Anda di halaman 1dari 43

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa konsep dasar, meliputi 1)

Konsep Dasar Tuberculosis Paru, 2) Konsep Dasar Risiko Nutrisi Kurang Dari

Kebutuhan Tubuh, 3) Konsep Assuhan Keperawatan Risiko Nutrisi Kurang Dari

Kebutuhan Tubuh.

2.1 Konsep Tuberculosis Paru

2.1.1 Pengertian Tuberculosis Paru

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang

disebabkan Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-patu

dan hampir seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk

melalui saluran pernapasan dan saluran pencernan dan luka terbuka

pada kulit (Nurarif & Kusuma, 2016).

Tuberculosis merupakan infeksi bakterikronik yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan

granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas

yang perantai sel (cell-mediated hypersensitivity) (Wahid & Suprapto,

2013).

Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksiyang menyerang

parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti

meningen, ginjal, tulang, dan noduslimfe (Somantri, 2009).

10
11

Berdasarkan pengertian diatas penyakit TB paru adalah penyakit

infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis yang menyerang paru-paru dan dapat menyebar ke organ

lain melalui system pernapasan dan system pencernaan maupun luka

yang terbuka.

2.1.2 Etiologi Tuberculosis Paru

Penyebab tuberculosis paru adalah Mycrobacterium tuberculosis.

Bakteri ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal

0,3-0,6/mm. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid).

Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan asam dan lebih tahan

terhadap gangguan kimia dan fisik (Wahid & Suprapto, 2013).

Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan

pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam

Mycrobacterium tuberculosis yaitu tipe Human dan tipe Bovin. Tipe

bovin biasanya berada di dalam susu sapi yang menderita Mastitis

Tuberculosis usus. Sedangkan tipe human biasanya berada di bercak

ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita TBC dan

orang yang rentan terkena infeksi bila menghirupnya(Nurarif &

Kusuma, 2016).

2.1.3 Klasifikasi Tuberculosis Paru

Klasifikasi menurut American Thoracic Society:

1) Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat

kontak negative, tes tuberculine negative.


12

2) Kategori 1 : terpajan Tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi,

riwayat kontak positif, tes tuberculine negative.

3) Kategori 2 : terinfeksi Tuberculosis tetapi tidak sakit, tes

tuberculine positive, radiologis dan sputum negative.

4) Kategori 3 : terinfeksi Tuberculosis dan sakit.

Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis,

radiologis, dan makrobiologis :

1) Tuberculosis paru

2) Bekas tuberculosis paru

3) Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam:

a) TB tersangka yang diobati: sputum BTA(-), tetapi tanda-tanda

lain positif.

b) TB tersangka yang tidak diobati: sputum BTA negative dan

tanda-tanda lain juga meragukan(Nurarif & Kusuma, 2016).

Berdasarkan sumber lain klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan

gejala klinik, bakteriologik, radiologic. Klasifikasi ini merupakan

salah satu factor untuk menetapkan strategi terapi.

1) Pembagian secara patologis :

a) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)

b) Tuberculosis post primer (adult tuberculosis)

2) Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru (Koch

pulmonum) aktif, non aktif, dan quiescent (bentuk aktif yang

mulai menyembuh).
13

3) Pembagian secara radiologis (luas lesi)

a) Tuberculosis minimal

Terdapat sebagian kecil infiltrate nonkavitas pada satu paru

maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus

paru

b) Moderately advanced tuberculosis

Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. jumlh

infiltrate bayangan halus tidak lebih dari 1 bagian paru. Bila

bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian 1 paru.

c) Far advanced tuberculosis

Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada

moderately advanced tuberculosis (Wahid & Suprapto, 2013)

2.1.4 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru

1) Demam 40-41℃

2) Batuk/batuk berdarah

3) Sesak napas dan nyeri dada

4) Malaise, keringat malam

5) Suara khas pada perkusi dada

6) Peningkatan sel dara putih dengan dominasi limfosit

7) Pada anak:

a) Berkurang BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas

atau gagal tumbuh.


14

b) Demam tanpa sebab yang jelas, terutama jika berlanjut sampai

2 minggu.

c) Batuk kronik ≥ 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.

d) Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa(Nurarif &

Kusuma, 2016)

Berdasarkan sumber lain, gambaran klinis pada TB paru dibedakan

menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.

1) Gejala respiratorik, meliputi :

a) Batuk

Gejala batuk timbul paling dini. Batuk terjadi karena

adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk dimulai

dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul

peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum) ini

terjadi selama 3 minggu. Keadaan yang lebih lanjut adalah

batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah yang

pecah.

b) Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin

tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah

atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah

terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya


15

batuk tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang

pecah.

c) Sesak napas

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah

lanju. Gejal ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah

luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi

pleura, pneumothoraks, anemia, dan lain-lain.

d) Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang

ringan. Gejala ini timbul apabila system persarafan di pleura

terkena.

