Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN.S DENGAN TUBERCULOSIS


Disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Kritis
Dosen pembimbing : Engkartini, M.Kep.,Ns

Disusun oleh :
KELOMPOK
1. Fitrianingsih (108118040)
2. Anggi Novita Sari (108118041)
3. Dwi Agustin (108118042)
4. Asna Cahyaningsih (108118043)
5. Sofia Aina (108118044)
6. Dias Riski Y (108118045)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
2021/2022
A. Pengertian
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang
paling sering mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. TB paru dapat menyebar ke setiap bagian tubuh,
termasuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer&Bare, 2015).
Dalam (Avtarina, 2021)

B. Etiologi
TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan
organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi.
Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Reaksi inflamasi
menghasilkan eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan
jaringan fibrosa (Smeltzer&Bare, 2015). Ketika seseorang penderita TB paru
batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei
dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. (Padang, 2017)
Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet
atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu
dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung
dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang
sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif,
2012).

C. Manifestasi Klinis
Arif Mutaqqin (2012), menyatakan secara umum gejala klinik TB paru
primer dengan TB paru DO sama. Gejala klinik TB Paru dapat dibagi menjadi
2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan
gejala sistematik.
1. Gejala respratorik
a. Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan
yang paling sering dikeluhkan.
b. Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien TB Paru selalu menjadi alasan
utama klien untuk meminta pertolongan kesehatan.
c. Sesak nafas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik
ringan.Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura
terkena TB.
2. Gejala sistematis
a. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore
atau malam hari mirip demam atau influenza, hilang timbul, dan
semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa
bebas serangan semakin pendek.
b. Keluhan sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya
bersifat gradual muncul dalam beberapa minggusampai
bulan.Akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, dan
sesak nafas. Gejala reaktivasi tuberkulosis berupa demam
menetap yang naik dan turun (hectic fever), berkeringat pada
malam hari yang menyebabkan basah kuyup (drenching night
sweat), kaheksia, batuk kronik dan .Pemeriksaan fisik sangat
tidak sensitif dan sangat non spesifik terutama pada fase awal
penyakit.Pada fase lanjut diagnosis lebih mudah ditegakkan
melalui pemeriksaan fisik, terdapat demam penurunan berat
badan, crackle, mengi, dan suara bronkial. (Darmanto, 2009)
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya.Pada
tipe infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau
dapat berupa gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala
TB, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi
pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri
pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat
sembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya 50%.
TB postprimer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat dingin
pada malam hari, tempratur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua
minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh
darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak darah
pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif, TB postprimer dapat
menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan gejala-gejala
seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis dengan fenoma papan
catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar limfe
dileher, yakni berupa skrofuloderma (Tabrani Rab, 2016).

