
buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan dalam
mempengaruhi status gizi seseorang adalah status sosial ekonomi. Pendapatan per
kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Jefille dalam penelitian Sri Endah P
47
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
(2012) bahwa faktor yang mempengaruhi status gizi adalah keadaan infeksi, konsumsi
makanan, pengaruh budaya, sosial ekonomi dan produksi pangan. Status gizi
merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian Tuberkulosis paru,
tentu saja hal ini masih tergantung pada penyebab lain yang lebih utama yaitu bakteri
tuberculosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun – tahun dan apabila
kejadian penyakit Tuberkulosis paru (Ruswanto, 2010). Hal ini sesuai dengan pendapat
Minardiarly dan Toyalis, bahwa faktor kurang gizi akan meningkatkan angka kesakitan
rendah. Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,005 yang berarti p < alpha (0,05),
didapatkan nilai OR= 4,421 (CI= 1,638 – 11, 930) yang berarti responden dengan
pendapatan rendah beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ristyo Sari P, dkk (2012) yang
paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Seseorang dengan tingkat sosial ekonomi
yang baik akan memiliki tingkat kesehatan yang baik pula.Tingkat sosial ekonomi yang
48
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
BTA positif serta sulitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik.
berbagai masalah kesehatan mudah muncul seperti penyakit infeksi Tuberkulosis paru.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fariz Muaz (2014) yang menyatakan
bahwa penghasilan adalah faktor yang beresiko terhadap kejadian Tuberkulosis paru
BTA positif.
(70%) responden dengan status gizi kurang dan 24 (30%) responden dengan status gizi
cukup. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai status gizi kurang.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,028 yang berarti p < alpha (0,05), sehingga
dengan alpha 5% dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru. Dan juga didapatkan nilai OR= 3,484
beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali dibandingkan dengan status gizi
cukup.
Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol
melaporkan bahwa seseorang dengan IMT kurang dari 18,5 memiliki resiko 3,79 kali
lebih tinggi terserang TB dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5.
Penelitian yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang sama
melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fariz Muaz (2014) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru. Karena
secara umum kekurangan gizi akan menyebabkan melemahnya sistem imun (kekebalan
Supriyo (2013) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor risiko kejadian
Tuberkulosis paru atau ada hubungan antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis
paru.
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait.
Infeksi dapat menyebabkan kekurangan gizi ataupun sebaliknya kurang gizi juga dapat
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara infeksi dengan kurang gizi.
Masalah kurang gizi juga masih banyak ditemukan pada negara berkembang seperti
Indonesia.
Simpulan
Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Kebumen (p= 0,005). Dan juga didapatkan nilai OR=
yang berarti pendapatan rendah berisiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali
hubungan antara status gizi dengan kejadian Tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Sempor 1, Kabupaten Kebumen (p= 0,028) dan juga didapatkan nilai OR=
berarti status gizi kurang berisiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali
DaftarPustaka
Agus. (2017). Gaji UMR Jateng 2017, Daftar Gaji UMK 35 Kota dan Kabupaten di
Ahmad, Fariza. (2013). Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Sosial Ekonomi Orang
Tua / Wali Murid Siswa Kelas Atas Sekolah Dasar Negeri 3 Jatiluhur Kecamatan
Amalia, Dewi Rosaria. (2014). Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku
Angelina, Bhestsy &Miskiyah Tiflani Iskandar. (2011). Gizi dan Dietetika (Edisi 2).
Budijanto, Didik, dkk (Ed). (2016). 2015 Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Kemenkes RI
Devi, Nirmala. (2010). Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara.
Kesehatan.
Hidayat, A. Aziz Aimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Indarwati, Rini Dwi. (2014). Hubungan Antara Kondisi Sosial Ekonomi dan Perilaku
Hidup Sehat dengan Status Gizi Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Besar
Muhammadiyah Surakarta.
dan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Ibu Hamil Trisemester III di Puskesmas
Kotouki, Anance. (2012). Gambaran Perilaku Penderita dan Resiko Tuberkulosis BTA
Wilayah Puskesmas Ciomas Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tahun 2012.
Pekalongan
Basil Tahan Asam Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang
CIPTA
P, Ristyo Sari, dkk. (2012). Hubungan Tingkat Sosial Ekonomi dengan Angka Kejadian
Tahun 2012. Skripsi. Jombang: Stikes PEMKAB Jombang Patiung, F., Wongkar,
MCP dan Mandang,V. (2014). Hubungan Status Gizi dengan CD4 Pasien
Purwitasari, Sri, dkk. (2016). Profil Kesehatan Kabupaten Kebumen 2015. Kebumen:
Putra, Niko Rianda. (2011). Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah dengan
Andalas Padang.
Priyatiningsih, Sri Endah. (2012). Hubungan Antara Status Gizi dengan Tingkat
Konsentrasi Belajar Siswa Kelas III dan IV di SDN 1 Pekutan Kecamatan Mirit.
Skripsi.Jakarta: UIN.
Usia Dewasa (Studi Kasus di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru
Subarjo, Pana Agus. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kader dalam
ALFABETA
Supriyo, dkk. (2013). Pengaruh Perilaku dan Status Gizi terhadap Kejadian TB Paru
Jakarta: UI
Imelda Lisu Pane. (2012). Hubungan antara pekerjaan, PMO, Pelayanan Kesehatan
Paru.
55
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
56
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
JURNAL 5
OBSTRUKTIF KRONIK
JAKARTA
Seven Sitorus
Email: sevens1973@yahoo.co.id
Abstract
characterized by obstruction air flow in the breath not wholly reversible. One
57
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
based nursing pursed lip breathing is applied to 12 people sample ( 10 men and 2
16,7 % ) a person .mean the age of respondents is 61,5 years ± 10.4 .mean the
value of PEF ( Peak Expiratory Flow ), the value of the saturation oxygen , the
± 44.6; 92.1 ± 2.44; 31.5 ± 2 . While value after the intervention is 175.0 ± 60.0;
97,1 ± 1.6; 22,6 ± 1.7 with P value = 0.001, α = 0.05. Conclusions: there are
significant influence the application of pursed lip breathing between before and
nursing can be applied to all patients COPD so reached the quality of care of
59
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
gejala bersifat progresif lambat, diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi
polusi udara (di dalam ruangan, luar Sebagai pengingat pentingnya masalah
tempat kerja), sesak pada saat PPOK, WHO menetapkan hari PPOK
dan
obat-obatan
bronkodilator melalui
melalui merapatkan/memonyongkan
2005).
mengurangi sesak nafas. Selain itu dengan cara penderita duduk dan
selama 4-6 detik. Cara itu diharapkan Pelaksanaan praktek keperawatan berbasis
dapat menimbulkan tekanan saat bukti yang diterapkan oleh penulis adalah
ekspirasi sehingga aliran udara latihan napas dengan metode pursed lip
dicegah.
METODE PENELITIAN
64
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
tersebut.
menghitung hingga 3,
membungkuk ke depan 30
Persahabatan Jakarta:
HASIL PENELITIAN
Tabel
Jakarta (n =
12)
(n) (%)
Jenis
Kelamin
Perempuan 2 16,7
66
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
berdasarkan usia, APE (pre dan 44.6 (95% CI: 103.2 ; 160,0)
post), Saturasi Oksigen (pre dan dan rata-rata nilai APE setelah
post), RR (pre dan post) di Ruang intervensi adalah 175.0 ± 60.0 (95%
Usia 61.5 10.4 58.8 ; 68.1 oksigen setelah intervensi adalah 97,1
APE PRE 13 44.6 103.2;160.0 ± 1,6 (95% CI: 96,0 ; 98,2). Rata –
APE 175.0 60.0 136.8;213.1 intervensi adalah 31.5 ± 2.1 (95% CI:
Oksigen
Pre
Oksigen
Post
adalah 22,6 ± 1,7 (95% CI: 21,5 ; intervensi pada pasien PPOK. Karena
ekspirasi sebelum intervensi adalah 92.1 ± 2.4 dan setelah intervensi adalah
68
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
adalah sebesar 31,5 ± 2,1 dan setelah pursed lip breathing terhadap APE,
intervensi adalah sebesar 22,6 ± 1,7 dapat disimpulkan ada pengaruh yang
69
Jurnal Keperawatan Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
breathing.
fungsi paru dan analisa gas darah, terhadap saturasi oksigen, dapat
(saturasi oksigen).
Dekhuijzen, Yvonne F.Heijdra (2010) yaitu tidak dapat dilaksanakan bagi pasien
yang menyatakan nilai rata-rata yang menggunakan gigi palsu atau ompong,
signifikan dengan p˂0,001dan SD: 3,1 tiupan pernapasan pasien pada saat ekspirasi
mengindikasikan berkurangnya
berat.
KESIMPULAN
RI.Jakarta.2013.
SARAN
in Chronic Obstructive
Pengembangan
Kesehatan
Ke
Kesehatan Dasar
73
investigations”. Karger Jurnal Keperawatan
AG, Basel. Respiration Widya Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
2011;81:372-
378. DOI:10.1159/000319036.
G.A.de.F.Fregonezi, V.R.Resqueti, and R.Guell Rous (2004) dengan judul “Pursed Lip
2. Jakarta. EGC.
Imposed Pursed Lip Breathing on Respiratory Mechanics and Dyspnea at Rest and
During Exercise in COPD. Chest: Aug 2005; 128,2; Proquest Nursing & Allied
74
(2009). Jurnal Keperawatan
Pulmonary Rehabilitation. Widya
USA. Gantari Vo. 2 No.2 /Desember 2015
Elsevier.
Slamet H, dkk,( 2013). Buku Ajar Ilmu Penyakit paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru,
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan (2014). Angka Kejadian PPOK. Unit Medical
Record.
Smeltzer,S.C., Bare, G.B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi 8
Jurnal
JURNAL 6
KEPERAWATAN TERAPAN, VOLUME 1, NO. 2, SEPTEMBER 2015: 48-52
GANGGUAN SISTEMPERNAFASAN
Abstract: Oxygen is the most vital basic need in human life. Lack of oxygen can
impact death cell . The patient´s respiratory system disorder, oxygen can not be ful
filled as normal but instead require oxygen theraphy to help meet the cell metabolism.
