Anda di halaman 1dari 21

TUGAS APLIKASI I

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TB PARU


DI IRNA NON BEDAH PARU RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

Dosen Pengampu :
Ns. Dally Rahman, M.Kep, Sp.Kep.MB

Disusun Oleh :
Ns. Aisya Rahmadhanty
NIM. 2121312008

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
1. Definisi
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering
mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB
paru dapat menyebar ke setiap bagian tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang dan
nodus limfe (Smeltzer&Bare, 2015).
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
microbacterium tuberkulosis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan
bagian bawah yang sebagian besar bakteri tuberkulosis masuk kedalam jaringan paru
melalui udara dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer
dari ghon (Wijaya, 2013).
Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang resisten terhadap setidaknya dua obat anti tuberkulosis yang paling
efektif, yaitu Isoniazid dan Rifampisin (Lönnroth, 2015). Resistensi terhadap anti
tuberkulosis merupakan kejadian alami yang umumnya terjadi akibat dari terapi yang
tidak adekuat dan tidak selesai (Ahmed et al, 2016).
2. Etiologi
TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat
ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan organisme.
Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteria di
transmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri, reaksi inflamasi menghasilkan
eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa
(Smeltzer&Bare, 2015).
Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak
sengaja mengeluarkan droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya.
Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas, droplet atau nuklei tadi
menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan angin
akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke
udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena
bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2012). Menurut Smeltzer&Bare (2015), Individu
yang beresiko tinggi untuk tertular virus tuberculosis adalah:
a. Kontak erat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunnosupresif (lansia, pasien dengan kanker, pasien dalam terapi
kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).
c. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.
d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan; etnik dan
ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara
yang berusia 15 sampai 44 tahun).
e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes, gagal
ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).
f. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.
g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas yang
beresiko tinggi.
Menurut WHO (2008) banyak factor penyebab resistensi OAT terhadap bakteri M.
Tuberculosis, antara lain:
a. Faktor mikrobiologik
Secara genetic basil mengalami resisten terhadap jenis OAT yang diberikan. Basil
mengalami mutasi resitensi terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT
tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat ini dapat disebabkan oleh
konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direct) atau konsumsi obat
kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitive terhadap basil tersebut
(monoterapi indirect).
b. Faktor Klinik
Banyak factor klinik yang berkontribusi terjadinya TB MDR. Factor ini
menyebabkan terjadinya M. Tuberculosis yang awalnya sensitive terhadap OAT
menjadi resisten. Hal ini sering terjadi pada penderita dengan regimen obat yang
tidak adekuat. Factor penyelenggara kesehatan dalam memberikan terapi
pengobatan yang tidak sesuai dengan guideline merupakan salah satu factor
penyebab pasien menjadi resiten terhadap OAT. Disamping itu terjadi malabsorbsi
obat yang diminum oleh penderita TB. Obat tidak dapat diserap dengan baik
contohnya rifampisin diminum setelah makan.
c. Faktor ketidakpatuhan pasien
Faktor pendukung terbesar terjadinya TB MDR adalah dari ketidakpatuhan klien
TB dalam menjalani pengobatannya. Alasan pasien tidak patuh dalam menjalani
pengobatan diantaranya adalah rendahnya motivasi pasien dalam berobat, merasa
bosan karena jangka pengobatan yang lama. Selain itu kurangnya informasi
kesehatan penderita tentang TB paru dan peran pengawas minum obat (PMO)
masih rendah
3. Manifestasi klinis
Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan
kadang-kadang asimtomatik. Gambaran klinis TBC dapat dibagi menjadi 2 golongan,
gejala respiratorik dan gejala sistemik. (Wijaya dan Yessie, 2013. 140)
a. Gejala respiratorik meliputi:
1) Batuk: gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Mual-mual bersifat non produktif kemudian berdahak
bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
2) Batuk darah: darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak
berupa garis atau bercak-becak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah sangat banyak. Batuk berdahak terjadi karena pecahnya pembuluh
darah.
3) Sesak nafas: gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas
atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax,
anemia dan lain-lain.
4) Nyeri dada: nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Gejalanya ini timbul apabila system persarafan di pleura terkena
b. Gejala sistemik meliputi
1) Demam: merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore
dan malam hari mirip demam influensa, hilang timbul dan makin lama makin
panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek
2) Gejala sistemik lain: gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan serta malaise.
3) Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi
penampilan akut dengan batu, panas, sesak nafas walaupun jarang dapat juga
timbul menyerupai gejala pneumonia.Sebagian besar pasien menunjukan
demam tingkat rendah, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan,
berkeringat malam, nyeri dada dan batukmenetap. Batuk pada awalnya
mungkin non produktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan hemoptisis
4. Pemeriksaan penunjang
A. Diagnostik
1) Pemeriksaan radiologi dada
Pemeriksaan radiologis dada atau rotgen dada pada pasien Tb paru bertujuan
untuk memberikan gambaran karakteristik untuk Tb paru yaitu adanya lesi
terutama di bagian atas paru, bayangan yang berwarna atau terdapat bercak,
adanya kavitas tunggal atau multipel, terdapat klasifikasi, adanya lesi bilateral
khususnya di bagian atas paru, adanya bayangan abnormal yang menetap pada
foto toraks. Lesi yang terdapat pada orang dewasa yaitu di segmen apikal dan
posterior lobus atas serta segemen apikal lobus bawah. Dengan pemeriksaan
rontgen dada dapat dengan mudah menentukan terapi yang diperlukan oleh
pasien dan dapat mengevaluasi dari efektifitas pengobatan. (Manurung, 2008).
B. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru, walaupun
kurang sensitive, adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya
peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan immunoglobulin,
terutama igG dan IgA (Ardiansyah, 2012).
2) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum digunakan untuk mengidentifikasi suatu organisme
patogenik dan menentukan adanya sel-sel maligna di dalam sputum. Jenis-
jenis pemeriksaan sputum yang dilakukan yaitu kultur sputum, sensitivitas dan
Basil Tahan Asam (BTA). Pemeriksaan sputum BTA adalah pemeriksaan
yang khusus dilakukan untuk mengetahui adanya Mycobacterium tuberculosis.
Diagnosa Tb paru secara pasti dapat ditegakkan apabila di dalam biakan
terdapat Mycobacterium tuberculosis (Manurung, 2008).
Pemeriksaan sputum mudah dan murah untuk dilakukan, tetapi kadangkadang
susah untuk memperoleh sputum khususnya pada pasien yang tidak mampu
batuk atau batuk yang nonproduktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan sputum,
pasien sangat dianjurkan untuk minum air putih sebanyak 2 liter dan
dianjurkan untuk latihan batuk efektif. Untuk memudahkan proses
pengeluarkan sputum dapat dilakukan dengan memberikan obat-obat
mukolitik ekspektoran atau inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30
menit. Apabila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan bronkoskopi
diambil dengan broncho alveolar lavage (BAL) (Sudoyo, 2010). Pemeriksaan
sputum BTA dilakukan selama tiga kali berturut-turut dan biakan atau kultur
BTA dilakukan selama 4-8 minggu. Kriteria dari sputum BTA positif yaitu
sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA yang terdapat dalam
satu sedian (Manurung, 2008). Waktu terbaik untuk mendapatkan sputum
yaitu pada pagi hari setelah bangun tidur, sesudah kumur dan setelah gosok
gigi. Hal ini dilakukan agar sputum tidak bercampur dengan ludah (Sutedjo,
2008).
5. Penatalaksanaan
A. Medis
1) Terapi: jenis obat, fungsi obat, cara kerja dalam tubuh, organ target
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (2014)
terbagi menjadi beberapa bagian dan masing-masing bagian memiliki
kategori tersendiri, bagian dan kategori paduan OAT tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Paduan yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberculosis di Indonesia yaitu:
 Kategori 1: Dimulai dengan fase 2 HRZS(E) obat diberikan setiap
hari selama dua bulan, diberikan untuk: Penderita baru TB Paru
dengan BTA (+), Penderita baru TB Paru, BTA (-), RO (+), dengan
kerusakan parenkim paru yang luas, dan penderita baru TB dengan
kerusakan yang berat pada TB ekstra pulmons
 Kategori 2: adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap
positif. Fase intensif dalam bentuk 2 HRZES- 1 HRZE. Diberikan
untuk Penderita TB Paru BTA (+) dengan riwayat pengobatan
sebelumnya kambuh, kegagalan pengobatan atau pengobatan tidak
selesai.
 Kategori 3: kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya
tidak luas dalam bentuk 2RHZ. Diberikan untuk: - Penderita baru
BTA (-) dan RO (+) sakit ringan - Penderita ekstra paru ringan, yaitu
TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, Tb tulang.