D. Patofisiologi
Basil tuberkel yang terhirup dan bersarang pada alveoli. Seringkali,
organisme ini dengan segera hancur, tanpa gejala sisa kekebalan dan patologis
lebih lanjut. Jika organisme tidak hancur, mereka berkembang biak dan
melukai dan menghancurkan jaringan alveolus sekitarnya (Ringel, 2012).
Hal ini pada gilirannya menghancurkan sitokin dan faktor kemotaktik
yang menarik makrofag, neutrofil, dan monosit. Biasanya, pertumbuhan
organisme akan diperiksa sekali ada respon imunitas seluler yang adekuat
(imunitas bermedia seluler, CMI), yang terjadi dalam 2-6 minggu. Sel dan
bakteri membentuk sebuah nodul, sebuah granuloma yang mengandung basil
TB, yang disedut sebagai suatu tuberkel. Pada titik ini, tergantung pada faktor
peamu dan virulensi dari strain, beberapa hasil akhir yang berbeda dapat
dicapai (Ringel, 2012). Dalam (Maria Goreti usboko, 2018)
Pertama, jika tidak ada lagi pertumbuhan, tuberkel merupakan satu-
satunya tempat penyakit, dan organisme bertahan pada stadium laten. Kedua,
Jika ada pertumbuhan lebih lanjut, basil memasuki kelejar limfe dan
menginfeksi kelenjar getah bening hilus, menyebabkan limfadenopati.
Tuberkel maupun kelenjar getah bening mengalami kasifikasi, sebagia
konsekuensi jangka panjang proses jaringan perut dan penahan (Ringel,2012).
Gabungan tuberkel perifer dan kelenjar limfe hilus yang membesar dan
mengalami kalsifikasi disebut komples Ghon. Sebagain besar infeksi yang
berembang sampai titik ini biasanya menunda pemeriksaan, menciptakan
infeksi laten. Sebagian kecil pasien mengalami penyakit primer progresif di
paru, dan sangat sedikit pasien (sering kali kekebalan ditekan melalui satu
mekanisme atau hal lainnya) mengalami penyebaran hematogen, dengan
produksi tuberkel yang tak terhitung di saluran tubuh. Keadaan ini disebut
tuberkulosis militer dan berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi.
Pasien yang memiliki respons CMI sukses akan mencerminkan memori
imunologi infeksi dengan tes mantoux positif (Ringel, 2012).
Tes ini terdiri dari suntikan protein TB intradermal steril ada mengamati
tanda-tanda respon kekebalan, indurasi dari tempat suntikan 48-72 jam setelah
suntikan. Tes mantoux merupakan andalan tes paparan, yang tercakup dalam
rincian lebih besar pada bagian pengobatan dan pencegahan di awah ini.
Infeksi laten tidak selalu tetap laten. Sekitar 10% dari pasien akan
mengaktifkan kembali infeksi laten mereka dalam 3 tahun pertama setelah
ifeksi, berlanjut menjadi infeksi nekrotik destruktif dengan gejala konstitusi
yang menonjol. Kerusakan jaringan terlihat sebagai efek dari organisme dan
respons kekealan pajemu. Sekelompok tambahan pasien akan terus
berlangsung untuk di kemudian hari megaktifkan kembali dekade setelah
paparan, karena usia, pengobatan, atau penyakit kembuha mengubah
keseimbangan di antara pejamu dan organisme (Ringel, 2012)

E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah :
1. Pemeriksaan Diagnostik
2. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya
kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan
dahak dilakukan 3 kali yaitu: dahak sewaktu datang, dahak pagi dan
dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila didapatkan hasil dua kali positif
maka dikatakan mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali
negatif maka pemeriksaan perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang
akan didapatkan satu kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA
negatif.
3. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika diketemukan
bakteri taham asam.
4. Skin test (PPD, Mantoux)
Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
a. indurasi 0-5 mm (diameternya ) maka mantoux negative atau hasil
negative
b. indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan
c. indurasi 10- 15 mm yang artinya hasil mantoux positif
d. indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat
e. reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni
persenyawaan antara antibody dan antigen tuberculin
5. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan
kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang
menunjukkan perkembangan Tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan
area fibrosa.
6. Pemeriksaan histology / kultur jaringan Positif bila terdapat
Mikobakterium Tuberkulosis.
7. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan
terjadinya nekrosis.
8. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
9. Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan
jaringan paru.
10. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio
residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen
sebagai akibat infiltrasi parenkim / fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan
kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis).

G. Komplikasi
Menurut Wahid&Imam (2013), dampak masalah yang sering terjadi
pada TB paru adalah:
1. Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronki ektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumothorak (adanya udara dalam rongga pleura) spontan: kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi keorgan lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal,
dan sebagainya.
6. Insufisiensi kardiopulmonar (Chardio Pulmonary Insuffciency).