75
Jurnal
The purpose of the study was to observe theKeperawatan Widya Gantari
implementation Vo. 2 No.2theraphy
oxygen /Desember 2015
in
research design using descriptive method, the samples are taken all nurses who work
in Lung room at hospitals Bangil Pasuruan. Total of sampling taken is 24 people with
a total sampling technique. Instruments used for data collection observer. Study of 24
theraphy or approximately 41,6% shows that the ability of nurses to provide nursing
this study is the evaluation of the need for nurses to pay attention and participation of
SOP.
kehidupan manusia. Kekurangan oksigen akan berdampak kematian sel. Oleh karena
itu pada pasien gangguan system pernafasan, oksigen tidak bisa terpenuhi secara
oksigen pada pasien gangguan system pernafasan di RSUD Bangil Pasuruan. Desain
penelitian ini menggunakan metode diskriptif, sampel yang diambil yaitu seluruh
perawat yang bekerja diruang paru dan bangsal RSUD Bangil Pasuruan. Jumlah
sampling yang diambil yaitu 24 orang dengan menggunakan teknik total sampling.
baik” atau sekitar 58,3%. Serta 10 orang perawat berkemampuan “baik” dalam
melakukan pemberian terapi oksigen atau sekitar 41,6%. Dari hasil penelitian ini
perlu ditingkatkan lagi sesuai dengan SOP. Rekomendasi dari penelitian ini
76
hendaknya perawat perlu melakukan Jurnal Keperawatan
evaluasi, dan Widya Gantari Vo. 2perawat
partisipasi No.2 /Desember 2015
untuk
Or- ganization (WHO) pada tahun 2012, memberikan terapi oksigen untuk membantu
India, China, Afrika selatan, Nigeria. Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar yang
Diperkirakan setiap tahun ada 429.720 kasus paling vital dalam kehidupan manusia. Dalam
baru dan 66.000 kematian akibat TB tubuh, oksigen berperan penting di dalam
2010).
48
77
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan mempunyai kemampuan yang baik dalam
dasar ini terpenuhi dengan baik. Untuk itu memberikan terapi oksigen karena tindakan
setiap perawat harus paham dengan pemberian terapi oksigen ini merupakan
manifestasi tingkat pemenuhan oksigen bagian dari materi yang sudah diberikan
pada pasien serta mampu mengatasi pada saat dibangku kuliah hanya saja karena
Berdasarkan hasil observasi dilapangan, ini, mereka kurang teliti pada saat
cara pemberian terapi oksigen yang memberikan terapi oksigen sehingga tanpa
dilakukan oleh perawat disana bervariasi. disadari muncul suatu masalah separti
Maksud dari bervariasi yaitu cara perawat lupa tiadak mengecek humidifier
perawat, ada yang saat pemberian terapi terhumidifikasi secara adekuat dapat
tindakan, ada yang lupa tidak mengisi pernapasan. Kemudian misalnya saja perawat
tabung humidifier dengan air steril dan ada lupa tidak memberi KIE pada pasien untuk
juga yang lupa tidak memberikan KIE tidak mengganti ukuran saturasi oksigen
tentang terapi oksigen dan lupa tidak sendiri, karena apabila hal ini sering terjadi
mengobservasi setelah dilakukan tindakan, maka saturasi oksigen yang tinggi dapat
oksigen pada pasien gangguan sistem pemberian terapi oksigen pada pasien
jenuh.
terapi oksigen.
dan bangsal RSUD Bangil Pasuruan Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
tindakan yang ada dalam tiap point yang ada Tabel 2. Distribusi frekuensi
lembar baik
tindakan pemberian terapi oksigen yang pada kolom skor sesuai dengan kriteria
terapi oksigen yang dilakukan oleh kriteria standar penelitian kualitatif dan dapat
dibuat sampai terkumpul sesuai jumlah yang menggunakan penilaian sebagai berikut:
usia dapat diketahui bahwa hasil análisis Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
dengan standart deviasi 1,732 tahun. Usia bahwa sebagian besar perawat di Ruang
termuda 22 tahun dan usia tertua 36 tahun. Paru RSUD Bangil Pasuruan berpendidikan
berdasarkan tingkat
oksigen dengan nilai di bawah 3 ini terjadi tindakan sangat penting meskipun kata
dengan keseluruhan nilai yang didapat yaitu salah satu penyebab dari terjadinya infeksi
Untuk point perintah nomor 10 yang tangan. Padahal transmisi penyakit melalui
S1 3 sulit
Keperawatan 4
16,
alasan
lama, kurangnya pengetahuan mengenai keperawatan dengan baik dan benar. Baik
cuci tangan yang benar, kurangnya peralatan dan benarnya pelaksanaan pemberian terapi
cuci tangan. Dari sinilah virus, bakteri oksigen ini tentunya dipengaruhi oleh
dapat tertular melalui kontaminasi tangan. beberapa faktor diantaranya yaitu faktor usia
Point nomor 16,17,18,19,20 yang sering dan pendidikan. Dari hasil penelitian
tidak dilakukan atau dilakukan namun kurang diketahui bahwa pelaksanaan pemberian
maksimal adalah tindakan mengobservasi terapi oksigen di ruang paru dilakukan oleh
setelah melakukan tindakan pemberian terapi perawat rata-rata berusia ±28 tahun.
oksigen. Menurut teori Pooter and Perry Menurut WHO usia ini merupakan kategori
(2005) pemberian oksigen tidak hanya usia dewasa awal. Jika diperhatikan pada
memberikan efek terapi tetapi jika masa usia inilah kemampuan atau kinerja
menyebabakan efek seperti depresi ventilasi, tetapi, keterampilan seorang perawat bukan
keracunan oksigen. Keadaan yang trerjadi hanya tergantung dari tingginya pendidikan
diatas dapat merusak struktur jaringan yang diterimanya, tapi pengalaman dalam
akan terganggu bila kita tidak sering Menurut peneliti hasil penelitian
melakukan sesuatu yang baik dan benar. cara pemberian terapi oksigen. Pemberian
pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 51
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
terapi oksigen adalah suatu kemampuan
dari luar ke paru melalui saluran cara pemberiannya pun harus benar dan
pernafasan dengan menggunakan alat tepat. Hal ini sesuai dengan teori Utama
PENUTUP
lebih akurat.
pISSN 2443-1125 eISSN 2442-8873 53
Bachtiar, Pelaksaan pemberian terapi oksigen
DAFTAR PUSTAKA
Asih, Yasmin, Niluh, Crhistantie, Christantie Effendy. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan
Azis, Alimul. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
Azis, Alimul. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.
1
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Harahap. 2005. Oksigenasi Dalam Suatu Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperwatan Rufaidah Sumatera
Utara Volume 1
Mubarak, Wahit Iqbal. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori Dan Aplikasi Dalam Praktik.
Jakarta : EGC
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Yasmin Asih, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Setiadi. 2008. Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jurnal 7
Salma Milo
A. Yudi Ismanto
Vandri D. Kallo
2
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Email: salmamilo@ymail.com
ABSTRACT: ARTI (Acute Respiratory Tract Infections) will occur when the immune system
decreases. Some efforts can be made to reduce the risk of respiratory disease, such as by
eliminating smoking in the house. ARTI in children at Sario Primary Health Care Manado was
ranked first among the 10 most prominent disease. The purpose of this study to identified smoking
in the house and ARTI and to analyze the relationship between smoking and the incidence of ARTI.
Design of the study is cross-sectional design and the data collected from respondents using a
questionnaire sheets.The sample in this study amounted to 51 respondents who obtained using
consecutive sampling technique. The resultsof this research using analysis statistic Chi-Square test
have gained value p= 0,002. Which is means that the value ofp<α (0,05). The conclusion of this
study there is a relationship between smoking and the incidence of acute respiratory tract infection
in children. Recommendations for further research are expected to investigate on other factors
such as ventilation House, Density Residential, socioeconomic status may cause respiratory
disease.
Abstrak:ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akan terjadi apabila kekebalan tubuh menurun.
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menurunkan resiko penyakit ISPA, antara lain dengan
menghilangkan kebiasaan merokok di dalam rumah. Kejadian ISPA pada anak di Puskesmas Sario
Kota Manado menduduki peringkat pertama diantara 10 penyakit yang paling menonjol. Tujuan
penelitian ini untuk mengidentifikasi kebiasaan merokok di dalam rumah dan kejadian ISPA serta
untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA.Desain penelitian
yang digunakan adalah desain Cross Sectional dan data dikumpulkan dari responden menggunakan
lembar kuisioner.Sampel pada penelitian ini berjumlah 51 responden yang didapat menggunakan
teknik consecutive sampling.Hasil penelitianuji statistik menggunakan uji chi-square pada tingkat
3
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
kemaknaan 95% (α ≤ 0,05),maka didapatkan nilai p= 0,002. Ini berarti bahwa nilai p< α
(0,05).Kesimpulan dalam penelitian ini ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
ISPA pada anak. Rekomendasi untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai
faktor-faktor lain seperti Ventilasi Rumah, Kepadatan Hunian, Status sosioekonomi yang dapat
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) tubuh yang masih rentan terhadap berbagai
adalah infeksi akut yang melibatkan organ penyakit (Probowo, 2012). Sampai saat ini
saluran pernapasan bagian atas dan saluran ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia.
pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh Menurut World Health Organization (WHO)
virus, jamur dan bakteri.ISPA akan menyerang tahun 2011 di New York jumlah penderita ISPA
host apabila ketahanan tubuh (immunologi) adalah 48.325 anak dan memperkirakan di
menurun pada bayi di bawah lima tahun dan negara berkembang berkisar 30-70 kali lebih
bayi merupakan salah satu tinggi dari negara maju dan diduga 20%
4
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
kematian anak disebabkan oleh ISPA. Hal ini merupakan zat adiktif yang memiliki
dapat dilihatdari tingginya angka kesakitan dan kandungankurang lebih 4000elemen, dimana
kematianakibat ISPA. Kematian akibat penyakit 200 elemen di dalamnya berbahaya bagi kesehatan
golongan umur 0-5 tahun setiap tahun diseluruh bahwaracunyang utama dan berbahaya pada rokok
dunia, dimana dua pertiganya adalah bayi, yaitu antara lain tar, nikotin, dan
golongan umur 0-1 tahun dan sebanyak 80,3% karbonmonoksida.Racunitulahyang kemudian akan
kematian ini terjadi di negara berkembang membahayakan kesehatan si perokok (Jaya, 2009).