Obat yang digunakan dalam tatalaksanaan pasien TB resisten obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, kepreomisin,
levofloksasin, etionamide, sikloserine, moksifloksasin, serta OAT lini-1,
yaitu rifampisin,INH, streptomisin, pirazinamid dan etambutol.
Menurut KemenKes RI (2014) obat anti tuberkulosis (OAT) yang
dipakai sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal
maupun dalam sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Dosis OAT
adalah sebagai berikut :
a. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara oral,
atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT,
maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik
penyerapannya.
b. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kg BB oral tidak melebihi 300
mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien dengan
berat badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian isoniazid juga
bersamaan dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg sekali sehari untuk
mencegah neuropati perifer. Isoniazid akan dikombinasikan dengan obat
TBC lainnya, seperti rimfapicin, ethambutol, atau pyrazinamide.
c. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30
mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi
dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali seminggu dengan dosis
50 mg/kg BB secara oral
d. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB.
Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30
mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2 kali
seminggu 5. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra
muskular, tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan
dengan dosis dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra
muskular, tidak melebihi 1,5 gram/hari.
Pengobatan TB-MDR/RO
Menurut Kemenkes RI (2020) panduan pengobatan pasien TB resistan obat
didasarkan pada berbagai kriteria dan kondisi pasien. Berikut ini alur
panduan pengobatan pasien TB RO berdasarkan kriteria yang sudah
ditetapkan oleh Program TB Nasional.
Alur Pengobatan TB-MDR/RO (Kemenkes RI,2020)
a. Pengobatan TB RO dengan Paduan Jangka Pendek
Pada tahun 2019, WHO telah mengeluarkan rekomendasi terkait penggunaan panduan
pengobatan TB resistan obat tanpa injeksi, obat injeksi kanamisin atau kapreomisin
digantikan dengan obat bedaquiline (Kemenkes RI, 2020).
Kriteria penetapan pasien untuk panduan pengobatan TB RO jangka pendek
(Kemenkes RI, 2020) adalah:
1) Tidak ada bukti resistan terhadap flourokuinolon
2) Tidak ada kontak dengan pasien TB pre/XDR
3) Tidak pernah mendapat OAT lini kedua selama ≥1 bulan
4) Tidak ada resistansi atau dugaan tidak efektifnya terhadap OAT pada panduan
jangka pendek (kecuali resistan terhadap INH dengan mutasi inhA atau katG)
5) Tidak sedang hamil ataupun menyusui
6) Bukan kasus TB paru berat
7) Bukan kasus TB ekstraparu berat
8) Pasien TB RO (paru ataupun ekstraparu) dengan HIV
9) Anak usia lebih dari 6 tahun.
Panduan obat yang diberikan pada pengobatan standar jangka pendek.
4-6BDQ(6bulan) – Lfx – Cfz – H dt – Z – E – Eto / 5 Lfx – Cfz – Z – E
Dosis OAT berdasarkan BB untuk panduan pengobatan
TB RO jangka pendek

Sebelum memulai pengobatan pasien TB RO perlu menjalani berbagai


pemeriksaan awal untuk mengetahui kondisi awal pasien. Selama pengobatan pasien
juga wajib menjalani berbagai pemeriksaan rutin untuk mengetahui kemajuan
pengobatan dan memantau efek samping obat yang dapat terjadi. Pemeriksaan
pemantauan yang dilakukan di fasyankes TB RO setiap bulan, meliputi pemeriksaan
fisik, pemeriksaan mikrobiologi, dan pemeriksaan penunjang (laboratorium,
radiologis, EKG) (Kemenkes RI, 2020).
b. Pengobatan TB RO dengan Panduan Jangka Panjang
Pengobatan TB RO panduan jangka panjang (18-24 bulan) diberikan untuk pasien
yang tidak bisa mendapatkan panduan pengobatan dengan jangka pendek. Panduan
pengobatan jangka panjang dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi pasien
(individualized) sehing panduang pengobatan jangka panjang ini juga sering disebut
panduan individual, untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan dari panduan ini
dalam mengobati pasien TB RO (Kemenkes RI, 2020).