H. Penatalaksanaan
Menurut Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru menjadi
tiga bagian, pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
1. Pemeriksaan kontak
Yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita TB paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin,
klinis dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan
radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila
masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi
konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
2. Mass chest X-ray
Yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu misalnya:
a. Karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan.
b. Penghuni rumah tahanan.
3. Vaksinasi BCG
Tabrani Rab (2010), Vaksinasi BCG dapat melindungi anak
yang berumur kurang dari 15 tahun sampai 80%, akan tetapi dapat
mengurangi makna pada tes tuberkulin. Dilakukan pemeriksaan dan
pengawasan pada pasien yang dicurigai menderita tuberkulosis,
yakni:
a. Pada etnis kulit putih dan bangsa Asia dengan tes Heaf positif
dan pernah berkontak dengan pasien yang mempunyai sputum
positif harus diawasi.
b. Walaupun pemeriksaan BTA langsung negatif, namun tes
Heafnya positif dan pernah berkontak dengan pasien penyakit
paru.
c. Yang belum pernah mendapat kemoterapi dan mempunyai
kemungkinan terkena.
d. Bila tes tuberkulin negatif maka harus dilakukan tes ulang
setelah 8 minggu dan ila tetap negatif maka dilakukan
vaksinasi BCG. Apabila tuberkulin sudah mengalami konversi,
maka pengobatan harus diberikan.
4. Kemoprofilaksis
Mengggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan
tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang
menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis
sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
a. Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB,
b. Anak dan remaja dibawah dibawah 20 tahun dengan hasil
tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB
yang menular,
c. Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin
dari negatif menjadi positif
d. Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
immunosupresif jangka panjang,
e. Penderita diabetes melitus.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun ditingkat rumah sakit
oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI). (Mutaqqin Arif,
2012)
Arif Mutaqqin (2012), mengatakan tujuan pengobatan pada penderita
TB paru selain mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan,
resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai penularan. Untuk
penatalaksanaan pengobatan tuberkulosis paru, berikut ini adalah
beberapa hal yang penting untuk diketahui.
Mekanisme Kerja Obat anti-Tuberkulosis (OAT)
a. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat.
1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R)
dan Streptomisin (S).
2) Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan
Isoniazid (INH).
b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidormant)
1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rimpafisin dan
Isoniazid.
2) Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin
dan Isoniazid. Untuk very slowly growing bacilli, digunakan
Pirazinamid (Z).
c. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
1) Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E),
asam para-amino salistik (PAS), dan sikloserine.
2) Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh
Isoniazid dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu fase
intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan).Panduan obat yang
digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,
Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI,
2004)
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih
dahulu berdasarkan lokasi TB paru, berat ringannya penyakit, hasil
pemeriksaan bakteriologi, apusan sputum dan riwayat pengobatan
sebelumnya.Disamping itu, perlu pemahaman tentang strategi
penanggulangan TB paru yang dikenal sebagai Directly Observed
Treatment Short Course (DOTSC). DOTSC yang direkomendasikan
oleh WHO terdiri atas lima komponen, yaitu:
a. Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil
keputusan dalam penanggulangan TB paru.
b. Diagnosis TB paru melalui pemeriksaan sputum secara
mikroskopik langsung, sedangkan pemeriksaan penunjang
lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat
dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
c. Pengobatan TB paru dengan paduan OAT jangka pendek dibawah
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO),
khususnya dalam dua bulan pertama di mana penderita harus
minum obat setiap hari. d. Kesinambungan ketersediaan paduan
OAT jangka pendek yang cukup. Pencatatan dan pelaporan yang
baku.
I. Pengkajian Keperawatan
Nama Pengkaji : kelompok 3
Tanggal pengkajian : 4 Oktober 2021
Ruang pengkajian : Ruang ICU
Jam : 07. 30 WIB

L. Biodata pasien :
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswata
Usia : 55 tahun
Status Pernikahan : Menikah
No. RM : 0219991
Diagnosa Medis : TBC
Tanggal Masuk : 3 Oktober 2021
Alamat : Tritih
M. Biodata Penanggungjawab Pasien
Nama : Ny. N
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan ps : Istri
Alamat : Tritih
N. Pengkajian Primer
1. Airway
a. Look : pasien terlihat sesak dan menggunakan otot bantu napas
(retraksi dinding dada), RR : 30x/menit
b. Listen : terdapat suara ronki
c. Feel : terasa hembusan napas dari hidung pasien
2. Breathing
Pasien terpasang masker mask 6ltr/mnt.
3. Circulation
Akral teraba hangat, N : 90x/menit, TD : 130/90 mmHg
4. Disability
GCS : E : 4, M : 5, V : 5 (CM)
Reaksi pupil : isokor
Kekuatan motorik 5 5
5 5