ISPA dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu tetapi juga orang disekitarnya atau perokok pasif
faktor individu anak, faktor perilaku dan (Detik Health, 2011). Analisis WHO, menunjukkan
faktorlingkungan. Faktor individu anak bahwa efek buruk asap rokok lebihbesar bagi perokok
meliputi: umuranak, berat badan lahir, status pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika
gizi, vitamin A dan status imunisasi. perokokmembakar sebatang rokok dan menghisapnya,
Faktorperilaku meliputi perilaku pencegahan asap yang dihisap olehperokok disebut asap utama,
dan penanggulangan ISPA pada bayiatau peran dan asap yang keluar dariujung rokok (bagian yang
penyakit ISPA. Faktor lingkunganmeliputi: samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih
pencemaran udara dalam rumah (asap rokok banyak hasilpembakaran tembakau dibanding asap
dan asap hasilpembakaran bahan bakar untuk utama. Asap ini mengandungkarbon monoksida 5 kali
hunian(Prabu, 2009).
5
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, serta kematian pada balita tahun 2010 mencapai
amonia46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, 18,2% dan tahun 2011 mencapai 38,8%. Selain
nitrosamine sebagai penyebab itu ISPA juga sering berada pada daftar 10
50 kali lebih besar asap sampingan data dari P2 program ISPA tahun 2009 cakupan
dibandingdengan kadar asap utama penderita ISPA melampaui target 13,4%, hasil
Kebiasaan merokok orang tua di yang ditetapkan sebanyak 16.534 kasus. Survey
dalam rumah menjadikan balita sebagai yang dilakukan pada tahun 2010 menempatkan
perokok pasif yang selalu terpapar asap ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar
rokok. Rumah yang orang tuanya di Indonesia dengan persentase 22,30% dari
sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan penyakit ISPAdalam satu bulan terakhir sebesar
rumah balita yang orang tuanya tidak 1%, dibawah angka nasional (1,88%),
merokok di dalam rumah. Sementara itu denganrentang 0,5-2,7%. Di Kota Bitung dan
Dengan jumlah perokok yang cukup Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di
tinggi dapat meningkatkan angka Puskesmas Sario jumlah kejadian ISPA pada
kejadian ISPA. Di Indonesia khususnya anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Sario pada
di Kalimantan Barat kasus Infeksi tahun 2014 bulan Juli terdaat 41 kasus pada
menempati urutan pertama kematian September terdapat 48 kasus dan pada bulang
6
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
anak
7
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
ada yang orang tuanya perokok dan 7 anggota merokokdi gunakan untuk mengukur variabel
keluarga ada yang tinggal dengan anggota kebiasaan merokok orang tua yang perokok ringan,
keluarga yeng lain yang merokok. perokok sedang dan perokok berat. Kuisioner yang
Dari penelitian yang ada serta data medik dibuat sendiri akan dilakukan uji validitas dan
yang terdapat di Puskesmas Sario saya tertarik reliabilitas yang terdiri dari 3 pertanyaan dengan
Kebiasaan Merokok Di Dalam Rumah Dengan d. Pertanyaan 1 dengan pilihan jawaban a, b dan c,
Kejadian ISPA Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di pertanyaan 2 dengan pilihan jawaban a, b, c, dan d,
Penelitian ini merupakan penelitian survei d adalah 4. Penetapan kategori kebiasaan merokok
pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang dibuat sendiri dilakukan uji validitas dan reliabilitas
berobat di Puskesmas Sario yang terdiagnosis yang terdiri dari 7 pertanyaan dengan pilihan jawaban
ISPA yakni sebanyak 51 anak dengan umur 1- ya dan tidak. Apabila jawaban ya diberi nilai 2 dan
8
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
median yaitu:
Kota Manado.
Swasta 10 19,6%
PNS 1 2,0%
Total 51 100,0
9
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Anak Di Puskesmas Sario Kota Manado ISPA Pada Anak Umur 1-5 Tahun Di
Kejadian ISPA
Merokok g n
Total 51 100,0
n % n % n%
Total 51 100,0
1
0
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
B. Pembahasan
teknikconsecutive sampling.
responden dengan
kebiasaanmerokokmenunjukkansebagian besar
responden dengan
kebiasaanmerokokmenunjukkansebagian besar
1
1
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
mengimplementasikan dalam
2007).
kebiasaanmerokokmenunjukkanseba
keingintahuan
1
2
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
yang lebih dibandingkan dengan wanita yang rentan mengalami ISPA dibandingkan usia pra
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan banyak mengalami ISPA dikarenakan sistem imunitas
responden dengan Penyakit ISPA sebagian anak yang masih lemah dan organ pernapasan anak
besar adalah responden dengan jenis kelamin bayi belum mencapai kematangan yang sempurna,
laki-laki yaitu sebanyak 29 responden (56,9%). sehingga apabila terpajan kuman akan lebih beresiko
perempuan mempunyai resiko yang sama untuk Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan responden
laki yang lebih banyak sehingga dapat didapatkan responden dengan perokok berat yaitu 22
disimpulkan anak laki-laki lebih beresiko responden (43,1%).Hal ini menunjukan dengan
terkena ISPA dibandingkan dengan anak semakin berat kebiasaan merokok di dalam rumah
perempuan. Anak laki-laki yang lebih sering maka semakin besar juga potensi anak menderita
bermain dan berinteraksi dengan ligkungan, ISPA. Keterpaparan asap rokok pada anak sangat
apalagi dengan lingkungan yang kotor sangant tinggi pada saat berada dalam rumah. Disebabkan
rentan menyebabkan terjadinya penyakit. karena anggota keluarga biasanya merokok dalam
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan rumah pada saat bersantai bersama anggota, misalnya
responden dengan Penyakit ISPA sebagian sambil nonton TV atau bercengkerama dengan
besar adalah responden denganusia toddler anggota keluarga lainnya, sehingga balita dalam rumah
yaitu 37 responden (72,5%), hasil penelitian ini tangga tersebut memiliki risiko tinggi untuk terpapar
1
3
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
ISPA sebagian besar didapati responden antara perilaku merokok orang tua dan anggota
dengan ISPA ringan yaitu 34 responden keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan
Berdasarkan hasil uji statistik Puskesmas Sempor II. Hal ini menunjukkan
didapatkan nilai p value 0,002 dengan bahwa semakin kurang atau buruk perilaku
<0,05 dapat disimpulkan bahwa Ho angka kejadian ISPA pada balita dan semakin
demikian dapat dikatakan bahwa ada kejadian ISPA akan semakin kecil.
hubungan antara kebiasaan merokok di ISPA dapat disebabkan oleh karena adanya
dalam rumah dengan kejadian ISPA pada paparan dari virus maupun bakteri misalnya
Trisnawati dan Juwarni (2012), yang parainfluena, dan rhinovirus. Selain dari virus,
menyatakan ada hubungan antara jamur dan bakteri, ISPA juga dapat disebabkan
perilaku merokok orang tua terhadap karena sering menghirup asap rokok, asap
kejadian ISPA pada anak. Hal ini kendaraan bermotor, Bahan Bakar Minyak
menunjukan dengan semakin berat biasanya minyak tanah dan, cairan amonium
perilaku merokok orangtua maka pada saat lahir (Utami, 2013). Asap rokok dari
semakin besar potensi anak balitanya orang tua atau penghuni rumah yang satu atap
Hasil penelitian ini juga sama dengan dalam ruang tempat tinggal yang serius serta
penelitian yang dilakukan oleh Winarni, akan menambah resiko kesakitan dari bahan
1
4
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
1
5
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak orang tua perokok berat ada 12 dari 22 (54,5%) anak
rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar yang menderita ISPA sedang, pada orang tua perokok
memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, sedang ada 5 dari 14 (35,7%) anak yang menderita
khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu ISPA sedang, sedangkan pada orang tua perokok
bayi (Trisnawati dan Juwarni, 2012). ringan tidak ada yang menderita ISPA
Selain kebiasaan merokok di dalam rumah sedang.Walaupun ada yang perokok berat tetapi
terdapat juga beberapa faktor yang dapat anaknya beresiko mengalami ISPA ringan itu karena
menyebabkan ISPA, antara lain, yaitu faktor terdapat juga beberapa faktor yang dapat
lingkunganmeliputi: pencemaran udara dalam mempengaruhi kejadian ISPA yaitu kondisi rumah,
rumah (asap rokok dan asap hasilpembakaran ventilasi rumah, dan kepadatan hunian
dan kepadatan hunian(Prabu, 2009). Penelitian Karakteristik responden di Puskesmas Sario Kota
yang dilakukan oleh Trisnawati dan Manado (umur responden orang tua sebagian besar
Juwarni(2012) menunjukkan terdapat hubugan dengan umur 17-34 tahun, pendidikan terakhir
yang bermakna antara kondisi rumah dengan responden orang tua sebagian besar dengan pendidikan
ISPA pada anak. SMA, pekerjaan responden orang tua sebagian besar
Faktor-faktor tersebut juga erat hubungannya dengan pekerjaan IRT, jenis kelamin anak sebagian
dengan peningkatan daya tahan tubuh sehingga besar dengan jenis kelamin laki-laki, umur responden
dapat menyebabkan terjadinya ISPA, maka ada anak sebgian besar adalah dengan usia
yang perokok berat tetapi terkena ISPA ringan toddler).Kebiasaanmerokok di dalam rumah di
dan adapun yang perokok berat tetapi terkena Puskesmas Sario Kota
1
6
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Manado menunjukan sebagian besar April 2014 pukul 17.50 WITA dari
ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Jaya, M. (2009). Pembunuh Berbahaya Itu
besar adalah kejadian ISPA ringan.Ada Kementerian Kesehatan RI. (2012). profil data
anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Sario Notoadmodjo, S. (2007). Pendidikan dan
cipta.
Detik health. (2012). Bahaya asap Nurrijal, (2009). Infeksi Saluran Pernafasan
1
7
ejournal Keperawatan
Probowo, (e-Kp) Volume
S. 2012. Penyakit 3 Nomor
yang Paling 2, Mei2015
Umum pada Anak. Majalah Kesehatan.
11 Oktober 2012.
Rahmadini. (2009). Analisa kadar nikotin pada tembakau rokok lintingan dan karakteristik
masyarakat penggunanya di Jorong Limo Kampung Nagari Sunagi Puar Kecamatan Sungai
Rahmawati, A. & Erni, M. (2007). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat KecemasanAkibat
Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah Di BangsalL Rsup Dr.Soeradji Tirtonegoro Klaten.
http://www.skripsistikes.wordpress.co m.