Kriteria penetapan pasien untuk panduan pengobatan TB RO jangka panjang
(Kemenkes RI, 2020) adalah:
1) Pasien TB RR/MDR dengan resistansi terhadap fluorokuinolon (TB pre-XDR)
2) Pasien TB XDR
3) Pasien yang gagal pengobatan jangka pendek sebelumnya
4) Pasien TB RO yang pernah mendapatkan OAT lini kedua selama ≥1 bulan
5) Pasien TB RR/MDR yang terbukti atau diduga resistan terhadap Bedaquiline,
Clofazimine atau Linezolid
6) Pasien TB MDR dengan hasil LPA terdapat mutasi pada inhA dan katG
7) Pasien TB RR/MDR paru dengan lesi luas, kavitas di kedua lapang paru-paru
8) Pasien TB RR/MDR ekstra paru berat atau dengan komplikasi (yang harus diobati
jangka panjang), seperti TB meningitis, TB tulang, TB spondilitis, TB milier, TB
perikarditis, TB abdomen
9) Pasien TB RO dengan kondisi klinis tertentu, misalnya alergi berat/intoleran
terhadap obat-obatan pada panduan jangka pendek
10) Ibu hamil atau ibu menyusui

Contoh paduan pengobatan TB RO jangka panjang tanpa injeksi yang dapat


diberikan:
6 Bdq – Lfx atau Mfx – Lzd – Cfz – Cs / 14 Lfx atau Mfx – Lzd – Cfz – Cs
B. Keperawatan
1) Fisioterapi dada
Fisioterapi dada terdiri dari drainase postural, perkusi, dan vibrasi dada.
Tujuan dari fisioterapi dada yaitu untuk memudahkan dalam pembuangan
sekresi bronkhial, memperbaiki fungsi ventilasi dan meningkatkan efisiensi
dari otot-otot sistem pernapasan agar dapat berfungsi secara normal
(Smeltzer & Bare, 2013).
Drainase postural bertujuan untuk mencegah atau menghilangkan obstruksi
bronkhial, yang disebabkan oleh adanya akumulasi sekresi. Tindakan
drainase postural dilakukan secara bertahap pada pasien, dimulai dari pasien
dibaringkan secara bergantian dalam posisi yang berbeda. Prosedur drainase
postural dapat diarahkan ke semua segmen paru-paru, dengan
membaringkan pasien dalam lima posisi yang berbeda yaitu satu posisi
untuk mendrainase setiap lobus paru-paru, kepala lebih rendah, pronasi,
lateral kanan dan kiri, serta duduk dalam posisi tegak. Dari perubahan posisi
yang dilakukan dapat mengalirkan sekresi dari jalan napas bronkhial yang
lebih kecil ke bronki yang lebih besar dan trakea. Sekresi akan dibuang
dengan cara membatukkan (Smeltzer & Bare, 2013).
Perkusi adalah suatu prosedur membentuk mangkuk pada telapak tangan
dengan menepuk secara ringan pada area dinding dada dalam. Gerakan
menepuk dilakukan secara berirama di atas segmen paru yang akan dialirkan
(Smeltzer & Bare, 2013).
Vibrasi dada adalah suatu tindakan meletakkan tangan secara berdampingan
dengan jari-jari tangan dalam posisi ekstensi di atas area dada. Vibrasi dada
dilakukan untuk meningkatkan kecepatan dan turbulensi udara saat ekshalasi
untuk menghilangkan sekret (Somantri, 2012).
2) Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mendorong pasien agar mudah membuang sekresi dengan metode batuk
efektif sehingga dapat mempertahankan jalan napas yang paten. Latihan
batuk efektif dilakukan dengan puncak rendah, dalam dan terkontrol. Posisi
yang dianjurkan untuk melakukan latihan batuk efektif adalah posisi duduk
di tepi tempat tidur atau semi fowler, dengan posisi tungkai diletakkan di
atas kursi (Smeltzer & Bare, 2013).
Pencegahan
Menurut Erlina (2018). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah terkena penyakit TBC Paru.
1) Hindari kontak dengan penderita TBC, sebisa mungkin hindari kontak
dengan penderita batuk khususnya TBC. Meski demikian, jangan sampai
mendiskriminasi para penderita.
2) Gunakan masker, selalu sediakan masker saat berada di tempat umum
terutama dalam ruangan tertutup seperti bus, pesawat, kereta api, dan mal.
Masker dapat mencegah penyebaran kuman TBC.
3) Pencegahan ifeksi dengan mencuci tangan dan praktek menjaga kebersihan
rumah harus diperhatikan sebagi kegiatan rutin. Dekontaminasi udara bisa
dilakukan dengna ventilasi yang bagus dan ditambah sinar UV
(Najmah,2016).
4) Ventilasi atau saluran udara yang baik, ventilasi dan saluran udara yang baik
dapat menghambat penyebaran kuman TBC. Bakteri tersebut dapat
berkembang biak di lingkungan yang lemban. Bakteri TBC juga bisa mati
jika terkena cahaya matahari langsung.