5. Exposure : tidak ada luka terbuka


O. Pengkajian Sekunder
1. Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak.
2. Alergi terhadap obat, makanan
Tidak memiliki riwayat alergi obat maupuun makanan
3. Pengalaman pembedahan pengobatan terakhir
Belum pernah
4. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan sudah menderita penyakit ini sejak 7 bulan yang lalu dan
sering keluar rumah sakit

5. Riwayat penyakit sekarang


Pasien mengatakan sudah menderita penyakit ini sejak 7 bulan yang lalu dan
sering keluar rumah sakit

P. Pengkajian Persistem
1. Rasa Nyaman
Tidak ada nyeri
2. Pola Aktivitas sehari-hari
a. Nutrisi : Pasien biasanya mengalami gangguan dalam pemenuhan
nutrisinya karena tidak nafsu makan.
b. Eliminasi: Dapat ditemukan adanya oliguria. Karena keadaan umum
pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan
menimbulkan konstipasi
c. Personal hygiene: pasien biasanya kurang dalam personal hygiene
karna pasien lemas dan lemah untuk melakukan aktivitasnya.
d. Istirahat tidur : pasien umumnya mengalami bed rest dan
menghabiskan waktunya kebanyakan untuk tidur yang menyebabkan
masalah pola tidur.
e. Aktivitas: Pasien dapat mengalami kelemahan umum, napas pendek
karena aktivitas, takikaria, takipnea atau dispnea pada saat melakukan
aktivitas, kelemahan otot
Q. Pengkajian Biologis
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : KU cukup (CM)
Pada klien yang dimobilisasi perlu dilihat dalam hal keadaan
umumnya meliputi penampilan postum tubuh, kesadaran keadaan umum
klien, tanda-tanda vital perubahan berat badan, perubahan suhu,
bradikardi, labilitas emosional.
2. Tanda-tanda Vital
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 90x/menit
Pernafasan : 30x/menit
Suhu : 370C
3. Pemeriksaan head to toe
a. Kepala, Kulit kepala
- Inspeksi : lihat ada atau tidak adanya lesi, warna kehitaman
/kecoklatan, edema, dan distribusi rambut kulit.
- Palpasi : diraba dan tentukan turgor kulit elastic atau tidak, tekstur
kasar atau halus, akral dingin/hangat.
b. Rambut
- Inspeksi : distribusi rambut merata atau tidak, kotor atau tidak,
bercabang.
- Palpasi : mudah rontok atau tidak, tektur kasar atau halus.
c. Kuku
- Inspeksi : catat mengenai warna biru: sianosis, merah peningkatan
visibilitas Hb, bentuk: clubbing karena hypoxia pada kangker paru.
- Palpasi : catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler
refill (pada pasien hypoxia lambat 5-15 detik)
d. Kepala/wajah
- Inspeksi : lihat kesimetrisan wajah jika muka kanan dan kiri
berbeda atau missal lebih condong ke kanan atau ke kiri, itu
menunjukkan ada parase/kelumpusan.
- Palpasi : cari adanya luka, tonjolan patologik dan respon nyeri
dengan menekan kepala sesuai kebutuhan.
e. Mata
- Inspeksi : kelopak mata ada lubang atau tidak, reflek kedip
baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah atau konjungtivitis,
ikterik/indikasi hiperbilirubin atau gangguan pada hepar, pupil:
isokor, miosis atau medriasis.
- Palpasi : tekan secara rinagn untuk mengetahui adanya TIO
(tekanan intra okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras
(pasien 30 glaucoma/kerusakan dikus optikus) kaji adanya nyeri
tekan.
f. Hidung
- Inspeksi : apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah
ada secret.
- Palpasi : apakah ada nyeri tekan massa.