Rahmayatul, F. (2013). Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada Balita. Jakarta.
Trisnawati, Y. & Juwarni (2012). Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua Dengan kejadian Ispa
Umami, R.M. (2010). Perancangan dan pembuatan alat pengendali asap rokok berbasis
mikrokontroler.
Utami, S. (2013). Studi Deskriptif Pemetaan Faktor Resiko ISPA Pada Balita Usia 0-5 Tahun Yang
Tinggal Di Rumah Hunian Akibat Bencana Lahar Dingin Merapi Di Kecamatan Salam
Diakses tanggal
Winarni, Basirun A.U. & Safrudin A.N.S. (2010).Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua
DanAnggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah DenganKejadian Ispa Pada Balita
Di Wilayah Kerja
53
ejournalPuskesmasSempor
Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Ii Kabupaten Kebumen. Jurusan Keperawatan Stikes
Muhammadiyah Gombong.
Widarini, N.P. & Sumasari, N.L. (2010). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan
Kejadian ISPA Pada Bayi. PS. IKM Universitas Udayana. Bali. Diakses tanggal 23
Jurnal 8
2019
2354-9203
Primanda3
54
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Indonesia
55183, Indonesia
Indonesia
*E-mail: dian.kartikasari1989@gmail.com
Abstrak
Salah satu penatalaksanaan asma yaitu latihan pernapasan diafragma yang dapat meningkatkan
fungsi paru pasien asma. Tujuan penelitian untuk menguji pengaruh latihan pernapasan diafragma
terhadap peningkatan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan penurunan frekuensi kekambuhan pasien
asma. Penelitian true experiment pretest-posttest with control group melibatkan 28 subjek penelitian
secara random. Subjek dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol melalui
peak flow meter dan frekuensi kekambuhan dicatat dengan lembar catatan observasi. Hasil
penelitian terdapat perbedaan yang signifikan rerata selisih APE kelompok intervensi (mean
126,43±22,05 L/menit) dan kelompok kontrol (mean 52,14±56,45 L/menit) dengan p 0,001, serta
terdapat perbedaan yang signifikan rerata selisih frekuensi kekambuhan kelompok intervensi (mean
1,29±0,61) dan kelompok kontrol (mean 0,79±0,57) dengan nilai p 0,038. Latihan pernapasan
Kata kunci: arus puncak ekspirasi, asma, frekuensi kekambuhan, latihan pernapasan diafragma
55
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Abstract
Enhancement and The Mild- Moderate Asthma Patients’ Relapse Frequency Reduction. One of
the management of asthma is diaphragmatic breathing exercises that could improve lung function
of asthma patients. The objective of the study was to examine the effect of diaphragmatic breathing
exercises on Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) and decreased frequency of mild- moderate
asthma relapse on the patients. True experiment method pretest-posttest with control group was
applied in this study with involved 28 random research subject. Subjects were divided into
intervention groups and control groups through randomization of 14 people for each group. PEFR
measurements using peak flow meter and relapse frequency were recorded with an observation note
sheet. There was a significant difference of difference PEFR mean between intervention groups
(mean 126.43±22.05) and control group (mean 52.14±56.45) with p 0.001. There was a significant
difference of difference mean frequency between intervention group (mean 1.29±0.61) and control
group (mean 0.79±0.57) with p 0.038. Diaphragmatic breathing exercise is a consideration in the
Keywords: asthma, diaphragmatic breathing exercises, frequency of recurrence, peak expiratory flow
rate
Asma adalah penyakit inflamasi yang ditandai for Asthma (GINA), 2016). WHO pada tahun
56
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
57
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
penyakit asma melebihi angka nasional. Pada Forced Vital Capacity (FVC), serta rasio FEV₁
2013, Yogyakarta masuk dalam urutan ke 3 dari dan FVC (Rhoades, 2011 dalam Santoso,
Penyakit asma yang sering kambuh dapat ter- vitas fisik menjadi terbatas, tidak bisa tidur, se-
jadi dari ringan sampai berat. Pada pasien asma, hingga dirawat di rumah sakit. Pada beberapa
proses inspirasi terjadi ketika adanya kontraksi kasus, asma dapat mengakibatkan kematian
yang minimal dari otot pernapasan yang meng- (Agustiningsih, Kafi, & Djunaidi, 2007).
membutuhkan energi yang tinggi untuk meng- Tindakan non farmakologis yang dapat dilaku-
angkat rongga dada dan pengembangan paru kan pada pasien asma yaitu dengan berhenti
menjadi minimal. Hal tersebut menyebabkan merokok, diet sehat, menghindari alergen, me-
oksigen (O₂) yang masuk ke paru-paru minimal. ngurangi aktifitas berat, menurunkan berat badan,
Pada proses ekspirasi, terjadi kontraksi otot menghindari polusi, vaksinasi, mengurangi stres,
pernapasan yang minimal, sehingga diafragma menghindari makanan dan bahan kimia yang
terdorong ke bawah dan karbondioksida (CO₂) menyebabkan alergi, serta menjaga kebugaran
yang keluar dari paru-paru sedikit, akibatnya seperti physical activity dan breathing exercise
paru pada penderita asma terjadi penurunan Latihan pernapasan diafragma merupakan te-
Force Expired Volume in one second (FEV₁), rapi latihan pernapasan utama untuk pasien as-
58
ejournal
ma. Keperawatan
Latihan (e-Kp)
pernapasan Volume dapat
diafragma 3 Nomor 2, Mei2015
meng- pas menjadi berkurang dan ventilasi mening-
akibatkan CO₂ keluar dari paru-paru, kerja na- kat. Peningkatan ventilasi menyebabkan pe-
Upoyo, 2017).
59
ejournal Keperawatan
nambahkan (e-Kp) melakukan
bahwa dengan Volume 3 Nomor 2, Mei2015
latihan
pasien asma.
60
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi
Pangestuti, Murtaqib, dan Widayati (2015) sien asma rawat inap di tahun 2016 sebanyak 53
memaparkan bahwa latihan pernapasan diaf- dan jumlah pasien asma rawat inap di bulan
ragma mampu meningkatkan APE dan menu- Januari–Februari 2017 sebanyak 9. Jumlah pa-
runkan Respirasi Rate (RR), namun di pene- sien rawat jalan di tahun 2016 sebanyak 1.379
litian ini belum memaparkan pengaruh latihan dan jumlah pasien asma rawat jalan di bulan
kambuhan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif Sampel penelitian berjumlah 28 subjek pene-
menggunakan metode true eksperimen dengan litian yang dibagi menjadi dua kelompok, ke-
bentuk pretest-posttes with control group di lompok intervensi dan kelompok kontrol. Kri-
mana pada kelompok pertama diberikan obat teria inklusi pada penelitian ini adalah penderita
asma dan tambahan intervensi latihan perna- asma derajat ringan dan sedang, sedang men-
pasan diafragma dan kelompok kedua adalah jalani terapi obat asma, Indeks Masa Tubuh
kelompok kontrol yang diberikan obat asma. (IMT) 18–24, tidak merokok, belum pernah
Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Paru terakhir, tidak sedang dalam serangan asma.
Respira Yogyakarta, didapatkan jumlah pengun- Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah wa-
jung pasien asma di tahun 2016 sebanyak 1.464 nita dalam keadaan hamil.
terbanyak di rumah sakit tersebut. Jumlah pa- Pengukuran APE menggunakan Philips respi-
61
ejournalpeak
ronics Keperawatan (e-Kp)
flow meter danVolume 3 Nomor
frekuensi 2, Mei2015
kekam- kontrol di ukur APE pre test dan frekuensi
peneliti. Kelompok intervensi dan kelompok obat-obatan sesuai advice dokter dan tambahan
62
ejournal pasien.
dengan Keperawatan
Pada (e-Kp)
mingguVolume 3 Nomorpe-
ke-2 subjek 2, Mei2015
penurunan
63
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
frekuensi kekambuhan merupakan selisih fre- kedua kelompok dapat dibandingkan. Rerata
kuensi kekambuhan sebelum dan setelah dila- IMT kelompok intervensi didapatkan nilai
Pada Tabel 1 hasil analisis didapatkan rerata subjek penelitian dengan jenis kelamin pe-
usia kelompok intervensi (46,00±7,98 tahun) rempuan baik kelompok intervensi maupun
dan rerata usia kelompok kontrol (48,07±7,80 kelompok kontrol dengan persentase kedua ke-
tahun). Nilai p yang didapatkan untuk usia an- lompok sama yaitu 85,7% (12 orang). Sebagian
tara kelompok intervensi dan kelompok kontrol besar subjek penelitian dengan riwayat mero-
yaitu 0,494 (p> 0,05), berarti tidak ada perbe- kok baik kelompok intervensi maupun kelom-
daan bermakna (homogen) antara kelompok in- pok kontrol memiliki persentase yang sama ya-
tervensi dan kelompok kontrol yang berarti itu 85,7% (12 orang) untuk masing-masing ke-
lompok.
(n=14) (n=14)
Usia
64
ejournal Keperawatan
IMT (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Jenis Kelamin
Ya 14 (100%) 14 (100%) No
statistics
Riwayat Merokok
Tabel 2. APE Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
el
Kelompok Intervensi
78
43 1
Kelompok Kontrol
65
ejournal Keperawatan
APE sebelum(e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
202,86±27, 160–240
86
68 4
66
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi
Tabel 3. Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol
el Maks
Kelompok Intervensi
sebelum
Kelompok Kontrol
sebelum
Maks
Delta APE
67
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
1
el Maks
el (Orang) (%)
APE
Kelompok Intervensi
Meningkat 14 100%
Kelompok Kontrol
Meningkat 7 50%
Frekuensi Kekambuhan
Kelompok Intervensi
68
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Tidak ada perubahan 1 7,14%
Menurun 13 92,86%
Kelompok Kontrol
Menurun 10 71,43%
Rerata nilai APE kelompok intervensi sebelum intervensi. Rerata nilai APE kelompok kontrol
dilakukan intervensi dapat disimpulkan terda- dapat disimpulkan terdapat rerata perbedaan ni-
pat rerata perbedaan nilai APE yang signifikan lai APE yang signifikan pada kelompok kontrol
pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah sebelum dan sesudah intervensi (Lihat Tabel 2).