5) Menjaga daya tahan tubuh, sistem imun yang rendah membuat penularan
TBC akan semakin mudah. Hindari gaya hidup yang dapat membuat daya
tahan tubuh menurun seperti merokok dan begadang. Tingkatkan daya tahan
tubuh dengan istirahat yang cukup dan makan-makanan yang bergizi.
6) Pemeriksaan, jika terpapar dengan pasien TBC segera lakukan pemeriksaan
untuk mencegah penularan.
6. Askep teoritis
A. Pengakjian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi,
mengenai masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik,
mental, sosial, dan lingkungan (Wahid & Iman, 2013).
a. Identitas klien yang perlu dikaji diantaranya adalah nama, alamat, jenis kelamin,
umur, agama, dan pekerjaan (Evania, 2013).
b. Riwayat kesehatan
Biasanya pada pasien dengan TB Paru batuk berdahak selama 2 minggu dengan
suhu tubuh naik turun, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan
(Retno, 2018).
1) Riwayat penyakit sekarang
Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih, dapat disertai darah (bercak
darah), demam, nafsu makan menurun diikuti penurunan berat badan (catat
berat badan berapa), berkeringat pada malam hari sehingga sulit tidur, sesak
terutama waktu beraktivitas, nyeri dada ketika batuk.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya klien pernah menderita penyakit serupa sebelumnya, tanyakan
penyakit infeksi yang pernah diderita klien seperti pneumonia, bronkitis dan
lain-lain.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita TB Paru. Dan
biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti hipertensi,
diabetes melitus, jantung dan lainya.
4) Riwayat psikososial
Pasien TB Paru cenderung mengalami perubahan interaksi dengan orang di
sekitarnya. Ungkapan merasa malu, takut diasingkan/dikucilkan, kecemasan,
ketakutan. Merasa tidak mampu beraktivitas sesuai perannya, merasa tidak
berdaya dan putus asa.
c. Pola aktivitas sehari-hari
Mengungkapkan pola aktivitas klien antara sebelum sakit dan sesudah sakit
meliputi nutrisi, eliminasi, personal hygiene, istirahat tidur, aktivitas dan gaya
hidup klien (Wahid & Iman, 2013).
d. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pemeriksaan keadaan umum klien meliputi penampilan postur tubuh,
kesadaran umum klien, mungkin terjadi perubahan tanda-tanda vital,
perubahan berat badan labilitas emosional (Wahid & Iman, 2013).
2) Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik persistem pada
klien dengan gangguan sistem pernapasan TB Paru :
 Sistem kardiovaskuler
Kemungkinan terjadi penurunan tekanan darah, tachikardi, peningkatan
JVP, konjungtiva pucat, perubahan jumlah kemoglobin/hematokrit dan
leukosit, bunyi jantung S1 dan S2 mungkin meredup
 Sistem pernafasan
Ditemukan dispneu, nyeri pleuritik luas, sianosis, ekspansi paru berkurang
pada sisi yang terkena, perkusi hipersonar, suara nafas berkurang pada sisi
yang terkena, vokal fremitu berkurang. Terdengar ronchi basah atau kering
 Sistem gastrointestinal
Kaji adanya lesi pada bibir, kelembaban mukosa, nyeri stomatitis, keluhan
waktu mengunyah. Kaji bentuk abdomen, lesi, nyeri tekan adanya massa,
bising usus. Biasanya ditemukan keluhan mual dan anorexia, palpasi pada
hepar dan limpe biasanya mengalami pembesaran bila telah terjadi
komplikasi.