2) Gejala sistemik, meliputi:

a) Demam

Demam yang muncul biasanya menyerupai demam

influenza, tapi terkadang panas dapat mencapai 40-41℃.

Keadaan ini sngat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan

berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

b) Gejala sistemik lain

Gejala sistemik yang lain adalah keringat malam, anoreksia,

penurunan berat badan serta malaise (gejala malaise sering

ditemukan berupa tidak ada napsu makan, sakit kepala,

meriang, nyeri otot, dll) (Wahid & Suprapto, 2013).


16

2.1.5 Patofisiologi Tuberculosis Paru

Seseorang yang dicurigai menghirup basil Mycobacterium

tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri ini menyebar melalui

jalan napas ke alveoli, dimana pada daerah tersebut bakteri tertumpuk

dan berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui system

limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks

serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas).

System kekebalan tubuh merespon dengan melakukan reaksi

inflamasi. Neotrofil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri.

Limfosit yang spesifik terhadap tuberculosis menghancurkan

(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini

mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan terjadilah

bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10

minggu setelah terpapar.

Massa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil

yang hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang

membentuk dinding granuloma berubah bentuk menjadi massa

jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut Ghon

Tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri nekrotik,

membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non-aktif.

Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal,

karena respon system imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat

juga timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang
17

tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada ghon tubercle, dan

akhirnya menjadi perkijauan. Tuberkel yang ulserasi mengalami prose

penyembuhan penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru-paru

yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia

pembentukan tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat

sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus

difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar

melalui kelenjar getah bening, makrofag yang mengadakan infiltrasi

menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel

epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari).

Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulai yang

dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons

berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikeliling oleh

tuberkel (Somantri, 2009).

Droplet yang menempel di jalan napas mengakibatkan iritasi pada

pleura yang mengakibatkan peradangan pada pleura yang merangsang

pengeluaran mediator kimia yaitu serotonin, histamine, prostaglandin,

dan bradikinin, kemudian merangsang ujung-ujung saraf bebas

sehingga terjadi impuls kemudian ditransfer ke modula spinalis

melalui Radik Dorsalis menuju ke Thalamus kemudian ke korteks

serebri dan terjadi persepsi nyeri. Persepsi nyeri yang terjadi akan

merangsang aktifitas simpatis yang berefek pada system

Gastrointestinal mengakibatkan pergerakan makanan menjadi lambat


18

dan tertahan di dalam lambung sehingga terjadi reflek regang di

lambung dan menimbulkan rasa mual dan muntah, anoreksia sehingga

muncul masalah keperawatan resiko nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh(Kishore dkk, 2010).

Infeksi TB meningkatkan kebutuhan energy untuk

mempertahankan fungsi normal tubuh yang ditandai dengan

peningkatan penggunaan energy saat istirahat resting energy

expenditure (REE). Peningkatan ini mencapai 10-30% dari kebutuhan

energy orang normal. Proses ini menimbulkan anoreksia akibat

peningkatan produksi leptin sehingga terjadi penurunan asupan dan

malabsorbsi nutrient. Penderita TB juga mengalami peningkatan

proteolysis dan lipolysis. Gangguan asupan dan kelainan metabolism

tersebut mengganggu sintesis protein dan lemak endogen sehingga

REE meningkat. Keadaan ini disebut sebagai blockade formasi energy

(anabolic blok) dan berhubungan dengan proses wasting sehingga

terjadi malnutrisi. Penurunan massa otot dihubungkan dengan

peningkatan produksi interleukin (IL)-1β, IL-6, tumor necrosis factor

(TNF)-α dan malondialdehid (MDA) akibat proses inflamasi. Proses

inflamasi mengaktivasi jalur proteolysis ATP-dependent ubiquitin

protease intraseluler dan selanjutnya protein dihancurkan oleh

proteason yang diregulasi TNF-α. Peningkatan TNF-α akibat infeksi

TB menghambat enzim lipoprotein lipase (LPL) di jaringan lemak

yang berperan dalam proses bersihan trigliserida. Peningkatan enzim


19

ini meningkatkan trigliserida sehingga menurunkan proses sintesis

asam lemak dan meningkatkan lipolysis lemak dijaringan. Peningkatan

TNF-α juga dihubungkan dengan anoreksia sehingga terjadi gangguan

asupan nutrisi yang memicu terjadinya nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh (malnutrisi) (Pratomo et al., 2014).