g. Telinga
- Inspeksi : daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran bentuk,
kebersihan, lesi.
- Palpasi : tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan
kelenturan kartilago.
h. Mulut dan faring
- Inspeksi : Amati bibir apa ada kelainan congenital (bibir sumbing)
warna, kesimetrisan, kelembaban pembengkakan, lesi, amati
jumlah dan bentuk gigi, berlubang, warna plak dan kebersihan
gigi.
i. Leher
- Inspeksi : warna kulit sama dengan warna tubuh yang lain
- Palpasi : pegang dan tekan darah pipi kemudian rasakan ada massa
atau tumor, pembengkakan dan nyeri.
j. Dada
- Inspeksi : amati kesimetrisan dada kanan kiri, amati adanya
retraksi interkosta, amati pergerakan paru.
- Palpasi : Adanya pergeseran trakea menunjukkan meskipuntetapi
tidak spesifik-penyakit dari lobus atas paru. Pada Tb paru disertai
adanya efusi pleura masif dan pneumothoraks akan mendorong
posisi trakea ke arah berlawanan dari sisi sakit. Gerakan dinding
thorak anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi
pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya
normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya
penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada
klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Gertaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika
perawat meletakkan tangannya di dada pasien saat pasien berbicara
adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah
distal sepanjang pohon bronkial untuk membuat 32 dinding dada
dalam gerakan resonan, terutama pada bunyi konsonan. Kapasitas
untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus.
Adanya penurunan taktil fremitus pada pasien dengan TB paru
biasanya ditemukan pada pasien yang disertai komplikasi efusi
pleura masif, sehingga hantaran suara menurun karena transmisi
getaran suara harus melewati cairan yang berakumulasi di rongga
pleura
- Perkusi : Pada pasien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi,
biasanya akan didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Pada pasien dengan TB paru yang disertai komplikasi
seperti efusi pleura akan di dapatkan bunyi redup sampai pekak
pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi cairan dirongga
pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka di dapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisi paru ke sisi yang sehat
- Auskultasi : Pada pasien dengan TB paru didapatkan bunyi napas
tambahan (ronchi) pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat
pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah
mana di dapatkan bunyi ronchi. Bunyi yang terdengar melalaui
stetoskop ketika klien berbicara disebut sebagai resonan vokal.
Pasien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumothoraks akan didapatkan penurunan resonan
vokal pada sisi yang sakit
k. Abdomen
- Inspeksi : Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya
retraksi, penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites.
- Palpasi : adanya massa dan respon nyeri tekan.
- Auskultasi: bising usus normal 10- 12x/menit.
l. Muskuloskeletal
- Inspeksi : Aktivitas sehari-hari berkuarang banyak pada klien TB
paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan,
insomnia, pola hidup menetep dan jadwal olahraga menjadi tak
teratur.