 Sistem genitourinari
Biasanya terjadi perubahan pada pola eliminasi BAK, jumlah urine output
kadang menurun. Kaji adanya retensio atau inkontinensia urine dengan
cara palpasi abdomen bawah atau pengamatan terhadap pola berkemih dan
keluhan klien
 Sistem muskuloskeletal
Kaji pergerakan ROM dari pergerakan sendi mulai dari kepala sampai
anggota gerak bawah, kaji adanya nyeri pada waktu klien bergerak. Pada
klien pneumothorax akibat TB ditemukan keletihan, perasaan nyeri pada
tulang-tulang dan intoleransi aktivitas pada saat sesak yang hebat
 Sistem endokrin
Kaji adanya pembesaran KGB dan tiroid, adakah riwayat DM pada klien
dan keluarga
 Sistem persyarafan
Kaji tingkat kesadaran, penurunan sensori, nyeri, refleks fungsi syaraf
kranial dan fungsi syaraf serebral. Pada klien TB Paru bila telah
mengalami TB miliaris maka akan terjadi komplikasi meningitis yang
berakibat penurunan kesadaran, penurunan sensasi, kerusakan nervus
kranial, serta kaku kuduk yang positif
 Sistem integumen
Ditemukan peningkatan suhu pada malam hari, kulit tampak berkeringat
dan perasaan panas pada kulit. Bila klien mengalami tirah baring lama
akibat pneumotorax, maka perlu dikaji adalah kemerahan pada sendi-
sendi/tulang yang menonjol sebagai antisipasi dari dekubitus
e. Data psikologis
1) Status emosi
Pengendalian emosi mood yang dominan, mood yang dirasakan saat ini,
pengaruh pembicaraan orang lain, kestabilan emosi
2) Konsep diri
Bagaimana klien melihat dirinya sebagai seorang pria, apa yang disukai dari
dirinya, sebagaimana orang lain menilai dirinya, dapat klien mengidentifikasi
kekuatan dan kelemahan
3) Gaya komunikasi
Cara klien berbicara, cara memberi informasi, penolakan untuk berespon,
komunikasi non verbal, kecocokan bahasa verbal dan nonverbal.
4) Pola interaksi
Kepada siapa klien menceritakan tentang dirinya, hal yang menyebabkan klien
merespon pembicaraan, kecocokan ucapan dan perilaku, anggaran terhadap
orang lain, hubungan dengan lawan jenis
5) Pola koping
Apa yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah, adalah tindakan
maladaptif, kepada siapa klien mengadukan masalah.
f. Data sosial
Bagaimana hubungan sosial klien dengan orang-orang sekitar rumah sakit, dengan
keluarganya, dengan tenaga kesehatan (Wahid & Iman, 2013).
g. Data spiritual
Arti kehidupan yang penting dalam kehidupan yang dialami klien, keyakinan
tentang penyakit dan proses kesembuhan, hubungan kepercayaan dengan tuhan,
ketaatan menjalankan ibadah, keyakinan bantuan tuhan dalam proses
penyembuhan dan keyakinan tentang kehidupan dan kematian (Wahid & Iman,
2013).
h. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah yaitu Hb, leukosit, trombosit, hematokrit, AGD,
pemeriksaan radiologi : thorax foto & sputum (Wahid & Iman, 2013).
i. Terapi pengobatan Obat anti tuberkulosis (OAT) seperti isoniazid (INH),
ethabutol, rifampisin, streptomisin (Nurarif & Kusuma, 2015).
B. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan patofisiologi TB Paru telah ditemukan bahwa masalah yang akan muncul
pada klien adalah:
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-
kapiler
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan sekret berlebih
3. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhungan dengan intake
nutrisi kurang
5. Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko kurang pengetahuan tentang
penyakit
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


Ganggaun pertukaran gas b.d NOC NIC
membran alveolar-kapiler a. Respiratory status : Gas 1. Buka jalan napas, gunakan