20

2.1.6 Pathway Tuberculosis Paru

Masuk lewat
Mycobacteriu Droplet infection jalan
m
Menempel pada paru

Keluar dari Dibersihkan oleh makrofag


Menetap di jaringan paru
tracheobiochi
Sembuh
al bersama
tanpa
Mempengaruhi hipotalamus
Terjadi proses peradangan
Sarang primer/afek primer (focus

Pengeluaran
Mempengaruhi sel pointzat pirogen
Tumbuh dan berkembangbiak di sitoplasmaa

Hipertermi

Komplek primer Limfangitis lokal Limfangitis regional


21

Menyebar ke orang lain (paru-paru,


Sembuh saluran
sendiri tanpa Sembuh
pencernan,
pengobatandengan
tulang) bekas
melalui fibrosis
media (hematogen, lim

Iritasi pada pleura Pertahanan primer tidak adekuat

Kerusakan membrane alveolar


Peradangan pada pleura Pembentukan tuberkel

Merangsang
pengeluaran mediator
kimia(Serotonin,
Histamine,Prostaglandi Menurunnya permukaan paru
Pembentukan sputum berlebihan
n

Alveolus
Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Merangsang ujung saraf


Alveolus mengalami
konsolidasi&eksudasi
Impul

Gangguan pertukaran gas


Ditransfer ke
medulla
Thalamus
Presepsi nyeri
Korteks serebri
22

Merangsang
aktifitas

Efek pada GI

Pergerakan
makanan

Makanan tertahan
di lambung

Reflek regang
di lambung
Peningkatan
kebutuhan

Perasaan mual
dan muntah

Anoreksia Risiko nutrisi


kurang dari

Gambar 2.1 Pathway Tuberculosis (Nurarif & Kusuma, 2016)


23

2.1.7 Status Gizi Pada Pasien Tuberculosis Paru

Salah satu factor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit

Tuberculosis paru adalah status gizi. Status gizi yang buruk akan

meningkatkan resiko penyakit tuberculosis paru. Begitupun

sebaliknya, tuberculosis paru berkontribusi menyebabkan status gizi

buruk karena proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya

tahan tubuh(Puspita et al., 2016).

Pasien TB paru seringkali mengalami penurunan status gizi bahkan

dapat menjadi malnutrisi bila tidak diimbangi dengan dengan diet yang

tepat. Beberapa factor yang berhubungan dengan status gizi pada

pasien TB paru adalah tingkat kecukupan energy dan protein, perilaku

pasien terhadap makanan dan kesehatan, dan lama menderita TB

paru(Puspita et al., 2016).

Untuk mengetahui gambaran status gizi ada beberapa metode.

Menurut kemenkes RI 2017, cara penilaian status gizi dikelompokkan

menjadi lima metode yaitu antropometri, laboratorium, klinis, survey

konsumsi pangan dan factor ekologi (Kementerian Kesehatan RI,

2017). Pengukuran status gizi pada pasien TB paru biasanya

menggunakan metode antropometri yaitu pengukuran berat badan,

tinggi badan, Indeks Massa Tubuh (IMT), dan lingkar lengan atas

(LILA).
24

1) Berat badan

Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air,

dan mineral yang terdapat didalam tubuh. Berat badan

merupakan komposit pengukuran ukuran total tubuh.

Pengukuran berat badan memerlukan alat yang hasil ukurannya

akurat. Untuk mendapatkan ukuran berat badan yang akurat,

terdapat beberapa persyaratan alat ukur berat diantaranya

adalah alat ukur harus mudah digunakan dan dibawa, mudah

didapatkan, harga alat relative murah dan terjangkau. Adapun

rumus untuk menghitung berat badan ideal yaitu:

Berat Badan Ideal = (TB-100) – 10% (TB-100)

2) Tinggi badan

Tinggi badan menggambarkan ukuran pertumbuhan massa

tulang yang terjadi akibat dari asupan gizi. Oleh karena itu

tinggi badan digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan

linier. Pertambahan tinggi badan terjadi dalam waktu yang

lama sehingga sering disebut akibat masalah gizi kronis.

Cara lain untuk menentukan status gizi seseorang yaitu dengan

menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT)

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)


Indeks Massa Tubuh= 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)×𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)
25

Adapun batas ambang Indeks Massa Tubuh (IMT) di Indonesia

yaitu:

Status gizi Kategori IMT


Kurus Kekurangan berat badan < 17
tingkat berat
Kekurangan berat badan 17,0-18,5
tingkat sedang
Normal 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan >25,0-27,0
tingkat ringan
Kelebihan berat badan >27,0
tingkat berat
Tabel 2.1 Batas ambang IMT (Kementerian Kesehatan RI,
2017)

3) Lingkar lengan atas (LILA)

Lingkar lengan atas (LILA) merupakan gambaran keadaan

jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. LILA

mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang

tidak dipengaruhi oleh ciran tubuh. Ambang batas LILA yaitu

≥23,5 cm. apabila kurang dari 23,5 maka mempunyai resiko

kurang energy kronis (KEK). Cara ukur pita LILA untuk

mengukur lingkar lengan atas yang dilakukan pada lengan kiri

atau lengan yang tidak aktif. Pengukuran LILA dilakukan pada

pertengahan antara pangkal lengan atas dan ujung siku dalam

ukuran cm (sentimeter)(Kementerian Kesehatan RI, 2017).


26

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut,

yaitu:

1) Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan napas.

2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial

3) Bronkiektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

pada paru.

4) Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan:

kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru

5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang persendian,

ginjal, dan sebagainya.