69
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Pada Tabel 3 rerata frekuensi kekambuhan ke- yang berarti delta frekuensi kekambuhan pada
lompok intervensi sebelum dilakukan interven- kelompok intervensi lebih berkurang diban-
si dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- dingkan dengan kelompok kontrol dan terdapat
bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan rerata perbedaan frekuensi kekambuhan yang
pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah signifikan pada kelompok intervensi dan ke-
dapat disimpulkan bahwa terdapat rerata per- Pada Tabel 6 menunjukkan kelompok interven-
bedaan frekuensi kekambuhan yang signifikan si terdapat 100% (14 pasien) mengalami pe-
pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah ningkatan APE setelah diberikan intervensi se-
Rerata nilai delta APE dapat disimpulkan bah- pasien) mengalami nilai konstan APE setelah
yang berarti terdapat rerata perbedaan nilai del- Pada kelompok intervensi terdapat 7,14% (1
ta APE yang signifikan pada kelompok inter- pasien) mengalami nilai konstan frekuensi ke-
vensi dan kelompok kontrol (Lihat Tabel 4). kambuhan dan terdapat 92,86% (13 pasien)
Pada Tabel 5 rerata delta frekuensi kekambuh- setelah diberikan intervensi sedangkan pada
an kelompok intervensi dapat disimpulkan bah- kelompok kontrol terdapat 28,57 (4 pasien)
wa delta frekuensi kekambuhan kelompok in- mengalami nilai konstan frekuensi kekambuh-
tervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol an dan 71,43% (10 pasien) mengalami penu-
70
ejournal
runan Keperawatan
frekuensi (e-Kp) Volume
kekambuhan 3 Nomor
setelah 2, Mei2015
diberikan satu pasien dengan frekuensi kekambuhan kon-
intervensi. Pada kelompok intervensi terdapat stan. Menurut wawancara dengan motivator
stres psikologis.
Pembahasan
60 ml/tahun.
71
ejournal Keperawatan
kejadian asma lebih (e-Kp)
banyakVolume 3 Nomor 2, Mei2015
pada perempuan
salah
72
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi
satu faktor risiko terhadap peningkatan derajat Peningkatan Nilai APE dengan Latihan Per-
keparahan asma. Ikawati (2016) menyatakan napasan Diafragma. Proses inspirasi terjadi
kelebihan berat badan dan obesitas meningkat- ketika dada mengembang, paru-paru ikut me-
kan risiko kejadian asma sampai 50%, baik ngembang sehingga penurunan tekanan yang
pada laki-laki maupun perempuan. Suryantoro, menyebabkan peningkatan ada volume paru dan
et al. (2017) mengatakan obesitas mengakibat- udara masuk ke dalam paru-paru. Proses
kan kerja napas meningkat yang disebabkan respirasi terjadi ketika dada mengecil, paru-
karena compliance dinding dada menurun dan paru ikut mengecil, sehingga terjadi pening-
terjadi penurunan kekuatan otot pernapasan. katan tekanan, menyebabkan volume paru me-
tua. Ikawati (2016) menyatakan bahwa asma Pada penelitian ini semua pasien asma ringan-
memiliki komponen herediter. Akib (2016) sedang terjadi penurunan APE baik kelompok
menyatakan bahwa kelompok anak dengan intervensi maupun kelompok kontrol. Pada
gejala mengi pada usia kurang dari 3 tahun, pasien asma, diameter bronkiolus lebih banyak
yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai berkurang selama ekspirasi daripada selama
predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis inspirasi, karena bronkiolus kolaps selama
alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibanding- upaya ekspirasi akibat penekanan pada bagian
kan dengan kelompok anak dengan mengi yang luar bronkiolus. Paru-paru pada pasien asma
terutama selama ekspirasi. Pasien dapat me- besar laju ekspirasi maksimum dan berkurang-
lakukan inspirasi dengan baik dan adekuat te- nya volume ekspirasi terukur (timed expiratory
tapi sukar melakukan ekspirasi. Pada pengu- volume) (Guyton & Hall, 2007).
vensi.
74
ejournal Keperawatan
meningkat (e-Kp) Volume
dan volume paru 3mengecil,
Nomor 2, Mei2015
75
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
Otot diafragma akan memipih dan mendatar gejala asma. golongan obat tersebut direkomen-
pada saat inspirasi sehingga memberikan ruang dasikan untuk mencegah bronko-konstriksi.
yang lebih luas untuk pengembangan paru. Obat yang digunakan adalah inhalasi kortiko-
Udara masuk ke paru-paru dan terjadi pengem- steroid, agonis β2 adrenergik, antikolinergik,
bangan perut karena penggunaan otot diafrag- anti IgE (Ikawati, 2016).
ragma. Otot abdomen membantu udara keluar Juhariyah, Djajalaksana, Sartoro, dan Ridwan
saat ekspirasi dan memberi kekuatan yang lebih (2012) menyatakan tujuan terapi asma adalah
besar untuk mengosongkan paru, sehingga ke- mengntrol gejala dan mencegah kematian ka-
kuatan ekspirasi bertambah dan APE mening- rena asma. Hal ini sesuai dengan penelitian
kat setelah latihan. Aliran ekspirasi maksimum yang dilakukan oleh Idrus, et al. (2012) yang
jauh lebih besar ketika paru terisi volume udara menyatakan bahwa ada perbaikan APE pada
yang besar daripada ketika keadaan paru ham- pasien asma setelah diberikan terapi farmako-
al., 2015).
Pada penelitian ini, terjadi peningkatan APE yang signifikan pada kelompok intervensi di-
pasien asma ringan-sedang setelah intervensi bandingkan kelompok kontrol. Perry dan Potter
pada kelompok kontrol. Asma merupakan pe- (2005) memaparkan bahwa latihan pernapasan
nyakit kronis, sehingga membutuhkan peng- dilakukan untuk meningkatkan ventilasi dan
obatan yang perlu dilakukan secara teratur. oksigenasi. Latihan pernapasan terdiri dari la-
Salah satu obat asma yaitu golongan pelega tihan dan praktik pernapasan yang dirancang
(reliever) yang digunakan untuk meredakan dan dijalankan untuk mencapai ventilasi yang
76
ejournal
lebih Keperawatan
terkontrol dan (e-Kp)
efisien,Volume 3 Nomor 2, Mei2015
serta mengurangi farmakologis serta tambahan latihan pernapas-
kerja napas. Pasien asma yang diberikan terapi an diafragma akan lebih terlihat peningkatan
77
ejournal Keperawatan
dilakukan intervensi.(e-Kp) Volume
Novarin, 3 Nomor
Murtaqib, 2, Mei2015
dan
78
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi
rangi penyempitan jalan napas sehingga ven- ngan-sedang pada kelompok intervensi diban-
tilasi dan perfusi di dalam paru akan mening- dingkan kelompok kontrol. Hasil penelitian
kat serta kondisi yang mengakibatkan tubuh yang dilakukan oleh Maulani (2014) didapat-
menyimpan CO₂ berlebih dalam tubuh dapat kan latihan pernapasan dapat meningkatkan PEF
Pada penelitian ini, terjadi penurunan frekuensi fisik dapat mengurangi kesukaran bernapas dan
kekambuhan pasien asma ringan-sedang sete- gejala asma lainnya dengan menguatkan otot-
lah intervensi pada kelompok kontrol. Hal ini otot pernapasan dan mengurangi ventilasi pada
yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan Tortora dan Derrickson (2012) menyatakan
fungsi paru pada pasien asma yang diberikan bahwa penggunaan otot dapat merubah serabut
terapi farmakologis yang ditunjukkan dengan otot sehingga dapat menyebabkan peningkatan
penurunan frekuensi serangan. Idrus, Yunus, dia-meter, jumlah mitokondria, suplai darah,
dan Andarini. (2012) menambahkan terjadinya dan kekuatan otot sistem pernapasan. Keter-
penurunan frekuensi pernapasan dan sesak na- kaitan antara sistem musculoskeletal dengan
pas pada pasien asma yang diberikan terapi pernapasan menyebabkan aliran udara yang
Pada penelitian ini terjadi penurunan frekuensi pasan yang mengalami penyempitan sehingga
kekambuhan yang signifikan pasien asma ri- mem-bantu membersihkan saluran pernapasan
79
ejournal
dari Keperawatan
sekret (e-Kp) Volume
karena dengan latihan 3pernapasan
Nomor 2, Mei2015
Hasil analisis pada perubahan APE dan fre-
akan menerima suplai oksigen dan nutrisi yang kuensi kekambuhan pasien asma ringan-sedang
80
ejournal Keperawatan
pelepasan histamin.(e-Kp) Volume 3 Nomor
Tumigolung, 2, Mei2015
Kumaat,
Kesimpulan
asma ringan-
81
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
runan frekuensi kekambuhan lebih tinggi pa- Aini, F., Sitorus, R., & Budiharto, B. (2008).
mendapatkan latihan pernapasan diafragma di- peningkatan fungsi ventilasi paru pada
bandingkan dengan kelompok pasien asma ri- asuhan keperawatan pasien PPOK. Jurnal
latihan pernapasan diafragma pada pasien asma Akib, A.P. (2016). Asma pada anak. Sari
Agustiningsih, D., Kafi, A., & Djunaidi, A. Prevalens asma tidak terkontrol dan faktor-
Metode Buteyko Meningkatkan Nilai kontrol asma di poliklinik asma rumah sakit
82
ejournal Keperawatan
(2011). (e-Kp)of
Efficacy Volume 3 Nomor 2, Mei2015
diaphragmatic Global Initiative for Asthma (GINA). (2016).
237–244. content/uploads/2016/04/GINA-2016-
https://doi.org/10.1177/14799723114 main-report_tracked.pdf
24296.
EGC.
Setiawati,
Bursa Ilmu.
83
ejournal Keperawatan
persisten (e-Kp) Volume
sedang- berat. 3 Nomor 2, Mei2015 meningkatkan peak expiratory flow (PEF)
Jurnal
from http://www.
depkes.go.id/resources/download/pusdati
n/prof il-kesehatan-indonesia/profil-
kesehatan-indone sia-2014.pdf
(3), 193–199.