exchage. tehnik chin lift atau jaw
Batasan karakteristik : b. Respiratory status: thrust bila perlu
1. pH darah arteri abnormal. Ventilation 2. Posisikan pasien untuk
2. pH arteri abnormal. c. Vital sign status. memaksimalkan ventilasi
3. Pernapasan abnormal Kriteria hasil : 3. Identifikasi pasien perlunya
(kecepatan, irama, pemasangan alat jalan
kedalaman) 1. Mendemonstrasi kan napas buatan. Pasang mayo
4. Warna kulit abnormal peningkatan ventilasi bila perlu
(pucat, kehitaman) dan oksigenasi yang 4. Lakukan fisioterapi dada
5. Konfusi adekuat bila perlu. Keluarkan sekret
6. Sianosis (pada neonatus 2. Memelihara kebersihan dengan batuk
saja). paruparu bebas dari 5. Auskultasi suara napas,
7. Penurunan karbondioks ida. tanda-tanda distress cepat adanya suara
8. Diaforesis pernapasan. tambahan.
9. Dispnea 3. Mendemonstrasi kan 6. Lakukan suction
10. Sakit kepala saat bangun batuk efektif dan suara 7. Berikan bronkodilator bila
11. Hiperkapnia. napas yang bersih tidak perlu
12. Hipoksemia ada siaonosis dan 8. Atur intake untuk cairan
13. Hipoksia dyspnea (mampu mengoptimalkan
14. Iritabilitas menyertakan sputum, keseimbangan
15. Napas cuping hidung mampu bernapas 9. Monitor respirasi dan O2
16. Gelisah dengan mudah, tidak
Respiratory monitoring
17. Samnolen ada pursed lips).
18. Takikardi 4. Tanda-tanda vital dalam 10. Monitor rata-rata,
rentang normal. kedalaman, irama dan
19. Gangguan penglihatan usaha respirasi.Catat
Faktor yang berhubungan : pergerakan dada, amati
1. Perubahan membran kesimetrisan, penggunaan
alveolarkapiler. otot tambahan, retraksi otot
2. Ventilasi perfusi. supraviavicular dan
intercostal.
11. Monitor suara napas,
12. Monitor pola napas :
bradipnea, takipnea,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
13. Auskultasi suara napas,
catat area penurunan / tidak
adanya ventilasi dan suara
tambahan
14. Auskultasi suara paru
setelah tindakan.
Ketidakefektifan bersihan NOC NIC
a. Respiratory status :
jalan nafas b.d sekret berlebih Airway suction
Ventilation
Batasan karakteristik : b. Repiratory status : 1. Pastikan kebutuhan oral /
1. Tidak ada batuk Airway patency tracheal suctioning
2. Suara napas tambahan 2. Auskultasi suara napas
Kriteria hasil :
3. Perubahan frekuensi napas sebelum dan sesudah
4. Perubahan irama napas 1. Mendemonstrasikan suctioning
5. Sianosis batuk efektif dan suara 3. Informasikan pada klien
6. Kesulitan berbicara atau napas bersih, tidak ada dan keluarga tentang
mengeluarkan suara. siaonosis dan dyspneu suctioning
7. Penurunan bunyi napas (mampu mengeluarkan 4. Minta klien napas dalam
8. Dispneu sputum, mampu sebelum suction dilakukan
9. Sputum dalam jumlah bernapas dengan mudah, 5. Berikan O2 dengan
berlebihan tidak ada pursed lips). menggunakan nasal untuk
10. Batuk yang tidak efektif 2. Menunjukan jalan napas memfasilitasi suction
11. Orthopneu yang paten (klien tidak nasotrakeal
12. Gelisah merasa tercekik, irama 6. Gunakan alat yang steril
13. Mata terbuka lebar napas, frekuensi napas setiap melakukan tindakan
dalam rentang normal, 7. Anjurkan pasien untuk
tidak ada suara napas istirahat dan napas dalam
abnormal) setelah kateter dikeluarkan
3. Mampu dari naso trakeal
mengidentifikasi dan 8. Monitor status oksigen
mencegah faktor yang pasien
menghambat jalan 9. Ajarkan keluarga
napas. bagaimana cara melakukan
suction
10. Hentikan suction dan
berikan oksigen bila pasien
menunjukan bradikardi,
atau peningkatan saturasi
O2, dll
Airway management
11. Buka jalan napas, gunakan
tehnik chin lift atau jaw
thrust bila perlu
12. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
13. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan
napas buatan.
14. Pasang mayo bila perlu
15. Lakukan fisioterapi dada
jika perlu. Keluarkan secret
dengan batuk atau suction
16. Auskultasi suara napas,
catat adanya suara
tambahan
17. Lakukan suction pada
mayo
18. Berikan bronkodilator bila
perlu
19. Berikan pelembab udara
kassa basah NaCl lembab .