6) Insufisiensi kardio pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)

(Wahid & Suprapto, 2013)

2.1.9 Pencegahan Tuberculosis Paru

1) Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang

bergaul erat dengan penderita tuberculosis paru BTA positif.

Pemeriksaan meliputi tes tuberculin, klinis, dan radiologis.

2) Mass Chest X-ray, yaitu pemeriksaan masal terhadap kelompok-

kelompok populasi tertentu misalnya:

a) Karyawan rumah sakit


27

b) Penghuni rumah tahanan

c) Siswa-siswi pesantren

3) Vaksinasi BCG

4) Komoprofilaksis dengan menggunakan NH 5 mg/kgBB selama 6-

12 bulan dengan tujuan untuk menghancurkan atau mengurangi

populasi bakteri yang masihsedikit. Indikasi kemoprofilaksis

primer atau utama adalah bayi yang menyusu pada ibu dengan

BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi

kelompok berikut :

a) Bayi dibawah 5 tahun dengan hasil tes tuberculin positif karena

risiko timbulnya TB milier dan meningitis TB.

b) Anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tes tuberculin

positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular

c) Individu yang menunjukkan konversi tes tuberculin dari

negative menjadi positif.

d) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat

imunosupresif jangka panjang.

e) Penderita diabetes mellitus.

5) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit

tuberculosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun di

tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM

(Muttaqin, 2008).
28

2.1.10 Pengobatan Tuberculosis Paru

Pengobatan TBC terbagi menjadi 2 fase, yaitu tahap intensif (2-3

bulan) dan tahap lanjutan (4-7 bulan) :

1) Tahap Intensif (2-3 bulan)

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapatkan obat setiap hari

dan diwasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan

terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan

intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian

besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negative (konversi)

pada akhir pengobatan intensif.

2) Tahap lanjutan (4-7 bulan)

Pada tahap lanjutan penderita mendapatkan obat yang llebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap

lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant)

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Jenis obat utama yang

digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin,

INH, Pirasinamid, Streptomisin, dan Etambutol. Sedangkan jenis

obat tambahannya yaitu Kanamisin, Kuinolon, Makrolide, dan

Amoxicilin+Asam Klavunalat, derivate Rifampisin/INH.


29

Jenis dan dosis obat OAT antara lain:

1) Isoniazid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%

populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Dosis

harian yang dianjurkan 5 mg/kg, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.

2) Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dominan

(persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis yang

diberikan yaitu 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan

harian maupun intermitten 3 kali seminggu.

3) Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada di dalam

sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg

BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu

diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

4) Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan yaitu 15 mg/kg

BB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu

digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun

dosisnya 0,75 gr/hari sedangkan untuk yang berumur diatas 60

tahun diberikan 0,50 gr/hari.


30

5) Etambutol (E)

Bersifat sebagai bateriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15

mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali

seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.

Panduan OAT di Indonesia :

1) Katergori I (2HRZE/4H3R3)

Pada tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),

Pirasinamid (Z), dan etambutol (E). obat-obat tersebut diberikan

setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskaan

dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan

Rifampisin (R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan

(4H3R3) .obat ini diberikan untuk :

a) Penderita baru TBC paru BTA positif

b) Penderita TBC paru BTA negative rontgent positif yang sakit

berat

c) Penderita TBC ekstra paru berat

2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Pada tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2

bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan

etambutol (E) dan suntikan Streptomisin (S) setiap hari di Unit

Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H),

Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari.


31

Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan

dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Suntikan

streptomisisn diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk :

a) Penderita kambuh (relaps)

b) Penderita gagal (failure)

c) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

3) Kategori III (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2

bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR

selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4 H3R3). Obat ini

diberikan untuk :

a) Penderita BTA paru negative dan Rontgent Positif sakit rigan

b) Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe, TBC

kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang).

4) Kategori IV : OAT sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita BTA positif

dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang

dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif,

diberikan obat sisipam (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Wahid

& Suprapto, 2013).


32

Efek samping dari OAT yaitu:

Efek samping Penyebab Penanganan


Tidak nafsu makan, Rifampisin Obat diminum malam
mual, sakit perut sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamide Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai INH Beri vitamin B6
rasa terbakar di kaki (piridoksin) 100
mg/hari
Warna kemerahan Rifampisin Beri penjelasan bahwa
pada air seni urine berwarna
kemerahan
menandakan ginjal
normal
Tabel 2.2 Efek samping obat OAT (Nurarif & Kusuma, 2016)

Sedangkan menurut sumber lain efek samping obat TBC yaitu :

Nama obat Efek samping


Rifampisin Demam, malaise, mutah, mual, diare, kulit
gatal dan merah, gangguan fungsi hati
INH Nyeri syaraf, hepatitis, alergi, demam, ruam
kulit
Pyrazinamide Mual, mutah, diare, kulit merah dan gatal,
kadar asam urat meningkat, gangguan fungsi
hati
Streptomisin Alergi, demam, ruam kulit, kerusakan
vestibuler, pusing
Etambutol Gangguan syaraf mata
Tabel 2.3 Efek samping obat OAT(Wahid & Suprapto, 2013)

2.1.11 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada klien dengan

Tuberculosis paru yaitu :

1) Laboratorium darah rutin : LED normal/meningkat, limfositosis

2) Pemeriksaan sputum BTA untuk memastikan diagnostic Tb paru,

namun pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30-70% pasien

dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan saat ini.