R. Pemeriksaan Penunjang
Elektrolit
Natrium :132 Mmol/L
Kalium :4,5 Mmol/L
Kalsium :0,95 Mmol/L
Kimia Klinik
Protein total : 5,4 g/dL
Albumin :2,5 g/dL
Profil lemak :
Kolesterol total : 11,9 Mg/dL
Trigiserida : 78 Mg/dL
Kolesterol HDL : 32 Mg/dL
Kolesterol LDL : 71 Mg/dL
Fungsi Ginjal
Asam Urat :5,3 Mg/dL

S. Terapi yang didapat


Ondansetron 3x4
Lasix 1x250
Streptomycin 2x200sanmol
ventolin

I. Diagnosa Keperawatan
Data Etiologi Problem
DS : Sekresi yang tertahan Bersihan jalan nafas
Pasien mengeluh sesak tidak efektif

DO :
Pasien tampak sesak,
terdapat retraksi otot
dinding dada dan
terdapat nafas tambahan
(ronchi)
RR : 30x/menit

Dx : Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Sekresi yang tertahan d.d pasien
tamapak sesak nafas, terdapat retraksi otot dinding dada dan terdapat suara
nafas tambahan (ronchi) RR: 30 x/menit

J. Intervensi Keperawatan
Dx Luaran Intervensi
Keperawatan
Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan Latihan Batuk Efektif
nafas b.d asuhan keperawatan selama Tindakan :
sekresi yang 1x24 jam diharapkan Observasi
tertahan bersihan jalan nafas efektif 1. Identifikasi kemampuan
kembali kriteria hasil: batuk
2. Monitor adanya retensi
SLKI : Bersihan jalan nafas 3. Monitor tanda dan gejala
Ekspektasi : Meningkat 4. Monitor input dan output
Indikator IR ER cairan (misal Jumlah dan
1. Batuk efektif 2 3 karakteristik)
2. Produksi 2 3 Terapeutik
sputum 1. Atur posisi semi-Fowler atau
3. Frekuensi 3 4 Fowler
napas 2. Pasang perlak dan bengkok
membaik di pangkuan pasien
3. Buang sekret pada tempat
sputum
Ket : Edukasi
1. Menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
2. Cukup menurun batuk efektif
3. Sedang 2. Anjurkan tarik nafas dalam
4. Cukup meningkat melalui hidung selama 4
5. Meningkat detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari
mulut.
3. Anjurkan mengulangi tarik
nafas dalam 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik nafas
dalam yang ke-3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu

K. Implementasi
Dx. kep Implementasi Evaluasi formatif
Bersihan jalan 1. Mengidentifikasi DS:
nafas b.d sekresi kemampuan batuk Pasien mengatakan kadang
yang tertahan mencoba batuk tetapi sekret
tidak mau keluar
DO :
Pasien tampak menujukan ke
perawat batuknya

2. Mengatur posisi semi-


DS :
Fowler atau Fowler
Pasien mengatakan sedikit
sedikit lebih nyaman dan
sesak sedikit berkurang.
DO :
Pasien tampak berbaring
dibad dengan posisi semi
fowler, tampak lebih rileks
3. Mengajari cara batuk
efektif
DS :
4. Menjelaskan tujuan
Pasien mengatakan saat
dan prosedur batuk
dibatukan sekret tetap tidak
efektif
mau keluar
5. Menjurkan tarik nafas
DO :
dalam melalui hidung
Pasien tampak mengikuti
selama 4 detik, ditahan
instruksi perawat, tetapi sekret
selama 2 detik,
tidak keluar
kemudian keluarkan
dari mulut.
6. Menganjurkan
mengulangi tarik nafas
dalam 3 kali
7. Menganjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik nafas
dalam yang ke-3

Kolaborasi
DS :
Memberikan ventolin
Pasien mengatakan sekret
dengan nebulizer
sedikit keluar, sesak
berkurang.
DO :
Pasien tampak menghirup
nebu, sekret keluar sedikit,
sesak berkurang.

L. Evaluasi
Dx. kep Evaluasi SOAP
Bersihan jalan S:
nafas b.d sekresi Pasien mengatakan sekret sudah sedikit-sedikit keluar jika
yang tertahan dibatukan, sesak berkurang.
O:
Pasien tampak dapat mempraktikan batuk efektif, sekret
sedikit keluar, sesak tampak berkurang, RR : 23 x/menit
A:
Masalah belum teratasi
Indikator IR ER
4. Batuk efektif 2 3
5. Produksi 2 3
sputum
6. Frekuensi 3 4
napas
membaik

Ket :
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. Meningkat
P:
Lanjut Intervensi
1. Anjurkan mempertahankan posisi semi fowler
2. Anjurkan menrapkan batuk efektif
3. Kolaborasi

M. Daftar Pustaka
Avtarina, I. (2021). Program studi diii keperawatan politeknik kesehatan kerta
cendekia sidoarjo 2021.
Maria Goreti usboko. (2018). Askep TBC. Gastrointestinal Endoscopy, 10(1),
279–288. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1053/j.gastro.2014.05.023%0Ahttps://doi.org/10.1016/
j.gie.2018.04.013%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
29451164%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=PMC5838726%250Ahttp://dx.doi.org/10.1016/
j.gie.2013.07.022%250
Padang, P. K. (2017). Tuberkulosis Paru Di Ruang Paru.

Anda mungkin juga menyukai