Monitor respirasi dan status
O2
Hipertermia b.d inflamasi NOC NIC
Termoregulation Fever treatment
Batasan karakteristik: Kriteria hasil :
1. Konvulsi a. Suhu tubuh dalam 1. Monitor suhu sesering
2. Kulit kemerahan rentang normal mungkin
3. Peningkatan suhu tubuh b. Nadi dan RR dalam 2. Monitor warna dan suhu
diatas kisaran normal rentang normal kulit
4. Kejang c. Tidak ada perubahan 3. Monitor tekanan darah,
5. Takipneu warna kulit dan tidak nadi, dan RR
6. Kulit terasa hangat ada pusing 4. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
Faktor yang berhubungan : 5. Monitor WBC, Hb, dan Hct
1. Ansietas 6. Monitor intake output
2. Penurunan respirasi 7. Berikan antipiretik
3. Dehidrasi 8. Selimuti pasien
4. Pemajanan lingkungan yang 9. Kolaborasi pemberian
panas cairan intravena
5. Penyakit 10. Kompres pasien pada
6. Pemakaian pakaian yang lipatan paha dan aksila
tidak sesuai dengan suhu 11. Tingkatkan sirkulasi udara
lingkungan 12. Berikan pengobatan untuk
7. Peningkatan laju mencegah terjadinya
metabolisme menggigil
8. Medikasi
9. Trauma Temperature regulation
10. Aktivitas berlebihan 13. Monitor suhu minimal tiap
2 jam. Rencanakan
monitoring suhu secara
continue
14. Monitor tekanan darah,
nadi, dan RR
15. Monitor warna dan suhu
kulit
16. Monitor tandatanda
hipertermi dan hipotermi
17. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
18. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan akibat
panas
19. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negatif dari
kedinginan
20. Ajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
emergency yang diperlukan
21. Berikan antipiretik jika
perlu
Vital sign monitoring
22. Monitoring tekanan darah,
nadi, suhu, dan RR
23. Monitoring VS sat pasien
berbaring, duduk, atau
berdiri
24. Auskultasi tekanan darah
pada kedua lengan dan
bandingkan
25. Monitor tekanan darah,
nadi, RR sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
26. Monitor pola pernapasan
abnormal
27. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
28. Monitor sianosis perifer
29. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
30. Identifikasi penyebab dari
vital sign
Ketidakseimbangan nutrisi NOC NIC
kurang dari kebutuhan tubuh a. Nutritional Status : Nutrition Management
b.d intake nutrisi kurang Food and fluid
Batasan karakteristik : b. Intake 1. Kaji adanya alergi
1. Kram abdomen c. Nutritional Status : makanan
2. Nyeri abdomen Nutrient intake 2. Kolaborai dengan ahli gizi
3. Menghindari makanan d. Weight control untuk menentukan jumlah
4. Berat badan 20% atau lebih kalori dan nutrisi yang
Kriteria Hasil :
dibawah berat badan ideal dibutuhkan pasien
5. Kerapuhan kapiler 3. Anjurkan pasien untuk
a. Adanya peningkatan meningkatkan intake Fe
6. Diare
7. Kehilangan rambut berlebih berat badan sesuai 4. Anjurkan pasien untuk
8. Bising usus hiperaktif dengan tujuan meningkatkan protein dan
9. Kurang makanan b. Berat badan ideal sesuai vitamin C, dan berikan
10. Kurang informasi dengan tinggi badan substansi gula
11. Kurang minat pada makanan
c. Mampu 5. Yakinkan diet yang
12. Penurunan berat badan mengidentifikasi dimakan mengandung
dengan asupan makanan tinggi serat
kebutuhan nutrisi
adekuat 6. Berikan makanan yang
d. Tidak ada tanda-tanda terpilih (sudah
13. Kesalahan konsepsi
14. Kesalahan informasi malnutrisi dikonsultasikan dengan ahli
15. Membrane mukosa pucat e. Menunjukan gizi)
16. Ketidakmampuan memakan peningkatan fungsi 7. Ajarkan pasien bagaimana
makanan pengecapan dan membuat catatan makanan
menelan harian
Faktor yang berhubungan :
f. Tidak terjadi penurunan 8. Monitor jumlah nutrisi dan
1. Faktor biologis kandungan kalori
berat badan yang
2. Faktor ekonomi 9. Berikan informasi tentang
3. Ketidakmamp uan untuk berarti. kebutuhan nutrisi
mengabsorbsi nutrient Nutrition monitoring
4. Ketidakmamp uan untuk
mencerna makanan 10. BB Pasien dalam batas
5. Ketidakmamp uan menelan normal
makanan 11. Monitor adanya penurunan
6. Faktor psikologis berat badan
12. Monitor lingkungan selama
makan
13. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
14. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi,
monitor turgor kulit,
monitor kekeringan,
rambut kusam, dan mudah
patah
15. Monitor mual dan muntah
16. Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan kadar
Ht
17. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan
18. Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva

Referensi

Manurung, S. dkk. (2008). Gangguan Sistem Pernafasan Akibat Infeksi. Jakarta: CV. Trans
Info Media
Mutaqqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Salemba Medika.
Smeltzer, S.C. & Bare, B. G. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (EGC (ed.);
Brunner &).
Smletzer, C. & S Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Medikal Bedah (Brunner & Suddart (ed.);
Edisi 8). EGC.
Somantri, I. (2012). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pernafasan.
JAKARTA PUSAT: Salemba Medika.
WHO. (2017). Global Tuberculosis Report. Global Tuberculosis Report , 2.

Anda mungkin juga menyukai