33

3) Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) yang merupakan uji

serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining untuk

menentukan adaya IgG spesifik terhadap basil TB.

4) Tes tuberculin merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai

alat histogen staining untuk menentukan adanya IgG spesifik

terhadap basil TB

5) Teknik polymerase chain reaction yaitu deteksi DNA kuman secara

spesifik melalui amplifikasi dalam meskipun hanya satu

mikroorganisme dalam specimen juga dapat mendeteksi adanya

resistensi

6) Becton Dickinson diagnostic Instrument system (BACTEC) yaitu

deteksi growth indeks bedasarkan CO2 yng dihasilkan dari

metabolism asam lemak oleh mikobakterium tuberculosis.

7) MYCODOT yaitu deteksi antibody memakai antigen

liporabinomnnan yang direkatkan pada suatu alat berbentuk sisir

plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah memadai memakai

warna sisir akan berubah.

8) Pemeriksaan radiologi : rontgent thorax PA dan lateral

Gambaran foto thorax yang menunjang diagnosis TB paru yaitu :

a) Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas atau segment

apical lobus bawah

b) Bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)

c) Adanya kavitas, tunggal atau ganda


34

d) Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paru

e) Adanya klasifikasi

f) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian

g) Bayangan millie (Nurarif & Kusuma, 2016).

2.2 Konsep Risiko Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh

2.2.1 Pengertian

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah

asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic

(NANDA, 2015).

Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan suatu keadaan

dimana individu yang tidak puasa mengalami atau yang beresiko

mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan masukan

yang takadekuat atau metabolism nutrien yang tidak adekuat untuk

kebutuhan metabolic (Carpenito, 2001).

Menurut sumber yang lain menyebutkan bahwa risiko nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh adalah beresiko mengalami asupan nutrisi

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2016).

Berdasarkan pengertian di atas yang dimaksud dengan risiko

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yaitu keadaan dimana seseorang

berisiko mengalami penurunan berat badan yang diakibatkan

ketidakcukupan asupan nutrisi untuk kebutuhan metabolism.


35

2.2.2 Faktor Risiko

1) Ketidakmampuan menelan makanan

2) Ketidakmampuan menelan makanan

3) Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient

4) Peningkatan kebutuhan metabolism

5) Factor ekonomi (misalnya finansial tidak mencukupi)

6) Factor psikologis (misalnya stress, keengganan untuk makan)(Tim

Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)

2.2.3 Tanda dan Gejala Menurut SDKI (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,

2016)

1) Data mayor meliputi :

Objektif : berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang

ideal.

2) Data minor meliputi:

a) Subjektif: cepat kenyang setelah makan, kram/nyeri abdomen,

nafsu makan menurun,

b) Objektif: bising usus hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot

menelan lemah, membrane mukosa pucat, sariawan, rambut

rontok berlebihan, diare, serum albumin turun

Dikatakan resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh jika data

mayor tidak ada atau hanya terdapat 20% dan data minor sebanyak

80%.
36

2.2.4 Kondisi Klinis Terkait

1) Stroke

2) Parkinson

3) Mobius syndrome

4) Cerebral palsy

5) Cleft lip

6) Cleft palate

7) Amyotropic lateral sclerosis

8) Kerusakan neuromuscular

9) Luka bakar

10) Kanker

11) Infeksi

12) AIDS

13) Penyakit Crohn’s

14) Enterokolitis

15) Fibrosis kistik(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)

2.2.5 Kriteria Hasil

1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat (porsi makan sedang-

banyak)

2) Perasaan cepat kenyang menurun

3) Berat badan membaik

4) Indeks Masa Tubuh (IMT) membaik (normal IMT 18,5-25,0)

5) Frekuensi makan membaik (makan 3 kali sehari)


37

6) Nafsu makan membaik

7) Tidak ada mual dan muntah

8) Membrane mukosa membaik (tidak pucat)(Tim Pokja SLKI DPP

PPNI, 2019)

2.2.6 Intervensi Keperawatan

1) Management nutrisi

a) Tentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan gizi (NIC (Nursing Intervention Classification),

2016)

b) Monitor berat badan

c) Lakukan oral hygiene sebelum makan: gosok gigi dan jaga

bibir tetap lembab (doengoes)

d) Sajikan makanan yang menarik

e) Berikan kesempatan untuk memilih makanan yang disukai

(doengoes)

f) Dorong pasien untuk memandang diet sebagai terapi dan untuk

membuat pilihan makanan dan minuman yang tinggi kalori dan

protein (Doengoes, 2019).