84
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015
Kartikasari, et al., Latihan Pernapasan Diafragma Meningkatkan APE dan Menurunkan Frekuensi
Puskesmas III Denpasar Utara. COPING Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan
Melastuti, E., & Husna, L. (2015). Efektivitas Novarin, C., Murtaqib, M., & Widayati, N.
pengontrolan asma di balai kesehatan paru relaxation terhadap aliran puncak ekspirasi
masyarakat semarang. Nurscope: Jurnal klien dengan asma bronkial di Poli Spesialis
http://dx.doi.org/10.30659/nurscope.
Moreira, A., Delgado, L., Haahtela, T., exercise terhadap fungsi pernapasan (RR
Fonseca, J., Moreira, P., Lopes, C., ... & dan APE) pada lansia di UPT PSLU
Elderly at UPT PSLU Jember Regency). (2015). Hubungan antara indeks massa
Pustaka Kesehatan, 3 (1), 74–81. tubuh (IMT) dengan tes fungsi paru.
fundamental keperawatan: Konsep, proses, Sahat, C.S., Irawaty, D., & Hastono, S.P.
dan praktik (Edisi 4, Volume 2). (Alih (2011). Peningkatan kekuatan otot
Bahasa: R. Komalasari, dkk.). Jakarta: pernapasan dan fungsi paru melalui senam
https://doi.org 10.24198/jkp.v4i3.293/
86
ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 3 Nomor 2, Mei2015 http://ejurnal.stikespemkabjombang.ac.id/i
https://doi.org/10.24198/jkp.v5i2.448
(3). Retrieved
from
87
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Frekuensi Kekambuhan Pasien Asma JKI, Vol. 22, No. 1, Maret 2019, 53–64
(2), 1–1.
Jurnal 9
KEPULAUAN SANGIHE
Alfah Yulied
Lalombo Henry
Palandeng
88Vanry D.
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Kallo
E-Mail: Juliet300793@gmail.com
tuberculosis. Observation from siloam health center district of Tamako in Sangihe Island
regency is most patients with pulmonary tuberculosis. Male sex who has the habit of smoking.
The purpose of this research to determine the relationship of smoking and the incidence of
pulmonary tuberculosis in siloam health center district of Tamako Sangihe Island. Method in
this research used analytic survey crosssectional approach. This research was conducted at
district of Tamako in October 2014 to January 2015.The samples in this research amounted
to 30 people. Sample were taken used total sampling. Data obtained used the questioner and
observation sheets. The data were abalysed used univariate and bivariate analysis includes
chi square test with. The result of this research showed the values of p=0,01 which means
that the p-value is smaller than the value of α =0,05. Conclution that there is a significant
research are expected to further investigate other factors that may cause the incidence of
pulmonary tuberculosis.
Kabupaten Kepulauan Sangihe sebagian besar penderita Tuberkulosis Paru (TB paru)
berjenis kelamin laki-laki yang memiliki kebiasaan merokok.Tujuan penelitian ini untuk
89
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di lakukan di
kecamatan Tamako pada bulan oktober 2014 sampai januari 2015.Sampel dalam penelitian
Data diperoleh menggunakan koesioner dan lembar observasi. Analisa data dilakukan
meliputi analisis univariat dan bivariat menggunakan uji chi square pada program komputer.
Hasil penelitian ini diperoleh nilai p= 0,01 yang berarti nilai p lebih kecil dari nilai α
(0,05). Maka dapat Kesimpulan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok
dapat meneliti lebih lanjut mengenai faktor yang lain yang dapat menyebabkan kejadian
tuberkulosis paru.
90
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
infeksi menular yang disebabkan oleh (Riskesdas, 2013) prevalensi TB paru masih
besar kuman TB menyerang paru tetapi 2013 yaitu (0,4%), menurut karakteristik
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya jenis kelamin laki- laki sebesar (0,4%) lebih
(Depkes, 2011). Salah satu target TB rendah dari perempuan yaitu (0,3%). Dalam
partnership dalam strategi pengendalian profil kesehatan 2013 angka notifikasi kasus
TB tahun 2010-2014 yaitusebagai tonggak basil tahan asam BTA (+) pada tahun 2013 di
pencapaian utama pada tahun 2050 TB Indonesia sebesar 81,0 per 100.000
bukan lagi merupakan masalah kesehatan penduduk dan provinsi tertinggi yaitu
masyarakat global (Depkes, 2011). sulawesi utara 224,2 per 100.000 penduduk.
tahun semakin meningkat Indonesia pada bahwa salah satu penyebab TB paru adalah
tahun 2013 menempati peringkat ke tiga gaya hidup (lifestyle), pada penelitian
setelah China dan India dengan konsumsi Sarwani dan Nurleila (2012) merokok dan
merokok penduduk 15 tahun ke atas masih signifikan antara merokok dan TB paru, dan
belum terjadi penurunan dari 2007 hingga di temukan bahwa separuh dari kematian
sebabkan merokok dan 3,2 dari perokok urutan ke-2 setelah penyakit ispa dan
Dalam penelitian yang dilakukan penderita TB paru pada tahun 2013 yaitu
oleh Liauw dan Chen (1998), tentang 32 orang sedangkan pada tahun 2014
yang tidak merokok. Pada perempuan rancangan studi kasus Cross sectional
kematian secara umum, bila satu kali pada waktu yang bersamaan.
Populasi dalam penelitian ini adalah dan bila responden dengan kejadian TB paru
Petani 14 46,7
Total 30 100,0
Perempuan 3 10
Ringan 14 46,7
SD 8 26,7
SMP 11 36,7
SMK 1 3,
94
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Tabel 4.7 Analisa Hubungan kebiasaan usia 51-55 tahun sebanyak 56 responden
merokok dengan kejadian TB paru. (29,8%) dan yang paling sedikit responden
responden di dapati jumlah tertinggi yaitu alkohol di sebut sebagai agen dari penyakit
responden yang berusia produktif berusia tuberkulosis. Hasil penelitian ini didukung
wilayah kerja puskesmas pagimana lebih banyak dari pada permpuan dengan
pada perempuan
dilakukan dengan Uji statistik kali lebih banyak mengandung tar dan
menggunakan chi square penelitian nikotin (Wardoyo, 1996 dalam Jode 2011).
statistik dari penelitian ini dilihat pada merokok dengan kejadian tuberkulosis
yaitu p = 0,01 yang berarti dengan nilai p dengan jumlah 31 responden dengan
Penelitian ini didukung oleh peneltian dengan teknik pengambilan sampel yaitu
yang dilakukan oleh Nurhanah dkk, (2010) consecutive sampling teqnique, dari hasil
dengan kejadian tuberkulosis paru pada dengan derajat kepositifan sputum BTA
foto toraks dengan derajat kepositifan berikut, Ada hubungan kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok juga meningkatkan Amin,Z. & Bahar, A. (2009) Buku Ajar
resiko untuk terkena TB paru sebanyak Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
SIMPULAN
tingka 2014.
al=6682&title=HUBUNGAN%20
DENGAN%20TINGKAT%20HI medanhttp://repository.usu.ac.id/bitst
PE r
Bone,S.K.(2013).Rokokdikalanganremaja.
es.g Penyakit
Kejadian Tuberkulosis
Paru di
Kecamatan Baturetno
Kabupaten
Wonorigi
http://ejournal.undip.ac.id/index.ph
p/
mkmi/article/download/5396/4835
Akibat Merokok
Taiwan.www.klikpdpi.com/jurnal-
100
warta/rokok/rokok-kes Diakses
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
2 diakse
mempengaruhi tingginya
2007.http://www.google.com/url berhubungan
=14&cad=rja&uact=8&ved=0C http://journal.unhas.ac.id/index.ph
2Fejo 2015
urnal.litbang.depkes.go.id%2Fin
%2F2194%2F1092&ei=3fHeVKv4 201
LIj 4
guQSvkoC4BQ&usg=AFQjCN http://www.depkes.go.id/resources/do
GCbZ
A5pgvVfECHDQdKN3SqFMUp
101
- w&bvm=bv.85970519,d.c2E
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
wnload/pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/profil-kesehatan-indonesia-
Tuberkulosis.http://ppti.info/ArsipPPT I/PPTI-Jurnal-Maret-2012.Pdf
Kedokteran: Jakarta.
1
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
PSIK Universitas Sam Ratulangi (2013) Panduan Penulisan Tugas Akhir Proposal
Dan Skripsi
Jurnal 10
Surakarta
Kartasura Email :
dhewipurnamasari75@gmail.com
2
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Abstrak
Pneumonia adalah suatu proses inflamasi pada alveoli paru-paru yang disebabkan
merupakan penyakit yang dapat diderita oleh semua usia baik laki-laki maupun
pneumonia memiliki jumlah penderita yang sama untuk beberapa tahun terakhir.
Salah satu masalah akibat pneumonia ini adalah adanya penumpukan sputum pada
saluran pernapasan. Beberapa gejala klinis akibat adanya penumpukan sputum ini
suara krekels saat diauskultasi, dan kesulitan bernapas. Kesulitan bernapas akan
pernapasan sehingga suplai oksigen yang masuk ke dalam tubuh dapat terpenuhi
dan gangguan akibat berkurangnya suplai oksigen tidak terjadi. Metode yang
diterapkan dalam menangani gangguan kebersihan jalan napas ini sesuai dengan
pernapasan dari sputum yaitu fisioterapi dada. Setelah melakukan fisioterapi dada
pada pasien, sputum berhasil dikeluarkan dari tindakan tersebut maka dapat
3
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
fisioterapi dada pada anak secara mandiri jika anak kambuh kembali dirumah.
4
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
PNEUMONIA
Surakarta
Kartasura Email :
dhewipurnamasari75@gmail.com
Abstract
be suffered by all ages, both men and women. Central Java Province precisely in
Boyolali case of pneumonia had the same number of patients for the last few years.