g) Ajarkan cara melaksanakan diet sesuai program yaitu tinggi

kalori tinggi protein.

h) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori

dan jenis nutrient yang dibutuhkan(Tim Pokja SIKI DPP PPNI,

2018).
38

i) Berikan diet tinggi kalori dan protein dengan unsur kelumit dan

suplemen vitamin (Doengoes, 2019)

2) Pemantauan Nutrisi

a) Monitor mual mutah

b) Monitor asupan oral

c) Monitor warna konjungtiva

d) Monitor hasil laboratorium (misalnya albumin serum)(Tim

Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien TB paru

2.3.1 Pengkajian

Data Subjektif :

1) Data pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat,

agama, pendidikan, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, nomer

register, diagnose medis.

2) Keluhan utama

Keluhan yang sering muncul antara lain:

a) Demam : 40-41℃ hilang timbul

b) Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini

terjadi untuk membuang/ mengeluarkan produksi radang yang

dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulent

(menghasilkan sputum)

c) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai

setengah paru-paru
39

d) Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi

radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis

e) Malaise : ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot,

keringat malam.

f) Perlu ditanyakan dengan siapa pasien tinggal karena biasanya

penyakit ini muncul karena merupakan penyakit infeksi

menular(Wahid & Suprapto, 2013).

3) Riwayat penyakit sekarang

Sesak napas dan batuk disertai sputum atau tidak, batuk

bercampur darah atau tidak, demam tinggi, kesulitan tidur,

penurunan BB, malaise, nafsu makan menurun, sakit kepala nyeri

otot dan berkeringat pada malam hari.

Riwayat penyakit sekarang juga dikembangkan dari keluhan

utama yaitu dengan PQRST:

a) P (Provoking incident): apakah ada peristiwa yang menjadi

penyebab sesak napas? Apakah sesak napas berkurang saat

istirahat?

b) Q (Quality of pain): seperti apa sesak yang dirasakah, seperti

tercekik atau susah dalam bernapas, atau mencari posisi

nyaman saat bernapas?

c) R (Region): dimana rasa sesak yang dirasakan saat bernapas

harus ditunjukkan oleh pasien


40

d) S (Severity of pain): seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan

pasien

e) T (Time): berapa lama rasa nyeri yang dirasakan, kapan,

apakah bertambah buruk saat malam hari atau saat

melakukan aktivitas tertentu? (Muttaqin, 2008)

4) Riwayat penyakit sebelumnya

a) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh

b) Pernah berobat tetapi tidak sembuh

c) Pernah berobat tetapi tidak teratur

d) Riwayat kontak dengan penderita tuberculosis paru

e) Daya tahan tubuh menurun

f) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur

g) Adakah riwayat gastritis (Muttaqin, 2008)

5) Riwayat pengobatan sebelumnya

a) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan

sakitnya

b) Jenis, warna, dosis obat yang diminum

c) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan

penyakitnya

d) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir (Muttaqin,

2008).
41

6) Riwayat penyakit keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perlu ditanyakan

apakah pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai factor

predisposisi penularan di dalam rumah(Muttaqin, 2008).

7) Pola – pola fungsi kesehatan

a) Pola persepsi dan tata laksana kesehatan

Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum

alcohol, dan penggunaan obat-obatan yang dapat memicu

penyakit, atau tempat tinggal yang memiliki ventilasi yang

kurang, kurang cahaya matahari juga dapat memicu penyakit TB

paru.

b) Pola nutrisi

Pasien TB pada umumnya kehilangan nafsu makan,

terjadi penurunan BB, turgor kulit buruk, kering atau kulit

bersisik, kelemahan otot atau hilangnya lemak subkutan.

c) Pola eliminasi

Pada pasien TB biasanya terjadi perubahan pada eliminasi

karena asupan yang kurang sehingga pasien biasanya terjadi

gangguan BAB, pasien juga harus terbiasa dengan urine jingga

pekat akibat dari konsumsi obat OAT.

d) Pola aktivitas dan latihan

Pasien mengalami kelelahan umum dan kelemahan otot,

nyeri, dan sesak mempengaruhi aktivitas pada penderita TB.


42

e) Pola istirahat tidur

Pasien TB pada umumnya kesulitan tidur pada malam hari

dikarenakan demam, batuk terus menerus, dan berkeringat pada

malam hari.

f) Pola kognitif perseptual

Daya kemampuan pada panca indera biasanya normal, pada

umumnya terjadi nyeri dada pada pasien TB.

g) Pola persepsi konsep diri

Perlu dikaji tentang presepsi pasien terhadap penyakitnya.