One of the problems due to pneumonia are the accumulation of sputum in the
5
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
are nostril breathing, increased respiratory rate, dypsneu, krekels sound occur
when auscultated, and difficulty breathing. Breathing difficulties will hamper the
fulfillment of the supply of oxygen so the oxygen supply is reduced. The reduced
supply of oxygen in the body to make cell death, hypoxemia and decreased
at cleansing the respiratory tract that supply oxygen into the body can be met and
disruption due to reduced oxygen supply does not occur. Methods applied in
dealing with these airway disorders cleanliness in accordance with the nursing
care of patients with respiratory disorders, one of the independent nursing actions
taken to clean up the respiratory tract of sputum that chest physiotherapy. After
action it can be concluded that the cleanliness of the patient's airway disorders
6
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
1. PENDAHULUAN
anak umur kurang dari 5 tahun 45% dari pneumonia disebabkan oleh virus dan
yang terbanyak yaitu virus influenzae dan respiratory sincitial virus, dan
penyebab yang lain ialah para influenzae virus, adeno virus, rhyno virus dan
Pada balita pneumonia ditandai dengan adanya gejala batuk dan atau
kesukaran bernapas seperti napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke
infiltrat paru akut sedangkan demam bukan merupakan gejala yang spesifik
penderita pneumonia pada tahun 2014 dan 2015 sama, dengan jumlah
7
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kemenkes RI, tahun 2015
ini di dunia diperkirakan 5,9 juta balita meninggal dan 16% (944.000) di
kematian nomor 3 pada balita, yaitu sebesar 9,4 % dari jumlah kematian balita.
Diperkirakan 2-3 orang balita setiap jam meninggal karena Pneumonia. Jumlah
kasus Pneumonia balita yang dilaporkan pada tahun 2014 adalah 600.682 kasus
dan 32.025 di antaranya adalah Pneumonia Berat (5,3%), dari 100 balita
Pneumonia berat maka risiko kematian lebih besar bisa mencapai 60%
pada anak bersifat ringan, akan tetapi sepertiga kasus mengharuskan anak
bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa
pada tahun 2014 adalah 600.682 kasus dan 32.025 di antaranya adalah
lebih besar bisa mencapai 60% terutama pada bayi. Pada kebanyakan kasus
gangguan pernafasan yang terjadi pada anak bersifat ringan, akan tetapi
8
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Disease.(Maidarti, 2014)
disebabkan karena
pernapasan cuping hidung, dypsneu dan suara krekels saat diauskultasi. Apabila
oksigen ke otak dan sel-sel diseluruh tubuh, jika dibiarkan dalam waktu yang
9
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
masalah ini adalah fisioterapi dada, sehingga penulis mengambil judul “Upaya
Pneumonia”.
2. METODE
kasus yang dilakukan di RSUD Pandan Arang Boyolali Bangsal Edelwis. Data
dikumpulkan dari hasil observasi pada pasien, wawancara dengan pasien dan ibu
pasien, selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan cara melihat buku
status pasien, rekam medik, dan catatan laboratorium. Studi kasus ini pertama
keperawatan yang sesuai dengan masalah yang muncul serta melakukan evaluasi
a. Hasil
10
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
bangsal Edelweiss RSUD Pandan Arang Boyolali dengan pasien Anak A usia
jawab Nyonya M, usia 28 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, agama islam,
suku jawa, alamat Sopaten Boyolali, hubungan dengan pasien adalah ibu.
napas.
pada hari Senin 21 Maret 2016 sekitar pukul 23.05 WIB suhu tubuh pasien
mulai naik disertai batuk berdahak, pilek dan muntah. Pada hari Jum’at 25
Maret 2016 pukul 08.00 WIB pasien dibawa ke IGD puskesmas. Di IGD
pasien diberi obat paracetamol untuk menurunkan panas dan obat pereda
batuk tetapi ibu pasien lupa namanya. Pada hari Minggu 27 maret 2016 pukul
23.00 WIB suhu tubuh pasien mulai naik kembali, akhirnya pada hari Senin,
28 maret 2016 pukul 10.00 wib pasien dibawa ke IGD RSPA Boyolali. Di
IGD pasien mendapat infus d ½ Ns 10 tetes per menit, injeksi antrain 3x8
mg, injeksi cefotaxim 3x 160 mg, dan sirup ambroxol 3 kali sehari sebanyak
pasienmengalami batuk dan pilek dan pasien belum pernah dirawat di rumah
keturunan.
kesehatan adalah hal yang paling penting dan utama sehingga jika anak sakit
11
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
anaknya. 2) Pola nutrisi dan cairan. Sebelum sakit: ibu pasien mengatakan
sebelum sakit klien makan 3 kali sehari dengan lauk, sayur dan nasi, selain
itu pasien makan biskuit atau makanan selingan lainnya, seperti agar-agar.
Pasien minum ± 1500 ml per hari. Selama sakit: ibu pasien mengatakan
pasien sulit makan, makan sedikit sekali, pasien hanya mau minum saja baik
air putih, susu, maupun teh, ± 2000 ml per hari. 3) Pola eliminasi. Sebelum
sakit: ibu pasien mengatakan klien BAK 4-5 kali perhari dengan jumlah
keluaran ±1200cc, urin berwarna jernih dan berbau khas. Pasien BAB 1-2
kali per hari, feses berwarna kuning, konsistensi lembek dan berbau khas
amoniak. Selama sakit: ibu klien mengatakan klien BAK 5-6 kali per hari,
urin berwarna jernih dan berbau khas dengan jumlah keluaran ± 1400cc.
Klien BAB 1-2 kali perhari, feses berwarna kuning, konsistensi encer dan
berbau khas amoniak. 4) Pola aktivitas dan lataihan. Sebelum sakit: ibu
pasien mengatakan
12
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
anaknya aktif bermain. Selama sakit: ibu pasien mengatakan pasien hanya
diam diatas bed. 5) Pola istirahat dan tidur. Sebelum sakit: ibu pasien
mengatakan pasien biasa tidur siang 1-2 jam. Pada malam hari pasien
biasanya tidur pukul 21.00 WIB lalu bangun pukul 06.00 WIB. Pasien tidur
dengan pulas hanya terbangun untuk minum atau BAK. Selama sakit: ibu
pasien mengatakan pasien pasien sulit tidur di siang hari, terkadang pasien
tidur terkadang tidak karena terganggu dengan batuknya dan suasana yang
kurang nyaman. Pada saat malam pasien tidur pukul 21.00 WIB dan bangun
pukul 05.30 WIB, namun pasien sering terbangun, tidur pasien kurang pulas
dan sering terganggu oleh batuk serta suasana kamar rumah sakit yang
pasien biasanya mudah diajari hal baru. Selama sakit: ibu klien mengatakan
pasien lebih sering diam dan jika diajari hal baru pasien tetap diam. 7) Pola
persepsi dan konsep diri: pasien mengatakan dirinya ingin segera sembuh dan
anak kedua dari dua bersaudara, pasien berinteraksi dengan ibu, bapak dan
Pola koping dan stress: bila pasien merasa sakit, pasien menunjuk bagian
yang sakit lalu berbicara kurang jelas, berteriak dan menangis. 10) Pola
seksual: pasien merupakan anak perempuan. 11) Pola nilai dan keyakinan:
pasien beragama islam, terlahir dari kedua orang tua yang beragama islam.
13
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6, suhu tubuh pasien 38o c,
respirasi rate 47 kali per menit, nadi 120 kali per menit, berat badan 7,6 kg,
tinggi badan 60 cm, mata tidak anemis, mukosa bibir lembab, ada
penumpukan sputum pada hidung, ada retriksi dinding dada saat bernapas,
terdengar suara krekels pada saat dilakukan auskuktasi, tidak ada gangguan
pergerakan pada kaki maupun tangan, terpasang infus d 0,5 ns 10 tpm pada
tangan kiri..
12,90 % (2-8).
10^3/uL (3,9-5,9).
MCV 76,1 L 10^6/ ul. MCH 25,4 fL (27-72). MCHC 33,3 pg (37-36). RDW
14,2 g/dl.
Terapi pada tanggal 28-30 Maret 2016 pasien mendapat terapi injeksi
NaCl/ 8 jam.
bernapas dengan mulut, pasien batuk berdahak, pilek, mual, sulit makan,
porsi makan anak jarang habis dan selalu minum. Data obyektif: pasien
terlihat bernapas dengan cuping hidung, terlihat batuk berdahak dan pilek, saat
14
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
diauskultasi terdengar suara krekels pada kedua dinding dada, respiratory rate
pasien 47 kali per menit, suhu tubuh pasien 380C, porsi makan tidak habis,
selera makan pasien menurun serta BB turun dari 7,6 kg menjadi 7,2 kg.
fisiologis dasar yang berfungsi untuk kelangsungan hidup sel dan jaringan
15
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
suara napas bersih, tidak ada sianosis, dyspneu dan suara napas mengi,
jalan napas yang paten (irama frekuensi napas dalam rentang normal, tidak
ada suara nafas abormal, napas bersih, irama frekuensi napas dalam rentang
napas. NIC: auskultasi suara napas pasien, berikan O2 nasal, monitor status
masih terlihat sesak napas dan bernapas dengan cepat, ibu pasien
16
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
bernapas cepat, terdengar suara krekels saat dilakukan auskultasi pada kedua
dada pasien, respiratory rate pasien 47 kali per menit, O2 masuk 2 liter per
menit, fisioterapi dada dilakukan 2 kali selama 15 menit dan respiratory rate
pasien turun menjadi 45 kali per menit, pasien diposisikan semi fowler
dada, mengajarkan ibu untuk memposisikan kepala anak lebih rendah dari
kepala dengan cara diganjal bantal pada kaki, melakukan fisioterapi dada
fisioterapi dada, pasien menangis saat dilakukan fisioterapi dada, ibu pasien
terapi nebulizer. Respon obyektif: pasien terlihat lemas, klien bernapas cepat
dan ada pernaapasan cuping hidung, respiratory rate 45 kali per menit,
terdengar suara krekels saat dilakukan auskultasi pada kedua dada pasien,
O2 masuk 2 liter per menit, pasien menangis saat dilakukan fisioterapi dada,
fisioterapi dada dilakukan 2 kali selama 15 menit menit dan respiratory rate
pasien turun menjadi 43 kali per menit, pasien diposisikan semi fowler
17
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
melakukan fisioterapi dada untuk yang kedua kali. Respon subyektif: Ibu
mengatakan makan pasien sedikit dan pasien banyak minum, ibu pasien
bersedia jika anaknya diposisikan semi fowler, pasien menangis saat dilakukan
pernapasan cuping hidung mulai hilang, respiratory rate 43 kali per menit,
dada selama 2 kali respiratory rate turun menjadi 40 kali per menit.
18
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
ajari ibu untuk memposisikan kepala pasien lebih rendah dari kaki dengan
cara kaki diganjal bantal, lakukan fisioterapi dada. Hari kedua, S: Ibu pasien
lebih rendah dari kaki dengan cara kaki diganjal bantal, lakukan fisioterapi
intervensi dihentikan.
b. Pembahasan
19
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
bagi tubuh karena jalan napas yang bersih akan membuat pemenuhan
kelangsungan hidup sel dan jaringan serta metabolisme tubuh. Pada Anak A
masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru yakni melalui proses yang disebut
dengan pernapasan. Paru dan dinding dada adalah suatu struktur yang
elastis, dalam keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru dan
dinding dada. Paru dengan mudah bergeser dengan dinding dada. Tekanan
pada ruang paru antara paru dan dinding dan dada dibawah tekanan
atmosfer. Paru teregang dan berkembang pada waktu bayi baru lahir.Pada
hidung dan faring. Udara dihangatkan dan diambil uap airnya. Udara berjalan
20
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
dikelilingi oleh kapiler-kapiler. Terdapat kira –kira 300 juta alveoli. Luas total
dinding paru yang bersentuhan dengan kapiler-kapiler pada kedua paru kira-
kira 70 m2.
dalam pernapasan yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah proses aktif
inspirasi menurun sampai -6 mmHg dan paru ditarik ke arah posisi yang
lebih mengembang, di jalan udara menjadi sedikit negatif dan udara yang
21
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
sedikit positif, udara mengalir ke luar dari paru. pada saat inspirasi,
pengaliran udara ke rongga pleura dan paru berhenti sebentar ketika tekanan
sedangkan ekspirasi adalah pernapasan tenang bersifat pasif, tidak ada otot-
ekspirasi kontraksi ini menimbulkan kerja yang menahan kekuatan rekoil dan
paru dengan derajat yang lebih besar. Bila ventilasi meningkat, luasnya deflasi
penyakit inflamasi pada alveoli paru yang disebabkan oleh bakteri, virus,
atau organisme lain. Selain terinfeksi oleh bakteri, virus dan organisme lain
22
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
virus yang terbanyak adalah virus influenzae dan respiratory syncitial virus,
pada oofaring, (2) inhalasi aerosol yang infeksius, dan (3) penyebaran
Jalur dan struktur utama saluran pernapasan bagian bawah adalah batang
serta alveolus. Setelah udara yang terhirup bergerak melalui laring, maka
udara akan sampai ke trakea. Trakea adalah suatu pembuluh kaku dan
berotot, dengan panjang sekitar 4,5 inchi, dan lebar 1 inchi. Cincin tulang
dan membuatnya bisa terbuka sanpanjang waktu. Aliran udara ke dalam dari
trakea kemudian terbagi meuju dua bronkus. Satu bronkus menuju keparu
kanan dan satu lagi keparu kiri. Bronkus juga memiliki cincin tulang rawan
23
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
bronkiolus tidak ada tulang rawan didalam bronkiolus, oleh sebab itu
kantong-kantong alveolus.
mengangkut darah yang datang dari urat darah dibagian tubuh lainnya. Disini
terjadi pertukaran gas karbondioksida dari darah ditukar dengan oksigen dari
alveolus, setelah darah dibershkan dari oksigen, maka darah akan masuk ke
jantung (yang juga terdapat didalam rongga dada), di dalam jantung, darah
akan dipompa keluar dari jaringan tubuh dan ekstremitas. Saat anda menarik
24
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
terhambat. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri ataupun faktor lain pada
(susilaningrum, 2013) selain itu juga beberapa hari sebelum terjadi pneumonia
anak sering mengalami infeksi sistem pernafasan berupa pilek dan batuk
kemudian suhu tubuh meningkat dengan cepat disertai dengan badan yang
fisioterapi dada apabila tidak ada ahli terapi. Fisiotherapi dada dalam hal ini
25
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
dalam fisioterapi dada yaitu postural drainage, perkusi, vibrasi dan suction
(Tohamy, 2015), namun jika alat untuk suction tidak ada maka dapat diganti
pasien agar tenang dan tidak menangis. Penulis juga mengajarkan tindakan
menerapkannya dirumah jika pasien kembali sakit ataupun jika ada anggota
melakukan tindakan fisioterapi dada ini, ada beberapa tahap yang dilakukan
perlahan karena kekuatan kerangka tulang dan organ anak masih dalam
agar tindakan berjalan dengan lancar dan efektif. Kelancaran dan keefektifan
ini ditandai dengan anak yang kooperatif serta anak tidak menangis saat
26
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
sehingga sputum akan berpindah dari segmen kecil ke segmen besar dengan
bantuan batuk. Perkusi dan vibrasi dalam tindakan fisioterapi ini berguna
jari atau empat jari salah satu tangan yang dirapatkan jadi satu lalu menepuk
perlahan bagian dada dan punggung pasien secara perlahan dari bawah
keatas, lalu setelah itu dilanjutkan dengan vibrasi dengan menggunakan tiga
atau empat jari tadi dan digetarkan perlahan dari bagian bawah keatas.
pasien ke depan dari posisi semifowler, lalu letakkan kedua jari dibawah
27
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
hembuskan perlahan-lahan melalui mulut. Ambil nafas kedua dan tahan lalu
suruh membatukkan dengan kuat dari dada (Nugroho, 2011) namun jika
anak dengan posisi posterior basal segmen atau posisi kaki lebih tinggi dari
kepala dengan cara kaki diganjal dengan bantal atau alat lainnya untuk
secara rutin selama 2 kali satu hari dan untuk satu posisi (seperti postural
drainage, perkusi, atau vibrasi) dilakukan selama 3-5 menit. (Tohamy, 2015)
untuk mengingatkan kembali nama dan institusi penulis, selain itu juga
stetoskop, sarung tangan, tissue, dan gelas sputum yang berisi cairan
desinfektan. Setelah semua alat telah siap penulis mencuci tangan agar tidak
terjadi kontaminasi silang, kemudian menutup tirai dan pintu agar privasi
pasien terjaga. Selanjutnya penulis memakai sarung tangan dan meminta ibu
agar sputum yang di perkusi dan vibrasi dapat mengalir keluar, setelah itu
diauskultasi terdengar suara krekels di bagian kanan dan kiri dada dan
28
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
air hangat, air hangat ini berfungsi agar sputum mencair sehingga mudah
untuk keluar. Setelah memberi minum air hangat penulis melakukan perkusi
nepuk dada secara perlahan dari bawah ke atas selama 3 menit pada satu
dimulai dari punggung dengan arah vibrasi miring dari bawah menuju leher
selama 3 menit untuk punggung bagian kanan dan dilanjutkan dengan cara
anak lebih rendah dari kaki agar sputum mengalir keluar. Penulis lalu
memposisiskan gelas untuk tempat sputum tepat dibawah bibir pasien agar
saat sputum keluar sputum langsung masuk ke dalam gelas, sputum keluar
sekitar 4cc. Tindakan fisioterapi dada ini penulis lakukan 2 kali dalam
08.30 WIB dan sore haripukul 15.30 WIB, untuk satu kali tindakan penulis
tanggal 28 Maret 2016 sampai tanggal 30 Maret 2016. Pada hari pertama,
respiratory rate pada pasien dengan hasil 47 kali per menit, dari hasil ini
29
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
kali per menit. Pada hari kedua setelah penulis melakukan 2 kalitindakan
fisioterapi dada respiraoty rate pasien turun dari 45 kali permenit menjadi 43
kali permenit. Pada hari ketiga penulis kembali melakukan 2 kali tindakan
respiratory rate turun dari 43 kali per menit menjadi 40 kali per menit. Selain
krekels sudah tidak terdengar dan pernafasan cuping hidung sudah tidak ada.
pasien yaitu pasien menangis saat dilakukan tindakan fisioterapi, semua itu
karena pasien sudah takut terlebih dahulu saat melihat seragam perawat yang
30
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
paham terhadap tindakan yang penulis lakukan dan ajarkan serta ibu pasien
kooperatif melakukan apa yang penulis anjurkan. Selain itu juga setelah
penurunan respiratory rate pasien mulai dari 47 kali permenit pada hari
pertama, berkurang menjadi 43 kali permenit pada hari kedua dan 40 kali
4. PENUTUP
a. Kesimpulan
memerlukan penanganan segera agar jalan napas dapat kembali efektif dan
suplai oksigen yang masuk ke tubuh dapat terpenuhi. Salah satu tindakan
b. Saran
31
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
DAFTAR PUSTAKA
49
Aksara
Maidarti. (2014). “Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Bersihan Jalan Napas pada
Anak Usia 1-5 Tahun yang Mengalami Gangguan Bersihan Jalan Napas di
No. 1. Hal.53
Singapura: Saunders Maryam, Rustiana Y& Wahyanti Fajar Tri. (2013). “Aplikasi
32
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Nugroho YA & Kristianti EE. (2011). “Batuk Efektif dalam Pengeluaran Dahak
Nurarif Amin Huda & Hardi Kusuma. (2015). Aplikasi Nanda NIC-NOC.
Price Sylvia A & Lorraine MWilson. (2006). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
Putri Herdyani & Soemarno Slamet. (2013). “Perbedaan Postural Drainage dan
Frekuensi Batuk pada Asma Bronkiale Anak Usia 3-5 Tahun”, Jurnal
Rudolph Abraham M, Rudolph Colin D, Hoffman Julian IE. (2014). Buku Ajar
Susilaningrum Rekawati, Nursalam & Utami Sri. (2013). Asuhan Keperawatan Bayi
Kebidanan, Edisi 4.
Jakarta: EGC
Syamsudin & Sesilia Andriani Keban. (2013). Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan
Saluran Pernafasan.
33
ejournal Keperawatan (e-Kep) Volume 3. Nomor 2 Mei 2015
Erlangga
34
PERSANTUNAN
Karya tulis ilmiah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bimbingan, pengarahan serta
dukungan dari berbagai pihak sehingga mampu menghasilkan suatu pemikiran yang
Maka demikian dengan segala kerendahan hati dan ketulusan hati penulis ingin
1. Allah SWT, yang dengan izin-Nya penulis dapat menyelesikan karya ilmiah ini dengan
baik
Muhammadiyah Surakarta
Muhammadiyah Surakarta
Muhammadiyah Surakarta
5. Irdawati, S.Kep., Ns., Msi., Med, selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan
baik
6. Arina Maliya, S.Kep., M.Si., Med selaku Pembimbing Akademik Prodi DIII
Keperawatan