Presepsi yang salah dapat menghambat respon kooperatif pada

diri pasien, serta cara pandang terhadap diri yang salah juga

akan menjadi stressor dalam kehidupan pasien.

h) Pola peran dan hubungan

Gangguan pada pernapasan yang dialami pada pasien TB

sangat membatasi pasien untuk menjalani kehidupan secara

normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya dengan peran

dan hubungan baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat

ataupun lingkungan kerja.

i) Pola seksualitas

Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini akan terganggu

karena pasien mengalami ketidakmampuan umum. Penderita TB

akan mengalami perubahan pola reproduksi dan seksual karena

kelemahan dan nyeri dada


43

j) Pola koping – toleransi stress

Pada setiap pasien dapat ditemukan banyak stressor. Faktor

stress yang lama, masalah keuangan, perasaan tidak berdaya

atau tidak ada harapan juga dapat menjadi pemicu stress.

k) Pola nilai kepercayaan

Kepercayaan pasien terhadap sesuatu yang diyakini di

dunia dapat meningkatkan kekuatan pasien. Keyakinan pasien

terhadap Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya merupakan

metode penanggulangan yang konstruktif. Karena mengalami

sesak nafas dan nyeri dada, pasien TB paru biasanya sering

terganggu dalam beribadah(Muttaqin, 2008).

8) Pemeriksaan fisik

a) Tanda-tanda vital

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru

biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan,

frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut

nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu

tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya

sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti

hipertensi(Muttaqin, 2008)
44

b) Pemeriksaan B1-B6

(1) B1 (Breathing)

(a) Inspeksi

Penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-

posterior dibandingkan proporsi diameter lateral,

peningkatan frekuensi napas, terlihat menggunakan otot

bantu napas, biasanya didapatkan batuk produktif.

(b) Palpasi

Gerakan dinding dada thoraks anterior/ekskrusi

pernapasan mengalami penurunan gerakan dinding

pernapasan yang ditemukan pada pasien TB paru dengan

kerusakan parenkim luas, terjadi penurunan getaran

suara (vocal fremitus).

(c) Perkusi

Pada pasien TB tanpa komplikasi biasanya akan

didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang

paru. Pada pasien TB dengan komplikasi akan

didapatkan bunyi redup sampai pekak disisi yang sakit.

(d) Auskultasi

Pada pasien TB paru didapatkan bunyi napas tambahan

ronkhi pada sisi yang sakit.


45

(2) B2 (Blood)

(a) Inspeksi : inspeksi tentang adanya parut dan keluhan

kelemahan fisik

(b) Palpasi : denyut nadi perifer melemah

(c) Perkusi : batas jantung mengalami pergeseran pada TB

paru dengan efusi pleura massif mendorong kesisi sehat

(d) Aukultasi : tekanan darah biasanya normal, bunyi

jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.

(3) B3 (Brain)

(a) Inspeksi : Kesadaran biasanya composmentis, ditemukan

adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi

jaringan berat. Pada pengkajian objektif klien tampak

meringis, menangis, merintih, meregang, dan mengeliat.

Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya

didapatkan adanya konjungtiva anemis pada TB paru

dengan hemoptoe dan sclera ikterik pada TB paru

dengan gangguan fungsi hati.

(4) B4 (Bladder)

Pasien diberikan pemahaman agar terbiasa dengan urine

yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan

fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena

meminum OAT terutama Rifampisin.


46

(a) Inspeksi : pada pasien TB biasanya urine berwarna

jingga pekat dan berbau

(b) Palpasi : adakah pembesaran dan nyeri tekan pada

kandung kemih atau tidak.

(5) B5 (Bowel)

Pasien biasanya mengalami mual, mutah, penurunan

nafsu makan, dan penurunan berat badan tidak

mencapai 10%.

(a) Inspeksi : lidah kotor berselaput putih, membran

mukosa bibir kering, terlihat bernapas dari mulut,

tampak susah mengeluarkan dahak saat batuk.

(b) Auskultasi : didapatkan peristaltic usus hiperaktif,

normalnya 5-34 kali per menit.

(c) Palpasi : adakah nyeri tekan dan pembengkakan pada

abdomen.

(d) Perkusi : perkusi pada abdomen didapatkan normal

timpani

(6) B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada pasien TB paru.

Gejala yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan,

insomnia, pola hidup menetap, dan jadwal olahraga menjadi

tidak teratur(Muttaqin, 2008).


47

(a) Inspeksi : inspeksi pada warna kulit apakah ikterik,

sianosis, pucat atau kemerahan, adakah kelainan pada

ekstremitas.

(b) Palpasi : akral apakah hangat atau dingin, turgor kulit

normal (<2 detik) atau menurun.

1) Pemeriksaan diagnostic

a) Kultur sputum

b) Tes tuberculin

c) Foto thorax

d) Bronchografi

e) Darah

f) Spirometri (Wahid & Suprapto, 2013)

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (D0032) (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2016)


48

2.3.3 Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan / Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
1. Risiko nutrisi Intervensi utama :
kurang dari Tujuan : Setelah management nutrisi
kebutuhan dilakukan
tubuh tindakan a) Tentukan status a) Menjadi data
(D0032) keperawatan gizi pasien dan focus untuk
(Tim Pokja selama 3x24 jam kemampuan menentukan
SDKI DPP diharapkan status untuk memenuhi rencana
PPNI, 2016) nutrisi membaik. kebutuhan tindakan
gizi(NIC selanjutnya
Kriteria hasil : (Nursing (Somantri,
a) Porsi makan Intervention 2009)
yang Classification), b) Penurunan
dihabiskan 2016) berat badan
meningkat b) Monitor lebih dari 20%
(porsi makan berat badan menunjukkan
yang c) Lakukan oral gejala serius
dihabiskan hygiene sebelum kekurangan
sedang- makan: gosok nutrisi.
banyak) gigi dan jaga c) Meningkatkan
b) Berat badan bibir tetap kenyamanan
membaik lembab daerah mulut
c) Indeks massa (Doengoes, 2019) sehingga akan
tubuh d) Sajikan meningkatkan
membaik makanan yang perasaan nafsu
(IMT normal menarik makan serta
18,5-25,0) e) Berikan menurunkan
d) Nafsu makan kesempatan rasa tidak enak
membaik untuk memilih karena sisa
(makan 3 makanan yang makanan, sisa
kali sehari) disukai sputum atau
e) Tidak ada (Doengoes, 2019) sisa obat pada
mual dan f) Dorong pasien pengobatan
muntah untuk system
f) Membrane memandang diet pernapasan
mukosa sebagai terapi yang dapat
membaik dan untuk merangsang
(tidak pucat) membuat pilihan pusat
makanan dan muntah(Wahid
minuman yang & Suprapto,
tinggi kalori dan 2013).
protein d) Makanan yang
(Doengoes,
2019).
49

g) Ajarkan cara menarik dapat


melaksanakan meningkatkan
diet sesuai nafsu makan
program yaitu pasien.
tinggi kalori e) Meningkatkan
tinggi protein rasa kontrol
h) Kolaborasi dan dapat
dengan ahli gizi meningkatkan
untuk resolusi
menentukan defisiensi
jumlah kalori dan nutrisi
jenis nutrient (Doengoes,
yang dibutuhkan, 2019).
(Tim Pokja SIKI f) Kalori dan
DPP PPNI, protein
2018) diperlukan
i) Berikan diet untuk
tinggi kalori dan memenuhi
protein dengan kebutuhan
unsur kelumit dan metabolic
suplemen vitamin serta
(Doengoes, 2019) meningkatkan
penyembuhan
(Doengoes,
2019).
g) Agar pasein
mengetahui
bagaimana
diet tinggi
kalori dan
tinggi protein.
Kalori dan
protein sangat
penting untuk
proses
penyembuhan
pasien.
h) merencanakan
diet dengan
kandungan
gizi yang
cukup untuk
memenuhi
kebutuhan
energy dan
kalori
50

sehubungan
dengan status
hipermetaboli
k pasien
(Muttaqin,
2008).
i) Kalori
diperkirakan
25
kkal/kg/hari,
protein hingga
2 g/kg/hari,
dan vitamin
diperlukan
untuk
memenuhi
peningkatan
kebutuhan
metabolic,
mempertahank
an berat
badan, dan
mendorong
regenerasi
jaringan.
Lemak nol
atau lemak
minimal lebih
dipilih selama
fase akut awal
untuk
meminimalkan
kerentanan
terhadap
infeksi
(Doengoes,
2019).
Intervensi
pendukung:
pemantauan nutrisi

a) Monitor asupan a) Menilai


makanan asupan
b) Monitor mual makanan yang
mutah adekuat.
c) Monitor warna Asupan
51

konjungtiva makanan yang


d) Monitor hasil adekuat dapat
laboratorium membantuk
(misalnya proses
albumin serum, penyembuhan
BUN) (Tim Pokja pasien.
SIKI DPP PPNI, b) Mual dan
2018) muntah
mempengaruhi
pemenuhan
nutrisi
c) Pada pasien
TB paru
biasanya
didapatkan
wajah pucat,
konjungtiva
anemis,
mukosa bibir
kering yang
menandakan
pasien berisiko
mengalami
penurunan
status
nutrisi(Somant
ri, 2009).
d) Mengontrol
kefektifan
tindakan dan
membantu
perencanaan
tindakan
selanjutnya
(Muttaqin,
2008).
52

2.3.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi yang komprehensif merupakan pengeluaran dan

perwujudan dari rencana yang telah disusun pada tahap-tahap

perencanaan dapat terealisasi dengan baik apabila berdasarkan hakekat

masalah, jenis tindakan atau pelaksanaan bisa dikerjakan oleh perawat

itu sendiri, kolaborasi sesama tim/kesehatan lain dan rujukan dari

profesi lain(Patricia & Anne, 2010).

2.3.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan respons pasien

terhadap hasil yang diharapkan dari rencana layanan. Selain itu pada

langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah

diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan, apakah benar-benar telah

terpenuhi sesuai dengan kebutuhan yang dikaji dengan metode

pendokumentasian SOAP(Patricia & Anne, 2010).

Anda mungkin juga menyukai